Evaluasi Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir

(1)

DEVI SANDY AMBARPRATIWI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

Fulfillment in Indonesia in the Last Three Decades. Under supervision of DRAJAT MARTIANTO.

The objective of this study was to evaluate the achievement of right to food and nutrition fulfillment in Indonesia in the last three decades (1980-2010). The study design was a descriptive study and a set of secondary data was used in the study. The evaluation used the indicators of right to food and nutrition that was established by FAO in 2006. The data was analyzed using Microsoft Excel 2007 for Windows and Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) version 16. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food availability per capita generally have been fulfilled. In the period 1980-2010, the level of energy availability was ranged from 98%-184% and protein was ranged from 87%-156%. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food access generally have not been fulfilled. The level of poverty and unemployment are still high although showed a decreasing trend. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food consumption generally have been fulfilled. In the period 1980-2010, the level of energy consumption was ranged 82%-102% and protein was ranged 88%-105%. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food safety generally have not been fulfilled. The food poisoning outbreak remains a serious problem significantly increasing each year. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of nutritional status generally have not been fulfilled. The nutritional status of children under five years according to the index weight for age, height for age, and weight for height is still considered a health problem base on WHO criteria.  

   


(3)

Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir (1980-2010). Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi ketersediaan pangan per kapita; 2) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi akses terhadap pangan berdasarkan tingkat kemiskinan dan indikator daya beli pangan; 3) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi konsumsi pangan; 4) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi keamanan pangan; 5) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi status gizi masyarakat; 6) Mempelajari hubungan ketersediaan energi dan protein per kapita dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian; 7) Mempelajari hubungan konsumsi energi dan protein per kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran; 8) Mempelajari hubungan konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan ketersediaan energi per kapita; 9) Mempelajari hubungan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan tingkat kemiskinan.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait. Pengolahan data dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada bulan April-Juli 2011. Evaluasi terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dianalisis secara deskriptif menggunakan indikator-indikator hak atas pangan yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO) tahun 2006. Jenis data yang digunakan terdiri atas data ketersediaan pangan per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pengeluaran, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, konsumsi pangan per kapita, Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan, dan status gizi. Data-data tersebut diolah menggunakan program Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16.

Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi ketersediaan pangan per kapita secara umum telah terpenuhi. Selama tiga dekade terakhir, perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein mengalami peningkatan dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan energi berkisar 98%-184% dan protein 87%-156%.

Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi akses pangan secara umum belum terpenuhi. Hal ini tercermin dari tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tergolong tinggi meski memperlihatkan kecenderungan yang menurun.

Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi konsumsi pangan per kapita secara umum telah terpenuhi. Selama tiga dekade terakhir, perkembangan konsumsi pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein mengalami peningkatan dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat konsumsi energi berkisar 82%-102% dan protein 88%-105%. Meski demikian, rata-rata pertumbuhan konsumsi energi dan protein


(4)

masih banyaknya kasus ketidakamanan pangan. Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan masih sering ditemukan. Secara umum pada periode tahun 1986-2010, KLB keracunan makanan meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Jumlah penderita KLB keracunan makanan pada periode 1986-2000 berkisar 321-3919 orang dan jumlah kasus KLB keracunan makanan pada periode 2001-2010 berkisar 26-197 kasus tiap tahunnya. Namun demikian, diduga masih banyak KLB keracunan pangan yang belum dilaporkan di Indonesia.

Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi status gizi masyarakat secara umum belum terpenuhi. Hal ini tercermin dari status gizi pada balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/U masih dikategorikan masalah kesehatan berdasarkan kriteria WHO. Masalah gizi mikro seperti gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dan anemia gizi besi (AGB) juga masih dikategorikan masalah kesehatan. Selain masalah kekurangan gizi, Indonesia juga mulai dihadapkan pada masalah gizi lebih. Adanya masalah gizi lebih menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan gizi ganda.

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata antara PDB per kapita dengan ketersediaan energi dan protein per kapita. Ketersediaan energi dan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya PDB per kapita. Akan tetapi, terdapat hubungan negatif dan nyata antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan energi dan protein per kapita. Ketersediaan energi dan protein per kapita semakin rendah seiring dengan meningkatnya persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN.

Terdapat hubungan negatif dan nyata antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi energi dan protein per kapita. Konsumsi energi dan protein per kapita semakin rendah seiring dengan meningkatnya persentase penduduk miskin. Sementara itu, terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi energi dan protein per kapita. Konsumsi energi dan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sebulan.

Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan konsumsi energi per kapita. Konsumsi energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya ketersediaan energi per kapita. Akan tetapi, tidak terdapat hubungan yang nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Sementara itu, terdapat hubungan yang positif dan nyata antara persentase penduduk miskin dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) semakin tinggi seiring dengan meningkatnya persentase penduduk miskin.


(5)

DEVI SANDY AMBARPRATIWI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir Nama : Devi Sandy Ambarpratiwi

NIM : I14070077

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si NIP 19640324 198903 1 004

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001


(7)

kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir” ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari arahan, masukan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, saran, semangat serta dorongan kepada penulis selama menjalankan studi di IPB dan selama penyusunan dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas segala saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Badan Pusat Statistik (BPS) RI, Kementerian Kesehatan RI, Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Kementerian Pertanian RI, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI atas kerjasama dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Keluarga tersayang: Papa, Mama, dan adikku Irdan yang setia memberi cinta, kasih, sayang, dukungan, doa, dan motivasi kepada penulis.

5. Sahabat-sahabat Prima: Devi Nur, Mayang, Nesyi, Siti Hajar atas persahabatan layaknya saudara yang menemani, mendukung, dan memberi semangat selama melaksanakan studi di IPB. Semoga persahabatan ini tetap prima.

6. Sahabat-sahabat tercinta: Ayu Mer, Detasya, Ainur, Rofika, Nicky, Isma, dan Ardita.

7. Teman-teman Luminaire atas kebersamaan, bantuan, pembelajaran, dan semangat yang telah diberikan.

8. Teman-teman seperjuangan : Anak Agung Ayu Widi Utari, Elfrida Yuliansari, dan Nesyi Febi Oktarina Putri yang telah berjuang bersama dari awal penelitian hingga selesai.


(8)

10. Teman-teman Internship Dietetic (ID) (Imam, Nesyi, Mbak Desie, Mbak Yudhit, dan Mbak Ummi) atas kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasamanya selama ID di Rumah Sakit Cibinong Bogor.

11. Keluarga besar Departemen Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU, teman-teman angkatan 43, 45, 46 atas segala bantuannya.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2011


(9)

Desember 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Engkos Kosasih dan Ibu Tita Maemunah.

Penulis memulai pendidikan di TK Islamiah Sayang Cianjur pada tahun 1994, kemudian melanjutkan ke SDN Tanjungsari II Cianjur pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001-2004, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Plus Al-Ittihad Cianjur. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMAN 1 Cianjur dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif menjadi anggota UKM Gentra Kaheman 2007/2008, anggota Klub Kebijakan Pangan dan Gizi Himagizi periode 2009/2010, dan staf marketing Majalah EMULSI periode 2010/2011. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Pada bulan Februari 2011, penulis melaksanakan Internship Dietetic (ID) di Rumah Sakit Cibinong Bogor. Selain itu, penulis juga aktif menjadi panitia dari berbagai acara yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (Himagizi). Penulis memiliki pengalaman dalam kepanitiaan diantaranya panitia Desa Mitra (DEMI) Himagizi, Gizi Bhakti Masyarakat Himagizi, Seminar Keprofesian Himagizi, Seminar Nasional Senzational (Gizi Seimbang yang Aman dan Enak). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Metabolisme Zat Gizi tahun 2010 dan Ekonomi Pangan dan Gizi tahun 2011.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Aspek Hak atas Pangan ... 5

Ketersediaan Pangan ... 5

Akses Pangan ... 6

Kemiskinan ... 7

Pengangguran ... 8

Produk Domestik Bruto (PDB) ... 9

Konsumsi Pangan ... 10

Kerawanan Pangan ... 12

Keamanan Pangan ... 13

Status Gizi ... 15

KERANGKA PEMIKIRAN... 17

METODOLOGI PENELITIAN ... 19

Desain, Tempat, dan Waktu ... 19

Jenis dan Sumber Data ... 19

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Definisi Operational ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Perkembangan Ketersediaan Pangan Per Kapita di Indonesia ... 25

Perkembangan Akses Pangan di Indonesia ... 27

Tingkat Kemiskinan ... 27

Tingkat Pengangguran ... 29

Pengeluaran Per Kapita ... 31

Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita ... 32

Perkembangan Konsumsi Pangan di Indonesia ... 33

Kerawanan Pangan ... 36

Perkembangan Keamanan Pangan di Indonesia ... 37

Perkembangan Status Gizi Masyarakat di Indonesia ... 41

Status Gizi ... 41

a. Status Gizi Balita ... 41

b. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ... 45

c. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) ... 46


(11)

Halaman

e. Kurang Vitamin A (KVA) ... 50

f. Gizi Lebih ... 51

Kesehatan Lingkungan ... 52

a. Akses Air Minum Layak ... 52

b. Akses Sanitasi Layak ... 53

Hubungan Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita dan Persentase Anggaran Kementerian Pertanian di Indonesia ... 55

Hubungan Konsumsi Energi dan Protein Per Kapita dengan Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengeluaran di Indonesia ... 59

Hubungan Konsumsi Energi Per Kapita dan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Ketersediaan Energi Per Kapita di Indonesia ... 64

Hubungan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia ... 65

Perkembangan Kebijakan dan Program di Bidang Ketahanan Pangan dan Gizi dan Pencapaiannya ... 67

KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

Kesimpulan ... 78

Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB

standar baku antropometri WHO-NCHS ... 16 2 Jenis, sumber, dan tahun data penelitian ... 19 3 Indikator pemenuhan hak atas pangan dan gizi terpilih ... 22 4 Perkembangan jumlah penderita kejadian luar biasa (KLB)

keracunan makanan di Indonesia tahun 1986-2000 ... 38 5 Perkembangan kejadian luar biasa keracunan makanan yang

terlaporkan tahun 2001-2010 ... 39 6 Prevalensi pendek/stunting anak balita < 2SD dari beberapa

jenis survei... 44 7 Prevalensi kurus/wasting anak balita < 2SD dari beberapa

jenis survei... 44 8 Proporsi BBLR SDKI dan Riskesdas ... 46 9 Perkembangan prevalensi xerophthalmia (X1B) tahun 1977-2006 ... 50 10 Masalah gizi mikro di Indonesia berdasarkan studi masalah gizi

mikro di 10 provinsi... 51 11 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi

periode Repelita III dan Repelita IV ... 69 12 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi

periode Repelita V dan Repelita VI ... 70 13 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi

periode Propenas dan RPJMN 2004-2009 ... 71 14 Perkembangan pencapaian pemenuhan hak atas pangan dan gizi di


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Komponen-komponen hak atas pangan ... 5 2 Kerangka pemikiran evaluasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di

Indonesia dalam tiga dekade terakhir ... 18 3 Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 25 4 Perkembangan ketersediaan protein per kapita di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 26 5 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 27 6 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 30 7 Perkembangan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga

konstan di Indonesia tahun 1980-2010 ... 31 8 Perkembangan PDB per kapita atas dasar harga konstan di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 32 9 Perkembangan konsumsi energi per kapita di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 33 10 Perkembangan konsumsi protein per kapita di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 34 11 Perkembangan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE)

di Indonesia tahun 1987-2010 ... 36 12 Perkembangan prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia

tahun 1986-2010 ... 42 13 Perkembangan prevalensi gondok total (TGR) di Indonesia

tahun 1980-2003 ... 46 14 Perkembangan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil

di Indonesia tahun 1986-2007 ... 48 15 Perkembangan prevalensi anemia gizi besi pada balita di Indonesia

tahun 1992-2006 ... 49 16 Perkembangan prevalensi gizi lebih (BB/U) pada balita di Indonesia

tahun 1989-2010 ... 52 17 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sumber


(14)

Halaman 18 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses

sanitasi layak di Indonesia tahun 1980-2009 ... 54 19 Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan PDB

per kapita di Indonesia (1980-2010) ... 55 20 Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan PDB

per kapita di Indonesia (1980-2010) ... 56 21 Perkembangan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap

total RAPBN di Indonesia tahun 1980-2010 ... 57 22 Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase

anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 57 23 Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan persentase

anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia

tahun 1980-2010 ... 58 24 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan persentase

penduduk miskin di Indonesia (1980-2010) ... 60 25 Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan persentase

penduduk miskin di Indonesia (1980-2010) ... 61 26 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan pengeluaran per

kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia (1980-2010) .... 62 27 Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan pengeluaran per

kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia (1980-2010) .... 63 28 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan ketersediaan

energi per kapita di Indonesia (1980-2010) ... 64 29 Hubungan antara persentasi penduduk defisit energi (<70% AKE)


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per

kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan ... 86 2 Hasil uji korelasi Person hubungan ketersediaan energi dan protein

dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian

Pertanian ... 86 3 Hasil uji korelasi Person hubungan konsumsi energi dan protein

per kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran ... 87 4 Hasil uji korelasi Person hubungan konsumsi energi per kapita dan

persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan ketersediaan

energi per kapita ... 87 5 Hasil uji korelasi Person hubungan persentase penduduk defisit energi


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Pemenuhan pangan merupakan hak bagi setiap individu di setiap negara. Hak atas pangan telah diakui sebagai komponen utama pada hak atas standar kehidupan yang layak semenjak dicetuskannya Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hak ini secara luas diakui di dalam hukum internasional, seperti disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 25 ayat (1) bahwa “setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan...”

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR) tahun 1966 pada pasal 11 ayat (1) lebih lanjut menyebutkan bahwa “Negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak untuk diri dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan papan yang layak, serta peningkatan kondisi hidup yang berkelanjutan.” Negara yang meratifikasi ketentuan dasar hak asasi manusia ini berarti mengakui bahwa hak atas pangan yang cukup harus direalisasikan secara progresif dan negara berkewajiban untuk: 1) menghormati, 2) melindungi, dan 3) memenuhi hak manusia atas pangan dan gizi.

Hak atas pangan merupakan hak atas semua elemen gizi yang dibutuhkan setiap individu untuk hidup sehat dan aktif dan memiliki akses untuk mendapatkannya (FAO 2010). Menurut FAO (2006a), pemenuhan hak atas pangan dibangun berdasarkan tiga aspek yaitu: ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan kecukupan pangan (food adequacy).Lebih lanjut Komentar Umum No. 12 menjelaskan bahwa inti dari hak atas pangan yang cukup adalah: 1) Ketersediaan pangan dalam kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan individu, bebas dari substansi yang merugikan, serta bisa diterima oleh budaya setempat, 2) Aksesibilitas pangan yang berkesinambungan dan tidak mengganggu pemenuhan hak asasi manusia lainnya.

Sejauh mana kewajiban negara dalam merealisasikan pemenuhan hak atas pangan, Komentar Umum Nomor 12 mendefinikan bahwa pemenuhan hak atas pangan yang cukup terrealisasi ketika “setiap laki-laki, perempuan dan anak,


(17)

secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain, memiliki akses ekonomi dan fisik pada setiap waktu atas pangan yang cukup atau cara untuk mendapatnya”. Hak atas pangan yang cukup harus diwujudkan secara progresif. Meski demikian, negara mempunyai kewajiban inti untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengurangi dan menurunkan kelaparan, bahkan di kala bencana alam atau lainnya.

Sebelum lahir Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, Indonesia telah lebih dahulu mempunyai komitmen akan pentingnya pemenuhan pangan setiap penduduk Indonesia, sebagai bagian dari penjabaran Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab di dalam memenuhi kebutuhan dasar (termasuk pangan) bagi setiap warganya. Memperkokoh aspek legal internasional dan UUD 1945 tersebut, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan juga menekankan bahwa pangan adalah hak asasi manusia (HAM) (Hardinsyah 2001).

Ketahanan pangan merupakan kondisi awal untuk dapat mewujudkan hak atas pangan yang cukup bagi setiap individu. Begitu juga sebaliknya, pemenuhan hak atas pangan dapat mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan (FAO 2010). Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 ayat (17) yang menyebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.” Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu pihak berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan di pihak lain pemerintah berkewajiban meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah.

Hasil kesepakatan dari Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan akan terwujud “ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat”. World Food Summit

yang dilaksanakan oleh FAO tahun 1996 tersebut menghasilkan deklarasi dan rencana aksi (plan of action) untuk mengurangi jumlah penduduk rawan pangan (food insecurity) menjadi setengahnya pada tahun 2015.


(18)

Konsep dan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional telah dimulai sejak awal kemerdekaan, yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu hingga Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Namun demikian, berkembang pesatnya penduduk beserta seluruh aktivitas sosial, ekonomi, dan politik telah menimbulkan tantangan dan masalah yang sangat kompleks dan sangat mempengaruhi upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional (Suryana 2001).

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama periode tahun 2000-2010 sebesar 1,49% (BPS 2010a). Kondisi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 meningkat lebih dari setengahnya (61%) dari jumlah penduduk tahun 1980 (147,5 juta jiwa) (BPS 2010b). Menurut DKP (2011), dengan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia yang masih tinggi, maka dapat menjadi ancaman yang cukup besar dalam upaya penyediaan pangan nasional. Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka permintaan pangan akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan meningkat dalam jumlah, mutu, keragaman jenis, dan keamanannya.

Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa termasuk Indonesia, memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional dengan keragaman antar daerah. Tidak satupun negara dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketahanan pangannya. Oleh sebab itu, perwujudan ketahanan pangan yang bertumpu pada sumberdaya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal telah menjadi komitmen nasional untuk diwujudkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama masyarakat dalam arti luas termasuk dunia usaha yang bergerak di bidang pangan (Suryana 2001).

Menyadari pentingnya negara dalam merealisasikan pemenuhan hak atas pangan dan gizi maka evaluasi terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya menggambarkan sejauh mana negara dalam merealisasikan kewajibannya. Khususnya, menilai dampak dinamika tatanan sosial ekonomi politik terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia.


(19)

Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir (1980-2010). Tujuan khususnya adalah:

1. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi ketersediaan pangan per kapita.

2. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi akses terhadap pangan berdasarkan tingkat kemiskinan dan indikator daya beli pangan.

3. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi konsumsi pangan.

4. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi keamanan pangan.

5. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi status gizi masyarakat.

6. Mempelajari hubungan ketersediaan energi dan protein per kapita dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian.

7. Mempelajari hubungan konsumsi energi dan protein per kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran.

8. Mempelajari hubungan konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan ketersediaan energi per kapita.

9. Mempelajari hubungan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan tingkat kemiskinan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana pemerintah merealisasikan kewajibannya dalam memenuhi hak atas pangan dan gizi bagi setiap warga negara Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan dan program yang tepat untuk mewujudkan ketahanan pangan dan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Hak atas Pangan

Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah umum "all people (semua orang)" (FAO 2008). Atribut substantif dari hak atas pangan yang cukup pada dasarnya sama dengan ketahanan pangan yang didefinisikan oleh FAO, yaitu memiliki tiga pilar: ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan kecukupan pangan (food adequacy) (FAO 2006a). Pendekatan berbasis hak pada hak atas pangan memperluas ruang lingkup konsep ketahanan pangan (FAO 2008).

s

Gambar 1 Komponen-komponen hak atas pangan (FAO 2006a) Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989).

Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, dan keamanannya. Terdapat acuan kuantitatif untuk ketersediaan

Ke te rs e d iaa n Pangan A kse s P a n g a n K e cu kup a n Pangan

Hak atas Pangan

Berbasis Hak Asasi Manusia

Tran sp ara n Partisipasi N o n-d is k ri mina s i   Pemberda ya an Akuntabilitas Martab at Manu sia Penega ka n Hu kum


(21)

pangan, yaitu Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita per hari untuk energi sebesar 2.200 kkal dan protein 57 gram. Angka tersebut merupakan standar kebutuhan energi bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2.550 kkal/kap/hari dan kecukupan protein sebesar 55 gram/kap/hari. Di samping itu juga terdapat acuan untuk menilai tingkat keragaman ketersediaan pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai PPH ideal. Kinerja keragaman ketersediaan pangan pada suatu waktu dapat dinilai dengan metode PPH (Bappenas 2008a).

Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) impor pangan; dan (3) pengelolaan cadangan pangan. Mengingat jumlah penduduk yang cukup besar dengan kemampuan ekonomi yang relatif lemah, serta kemauan untuk menjadi bangsa yang mandiri, bangsa Indonesia telah sepakat untuk memenuhi sebesar mungkin kebutuhan pangannya dari produksi dalam negeri. Impor pangan merupakan pilihan akhir apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri. Hal ini secara politik dianggap penting untuk menghindarkan bangsa ini dari ketergantungan pangan terhadap negara lain, yang dapat berdampak pada kerentanan terhadap campur tangan asing secara ekonomi dan politik. Kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok, juga menyangkut harkat dan kelanjutan eksistensi bangsa (Bappenas 2008a).

Akses Pangan

Menurut Bappenas (2010b), akses pangan adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial, alam, manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/ atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumahtangga mampu dan memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut.

Akses pangan setiap individu sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinu (Bappenas 2007). Aksesibilitas pangan atau keterjangkauan pangan oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: harga pangan, tingkat pendapatan atau daya beli, kestabilan keamanan sosial, anomali iklim, bencana alam, lokasi dan topografi


(22)

wilayah, keberadaan sarana dan prasarana transportasi, kondisi jalan perhubungan, dan lainnya (DKP 2011).

Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah (Bappenas 2010b). Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1998), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa.

Menurut Suhardjo (2008), kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).

Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang dikukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditas. Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis komoditi untuk pedesaan (BPS 2008).

World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam


(23)

menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganalisis kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari (BPS 2008).

Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan “lingkaran setan” yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989).

Pengangguran

Salah satu penyebab terjadinya kekurangan pangan yaitu masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat yang berarti daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin sulit diwujudkan (Suntoro 2004).

Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran atau konsumsinya yang pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya tingkat kualitas hidup atau kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan atau berlangsung lama juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi penganggur bahkan keluarganya. Dari sisi nasional, tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan ketidakstabilan politik, keamanan, dan sosial sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Akibat jangka panjangnya adalah menurunnya Produk Nasional Bruto (Gross National Product) dan pendapatan per kapita suatu negara (BPS 2007a).

Konsep dan definisi ketenagakerjaan yang digunakan BPS dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada konsep yang berlaku secara


(24)

internasional dari ILO (ILO Concept Approach). Hal ini bertujuan agar indikator ketenagakerjaan Indonesia bersifat internasional sehingga dapat dibandingkan dengan negara lain. Menurut konsep ILO, penganggur terbuka atau dikenal dengan istilah pengangguran didefinisikan sebagai mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Definisi ini digunakan pada pelaksanaan Sakernas sebelum tahun 2001, sedangkan sejak tahun 2001 definisi pengangguran mengalami penyesuaian/ perluasan menjadi sebagai berikut: penganggur adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, dan yang tidak mencari pekerjaan (BPS 2007b).

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memberikan indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

TPT = (Penganggur/ Angkatan Kerja) x 100 %

Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit (orang) maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pengangguran yang tinggi akan saling berkaitan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan kemiskinan serta berdampak terhadap timbulnya berbagai masalah kerawanan sosial di suatu wilayah (BPS 2007a).

Produk Domestik Bruto (PDB)

Perkembangan ekonomi akan sesuai dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi (economic resources). Sumber daya tersebut adalah tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Ketiga sumber daya tersebut dalam ilmu ekonomi disebut sebagai faktor-faktor produksi (factor of production). Dengan menggunakan faktor produksi tersebut, input antara (intermediate input) atau bahan baku dapat diubah menjadi output. Pengertian inilah yang relevan dengan istilah nilai tambah (value added). Penjumlahan nilai tambah dalam satu periode tertentu di suatu wilayah tertentu dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) (BPS 2010c).

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (1 tahun). PDB per kapita diperoleh apabila PDB per kapita dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di suatu negara tertentu. PDB menunjukkan


(25)

kemampuan sumber daya ekonomi suatu negara menghasilkan output pada suatu periode waktu. Nilai PDB yang besar menunjukkan output yang dihasilkan besar, begitu juga sebaliknya (BPS 2007b). Nilai tambah yang diciptakan, diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan) sektor ekonomi yaitu, sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih, bangunan, perdagangan-hotel-restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan-real estat-jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa (BPS 2010c).

Nilai PDB disajikan melalui dua harga, yaitu atas dasar harga berlaku (at current market prices) dan harga konstan (constant prices). Konsep atas dasar harga konstan merupakan PDB atas dasar harga berlaku yang telah “dihilangkan” pengaruh perubahan harga. Oleh karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi dihitung dari PDB atas penilaian harga konstan. Hal ini mengandung maksud bahwa pertumbuhan ekonomi benar-benar merupakan pertumbuhan volume barang dan jasa, bukan nilai yang masih mengandung perubahan harga (BPS 2010c).

Konsumsi Pangan

Pangan bagi makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Namun, berbeda dengan kebutuhan hidup lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama jika dialami dalam jangka waktu lama, akan berdampak buruk pada kesehatan (Khumaidi 1989).

Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi.

Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Menurut Nasoetion dan Riyadi (1995), tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya.


(26)

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan.

Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982).

Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan (DKP 2009).

FAO (2006b), menetapkan konsumsi pangan sebagai salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu. Menurut DKP (2009), tercukupinya kebutuhan pangan antara lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara kualitatif. Untuk menilai pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII menganjurkan


(27)

konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing adalah 2.000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2.200 kkal/kap/hari dan kecukupan protein sebesar 48 gram/kap/hari.

Untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan, selain diperlukan informasi tentang kuantitas konsumsi pangan perlu pula diketahui tingkat kualitasnya. Kualitas atau mutu konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai/ skor Pola Pangan Harapan (PPH). Nilai/ skor PPH ini dapat memberikan informasi mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi, yang menggambarkan pencapaian ragam (diversifikasi) konsumsi pangan. Semakin besar skor PPH yang dianggap sempurna diberikan pada angka kecukupan gizi dengan skor PPH mencapai 100 (Bappenas 2007b).

Kerawanan Pangan

Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat (Bappenas 2007b).

Secara umum, kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan pangan dapat bersifat: (1) kronis, yang ditampakkan dengan adanya gejala kurang makan secara terus menerus karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik cara membeli atau menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikan rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; (2) kerawanan trasien, yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi, dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan musim, konflik sosial, dan lain-lain. Dampak buruk terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan


(28)

kemiskinan structural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya (BBKP 2003).

Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga (DKP 2009).

Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein (DKP 2006).

Berdasarkan Depkes (1996), jika tingkat konsumsi energi <70% dikatakan defisit tingkat berat, 70-79% dikatakan defisit tingkat sedang, 80-89% dikatakan defisit tingkat ringan, 90-119% dikatakan normal dan ≥120% dikatakan berlebihan. Bappenas (2007b), mendefinisikan penduduk rawan pangan sebagai mereka yang rata-rata tingkat konsumsi energinya antara 71–89% dari norma kecukupan energi, sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi.

Keamanan Pangan

Aspek keamanan pangan menjadi salah satu terpenting dalam ketahanan pangan, dimana pangan tidak hanya tersedia dalam jumlah yang cukup, tetapi juga dalam kondisi yang aman untuk dikonsumsi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan pangan menjadi salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu (FAO 2006b). Mutu dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh langsung


(29)

terhadap kesehatan manusia, tetapi juga terhadap produktifitas ekonomi dan perkembangan sosial, baik individu, masyarakat, maupun negara. Selain itu, persaingan internasional yang semakin ketat di bidang perdagangan makanan menuntut produk-produk makanan lebih bermutu dan aman. Mutu dan keamanan pangan terkait erat dengan kualitas pangan yang dikonsumsi sehingga berpengaruh kepada kualitas kesehatan serta pertumbuhan fisik dan intelegensi manusia (BBKP 2003).

Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/ senyawa beracun atau organisme patogen. Penyakit semacam ini masih sering terjadi di Indonesia. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama, yaitu infeksi dan intoksifikasi. Istilah infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksifikasi adalah keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun (Anwar 2006).

Dalam aspek keamanan pangan, ada dua hal penyebab permasalahan yang memerlukan penanganan lebih lanjut, yaitu: (1) residu pestisida pada beberapa produk pertanian yang sudah melampaui batas toleransi, dan meninggalkan residu di atas ambang batas maksimum, baik pada produk maupun pada lingkungan usahatani; dan (2) perilaku produsen makanan jajanan (banyak yang belum terdaftar), yang dalam proses produksinya belum menggunakan standar yang ditetapkan, bahkan kadang menggunakan zat pengawet, zat pewarna, dan zat pemanis buatan yang tidak sesuai ketentuan. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan keracunan pada makanan, bahkan dapat menjadi salah satu penyebab Penyakit Bawaan Makanan/ PBM (foodborne disease) bagi konsumen (DKP 2011).

Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan (Bappenas 2007b). Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan dapat terjadi karena adanya interaksi antara agen pangan dengan inang, yang menyebabkan infeksi atau intoksikasi. Ada dua tipe KLB keracunan pangan, pertama adalah kasus-kasus sporadis yang tersebar di lingkungan masyarakat melalui air maupun pangan (protracted outbreak). Kasus ini juga dapat tersebar


(30)

pada suatu tempat (rumah sakit, hotel, industri, asrama, dan lain-lain). Kedua, keracunan pangan sebagai point source, misalnya terjadi pada saat pesta, baik di sekolah maupun di rumah tangga ataupun di pertemuan-pertemuan sosial (Sparringa & Rahayu 2011).

WHO (World Health Organization) mendefinisikan KLB penyakit akibat pangan (foodborne disease outbreak) secara point source outbreak sebagai kejadian di mana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi suatu pangan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai penyebabnya. Pada kasus KLB sporadis atau protracted outbreak, yang disebut sebagai kejadian luar biasa akibat pangan adalah peningkatan kejadian kesakitan/ kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Contohnya, air dan pangan yang telah terkontaminasi tersebar dalam masyarakat/ suatu tempat dan telah melampaui

baseline jumlah kasus pada suatu populasi yang dibandingkan dengan kasus yang sama pada periode tertentu (Sparringa & Rahayu 2011).

Status Gizi

Status gizi dan kesehatan merupakan indikator kesehatan yang ada kaitannya dengan kualitas hidup. Pengukuran pertumbuhan dan perkembangan anak melalui cara antropometri paling banyak digunakan dalam menilai status gizi masyarakat (BPS 2000). Pengukuran status gizi anak umumnya digunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pemantauan status gizi balita lebih tepat menggunakan baku WHO-NCHS 2005 dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (Z-skor). Keuntungan penggunaan Z-skor adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Gibson 1993).

Indeks BB/U dipakai untuk memantau pertumbuhan berat badan anak secara individual dan menggambarkan status gizi saat ini (current nutritional status). Indeks TB/U dapat memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks ini bersifat independen terhadap umur (Supariasa et al. 2001). Penilaian status gizi menurut WHO-NCHS adalah sebagai berikut:


(31)

Tabel 1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB standar baku antropometri WHO-NCHS

No Indeks Batas Pengelompokan Status Gizi

1 BB/U

< -3 SD Z-skor Gizi buruk

- 3 ≤ Z-skor <-2 SD Gizi kurang

- 2 SD ≤ Z-skor ≤ 2 SD Gizi baik

> 2 SD Z-skor Gizi lebih

2 TB/U

< -3 SD Z-skor Sangat Pendek

- 3 ≤ Z-skor <-2 SD Pendek

- 2 SD ≤ Z-skor ≤ 2 SD Normal

> 2 SD Z-skor Tinggi

3 BB/TB

< -3 SD Z-skor Sangat Kurus

- 3 ≤ Z-skor <-2 SD Kurus

- 2 SD ≤ Z-skor ≤ 2 SD Normal

> 2 SD Z-skor Gemuk

Sumber: Kemenkes 2011

Menurut Supariasa et al. (2002), status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari gizi dalam bentuk variabel tertentu. Sebagai contoh adalah Kurang Energi Protein (KEP) merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran energi dan protein di dalam tubuh seseorang. Status gizi yang optimal adalah keseimbangan antara asupan gizi dengan kebutuhan zat gizi sehingga asupan gizi mempengaruhi status gizi seseorang.


(32)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Pemenuhan pangan merupakan hak bagi setiap individu di setiap negara. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sebagai suatu negara menunjukkan komitmennya bahwa pemenuhan pangan merupakan hal yang penting bagi setiap penduduk Indonesia, sebagai penjabaran pasal 34 dan pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa negara berkewajiban di dalam memenuhi kebutuhan dasar (termasuk pangan) bagi setiap warganya. Memperkokoh UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 mengamanatkan pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-undang ini merupakan salah satu produk hukum yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pangan di Indonesia saat ini. Menyadari pentingnya ketahanan pangan dan sebagai pelaksanaan UU Pangan No. 7 Tahun 1996, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Pentingnya pembangunan pangan guna terwujudnya pemenuhan hak atas pangan, kebijakan-kebijakan umum negara sering kali meletakkan ketahanan pangan sebagai salah satu pilar penopang keberlanjutan pemerintah dan bangsa Indonesia. Pada awal era orde baru, salah satu prioritas Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yaitu pangan dan perbaikan gizi. Selanjutnya pada era reformasi saat ini, disusun Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) sebagai acuan bagi para stakeholders pangan. Argumen KUKP pada intinya menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan umum tersebut menjadi arahan pemerintah daerah dalam menentukan program dan sasaran yang tepat guna merealisasikan kewajibannya dalam menjamin pemenuhan pangan bagi setiap warga.

Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu bukan pada istilah umum "all people (semua orang)". Komponen dari hak atas pangan yang cukup pada dasarnya sama dengan ketahanan pangan yang didefinisikan oleh FAO, yaitu memiliki tiga pilar: ketersediaan pangan, akses


(33)

pangan, dan kecukupan pangan. Komponen-komponen tersebut merupakan aspek penting dalam memantau dan menilai sejauh mana negara merealisasikan pemenuhan hak atas pangan dan gizi bagi setiap warganya (FAO 2008). Kerangka pemikiran evaluasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada Gambar 2.

Upaya Pemerintah/ Negara

Indikator Pemenuhan Hak atas Pangan

dan Gizi Undang-Undang (UU)

dan Peraturan Pemerintah (PP)

Kebijakan Program dan Anggaran Output/ Outcome

Keterangan:

: bagian yang diteliti : bagian yang tidak diteliti

Gambar 2 Kerangka pemikiran evaluasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir

Program:

• Peningkatan produktivitas komoditas pangan

• Pemberdayaan lumbung pangan masyarakat

• Subsidi Pangan

• P2KPG

• Desa Mandiri Pangan, dll

Anggaran:

• Anggaran Pertanian

• Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

• Program Pembangunan Nasional (Propenas)

• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

• Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP)

1 Ketersediaan

Pangan 2 Akses Pangan 3 Kecukupan

Pangan

‐ Kebutuhan

Pangan a. Konsumsi

Pangan b. Status

Gizi

‐ Keamanan

Pangan

  • UU Pangan No. 7

Tahun 1996

• PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

• PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan pangan

• PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan

• PP No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal

• UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009


(34)

METODOLOGI PENELITIAN

Desain, Waktu, dan Tempat

Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada bulan April-Juli 2011.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder. Jenis, sumber, dan tahun data penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis, sumber, dan tahun data penelitian

No. Jenis Data Sumber Data Tahun Data

1 Ketersediaan Pangan Kementerian Pertanian RI,

Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

1980 s.d. 2010

2 Tingkat Kemiskinan Badan Pusat Statistik RI

(BPS RI)

1980 s.d. 2010

3 Tingkat Pengangguran SAKERNAS, Badan Pusat

Statistik RI (BPS RI)

1980 s.d. 2010

4 Pengeluaran Per Kapita Sebulan SUSENAS, Badan Pusat

Statistik RI (BPS RI)

1980 s.d. 2010

5 Produk Domestik Bruto (PDB) Per

Kapita

International Monetary Fund

(IMF)

1980 s.d. 2010

6 Konsumsi Pangan SUSENAS, Badan Pusat

Statistik RI (BPS RI)

1980 s.d. 2010

7 Keamanan Pangan Kementerian Kesehatan RI

dan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI)

1986 s.d. 2010

8 Status Gizi Kementerian Kesehatan RI

(Riskesdas, SKRT, SDKI) dan BPS RI

1980 s.d. 2010

9 Akses Air Bersih dan Sanitasi

Layak

SUSENAS, Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) dan SKRT

1980 s.d. 2010

10 Anggaran Kementerian Pertanian Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (BAPPENAS RI)

1980 s.d. 2010

11 Dokumen Kebijakan & Program :

- Repelita

- Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP)

- Program Pembangunan Nasional (Propenas) - RPJMN

- Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG)

BAPPENAS

Badan Ketahanan Pangan (BKP), Kementerian Pertanian

BAPPENAS BAPPENAS BAPPENAS


(35)

Data ketersediaan pangan diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketersediaan energi dan protein per kapita di Indonesia. Menurut Depkes (1996), situasi ketersediaan pangan (%AKE) dikelompokkan menjadi:

• < 70% : Defisit tingkat berat • 70 – 79% : Defisit tingkat sedang • 80 – 89% : Defisit tingkat ringan • 90 – 119% : Normal

• ≥ 120% : Kelebihan

Aksesibilitas pangan pada penelitian ini dilihat berdasarkan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, pengeluaran per kapita sebulan, dan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel tingkat kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data persentase penduduk miskin. Variabel tingkat pengangguran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tingkat pengangguran terbuka (TPT). Variabel pengeluaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan. Pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan merupakan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku yang dihitung menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK). Perhitungan pengeluaran per kapita atas dasar harga konstan menggunakan rumus:

Data Produk Domestik Bruto (PDB) diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah data PDB per kapita atas dasar harga konstan.

Data konsumsi pangan diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumsi energi dan protein per kapita di Indonesia. Kemudian, data persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) diperoleh dari pengolahan data konsumsi energi per kapita. Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi energi aktual dengan angka kecukupan energi dalam persen. Menurut Supariasa et al. (2001), secara umum tingkat konsumsi energi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pengeluaran harga konstan = Pengeluaran harga berlaku x IHK tahun dasar IHK berlaku 


(36)

TKGi = Tingkat konsumsi energi individu Ki = Konsumsi energi

AKGi = Angka kecukupan energi

Klasifikasi tingkat kecukupan pangan (konsumsi energi dan protein) dikelompokan menjadi:

• < 70% : Defisit tingkat berat • 70 – 79% : Defisit tingkat sedang • 80 – 89% : Defisit tingkat ringan • 90 – 119% : Normal

• ≥ 120% : Kelebihan (Depkes 1996)

Data keamanan pangan diperoleh dari data nasional selama dua puluh empat tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Indonesia.

Data status gizi masyarakat diperoleh dari data status gizi balita dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Selain itu, digunakan data proporsi berat badan lahir rendah (BBLR), prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), prevalensi anemia gizi besi (AGB), dan prevalensi kurang vitamin A (KVA), dan prevalensi gizi lebih. Selain itu, digambarkan pula angka kematian balita dan umur harapan hidup.

Kesehatan lingkungan dilihat dari data akses air dan sanitasi layak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum dan sanitasi yang layak di Indonesia.

Data anggaran Kementerian Pertanian diperoleh dari RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel anggaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia.

Data kebijakan dan program di bidang ketahanan pangan dan gizi diperoleh dari dokumen-dokumen nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Dokumen-dokumen yang digunakan yaitu Repelita III s.d. Repelita VI, Propenas 1999-2004, dan RPJMN 2004-2009.


(37)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16. Evaluasi terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dianalisis secara deskriptif menggunakan indikator-indikator hak atas pangan yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO) tahun 2006. Indikator-indikator tersebut digunakan sebagai alat untuk mengukur realisasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di tingkat nasional. Berikut merupakan tabel indikator terpilih yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 3 Indikator pemenuhan hak atas pangan dan gizi terpilih

Indikator Sub Indikator

1 Ketersediaan Pangan (Food Availability)

1.1 Ketersediaan pangan per kapita

‐ Ketersediaan energi dan protein per kapita

2 Akses Pangan (Food Accessibility)

2. 1 Persentase populasi miskin dan sangat miskin

- Persentase dan jumlah penduduk miskin - Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) - Pengeluaran per kapita sebulan - PDB per kapita

3. Kecukupan Pangan (Food Adequacy)

3.1 Kebutuhan Pangan

3.1.1 Persentase populasi kekurangan gizi (undernutrition)

- Konsumsi energi dan protein per kapita - Persentase penduduk defisit energi (<70%

AKE)

- Prevalensi balita Underweight,Stunted,dan

Wasted

- Proporsi BBLR 3.1.2 Persentase populasi

defisiensi zat gizi mikro

- Prevalensi GAKY - Prevalensi Anemia - Prevalensi Xeropthalmia 3.1.3 Persentase populasi

kelebihan gizi

(overnutrition)

- Prevalensi balita gizi lebih

- Prevalensi overweight pada remaja

3.2 Keamanan Pangan 3.2.1 Kejadian Luar Biasa

(KLB) keracunan makanan

3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak*)

Ket. : indikator-indikator terpilih dengan penyesuaian

*) termasuk ke dalam aspek ketersediaan pangan, akses pangan, dan kecukupan pangan


(38)

Analisis data dilakukan dengan cara mempelajari perkembangan ketersediaan energi dan protein per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, pengeluaran per kapita sebulan, PDB per kapita atas dasar harga konstan, konsumsi energi dan protein per kapita, persentase penduduk defisit energi (<70%AKE), Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan, dan status gizi masyarakat. Ketersediaan energi dan protein per kapita kemudian dipelajari hubungannya dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN. Konsumsi energi dan protein per kapita dipelajari hubungannya dengan tingkat kemiskinan dan pengeluaran per kapita sebulan. Konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dipelajari hubungannya dengan ketersediaan energi per kapita. Persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dipelajari hubungannya dengan tingkat kemiskinan.

Kebijakan dan program ketahanan pangan dan gizi dianalisis secara deskriptif dengan metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk melihat arah kebijakan ketahanan pangan dan gizi selama tiga dekade terakhir, yaitu dari Repelita III, Repelita IV, Repelita V, Repelita VI, Propenas 1999-2004, sampai RPJMN 2004-2009. Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan gizi selama tiga dekade terakhir (1980-2010).

Definisi Operasional

Anggaran Kementerian Pertanian adalah rencana keuangan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian RI untuk membiayai semua pengeluaran Kementerian Pertanian selama 1 tahun.

Gizi kurang adalah indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) dengan Z-skor <-2 SD (underweight), tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan Z-skor <-2 SD (stunted), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan - 3 ≤ Z-skor <-2 SD (wasted).

Hak atas pangan adalah hak atas semua elemen gizi yang dibutuhkan setiap individu untuk hidup sehat dan aktif dan memiliki akses untuk mendapatkannya (FAO 2010).


(39)

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi domestik

atau dari sumber lain untuk memenuhi kebutuhan pangan di suatu negara tertentu.

Ketersediaan pangan per kapita adalah ketersediaan rata-rata tiap individu di suatu negara yang merupakan hasil bagi antara ketersediaan pangan suatu negara dengan jumlah penduduk pertengahan tahun negara tersebut.

Konsumsi pangan adalah kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.

Konsumsi pangan per kapita adalah konsumsi rata-rata tiap individu di suatu negara yang merupakan hasil bagi antara konsumsi pangan suatu negara dengan jumlah penduduk pertengahan tahun negara tersebut.

Persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN adalah perbandingan antara besarnya anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN.

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Ketersediaan Pangan Per Kapita di Indonesia

Ketersediaan pangan per kapita mengindikasikan rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan. Berdasarkan hasil analisis Neraca Bahan Makanan (NBM), dapat diketahui perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi per kapita selama tiga dekade terakhir (1980-2010) memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dan berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan energi berkisar 98%-184% dan secara umum kuantitasnya sudah melebihi angka rekomendasi hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Tingkat ketersediaan energi pada tahun 1980 sebesar 2.489 kkal/kap/hari dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 4.039 kkal/kap/hari atau memenuhi 184% dari AKE. Selama tahun 1980-2010, capaian tertinggi ketersediaan energi per kapita terjadi pada tahun 2010. Menurut kategori Depkes (1996), tingkat ketersediaan energi pada tahun 2010 termasuk dalam kategori lebih (>120% AKE). Hal tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan pangan Indonesia termasuk dalam kategori tahan pangan. Pada periode 1980-2010, rata-rata pertumbuhan energi sebesar 1,7% per tahun. Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia pada tahun 1980-2010 dapat dilihat pada Gambar 3.

 

Sumber : BPS RI, Publikasi NBM Ket. :

- Tahun 2009 Angka Sementara, Tahun 2010 Angka Perkiraan Awal

- Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VI Tahun 1998 : 2.550 kkal/kap/hr - Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VIII Tahun 2004 : 2.200 kkal/kap/hr

Gambar 3 Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia tahun 1980-2010

2,489 2,542 2,502 2,565 2,516 2,519 2,660 2,580 2,712 2,640

2,781 2,790 2,968 2,899 2,879 3,133 3,234

2,939 3,021 3,120 2,974 2,991 2,962 3,082 3,005 2,912 2,989 3,358 3,382 3,509

4,039

2,000 2,500 3,000 3,500 4,000

1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(kkal/kap

/h

r)

Tahun AKE: 2550 kkal


(41)

Selain itu, dari sisi ketersediaan protein per kapita juga terjadi peningkatan selama tiga dekade terakhir. Perkembangan ketersediaan protein per kapita selama tahun 1980-2010 dapat dilihat pada Gambar 4.

 

Sumber : BPS RI, Publikasi NBM

Ket. :

- Tahun 2009 Angka Sementara, Tahun 2010 Angka Perkiraan Awal

- Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VI Tahun 1998 : 55 gram/kap/hr - Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VIII Tahun 2004 : 57 gram/kap/hr

Gambar 4 Perkembangan ketersediaan protein per kapita di Indonesia tahun 1980-2010

Ketersediaan protein per kapita selama tiga dekade terakhir (1980-2010) memperlihatkan kecenderungan yang meningkat pula. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan protein berkisar 87%-156% dan secara umum kuantitasnya sudah melebihi angka rekomendasi hasil WNPG. Tingkat ketersediaan protein pada tahun 1980 sebesar 49,4 gram/kap/hari dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 88,1 gram/kap/hari atau memenuhi155% dari AKP. Selama tahun 1980-2010, capaian tertinggi ketersediaan protein terjadi pada tahun 2009 (89,2 gram/kap/hari). Walaupun demikian, sumber ketersediaan protein tahun 2009 masih didominasi dari bahan nabati yaitu 73,15 gram/kap/hari, sedangkan kontribusi protein hewani hanya sebesar 16,04 gram/kap/hari. Rata-rata pertumbuhan protein selama tiga dekade terahir mencapai 2,2% per tahun.

Dari segi komposisi, secara umum ketersediaan pangan masih dapat dikatakan belum seimbang. Hal ini antara lain dicirikan oleh sangat tingginya kontribusi pangan sumber karbohidrat, tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sebagai sumber protein, serta rendahnya ketersediaan pangan sumber protein, vitamin dan mineral (kacang-kacangan, pangan hewani, sayuran dan buah-buahan) (Bappenas 2000). Pada tahun 2008, kelompok padi-padian menyumbang energi sebesar 62%, dan protein sebesar 63,6%. Kontribusi pangan hewani terhadap ketersediaan protein hanya 17,9%. Selain itu, kontribusi

49.4 49.3 48.0 53.0 52.8 52.7 58.2 55.3 60.0 56.8 61.8 63.4

67.9 66.0 66.8 79.9 82.2

76.1

72.0

80.5

74.8

70.8 74.8 75.5 76.2 76.8

73.0

80.1 84.5 89.2 88.1

40 50 60 70 80 90

1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

( g ram/kap /h r ) Tahun AKP: 55 g


(42)

pangan hewani (3,94%), kacang-kacangan (3,54%), sayur dan buah (4,03%) pada tahun 2008 masih belum memenuhi kontribusi ideal menurut pola pangan harapan (PPH).

Perkembangan Akses Pangan di Indonesia

Aksesibilitas pangan merupakan salah satu aspek pemenuhan hak atas pangan (FAO 2006b).Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah (Bappenas 2010b).

Tingkat Kemiskinan

Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1980-2010 tampak berfluktuasi. Secara umum, tingkat kemiskinan mutlak di Indonesia sudah menurun drastis, terutama dalam dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1980 mencapai 42,3 juta jiwa (28,6%), yang menurun menjadi 35 juta jiwa (21,6%) pada tahun 1984, dan akhirnya menjadi 22,5 juta jiwa (11,34%) pada tahun 1996. Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 1980-2010 dengan menggunakan garis kemiskinan nasional dapat dilihat secara rinci pada Gambar 5.

 

Sumber : BPS RI Ket. :

- Tahun 1976 s.d. 1996a: menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998)

- Tahun 1996b s.d. 2010: berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan

Gambar 5 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1980-2010

42.3 40.6

35

30

27.2 25.9

22.5

34.01

49.5 47.97

38.7 37.9 38.4 37.3 36.1

35.1 39.3 37.17 34.96 32.53

31.01

28.6 26.9

21.6

17.4 15.1

13.7

11.34

17.47

24.23 23.43

19.14 18.41 18.2 17.42 16.66 15.97 17.75 16.58 15.42 14.15

13.33

0 10 20 30 40 50 60


(1)

85

 


(2)

86

 

Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per

kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan

Tahun

Indeks Harga

Konsumen (IHK)

Pengeluaran per kapita

atas dasar harga berlaku

(Rp/kap/bulan)

Pengeluaran per kapita

atas dasar harga konstan

(Rp/kap/bulan)

1980 156,32

8341

5336

1981 175,46

11088

6319

1984 237,19

16127

6799

1987 287,27

22125

7702

1990 112,48

30271

26912

1993 145,07

43565

30030

1996 185,92

70062

37684

1997 198,22

62780

31672

1998 168,32

77033

45766

1999 202,63

137453

67834

2000 210,3

128659

61179

2001 234,46

145503

62059

2002 262,31

206336

78661

2003 279,59

224902

80440

2004 113,25

235337

207803

2005 125,09

266751

213247

2006 141,48

293061

207140

2007 150,55

353421

234753

2008 109,78

386370

351949

2009 115,06

430065

373775

2010 125,17

494845

395338

Sumber: BPS RI

Lampiran 2 Hasil uji korelasi

Person

hubungan ketersediaan energi dan protein

per kapita dengan PDB per kapita dan persentase anggaran

Kementerian Pertanian

Variabel (y)

Variabel (x)

Korelasi (r)

Koefisien

Signifikansi

(p)

Ketersediaan energi per kapita

PDB per kapita

0,909

0,000**

Ketersediaan protein per

kapita

PDB per kapita

0,945

0,000**

Ketersediaan energi per kapita

Persentase anggaran

Kementerian Pertanian

-0,673 0,000**

Ketersediaan protein per

kapita

Persentase anggaran

Kementerian Pertanian

-0,646 0,000**

*signifikan pada level 5%


(3)

87

 

Lampiran 3 Hasil uji korelasi

Person

hubungan konsumsi energi dan protein per

kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran

Variabel (y)

Variabel (x)

Korelasi (r)

Koefisien

Signifikansi

(p)

Konsumsi energi per kapita

Persentase penduduk miskin

-0,65

0,002**

Konsumsi protein per kapita

Persentase penduduk miskin

-0,591

0,006**

Konsumsi energi per kapita

Pengeluaran per kapita

sebulan

0,541 0,013*

Konsumsi protein per kapita

Pengeluaran per kapita

sebulan

0,742 0,000**

*signifikan pada level 5%

**signifikan pada level 1%

Lampiran 4 Hasil uji korelasi

Person

hubungan konsumsi energi per kapita dan

persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan

ketersediaan energi per kapita

Variabel (y)

Variabel (x)

Korelasi (r)

Koefisien

Signifikansi

(p)

Konsumsi energi per kapita

Ketersediaan energi per

kapita

0,577 0,008**

Persentase penduduk defisit

energi (<70%AKE)

Ketersediaan energi per

kapita

0,093 0,375

*signifikan pada level 5%

**signifikan pada level 1%

Lampiran 5 Hasil uji korelasi

Person

hubungan persentase penduduk defisit

energi (<70%AKE) dengan tingkat kemiskinan

Variabel (y)

Variabel (x)

Koefisien

Korelasi (r)

Signifikansi

(p)

Persentase penduduk

defisit energi (<70%AKE)

Persentase penduduk miskin

0,614

0,01*

*signifikan pada level 5%


(4)

 

 

76

 

 

Tabel 14 Perkembangan pencapaian pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir

Periode

Dokumen perencanaan/

Sumber

Indikator Output/Outcome Target Capaian

1979-1983

Repelita III Ketersediaan energi dan protein memenuhi kebutuhan

- Energi 2550 kkal/kap/hr dan Protein 55 gram/kap/hr

- Energi 2489 kkal/kap/hr dan Protein 49,4 gram/kap/hr (1980) - Energi 2565 kkal/kap/hr dan Protein 53 gram/kap/hr (1983)

Akses Pangan - Tingkat harga yang terjangkau serta

memberikan gairah bagi petani untuk meningkatkan produksinya

- Harga pangan strategis terkendali, khususnya beras. Perbedaan harga gabah dan beras rata-rata antara musim panen dan musim peceklik selama Repelita III menunjukkan keadaan yang stabil dan terkendali.

Konsumsi energi dan protein memenuhi AKG

- Energi 2100 kkal/kap/hr dan Protein 46 gram/kap/hr

- Energi 1794 kkal/kap/hr dan Protein 42,7 gram/kap/hr (1980) - Energi 1802 kkal/kap/hr dan Protein 42,4 gram/kap/hr (1981)

Keamanan Pangan Terjamin - -

Status Gizi - Berkurangnya Kurang Kalori Protein (KKP) - Jumlah balita yang menderita KKP masih cukup besar meskipun jumlahnya semakin menurun. Pada tahun 1983 sebesar 29,1% balita mengalami KKP.

1984-1988

Repelita IV Ketersediaan energi dan protein memenuhi kebutuhan

- Energi 2550 kkal/kap/hr dan Protein 55 gram/kap/hr

- Energi 2516 kkal/kap/hr dan Protein 52,8 gram/kap/hr (1984) - Energi 2712 kkal/kap/hr dan Protein 60 gram/kap/hr (1988)

Akses Pangan - Tingkat harga yang terjangkau serta

memberikan gairah bagi petani untuk meningkatkan produksinya

- Harga pangan strategis terkendali, khususnya beras. Perbedaan harga gabah dan beras rata-rata antara musim panen dan musim peceklik selama Repelita IV menunjukkan keadaan yang stabil dan terkendali, kecuali pada tahun 1987/1988 disebabkan musim kering yang panjang sehingga cadangan beras menurun.

Konsumsi energi dan protein memenuhi AKG

- Energi 2100 kkal/kap/hr dan Protein 46 gram/kap/hr

- Energi 1798 kkal/kap/hr dan Protein 43,3 gram/kap/hr (1984) - Energi 1859 kkal/kap/hr dan Protein 44,1 gram/kap/hr (1987)

Keamanan Pangan Terjamin - -

Status Gizi - KKP balita 22% - KKP balita 11,1% (1987)

1989-1993

Repelita V Ketersediaan energi dan protein memenuhi kebutuhan

- Energi 2550 kkal/kap/hr dan Protein 55 gram/kap/hr

- Energi 2640 kkal/kap/hr dan Protein 56,8 gram/kap/hr (1989) - Energi 2899 kkal/kap/hr dan Protein 66 gram/kap/hr (1993)

Akses Pangan - Tingkat harga yang terjangkau serta

memberikan gairah bagi petani untuk meningkatkan produksinya

- Harga pangan strategis terkendali, khususnya beras. Perbedaan harga gabah dan beras rata-rata antara musim panen dan musim peceklik selama Repelita V menunjukkan keadaan yang stabil dan terkendali.

Konsumsi energi dan protein memenuhi AKG

- Energi 2100 kkal/kap/hr dan Protein 46 gram/kap/hr

- Energi 1901 kkal/kap/hr dan Protein 45,4 gram/kap/hr (1990) - Energi 1879 kkal/kap/hr dan Protein 45,5 gram/kap/hr (1993)

Keamanan Pangan Terjamin - -

Status Gizi - KKP balita 9.5% - Prevalensi KEP total balita 40% (1992)

1994-1998

Repelita VI Ketersediaan energi dan protein memenuhi kebutuhan

- Energi 2550 kkal/kap/hr dan Protein 55 gram/kap/hr

- Energi 2879 kkal/kap/hr dan Protein 66,8 gram/kap/hr (1994) - Energi 3021 kkal/kap/hr dan Protein 72 gram/kap/hr (1998)


(5)

 

 

77

 

 

Periode Dokumen perencanaan/ Sumber

Indikator Output/Outcome Target Capaian

Akses Pangan - Menurunnya angka kemiskinan - Persentase penduduk miskin meningkat dari 13,7% (1994) menjadi 24,23% (1998)

Konsumsi energi dan protein memenuhi AKG

- Energi 2100 kkal/kap/hr dan Protein 46 gram/kap/hr

- Energi 2020 kkal/kap/hr dan Protein 54,5 gram/kap/hr (1996)

Keamanan Pangan Terjamin - Terbebas dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia

- Jumlah penderita keracunan makanan: 1078 orang (1998)

Status Gizi - Prevalensi KEP total balita 30% - Prevalensi KEP total balita 20.7% (1998)

1999-2004

Propenas Ketersediaan energi dan protein memenuhi kebutuhan

- Energi 2550 kkal/kap/hr dan Protein 55 gram/kap/hr

- Energi 3120 kkal/kap/hr dan Protein 80,5 gram/kap/hr (1999) - Energi 3082 kkal/kap/hr dan Protein 75,5 gram/kap/hr (2003)

Akses Pangan - Menurunnya angka kemiskinan dan

pengangguran

- Persentase penduduk miskin berkurang dari 23,43% (1999) menjadi 16,66% (2004)

- Tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 6,36%(1999) menjadi 9,86%(2004)

Konsumsi energi dan protein memenuhi AKG

- Energi 2200 kkal/kap/hr dan Protein 48 gram/kap/hr

- Periode 1999-2003, konsumsi energi masih berkisar 1849–1990 kkal/kap/hr (di bawah anjuran), sedangkan konsumsi protein sudah melebihi angka rekomendasi

Mutu Gizi Seimbang - Skor PPH mendekati 100 - Skor PPH konsumsi 76,9 (2004)

Keamanan Pangan Terjamin - Tidak ditemukannya kasus keracunan pangan dan bahan berbahaya pada makanan

- KLB keracunan pangan terlaporkan: 164 kasus (2004)

Status Gizi - Prevalensi gizi kurang pada balita 20%

- Prevalensi GAKY: <5% - Prevalensi AGB bumil: 40%

- Prevalensi gizi kurang pada balita 27,5% (2004) - Prevalensi GAKY 11,1% (2003)

- Prevalensi AGB bumil 40,1% (SKRT 2001)

2004-2009

RPJMN Ketersediaan energi dan protein memenuhi kebutuhan

- Energi 2200 kkal/kap/hr dan Protein 57 gram/kap/hr

- Energi 3005 kkal/kap/hr dan Protein 76,2 gram/kap/hr (2004) - Energi 3509 kkal/kap/hr dan Protein 89,2 gram/kap/hr (2009)

(angka sementara)

Akses Pangan - Persentase Penduduk Miskin 8,2% pada

tahun 2009

- Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 5,1% pada akhir tahun 2009

- Persentase penduduk miskin: 14,15% (2009) - TPT: 7,87% (2009)

Konsumsi energi dan protein memenuhi AKG

- Energi 2000 kkal/kap/hr dan Protein 52 gram/kap/hr

- Periode 2004-2009, konsumsi energi masih berkisar 1928 – 2038 kkal/kap/hr, sedangkan konsumsi protein sudah melebihi angka rekomendasi

Mutu Gizi Seimbang - Skor PPH mendekati 100 - Skor PPH konsumsi 75,7 (2009)

Keamanan Pangan Terjamin - Tidak ditemukannya kasus keracunan pangan dan bahan berbahaya pada makanan

- KLB keracunan makanan terlaporkan: 115 kasus (2009)


(6)

 

 

78