Tantangan masa depan perguruan tinggi pertanian dan pangan di Indonesia

Tantangan Masa Depan Perguruan Tinggi Pertanian dan Pangan di Indonesia

TANTANGAN MASA DEPAN
PERGURUAN TINGGI PERTANIAN DAN
PANGAN DI INDONESIA
Bayu Krisnamurthi
Kepala Pusat Studi Pembangunan-IPB
Kita sangat butuh daya kerjasama,
bukan hanya daya saing.

TANTANGAN DAN TUNTUTAN PERUBAHAN
PERGURUAN TINGGI
Pendidikan tinggi hakekatnya adalah sebuah proses merespon
dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia melalui
pengembangan kemampuan manusia itu dalam pemahamannya
terhadap moral dan nilai serta ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
pada tingkatan yang mencapai batas-batas pemahaman manusia itu
sendiri. Proses tersebut kemudian dikelola dan dijalankan dalam
suatu perguruan tinggi. Dengan demikian, perguruan tinggi akan
selalu ditantang untuk mampu merespon, baik secara substansi
maupun manajerial, perkembangan aktual yang terjadi di

masyarakat yang dilayaninya, sekaligus mampu mengantisipasi
perkembangan tersebut dimasa yang akan datang.
Dalam perspektif di atas, perguruan tinggi Indonesia saat ini
dan dimasa yang akan datang kian menghadapi berbagai tantangan
yang semakin besar. Tantangan-tantangan tersebut tidak perlu
dihindari atau dikhawatirkan, karena merupakan bagian dari proses
untuk mencapai kemajuan. Pengalaman masa lalu memang harus
dipelajari, namun hakekat pengembangan yang akan dilakukan pada
dasarnya adalah untuk mengantisipasi sekaligus untuk berusaha
mendapatkan masa depan yang lebih baik. Setidaknya dalam lima
tahun tahun

Departemen Teknologi Pangan dan Gizi-IPB

Rangkuman Hasil Diskusi Panel
“Kebijakan Pangan untuk Menangkal Jebakan Pangan (Food Trap)”
Jakarta 1 Nopember 2001

GEJALA KETER-JEBAKAN 17 PANGAN
Catatan Diskusi

Bayu Krisnamurti 18
Keter-jebakan pangan (food trap) dapat diartikan sebagai suatu proses
ketergantungan pada sutau jenis pangan yang tidak mampu dihasilkan sendiri.1
Proses terjadinya “keter-jebakan” pangan dapat dijelaskan secara sederhana.
Pertimbangan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan pangan ditentukan oleh
suatu proses dasar. Pemenuhan kebutuhan pangan yang dilakukan melalui
transaksi jual beli terjadi jika konsumen melakukan pembelian pangan yang
dalam prosesnya mempertimbangkan harga, ketersediaan dan pendapatan. Jika
terdapat alternatif beberapa pangan yang dapat dibeli maka proses pemilihan
diantara alternatif akan ditentukan oleh pertimbangan harga relatif dar
pertimbangan selera, kebiasaan, gengsi dan sebagainya yang dapat disebut
sebagai pertimbangan aspek non harga.
Aspek harga relatif dan aspek non harga merupakan aspek yang dapat
dipengaruhi untuk pada gilirannya mempengaruhi proses pengambilan
keputusan konsumsi. Misalnya, perusahaan mie instan dapat menerapkan
strategi menetapkan harga yang relatif murah untuk produk yang dipasarkannya.
Tingkat harga yang murah dan juga berbagai keunggulan lain (mudah, tahan
lama, selalu tersedia, keragaman produk, dll) akan menyebabkan konsumen
berminat untuk membeli. Jika proses tersebut berjalan terus dalam waktu yang
panjang (tentunya didukung oleh daya tahan perusahaan yang bersangkutan

untuk berusaha dengan margin yang ‘tipis’) maka sangat dimungkinkan aspek
non-harga (selera, kebiasaan, dll.) dari konsumen akan dipengaruhi. Jika hal
tersebut terjadi (aspek non harga sudah sangat mendukung) tidak tertutup
kemungkinan harga relatif akan dinaikkan. Kondisi sebaliknya adalah melalui
ikan dan promosi yang sangat mempengaruhi aspek non harga. Importir apel
mengembangkan strategi promosi yang sangat agresif sehingga dapat
menggambarkan bahwa apel mampu memberikan kepuasan karena sehat,
nikmat, bergengsi, dan dapat tersedia setiap saat. Untuk harapan kepuasan
tersebut konsumen bersedia membayar dengan harga relatif yang lebih mahal
dari buah lokal. Kedua hal diatas umumnya merupakan hasil dari strategi
pemasaran yang diterapkan seasra terencana, karena pada prinsipnya adalah
suatu keberhasilan bagi suatu kegiatan usaha jika pelanggan menjadi
“tergantung” pada produk yang dihasilkan. Bersangkutan.
Dengan ilustrasi tersebut dapat ditemukan hipotesa atas contoh beberapa
jenis pangan dengan kondisi dimana Indonesia telah mengalami indikasi “keterjebakan” pangan dan proses terjadinya kondisi yang harus dipertimbangkan dan
pemikiran awal untuk menghindari “keter-kebakan” lebih lanjut:
17

18


Digunakan istilah “keter-jebakan” dan bukan sekedar “jebakan” karena “food trap” merupakan
suatu proses yang berjalan relatif lambat, sering tidak disadari, tetapi sebenarnya hampir selalu
merupakan hal yang aktif dan dengan rencana yang matang. Sehingga yang terjadi adalah baru
pada kemudian hari kita sadar bahwa kita “terjebak”
Dr Bayu Krisnamurti adalah Kepala Pusat Studi Pembangunan, IPB

Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi-IPB 49

Rangkuman Hasil Diskusi Panel
“Kebijakan Pangan untuk Menangkal Jebakan Pangan (Food Trap)”
Jakarta 1 Nopember 2001

Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi-IPB 50

___Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia___

II
Penganekaragaman Pangan dan Politik Pangan
Indonesia
Dr. Bayu Krisnamurthi ∗


Pengantar
Pangan merupakan kebutuhan pokok terpenting bagi kehidupan manusia, setelah
udara dan air. Tanpa pangan manusia tidak dapat hidup, bahkan tanpa pangan yang baik
manusia tidak dapat hidup layak. Oleh karenanya, pemenuhan kebutuhan pangan
merupakan hak azasi untuk setiap manusia, yang harus dihormati dan mendapat
kesempatan untuk diwujudkan. Disamping itu, dalam berbagai tatanan
sosial-ekonomi-kultural bahkan religius, memastikan bahwa manusia mampu memenuhi
kebutuhan pangannya juga merupakan kewajiban azasi, baik bagi individu manusia
sebagai anggota masyarakat maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini seharusnya menjadi dasar berpikir - dan bersikap - dalam setiap diskusi
mengenai pangan. Pangan tidak dapat hanya dipandang sebagai ‘komoditi’ atau sebuah
aktivitas mata pencaharian. Pangan harus dilihat sebagai salah satu esensi kehidupan
manusia.

Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan didefinisikan sebagai “usaha mewujudkan ketersediaan
pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang
layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu”,
(Undang-undang nomor 7, tahun 1996 tentang Pangan). Definisi ini mengandung

empat unsur penting yaitu: (i) ketersediaan, (ii) (jenis) mutu dan gizi yang layak, (iii)
keamanan; dan (iv) keterjangkauan pangan.
Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan setiap waktu merupakan
dimensi pertama ketahanan pangan. Pencapaiannya harus memperhatikan aspek
produksi pangan, pengaturan dan pengelolaan stok atau cadangan pangan, serta
penyediaan dan pengadaan pangan yang mencukupi.
Ketahanan pangan juga harus menjaga mutu dan gizi yang baik untuk
dikonsumsi oleh publik. Mutu dan gizi yang baik dihasilkan dari pangan yang beragam,
bergizi dan bermutu baik dan mermartabat untuk dikonsumsi. Kemartabatan pangan
untuk dikonsumsi seringkali terlupakan atau tidak banyak diketahui, sehingga sering
terjadi keterbalikan pendapat umum mengenai pangan yang bermartabat dan layak
untuk dikonsumsi. Pangan yang sering dikonsumsi dan diimpor dari negara industri
umumnya dianggap makanan yang mahal dan bergengsi, dan sebaliknya makanan
tradisional/indigenus sering diabaikan dan dianggap interior.


Dr. Bayu Krisnamurthi adalah Kepala Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor dan
anggota pengurus Forum Kerjna Penganekaragaman Pangan.

25