ANTOLOGI BIOGRAFI PENGARANG SASTRA JAWA

Antologi Biografi

PENGARANG SASTRA

JAWA MODERN

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982

tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, di-pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

iii

Antologi Biografi

PENGARANG SASTRA

JAWA MODERN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PUSAT BAHASA BALAI BAHASA YOGYAKARTA

iv

Antologi Biografi PENGARANG SASTRA JAWA MODERN

Penanggung Jawab:

Kepala Balai Bahasa Yogyakarta

Penyusun:

Tirto Suwondo Sri Widati Dhanu Priyo Prabowo Herry Mardianto Sri Haryatmo Siti Ajar Ismiyati

Pracetak:

Agung Tamtama, Riyanto Penerbit :

Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224

Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667

Cetakan Pertama 2004 Pencetak :

GAMA MEDIA Jalan Lowanu 55, Yogyakarta 55162 Telepon/Faksimile (0274) 384380 Yogyakarta ISBN 979 685 478 3 Isi di luar tanggung jawab percetakan

SAMBUTAN KEPALA BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Dalam kaitannya dengan pelayanan masyarakat, salah satu visi Balai Bahasa Yogyakarta ialah ingin menjadi pusat dokumentasi dan informasi mengenai bahasa dan sastra --baik Indonesia maupun Jawa-- di daerah. Berbagai terbitan dan laporan intern yang meru- pakan hasil penelitian sistem bahasa dan sistem sastra sudah cukup banyak. Diakui atau tidak, keterbacaan buku-buku itu terbatas bagi mereka yang menggeluti ilmu bahasa dan sastra. Hal yang terasa masih rumpang ialah buku-buku yang mempunyai keterbacaan luas yang dapat mendorong masyarakat untuk lebih bersikap positif terhadap bahasa Jawa atau meningkatkan apresiasi masyarakat ter- hadap sastra Jawa. Munculnya buku Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern ini merupakan langkah dan wujud nyata untuk mengisi kerumpangan itu. Diharapkan buku ini dapat melengkapi buku yang telah diterbitkan sebelumnya, yaitu Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern (2001), baik periode prakemerdekaan maupun kemerdekaan. Oleh karena itu, layak-lah kalau saya meyampaikan penghargaan kepada tim ini atas kerja kerasnya dalam mewujudkan buku ini.

Sastra Jawa merupakan bagian dari keseluruhan sastra di Indo-nesia yang harus dilestarikan karena merupan aset kebudayaan nasional. Banyak orang percaya bahwa di dalam karya sastra Jawa terdapat kearifan lokal yang dapat menginspirasi kebudayaan nasional. Di dalam karya sastra Jawa terdapat nilai etika, estetika, religius, solidaritas, dan sejenisnya, yang perlu dan harus diperhitungkan. Yang kadang dilupakan ialah orang hanya menikmati karya sastranya, tetapi lupa akan penga-rangnya. Kehadiran buku antologi biografi ini di- harapkan tidak hanya menciptakan hubungan baik atau memberikan penghargaan kepada para pengarang, tetapi juga dapat digunakan untuk memahami perjalanan sejarah sastra Jawa modern.

Semoga buku ini bermanfaat, tidak hanya bagi para pecinta sastra Jawa, tetapi juga bagi masyarakat luas.

Drs. Syamsul Arifin, M.Hum.

vi

SEKAPUR SIRIH

Ada beberapa hal yang harus kami (tim penyusun) kemukakan sehubungan dengan telah selesainya penyusunan buku Antologi Bio- grafi Pengarang Sastra Jawa Modern ini. Pertama-tama kami sampai- kan bahwa buku antologi ini disusun melalui proses yang relatif panjang. Tiga tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2000/2001, para peneliti sastra Balai Bahasa Yogyakarta telah melakukan serangkaian penelitian mengenai “riwayat dan atau sejarah hidup” para pengarang sastra Jawa. Penelitian itu ada yang dilakukan secara mandiri, ada pula yang dilakukan secara kelompok (tim). Akan tetapi, kami menyadari, bahkan harus dimaklumi, bahwa hasil penelitian yang kami lakukan itu masih jauh dari memadai. Sebab, dalam setahun kami hanya dapat menjangkau beberapa pengarang, padahal jumlah pengarang sastra Jawa demikian banyak. Mungkin ini hanyalah alasan yang mengada- ada seandainya kami memiliki kemampuan, tenaga, dan dana yang besar. Namun, itulah Kenya-taannya: dana minim, kemampuan sangat terbatas. Itulah sebabnya, penelitian kami lanjutkan pada tahun-tahun berikutnya (2002—2003).

Semula kami (tim peneliti) berpikir bahwa dalam tiga tahun kami akan dapat menjangkau seluruh pengarang sastra Jawa. Semula kami juga merasa bahwa data-data tentang “riwayat dan atau sejarah hidup” para pengarang sastra Jawa itu mudah kami peroleh. Akan tetapi, realitas ternyata berbicara lain. Lagi-lagi, karena segalanya serba terbatas, kami tidak mampu mengumpulkan data-data itu, lebih- lebih menemui para pengarang sastra Jawa yang tinggalnya bertebaran di mana-mana (tidak hanya di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau DIY saja). Oleh sebab itu, selain memanfaatkan data-data hasil penelitian kami, kami juga memanfaatkan data-data hasil penelitian lain, di antaranya hasil penelitian tim peneliti Balai Bahasa Surabaya dan buku Taman Sastrawan karya Dojosantosa.

Sebagai sebuah penelitian biografis, sebenarnya kami jauh- jauh hari telah berupaya untuk menyusun dan mengirimkan kuesioner (daftar isian/angket) kepada para pengarang sastra Jawa. Akan tetapi, kenda-lanya tidak semua pengarang kami ketahui alamatnya; dan se- bagian pengarang yang telah kami kirimi kuesioner pun tampaknya kurang menanggapi secara serius. Mungkin karena ini bukan “angket

vii vii

Lebih absurd lagi ialah ketika kami mencoba untuk mene- lusuri riwayat hidup para pengarang yang telah berproses kreatif pada masa sebelum kemerdekaan (sebelum 1945). Kami menduga banyak dokumen yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan atau koleksi pribadi di rumah para pengarang tua yang kini masih sugeng, tetapi ternyata dugaan kami meleset. Data-data itu ternyata sangat sedikit, bahkan banyak yang sama sekali tidak ada. Itulah sebabnya, dengan sangat terpaksa, di dalam buku antologi ini kami hanya dapat mem- berikan keterangan sangat singkat, itu pun hanya berdasarkan hasil karyanya yang dapat kami temukan. Dan hal semacam ini terjadi pula pada pengarang-pengarang setelah kemerdekaan (1945 hingga kini), terutama bagi mereka yang tidak sempat kami hubungi baik yang masih hidup maupun –lebih-lebih—yang telah tiada.

Kami tahu bahwa –seperti yang telah kami katakan tadi— jumlah pengarang sastra Jawa begitu banyak dan mereka tinggal di berbagai kota di Indonesia, bahkan di pelosok-pelosok desa. Yang tinggal di kota saja banyak yang tidak dapat kami jangkau, apalagi yang di desa dan atau pelosok desa. Oleh sebab itu, buku antologi biografi ini tidak mampu memuat seluruh pengarang sastra Jawa. Hal ini tidak berarti kami sengaja “melupakan” atau menganggap mereka yang namanya tidak masuk dalam buku antologi ini tidak penting, tetapi itu semata karena keter-batasan kami. Kami bermaksud buku antologi ini sebagai sebuah penda-huluan, sebagai buku pertama, yang diharapkan akan segera disusul buku kedua (edisi revisi dan atau baru). Maka, akan lebih baik jika para penga-rang sastra Jawa bersedia mengoreksi, melengkapi, dan atau mengirim-kan data dan informasi baru (riwayat hidup dan riwayat proses kreatif) kepada kami.

Perlu kami kemukakan bahwa di dalam buku antologi ini kami tidak terlalu mempedulikan atau tidak mau dipusingkan oleh apa itu arti “pengarang”; dan hal ini sebaiknya tidak diperdebatkan. Oleh sebab itu, sebaiknya kita juga tidak bertanya kenapa ia (nama tertentu) masuk dalam buku “antologi biografi pengarang” ini padahal hanya menulis beberapa biji guritan, atau beberapa buah cerkak, atau be-

viii viii

Kami hanya berharap bahwa buku antologi ini disikapi secara lebih arif, lebih positif, karena bagaimana pun juga, buku semacam ini langka adanya. Melalui buku ini setidaknya akan terbangun sebuah “tegur sapa sastra” baik antara pengarang yang satu dengan yang lain maupun pengarang dengan masyarakat-komunitasnya. Sering terjadi seseorang tergila-gila pada tokoh wanita ciptaan Djajus Pete atau Suparto Brata di Jaya Baya, misalnya, tetapi siapakah Djajus Pete dan Suparto Brata itu? Jawabannya tentulah dapat ditemukan dalam buku ini. Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak dalam penyusunan buku ini; dan semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja.

Tirto Suwondo

ix

DAFTAR ISI

SAMBUTAN KEPALA BALAI BAHASA YOGYAKARTA vi SEKAPUR SIRIH

vii DAFTAR ISI

BAGIAN I GAMBARAN UMUM PENGARANG DAN SISTEM KEPENGARANGAN SASTRA JAWA

BAGIAN II

BIOGRAFI PENGARANG SASTRA JAWA PERIODE PRAKEMERDEKAAN

1. Adi Soendjaja

3. Asmara Asri

6. Djaka Lelana

7. Dokter Soetomo

9. Endang Wahjoeningsih

11. Imam Supardi

13. Kamsa Wirjasaksana

14. Karkono Partokusuma

16. Kenja Bre Tegawangi

17. Ki Loemboeng

20. Loem Min Noe

21. M. Koesrin

22. M. Samoed Sastrowardojo

24. Mt. Soepardi

25. Ni Soeprapti

31. Poerwadhie Atmodihardjo

32. R. D. S. Hadiwidjana

33. R. Intojo

34. R. M. Soelardi

35. Rara Soedarmin

36. S. K. Trimoerti

37. Sadwara Hatmasarodji

39. Soebagijo I.N.

40. Soedjono Roestam

41. Soegeng Tjakrasoewignja

42. Soenarno Sisworahardjo

43. Soeradi Wirjaharsana

44. Soeratman Sastradiardja

45. Soesanto Tirtoprodjo

46. Sri Kanah K.

47. Sri Koentjara

48. Sri Koesnapsijah

49. Sri Marhaeni

50. Sr. Sumartha 100

51. Tjah Alas Boeloe 101 BAGIAN III

BIOGRAFI PENGARANG SASTRA JAWA PERIODE KEMERDEKAAN

1. A.Y. Suharyono 103

2. Achmad D.S. 104

3. Ag. Suharti 105

4. Agus Soegiyanto 105

xi

5. Agus Suprihono 108

6. Akhir Lusono 109

7. Akhmad Nugroho 110

8. Aming Aminoedin 112

9. Amro Juhendi 112

10. Andrik Purwasito 114

11. Anggarpati 114

12. Anie Soemarno 115

13. Anjar Ani 116

14. Anjrah Lelanabrata 117

15. Any Asmara 118

16. Ardian Syamsuddin 121

17. Ardini Pangastuti 121

18. Ariesta widya 124

19. Arswendo Atmowiloto 126

20. Ary Suharno 128

21. Aryono Kadaryono 129

22. Atas S. Danusubroto 130

23. Bambang Sadono S.Y. 132

24. Bambang (“Kenthut”) Widoyo S.P. 133

25. Basoeki Rachmat 136

26. Benne Sugiarto 137

27. Bonari Nabonenar 138

28. Budy L. Worang 141

29. Budi Palopo 142

30. Cahyarini Budiarti 145

31. Daniel Tito 146

32. Dhanu Priyo Prabowo 147

33. Diah Hadaning 148

34. Didik Sedyadi 151

35. Djaimin K. 153

36. Djajus Pete 154

37. Dwi Sulistyorini 157

38. E. Suharjendra 158

39. Edi Triono Jatmiko 160

40. Effy Widianing 160

41. Ekapti Lenda Anita 161

xii

42. Eko Heru Saksono 163

43. Eko Margono 163

44. Eko Nuryono 164

45. Endang Sri Sulistyarini 166

46. Eny Koedarlijah S. 167

47. Es Danar Pangeran 168

48. Esmiet 169

49. Handung Kussudyarsana 173

50. Hardjono H.P. 176

51. Hartono Kadarsono 177

52. Harwimuka 179

53. Harwi Mardiyanto 182

54. Herry Lamongan 183

55. Husen Kertanegara 187

56. Imam Sardjono 188

57. Iman Budhi Santosa 188

58. Indriyasiwi A.R. 192

59. Ismoe Riyanto 194

60. Is Sarjoko 195

61. J.F.X. Hoery 197

62. Jarot Setyono 200

63. Jujuk Sagitaria 201

67. Keliek Eswe (Sugeng Wiyadi) 205

68. Khoirul Soleh 207

69. Koesalah Soebagyo Toer 209

70. Krisnha Mihardja 211

71. Kuswahyo SS Rahardjo 213

72. Liesty A.S. 214

73. M. Tahar 214

74. Marciana Sarwi 216

75. Maria Kadarsih 216

76. Maryono Notosuwignyo 218

77. Moch Nursyahid Purnomo 220

78. Moelyono Soedarmo 221

xiii

79. Mohammad Yamin M.S. 222

80. Muhammad Hisyam 223

81. Mulyantara K. Harjana 224

82. Muryalelana 224

83. Margareth Widhy Pratiwi 228

84. Nga’din 230

85. Ngalinu Anna Salim 231

86. Noviyana Dyah Tresnaeni 232

87. N. Sakdani 233

88. Nyadi Kasmoredjo 236

89. Nyitno Munajat 237

90. Oemaryanto Effendi 239

91. Peni R. Swastika 240

92. Poer Adhie Prawoto 240

93. Prijono Windoewinoto 242

94. R.M. Soejadi Madinah 244

95. R.M. Wisnoe Wardhana 245

96. R.M. Yunani Prawiranegara 250

97. Rachmadi K. 250

98. Ragil Suwarna Pragolapati 252

99. Ratih Retno Hartati 254 100. Rita Nuryanti

255 101. Roeswardijatmo

256 102. Rohadi Ienarto

258 103. S. Diarwanti

259 104. Samiyoso

260 105. Sartono Kusumaningrat

260 106. Sasetya Wilutomo

262 107. Satim Kadaryono

262 108. Senggono

263 109. Sita T. Sita

265 110. Siti Aminah

266 111. Slamet Isnandar

267 112. Sl. Supriyanto

268 113. Soedarmo K.D.

268 114. Soekarman Sastrodiwirjo

271 115. Somdani

xiv

116. Sri Setyowati 274 117. Sri Setyorahayu

275 118. Sriyono

276 119. St. Iesmaniasita

278 120. St. Sri Mulyani

281 121. Suci Hadi Suwita

282 122. Sudarsin

284 123. Sudaryono

285 124. Sudibjo Z. Hadisutjipto

287 125. Sudi Yatmana

287 126. Sugeng Dwianto

290 127. Sugeng Adipitoyo

290 128. Sugiarta Sri Wibawa

291 129. Suhadi Tukang Cukur

293 130. Suharmono Kasiyun

295 131. Suhendriyo

296 132. Sukardo Hadisukarno

299 133. Sumardjono

301 134. Sumono Sandy Asmoro

303 135. Sunarko Budiman

305 136. Supardi

307 137. Suparto Brata

309 138. Suripan Sadi Hutomo

312 139. Suryadi Ws.

316 140. Suryanto Sastroatmodjo

319 141. Susiati Martowiryo

321 142. Susilomurti

322 143. Suwardi Endraswara

324 144. Suyatmin Widodo

326 145. T.S. Argarini

328 146. Tamsir A.S.

329 147. Teguh Munawar

330 148. Tengsoe Tjahjono

331 149. Titah Rahayu

332 150. Th. Sri Rahayu Prihatmi

333 151. Tiwiek SA

334 152. Tjahjono Widarmanto

xv

153. Totilawati Tjitrawasita 337 154. Triman Laksana

337 155. Trim Sutedjo

338 156. Tri Wahyono

340 157. Turiyo Ragilputra

341 158. Ustadji Pantja Wibiarsa

345 159. Wahyudi

346 160. Wahyu Haryanto

346 161. Warisman

347 162. Whani Darmawan

349 163. Widi Widayat

349 164. Widodo Basuki

351 165. Wieranta

353 166. Wisnu Sri Widada

353 167. Y. Sarworo Soeprapto

355 168. Yan Tohari

356 169. Yes Ismie Suryaatmadja

358 170. Yohanes Siyamto

359 171. Yudhet

360 172. Yudi Aseha

361 173. Yudimanto

362 174. Yuli Setyo Budi

363 175. Yunani

363 176. Yusuf Susilohartono

366 DAFTAR BUKU SUMBER 368 LAMPIRAN (KUESIONER)

376 BIODATA PENYUSUN

xvi

BAGIAN I GAMBARAN UMUM PENGARANG DAN SISTEM KEPENGARANGAN SASTRA JAWA

Seperti diketahui bahwa keberadaan sastra Jawa memiliki sejarah yang cukup panjang, demikian juga dengan keberadaan para penga-rangnya. Untuk melacak jejak kehadiran para pengarang dalam khazanah sastra Jawa yang disebut “modern”, misalnya, kita pun mau tidak mau harus melihat peran berbagai lembaga yang didirikan oleh pemerintah kolonial (Belanda) pada dua abad yang lalu (abad ke-19). Memang benar bahwa kehadiran sastra Jawa modern baru diakui secara formal pada awal abad ke-20, tetapi sesungguhnya embrionya telah tampak pada paruh pertama abad ke-19 bersamaan dengan didirikannya Lembaga Bahasa Jawa (Instituut voor de Javaansche Taal) oleh pemerintah kolo-nial, yaitu di Surakarta tahun 1932, di Breda tahun 1836, dan di Dellf tahun 1842.

Sebagai sebuah lembaga yang bertujuan mendidik sekelompok orang yang dipersiapkan untuk membantu pemerintah kolonial itu secara otomatis Lembaga Bahasa Jawa memerlukan sejumlah sarana atau bahan “pendidikan atau pengajaran”, di antaranya berupa buku-buku (naskah). Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, C.F. Winter, salah seorang yang ditugasi oleh pemerintah untuk menjadi guru di lembaga itu, kemudian menyiapkan berbagai macam bahan (dengan bantuan Rangga-warsita) yang berupa naskah yang antara lain berbentuk prosa yang digubah dari karya-karya klasik. Peristiwa ini akhirnya menjadi sebuah peristiwa yang sangat positif karena pada masa-masa berikutnya merang-sang para penulis pribumi sehingga pada perkembangan berikutnya muncul berbagai jenis karya, antara lain, kisah perjalanan, biografi, dan atau otobiografi dengan sejumlah pengarangnya seperti R.M.A. Tjandranegara, R.A. Sastradarma, R. Sastrawidjaja, R. Ab- doellah Ibnoe Sabar, R.A. Darmabrata, Soerjawidjaja, Padmosoesastra, dan sebagainya.

Berangkat dari peristiwa itu pula akhirnya sastra Jawa mengalami pergeseran (transisi) dari tradisi sastra klasik ke sastra modern walaupun masih dalam bentuk dan format yang sederhana. Barulah pada akhir abad ke-19 muncul karya-karya baru yang berupa dongeng atau protonovel dengan para pengarangnya, antara lain, M. Ng. Martaatmadja, M. Ng. Reksatanaja, R.

Pandji Soerjawidjaja, R.T. Darmadiningrat, T.M. Isma-ngoen, R. Djaja- soepana, dan masih banyak lagi. Hal ini terus berlang-sung hingga awal abad ke-20 dengan para pengarangnya seperti Pakoeboewana IX, Mangkoenegara

IV, Padmosoesastra, R. Ng. Reksa-tanaja, Mas Poedjaardja, R. Wirawangsa, Mas Ardjasoewita, R.S. Wirjosoesastra, R.A.A. Reksakoesoema, R.M.A. Soerjasoeparta, D. Ardiwinata, dan lain sebagainya.

Kehadiran para pengarang sastra Jawa semakin eksis ketika pada 1908 didirikan Komisi Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur ) yang oleh pemerintah dimaksudkan seba- gai upaya menyukseskan program Politik Etis. Ketika pada tahun 1917 komisi itu berubah nama menjadi Balai Pustaka, sejumlah pengarang baru pun bermunculan. Pengarang yang karyanya terbit pada tahun 1920-an, misalnya, R. L. Djajengoetara, M. Prawi-rawinata, M. Hardjasoewita, Soeradi Wirja- harsana, R. Sasraharsana, Kamsa Wirjasaksana, Hardjasapoetra, R. Ng. Jasawidagda, Sastra-soewignja, R. Ng. Wirawangsa, R. M. Soelardi, Mw. Asmawinangoen, Danoeja, M. Prawiraatmadja, R. M. Kartadirdja, M. Ardja- soeparta, dan masih banyak lagi. Sedangkan pengarang yang karyanya terbit pada 1930-an, antara lain, M. Hardjawiraga, M. Prawirasoedarma, R. Sastra- atmadja, M. Kartamihardja, M. Soeratman Sastradirdja, M. Martas-oeganda, M. Djaka Lelana, Margana Djajaatmadja, Mt. Soepardi, L. K. Djajasoekarta, Adi Soendjaja, R. S. Wiradarmadja, R. Sri Koentjara, dan lain sebagainya.

Perlu dicatat bahwa kendati nama-nama pengarang sastra Jawa pada masa itu dapat diketahui, kenyataan menunjukkan bahwa hingga saat ini riwayat hidup, profesi, dan latar belakang kehidupannya tidak banyak yang dapat diungkapkan. Hal tersebut terjadi karena pada masa itu tradisi penulisan riwayat hidup pengarang belum ada. Agaknya sistem pengarang pada masa itu masih dipengaruhi oleh tradisi lama yang umumnya pengarang lebih suka menyembunyikan nama (anonim), lebih-lebih riwayat hidupnya. Hal itu sela- ras dengan pandangan hidup Jawa bahwa pada umumnya orang Jawa tidak suka pamer ‘menonjolkan diri’. Kenyataan itu pula yang menyebabkan sulit- nya diketahui bagaimana hubungan antara profesi pengarang dan karya yang dipublikasikannya.

Kendati demikian, dapat diduga bahwa pengarang Jawa yang karya- karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah pengarang yang mendapat dukungan dari pemerintah kolonial karena penerbit tersebut adalah resmi milik pemerintah kolonial (Belanda). Oleh karena pemerintah kolonial memiliki kebijakan tertentu --sesuai dengan Nota Rinkes-- bahwa buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah buku yang dimaksudkan sebagai bacaan Kendati demikian, dapat diduga bahwa pengarang Jawa yang karya- karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah pengarang yang mendapat dukungan dari pemerintah kolonial karena penerbit tersebut adalah resmi milik pemerintah kolonial (Belanda). Oleh karena pemerintah kolonial memiliki kebijakan tertentu --sesuai dengan Nota Rinkes-- bahwa buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah buku yang dimaksudkan sebagai bacaan

Di samping itu, dapat diduga bahwa pada masa itu pengarang Jawa kebanyakan berasal dari lingkungan elit priayi keraton (bangsawan) atau setidaknya orang yang dekat dengan keraton. Sebab, hanya orang yang berasal dari lingkungan elit priayi yang memiliki kesempatan luas untuk menikmati pendidikan model Barat dan paling dekat pergaulannya dengan personal- personal pemerintah kolonial. Hal itu dapat dibuktikan melalui upaya peme- rintah yang selalu menjalin hubungan baik dengan pihak elit priayi sebagai mitra politiknya sehingga elit priayi memiliki peluang menerbitkan karya- karyanya melalui penerbit pemerintah. Bukti lain bahwa pengarang Jawa kebanyakan berasal dari lingkungan elit priayi adalah karena mereka sebagian besar memiliki gelar kebang-sawanan seperti M (Mas), R.M. (Raden Mas), R.Ng. (Raden Ngabehi), R.L. (Raden Lurah), dan sejenisnya. Oleh karena itu, tidak menghe-rankan jika karya-karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka sebagian besar juga mengungkapkan idiom-idiom halus dan menampilkan gam-baran etika, estetika, norma-norma moral, dan gaya hidup priayi (Quinn, 1995).

Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan keberadaan para pengarang Jawa yang karyanya diterbitkan oleh penerbit non-Balai Pustaka. Sebab, penerbit non-Balai Pustaka (1) tidak dimaksudkan sebagai bagian alat kolonial, (2) tidak bertujuan menciptakan mode dan corak yang seragam, baik bentuk maupun isi, karena sistem sosial yang terbentuk bukan produk kolonial, dan (3) tidak didukung oleh dana pemerintah sehingga penerbit lebih bertujuan mencari keuntungan uang. Karena itu, tidak mengherankan kalau karya-karya sastra terbitan non-Balai Pustaka berani mengungkap berbagai hal yang berkaitan dengan masalah politik. Beberapa penerbit swasta yang berperan pada saat itu, antara lain, Paguyuban Pancasudara, Book Astra, Purnama, Badan Pener-bit Indonesia, Putra, Yayasan Bhakti, Expres, Tan Koen Swie, Darma Kandha, Jawi Hiswara, Pusaka Surakarta, dan Panjebar Semangat. Dari berbagai penerbit itu muncullah nama-nama seperti Asmara Asri, Ki

Loemboeng, Sri Soesinah, Pangripta, Pandji Poetra, Loe Mien Noe, Ki Soerjo, Atnirah, Sri Melati, Sri Koesnapsijah, Sri Marhaeni, Endang Wahjoeningsih, Mt. Soepardi, dan sebagainya. Diduga sebagian dari nama-nama ini adalah nama samaran para pengarang Balai Pustaka yang “tidak sejalan” dengan kebijakan pemerintah kolonial.

Dapat dikatakan bahwa masa Balai Pustaka adalah masa subur dan berkembangnya para pengarang sastra Jawa. Kondisi ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan masa Jepang (1942—1945). Jepang memang hanya ber- kuasa kurang lebih tiga setengah tahun, tetapi telah membawa perubahan yang sangat dahsyat bagi masyarakat pribumi, termasuk perubahan dalam bidang sastra dan budaya. Sebab, segala bentuk lembaga, baik yang didirikan oleh pemerintah (kolonial) maupun swasta pribumi-nonpribumi, termasuk lembaga pers dan penerbitan, dihentikan kegiatannya dan atau diubah menjadi lembaga yang dimak-sudkan demi kepentingan Jepang. Oleh sebab itu, pada masa ini hampir seluruh pengarang yang eksis pada masa Balai Pustaka tidak lagi muncul. Munculnya nama Subagijo Ilham Notodidjojo dan Poerwadhie Atmo- dihardjo pada masa Jepang akhirnya menjadi sebuah kekecualian karena kebetulan pada masa itu keduanya ditugasi oleh Jepang untuk memegang lembaran berbahasa Jawa dalam Panji Pustaka.

Majalah Panji Pustaka pada masa Jepang pun sebenarnya digunakan oleh Jepang untuk kepentingan propaganda sehingga kedua pengarang tersebut (Subagijo I.N. dan Poerwadhie Atmodihardjo) dengan terpaksa menggunakan banyak nama samaran dalam melontarkan ideal-ismenya. Selain kedua penga- rang itu, sebenarnya masih ada beberapa nama lain, yakni Poerwadarminta, Ki Loemboeng, Ki Tjroeboek, Andaja, dan Hawe. Hanya saja, selain Poerwa- darminta, keempat nama yang disebut terakhir itu pun diduga hanya nama samaran karena hanya melalui nama samaran-lah pengarang dapat sedikit terhindar dari kecuri-gaan pemerintah Jepang. Lagi pula, Poerwadarminta tidak menulis namanya secara utuh, tetapi hanya Poer begitu saja. Oleh karena itu, banyak orang terkecoh, apakah Poer itu Poerwadhie Atmodihardjo atau- kah Poerwadarminta.

Dapat dikatakan bahwa sistem pengarang dan kepengarangan dalam sastra Jawa modern sebelum Indonesia merdeka tidak jauh berbeda dengan sistem pengarang dalam sastra Indonesia. Pada umumnya, profesi sebagai pengarang hanyalah profesi sambilan karena selain menjadi pengarang mereka juga memiliki pekerjaan lain. Contohnya adalah R.M. Soelardi dan R.Ng. Jasawidagda, selain menjadi pengarang keduanya juga menjadi guru dan wartawan. Demikian juga Hardjawiraga, selain menjadi pengarang juga Dapat dikatakan bahwa sistem pengarang dan kepengarangan dalam sastra Jawa modern sebelum Indonesia merdeka tidak jauh berbeda dengan sistem pengarang dalam sastra Indonesia. Pada umumnya, profesi sebagai pengarang hanyalah profesi sambilan karena selain menjadi pengarang mereka juga memiliki pekerjaan lain. Contohnya adalah R.M. Soelardi dan R.Ng. Jasawidagda, selain menjadi pengarang keduanya juga menjadi guru dan wartawan. Demikian juga Hardjawiraga, selain menjadi pengarang juga

II

Berbeda dengan kondisi pada masa sebelumnya, pengarang sastra Jawa modern pada masa kemerdekaan tidak lagi memiliki otoritas sebagai seorang "pekerja sastra" yang karena tugas dan kewajibannya memperoleh hak perlindungan dan pengayoman dari suatu lembaga tertentu. Oleh sebab itu, dalam situasi masyarakat modern seperti sekarang ini, keberadaan pengarang sastra Jawa sepenuhnya bergantung pada “pasar”. Padahal, selama era pascapujangga terakhir Ranggawarsita (yang meninggal pada tahun 1873), terutama setelah Indonesia merdeka, karya sastra Jawa modern tidak mampu menjadi komoditi yang laku di pasaran. Itulah sebabnya, langsung atau tidak, kondisi tersebut berpe-ngaruh bagi mata pencaharian pengarang. Akibatnya, di mata masyarakat pengarang kurang memperoleh penghormatan yang layak karena dunia yang digelutinya tidak dianggap sebagai suatu kerja profesional. Dengan demikian, karena terbelenggu oleh keadaan, para pengarang sastra Jawa kemudian cenderung bekerja semau mereka sehingga mereka benar- benar menempatkan profesinya itu hanya sebagai kerja sampingan.

Selain hal tersebut, para pengarang Jawa pada era kemerdekaan juga bukan satu-satunya kelompok sastrawan yang menjadi pemegang kendali pertumbuhan kesusastraan di Indonesia. Dalam menjalankan profesinya me- reka hidup berdampingan dengan sastrawan lain yang mengarang dalam bahasa Indonesia. Lagi pula, masyarakat yang menjadi sasaran pembacanya juga bukan lagi masyarakat yang hanya menguasai bahasa Jawa, melainkan masyarakat yang telah menguasai berbagai macam bahasa. Kenyataan ini memperkuat anggapan bahwa tidak salah apabila profesi kepengarangan Jawa dikatakan hanya sebagai kerja sam-bilan karena terbukti tidak sedikit pengarang yang “mondar-mandir” antara sastra Jawa dan sastra Indonesia.

Bahkan, hampir seluruh penga-rang sastra Jawa memiliki profesi lain yang tidak berhubungan langsung dengan dunia karang-mengarang; dan justru dari profesi lain itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Persoalan lain yang juga menyebabkan kurang dihargainya para pengarang Jawa adalah karena kualitas karyanya cenderung mengarah ke selera massa, picisan, dan stereotip. Hal tersebut berbeda, misalnya, jika dibandingkan dengan karya-karya adiluhung seperti karya Rangga-warsita, Mangkunegara IV, atau Jasadipura. Karena itu, tak heran jika di tengah kegamangan masyarakat Jawa banyak orang Jawa yang semula menjadi pembaca setia karya sastra Jawa beralih ke sastra Indonesia. Kenyataan itu pula yang semakin memperumit kondisi atau lingkungan pendukung sastra Jawa modern sehingga sastra Jawa tetap mengalami kesulitan atau bahkan tidak mampu menempatkan pengarangnya pada posisi yang mapan dan profesional. Untuk membuktikan pernyataan tersebut, berikut dipaparkan gambaran secara agak rinci kondisi penga-rang dan dinamika kepengarangan sastra Jawa modern periode kemer-dekaan.

Kenyataan menunjukkan bahwa pada tahun 1940-an Indonesia masih dilanda oleh adanya gejolak revolusi fisik (sejak pendudukan Jepang, 1942, hingga berakhirnya Perang Kemerdekaan, 1949). Realitas ini berakibat pada terkuburnya segala bentuk kegiatan sastra, tidak terkecuali sastra Jawa. Oleh karena itu, para pengarang yang berasal dari periode sebelum kemerdekaan baru dapat menerbitkan karya-karyanya pada tahun 1950-an bersamaan dengan lahirnya karya para pengarang baru. Hal itu terjadi karena masa tahun 1950-an merupakan masa dimulainya perubahan sosial yang penting sejalan dengan (1) terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, (2) meningkatnya jumlah melek huruf, dan (3) semakin tersosialisasikannya suatu demokrasi. Hanya saja, apabila dibandingkan, kecenderungan umum yang tampak ialah bahwa corak dan gaya penulisan sastra angkatan lama masih senada dengan gaya penulisan sastra tradisi sebelum kemerdekaan, sedangkan corak dan gaya penulisan sastra para pengarang baru cenderung bebas. Hal ini tentu tidak lepas dari pengaruh lembaga yang menerbitkan karya-karya mereka: sebagian besar karya pengarang yang telah tampil sejak sebelum kemerdekaan diterbitkan oleh Balai Pustaka, kecuali sebagian karya Sri Hadidjojo yang diterbitkan oleh Panjebar Semangat, sedangkan karya para pengarang baru lebih banyak diterbitkan oleh penerbit di luar Balai Pustaka.

Aktivitas pengarang yang tampil tahun 1950-an terus berlangsung berdampingan dengan aktivitas pengarang baru yang tampil pada awal 1960- an yang karyanya banyak diterbitkan oleh swasta. Apalagi saat itu banyak pers Aktivitas pengarang yang tampil tahun 1950-an terus berlangsung berdampingan dengan aktivitas pengarang baru yang tampil pada awal 1960- an yang karyanya banyak diterbitkan oleh swasta. Apalagi saat itu banyak pers

Beberapa pengarang yang telah tampil pada sebelum kemer-dekaan yang mempublikasikan karya-karyanya pada periode kemerdekaan, antara lain, Th. Surata, Hardjawiraga, Prijana Windoewinata, Soenarno Sisworahardjo, A. Saerozi, Senggono, dan Sri Hadidjojo. Di antara para pengarang itu yang paling produktif adalah Sri Hadidjojo karena hingga awal Orde Baru masih menulis dan menerbitkan novel. Realitas menunjukkan bahwa para pengarang angkatan tua lebih banyak menulis dan mempublikasikan novel dan cerbung daripada cerpen (cerkak) dan puisi (guritan). Hal tersebut terjadi karena mereka masih dipengaruhi oleh sikap dan keyakinan bahwa genre sastra yang berupa novel dianggap sebagai sarana pernyataan sastra yang paling represen- tatif; di samping karena pada masa itu majalah berbahasa Jawa belum leluasa berkembang. Sikap itulah yang "memaksa" para pengarang tua untuk tetap menulis novel meski pada masa kemerdekaan telah banyak majalah berbahasa Jawa yang menyediakan ruang publikasi untuk cerkak dan guritan. Terlebih lagi, pada awal 1960-an pers berbahasa Jawa menduduki posisi paling depan yang diwakili oleh Panjebar Semangat. Pada waktu itu Panjebar Semangat dicetak 80.000 eks per minggu, sementara harian berbahasa Indonesia hanya dicetak 20.000 eks dan majalahnya hanya sekitar 7.000 eks per minggu. Kondisi itulah yang menjadikan pertumbuhan cerpen dan puisi pada masa kemerdekaan didominasi oleh pengarang generasi perintis; dan sebagian dari generasi ini, Soebagijo I.N. dan Poerwadhie Atmodihardjo, telah menulis sejak sebelum kemerdekaan lewat Pandji Pustaka, Kajawen, dan Panjebar Sema- ngat . Namun, generasi perintis itu pada kenyataannya tidak hanya mendo- Beberapa pengarang yang telah tampil pada sebelum kemer-dekaan yang mempublikasikan karya-karyanya pada periode kemerdekaan, antara lain, Th. Surata, Hardjawiraga, Prijana Windoewinata, Soenarno Sisworahardjo, A. Saerozi, Senggono, dan Sri Hadidjojo. Di antara para pengarang itu yang paling produktif adalah Sri Hadidjojo karena hingga awal Orde Baru masih menulis dan menerbitkan novel. Realitas menunjukkan bahwa para pengarang angkatan tua lebih banyak menulis dan mempublikasikan novel dan cerbung daripada cerpen (cerkak) dan puisi (guritan). Hal tersebut terjadi karena mereka masih dipengaruhi oleh sikap dan keyakinan bahwa genre sastra yang berupa novel dianggap sebagai sarana pernyataan sastra yang paling represen- tatif; di samping karena pada masa itu majalah berbahasa Jawa belum leluasa berkembang. Sikap itulah yang "memaksa" para pengarang tua untuk tetap menulis novel meski pada masa kemerdekaan telah banyak majalah berbahasa Jawa yang menyediakan ruang publikasi untuk cerkak dan guritan. Terlebih lagi, pada awal 1960-an pers berbahasa Jawa menduduki posisi paling depan yang diwakili oleh Panjebar Semangat. Pada waktu itu Panjebar Semangat dicetak 80.000 eks per minggu, sementara harian berbahasa Indonesia hanya dicetak 20.000 eks dan majalahnya hanya sekitar 7.000 eks per minggu. Kondisi itulah yang menjadikan pertumbuhan cerpen dan puisi pada masa kemerdekaan didominasi oleh pengarang generasi perintis; dan sebagian dari generasi ini, Soebagijo I.N. dan Poerwadhie Atmodihardjo, telah menulis sejak sebelum kemerdekaan lewat Pandji Pustaka, Kajawen, dan Panjebar Sema- ngat . Namun, generasi perintis itu pada kenyataannya tidak hanya mendo-

Produktivitas pengarang generasi perintis (1950-an) lalu diteruskan oleh atau berjalan bersamaan dengan generasi penerus (awal 1960-an) baik dalam penulisan cerpen, puisi, maupun novel. Aktivitas mereka semakin berkembang karena pada waktu itu (1955) muncul “Sanggar Seniman” di Madiun yang dipimpin Sahid Langlang, di sam-ping sanggar “Puspita Mekar” yang dipimpin Tamsir A.S. di Tulung-agung. Beberapa anggota “Sanggar Seniman” seperti Susilomurti, Moeljono Saoedarmo, Rakhmadi Kustirin, Muryalelana, St. Iesmaniasita, Sukandar S.G., Purwadhie Atmodiharjo, dan Subagijo I.N. itulah yang kelak aktif pada masa Orde Baru. Pengarang yang pada masa Orde Lama paling produktif adalah Any Asmara karena ia telah menerbitkan tidak kurang dari 70 novel dan 750 cerpen, baik karangan sendiri maupun karya orang lain yang dibeli dan diterbitkan atas namanya sendiri. Sebagian besar karya Any Asmara berupa novel saku yang cenderung secorak; dan karya-karya itu merupakan roman moralistik yang dibumbui berbagai peristiwa sensasional atau sadistis. Novel-novel saku Any Asmara itulah yang ikut membangun suburnya roman panglipur wuyung sekitar tahun 1964--1966 (menjelang Orde Baru).

Kehadiran Any Asmara dibarengi oleh pengarang produktif lain dari generasi penerus, di antaranya Widi Widayat dan Sudharma K.D. Sejak akhir 1950-an hingga awal Orde Baru Widi Widayat telah menerbitkan sekitar 30 novel, sedangkan Sudharma K.D. menerbitkan sekitar 15 novel. Di samping menulis novel, dua pengarang tersebut juga banyak menulis cerpen. Namun, seperti halnya karya Any Asmara, sebagian karya Widi Widayat juga cende- rung mengorbankan isi dan kualitas; hal ini berbeda dengan karya-karya Sudharma K.D. seperti yang tampak dalam antologi Asmara ing Ballet Rama- yana (1960). Karena pertimbangan kualitas itu pula, Sudharma K.D. berhasil menjadi salah seorang di antara dua pengarang Jawa yang novelnya (Tanpa Daksa , 1977) diterbitkan oleh Pustaka Jaya.

Sementara itu, pada periode kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Lama, sulit dilacak siapa sebenarnya pengarang yang paling produktif menulis cerpen. Hal itu terjadi karena hampir semua novelis pada masa itu juga menulis cerpen; dan biasanya cerpen yang mereka tulis jauh lebih banyak dibandingkan novel. Dengan terbitnya Kemandhang (1958) susunan Senggono dapat diketahui bahwa beberapa cerpenis yang tampil pada masa itu adalah Argarini, Any Asmara, Basuki Rachmat, Dwiprasojo (Sudharma K.D.), Hadi

Kaswadhi, Liamsi (Ismail), Noegroho, Poerwadhie Atmodihardjo, Satim Kadaryono, Subagijo I.N., Soekandar S.G., Soemarno, dan St. Iesmaniasita. Walau demikian, beberapa di antara cerpenis ini kemudian tenggelam dan tinggal beberapa nama saja yang masih aktif. Bersamaan dengan aktivitas mereka muncul pula beberapa cerpenis baru, di antaranya Rakhmadi K., Tamsir A.S., Esmiet, Susilomurti, Anie Soemarno, Trim Sutedjo, Muryalelana, Lesmanadewa Purbakusuma, Hardjana H.P., Maryunani Purbaya, Is Jon, Herdian Sarjono, Widi Widayat, dan Suparto Brata. Seperti telah dikatakan, beberapa di antara cerpenis baru itu juga menulis novel (dan puisi).

Dinamika kepenyairan agaknya sedikit berbeda. Beberapa penyair produktif yang menulis sejak tahun 1940-an di antaranya Subagijo I.N. dan yang produktif pada tahun 1950 dan 1960-an di antaranya Moeljono Soedar- mo, St. Iesmaniasita, Rachmadi K., dan Kuslan Budiman. Karya-karya Suba- gijo I.N. banyak diterbitkan di Api Merdika, Panjebar Semangat, dan Jaya Baya ; karya Moeljono Soedarmo dan Rachmadi K. banyak terbit melalui Jaya Baya ; karya St. Iesmaniasita muncul dalam Panjebar Semangat dan Jaya Baya ; dan karya-karya Kuslan Budiman terbit dalam Jaya Baya dan Waspada. Sebagaimana diketahui bahwa di antara para penyair itu sebagian juga menulis cerpen dan novel. Hal ini membuktikan bahwa di dalam dunia kepengarangan sastra Jawa predikat pengarang sulit ditentukan: apakah ia seorang novelis, cerpenis, ataukah penyair. Kenyataan itu terjadi karena sebagian besar pengarang Jawa adalah sastrawan "serba bisa" karena selain menulis novel, mereka juga menulis cerpen (Any Asmara, Widi Widayat, Sudharma K.D., dll.), menulis puisi (Subagijo I.N., St. Iesmaniasita, dll.), bahkan juga menulis dongeng, cergam, esai, dan sebagainya. Akibat dari ke-"serbabisa"-annya itu, pengarang Jawa kemudian menggunakan nama samaran (sesinglon) agar pembaca tidak bosan; karena ada kecenderungan bahwa pembaca akan "ber- praduga tidak baik" jika melihat satu nama seolah-olah menguasai segalanya. Jika dikaitkan dengan kondisi sosial-politik tahun 1960-an (menjelang Orde Baru), arti nama samaran boleh jadi sangat penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Ditinjau dari jumlah karya yang diterbitkan, sesungguhnya sebagian besar pengarang Jawa sangatlah profesional, dan keprofesi-onalan mereka, seharusnya berpengaruh pada kemapanan status sosial-ekonomi mereka. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya karena lembaga pengayomnya (“pasar”) tidak mampu memberikan jaminan yang layak. Ketidakmampuan “pasar” memberikan jaminan yang layak bukanlah suatu kebetulan karena hampir seluruh sendi kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi Indonesia Ditinjau dari jumlah karya yang diterbitkan, sesungguhnya sebagian besar pengarang Jawa sangatlah profesional, dan keprofesi-onalan mereka, seharusnya berpengaruh pada kemapanan status sosial-ekonomi mereka. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya karena lembaga pengayomnya (“pasar”) tidak mampu memberikan jaminan yang layak. Ketidakmampuan “pasar” memberikan jaminan yang layak bukanlah suatu kebetulan karena hampir seluruh sendi kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi Indonesia

Kenyataan itulah yang pada akhirnya "memaksa" sebagian besar pengarang Jawa untuk melakukan kerja rangkap. Bahkan banyak di antara mereka yang cenderung berpindah-pindah pekerjaan. Mereka yang aktif di bidang penerbitan, pers, dan kewartawanan antara lain Hardja-wiraga (redak- tur Balai Pustaka), Senggono (guru, editor Balai Pustaka), Subagijo I.N. (redaktur Panjebar Semangat, Pustaka Roman, dan Kekasihku), Poerwadhie Atmodihardjo (redaktur Jaya Baya dan Crita Cekak), Imam Supardi (redaktur Panjebar Semangat ), Satim Kadaryono (redaktur Panjebar Semangat dan Jaya Baya ), dan Widi Widayat (wartawan Dwiwarna, Sin Po, Antara). Mereka yang merangkap jadi guru di antaranya Sudharma K.D., St. Iesmaniasita, Titik Sukarti (Arga-rini), Moeljono Saoedarmo, Rachmadi K., Tamsir A.S., Trim Sutejo, Muryalelana, dan Priyanggana. Mereka yang menjadi pegawai negeri atau karyawan dan pengusaha swasta adalah Soenarno Siswarahardjo (pegawai Kementerian Dalam Negeri), Suparto Brata (pegawai kantor telegraf), Any Asmara (direktur penerbit Dua A), Bambang Sujiman (pegawai Kementerian Penerangan), dan masih banyak lagi. Hanya saja, jika diperbandingkan, yang paling dominan (banyak) adalah pengarang yang merangkap sebagai guru dan wartawan.

Berkenaan dengan kerja rangkap tersebut, agaknya profesi yang dapat dijadikan sebagai sandaran hidup bukan profesi kepengarangannya, melainkan profesi yang lain. Hal ini terjadi karena dari segi ekonomi profesi lain lebih menguntungkan; mereka secara rutin menerima gaji tiap bulan sehingga hidupnya relatif terjamin. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan menulis sastra yang penuh ketidakpastian pemu-atan dan honornya. Bahkan, gaji tiap bulan yang diterima dari profesi lain sering lebih besar daripada honor cerbung yang dimuat selama tiga bulan seperti yang dialami oleh Widi Widayat ketika menjadi koresponden Sin Po tahun 1956. Dari Sin Po ia menerima gaji Rp500,00 tiap bulan, sementara dua belas nomor cerbungnya hanya dibayar Rp300,00. Atau, menurut Suparto Brata (1981), ketika novelnya Kaum Republik menjadi pemenang pertama dalam lomba mengarang majalah

Panjebar Semangat (1959), ia hanya menerima hadiah sebesar Rp1.000,00; jumlah itu tentu tidak jauh berbeda dengan gaji tiap bulan yang diterima dari kantor telegraf sebesar Rp600,00. Karena kenyataan demikian, wajar jika pengarang Jawa tidak bertahan pada sastra Jawa sehingga kerja kepenga- rangannya hanya merupakan profesi sampingan meskipun dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kalau di antara mereka ada yang berusaha bertahan pada sastra, umumnya mereka mengalihkan perhatiannya ke sastra Indonesia karena jaminan ekonomi dan juga khalayak pembacanya relatif lebih besar. Hal ini misalnya dilakukan oleh Widi Widayat yang hingga dekade terakhir ini masih aktif menulis di Suara Merdeka atau Suparto Brata yang menulis di Kartini, Sarinah, Jawa Pos, atau Kompas.

Dalam kaitan dengan status sosial-ekonomi agaknya Any Asmara merupakan satu-satunya pengarang yang perlu diberi perhatian khusus. Per- hatian perlu diberikan kepadanya bukan karena kualitas karya-karyanya, melainkan karena selain sebagai pengarang paling produktif, ia juga seorang pengusaha penerbitan yang "paling pintar" menangkap kehendak pasar. Melalui penerbit miliknya (Dua-A), ia telah menulis, membeli, memeriksa, menerbitkan, dan menjual sendiri karya-karyanya sehingga ia tidak mengalami hambatan dalam meraih pembacanya. Hal itu dilakukan karena ia secara psikologis melihat peluang bisnis yang sangat menjanjikan: di tengah krisis ekonomi yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin (1957--1965), yang ditandai oleh semakin mela-junya angka inflasi dan harga barang melambung tinggi; padahal jutaan rakyat telah memiliki kepandaian baca-tulis, ia mampu memproduksi barang dagangan (novel saku) yang harganya murah. Karena itu, wajar jika terbitannya laku keras di pasaran, bahkan ada yang dicetak ulang empat lima kali sehingga ia meraup keuntungan yang besar dan cukup untuk hidup pada waktu itu. Hanya sayangnya, kiprah Any Asmara tidak diikuti oleh pengarang-pengarang lain.

Demikian gambaran kondisi pengarang dan dinamika kepenga-rangan sastra Jawa modern pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1966. Dari gambaran demikian untuk sementara dapat dikatakan bahwa dari segi apa pun, dunia sastra Jawa modern pada masa itu tetap belum menjamin kehidupan yang layak bagi pengarang. Oleh sebab itu, sekian banyak karya sastra yang mereka tulis dan terbitkan tidak lebih hanya sebagai "bukti" kecintaan mereka terhadap salah satu bagian kebudayaan etnisnya; yang meskipun proses ker- janya mereka lakukan dengan sungguh-sungguh, hal itu ternyata tetap tidak mampu mengubah status sosial, ekonomi, dan profesionalisme mereka yang tidak pernah mendu-duki posisi penting dan utama. Hal ini barangkali tidak Demikian gambaran kondisi pengarang dan dinamika kepenga-rangan sastra Jawa modern pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1966. Dari gambaran demikian untuk sementara dapat dikatakan bahwa dari segi apa pun, dunia sastra Jawa modern pada masa itu tetap belum menjamin kehidupan yang layak bagi pengarang. Oleh sebab itu, sekian banyak karya sastra yang mereka tulis dan terbitkan tidak lebih hanya sebagai "bukti" kecintaan mereka terhadap salah satu bagian kebudayaan etnisnya; yang meskipun proses ker- janya mereka lakukan dengan sungguh-sungguh, hal itu ternyata tetap tidak mampu mengubah status sosial, ekonomi, dan profesionalisme mereka yang tidak pernah mendu-duki posisi penting dan utama. Hal ini barangkali tidak

III

Realitas menunjukkan bahwa keberadaan pengarang pada masa sesu- dah 1966 masih berkait erat dengan keberadaan pengarang pada masa sebelum 1966. Sebab, para pengarang yang telah aktif mengarang pada masa Orde Lama aktif pula mengarang pada masa Orde Baru. Any Asmara, misalnya, sebelum 1966 telah menerbitkan sekitar 70 novel/ cerbung dan 750 cerpen, dan produktivitasnya masih terus berlanjut hingga 1970-an. Pada masa sesudah tahun 1966 dari tangannya lahir sekitar 20 novel, baik diterbitkan oleh penerbit miliknya sendiri di Yogyakarta maupun oleh penerbit lain di Sura- baya dan Surakarta. Hanya saja, jika dibandingkan dengan karyanya pada sebelum 1966, corak karyanya yang kemudian tidak banyak mengalami perubahan (tetap bercirikan panglipur wuyung). Di samping Any Asmara, Widi Widajat juga termasuk pengarang yang tetap aktif pada masa sesudah 1966. Sebelum tahun 1966 ia telah menerbitkan sekitar 20 novel, dan sejak tahun 1966 hingga 1970-an ia menerbitkan sekitar 13 novel. Menurut beberapa sumber, hingga dekade 1980-an Widi Widajat telah mempu-blikasikan sekitar

70 novel/cerbung. Selain menulis novel, pada masa tersebut ia aktif pula menulis cerita berbahasa Indonesia, di antaranya berupa cerita silat di harian Suara Merdeka dan Surabaya Post. Selain itu, Soedharma K.D. termasuk juga pengarang yang aktif baik pada masa sebelum maupun sesudah 1966. Beberapa karyanya diterbitkan oleh Kondang (Semarang), Burung Wali, dan Firma Nasional (Sala). Sampai menjelang ajal akibat kecelakaan di daerah Wedi, Klaten, pada 2 Mei 1980, ia tetap aktif menulis crita cekak di berbagai majalah berbahasa Jawa.

Di samping tiga pengarang tersebut, Suparto Brata aktif pula berkarya pada masa sebelum dan sesudah peralihan kekuasaan (tahun 1966). Sebelum tahun 1966, ia telah menulis beberapa novel, yang sebagian berupa cerita detektif. Selain menulis novel/cerbung, ia juga menulis cerpen di majalah- majalah berbahasa Jawa. Bahkan, ia termasuk penulis cerpen yang andal. Hal itu terbukti, beberapa kali ia menjadi juara dalam sayembara penulisan cerpen. Dalam sayembara penulisan cerpen Jaya Baya tahun 1969, misalnya, Suparto

Brata menjadi peme-nang pertama berkat cerpennya “Jam Malam”. Selain menulis cerpen dan novel, ia juga menulis buku bacaan populer untuk per- guruan tinggi, yaitu Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa (1980/1981). Bahkan, Suparto Brata masih rajin menulis cerita berbahasa Indonesia yang dimuat dalam Kartini, Kompas, Sinar Harapan, Surabaya Post, Suara Karya, dan Suara Merdeka . Meski agak berbeda, St. Iesmaniasita termasuk pula sebagai pengarang yang aktif baik sebelum maupun sesudah tahun 1966.