Perkembangan Sumberdaya dan Kecukupan Pangan di Indonesia dalam Tiga dekade Terakhir

1

ABSTRACT
NESYI FEBI OKTARINA PUTRI. Indonesia Food Resources Situation and Its
Sufficiency in the Last Three Decades. Under the guidance of DRAJAT
MARTIANTO and YAYUK FARIDA BALIWATI.
Food is one of basic need and basic right of every individual in every
country. The objective of this study was to learn the trend of food resource in
terms of its availability and its sufficiency in Indonesia and its relationship with
development of policy and program of food in the last three decades. This is a
descriptive study. A set of secondary data be used in the study, and were
collected from corresponding institutions. Data was analyzed using trend analysis
and content analysis. Policies and programmes for food availability have been
developed over 30 years of the period of Repelita III, Repelita IV, Repelita V,
Repelita VI, Propenas, and RPJMN 2004-2009. During Repelita III (1979-1983),
the goal is to achieve self-sufficiency and Repelita VI, food self-sufficiency
achieved in 1984. The trend of food availability per capita in form of energy and
protein during the 1981-2010, has exceeded the recommendation of Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII 2004 and sufficiently to meet the people
need of food. Energy availability was growing slowly with growth rate of 1.7%,
while protein grew 1.5%. Production of some strategic food in Indonesia in the

last three decades was fluctuating along with relatively high population growth.
Import rate of some strategic food (rice, soybean, wheat flour, beef) considered
as high during three last decades.
Keywords: food resource, sufficiency of food, food availability policy, Indonesia

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus
dipenuhi setiap saat sehingga pemenuhan pangan merupakan hak bagi setiap
individu. Food and Agriculture Organization (FAO) (2010) menyatakan bahwa
setiap individu berhak memperoleh hak atas pangan yang dicirikan oleh
kemampuannya untuk dapat mengakses semua elemen untuk mendapatkan dan
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi untuk hidup sehat dan aktif. Oleh karena
itu, pengabaian atas kewajiban pemenuhan pangan merupakan pelanggaran hak
asasi manusia, yang akan menimbulkan dampak serius, baik dalam skala
individu maupun pada tatanan stabilitas sebuah negara (Yuniarti 2008).

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, dan terjangkau (Pasal 1 PP No. 68 tahun 2002). Dari segi
potensi, Indonesia memiliki banyak sumberdaya untuk menjamin ketahanan
pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan
kondisi yang cukup baik. Akan tetapi, masih banyak penduduk Indonesia yang
belum memenuhi kebutuhan pangan yang mencukupi. Berdasarkan suatu studi,
sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka
masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya (Anonim 2009).
Konsumsi pangan yang rendah yang terjadi secara terus menerus
berakibat pada gizi kurang dan pada tingkat yang parah bahkan dapat
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, terpenuhinya ketersediaan pangan
setiap individu akan mempengaruhi kecukupan pangan dan kondisi status gizi
penduduk (Adicita 2008).
Kemampuan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan merupakan hal
yang amat penting disamping ketersediaan pangan itu sendiri. Ketahanan
pangan suatu negara tidaklah ditentukan dari melimpahnya ketersediaan pangan
di negara tersebut, melainkan dari kemampuan masyarakatnya untuk mengakses
pangan, baik secara fisik maupun secara ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka, baik kualitas maupun kuantitasnya. Akses fisik maupun ekonomi

masyarakat terhadap pangan ditentukan oleh beberapa hal. Diantara yang
terpenting adalah daya beli masyarakat, dimana daya beli ini sangat tergantung
dari pendapatan dan tingkat harga yang berlaku di suatu wilayah dan waktu
tertentu. Kebijakan harga dan subsidi, alokasi anggaran untuk program pangan

2

dan perbaikan gizi, kebijakan perdagangan yang dapat menunjang kelancaran
distribusi pangan antar wilayah dan antar waktu, serta infrastruktur transportasi,
pelabuhan, dan pergudangan merupakan faktor-faktor penting terwujudnya
peningkatan akses fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan.
Selama ini, kajian mengenai aksesibilitas masyarakat terhadap pangan
lebih banyak ditinjau dari sisi kuantitatif pencapaian tingkat ketersediaan dan
konsumsi pangan. Karena tingkat ketersediaan dan konsumsi pangan pada
dasarnya merupakan output dari suatu proses yang dipengaruhi oleh kebijakan
dan program serta keadaan sosial, ekonomi, dan politik pada masanya, maka
sangat

penting


untuk

melakukan

kajian

kualitatif

mengkaitkan

tingkat

ketersediaan dan konsumsi pangan masyarakat tersebut dengan kerangka
kebijakan dan program pangan dan gizi pada masanya.
Selama 30 tahun terakhir sejak masa orde baru, Indonesia telah
mengalami berbagai perubahan di bidang sosial, politik, ekonomi bahkan pada
tata kenegaraan dari yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralistik
(otonomi daerah). Berbagai perubahan ini tentunya membawa akibat pada
berbagai kebijakan dan program serta kondisi ketahanan pangan di tingkat
makro (nasional), meso maupun mikro. Bagaimana dampak berbagai perubahan

tersebut sangat menarik untuk dikaji sebagai suatu proses pembelajaran
(lessons learned) untuk perbaikan penyusunan kebijakan dan program di bidang
ketersediaan pangan, khususnya pada perkembangan sumberdaya pangan
strategis.

Untuk itu, peneliti akan mengkaji dan menganalisis perkembangan

sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia selama tiga dekade
terakhir.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan

umum

penelitian

ini

adalah


mempelajari

perkembangan

sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia dan kaitannya dengan
perkembangan kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi dalam tiga
dekade terakhir.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mempelajari perkembangan kebijakan dan program di bidang ketersediaan
pangan di Indonesia dalam tiga dekade terakhir;

3

2. Mempelajari perkembangan tingkat ketersediaan energi dan protein di
Indonesia dalam tiga dekade terakhir;
3. Mempelajari perkembangan ketersediaan sumberdaya beberapa pangan
strategis (beras, tepung terigu, ubi kayu, jagung, gula, kedelai, dan daging
sapi) dan kontribusinya terhadap ketersediaan pangan strategis untuk

dikonsumsi dalam tiga dekade terakhir.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang penting
mengenai perkembangan sumberdaya pangan, tingkat ketersediaan, dan
kecukupan pangan Indonesia serta kaitannya dengan kebijakan dan program
ketahanan

pangan.

Informasi

yang

dihasilkan,

disamping

memberikan

pengetahuan mengenai tingkat ketersediaan dan kecukupan pangan juga

diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam perencanaan dan
perbaikan ketersediaan dan pemenuhan kecukupan pangan di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu
pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia (individu).
Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk
membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pangan merupakan
rangkaian dari tiga komponen utama yaitu 1) ketersediaan dan stabilitas pangan
(food availability and stability), 2) kemudahan memperoleh pangan (food
accessibility), dan 3) pemanfaatan pangan (food utilization). Ketahanan pangan
merupakan sistem terintegrasi, terdiri atas subsistem ketersediaan pangan,
distribusi pangan, dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan
individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut dari berbagai
level (Baliwati 2007).
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan
status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan
pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan
akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi

kondisi ketahanan pangan tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan pada
tingkat rumah tangga, akan ditentukan pula oleh daya beli masyarakat terhadap
pangan (Syarief 2004).
Berdasarkan

UU

No.7/1996

tentang

pangan,

dinyatakan

bahwa

ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan mencakup ketersediaan

pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta
masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional.
Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek
sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk
seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi
terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan
yang sehat dan produktif dari hari ke hari (DKP 2006).
Kondisi ketahanan pangan suatu negara yang diukur dengan berbagai
indikator, akhirnya akan bermuara pada status kesehatan dan aktifitas produktif
individu rakyatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu negara yang dapat

4

5

dikatakan mempunyai status ketahanan pangan yang sempurna jika masih ada
bagian masyarakatnya yang tidak mampu memenuhi kebutuahn pangan dan gizi
minimal yang diperlukan untuk sehat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan
ekonomi. Secara relatif, tingkat ketahanan pangan suatu negara bisa ditentukan

dari status gizi masyarakatnya, sehingga bisa digunakan untuk mengukur kinerja
pemerintah dalam menjamin akses rakyatnya terhadap pangan. Walaupun suatu
negara mamapu menjamin ketersediaan dan akses setiap warga negaranya
terhadap pangan yang bermutu, aman, dan bergizi, namun bisa saja negara
masih memiliki potensi kerawanan pangan, terutama dalam kaitannya dengan
ketergantungan impor (Hariyadi 2009).
Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan
sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: 1) ketersediaan, yang artinya bahwa
pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik
jumlah maupun mutunya, serta aman; 2) distribusi, dimana pasokan pangan
dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh
rumah tangga; 3) konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan
yang cukup dan mampu mengelola konsumsi sesuai kaidah gizi dan kesehatan,
serta preferensinya (DKP 2006). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan
sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem ketahanan pangan di atas.
Secara umum, terdapat empat aspek ketahanan pangan, yaitu: 1) aspek
ketersediaan pangan (food availability), makanan yang cukup jumlah dan
mutunya, serta aman digunakan; 2) aspek stabilitas ketersediaan/pasokan
(stability of supplies), stabilitas pasokan pangan setiap waktu dan lokasi; 3)
aspek konsumsi (food utilization), kemampuan tubuh manusia untuk mencerna
dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang

dikonsumsi dan

kecukupan asupan (intake); dan 4) aspek keterjangkauan (access to supplies),
ketersediaan makanan dan kesesuaian dengan preferensi, kebiasaan, budaya,
dan kepercayaan. Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan
yang lainnya (Hariyadi 2009).
Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang cukup
makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta
turunannya, bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu.
Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang, mulai dari
nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga/individu.

6

Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro (nasional), meso (provinsi,
kabupaten/kota) maupun tingkat mikro (rumah tangga) (Baliwati & Roosita 2004).
Ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh penduduk.
Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada
kebutuhan penduduk. Jika keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan (food
security) akan berada pada tingkat yang aman. Ketersediaan pangan (food
availibility) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti
keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena
penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor/impor pangan (Mahfi 2009).
Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai rata-rata konsumsi energi, protein,
dan zat gizi lainnya per kapita per hari, yang diperoleh dari konsumsi bahan
makanan keluarga tiap harinya, baik dalam rumah maupun diluar rumah tanpa
memperhitungkan makanan yang terbuang, sisa ataupun yang diberikan kepada
binatang peliharaan, yang diperoleh dengan wawancara menggunakan metode
pendaftaran makanan dengan kuesioner terstruktur yang memuat daftar
makanan utama (Priswanti 2004).
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan
serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan
harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat
musiman, terbatas, dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia
bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya
dari waktu ke waktu (Suryana 2001). Komponen ketersediaan pangan meliputi
kemampuan produksi, cadangan, maupun impor pangan setelah dikoreksi
dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan, industri
makanan/non pangan, dan tercecer (Baliwati & Roosita 2004). Pola konsumsi
pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya
berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau yang telah ditanam di
daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan
pangan suatu wilayah dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: produksi dalam
negeri, impor pangan, dan pengelolaan cadang pangan. Impor pangan
merupakan alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antar produksi dan
kebutuhan pangan dalam negeri (Baliwati 2007).
Bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka
penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan

7

bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri.
Namun sebaiknya, jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang
dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan
yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitas (Suhardjo 1989). Dalam
penelitian Suhardjo (1989), ketersediaan Indonesia meningkat secara makro
pada tahun 1993-1996 (2899 kkal menjadi 3208 kkal), namun setelah terjadi
bencana kekeringan yang disusul krisis moneter, maka ketersediaan tersebut
mengalami penurunan drastis. Tercatat

beberapa daerah di Indonesia

mengalami kekurangan pangan. Daerah-daerah yang rawan mengalami
kekurangan pangan adalah daerah-daerah yang secara geografis terisolir atau
daerah dengan potensi alam yang rendah.
Sumberdaya Pangan
Sumberdaya alam merupakan unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik
maupun hayati, yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan serta untuk
meningkatkan kesejahteraan. Sehingga, sumberdaya alam adalah unsur bentang
alam yang memiliki komponen biotik dan abiotik yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan manusia, termasuk pangan secara lestari. Sumberdaya alam
merupakan faktor produksi yang disediakan oleh alam dan bukan buatan
manusia (Zonneveld 1979).
Sumberdaya ekologis merupakan segala sesuatu yang terdapat pada
lingkungan atau ekosistem yang dibutuhkan oleh makhluk hidup unutk dapat
bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang biak secara normal. Sedangkan
pangan merupakan salah satu sumberdaya ekologis. Sehingga, sumberdaya
pangan merupakan kemampuan suatu ekosistem dalam suatu wilayah dalam
menyediakan pangan untuk suatu daerah (Departemen Biologi ITB 2004).
Menurut konsep ekologi manusia, sumberdaya pangan dijabarkan
berdasarkan klasifikasi lingkungan hidup, yaitu lingkungan alam dan lingkungan
sosial. Aneka sumberdaya pangan yang terdapat pada dua kategori tersebut,
dibahas mengikuti pola pikir dalam sistem pangan, terutama aspek produksi dan
konsumsi pangan serta sistem pertanian. Sumberdaya pangan lingkungan alam
lebih

difokuskan

pada

sumberdaya

lahan,

pekarangan,

perairan,

dan

keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal. Sedangkan sumberdaya
pangan lingkungan sosial difokuskan padan preferensi pangan dan pangan
tradisional.

8

Pangan Strategis
Beras. Beras telah berkembang tidak hanya sekedar menjadi komoditas penting
tetapi juga strategis di Indonesia dan di negara-negara Asia pada umumnya. Di
Indonesia, hanya dalam waktu beberapa dekade saja beras telah diterima
sebagai pangan pokok dihampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerahdaerah yang semula pangan pokok masyarakatnya bukan beras, seperti Madura
(dominan jagung) atau Maluku dan Irian (dominan sagu dan umbi). Perubahan
tersebut terjadi seiring dengan pembangunan pangan nasional yang dimulai
sejak tahun 1960-an (Saliem et al. 2005).
Beras selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas
politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok
masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap
bulannya (sambutan Menteri Pertanian dalam Saliem et al. 2005). Peristiwa
penting terkait dengan stabilitas harga beras sebagai pangan pokok pada
periode sebelum era 1970-an adalah pergantian rezim pemerintah dari Orde
Lama ke Orde Baru yang dikomando oleh Letjen Soeharto pada tahun 1966.
Inflasi tidak terkendali yang berdampak pada kenaikan harga pangan semasa
rezim Orde Lama memicu demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan
peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Salah satu dari tiga tuntutan tersebut
adalah penurunan harga pangan pokok (beras) (Saliem et al. 2005).
Kebijakan harga dasar ditetapkan melalui Instruksi Presiden dan
dieveluasi setiap tahun. Meskipun tingkat harga telah mengalami penyesuaian
tetapi kebijakan harga dasar tersebut belum dapat berfungsi efektif penuh.
Hampir pada setiap musim panen raya terjadi insiden pembelian gabah petani
dibawah harga dasar. Terlebih setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan
dengan dibukanya pintu impor beras bagi swasta dan dihapuskannya Kredit
Likuiditas bank Indonesia atas desakan Internasional Monetery Fund (IMF) pada
tahun 1998 (Saliem et al. 2005).
Krisis ekonomi telah membuat harga beras di dalam negeri meningkat
menjadi lebih tinggi dibandingkan harga paritas impor seiring dengan terjadinya
penjarahan dan panic buying yang membuat meningkatnya aliran beras impor.
Kondisi menjadi semakin parah karena pemberlakuan tarif impor yang membuat
nilai Net Protectioan Rate (NPR) menjadi negatif ternyata tidak membuat
berhentinya arus impor beras. Hingga kini faktor spekulasi yang besar terhadap

9

kebutuhan beras di dalam negeri diduga telah membuat pedagang tidak pernah
berhenti untuk memasukkan beras impor, termasuk impor illegal melalui
selundupan maupun manipulasi dokumen. Selain liberalisasi pasar domestik,
tidak efektifnya harga dasar gabah juga dipengaruhi berbagai faktor lain seperti:
terbatasnya dana pemerintah untuk menyerap kelebihan produksi saat panen
raya, hilangnya captive market Bulog, adanya moral hazard, dan relatif tingginya
harga dasar dibanding harga dunia. (Saliem et al. 2005).
Jagung. Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya
sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri
(Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai
dari kandungan gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama
dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras
(Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan
unggas (sekitar 50% dari ransum), sehingga harga jagung akan sangat
berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya, Yusdja & Ilham 2005).
Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan
gejolak pasar luar negeri (Syafa’at et al. 2003).
Tepung terigu. Bahan baku utama untuk industri tepung terigu adalah gandum.
Dengan melalui proses pengolahan, biji gandum ini menghasilkan tepung terigu.
Konversi gandum terhadap tepung terigu setiap pabrik berbeda. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas gandum dan efisiensi mesin
pengolah (Afriani 2002). Berdasarkan konversi dari Depperindag tahun 1998,
maka kebutuhan gandum untuk tepung terigu terus meningkat setiap tahunnya
dengan rata-rata peningkatan sekitar 8,2% setiap tahunnya. Peningkatan
kebutuhan gandum ini juga diikuti dengan produksi tepung terigu. Kebutuhan
gandum untuk pembuatan tepung terigu terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan industri tepung terigu. Besarnya kebutuhan gandum juga tercermin
dari perkembangan impornya.
Impor tepung terigu di Indonesia sangat berfluktuatif dan memiliki
kecenderungan semakin menurun setiap tahunnya. Ini berarti meskipun tepung
terigu sudah diproduksi di dalam negeri dalam jumlah besar, tetapi Indonesia
masih melakukan impor. Sampai dengan tahun 1998, besarnya impor tersebut
sangat kecil dibandingkan dengan produksi di dalam negeri (Afriani 2002).
Pengadaan bahan baku industri tepung terigu berupa gandum seluruhnya
diperoleh dari impor. Sampai periode tahun 1997, pembelian impor gandum

10

dilakukan oleh Bulog dan masih disubsidi, sehingga hasil pengolahan biji
gandum menjadi tepung terigu kembali diserahkan kepada Bulog. Tetapi sejak
dikeluarkannya surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
21/MPP/Kep/1/1998, maka pengadaan dan penyaluran tepung terigu di dalam
negeri dilakukan secara bebas tanpa campur tangan pemerintah (Afriani 2002).
Kedelai. Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras
dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai
peranan sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan
salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Ratarata konsumsi kedelai nasional mencapai 1803 juta ton per tahun, tidak diimbangi
dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari
impor (Anonim 2008 dalam Mauludyani 2008).
Ubi kayu. Ubi kayu adalah tanaman umbi-umbian daerah tropik dan merupakan
sumber kalori pangan yang paling murah di dunia. Ubi kayu dikonsumsi sebagai
makanan pokok oleh sekitar 400 juta orang di daerah tropik yang lembab di
Afrika, Asia, dan Amerika. Ubi kayu berbeda denga bahan-bahan pangan pokok
lainnya, sangat mudah busuk dan harus dikonsumsi secara cepat atau diubah
menjadi produk yang dapat disimpan. Ubi kayu mulai rusak segera setelah
dipanen dan sama sekali membusuk dalam dua atau tiga hari, kecuali jika
disimpan dalam gudang pendingin. Keanekaragaman internasional dalam
peranan yang dimainkan ubi kayu dalam sistem komoditi, berasal dari
pengadaan manfaat akhir ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia dimanfaatkan sebagai
makanan segar maupun kering, makanan ternak dan aci sebagai makanan dan
keperluan industri (Pearson et al. 1986). Ubi kayu dan ubi jalar merupakan
komoditas penting dalam program penganekaragaman (diversifikasi) pangan
pokok. Program ini mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan
ubi jalar serta produk olahannya, sebagai substitusi sebagian dari beras dan
tepung terigu (Syafa’at et al. 2003).
Gula. Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memeliki kedudukan
unik yang berbeda dengan komoditi strategis lainnya seperti beras. Gula pasir
merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat
secara luas, namun gula pasir juga termasuk dalam jenis komoditi yang masih
terkena cukai (Amang 1993). Gula pasir merupakan pangan yang banyak
digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan makanan dan minuman. Hampir

11

semua masyarakat mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002,
tingkat konsumsinya mencapai 9,18 kg/kap/th (Ariani 2003).
Walaupun kebutuhan gula tidak sebesar pangan lainnya, seperti beras,
namun karena proporsi rumah tangga yang mengkonsumsinya sangat tinggi,
gula termasuk komoditas strategis. Ketergantungan impor yang tinggi (42,05%)
menyebabkan gula rawan terhadap gejolak pasar internasional, sehingga
membutuhkan campur tangan pemerintah berupa penetapan harga dasar, izin
impor, dan penerapan bea masuk impor (Pakpahan 2003). Kebijaksanaan
pemasaran gula pasir yang dilakukan pemerintah pada prinsipnya mempunyai
tujuan untuk menjamin tersedianya gula yang continue kapan saja dan dimana
saja serta berupaya mengemat penggunaan devisa (Amang 1993).
Daging sapi. Daging sapi termasuk salah satu jenis pangan yang perlu
mendapat perhatian dalam hal penyediaannya. Konsumen daging sapi adalah
masyarakat berpendapatan menengah keatas dan para wisatawan atau pekerja
asing. Walaupun rata-rata impor daging sapi masih rendah, namun dalam
dasawarsa terakhir terdapat kecenderungan peningkatan nilai impor daging sapi
dan sapi hidup. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri baru dapat memenuhi
sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbangtan 2005).
Kecukupan Pangan
Kecukupan pangan manusia dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif.
Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi
pangan,

sedangkan

secara

kualitatif

dapat

diperkirakan

dari

besarnya

sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio ProteinEnegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein
terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi
atau sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi
1989).
Penilaian situasi pangan dan gizi secara nasional maupun regional
adalah suatu langkah awal dari proses perencanaan pangan dan gizi, dimana
nantinya dapat dirumuskan langkah untuk menetapkan sasaran dan tujuan dari
program, dan selanjutnya disusun strategi pelaksanaan program. Kemudian
ditetapkan langkah-langkah pelaksanaan dari program pangan dan gizi baik
secara nasional maupun regional (Manggabarani 1995).
Menurut Wardoyo 1984 dalam Manggabarani 1995, peningkatan jumlah
penduduk menuntut penyediaan pangan yang cukup bagi penduduk untuk

12

dikonsumsi, meskipun tidak selalu ada hubungan antara peningkatan produksi
pangan dengan konsumsi pangan, namun menurut Soekirman 1977 dalam
Manggabarani 1995, dikemukakan bahwa tidak dapat disangkal peningkatan
produksi tersebut akan meningkatkan pula penyediaan energi dan protein
penduduk per kapita.
Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status
ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia
untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan
hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam
kehidupan

sehari-hari

secara

sehat.

Namun

demikian,

seiring

dengan

perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas
pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliem et al. 2005).
Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah banyaknya asupan (intake)
energi dari makananan bagi seseorang yang seimbang dengan pengeluarannya
(expenditure) sesuai dengan susunan dan ukuran tubuh, tingkat kegiatan jasmani
dalam keadaan sehat dan mampu melakukan tugas-tugas kehidupan secara
ekonomi dalam jangka waktu yang lama. Angka Kecukupan Protein (AKP)
adalah asupan protein makanan paling sedikit seimbang dengan hilangnnya
nitrogen yang dikeluarkan oleh tubuh dalam keseimbangan energi pada tingkat
kegiatan jasmani yang dilakukan (Khumaidi 1989).
Kebijakan
Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten
dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan muncul karena terjadi silang pendapat
diantara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh atau
bahkan pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri
(Wahab 2004).
Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui
untuk

dilaksanakan

guna

mempengaruhi

suatu

keadaan,

misalnya

mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya pada masyarakat
umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam
mempengaruhi

perubahan

secara

sektoral

dalam

masyarakat

termasuk

didalamnya kebijakan pada sektor pertanian (Pratiwi 2008).
Bentuk-bentuk kebijakan publik yakni: 1) kebijakan publik yang bersifat
makro (umum, mendasar) yaitu peraturan perundang-undangan, antara lain UUD

13

1945,

Undang-undang/Peraturan

Pemerintah

Pengganti

Undang-udang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah; 2) kebijakan
publik yang bersifat meso (menengah, penjelas pelaksanaan) yaitu berbentuk
Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati,
serta Peraturan Walikota serta dapat pula berbetuk Surat keputusan Bersama
(SKB) antar Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota; 3) kebijakan publik yang
bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi
dari kebijakan diatasnya. Bentuknya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota (Dwidjowijoto
2006).
Kebijakan ekspor didasarkan pada Program Perencanaan Nasional
(Propenas) dan Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) yang
pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Kebijakan ekspor disusun dalam
rangka reformasi ekonomi nasional, untuk meningkatkan daya saing, menjamin
kepastiaan dan kesinambungan bahan baku industri di dalam negeri, mendukung
tetap terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam serta
pelaksanaan perjanjian internasional (Depkominfo 2006).
Tujuan dari kebijakan impor ialah menekan jumlah dan mengurangi
tingkat ketergantungan impor Indonesia. Impor dapat menjadi solusi yang tepat
untuk menjaga ketahanan pangan jika dilakukan pada waktu yang tepat dan
dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berakibat menekan harga
domestik. Contohnya, selama ini yang terjadi justru harga beras impor beras
yang mendikte harga beras dalam negeri (Pratiwi 2008).
Kebijakan impor merupakan bagian dari kebijakan perdagangan yang
memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barangbarang impor negara lain. Dalam rangka memberikan kepastian usaha kepada
investasi PMA/PMDN dan industri di dalam negeri, pemerintah telah melakukan
langkah

kebijakan

deregulasi

(mengatur/menyusun

ulang),

diantaranya

Keputusan menteri Keuangan No. 378/KMK.01/1996 (Depkominfo 2006).
Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan
arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi
pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah&Ariani M, 2000 dalam Adicita
2008).

Kebijakan

ketahanan

pangan

adalah

kebijakan

yang

bersifat

menyelaraskan kegiatan-kegiatan yang menunjang ketersediaan, distribusi, dan

14

konsumsi pangan, agar setiap individu dapat mengakses pangan dan mengelola
konsumsinya

untuk

memenuhi

kecukupan

gizi.

Dalam

hal

subsistem

ketersediaan pangan, kebijakan yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan
antara produksi, ekspor, impor, dan konsumsi sehingga terjadi keseimbangan
sesuai dengan kebutuhannya pada wilayah yang bersangkutan, dan antar
wilayah dari waktu ke waktu pada tingkat harga yang proporsional (Sukari 2009).
Ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan stabilitas harga pangan
khususnya beras, atau bahan pangan pokok utama suatu Negara. Dalam kaitan
ini, ketahanan pangan sinonim dengan stabilitas harga, oleh karenanya
pandangan

tersebut

menggunakan

pendekatan

stabilitas

pangan

untuk

ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang berkelanjutan perlu dibangun
dengan memperhatikan tiga aspek yaitu: 1) prinsip utama program ketahanan
pangan harus didasarkan bahwa pangan merupakan hak asasi dan kebutuhan
mendasar bagi manusia; 2) ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai suatu
sistem hierarki, mulai dari tingkat global sampai ketahanan pangan tingkat rumah
tangga/individu; serta 3) perlunya peranan strategis dari pemerintahan yang
bersih dan bertanggung jawab, pressure group dan adanya kebebasan pers
(Simatupang 1999 dalam Sofiati 2009).
Konferensi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sebagai lembaga koordinatif
telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan
nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju
konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya
penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan
pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk yang sangat berkaitan erat
dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi
lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum
berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun
kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (DKP 2006).
Untuk mengatasi masalah ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan
dan

langkah

operasional

terpadu

lintas

sektoral

dan

bahkan

dengan

menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi
buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait harus mengarahkan kebijakannya menuju
sistem ketahanan pangan yang handal. Sistem ketahanan pangan dan gizi yang
handal merupakan salah satu model global dalam melaksanakan Millenium
Development Goals (MDGs) (Nainggolan 2008).

KERANGKA PEMIKIRAN
Indonesia memiliki banyak sumberdaya untuk menjamin ketahanan
pangan bagi penduduknya. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang
belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi.
Ketersediaan pangan di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh potensi
sumberdaya alam wilayah itu, juga sangat dipengaruhi oleh ketepatan
manajemen sumberdaya baik ditingkat makro, meso, maupun mikro. Pemerintah
memiliki peranan yang besar dalam hal pengaturan manajemen sumberdaya
tersebut melalui kebijakan-kebijakan, program, dan peraturan yang dapat
mempengaruhi arah produksi, distribusi, dan konsumsi pangan masyarakat.
Kebijakan pemerintah di bidang ketahanan pangan, khususnya mencakup
produksi pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, peternakan, perikanan dan
kelautan serta perkebunan), distribusi, industri dan perdagangan pangan, serta
peningkatan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan, akan menentukan
arah pengelolaan sumberdaya pangan, akses pangan, dan konsumsi pangan
rumah tangga sebagai indikator kecukupan.
Dalam studi ini, kecukupan pangan rumah tangga diindikasikan oleh
tingkat kecukupan energi, protein, dan skor Pola Pangan Harapan (PPH).
Perubahan yang terjadi di berbagai bidang seperti bidang politik, sosial, dan
ekonomi di Indonesia sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan,
kesempatan kerja, tingkat kemiskinan, dan daya beli terhadap pangan.
Ketersediaan pangan, tingkat kemiskinan, dan tingkat pendapatan secara
langsung berdampak pada pemanfaatan pangan di tingkat rumah tangga.
Ketersediaan pangan dapat diketahui dari data produksi pangan,
perubahan stok, serta jumlah pangan yang diekspor dan diimpor. Angka
kecukupan energi dan protein bagi penduduk di suatu daerah tertentu, adalah
data yang memberikan informasi tentang jumlah protein dan energi yang
seharusnya dikonsumsi oleh penduduk di daerah tersebut. Kecukupan energi
dan

protein

bagi

penduduk

di

suatu

daerah

dapat

dihitung

dengan

mempertimbangkan jumlah penduduk dan tingkat kegiatan penduduk.

15

16

Tingkat konsumsi masyarakat

Akses Pangan Rumahtangga

Kesejahteraan
Masyarakat

Kecukupan pangan

Angka Kecukupan Gizi
terhadap ketersediaan






 Tingkat Pendapatan
 Tingkat Kemiskinan

Ketersediaan
Pangan

Sumberdaya Pangan
Produksi
Impor
Ekspor
Penggunaan dalam Negeri

Kebijakan Ketersediaan Pangan
 Produksi
 Pengadaan pangan
 Tarif (ekspor-impor)

Gambar 1 Kerangka pemikiran mengenai keterkaitan antara perkembangan
sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia dengan
perkembangan kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi
Keterangan:
= yang diteliti
= yang tidak diteliti
= hubungan yang diteliti

METODE PENELITIAN
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian
Desain studi ini adalah studi deskriptif. Penelitian ini menggunakan data
sekunder yang berkaitan dengan ketersediaan dan sumberdaya pangan di
Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir (tiga dekade) yang didapat dari
berbagai instansi terkait. Kegiatan penelitian dilakukan selama kurang lebih
enam bulan mulai Januari 2011 hingga Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder.
Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data. Penelusuran data atau
informasi mengenai pangan dan gizi didapat dari beberapa instansi yang terkait
seperti Badan Ketahanan Pangan (BKP), Badan Pusat Statistik (BPS),
Departemen Pertanain, dan Perpustakaan Nasional. Data selengkapnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Jenis data yang digunakan, tahun, dan sumbernya
No
1

Jenis Data
Neraca Bahan Makanan (NBM)

Tahun
1981-2010

2

Produksi Pangan

1981-2010

3

Ekspor dan Impor Pangan
Kebijakan-kebijakan (UU, PP,
Perpres)

1981-2010

Sumber
Badan Ketahanan Pangan (BKP)
Departemen Pertanian, Badan
Ketahanan Pangan (BKP)
Badan Ketahanan Pangan (BKP)

1981-2010

Perpustakaan Nasional

4

Data ketersediaan pangan penduduk diperoleh dari hasil perhitungan
Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia tahun 1981-2010. Data jumlah
produksi pangan diperoleh dari Departemen Pertanian dan NBM Badan
Ketahanan Pangan. Data yang berhubungan dengan NBM yang digunakan
dalam penelitian ini, meliputi data produksi pangan nasional, data keluar masuk
pangan (ekspor dan impor) nasional, dan data perubahan stok akhir tahun
nasional.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data ketersediaan pangan dilakukan dengan menggunakan
analisis tren terhadap ketersediaan energi, protein, dan komoditas pangan
strategis antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir. Analisis yang digunakan
untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dilakukan secara
deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Metode analisis
isi merupakan metode yang digunakan untuk menelaah isi dari kebijakan dan
program ketahanan pangan.

17

18

Perhitungan kecukupan pangan dihitung menggunakan rumus:





jika, nilai kecukupan lebih dari 1, maka daerah tersebut defisit pangan
serealia serta apabila nilai kecukupan kurang dari 1, maka daerah tersebut
surplus pangan serealia (Dewan Ketahanan Pangan-WFP). Sedangkan untuk
melihat keterkaitan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dengan
kondisi ketersediaan energi, protein, dan pangan strategis dilakukan dengan
tabulasi silang dan analisis grafis hubungan antara kebijakan dan program
ketahanan pangan dengan tingkat kecukupan energi, protein, dan ketersediaan
pangan strategis tersebut.
Asumsi dan Keterbatasan Penelitian
Peneliti mempunyai keterbatasan yaitu menggunakan data-data sekunder
yang seluruhnya benar dari berbagai instansi yang dirancang secara khusus
untuk kepentingan masing-masing instansi.
Definisi Operasional
Angka Kecukupan Energi adalah banyaknya asupan energi dari makanan bagi
seseorang yang seimbang dengan pengeluarannya sehingga dapat hidup
sehat dan mampu beraktifitas ekonomi dalam waktu yang lama.
Angka Kecukupan Protein adalah banyaknya asupan protein yang paling
sedikit seimbang dengan hilangnya nitrogren yang dikeluarkan tubuh
dalam keseimbangan energi pada tingkat kegiatan jasmani yang
dilakukan.
Ekspor adalah sejumlah bahan makanan, baik yang belum maupun sudah
mengalami pengolahan, yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia.
Impor adalah sejumlah bahan makanan, baik yang belum maupun sudah
mengalami pengolahan, yang didatangkan/dimasukkan dari luar ke dalam
wilayah Indonesia.
Kecukupan Pangan adalah jumlah energi sebesar 2200 kkal dan protein 57
gram yang sebaiknya dipenuhi oleh seseorang atau rata-rata kelompok
penduduk agar dapat hidup sehat.
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein adalah perbandingan antara
konsumsi pangan sumber energi dan protein dengan kecukupan
zat gizi tersebut yang seharusnya dipenuhi yang dinyatakan dalam
persen dalam tiga dekade terakhir.

19

Tingkat Ketersediaan adalah perbandingan antara pangan strategis
yang tersedia dengan yang dibutuhkan pada waktu tertentu yang
dinyatakan dalam persen.
Ketersediaan Pangan adalah jumlah pangan yang tersedia per tahun yang
berasal dari produksi, perubahan stok, dan perdagangan (ekspor, impor)
untuk mencukupi konsumsi pangan maupun untuk memenuhi kebutuhan
pangan di suatu wilayah tertentu pada tahun tertentu yang diukur dalam
satuan ribu ton/tahun.
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asa yang menjadi garis besar dan
dasar rencana atas pelaksanaan suatu pembangunan dalam suatu sistem
pemerintahan suatu negara atau daerah yang menjadi acuan tindakan
dalam mencapai tujuan.
Kebijakan Ketersediaan Pangan adalah suatu hal yang ditetapkan dan
diberlakukan sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian
pengambilan keputusan mengenai ketersediaan pangan untuk menjamin
produksi dan perdagangan pada tingkat makro (nasional) dalam hal
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Pangan Strategis adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik
yang diolah maupun tidak diolah antara lain beras, tepung terigu, jagung,
ubi kayu/singkong, gula, kedelai, dan daging sapi.
Perubahan stok adalah selisih antara stok akhir tahun dengan stok awal tahun.
Produksi adalah jumlah keseluruhan hasil masing-masing bahan makanan yang
dihasilkan dari sektor pertanian, yang belum mengalami proses
pengolahan maupun yang sudah mengalami proses pengolahan.
Stok adalah sejumlah bahan makanan yang disimpan/dikuasai oleh pemerintah
atau swasta yang dimaksudkan sebagai cadangan dan akan digunakan
apabila sewaktu-waktu diperlukan.
Sumberdaya Pangan Strategis adalah kondisi kapasitas produksi komoditas
pangan strategis dalam satuan ribu ton per tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan dan Program di bidang Ketersediaan Pangan
Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai
kekayaan sumberdaya alam yang sangat potensial, sudah sewajarnya harus
mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Selain itu, Indonesia
mempunyai potensi sumberdaya alam yang beragam dalam menjamin
ketersediaan pangan yang merata di seluruh pelosok tanah air sepanjang waktu.
Apabila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dalam arti luas,
Indonesia juga belum mampu mencapai swasembada, apalagi bila dikaitkan
dengan pemenuhan sumber karbihidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan terus bertambah
setiap

tahunnya,

serta

pesatnya

perkembangan

arus

globalisasi

akan

memerlukan ketersediaan pangan nasional yang cukup besar dan semakin
beragam.

Pembangunan

ketahanan

pangan

bertujuan

untuk

menjamin

ketersediaan pangan yang cukup dari segi jumlah, mutu, keamanan dan
keragaman, sehingga setiap rumah tangga mampu mengkonsumsi pangan
setiap

saat.

Pemerintah

menyelenggarakan

pengaturan,

pembinaan,

pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat. Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional, maka
perlu diupayakan agar terpenuhi dari produksi dalam negeri. Oleh karena itu,
kebijakan dan program mengenai ketersediaan pangan menjadi isu dalam
pembangunan subsistem ketersediaan yang mencakup pengaturan kestabilan
dan kesinambungan penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam
negeri, cadangan/perubahan stok, maupun impor dan ekspor.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjelaskan bahwa tujuan dari
pembangunan nasional yakni untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, berdaulat,
bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang
aman, tentram, tertib, dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, bersahabat, tertib, dan damai. Sejak tahun 1969/1970 pembangunan
nasional telah dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun I
(Repelita I).

20

21

Berdasarkan pembangunan ketahanan pangan nasional, subsistem
ketersediaan pangan, diperlukan kebijakan sebagai salah satu bagian dari tujuan
pembangunan nasional. Hal ini bertujuan agar pemerintah mampu mewujudkan
ketahanan

pangan

dengan

kestabilan

ketersediaan

pangan

nasional.

Penyelenggaraan kebijakan pembangunan ketersediaan pangan periode 19812010, pemerintah Republik Indonesia (RI) mengacu pada beberapa kebijakan
pembangunan nasional yang telah ditetapkan.
Beberapa kebijakan tersebut yang mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 yaitu Repelita III, Repelita IV, Repelita V, dan Repelita VI, Program
Pembangunan Nasional lima tahun (Propenas) sebagai penjabaran dari GBHN
tahun 1999-2004, serta kebijakan yang mengacu pada Pasal 19 ayat (1)
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 yakni Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Sedangkan kebijakan yang diatur atau
dikeluarkan oleh suatu badan tertentu, antara lain Rencana Aksi Pangan dan
Gizi (RANPG) 2001-2005 dan RANPG 2006-2010 oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana Strategis Badan Ketahanan
Pangan (Renstra BKP) 2001-2004 dan Renstra BKP 2005-2009, serta Kebijakan
Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2006-2009 oleh Badan Ketahanan Pangan
(BKP).
Repelita III tahun 1979/1980-1983/1984 mengacu pada Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 dan disusun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1979 tentang rencana pembangunan lima tahun ketiga. Tujuan
Repelita III antara lain, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
seluruh rakyat yang merata dan adil serta meletakkan landasaan yang kuat untuk
tahap pembangunan berikutnya. Kebijakan ketahanan pangan yang tercantum
dalam Repelita III bidang Pangan dan Perbaikan Gizi tersebut yaitu: 1)
mengusahakan agar penyediaan pangan makin meningkat dan merata, dan
pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat banyak serta cukup memberikan
gairah bagi petani untuk meningkatkan produksi; dan 2) mengusahakan
penganekaragaman

pola

konsumsi

pangan

rakyat

dan

mengurangi

ketergantungan pada beras.
Repelita IV tahun 1984/1985-1988/1989 mengacu pada Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 dan disusun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 1984 tentang rencana pembangunan lima tahun keempat.
Tujuan Repelita IV yakni, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan

22

kesejahteraan seluruh rakyat yang semakin merata dan adil, serta meletakkan
landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Berdasarkan dua
puluh delapan kebijakan yang terdapat di dalam Repelita IV, merupakan
kebijakan peningkatan dari kebijakan yang telah tercantum dalam Repelita III.
Kebijakan ketahanan pangan bidang Pangan dan Perbaikan Gizi dalam Repelita
IV yang tercantum tersebut bertujuan untuk: 1) meningkatkan penyediaan
pangan secara merata dan mencukupi kebutuhan gizi serta terjangkau oleh daya
beli rakyat; dan 2) menganekaragamkan pola konsumsi pangan rakyat dengan
mengusahakan agar konsumsi bahan pangan selain beras semakin meningkat.
Tabel 2 Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 1981-1990
Dokumen
Repelita
III

Kebijakan
 Peningkatan
produksi
dan
penganekaragaman pangan
 Pencapaian
memantapkan
pangan

sasaran
swasembada

 Penganekaragaman
pola
konsumsi pangan, peningkatan
produksi, dan pengadaan bahan
pangan bukan beras akan terus
ditingkatkan
Repelita
IV

 Penganekaragaman
pangan
dan teknologi industri pangan,
baik yang bersifat teknis
maupun fisik

 Pemerataan
persediaan/cadangan pangan

Program
 Membantu dan mendorong pemasaran dan pengolahan
bahan-bahan pangan seperti gandum, jagung, sorgum,
umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buahbuahan
 Peningkatan produksi pangan agar penyediaan pangan
makin meningkat dan merata serta terlaksana pada tingkat
harga yang terjangkau oleh daya beli rakyat dan cukup
memberikan jaminan harga bagi para petani produsen
untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui
peningkatan produksi mereka
 Di daerah-daerah yang penduduknya secara tradisional
tidak menggunakan beras sebagai makanan pokok akan
didorong untuk mempertahanakan kebiasaan tersebut dan
ditingkatkan mutu gizinya dengan menggunakan bahan
makanan setempat
 Disusun peta regional pola produksi dan pola konsumsi
bahan pangan pokok seperti beras, jagung, ubi kayu,
sagu, dan umbi-umbian
 Mempermudah penyediaan pangan bukan beras agar
terjangkau oleh daya beli rakyat
 Peningkatan perkembangan industri pengolahan pangan
 Mendorong usaha-usaha pembangunan industri bahan
pangan, khususnya jenis industri yang sesuai dengan
potensi daerah, dengan tujuan mengembangkan
penganekaragaman
pangan
serta
mengusahakan
kecukupan pangan secara lokal di setiap daerah
 Impor jenis pangan yang diproduksi di dalam negeri tetapi
belum
mencukupi
masih
dimungkinkan,
tanpa
mengabaikan kemungkinanan dampaknya yang dapat
merugikan usaha peningkatan produksi dalam negeri

Repelita V tahun 1989/1990-1993/1994 mengacu pada Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 dan disusun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 1989, dengan tujuan memadukan pertumbuhan ekonomi dan
transformasi struktur ekonomi dengan pemerataan pembangunan, khususnya
melalui penciptaan lapangan kerja produktif yang makin luas dan merata dengan
pengembangan sumberdaya manusia sebagai wahana sentral. Di dalam
Repelita V terdapat dua puluh delapan kebijakan untuk mengatasi permasalahan
pokok pada saat itu, yakni melakukan pemantapan, konsolidasi, dan peningkatan
pembangunan disetiap bidang kehidupan bangsa, agar bangsa Indonesia siap

23

untuk memasuki awal dari tahap tinggal landas