Perencanaan lanskap pantai alam indah Kota Tegal sebagai kawasan ekowisata

PERENCANAAN LANSKAP PANTAI ALAM INDAH KOTA TEGAL
SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA

KHARIS FATKHUSSALAM

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap
Pantai Alam Indah Kota Tegal Sebagai Kawasan Ekowisata adalah benar karya
saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Kharis Fatkhussalam
NIM A44080052

ABSTRAK
KHARIS FATKHUSSALAM. Perencanaan Lanskap Pantai Alam Indah Kota
Tegal Sebagai Kawasan Ekowisata. Dibimbing oleh AFRA DN MAKALEW.
Pantai Alam Indah (PAI) merupakan salah satu tempat wisata yang terletak
di kawasan pesisir Kota Tegal. Terjadinya beberapa masalah lingkungan, seperti
banjir, abrasi pantai dan pencemaran laut, secara terus menerus mengakibatkan
kualitas lanskap kawasan wisata ini mengalami degradasi, baik dari segi kualitas
lingkungan ataupun estetika kawasan wisata. Oleh karena itu, PAI membutuhkan
penataan kawasan wisata yang lebih mengutamakan aspek lingkungan. Caranya
adalah dengan mengembangkan wisata yang berbasis alam, yakni ekowisata.
Penelitian ini bertujuan membuat rencana lanskap Pantai Alam Indah sebagai
kawasan ekowisata. Metode penelitian yang digunakan merupakan modifikasi dari
metode perencanaan tapak yang dikemukakan oleh Gold (1980). Metode ini
meliputi lima tahapan, yaitu persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan
perencanaan. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif. Hasil dari penelitian ini berupa rencana
lanskap Pantai Alam Indah sebagai kawasan ekowisata yang meliputi rencana
ruang, rencana sirkulasi, rencana vegetasi, rencana aktivitas dan fasilitas, serta
rencana daya dukung kawasan. Rencana ruang Ekowisata PAI terdiri dari enam
ruang, yaitu ruang penerimaan, transisi, wisata, pendidikan alam, pelayanan dan
konservasi. Rencana sirkulasinya dibedakan menjadi tiga jalur, yaitu jalur primer,
sekunder dan tersier. Pada rencana vegetasinya, menggunakan tanaman yang
memenuhi fungsi sebagai pengontrol iklim, rekayasa lingkungan, keperluan
arsitektural dan keindahan.
Kata kunci: pantai, daerah pesisir, ekowisata, degradasi lingkungan

ABSTRACT
KHARIS FATKHUSSALAM. The Landscape Planning of Alam Indah Beach as
an Ecotourism Area in Tegal City. Supervised by AFRA DN MAKALEW.
Alam Indah Beach is one of the tourist attractions located in coastal area of
Tegal City. The occurrence of some environmental problems, such as floods,
coastal abrasion and marine pollution, continually effects the degradation of either
the environmental and aesthetic qualities of this tourist area. Therefore, Alam
Indah Beach area requires a special planning of tourist attraction which
emphasizes on environmental aspect. The way to overcome this problem is by

developing a tourist attraction based on the natural concept, i.e. ecotourism. This
study was aimed at planning the landscape of Alam Indah Beach as an area of
ecotourism. The research method used in this study was a modification from site
planning method proposed by Gold (1980). This method includes five stages
namely preparation, inventory, analysis, synthesis and planning. The data analysis
methods used in this study were quantitative and qualitative methods. The result
of this study was the landscape planning of Alam Indah Beach as an ecotourism
area which consisted of space, circulation, vegetation, facilities and activities
plans, and also plan of carrying capacity for tourist area. Ecotourism Alam Indah
Beach space plan consisted of six space, namely the acceptance, transition, tourist
area, natural education, services and conservation spaces. The circulation plan it
self was divided into three lines, namely primary, secondary and tertiary lines.
Meanwhile, the plants which could be served as climate control, environmental
angineering, architectural and aesthetic purposes were used in the vegetation plan.
Key words: beach, coastal region, ecotourism, environmental degradation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERENCANAAN LANSKAP PANTAI ALAM INDAH KOTA TEGAL
SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA

KHARIS FATKHUSSALAM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Perencanaan Lanskap Pantai Alam Indah Kota Tegal Sebagai
Kawasan Ekowisata
Nama
: Kharis Fatkhussalam
NIM
: A44080052

Disetujui oleh

Dr Ir Afra DN Makalew, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah
wisata berbasis ekologi, dengan judul Perencanaan Lanskap Pantai Alam Indah
Kota Tegal Sebagai Kawasan Ekowisata.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Afra DN Makalew, MSc
selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Tati Budiarti, MS dan Ibu Dr Ir Indung Sitti
Fatimah, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada segenap staf Bappeda, Disporabudpar, KLH dan
Kantor Administrasi Pelabuhan Kota Tegal, yang telah banyak membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
Rahmedia Alfi Rahmi serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2013

Kharis Fatkhussalam

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Kerangka Pikir

2

TINJAUAN PUSTAKA

4

Lanskap Pesisir dan Pantai


4

Ekosistem Pantai dan Peranannya

5

Ekowisata

6

Perencanaan Lanskap

8

Perencanaan Lanskap Pantai Sebagai Kawasan Ekowisata

9

METODOLOGI


10

Lokasi dan Waktu

10

Batasan Studi

10

Alat dan Bahan

11

Metode Penelitian

11

KONDISI UMUM WILAYAH


16

Administratif dan Geografis

16

Kondisi Fisik dan Lingkungan

17

Pola Penggunaan Lahan

20

Kondisi Sosial

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

23

Data dan Analisis

23

Sintesis

54

Konsep Perencanaan

54

Perencanaan Lanskap

60

SIMPULAN DAN SARAN

76

Simpulan

76

Saran

77

DAFTAR PUSTAKA

79

LAMPIRAN

81

RIWAYAT HIDUP

89

DAFTAR TABEL
1. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian
2. Asumsi peringkat dan bobot kualitas sumberdaya PAIa
3. Penggunaan Lahan di Kota Tegal Tahun 2010a
4. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kota Tegal Tahun 2010a
5. Hasil Penilaian Tingkat Kenyamanan Pada Tapak
6. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Mintaragen Tahun 2010a
7. Tingkat kesesuaian tapak untuk pengembangan kegiatan ekowisata
8. Hubungan jenis ruang dengan fungsi vegetasi yang dibutuhkan
9. Jenis ruang, alokasi masing-masing ruang serta fungsi dan luas areanya
dalam kawasan Ekowisata PAI
10. Tipe jalur sirkulasi dalam kawasan Ekowisata PAI
11. Alternatif vegetasi yang dapat digunakan dan fungsinya
12. Rencana aktivitas dan fasilitas berdasarkan jenis ruang.
13. Daya dukung masing-masing fasilitas dalam setiap ruang

12
14
20
22
28
51
52
58
60
66
67
69
73

ii

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian
2. Pola zonasi mangrove dan asosiasinya dengan hewan air lainnya
3. Peta Lokasi Penelitian
4. Proses Perencanaan Lanskap (Gold 1980)
5. Peta Administrasi Kota Tegal
6. Peta Topografi Kota Tegal
7. Peta Batimetri Perairan Kota Tegal
8. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tegal Tahun 2006-2010
9. Peta Batas Lokasi Studi
10. Peta Topografi Lokasi Studi
11. Peta Landform Lokasi Studi
12. Peta Analisis Tanah
13. Grafik Fluktuasi Unsur Iklim Mikro Pada Tapak
14. Peta Analisis Iklim
15. Genangan – genangan air di tapak pada musim hujan
16. Peta Analisis Hidrologi
17. (a) Burung Tekukur (Streptopelia sp.) dan (b) Burung Trinil Pantai
(Actitis hypoleucos)
18. Peta Analisis Vegetasi dan Satwa
19. Peta Analisis Penutupan Lahan
20. Kondisi mangrove di kawasan obyek wisata PAI
21. Peta Analisis Area Rawan Bencana
22. Peta Analisis Kawasan Lindung
23. Peta Aksesibilitas Menuju Tapak
24. Kondisi jalan utama menuju tempat wisata yang tergenangi air ketika
musim hujan
25. Lama perjalanan dari beberapa kota besar menuju Kota Tegal
26. Peta Analisis Atraksi Wisata
27. Sun set dan Sun rise yang terlihat dari Objek Wisata PAI
28. Tenda – tenda pedagang yang berjejer di tepi pantai
29. Kondisi anjungan wisata yang mengalami kerusakan
30. Fluktuasi jumlah pengunjung Obyek Wisata PAI Kota Tegal tahun
2006-2010
31. Peta Analisis Variasi Kegiatan
32. Peta Komposit
33. Peta Rencana Blok
34. Diagram Konsep Ruang
35. Diagram Konsep Sirkulasi
36. Rencana Lanskap Ekowisata PAI
37. Rencana Lanskap Parsial A
38. Rencana Lanskap Parsial B
39. Rencana Lanskap Parsial C
40. Rencana Lanskap Parsial D
41. Contoh ilustrasi rencana jalur sirkulasi
42. Rencana Jalur Sirkulasi Ekowisata PAI

3
6
10
11
16
17
19
21
24
26
27
29
30
32
33
34
36
37
39
40
41
43
44
45
45
46
47
47
48
49
50
53
55
56
57
61
62
63
64
65
67
68

iii

43. Ilustrasi Potongan Rencana Vegetasi di Kawasan Ekowisata PAI
44. Ilustrasi aktivitas dan fasilitas pada ruang wisata
45. Ilustrasi aktivitas dan fasilitas pada ruang pendidikan alam
46. Ilustrasi aktivitas dan fasilitas pada ruang pelayanan

70
72
72
73

iv

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuisioner Penelitian
2. Karakteristik Pengunjung
3. Persepsi dan Preferensi Pengunjung

81
84
84

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau dengan
panjang garis pantai 81.000 km serta memiliki potensi sumberdaya pesisir dan
lautan yang sangat melimpah (Dahuri et al. 2008). Sumberdaya pesisir dan lautan
yang dapat ditemui di Indonesia, antara lain hutan mangrove, terumbu karang,
populasi satwa air dan berbagai bentang alam pesisir yang unik. Kondisi
pemandangan alamiah tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan saat
ini, khususnya wisatawan manca negara. Oleh karena itu, bagi beberapa daerah
pesisir berkesempatan untuk mengembangkan wisata yang dimiliki berdasarkan
potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang ada di daerahnya masing-masing.
Kota Tegal merupakan salah satu daerah yang berada di kawasan pesisir
utara Pulau Jawa dengan garis pantai sepanjang ± 7,5 km dari Sungai Gangsa di
bagian barat sampai Sungai Ketiwon di bagian timur. Obyek wisata yang menjadi
andalan kota ini yaitu Pantai Alam Indah (PAI) yang terletak di daerah pesisir
Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Obyek wisata yang
memiliki luas ± 21 Ha ini dikelola oleh Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni
Budaya Kota Tegal dan telah diresmikan sejak tahun 1978 (SAMPAN 2009).
Sejak pertama kali dibuka, objek wisata PAI menjadi tempat yang cukup
favorit untuk berlibur bagi masyarakat Kota Tegal dan sekitarnya. Kondisi
topografi objek wisata ini relatif datar dengan kemiringan pantai yang landai.
Pantainya terdiri dari pasir laut yang padat berwarna coklat dengan kadar garam
yang cukup tinggi. Arus dan gelombang lautnya juga relatif kecil. Selain itu,
keindahan panorama alamnya juga cukup bagus. Pengunjung dapat menikmati
deburan air laut dan pemandangan lepas pantai serta sun rise dari atas anjungan.
Meningkatnya pemanfaatan kawasan PAI sebagai obyek wisata
menyebabkan semakin banyak arus wisatawan yang datang untuk menikmati
keindahan panorama alamnya. Seiring dengan itu, permintaan wisatawan terhadap
kelengkapan fasilitas juga terus meningkat. Hal itu semakin menekan persediaan
sumberdaya alam yang ada. Kondisi tersebut diperburuk oleh masalah lingkungan
yang melanda kawasan objek wisata. Beberapa masalah lingkungan, seperti rob,
abrasi pantai dan pencemaran, juga terus melanda kawasan objek wisata ini dan
daerah sekitarnya. Masalah-masalah tersebut menyebabkan kualitas lanskap
kawasan PAI mengalami penurunan, baik dilihat dari kualitas ekologi atau pun
estetika kawasan.
Kawasan PAI membutuhkan suatu penataan kawasan wisata yang lebih
mempertimbangkan aspek lingkungan untuk menanggulangi masalah-masalah
yang ada. Caranya adalah dengan mengembangkan wisata yang berbasis alam,
yakni ekowisata. Ekowisata merupakan kegiatan pariwisata berbasis lingkungan
yang berkaitan dengan pendidikan serta menaruh perhatian besar terhadap
lingkungan alam dan budaya lokal (Damanik dan Weber 2006). Perencanaan
kawasan PAI sebagai kawasan ekowisata diharapkan akan meningkatkan kualitas
lingkungannya serta melindungi dan menjaga sumberdaya alam yang ada. Dengan
demikian, sumberdaya alam yang menjadi aset wisata dapat dimanfaatkan secara
optimal dan tetap terjaga.

2

Tujuan Penelitian
a) mendeskripsikan kondisi fisik, biofisik, sosial dan ekologi kawasan objek
wisata Pantai Alam Indah,
b) mengidentifikasi dan menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
wisata serta permasalahan yang ada di kawasan objek wisata Pantai Alam
Indah,
c) merencanakan lanskap Pantai Alam Indah sebagai kawasan ekowisata.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan
bagi Pemerintah Kota Tegal, khususnya Dinas Pariwisata Kota Tegal, dalam
mengembangkan kawasan wisata pantai yang berbasis ekowisata. Secara umum,
penelitian ini harapannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi dalam
pengembangan ekowisata di kawasan pesisir.

Kerangka Pikir
Kota Tegal memiliki objek wisata andalan, yaitu Pantai Alam Indah (PAI).
Sebagai tempat wisata tentunya tidak lepas dari permasalahan, khususnya masalah
lingkungan. Di kawasan PAI, permasalahan lingkungan yang sering terjadi di
antaranya, seperti rob, abrasi pantai dan pencemaran pantai. Masalah-masalah
tersebut menyebabkan kualitas lanskap kawasan PAI mengalami penurunan, baik
dilihat dari kualitas ekologi atau pun estetika kawasan.
Kawasan PAI membutuhkan suatu penataan kawasan wisata yang lebih
mempertimbangkan aspek lingkungan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada.
Caranya adalah dengan mengembangkan wisata yang berbasis alam, yakni
ekowisata. Oleh karena itu, perlu dikaji kembali beberapa aspek yang terkait
dengan tapak, seperti aspek fisik, biofisik, ekologi dan sosial serta aspek wisata.
Aspek-aspek tersebut dikaji dengan tujuan untuk mengetahui potensi dan
kenyamanan pada tapak yang masih dapat dikembangkan, serta mencari solusi
terbaik untuk menangani kendala dan bahaya yang ada pada tapak.
Selanjutnya, dibuat rencana blok dalam bentuk zonasi pada kawasan wisata
untuk menentukan area-area yang seharusnya digunakan dan area-area yang
seharusnya dilindungi supaya keseimbangan ekosistem pantai tetap terjaga.
Kemudian konsep yang telah ditetapkan dikembangkan untuk mewujudkan
rencana lanskap Pantai Alam Indah sebagai kawasan ekowisata. Gambar 1 berikut
menunjukkan kerangka pikir penelitian untuk memperoleh suatu bentuk
perencanaan lanskap Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

3

4

TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Pesisir dan Pantai
Menurut Rakhman dalam Ariani (2000), lanskap adalah wajah dan karakter
lahan/tapak dengan segala kegiatan kehidupan didalamnya yang merupakan
bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta makhluk lainnya sejauh mata
memandang, sejauh indra dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat
membayangkan. Elemen-elemen lanskap dibagi menjadi dua macam, yaitu
elemen utama dan elemen penunjang (Simonds 1983). Elemen lanskap utama
adalah elemen lanskap dominan yang tidak dapat diubah, seperti bentukanbetukan gunung dan pantai. Elemen lanskap penunjang adalah elemen lanskap
yang dapat diubah, seperi bukit-bukit dan sungai-sungai kecil. Berdasarkan kedua
definisi tersebut, manusia hanya diperbolehkan melakukan modifikasi terhadap
elemen lanskap utama untuk kepentingannya dan dibebaskan melakukan
perubahan terhadap elemen lanskap penunjang dengan tetap memperhatikan
keberlanjutannya.
Adapun definisi pesisir menurut Depdagri (2007) dalam UU RI No.27
Tahun 2007 Pasal 1, yaitu daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, dimana batas ke arah laut adalah 12
mil wilayah kewenangan provinsi atau sepertiganya wilayah kewenangan
kabupaten/kota, dan batas ke arah daratan adalah kecamatan pesisir. Menurut
Soegiarto dalam Dahuri et al. (2008), pesisir adalah daerah pertemuan antara darat
dan laut. Wilayah pesisir ke arah darat meliputi daratan yang masih dipengaruhi
oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut.
Sementara wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Sementara definisi pantai menurut Waryono (2000) yaitu wilayah pesisir ke
arah darat yang dipengaruhi oleh batas pasang tertinggi dan berfungsi sebagai
tanggul. Landform khas yang dapat ditemui di pantai menurut Wiradisastra et al.
dalam Ariani (2000), antara lain dataran pasang surut (tidal flat), gisik (beach),
beting gisik (beach ridge), swale, bura (spit), karang (sea cliff), marine terraces,
delta dan gumuk pasir (sand dunes). Gisik (beach) adalah daerah tepi pantai yang
agak landai dan terdiri dari material-material lepas seperti pasir. Bagian ini
dibentuk mulai dari garis pantai terendah hingga daratan dimana ombak masih
dapat mencapainya. Adapun beting gisik (beach ridge) yaitu gundukan-gundukan
(mounds) yang membentang sepanjang pantai di belakang gisik. Sementara
cekungan di antara dua beting gisik disebut swale. Beting gisik biasanya
ditumbuhi oleh vegetasi. Akan tetapi, pada beting tua yang letaknya sudah jauh
dari garis pantai sering dimanfaatkan sebagai area pemukiman penduduk,
sedangkan swale dimanfaatkan untuk area persawahan.

5

Ekosistem Pantai dan Peranannya
Menurut Dahuri (2003), pada wilayah pesisir secara umum terdapat dua
ekosistem, yaitu ekosistem alami dan ekosistem buatan. Ekosistem alami yang
terdapat di wilayah pesisir, antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan
mangrove, padang lamun (seagrasses), pantai berpasir (sandy beach), pantai
berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barrigtonia, estuaria, laguna
dan delta. Adapun ekosistem buatan di wilayah pesisir, antara lain tambak, sawah
pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan
kawasan pemukiman.
Pantai merupakan salah satu ekosistem alami yang ada di wilayah pesisir
yang biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pionir. Selain itu, komunitas tumbuhan
di kawasan pantai memiliki keanekaragaman jenis yang rendah dan sebagian
besar merupakan tumbuhan yang telah menyesuaikan diri terhadap habitat pantai.
Jenis tumbuhan yang umum dijumpai, yaitu Casuarina equisetifolia. Jika kondisi
pantai terbuka, maka tumbuhan yang muncul adalah pakis-pakisan, rumput, jahejahean dan herba (Dahuri 2003).
Adapun formasi pescaprae yaitu tumbuhan yang mendominasi zona tebing
pantai yang terakresi. Ekosistem ini umumnya terdapat di belakang pantai berpasir
dan didominasi oleh vegatasi pionir, khususnya kangkung laut (Ipomoea
pescaprae). Biasanya di bagian belakangnya diikuti rerumputan, seperti Cyperus,
Fimbristylis dan Ischaemum (Dahuri 2003). Daun dari tanaman formasi pescaprae
memiliki kemampuan menjerat dan mengendapkan pasir yang terbawa oleh angin.
Akarnya dapat berperan dalam menstabilkan deposit pasir dan mengurangi intrusi
air laut karena kemampuannya menyerap garam.
Sementara formasi barringtonia, yaitu komunitas rerumputan dan semak
belukar serta pepohonan yang biasanya tumbuh dan berkembang di pantai berbatu
tanpa deposit pasir dimana formasi pescaprae tidak dapat tumbuh. Komposisi
ekosistem ini sangat seragam di seluruh Indonesia. Meskipun ekosistem ini terdiri
dari berbagai macam spesies, umumnya didominasi oleh beberapa jenis
pepohonan, seperti Casuarina equisetifolia dan Callophyllum innopphyllum
(Dahuri et al. 2008). Formasi barringtonia berperan sebagai stabilisator beting
pasir dan memberi nilai estetik yang khas pada pantai.
Selain dua ekosistem yang telah dijelaskan sebelumnya, ada satu ekosistem
yang juga sering dijumpai di kawasan pantai dan memiliki peranan penting yaitu
hutan mangrove. Menurut Dahuri et al. (2008), hutan mangrove merupakan tipe
hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di
wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai.
Pembentukan zonasi hutan mangrove dimulai dari arah laut menuju daratan,
terdiri dari zona Avicennia dan Sonneratia yang berada paling depan dan
berhadapan langsung dengan laut. Kemudian di belakangnya berturut-turut
tegakan Rhizophora dan Bruguiera, seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir
Indonesia adalah Bakau (Rhizopora sp.), Api-api (Avicennia sp.), Pedada
(Sonneratia sp.), Tanjang (Bruguiera sp.), Nyirih (Xylocarpus sp.), Tengar
(Ceriops sp.) dan Buta-buta (Exeocaria sp.).

6

Gambar 2. Pola zonasi mangrove dan asosiasinya dengan hewan air lainnya
Secara ekologis, hutan mangrove memiliki peran yang sangat banyak, antara
lain: melawan dan mengendalikan abrasi pantai, mengurangi tiupan angin
kencang dan terjangan ombak laut, menyerap dan mengurangi bahan pencemar
(polutan) dari air, mempercepat laju sedimentasi yang akhirnya menimbulkan
tanah timbul sehingga daratan bertambah luas dan mengendalikan intrusi air laut.
Selain itu, hutan mangrove juga sebagai tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan
dan satwa, tempat asuhan (Nursery ground), tempat memijah (Spawning ground),
penghasil kayu dan non kayu seperti madu, obat-obatan, tonik, minuman, ikan,
udang, kepiting serta dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi.

Ekowisata
Pada UU RI No.10 Tahun 2009 Pasal 1 disebutkan bahwa, pariwisata adalah
berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan
yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah
(Debudapar 2009). Adapun definisi dari wisata menurut Gunn (1994) dalam
bukunya yang berjudul Tourism Planning: Basics, Conceps, Cases yaitu
perpindahan sementara dari orang atau sekelompok orang ke tempat tujuan wisata
yang terletak di luar tempat mereka biasa tinggal atau bekerja, dimana aktivitas
dilakukan selama berada di tempat wisata dan fasilitas dibuat untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Sementara menurut Cooper et al. (1998), definisi wisata dapat
dilihat dari segi permintaan atau pun penawaran. Dilihat dari segi permintaan,
Cooper sependapat dengan Gunn. Dari segi penawaran, Cooper berpendapat
bahwa wisata diartikan sebagai industri wisata yang meliputi semua perusahaan
wisata, organisasi dan fasilitas yang dimaksudkan untuk melayani kebutuhan
dasar dan keinginan wisatawan.
Adapun pengertian ekowisata yaitu suatu kegiatan pariwisata yang secara
lingkungan (ekologis) berkesinambungan serta terkait dengan pemahaman,
penghargaan serta pelestarian lingkungan dan budaya lokal (Monintja et al. 2002).
Sementara menurut The International Ecotourism Society (TIES), ekowisata yaitu

7

perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pada dasarnya
ekowisata memiliki tiga konsep dasar yaitu (1) perjalanan outdoor di kawasan
alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, (2) mengutamakan
penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat
kawasan wisata itu sendiri dan (3) menaruh perhatian besar pada lingkungan alam
dan budaya lokal (Damanik dan Weber 2006).
Bentuk-bentuk wisata dapat direncanakan dan dikembangkan berdasarkan
enam hal, yaitu (1) kepemilikan atau pengelola area wisata, (2) sumberdaya, (3)
perjalanan wisata/lama tinggal, (4) tempat kegiatan, (5) wisata utama atau wisata
penunjang, dan (6) daya dukung tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung.
Sebuah daerah tujuan wisata juga harus terdapat elemen-elemen wisata, seperti
transportasi dan akses bagi satu masyarakat atau lebih, satu masyarakat atau lebih
dengan keperluan umum dan layanan wisata yang mencukupi, sekelompok atraksi
wisata yang memenuhi kebutuhan pasar, serta transportasi yang dapat
menghubungkan antara kota-kota dan atraksi wisata (Gunn 1994).
Suatu tempat direncanakan dan dikembangkan sebagai tempat wisata karena
memiliki potensi khas. Adapun definisi dari potensi wisata yaitu semua objek
(alam, budaya, buatan) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat
memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan. Daya tarik utama yang mendorong
kehadiran para wisatawan di suatu tempat wisata dan menentukan keberhasilan
kawasan wisata tersebut adalah objek dan atraksi wisata.
Objek wisata merupakan suatu keadaan alam dan perwujudan ciptaan
manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah dari suatu tempat, sehingga
memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Kualitas objek wisata yang baik
terkait dengan empat hal, yaitu keunikan, otentisitas, originalitas dan keragaman.
Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas
melekat pada suatu objek wisata, misalnya komodo dan habitatnya di Pulau
Komodo. Originalitas mencerminkan keaslian atau kemurnian, yakni seberapa
jauh suatu objek wisata tidak terkontaminasi oleh atau tidak mangadopsi model
atau nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas sering dikaitkan dengan
derajat keantikan atau eksotisme budaya sebagai atraksi wisata. Otentisitas juga
merupakan sebuah kategori nilai yang memadukan sifat alamiah, eksotis dan
bersahaja dari suatu daya tarik wisata. Keragaman (diversitas) artinya
keanekaragaman objek wisata yang disuguhkan kepada wisatawan (Damanik dan
Weber 2006).
Adapun definisi dari atraksi wisata menurut Damanik dan Weber (2006),
yaitu objek wisata, baik bersifat tampak (tangible) atau pun tidak tampak
(intangible), yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan. Gunn (1994)
menambahkan, bahwa atraksi wisata memiliki dua fungsi utama. Pertama, atraksi
wisata membangkitkan rasa ketertarikan pada tempat wisata. Kedua, atraksi
wisata memberikan kepuasan kepada para pengunjung. Atraksi wisata dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu alam, budaya dan buatan. Atraksi alam meliputi
pemandangan alam, seperti gunung, danau, sungai, hutan dan lain-lain. Atraksi
budaya meliputi peninggalan sejarah, seperti candi dan adat istiadat. Adapun
atraksi buatan dapat dimisalkan Kebun Raya Bogor.
Ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu ekowisata sebagai produk,
ekowisata sebagai pasar, dan ekowisata sebagai pendekatan pengembangan.

8

Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada
sumberdaya alam. Sementara dari perspektif pasar, ekowisata merupakan
perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Adapun
sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaat dan
pengelola sumberdaya wisata secara ramah lingkungan (Damanik dan Weber
2006).

Perencanaan Lanskap
Di dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 Pasal 1 disebutkan bahwa,
perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia
(Bappenas 2008). Perencanaan juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk alat yang
sistematis dan diarahkan untuk mendapatkan tujuan serta maksud tertentu melalui
pengaturan, pengarahan, dan pembangunan (Nurisyah 2000). Adapun
perencanaan lanskap yaitu suatu kegiatan penataan yang berbasis lahan (land
based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah dan proses pengambilan
keputusan jangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap yang
fungsional estetik dan lestari. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui
pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas
rekreasi berdasarkan pertimbangan kondisi sumberdaya yang tersedia.
Menurut Gold (1980) dalam bukunya yang berjudul Recreation Planning
and Design, proses perencanaan tapak terdiri atas lima tahap yaitu tahap persiapan,
inventarisasi, analisis, sintesis, dan perencanaan tapak. Pada tahap persiapan
disusun tujuan perencanaan dan pengumpulan informasi yang relevan.
Selanjutnya, pada tahap inventarisasi dilakukan pengambilan data awal melalui
survei lapang, pengukuran dan wawancara. Data-data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara deskriptif dan spasial untuk mengetahui potensi pengembangan,
kendala, kenyamanan dan bahaya yang terdapat pada tapak serta zona-zona
kesesuaian pengembangan lahan. Kemudian pada tahap sintesis dilakukan
pemasukan konsep yang akan dikembangkan pada tapak, sehingga menghasilkan
rencana blok. Setelah itu, rencana blok dikembangkan menjadi rencana lanskap
(Landscape plan) pada tahap perencanaan tapak yang disesuaikan dengan tujuan
perencanaan.
Pada proses perencanaan lanskap umumnya dilakukan suatu perbaikan
terhadap elemen-elemen yang kurang mendukung atau mengganggu fungsi dan
estetika suatu tapak. Jika hal tersebut tidak mungkin untuk dilakukan, elemen
pengganggu tersebut dihilangkan atau digantikan dengan elemen yang lebih sesuai
atau mendukung. Sebaliknya, elemen yang mendukung fungsi dan estetika suatu
tapak harus tetap dipertahankan. Keberadaan elemen yang menjadi keunikan atau
kekhasan suatu tapak juga harus ditonjolkan, sehingga semua elemen dalam tapak
menjadi suatu kesatuan yang harmonis.

9

Perencanaan Lanskap Pantai Sebagai Kawasan Ekowisata
Pendekatan perencanaan yang utama pada lanskap pesisir yang akan
dikembangkan sebagai suatu kawasan wisata adalah perhitungan daya dukung tiap
ekosistem atau sub-ekosistem pembentuk kawasan pesisir. Hal tersebut didasarkan
pada karakeristik kawasan pesisir, termasuk pantai, yang rentan terhadap
gangguan dan perubahan fisik. Selain daya dukung kawasan, menurut Damanik
dan Weber (2006), pada perencanaan suatu kawasan sebagai ekowisata harus
memperhatikan aksesibilitas dan fasilitas dalam kawasan tersebut. Aksesibilitas
menuju objek dan atraksi wisata harus memudahkan wisatawan saat berkunjung.
Adapun fasilitas dan pelayanan dalam kawasan wisata diharapkan mampu
memberikan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan wisatawan.
Menurut Stewart et al. dalam Gunn (1994), perencanaan dan pengembangan
ekowisata memerlukan dua hal penting, yaitu integrasi dengan tujuan/sasaran
yang tidak bersifat keuangan dan sebuah proses perencanaan yang dapat
mendorong partisipasi para stakeholder, seperti para pengusaha, pengelola lahan,
tokoh masyarakat serta menarik wisatawan atau pengunjung.

10

METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di kawasan obyek wisata Pantai Alam Indah (PAI)
yang terletak di Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal
(Gambar 3). Luas tapak yang menjadi objek penelitian ± 21 hektar. Kegiatan
penelitian yang meliputi persiapan, pengumpulan data dan pengolahan data
dilaksanakan selama empat bulan, yaitu mulai dari bulan Februari 2012 hingga
Mei 2012.

Sumber: Bappeda Kota Tegal (2011)
Sumber: Bappeda Kota Tegal (2011)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Batasan Studi
Batas kawasan studi dari penelitian ini yaitu hanya pada area yang masuk
kedalam kawasan objek wisata Pantai Alam Indah (PAI), sesuai dengan rencana
yang telah dibuat oleh Dinas Pariwisata Kota Tegal. Kegiatan studi ini
dilaksanakan sampai pada tahap perencanaan lanskap (landscape plan). Adapun
hasil studi dari penelitian ini berupa rencana lanskap kawasan wisata Pantai Alam
Indah (PAI) sebagai kawasan ekowisata yang dilengkapi dengan beberapa gambar
ilustrasi.

11

Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam inventarisasi tapak antara lain peta satelit
lokasi studi, kamera digital, kuisioner serta alat gambar dan alat tulis. Sementara
untuk mengolah data menggunakan laptop beserta software (AutoCad, Sketchup
dan Adobe Photoshop). Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian antara lain petapeta tematik, data fisik dan biofisik tapak (topografi, tanah, iklim, hidrologi,
vegetasi dan satwa), data ekologis dan data kuisioner.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah modifikasi dari metode
perencanaan tapak yang dikemukakan oleh Gold (1980). Metode tersebut terdiri
atas lima tahapan, yaitu persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan
perencanaan.

Gambar 4. Proses Perencanaan Lanskap (Gold 1980)
Persiapan
Hal terpenting pada tahap ini, yaitu penetapan tujuan perencanaan. Adapun
hal-hal lain yang perlu dilakukan pada tahap ini, antara lain pengajuan usulan
penelitian, konsultasi dengan dosen pembimbing, pengurusan dokumen-dokumen
yang diperlukan selama penelitian dan pengumpulan informasi yang relevan.
Inventarisasi
Pada tahap inventarisasi dilakukan pengambilan data awal melalui survei
lapang, pengukuran dan wawancara. Data yang dibutuhkan meliputi data fisik,
biofisik, ekologi dan sosial serta wisata (Tabel 1). Data tersebut terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan, pengukuran
dan wawancara langsung, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka seperti buku, laporan, jurnal atau pun dokumen-dokumen lain yang
berhubungan dengan tapak.

12

Tabel 1. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian
Jenis data
Lokasi
Letak geografis dan
batas wilayah
Fisik
Topografi dan
kemiringan lahan
Geologi dan tanah
Iklim
Hidrologi
Hidro-oceanografi
Biofisik
Vegetasi dan satwa
Ekologi
Penutupan lahan
Sumberdaya kritis
Daerah rawan
bencana
Kawasan lindung
Sosial
Keadaan sosial
masyarakat
Budaya masyarakat
Pengunjung
Potensi wisata
Atraksi dan objek
wisata
Aksesibilitas
Transportasi
Fasilitas wisata

Interpretasi data

Sumber data

Bentuk
data

Batas wilayah studi dan luas
wilayah studi

Disporabudpar Kota
Tegala

Sekunder,
Spasial

Elevasi, relief dan kemiringan.
Struktur geologi, batuan, jenis
tanah dan tekstur tanah.
Curah hujan, kecepatan angin,
suhu dan kelembaban.
Kualitas air, aliran permukaan
dan drainase.
Batimetri, Pasang surut, arus
dan gelombang.

Bappeda Kota Tegal
Bappeda Kota Tegal

Sekunder,
Spasial
Sekunder

BMKG Kota Tegal

Sekunder

Bappeda Kota Tegal,
KLH Kota Tegal
KAP Kota Tegal

Sekunder

Jenis vegetasi dan satwa

Observasi, KLH Kota
Tegal

Primer,
Sekunder

Jenis tutupan lahan pantai
Jenis ekosistem pantai,
Ekosistem yang terancam
Jenis bencana alam, Area
rawan bencana
Area lindung

Observasi
Observasi, KLH Kota
Tegal, Studi pustaka
KLH Kota Tegal,
Bappeda Kota Tegal
Bappeda Kota Tegal

Primer
Primer,
Sekunder
Sekunder

Kepadatan penduduk,
Demografi, Mata pencaharian,
persepsi
Jenis dan bentuk kebudayaan
masyarakat setempat
Persepsi dan preferensi
terhadap tapak

BPS Kota Tegal,
Wawancara

Sekunder,
Primer

Disporabudpar Kota
Tegal
Wawancara

Sekunder

Observasi,
Disporabudpar Kota
Tegal
Observasi

Primer,
Sekunder

Observasi
Observasi,
Disporabudpar Kota
Tegal
Disporabudpar Kota
Tegal

Primer
Primer,
Sekunder

Jenis atraksi dan objek wisata
Ketersediaan jalur dan kondisi
Jenis kendaraan
Jenis dan kondisi

Asal dan jumlah pengunjung
Pengunjung
potensial

Spasial,
Sekunder

Sekunder,
Spasial

Primer

Primer

Sekunder

13

Lanjutan Tabel 1. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian
Jenis data
Peraturan
Tata guna lahan

Interpretasi data

Sumber data

Bentuk
data

Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW)

Bappeda Kota
Tegala

Sekunder,
Spasial

a

Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, BMKG : Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika, BPS : Badan Pusat Statistik, Disporabudpar : Dinas Pemuda Olah Raga Budaya
dan Pariwisata, KAP : Kantor Administrasi Pelabuhan, KLH : Kantor Lingkungan Hidup

Analisis
Data dan informasi yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis secara kualitatif berupa analisis deskriptif mengenai potensi,
kenyamanan, kendala dan bahaya yang terdapat pada tapak. Hal-hal yang
berkaitan dengan potensi dan kenyamanan dikembangkan untuk mencapai tujuan
perencanaan, sedangkan hal-hal yang termasuk kendala dan bahaya dicarikan
alternatif penyelesaiannya.
Tingkat kenyamanan pengguna dapat ditentukan dengan menggunakan
suatu rumus yang diperkenalkan oleh Nieuwolt (1977) sebagai berikut:

=

0,8

+

500

dimana, THI : Temperature Humidity Index
T
: Suhu Udara (0C)
RH : Kelembaban Relatif (%)

Jika melihat rumus tersebut, unsur suhu dan kelembaban menjadi faktor utama
yang mempengaruhi kenyamanan dan aktifitas manusia pada suatu area.
Sementara analisis secara kuantitatif berupa analisis spasial yang dilakukan
terhadap beberapa faktor, baik dari aspek fisik, biofisik, ekologi dan wisata.
Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan teknik overlay, yaitu
penggabungan beberapa peta tematik. Adapun langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam teknik overlay yaitu:
1. penentuan kategori dan pemeringkatan,
Pada langkah ini setiap faktor dari setiap aspek dikategorikan berdasarkan
tingkat dampak faktor terhadap tapak. Kemudian masing-masing kategori pada
setiap faktor diberikan peringkat atau nilai berdasarkan kemungkinan
pengembangan yang mengacu pada kepuasan pengunjung. Pemeringkatan
dilakukan dengan memberi nilai antara 1 (satu) sampai 3 (tiga) terhadap
masing-masing kategori pada setiap faktor. Kategori dan peringkat dari setiap
faktor disajikan dalam Tabel 2.
2. penentuan bobot,
Selanjutnya pembobot diberikan pada setiap faktor dengan nilai yang berbeda,
karena masing-masing faktor memiliki dampak dan tingkat kepentingan yang

14

berbeda serta akan berubah berdasarkan waktu. Pada kasus perencanaan
lanskap kawasan wisata PAI diasumsikan bahwa faktor-faktor dari aspek
ekologi memiliki dampak yang lebih tinggi dari pada aspek wisata (adaptasi
Gunn 1994). Besarnya nilai bobot dari setiap faktor disajikan dalam Tabel 2.
3. pemberian skor
Pemberian skor dilakukan dengan cara mengalikan nilai masing-masing
kategori dari setiap faktor dengan bobot faktornya.
Hasil dari teknik ini berupa peta komposit yang menggambarkan klasifikasi
kesesuaian tapak untuk pengembangan ekowisata. Peta tersebut pada awalnya
berupa area-area dengan jumlah skor yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
diperlukan rentang skor untuk menyederhanakan dan memudahkan dalam
membuat klasifikasi kesesuaian.
Menurut Walpole (1995), untuk mendapatkan rentang skor dari sekumpulan
angka dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. menentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan,
2. menentukan wilayah data yang akan dibuat selang, dengan cara skor terbesar
dikurangi skor terkecil,
3. membagi wilayah tersebut dengan banyaknya selang kelas untuk
mendapatkan lebar selang,
4. menentukan batas bawah kelas pada selang pertama, kemudian menambahkan
lebar selang untuk mendapatkan batas atas kelasnya,
5. sementara untuk batas-batas selang kelas yang lainnya dapat diperoleh
dengan menambahkan lebar selang. Ini dilakukan sampai mendapatkan selang
kelas yang terakhir.
Tabel 2. Asumsi peringkat dan bobot kualitas sumberdaya PAIa
Aspek

Faktor

Kategori

Peringkat

Bobot (%)

%

Fisik
dan
Biofisik

Tanah

Sangat peka
Peka
Tidak peka
Tingkat radiasi tinggi
Tingkat radiasi sedang
Tingkat radiasi rendah
Run off lambat
Run off sedang
Run off cepat
Spesies non-endemik
Spesies endemik
Masuk RKL – KTb
Tidak masuk RKL – KT

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
1
2

10

40

Area rawan
bencana

Rawan bencana
Cukup rawan bencana
Tidak terkena bencana

1
2
3

13.3

Penutupan lahan

Non-alami / Terbangun
Semi alami
Alami

1
2
3

13.3

Iklim

Hidrologi

Vegetasi dan Satwa
Ekologi

Area lindung

10

10

10
13.3

40

15

Lanjutan Tabel 2. Asumsi peringkat dan bobot kualitas sumberdaya PAI
Aspek
Wisata

a

Faktor

Kategori

Peringkat

Bobot (%)

%

Atraksi wisata

Non-alami / Buatan
Alami / Asli

1
2

10

20

Variasi kegiatan

≥ 7 Kegiatan
4-6 Kegiatan
≤ 3 Kegiatan

1
2
3

10

Sumber: Roslita (2001) dimodifikasi, bRKL – KT : Rencana Kawasan Lindung Kota Tegal

Sintesis
Peta komposit dari hasil analisis dijadikan acuan dalam menentukan
alternatf pengembangan ruang yang direncanakan dalam bentuk rencana blok.
Kemudian, pada tahap ini perlu dibuat juga konsep dasar perencanaan yang
menjadi dasar dalam pengembangan konsep perencanaan selanjutnya. Konsep
dasar perencanaan dalam penelitian ini, yaitu rencana lanskap Pantai Alam Indah
sebagai kawasan ekowisata. Adapun pengembangan konsep yang dibuat berupa
konsep ruang, konsep vegetasi, konsep sirkulasi serta konsep fasilitas dan
aktivitas.
Perencanaan Lanskap
Pada tahap ini dilakukan pengembangan rencana blok secara lebih detail
menjadi sebuah rencana lanskap (landscape plan). Adapun rencana lanskap yang
dibuat meliputi rencana ruang, rencana vegetasi, rencana sirkulasi serta rencana
aktivitas dan fasilitas. Selain itu, dibuat juga rencana daya dukung kawasan
dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan ekologi kawasan wisata. Menurut
Boulon (1985) dalam Soebagio (2004), untuk menentukan daya dukung
pengunjung dalam sebuah area wisata dengan standar individu (m2/orang) dapat
ditentukan dengan rumus berikut:
�� =



= �� � �

dimana:
DD = Daya Dukung
A = Luas area yang digunakan wisatawan
S = Standar rata-rata individu
T = Total kapasitas kunjungan yang diperkenankan

�=



K = Koefisien rotasi
N = Jam kunjungan per area yang diijinkan
R = Rata-rata waktu kunjungan

16

KONDISI UMUM WILAYAH
Administratif dan Geografis
Kota Tegal secara geografis terletak pada posisi 109008’ BT sampai 109010’
BT dan 6050’ LS sampai 6053’ LS. Secara administrasi, batas wilayah Kota Tegal
adalah sebagai berikut (Gambar 5):





Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Kabupaten Tegal
Sebelah Selatan : Kabupaten Tegal
Sebelah Barat : Kabupaten Brebes

Sumber: Bappeda Kota Tegal (2011)

Gambar 5. Peta Administrasi Kota Tegal
Berdasarkan laporan tahunan Survei Pertanian (SP-VA) yang dilakukan
BPS, luas wilayah Kota Tegal adalah 39,68 km2 atau 0,11% dari luas Provinsi
Jawa Tengah. Secara administrasi, Kota Tegal dibagi menjadi 4 kecamatan
dengan 27 kelurahan. Adapun luasan wilayah dari keempat kecamatan tersebut,
yaitu Kecamatan Tegal Barat sebesar 15,13 km2, Kecamatan Margadana sebesar
11,76 km2, Kecamatan Tegal Selatan sebesar 6,43 km2 dan Kecamatan Tegal
Timur sebesar 6,36 km2 (BPS 2011).

17

Kondisi Fisik dan Lingkungan
Posisi Kota Tegal dapat dikatakan sangat strategis karena terletak di jalur
Pantura yang menghubungkan beberapa kota besar di bagian utara Pulau Jawa.
Selain itu, wilayahnya juga berbatasan langsung dengan Laut Jawa sehingga
memiliki kekayaan laut yang cukup melimpah. Jika dilihat dari kondisi
topografinya, Kota Tegal terbagi dalam dua bagian yaitu daerah pantai dan daerah
dataran rendah. Sebelah utara merupakan daerah pantai yang relatif datar dan
sebelah selatan merupakan daerah dataran rendah. Arah kemiringan topografi
yaitu dari selatan ke utara dengan rata-rata ketinggian antara 0-3 meter di atas
permukaan air laut (KLH 2011).

Sumber: Bappeda Kota Tegal (2011)

Gambar 6. Peta Topografi Kota Tegal
Sementara kondisi fisiografi Kota Tegal dan sekitarnya berdasarkan zonasi
fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949) terletak pada Zona Dataran
Pantai Utara. Zona ini tersusun oleh satuan endapan alluvial dan alluvial pantai
yang didominasi oleh endapan pasir dan lempung. Endapan Alluvial tersusun atas
lempung, lanau dan pasir, sedangkan endapan alluvial pantai berupa endapan pasir
di dataran pantai yang bersifat lepas (Bappeda 2010).
Berdasarkan data dari BPDAS Pemali Jratun (2009), jenis tanah untuk
wilayah Kota Tegal ada dua macam, yaitu tanah Alluvial dan tanah Regosol.
Tanah Alluvial yaitu tanah yang terbentuk dari pengendapan lumpur sungai yang
terdapat di dataran rendah. Tanah ini berwarna kelabu dan tergolong sangat subur
sehingga baik untuk pertanian. Secara umum, sifat tanah ini mudah digarap, dapat
menyerap air dan permeabilitasnya cukup baik. Sementara tanah Regosol yaitu

18

tanah yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan beku dan batuan sedimen. Tanah
ini kadang disebut juga tanah pasir. Ciri dari tanah ini antara lain butirannya kasar,
berkerikil dan kurang subur sehingga kurang baik untuk pertanian. Jika dilihat
dari struktur tanahnya, secara umum Kota Tegal memiliki struktur tanah berupa
tanah pasir dan tanah liat (Bappeda 2010).
Adapun kondisi iklim Kota Tegal tergolong kedalam iklim tropis. Setiap
tahun hanya ada dua musim, yaitu musim kemarau antara bulan April sampai
dengan bulan September dan musim penghujan antara bulan oktober sampai
dengan bulan Maret. Jika dilihat dari tipe iklimnya, berdasarkan klasifikasi Smith
dan Ferguson wilayah Kota Tegal termasuk kedalam tipe C dimana jumlah bulan
basah tidak pernah kurang dari 6 bulan (BPDAS 2009). Pada tahun 2010, rata-rata
jumlah curah hujan dalam setahun sebesar 131 mm dengan rata-rata hari hujan per
bulan sebanyak 13 hari. Sementara temperatur udara rata-rata per bulannya
mencapai 27,90oC dengan kelembaban rata-rata per bulan yaitu 81,5%. Adapun
kecepataan udara maksimal rata-rata di Kota Tegal pada tahun 2010 yaitu sebesar
20 knot atau 37,04 km/jam (BPS 2011).
Berdasarkan masterplan drainase Kota Tegal dapat diketahui bahwa Kota
Tegal diapit oleh dua sungai besar sebagai drainase utama, yaitu Sungai Ketiwon
di sebelah timur dan Sungai Gangsa di sebelah barat. Dua sungai tersebut
merupakan batas alam yang memisahkan Kota Tegal dengan wilayah tetangganya.
Selain itu, kota ini juga dialiri oleh tiga sungai lainnya yaitu Sungai Kemiri,
Sungai Sibilis dan Sungai Gung. Sungai Sibilis dan Sungai Kemiri merupakan
drainase kota untuk wilayah Tegal Barat, Tegal Selatan dan Margadana.
Sementara Sungai Gung merupakan drainase kota untuk wilayah Tegal Timur.
Namun, sayangnya kelima sungai tersebut lebih cenderung menjadi tempat
pembuangan limbah oleh masyarakat yang tinggal di sekitar sungai-sungai
tersebut (Bappeda 2010).
Sebagai kota pesisir, Kota Tegal memiliki garis pantai sepanjang ± 7,5 km
dari Sungai Gangsa sampai Sungai Ketiwon. Kondisi pantainya terdiri dari pasir
laut yang padat berwarna coklat dengan tingkat kemiringan yang landai. Pantai
tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kota Tegal,
baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, pantai Kota Tegal
merupakan ekosistem yang dapat memberikan jaminan terhadap keberlangsungan
daur makanan, terutama sebagai nursery ground bagi berbagai bentuk kehidupan
laut, seperti ikan, udang, kepiting dan sebagainya. Secara ekonomi, pantai Kota
Tegal berperan dalam menunjang mata pencaharian penduduk, tempat
perdagangan, maupun sebagai sumber pendapatan asli daerah.
Sementara kondisi perairan laut Kota Tegal berdasarkan peta batimetri
tahun 2004 (Gambar 7), wilayah perairan Kota Tegal memiliki kedalaman laut
antara 0-20 meter. Pada bagian pinggir pantai kedalaman berkisar antara 0-5
meter. Secara umum kondisi topografi dasar laut di perairan Kota Tegal memiliki
tingkat kemiringan yang relatif landai. Akan tetapi, terdapat tonjolan yang berupa
terumbu karang. Terumbu karang tersebut lebih dikenal masyarakat dengan nama
Karang Jeruk, karena bentuknya mirip seperti Buah Jeruk.
Karang Jeruk adalah gugusan karang dengan panorama bawah air yang
menawarkan keindahan dasar laut beserta berbagai ekosistem biota lautnya.
Lokasi karang jeruk mempunyai jarak tempuh ± 30 menit perjalanan dari tepi
pantai. Luas karang tersebut sekitar 925 m2 di bagian tengah ke arah permukaan

19

Sumber: KAP Kota Tegal (2004)

Gambar 7. Peta Batimetri Perairan Kota Tegal
dan sekitar 3.600 m2 di bagian dasar. Kedalaman rata-rata karang tersebut berkisar
antara 3-7 meter. Kondisi tutupan karang hidup pada Terumbu Karang Jeruk telah
mengalami penurunan, yaitu hanya berkisar antara 20% - 49,37%. Kondisi
tersebut disebabkan oleh gelombang dan arus yang tinggi pada saat terjadi musim
barat serta aktivitas nelayan di sekitar perairan Karang Jeruk (Isdarmawan 2008).
Berdasarkan data pasang surut dari Kantor Administrasi Pelabuhan Kota
Tegal, dapat diketahui bahwa sifat pasang surut perairan Kota Tegal termasuk
kedalam tipe campuran dominan ganda. Maksudnya yaitu dalam sehari semalam
lebih sering terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Akan tetapi, dalam sehari
tingkat pasang dan surutnya berbeda. Keadaan pasang surut di wilayah perairan
Indonesia ditentukan oleh penjalaran pasang surut dari Samudra Pasifik dan India
serta morfologi pantai dan batimetri perairan (Diposaptono 2007).
Kondisi arus suatu perairan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti
angin, pasang surut, gradien tekanan atau pun Gaya Coriolis. Arus permukaan di
Laut Jawa lebih dipengaruhi oleh angin, sedangkan arus-arus di kedalaman laut
yang lebih dalam lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan pasang surut dan sifatsifat fisik lainnya seperti perbedaan temperatur, salintas dan tekanan (Diposaptono
2007). Pada musim barat (musim penghujan) di bulan Desember – Maret, bertiup
angin dari barat ke timur di atas permukaan Laut Jawa sehingga arus permukaan
Laut Jawa secara umum bergerak ke arah timur dengan kecepatan rata-rata 0,705
km/jam. Adapun pada musim timur (musim kemarau) di bulan Juni – September,
bertiup angin dari timur ke barat di atas permukaan Laut Jawa sehingga arus
permukaan Laut Jawa secara umum bergerak ke arah barat dengan kecepatan ratarata 0,561 km/jam. Sementara pada musim peralihan dari barat ke timur,

20

kecepatan arus rata-rata 0,366 km/jam, dan saa