Penampilan Agronomi dan Toleransi Cekaman Abiotik Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera

PENAMPILAN AGRONOMI DAN TOLERANSI CEKAMAN
ABIOTIK GALUR DIHAPLOID PADI GOGO
HASIL KULTUR ANTERA

KARTIKA KIRANA SANGGA MARA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

RINGKASAN
KARTIKA KIRANA SANGGA MARA. Penampilan Agronomi dan Toleransi
Cekaman Abiotik Galur Dihaploid Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Dibimbing
oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua dan EKO SULISTYONO
sebagai anggota komisi pembimbing.
Padi gogo ialah penghasil beras alternatif selain padi sawah. Produksi beras
yang dihasilkan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 1.81 juta ton
(2.62 persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi pada tahun
2013 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 0.87 juta ton dan di luar Jawa
sebesar 0.94 juta ton. Namun ketersediaannya yang kontinu dari tahun ke tahun

tidak terjamin akibat semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim
saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan budidaya padi gogo saat ini dialihkan ke
lahan marjinal. Kondisi lahan marjinal ini berupa rendahnya intensitas cahaya
(naungan), kandungan aluminium yang tinggi dan ancaman kekeringan yang
dapat dialami tanaman secara tunggal maupun ganda. Oleh karena itu dibutuhkan
galur/varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik. Upaya yang efektif untuk
mendapatkan galur/varietas tersebut adalah dengan menggabungkan teknik
pemuliaan konvensional dan non konvensional, yaitu teknik kultur antera. Galurgalur padi gogo hasil kultur antera yang digunakan dalam penelitian ini adalah
galur III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW-56,
B13-2-e. Dua varietas yaitu Batutegi dan Way Rarem digunakan sebagai kontrol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan agronomi dan
toleransi terhadap cekaman naungan, kekeringan dan aluminium pada galur-galur
padi gogo hasil kultur antera dibanding varietas pembandingnya. Ada empat
percobaan yang dilakukan, yaitu penampilan agronomi, uji toleransi naungan
berdasarkan metode Sasmita (2006), uji toleransi kekeringan berdasarkan metode
Balitpa (2009) dan klasifikasi berdasarkan Sistem Evaluasi Standard pada Padi,
IRRI (1996), dan uji toleransi aluminium berdasarkan metode Bakhtiar (2007)
yang telah dimodifikasi dan klasifikasi toleransi berdasarkan Balitpa (2009).
Hasil penelitian ini adalah galur B13-2-e (4.64 ton ha-1) dan WI 44
(4.05 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling tertinggi setelah varietas

Way Rarem (4.95 ton ha-1), sedangkan galur III3-4-6-1 (2.49 ton ha-1) mempunyai
bobot gabah kering giling terendah. Galur I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56,
B13-2-e toleran terhadap naungan, galur O18-b-1 toleran terhadap kekeringan,
galur O18-b-1 dan III3-4-6-1 agak toleran terhadap cekaman aluminium.
Berdasarkan hasil penelitian ini, galur I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e mempunyai
potensi hasil yang tergolong tinggi dan dapat digunakan sebagai tanaman sela di
lahan yang ternaungi. Galur O18-b-1 dapat digunakan sebagai tanaman sela di
lahan dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan di lahan bawah tegakan,
walaupun potensi hasilnya tergolong rendah.
Kata kunci: deteksi dini, naungan, toleransi cekaman aluminium, toleransi
kekeringan, tumpang sari.

SUMMARY
KARTIKA KIRANA SANGGA MARA. Agronomic Performance and Abiotic
Stress Tolerance of Upland Rice Dihaploid Lines Obtained from Anther Culture.
Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman and EKO
SULISTYONO as member of the advisory committee.
Upland rice is used as an alternative for rice production to lowland rice. The
rice production in 2013 increased 1.81 million tons (2.62 persen) compared to
production in 2012. The increased was estimated 0.87 million tons from Java and

0.94 million tons from out of the Java. The continous production were not secured
due to limited fertile land and the current climate change conditions. That caused
the shifting of upland rice cultivation to marginal land. The shifting of upland rice
cultivation to marginal land faces shading/low light intensity as well as high
acidity and drought condition. There should be line/variety with good agronomic
characters and tolerant to the stresses both single or multiple.
One of the procedure to accelerate the obtainment of the line/varieties is
anther culture. A combination of conventional and non conventional breeding
method can be used. Lines used in this experiment were obtained from anther
culture, i.e. III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38,
IW-56, B13-2-e. Two varieties were used as checks namely Batutegi and Way
Rarem. The objective of this research were to evaluate agronomic performance
and tolerance of upland rice lines to abiotic stresses as compared to the control
varieties. Four experiments were conducted: agronomy performance experiment,
shade tolerance evaluation using Sasmita method (2006), drought tolerance
evaluation using Balitpa method (2009) and classification by Standard Evaluation
System of Rice, IRRI (1996), and aluminum tolerance evaluation using modified
method of Bakhtiar (2007) and classification by Balitpa (2009).
The results of experiment indicated that B13-2-e (4.64 tons ha-1) and WI 44
lines (4.05 tons ha-1) showed high grain yield and the same as that of Way Rarem

(4.95 tons ha-1), however III3-4-6-1 line (2.49 tons ha-1) showed low grain yield.
I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56, B13-2-e lines were tolerant to shade stress,
O18-b-1 was tolerant to drought, and O18-b-1 and III3-4-6-1 lines were moderate
tolerant to aluminum stress. Based on this research, I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e
lines has high yield potential and it can be used as mutiple crop plant on shaded
soil. O18-b-1 line can be used as intercrop plant on Yellow Red Podzolic and soil
under estate crops, although it had low yield potential.
Key words: aluminum tolerance, drought tolerance, early detection, intercroping,
shade.

PENAMPILAN AGRONOMI DAN TOLERANSI CEKAMAN
ABIOTIK GALUR DIHAPLOID PADI GOGO
HASIL KULTUR ANTERA

KARTIKA KIRANA SANGGA MARA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penampilan Agronomi dan
Toleransi Cekaman Abiotik Galur Dihaploid Padi Gogo Hasil Kultur Antera
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Kartika Kirana Sangga Mara
NIM A252100101

RINGKASAN
KARTIKA KIRANA SANGGA MARA. Penampilan Agronomi dan Toleransi
Cekaman Abiotik Galur Dihaploid Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Dibimbing
oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua dan EKO SULISTYONO

sebagai anggota komisi pembimbing.
Padi gogo ialah penghasil beras alternatif selain padi sawah. Produksi beras
yang dihasilkan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 1.81 juta ton
(2.62 persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi pada tahun
2013 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 0.87 juta ton dan di luar Jawa
sebesar 0.94 juta ton. Namun ketersediaannya yang kontinu dari tahun ke tahun
tidak terjamin akibat semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim
saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan budidaya padi gogo saat ini dialihkan ke
lahan marjinal. Kondisi lahan marjinal ini berupa rendahnya intensitas cahaya
(naungan), kandungan aluminium yang tinggi dan ancaman kekeringan yang
dapat dialami tanaman secara tunggal maupun ganda. Oleh karena itu dibutuhkan
galur/varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik. Upaya yang efektif untuk
mendapatkan galur/varietas tersebut adalah dengan menggabungkan teknik
pemuliaan konvensional dan non konvensional, yaitu teknik kultur antera. Galurgalur padi gogo hasil kultur antera yang digunakan dalam penelitian ini adalah
galur III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW-56,
B13-2-e. Dua varietas yaitu Batutegi dan Way Rarem digunakan sebagai kontrol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan agronomi dan
toleransi terhadap cekaman naungan, kekeringan dan aluminium pada galur-galur
padi gogo hasil kultur antera dibanding varietas pembandingnya. Ada empat
percobaan yang dilakukan, yaitu penampilan agronomi, uji toleransi naungan

berdasarkan metode Sasmita (2006), uji toleransi kekeringan berdasarkan metode
Balitpa (2009) dan klasifikasi berdasarkan Sistem Evaluasi Standard pada Padi,
IRRI (1996), dan uji toleransi aluminium berdasarkan metode Bakhtiar (2007)
yang telah dimodifikasi dan klasifikasi toleransi berdasarkan Balitpa (2009).
Hasil penelitian ini adalah galur B13-2-e (4.64 ton ha-1) dan WI 44
(4.05 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling tertinggi setelah varietas
Way Rarem (4.95 ton ha-1), sedangkan galur III3-4-6-1 (2.49 ton ha-1) mempunyai
bobot gabah kering giling terendah. Galur I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56,
B13-2-e toleran terhadap naungan, galur O18-b-1 toleran terhadap kekeringan,
galur O18-b-1 dan III3-4-6-1 agak toleran terhadap cekaman aluminium.
Berdasarkan hasil penelitian ini, galur I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e mempunyai
potensi hasil yang tergolong tinggi dan dapat digunakan sebagai tanaman sela di
lahan yang ternaungi. Galur O18-b-1 dapat digunakan sebagai tanaman sela di
lahan dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan di lahan bawah tegakan,
walaupun potensi hasilnya tergolong rendah.
Kata kunci: deteksi dini, naungan, toleransi cekaman aluminium, toleransi
kekeringan, tumpang sari.

SUMMARY
KARTIKA KIRANA SANGGA MARA. Agronomic Performance and Abiotic

Stress Tolerance of Upland Rice Dihaploid Lines Obtained from Anther Culture.
Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman and EKO
SULISTYONO as member of the advisory committee.
Upland rice is used as an alternative for rice production to lowland rice. The
rice production in 2013 increased 1.81 million tons (2.62 persen) compared to
production in 2012. The increased was estimated 0.87 million tons from Java and
0.94 million tons from out of the Java. The continous production were not secured
due to limited fertile land and the current climate change conditions. That caused
the shifting of upland rice cultivation to marginal land. The shifting of upland rice
cultivation to marginal land faces shading/low light intensity as well as high
acidity and drought condition. There should be line/variety with good agronomic
characters and tolerant to the stresses both single or multiple.
One of the procedure to accelerate the obtainment of the line/varieties is
anther culture. A combination of conventional and non conventional breeding
method can be used. Lines used in this experiment were obtained from anther
culture, i.e. III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38,
IW-56, B13-2-e. Two varieties were used as checks namely Batutegi and Way
Rarem. The objective of this research were to evaluate agronomic performance
and tolerance of upland rice lines to abiotic stresses as compared to the control
varieties. Four experiments were conducted: agronomy performance experiment,

shade tolerance evaluation using Sasmita method (2006), drought tolerance
evaluation using Balitpa method (2009) and classification by Standard Evaluation
System of Rice, IRRI (1996), and aluminum tolerance evaluation using modified
method of Bakhtiar (2007) and classification by Balitpa (2009).
The results of experiment indicated that B13-2-e (4.64 tons ha-1) and WI 44
lines (4.05 tons ha-1) showed high grain yield and the same as that of Way Rarem
(4.95 tons ha-1), however III3-4-6-1 line (2.49 tons ha-1) showed low grain yield.
I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56, B13-2-e lines were tolerant to shade stress,
O18-b-1 was tolerant to drought, and O18-b-1 and III3-4-6-1 lines were moderate
tolerant to aluminum stress. Based on this research, I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e
lines has high yield potential and it can be used as mutiple crop plant on shaded
soil. O18-b-1 line can be used as intercrop plant on Yellow Red Podzolic and soil
under estate crops, although it had low yield potential.
Key words: aluminum tolerance, drought tolerance, early detection, intercroping,
shade.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik , atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENAMPILAN AGRONOMI DAN TOLERANSI CEKAMAN
ABIOTIK GALUR DIHAPLOID PADI GOGO
HASIL KULTUR ANTERA

KARTIKA KIRANA SANGGA MARA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Dosen Penguji Luar Komisi: Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr

PENGESAHAN
Judul Tesis

: Penampilan Agronomi dan Toleransi Cekaman Abiotik Galur
Padi Gogo Hasil Kultur Antera

Nama

: Kartika Kirana Sangga Mara

NIM

: A252100101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bambang S. Purwoko, MSc
Ketua

Dr Ir Eko Sulistyono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi
dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Maya Melati, MS MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 13 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya
sehingga tesis ini telah diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW. Tesis ini berjudul Penampilan Agronomi dan Toleransi
Cekaman Abiotik Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Penelitian ini dilakukan
di Bogor sejak bulan Desember 2011 sampai bulan April 2013. Penelitian ini
merupakan penelitian yang didanai IMHERE IPB. Penelitian ini bertujuan
mengetahui penampilan agronomi dan toleransi sepuluh galur padi gogo hasil
kultur antera terhadap cekaman abiotik naungan, kekeringan dan cekaman
aluminium dibandingkan dengan varietas pembandingnya dengan melakukan uji
cepat pada fase bibit. Harapan di masa depan, para petani Indonesia dapat
memproduksi padi dengan optimal dan berkelanjutan walaupun menghadapi
tantangan kondisi lahan yang tidak ideal (marjinal) seperti ternaungi, ancaman
kekeringan dan kandungan aluminium tinggi (pH rendah).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Bambang Sapta
Purwoko, MSc dan Dr Ir Eko Sulistyono, MSi selaku pembimbing dan Dr Ir
Iswari Saraswati Dewi yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr dan Dr Ir
Maya Melati, MS MSc sebagai dosen penguji. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ir. Erwina Lubis atas sarannya beserta seluruh staf rumah kaca Kebun
Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor. Penulis
menyampaikan terima kasih dan menyampaikan penghargaan kepada Kepala
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetika Pertanian Cimanggu, Bogor dan Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi – Kebun Percobaan Muara, Bogor atas diizinkannya penelitian ini
dilaksanakan di lingkungan balai. Penulis mengucapkan terima kasih atas
pendanaan penelitian IMHERE IPB sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Terima kasih kepada para pelaksana teknis di lapangan di Kebun Percobaan IPB
di Cikarawang, seluruh staf di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian Cimanggu,
Bogor atas bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih juga disampaikan kepada
suami, papa, mama, anak, kedua saudara, adik-adik kelas Fakultas Pertanian IPB
dan rekan-rekan satu angkatan Program Studi Agronomi dan Hortikultura tahun
2010 serta rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana IPB pengurus HIMMPAS atas
bantuan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Kartika Kirana Sangga Mara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis

1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Kultur Antera
Potensi Lahan
Adaptasi Tanaman terhadap Naungan
Adaptasi Tanaman terhadap Kekeringan
Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium

3
3
5
6
8
9
10

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Metode
1. Penampilan Agronomi
2. Toleransi Naungan
3. Toleransi Cekaman Kekeringan
4. Toleransi Cekaman Aluminium

11
11
11
12
12
13
15
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penampilan Agronomi
2. Toleransi Naungan
3. Toleransi Cekaman Kekeringan
4. Toleransi Cekaman Aluminium

18
18
23
26
30

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

37
37
37

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

44

RIWAYAT HIDUP

49

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

19.

20.

Klasifikasi toleransi galur padi gogo terhadap intensitas cahaya
rendah berdasarkan uji cepat fase bibit (Sasmita 2006)
15
Penilaian daya toleransi kekeringan dan persentase daya tumbuh
kembali menurut Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996)
16
Pengelompokan toleransi padi gogo terhadap cekaman aluminium
berdasarkan Balitpa (2009)
18
Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur padi gogo hasil
kultur antera
19
Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif galur-galur padi gogo
hasil kultur antera
19
Umur berbunga dan umur panen galur-galur padi gogo hasil
kultur antera
20
Panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai,
dan jumlah gabah total/malai galur-galur padi gogo hasil kultur antera 20
Persentase gabah isi, persentase gabah hampa dan kepadatan malai
galur-galur padi gogo hasil kultur antera
21
Bobot 1000 butir, bobot gabah per plot dan bobot gabah kering
giling galur-galur padi gogo hasil kultur antera
22
Persentase tanaman hidup di ruang gelap selama 7 hari berdasarkan
uji cepat fase bibit
23
Skor kerusakan bibit di ruang gelap selama 7 hari berdasarkan uji
cepat fase bibit
24
Hasil uji cepat fase bibit galur-galur padi gogo hasil kultur antera
terhadap naungan
25
Skor toleransi kekeringan (20 hari setelah tanam) berdasarkan
Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996)
27
Kadar air tanah saat skoring toleransi kekeringan (24 hari setelah
tanam)
27
Persentase daya tumbuh kembali (30 hari setelah tanam) berdasarkan
Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996)
28
Pengelompokan galur-galur hasil kultur antera berdasarkan toleransi
kekeringan dan daya tumbuh kembali
29
Hasil sidik ragam peubah-peubah yang diamati dalam uji cekaman
aluminium pada bibit umur 14 hari di dalam media hara
30
Pengaruh interaksi galur dan pemberian Al terhadap tinggi tanaman
(cm) dan panjang akar bibit (cm) umur 14 hari dalam media hara
pada 0 ppm dan 60 ppm Al
31
Panjang akar relatif bibit umur 14 hari dalam media hara dan
pengelompokan toleransi galur-galur padi gogo hasil kultur antera
dalam uji cekaman aluminium
32
Rekapitulasi bobot gabah kering giling dan hasil uji cekaman abiotik
pada galur-galur padi gogo hasil kultur antera
34

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Skoring naungan
Skoring daya toleransi kekeringan
Kondisi tanaman pada hari ke-13 gelap
Panjang akar bibit 14 hari dalam media hara dengan 0 dan
60 ppm aluminium
5. Kondisi bibit IR60080-23 (toleran aluminium) dan ITA131 (peka
aluminium) dengan pemberian 0 ppm dan 60 ppm aluminium

14
16
25
33
33

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Deskripsi Varietas Batutegi
Deskripsi Varietas Way Rarem
Asal persilangan galur-galur yang digunakan
Deskripsi Varietas Kalimutu
Deskripsi Varietas Jatiluhur

44
45
46
47
48

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Padi gogo adalah penghasil beras yang banyak dibudidayakan di Indoensia
setelah padi sawah. Produksi beras yang dihasilkan pada tahun 2013sebesar 70.87
juta ton gabah kering giling, mengalami peningkatan sebanyak 1.81 juta ton (2.62
persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi pada tahun 2013
tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 0.87 juta ton dan di luar Jawa sebesar
0.94 juta ton. Peningkatan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas
panen seluas 324.39 ribu hektar (2.41 persen) dan produktivitas sebesar 0.10
kuintal/hektar (0.19 persen) (BPS 2013). Menurut Menteri Pertanian produksi
gabah kering giling tahun 2013 sekitar 70 juta ton atau setara 40 juta ton beras dan
kebutuhan beras nasional sebanyak 33-34 juta ton, sehingga terdapat surplus 6-7
juta ton (Suhendra 2013). Namun ketersediaannya yang kontinudari tahun ke
tahun tidak dapat terjamin akibat semakin sempitnya lahan subur dan kondisi
perubahan iklim saat ini.
Semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim saat ini
menyebabkan budidaya padi gogo saat ini dialihkan ke lahan marjinal.Budidaya
padi gogo biasanya dilakukan di daerah datar/bantaran sungai, kawasan
perbukitan daerah aliran sungai dan sebagai tanaman sela di perkebunan dan di
hutan tanaman industri muda (Toha 2005; Nazirah 2008). Sebagai tanaman yang
hasilnya dikonsumsi sendiri, petani biasanya memanfaatkan lahan kering yang ada
tanpa mengelola dan memelihara lahan dengan baik. Kondisi ini mendorong
penggunaan pola tanam tumpangsari dengan tanaman semusim (jagung, kacangkacangan, ubi kayu) dan tahunan (jati, karet, kelapa) untuk mendapatkan hasil
yang lebih menguntungkan dan stabil bagi petani dan sebagai tindakan konservasi
tanah.
Kondisi ini juga didorong oleh kondisi seperti pada tahun 2009-2010, yaitu
budidaya padi sawah mengalami pengurangan luas panen sebesar 60 652 ha di
Pulau Jawa dan di luar Jawa terjadi penambahan 16 366 ha akibat tidak ada lagi
potensi perluasan sawah dan alih fungsi lahan yang tidak dapat dikendalikan
(Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, 2010). Konversi lahan dan degradasi lahan
menyebabkan ketersediaan lahan pertanian makin terbatas (Djaenudin 2008).
Sebagai tanaman penghasil beras alternatif, kondisi ini menunjukkan bahwa
dibutuhkan budidaya padi gogo yang optimal untuk mengganti kehilangan hasil
gabah dari lahan sawah khususnya di luar Jawa dan merupakan upaya
peningkatanketahanan pangan.Kondisi lahan di luar Jawa umumnya berupa lahan
kering dengan intensitas curah hujan yang rendah dan didominasi jenis tanah
Podzolik Merah Kuning (PMK). Tahun 2012, luas lahan kering di Pulau Jawa 3
823 334 ha dan di luar Pulau Jawa 31 047 088 ha (Kementan 2014a).
Kondisi lahan marjinal tersebut mempunyai kendala utama yaitu intensitas
cahaya rendah (naungan) terutama di bawah tegakan perkebunan/hutan tanaman
industri selain kemasaman tanah yang tinggi (Sopandie dan Trikoesoemaningtyas
2011; Barus 2013) dan ancaman kekeringan(Sopandie dan Trikoesoemaningtyas
2011) sebagai dampak perubahan iklim yang menyebabkan periode musim hujan
dan musim kemarau tidak dapat lagi diramalkan secara pasti (Budiastuti 2009).

2

Kendala lain yaitu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya
penyakit blas (Pyricularia grisea).
Naungan akan menurunkan aktivitas fotosintesis yang akan mengakibatkan
penurunan fotosintat. Karakter padi gogo toleran naungan mempunyai
kemampuan meningkatkan luas area penangkapan cahaya dan meningkatkan
tinggi tanaman sehingga fotosintesis relatif optimum (Sasmita 2006). Kondisi
naungan akan mempengaruhi mekanisme fisiologi di dalam jaringan seperti
penurunan aktivitas enzim Rubisco, nisbah klorofil a/b dan aktivitas enzim SPS
(sucrose phosphate synthase) (Lautt et al. 2000; Sopandie et al. 2003a).
Cekaman kekeringan akan menghasilkan penurunan bobot gabah/rumpun,
peningkatan akumulasi prolin (Lestari 2006; Mostajeran dan Rahimi-Eichi 2009),
penurunan kandungan klorofil total (Lestari 2006), peningkatan kandungan gula
terlarut di daun (Mostajeran dan Rahimi-Eichi 2009). Menurut Boonjung dan
Fukai (1996) efek cekaman air terhadap hasil paling berat ketika kekeringan
terjadi saat perkembangan malai yaitu antesis tertunda, jumlah gabah per malai
berkurang sampai 60% pada sawah irigasi (kontrol) dan persentase gabah isi
berkurang sampai nol dalam satu rumpun. Penurunan hasil gabah 20% lebih
rendah dari kontrol disebabkan oleh produksi bahan kering yang rendah saat
periode kekeringandan periode pemulihan. Ketika kemarau terjadi pada saat
pengisian gabah, persentase gabah isi berkurang 40% dan bobot individu gabah
menurun 20%.
Pengaruh cekaman aluminium pada tanaman terlihat pada pertumbuhan akar
yang terhambat (Bakhtiar et al. 2009). Cekaman aluminium (Al) menyebabkan
gangguan mitosis pada jaringan meristem akar sehingga akar tidak berkembang
normal, terlihat tebal dan pendek, serta perpanjangan akar terhambat (Marschner
1995). Al yang diserap akar akan menghambat penyerapan unsur hara yang lain
terutama unsur P dan K. Cekaman aluminium dapat menyebabkan serapan P
jaringan sangat rendah sedangkan serapan N dan K jaringan rendah. Tanaman
toleran aluminium mempunyai kemampuan efisien dalam menyerap dan
menggunakan N (Jagau 2000), P (Swasti 2004), dan K (Trikoesoemaningtyas
2002).
Baik cekaman tunggal maupun ganda yang dialami tanaman akan
menurunkan produktivitas hasil padi gogo. Salah satu upaya yang efektif untuk
mengatasi kendala ini adalah dengan memperbaiki adaptasi tanaman padi gogo
terhadap cekaman-cekaman tersebut. Informasi mekanisme adaptasi tanaman
secara fisiologis yang telah didapatkan digunakan dalam program perakitan
varietas yang diinginkan.
Salah satu teknik pemuliaan dan bioteknologi tanaman yang digunakan
untuk mendapatkan varietas dengan karakter yang diinginkan dalam waktu yang
relatif singkat dan lebih hemat dalam biaya dan tenaga adalah teknik kultur antera
(Dewi dan Purwoko 2012). Teknik ini merupakan teknik kultur in vitro melalui
proses androgenesis untuk mendapatkan tanaman dihaploid yang homozigos
penuh dan seperti tanaman diploid biasa yang fertil (Dewi dan Purwoko 2011).
Teknik ini menghasilkan generasi tanaman dihaploid pertama (DH0) dalam waktu
kurang dari satu tahun dan karakter agronominya dapat segera dievaluasi pada
generasi DH1 dan DH2 (Dewi dan Purwoko 2001).
Penelitian mengenai perakitan varietas baru dengan menggunakan teknik
kultur antera tahun 2002-2010 menghasilkan beberapa galur yaitu IW-67, IG-19,

3

IG-38,IW-56, WI-44, GI-7 (Sasmita 2006) yang galur IG-19 dan IW-56 konsisten
toleran terhadap naungan alami dan cukup adaptif terhadap kondisi tumpang sari
dengan jagung (Sasmita et al. 2006), O18-b-1 dan B13-2-e toleran aluminium
(Purwoko et al. 2010), III3-4-6-1 dan I5-10-1-1 toleran aluminium (Herawati et
al. 2008). Set galur tersebut telah diuji di delapan lokasi di Indonesia (Sulaeman
et al. 2011). Galur-galur tersebut sudah dikarakterisasi namunperlu diuji
penampilan agronomi dan toleransinya terhadap cekaman abiotik. Sifat toleransi
terhadap jenis kondisi lingkungan abiotik tertentu yang dimiliki galur tersebut
belum diketahui secara pasti. Sebuah galur dapat memiliki sifat toleransi tunggal
ataupun ganda. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan menambah informasi
tentang sifat khusus galur yang akan dilepas sebagai varietas.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui penampilan agronomi galur-galur dihaploid padi gogo
dibandingkan varietas pembandingnya di lingkungan yang optimum.
2. Menguji toleransi cekaman naungan, kekeringan dan aluminium galur-galur
dihaploid padi gogo dibandingkan varietas pembanding peka dan pembanding
toleran dari masing-masing jenis cekaman dengan uji cepat fase bibit

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan yaitu:
1. Terdapat galuryang mempunyai penampilan agronomi (komponen hasil dan
hasil) yang lebih baik dari varietas pembanding.
2. Terdapat galur toleran naungan dan/atau cekaman kekeringan dan/atau
cekaman aluminium dibandingkan varietas pembanding toleran dari masingmasing jenis cekaman.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman
Padi gogo termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,subdivisi
Angiospermae,kelas Monocotyledonae,famili Gramineae (Poaceae), genus Oryza
Linn, spesies Oryza sativa L.Genus Oryza yang dibudidayakan adalah Oryza
sativa L. di Asia dan Oryza glaberrima di Afrika yang berasal dari leluhur yang
sama Oryza perennis Moench. Oryza sativa L berkembang menjadi tiga ras
ekogeografik yaitu sinica/japonica, indica dan javanica (De Datta 1981;
Manurung dan Ismunadji 1986).
Pertumbuhan padi terdiri atas tiga fase, fase vegetatif, fase reproduktif dan
fase pemasakan. Fase vegetatif dimulai sejak berkecambah sampai inisiasi

4

primordia malai. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai
berbunga. Fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen (De Datta
1981; Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a). Varietas
berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropis, fase vegetatifnya memerlukan
waktu 60 hari, fase reproduktif 30 hari dan fase pemasakan 30 hari (Manurung
dan Ismunadji 1988).
Fase vegetatif merupakan fase yang menyebabkan perbedaan umur panen,
sebab lama fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan
lingkungan. Fase vegetatif ditunjukkan dengan jumlah anakan bertambah dengan
cepat, tanaman semakin tinggi, daun tumbuh secara regular. Anakan yang tumbuh
terdiri atas anakan produktif (menghasilkan malai) dan anakan tidak produktif
(tidak menghasilkan malai lalu mati) (Manurung dan Ismunadji 1988, Makarim
dan Suhartatik 2009a). Menurut De Datta (1981) di negara tropis, daun pertama
biasanya muncul tiga hari setelah disebar dan fase bibit termasuk dalam waktu
dari munculnya sampai sesaat sebelum kemunculan anakan pertama.
Fase reproduktif ditandai dengan pemanjangan beberapa ruas teratas pada
batang, berkurangnya laju penambahan jumlah anakan, munculnya daun bendera,
bunting dan pembungaan. Pembungaan adalah stadia keluarnya malai, sedangkan
anthesis segera mulai setelah pembungaan (heading). Pembungaan ini
memerlukan waktu 10-14 hari. Fase pembungaan adalah saat 50% bunga telah
muncul pada pertanaman padi. Antesis memerlukan waktu 7-10 hari.
Pertumbuhan mencapai maksimal pada saat sebelum bunga keluar dari pelepah
daun. Fase pemasakan terdiri atas masak susu, menguning dan masak panen. Fase
ini memerlukan waktu sekitar 30 hari dan ditandai dengan penuaan daun. Fase ini
sangat dipengaruhi suhu (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik
2009a).
Gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam. Biji disebut karyopsis
yang terdiri atas embrio dan endosperma yang diselimuti oleh lapisan aleuron,
kemudian tegmen dan lapisan terluar yang disebut perikarp. Bobot gabah beragam
dari 12-44 mg pada kadar air 0%, sedangkan bobot sekam rata-rata adalah 20%
bobot gabah. Umumnya jenis indica memiliki dormansi selama beberapa minggu
dan sifat ini sesuai untuk daerah tropik karena suhu dan kelembaban sangat sesuai
untuk perkecambahan (Makarim dan Suhartatik 2009a).
Menurut De Datta (1981) akar padi berupa akar serabut yang terdiri atas
akar seminal dan akar adventif sekunder. Menurut Makarim dan Suhartatik
(2009a) akar padi berupa akar serabut yang terdiri atas akar primer dan akar
sekunder. Apabila terjadi gangguan fisik terhadap akar primer, maka pertumbuhan
akar-akar seminal lainnya akar dipercepat. Akar-akar seminal selanjutnya akan
digantikan oleh akar-akar sekunder yang tumbuh dari buku terbawah batang.
Akar-akar ini disebut adventif atau akar-akar buku karena tumbuh dari bagian
tanaman yang bukan embrio atau munculnya bukan dari akar yang telah tumbuh
sebelumnya. Perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya N, yaitu
kadar N lebih dari 1% pada batang. Perakaran beberapa varietas padi juga dapat
melepas eksudat berupa senyawa organik ke sekitarnya (Manurung dan Ismunadji
1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).
Daun tumbuh pada batang dalam susunan berselang-seling, satu daun tiap
buku. Tiap daun terdiri atas helai daun, pelepah daun yang membungkus ruas,
telinga daun (aurikula) dan lidah daun (ligula). Aurikula dan ligula ini yang

5

membedakan padi dengan rumput saat stadia bibit. Daun teratas disebut daun
bendera yang posisi dan ukurannya tampak berbeda dari daun yang lain (De Datta
1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Sifat daun yang dikehendaki adalah daun
yang tumbuhnya tegak, tebal, kecil dan pendek. Indeks luas daun akan mencapai
maksimum kira-kira sebelum berbunga dengan nilai optimal 4-7. Kumpulan daun
(tajuk) yang menangkap radiasi surya untuk fotosintesis mempunyai nilai
skewness, semakin kecil nilai skewness maka semakin luas bagian daun tanaman
di bagian atas dan semakin berat biomas yang dihasilkan (Makarim dan Suhartatik
2009a).
Batang terdiri atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku. Daun dantunas
(anakan) tumbuh pada buku. Pada permulaan stadia tumbuh batang yang terdiri
atas pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut
kemudian memanjang dan berongga setelah tanaman memasuki stadia reproduktif
(De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Jumlah buku sama dengan
jumlah daun ditambah dua, yakni satu buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang
satu lagi buku terakhir yang menjadi dasar malai. Sifat batang yang dikehendaki
adalah pendek dan kaku karena tanaman menjadi tahan rebah, perbandingan
antara gabah dan jerami lebih seimbang dan tanggap terhadap pemupukan
nitrogen (Makarim dan Suhartatik 2009a).
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai
dinamakan spikelet yang pada hakikatnya adalah bunga yang terdiri atas tangkai,
bakal buah, lemma, palea, putik dan benang sari serta beberapa organ lainnya
yang bersifat inferior. Tiap unit bunga padi pada hakikatnya adalah floret yang
hanya terdiri atas satu bunga. Satu floret berisi satu bunga dan satu bunga terdiri
atas satu organ betina (pistil) dan enam organ jantan (stamen) (De Datta 1981;
Makarim dan Suhartatik 2009a). Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan
cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang
sekunder (Makarim dan Suhartatik 2009a).
Anakan tumbuh saat tanaman padi berdaun 4 atau 5 daun. Perkembangan
anakan berhubungan dengan perkembangan daun. Tumbuhnya anakan dan akar
terjadi pada saat yang sama dan buku yang sama kecuali pada daun pertama (saat
berkecambah). Anakan padi berpola anakan berganda (Manurung dan Ismunadji
1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

Kultur Antera
Kultur antera adalah salah satu teknik kultur in vitro melalui proses
androgenesis untuk mendapatkan tanaman haploid ganda (dihaploid) yang bersifat
homozigos penuh dan dapat membentuk sel kelamin jantan dan sel telur seperti
tanaman diploid biasa yang fertil (Dewi dan Purwoko 2011). Menurut Dewi dan
Purwoko (2001) kultur antera menghasilkan tanaman haploid melalui induksi
embriogenesis dari pembelahan berulang mikrospora/polen tanaman donor antera
yang berasal dari persilangan tetua yang memiliki karakter yang diinginkan.
Pollen muda dapat langsung memproduksi embrio (androgenesis) atau secara tak
langsung melalui pembentukan kalus (caulogenesis) yang kemudian beregenerasi
menjadi planlet dengan adanya ZPT pada media kultur. Pollen adalah haploid,
sehingga tanaman yang dihasilkan dari pollen atau mikrospora selama kultur juga

6

akan haploid. Tanaman dihaploid dapat diperoleh secara spontan, atau diinduksi
dengan perlakuan kolkisin dan dipangkas atau ratooning pada tanaman haploid.
Tanaman dihaploid yang dihasilkan kultur antera ini bersifat homozigos penuh
dan breed true, karena kedua kopi informasi genetik pada tanaman tersebut
identik.
Tanaman homozigos mempunyai sifat-sifat unggul yang diperlukan dalam
pemuliaaan tanaman. Tanaman homozigos yang dihasilkan pada keturunan
pertama akan memudahkan seleksi fenotipe bagi karakter-karakter yang bersifat
kuantitatif tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif seperti pada tanaman
heterozigos sehingga pemuliaan dapat lebih singkat karena dapat menghilangkan
sebagian besar dari kegiatan seleksi per generasi (6-8 generasi) yang umum pada
pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996). Tanaman-tanaman dengan
homozigositas tinggi (F1 dan F2) segera dapat diperoleh pada generasi tanaman
dihaploid pertama (DH0) dalam waktu kurang dari satu tahun.
Aplikasi kultur antera dalam pemuliaan tanaman padi telah berhasil
mendapatkan berbagai varietas unggul di Cina dan Korea. Kultur antera dapat
digunakan untuk perakitan varietas baru dan untuk mendapatkan genotipe baru
yang spesifik yang sebelumnya tidak pernah ditemukan pada varietas lokal
maupun pada koleksi plasma nutfah, seperti varietas padi tahan penyakit blas,
toleran suhu rendah, dan toleran tanah salin (Dewi dan Purwoko 2001). Herawati
et al. (2008) yang melakukan kultur antera persilangan enam kombinasi tetua
telah menghasilkan tanaman dihaploid 53.5 % dari total tanaman hijau yang
diperoleh.
Zhang (1992) melaporkan bahwa kultur anter menghasilkan tanaman
haploid, tanaman dihaploid yang diperoleh secara spontan dan tanaman dengan
ploidi lebih tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan sedini mungkin sesuai tujuan
penelitian.

Potensi Lahan
Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2012 luas lahan kering
Indonesia 34870422 ha terdiri atas lahan di Pulau Jawa dengan sawah nonirigasi
770 957 ha, tegal/kebun 2 662 467 ha, ladang/huma 351195 ha dan lahan yang
sementara tidak diusahakan 38715 ha; dan di luar Pulau Jawa dengan sawah
nonirigasi 2 399 733 ha, tegal/kebun 8 963 752 ha, ladang/huma 5 343 732 ha dan
lahan yang sementara tidak diusahakan 14 339 871 ha (Kementan 2013a). Pada
tahun yang sama,luas panen padi ladang 1 164 318 ha, produksi 3 867 726 ton dan
produktivitas 33 ku/ha (Kementan 2013bcd).
Daerah pengembangan padi gogo adalah daerah datar sampai kemiringan
200 mm minimum empat bulan
berturut-turut. Daerah tersebut antara lain daerah datar/ bantaran sungai, kawasan
perbukitan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sebagai tanaman tumpangsari
perkebunan dan HTI muda (Toha 2005). Menurut Djaenudin (2008) luas daratan
Indonesia tahun 2007 mencapai 188.20 juta ha dan yang potensial 94.10juta ha,
yaitu untuk pertanian lahan basah 25.40 juta ha, tanaman semusim lahan kering
25.10 juta ha, dan tanaman tahunan 43.60 juta ha. Dari luas total lahan basah yang
potensial, 8.50 juta ha telah menjadi sawah, sehingga yang masih tercadang

7

sekitar 16.90 juta ha, yaitu 3.50 juta ha berupa lahan rawa dan 13.40 juta ha
lainnya nonrawa. Lahan potensial untuk pertanian lahan kering tersedia 68.64 juta
ha, yaitu untuk tanaman semusim 25.09 juta ha dan untuk tanaman tahunan 43.55
juta ha. Lahan yang masih tersedia untuk ekstensifikasi diperkirakan sekitar 22.39
juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 7.08 juta ha dan tanaman tahunan 15.31
juta ha.
Sebagai tanaman tumpangsari, penanaman dilakukan saat fase pertumbuhan
awal tanaman keras yaitu saat tanaman pokok belum menghasilkan atau sampai
batas terjadi naungan maksimum 50% (Sopandie et al. 2003a, Sasmita 2006).
Pertanaman padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan karet dapat
diusahakan sampai tahun ketiga dan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun
keempat. Bila siklus peremajaan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit
dilakukan setiap 25 tahun sekali, maka potensi pengusahaan padi gogo sebagai
tanaman tumpangsari di kedua jenis perkebunan tersebut dapat mencapai luasan
12%. Pada pertanaman kelapa dalam, padi gogo sebagai tanaman tumpangsari
dapat diusahakan sampai tahun ketiga dan setelah kelapa berumur lebih dari 25
tahun baru dapat diusahakan lagi penanaman padi gogo karena mahkota tanaman
kelapa sudah mengecil, sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke permukaan
tanah lebih dari 75% (Toha 2005).
Menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 79 tahun 2013 (Kementan
2013), kriteria lahan yang sesuai untuk tanaman padi gogo adalah curah hujan
selama 4 bulan berturut-turut 100-400 mm bulan-1, temperatur rata-rata 24 0C-29
0
C, pada zone agroklimat (Oldeman) C2, C3, D2 dan D3, kelembaban 33%-90%,
kelas drainase baik sampai sedang, tekstur tanah halus sampai sedang dengan
bahan kasar