Adapun menurut al- Mu‟jam al-Wasid kata dayn adalah adalah
utang yang bertempo sedangkan qardh utang yang tidak bertempo Al-
mu‟jam al-wasid, 2004: 307. Qardh kamu memberikan harta kepada orang lain dengan mengharapkan
pengembalian darinya. Qardhul Hasan berarti memberikan pinjaman tanpa keuntungan atau bunga, ini bisa digunakan
untuk yang abstrak baik yang menyangkut kebaikan atau keburukan Al-
Mu‟jam Al-Wasid, 2004: 307. Jadi baik kata dayn maupun kata qardh adalah kata yang bermakna utang yang
memiliki tempo dan tidak bertempo. Hutang secara terminologi adalah memberikan harta
kepada orang
yang akan
memanfaatkannya dan
mengembalikan ganti rugi dikemudian hari Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, 2009: 152. Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah,
hutang adalah
penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara
tunai atau cicilan dalam dalam jangka waktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
bersifat apikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah.
2. Dasar Hukum berutang
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang
atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya
terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan
disyariatkannya utang
piutang ialah
sebagaimana berikut ini: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa- Nya.”
Q.S. Al Maidah5: 2
126
Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam Esensi Utang dalam Konsep Ekonomi Islam
Ayat ini memerintahkan manusia agar saling tolong- menolong sesama manusia, hal ini dikarenakan manusia tidak
akan dapat hidup tanpa bantuan orang lain dan selalu membutuhkan orang lain. Niat tolong-menolong yang begitu
baik dan ikhlas terkadang akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari, Allah telah memberikan peringatan dalam
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, maka boleh seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, kecuali
jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu, dan bertakwalah kepada Allah;
127
BISNIS,
Vol. 4, No. 1, Juni 2016
Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini menjelaskan, bahwa dalam bertransaksi yang dilaksanakan idealnya harus tercatat agar ada pegangan
diantara pihak yang bertransaksi sebagai bukti etintik. Pada era sekarang ini, sering terjadi permasalahan dikarenakan tidak
ada bukti tertulis, sehingga pihak yang bertransaksi saling menyangkal, hal ini memungkinkan karena memiliki nilai yang
menguntungkan pada salah satu pihak sehingga ada pihak yang dirugikan.
3. Rukun dan syarat Utang