Identification of antifungal compound from endophytic bacteria of Taxus sumatrana

IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA ANTIFUNGAL DARI
BAKTERI ENDOFIT ASAL Taxus sumatrana

TIWIT WIDOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Senyawa
Kimia Antifungal dari Bakteri Endofit asal Taxus sumatrana adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan LIPI.

Bogor, April 2013

Tiwit Widowati
NIM P051090041

RINGKASAN
TIWIT WIDOWATI. Identifikasi Senyawa Kimia Antifungal dari Bakteri Endofit
asal Taxus sumatrana. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI dan
PARTOMUAN SIMANJUNTAK
Pada beberapa dekade terakhir, telah terjadi peningkatan infeksi jamur yang
disebabkan oleh resistensi beberapa spesies jamur terhadap fungisida yang
digunakan dalam pengobatan. Penggunaan antifungal dalam pengobatan infeksi
jamur harus mempertimbangkan toksisitas, efektivitas, biaya dan frekuensi
penggunaan yang dapat menyebabkan munculnya galur yang resisten. Salah satu
pendekatan dalam pengembangan obat antifungal adalah penggunaan tumbuhan
sebagai sumber obat-obatan (Abad et al. 2007).
Tumbuhan merupakan inang bagi keberadaan mikroba endofit yang
berpotensi sebagai penghasil senyawa aktif dengan struktur molekul dan aktivitas
biologi yang beragam. Salah satu spesies tumbuhan yang dikenal sebagai inang
mikroba endofit adalah Taxus. Kapang Paecilomyces sp. yang diisolasi dari Taxus

mairei menghasilkan metabolit berupa brefeldin A yang mempunyai beberapa
aktivitas seperti antifungal, antiviral dan antikanker (Wang et al. 2002).
Selanjutnya dilaporkan juga oleh Tayung et al. (2007) bahwa bakteri
Pseudomonas flourescens yang diisolasi dari rhizosphere Taxus batacca,
menghasilkan senyawa aktif antimikroba.
Adanya beberapa senyawa aktif dari mikroba endofit Taxus, memberikan
peluang untuk mengeksplorasi mikroba endofitik dari tanaman Taxus Indonesia
sebagai penghasil senyawa aktif. Taxus sumatrana yang dikenal dengan nama
Sumatran Yew (Cemara Sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun
jarum yang tumbuh secara alami di Indonesia.
T. sumatrana diketahui mempunyai beberapa senyawa aktif, diantaranya
taksol, cepalomanin, 7-epi-10-deasetil taksol, 7-epi-10-deasetil cepalomanin,
baccatin III, 19-hidroksil baccatin III, 10-deasetil-13-okso-baccatin III dan 19hidroksi-13-okso baccatin III (Kitagawa et al. 1995). Shen et al. (2003)
melaporkan telah mengisolasi senyawa diterpenoid taksan baru yaitu tasumatrol A
dan B dari ekstrak daun dan ranting T. sumatrana. Namun potensi mikroba
endofit khususnya bakteri endofit dari T. sumatrana sebagai penghasil senyawa
kimia antifungal belum banyak diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa kimia antifungal
terhadap Candida albicans yang dihasilkan bakteri endofit dari tanaman T.
sumatrana dan karakterisasi bakteri terseleksi. Hasil penelitian ini diharapkan

akan mendapatkan senyawa yang memiliki nilai farmakologis tinggi dan
menambah informasi ilmiah senyawa kimia yang mempunyai aktivitas antifungal
dari bakteri endofit T. sumatrana.
Isolasi bakteri endofit dilakukan dari batang dan daun T. sumatrana menurut
metode Tomita (2003). Seleksi isolat yang berpotensi sebagai penghasil senyawa
kimia antifungal terhadap C. albicans dilakukan dengan metode inokulasi titik
dan difusi. Hasil isolasi bakteri endofit diperoleh adanya 16 isolat. Dari 16 isolat,
diperoleh 1 isolat berpotensi sebagai antifungal yaitu isolat Tx 4
Identifikasi senyawa bioaktif dimulai dengan ekstraksi supernatan hasil
fermentasi isolat Tx 4 menggunakan pelarut n-heksana. Ekstrak yang mempunyai

aktivitas antifungal dianalisis dengan Kromatografi Lapis Tipis menggunakan fase
gerak n-heksana:etil asetat. Ekstrak difraksinasi dengan kromatografi kolom
menggunakan pelarut n-heksana:etil asetat secara gradien dengan variasi nilai
pembanding. Selanjutnya dilakukan penyederhanaan fraksi dengan KLT. Fraksi
gabungan yang diperoleh, diuji antagonistik dengan C. albicans. Fraksi yang
mempunyai aktivitas antifungal, dilanjutkan dengan KLT preparatif.
Fraksi hasil KLT preparatif yang menunjukkan aktivitas antifungal,
dianalisis senyawa kimia menggunakan spektofotometri IR dan GC-MS. Analisis
spektrum infra merah untuk fraksi aktif memberikan bilangan gelombang pada

daerah 1740.64 cm-1 yang mencirikan adanya gugus karbonil dan bilangan
gelombang 2919.06 cm-1 menandakan gugus aromatik serta gugus alkena pada
bilangan gelombang 1521,73 cm-1 dan gugus karboksil pada bilangan gelombang
1081,03 cm-1. Senyawa aktif yang teridentifikasi diduga sebagai asam 1,2
bensenadikarboksilat diisoktil ester.
Identifikasi isolat Tx 4 dilakukan secara morfologi berdasarkan pewarnaan
gram (Somasegaran and Hoben 1985) dan molekuler berdasarkan analisis sekuen
gen 16S rRNA (Song et al. 2004). Hasil identifikasi morfologi menunjukkan
bahwa isolat Tx 4 berbentuk batang dan bersifat gram positif. Hasil sekuen gen
16S rRNA selanjutnya dianalisis dengan program BLAST-N untuk mengetahui
kesesuaian sekuen isolat Tx 4 dengan sekuen pembanding yang terdapat pada
gene bank. Berdasarkan analisis BLAST, isolat Tx 4 memiliki presentase
kemiripan 100% dengan Bacillus amyloliquefaciens NBRC 101586.
Kata kunci: antifungal, Bacillus amyloliquefaciens, bakteri endofit, Candida
albicans,

SUMMARY
TIWIT WIDOWATI. Identification of Antifungal Compound from Endophytic
Bacteria of Taxus sumatrana. Supervised by UTUT WIDYASTUTI and
PARTOMUAN SIMANJUNTAK

In recent decades, there has been an increase in fungal infection caused by
resistance of some species of fungus to fungicides used in medicinal treatment.
The use of antifungal in the treatment of fungal infections should considering the
toxicity, efficacy, cost and frequent use had led to emergence of resistant strains.
One approach to developing antifungal drugs is use of plants as sources of
medicine (Abad et al. 2007).
Plants are host for the presence of endophytic microbes. Some of these
endophytes produce bioactive compound that are involved in the host-microbes
relationship. Taxus is one of the hosts plant for endophytic microbes. An
endophytic fungus Paecilomyces sp. was isolated from Taxus mairei, produce
metabolites brefeldin A, which has several activities such as antifungal, antiviral
and anticancer drugs (Wang et al. 2002). Tayung et al (2007) also reported that a
bacterium Pseudomonas fluorescens was isolated from Taxus batacca
rhizosphere, produce antimicrobial compounds.
Many endophytic microbes associated with Taxus have been demonstrated
to produce biactive compound that was an opportunity to explore endophytic
microbes of Taxus from Indonesia. Taxus sumatrana was known as the Sumatran
Yew that was a needle tree, grown naturally in Indonesia.
T. sumatrana was recognized for producing a number of active compounds
such

as
taxol,
cephalomannine,
7-epi-10-deacetyltaxol,
7-epi-10deacetylcephalomannine, baccatin III, 19-hydroxybaccatin III and 10-deacetyl-13oxobaccatin III taxol, cepalomanin, 7-epi-10-deasetil. Shen et al. (2003) reported,
two new taxane diterpenoid, tasumatrol A and B, have been isolated from extract
of the leaves and twigs of Taiwanese T. sumatrana. However, the potential of
endophytic microbes especially endophytic bacteria from T. sumatrana for
producing antifungal compounds is still limited.
The aim of this studies were to identify antifungal compound against
Candida albicans which produced by endophytes bacteria of T. sumatrana and
characterize the selected isolates. The results of this study were expected to
receive pharmacological compound which have high value and increase scientific
information of antifungal compound from endophytic bacteria of T. sumatrana.
Endophytic bacteria were isolated from the stems and leaves of T.
sumatrana (Tomita 2003). Selection of isolates was done by paper disk diffusion
and point inoculation method. Sixteen isolates were found at isolation of
endophytic bacteria. Among 16 isolates, isolate Tx 4 showed antagonistic activity
against C. albicans.
The culture broth of Tx 4 isolate was centifuged and supernatant was

extracted using n-hexane solvent three times. Extracts which have antifungal
activity was analyzed by Thin Layer Chromatography using n-hexane: ethyl
acetate solvent. Extracts was fractionated by column chromatography using nhexane: ethyl acetate solvent as a gradient. Fractions were obtained, tested

antagonistic to C. albicans. Fractions which have antifungal activity were
analyzed by preparative TLC.
Fractions which showing antifungal activity, were analyzed by Infra Red
Spectrophotometry (IR) and Gas Chromatography - Mass Spectrometry (GC-MS).
The IR results were wavenumber 1740.64 cm-1 (carbonyl group), 2919.06 cm-1
(aromatic group), 1521.73 cm-1 (alkene group) and 1081,03 cm-1 (carboxyl
group). Identification by GC-MS estimated that bioactive compounds contain of
1,2-benzenedicarboxylic acid, diisooctyl ester.
Identification of Tx 4 isolate was done base on morphology and molecular.
The results of morphology identification showed that Tx 4 isolate is rod-shaped
and positive Gram. The results of 16S rRNA gene sequences were compared to
available databases using the BLAST-N program. Based on BLAST analysis, Tx
4 isolate had 100% similarity with Bacillus amyloliquefaciens NBRC 101586.
Keywords: antifungal, Bacillus amyloliquefaciens, Candida albicans, endophytes
bacteria


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB dan LIPI
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan LIPI

IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA ANTIFUNGAL DARI
BAKTERI ENDOFIT ASAL Taxus sumatrana

TIWIT WIDOWATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi Pembimbing: Prof Dr Anja Meryandini, MS

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala atas
limpahan berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul Identifikasi Senyawa Kimia Antifungal dari Bakteri Endofit
asal Taxus sumatrana. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di
Laboratorium Mikroba Simbiotik Tanaman dan Laboratorium Kimia Bahan
Alam, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr. Ir. Utut Widyastuti, MS dan Prof. (ris) Dr. Partomuan Simanjuntak, M.Sc.
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama penelitian hingga penyusunan tesis ini.
2. Dra. Harmastini Sukiman, M.Agr. yang telah memberikan kesempatan dan

dukungan sehingga penulis dapat mengikuti program pendidikan pascasarjana.
3. Ka Ike, Ella, Nana dan Ise atas bantuan dan dukungannya selama penelitian di
Laboratorium Mikroba Simbiotik Tanaman. Om Bustan, Fauzi dan Yadi atas
bantuannya selama penelitian di Laboratorium Kimia Bahan Alam.
4. Teman-teman BTK 2009
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Mas Awang dan
Ainun tersayang, Bulik Tri, Mas Anang, Mas Puguh dan Titin atas segala doa,
dukungan dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, maka masukan berupa
saran dan kritik guna penyempurnaan penulisan tesis ini sangat diharapkan.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
terutama pengembangan ilmu penulis.

Bogor, April 2013

Tiwit Widowati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL


x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Taxus sumatrana
Mikroba Endofit
Jamur Patogen Candida albicans
Antifungal
Ekstraksi
Kromatografi
Identifikasi Senyawa Kimia

1
1
2
2
3
3
4
5
6
6
7
9

Identifikasi Mikroba

10

3 METODE
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit asal Taxus sumatrana
Isolasi dan Pemurnian Senyawa Aktif Antifungal
Identifikasi Senyawa Kimia
Identifikasi Mikroba

12
12
12
12
12
13
15
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit asal Taxus sumatrana
Isolasi dan Pemurnian Senyawa Aktif Antifungal
Identifikasi Senyawa Kimia Antifungal
Identifikasi Mikroba

17
17
29
34
37

5 SIMPULAN DAN SARAN

30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

37

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1

Variasi eluen dalam fraksinasi ekstrak n-heksana

14

2

Hasil isolasi bakteri endofit dari daun dan ranting Taxus sumatrana

17

3

Penggabungan fraksi n-heksana hasil kromatografi kolom

20

4

Hasil interpretasi spektrum infra merah senyawa fraksi VII-1 (Skoog
et al. 2007)

23

5

Hasil BLAST berdasarkan sekuen gen 16S rRNA

27

DAFTAR GAMBAR
1

Pohon dan daun Taxus sumatrana

2

Hasil uji antagonistik isolat Tx 4 dengan metode inokulasi titik dan
difusi agar

18

3

Aktivitas penghambatan isolat Tx 4 terhadap Candida albicans

19

4

Hasil KLT ekstrak n-heksana dengan fase gerak n-heksana:etil asetat
(2:1)

20

5

Hasil KLT fraksi gabungan dari isolat Tx 4

21

6

Hasil uji antagonis fraksi-fraksi gabungan dari ekstrak isolat Tx 4

21

7

Kromatogram hasil KLT preparatif fraksi VII dari isolat Tx 4

22

8

Hasil uji antagonis fraksi VII dari isolat Tx 4 terhadap Candida
albicans

22

9

Hasil spektra IR dari fraksi VII-1

23

3

10 Hasil spektra MS untuk fraksi VII-1

24

11 Struktur kimia asam 1,2 bensenadikarboksilat diisooktil ester dari
isolat Tx 4

25

12 Morfologi koloni dan hasil pewarnaan Gram isolat Tx 4

26

13 Hasil PCR gen 16S rRNA isolat Tx 4

26

14 Pohon filogenetik hasil gen 16S rRNA isolat Tx 4 dengan gene bank

28

DAFTAR LAMPIRAN
1

Kondisi alat GC-MS

36

2

Hasil pengujian bakteri endofit asal Taxus sumatrana

37

3

Hasil sekuensing gen 16S rRNA isolat Tx 4

38

4

Hasil BLAST isolat Tx 4

39

5

Data BLAST isolat Bacillus amyloliquefaciens NBRC 1015686

40

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada beberapa dekade terakhir, telah terjadi peningkatan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi jamur. Hal ini sering terjadi pada orang yang mengalami
kegagalan sistem imun, seperti penderita AIDS, kanker atau pasien transplantasi
organ yang berisiko terinfeksi patogen Aspergillus spp, Cryptococcus spp dan
Candida spp (Strobel and Daisy 2003).
Beberapa antibiotik dari golongan poliene, azole dan alilamin digunakan
sebagai antifungal untuk menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur
(Ghannoum and Rice 1998). Penggunaan antifungal dalam pengobatan infeksi
jamur harus mempertimbangkan toksisitas, efektivitas, biaya dan frekuensi
penggunaan yang dapat menyebabkan munculnya galur yang resisten.
Munculnya infeksi jamur dan galur yang memiliki sifat resisten terhadap
antibiotika yang digunakan dalam pengobatan, memicu pengembangan obat
antifungal yang tepat dan mempunyai efek samping yang rendah. Salah satu
pendekatan yang bisa dilakukan adalah penggunaan tumbuhan sebagai sumber
obat-obatan (Abad et al. 2007). Bagian tumbuhan berupa batang, daun, bunga,
buah dan akar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Penggunaan produk
alami, baik senyawa murni atau ekstrak dari tumbuhan, memberikan peluang yang
sangat besar sebagai obat baru yang mengarah pada keragaman senyawa kimia.
Eksplotasi yang tinggi terhadap penggunaan tanaman obat dapat menyebabkan
populasinya menurun secara drastis (Henti et al. 2010). Oleh karena itu, perlu
dicari sumber senyawa aktif lainnya, tanpa harus mengeksplotasi tumbuhan dan
merusak ekosistem.
Mikroba endofit dipandang sebagai sumber senyawa aktif yang menempati
lingkungan yang unik dan spesifik. Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di
dalam jaringan tanaman dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam
jaringan tanpa membahayakan tanaman inang (Strobel and Daisy 2003). Mikroba
endofit hidup secara sinergis dengan tanaman inang dimana mikroba
mendapatkan nutrisi yang dihasilkan tanaman inang, sedangkan mikroba
menghasilkan senyawa aktif berupa metabolit sekunder yang akan menjaga inang
dari serangan penyakit (Taechowishan et al. 2005). Senyawa aktif yang dihasilkan
mikroba endofit diketahui berpotensi sebagai sumber senyawa antimikroba (Ezra
et al. 2004).
Tumbuhan merupakan inang bagi keberadaan mikroba endofit yang
berpotensi sebagai penghasil senyawa aktif dengan struktur molekul dan aktivitas
biologi yang beragam. Mikroba endofit penghasil senyawa aktif memiliki potensi
yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai bahan obat-obatan. Salah satu
spesies tumbuhan yang dikenal sebagai penghasil senyawa aktif adalah Taxus.
Seperti diketahui Taxus brevifolia menghasilkan senyawa aktif berupa paclitaxel
(taksol) yaitu obat antikanker yang diperoleh dari kapang endofit Taxomyces
andreane (Strobel and Daisy 2003). Selain itu juga ditemukan kapang
Paecilomyces sp. yang diisolasi dari Taxus mairei menghasilkan metabolit berupa
brefeldin A yang mempunyai beberapa aktivitas seperti antifungal, antiviral dan
antikanker (Wang et al. 2002).

2

Carusso et al. (2000) melaporkan bahwa endofit aktinomiset yang diisolasi
dari kayu Taxus batacca menghasilkan paclitaxel dan turunan taxane. Selanjutnya
dilaporkan juga oleh Tayung et al. (2007) bahwa bakteri Pseudomonas
flourescens yang diisolasi dari rizosfer Taxus batacca, menghasilkan senyawa
aktif antimikroba.
Adanya beberapa senyawa aktif dari mikroba endofit Taxus, memberikan
peluang untuk mengembangkan mikroba endofit dari tanaman Taxus Indonesia
sebagai penghasil senyawa aktif. Taxus sumatrana yang dikenal dengan nama
Sumatran Yew (Cemara Sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun
jarum yang tumbuh secara alami di Indonesia
Taxus sumatrana diketahui mempunyai beberapa senyawa aktif. Kitagawa
et al. (1995) melaporkan telah berhasil mengisolasi dan menentukan beberapa
senyawa terpenoid taksol dari Taxus sumatrana. Senyawa tersebut adalah taksol,
cepalomanin, 7-epi-10-deasetil taksol, 7-epi-10-deasetil cepalomanin, baccatin III,
19-hidroksil baccatin III, 10-deasetil-13-okso-baccatin III dan 19-hidroksi-13okso baccatin III. Shen et al. (2003) melaporkan telah mengisolasi senyawa
diterpenoid taksan baru yaitu tasumatrol A dan B dari ekstrak daun dan ranting
Taxus sumatrana.
Eksplorasi terhadap Taxus sumatrana dapat dilakukan lebih lanjut dengan
memanfaatkan mikroba endofit yang bersimbiosis dengan tumbuhan tersebut
sebagai sumber senyawa aktif baru. Mikroba endofit, khususnya bakteri dari
Taxus sumatrana diharapkan dapat menghasilkan senyawa kimia antifungal yang
nantinya bermanfaat bagi manusia dalam bidang kesehatan dan farmasi.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa kimia antifungal
terhadap Candida albicans yang dihasilkan oleh bakteri endofit dari tanaman
Taxus sumatrana.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
tentang senyawa kimia yang mempunyai aktivitas antifungal dari bakteri endofit
yang terdapat di tanaman Taxus sumatrana yang nantinya dapat dikembangkan
sebagai bahan baku obat-obatan.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Taxus sumatrana
Taxus sumatrana atau dikenal dengan Sumatran yew (Cemara Sumatra)
merupakan salah satu jenis Taxus yang tumbuh alami di Indonesia. Tanaman
tersebut dapat berbentuk semak sampai pohon dengan tinggi bisa mencapai 30 m
(Gambar 1). Daunnya berbentuk elips, berwarna hijau zaitun dengan ukuran
panjang 1,8 – 3,0 cm, lebar 2,0 – 2,5 mm dan tebal 200 – 275 µm. Warna kulit
batang merah keabu-abuan dengan tebal kulit 0,5 – 0,8 cm. Bunga jantan biasanya
tidak terlihat sedangkan bunga betina berbentuk subsilindris dengan panjang 2
mm dan lebar 1 mm. Buah berbentuk kerucut dengan panjang 4 mm dan lebar 2
mm, mengerucut dari tengah ke atas (Spjut 2003).
Taxus sumatrana mempunyai klasifikasi sebagai berikut (CITES 2004):
Divisi
: Coniferophyta
Kelas
: Pinopsidae
Bangsa
: Taxales
Suku
: Taxaceae
Marga
: Taxus
Jenis
: Taxus sumatrana (Miquel) de Laubenfels

Gambar 1 Pohon dan daun Taxus sumatrana (Sumber: koleksi pribadi, 2011)
Menurut Siaran Pers Departemen Kehutanan (2009), Taxus sumatrana
tumbuh secara alami di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pada ketinggian
1400–2300 mdpl pada punggung-punggung bukit atau tepian jurang. Tanaman ini
merupakan salah satu jenis tumbuhan yang potensial untuk dikembangkan baik
untuk tujuan konservasi maupun produksi. Kulit, daun, cabang, ranting dan akar
dari Taxus merupakan sumber taksol yang digunakan dalam pengobatan

4

kemoterapi berbagai jenis kanker. Tingginya tingkat eksploitasi untuk
memperoleh bahan aktif taksol dari penebangan pohon dan pengulitan batang
menyebabkan populasi Taxus menurun. Produksi satu kg paclitaxel membutuhkan
6,7 ton kulit batang pohon Taxus atau setara dengan 2.000-3000 pohon. Pasokan
produksi taksol dipengaruhi oleh rusaknya kulit kayu, pertumbuhan Taxus yang
lambat dan terbatas di lingkungan tertentu (Jennewein & Croteau 2001).
Sejak tahun 2005 genus Taxus telah dimasukkan ke dalam Appendix II
CITES. Hal ini berimplikasi pada pelarangan perdagangan semua bagian pohon
dan turunannya, kecuali biji dan produk akhir farmasi siap konsumsi (CITES
2007). Pemenuhan bahan baku dalam pembuatan taksol bertumpu pada
pembangunan hutan tanaman dan pemanfaatan bioteknologi dalam sintesis
senyawa taksol berupa kultur suspensi sel (Khosroushahi et al. 2006), kultur
rambut akar (Furmanova & Sykwoloska-Baranek 2000) dan peningkatan produksi
taksol yang dihasilkan oleh mikroba endofit (Strobel & Daisy 2003). Hal ini
disebabkan kandungan paclitaxel yang diperoleh dari ekstrak kayu T. brevifolia
hanya sebesar 0,01%, sedangkan dari kultur rambut akar Taxus x media var
Hicksii diperoleh 0,6% (Furmanova & Sykwoloska-Baranek 2000). Produksi
taksol juga dapat ditingkatkan dengan kultur suspensi sel yang ditambah beberapa
hormon seperti metal jasmonat dan asam salisilat (Furmanova & SykwoloskaBaranek 2000).

Mikroba Endofit
Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman dan
mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanpa membahayakan
tanaman inang (Strobel & Daisy 2003). Mikroba ini juga tidak menyebabkan
kerusakan pada tanaman inang (Mitchell et al. 2010). Menurut Hung &
Annapurna (2004), mikroba endofit terdapat di jaringan tanaman seperti bunga,
buah, batang, daun, akar dan biji serta merupakan pelindung bagi tanaman inang
dari stress lingkungan dan kompetisi mikroba.
Mikroba ini hidup bersimbiosis saling menguntungkan dengan tanaman
inang, dimana mikroba endofit mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme
tanaman, sedangkan mikroba menghasilkan senyawa aktif berupa metabolit
sekunder yang akan menjaga inang dari serangan penyakit (Taechowishan et al.
2005).
Mikroba endofit dapat menunjang pertumbuhan tanaman inang dengan cara
mensekresi hormon pertumbuhan, melarutkan fosfat, produksi siderofor dan
memfiksasi nitrogen (Bandara et al. 2006). Pengaruh lain infeksi endofitik
terhadap tanaman inang berupa pengaturan osmotik dan stomata, modifikasi
morfologi akar, perubahan akumulasi dan metabolisme nitrogen serta
meningkatkan penyerapan mineral. Mikroba endofit juga berpotensi sebagai agen
biokontrol terhadap fitopatogen dan serangga (Lacava et al. 2007).
Beberapa penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus,
serangga dan nematoda dapat dikurangi dengan cara tanaman diinokulasi mikroba
endofit. Misalnya Erwinia carotovora mampu dihambat oleh beberapa bakteri
endofit termasuk galur Pseudomonas sp. Selanjutnya Bacillus subtilis yang

5

diisolasi dari xilem getah pohon chesnut menunjukkan efek antifungi terhadap
Cryphonectria, parasit pada pohon tersebut (Figueiredo et al. 2009).
Mikroba endofit diketahui menghasilkan senyawa aktif yang berpotensi
sebagai senyawa antimikroba (Ezra et al. 2004). Salah satu mikroba endofit
Streptomyces sp. yang diisolasi dari tanaman obat Lolium perenne menghasilkan
antibiotik methylalbonoursin, yang merupakan sebuah diketopiperazine (Castillo
et al. 2002). Selanjutnya kapang endofit Muscodor albus dari Cinnamomum
zeylanicum diketahui menghasilkan campuran senyawa organik volatil dan
mempunyai aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas (Ezra et al. 2004).

Jamur Patogen Candida albicans
Salah satu jamur patogen penyebab penyakit infeksi pada manusia adalah
Candida albicans. Candida albicans adalah jamur patogen dari golongan
deuteromycota, yang dapat tumbuh pada pH optimum 5,1-6,9 dan pada suhu
o
optimum 28-37 C. Jamur ini merupakan organisme anaerob fakultatif yang
mampu melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana anaerob maupun aerob.
Beberapa karakteristik dari spesies ini adalah berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran 2-5 µ x 3-6 µ dan dapat memproduksi pseudohifa. Jamur ini
merupakan penyebab kandidiasis pada kulit, mukosa dan organ dalam manusia
(Moore-Landecker 1996). Selain itu, penampakan mikroba dapat berubah dari
berwarna putih dan rata menjadi kerut tidak beraturan dan tidak tembus cahaya.
Jamur ini memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang dan melakukan
kolonisasi (Naglik et al. 2003).
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk
tumbuh dalam bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan
berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan
membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora
berbentuk bulat atau lonjong. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor
eksternal yang mempengaruhinya antara lain ketersedian nutrisi.
Dinding sel C. albicans berfungsi melindungi sel dari lingkungan, memberi
bentuk pada sel dan target dari beberapa antimikotik. Dinding sel juga berperan
dalam proses penempelan dan kolonisasi. Candida albicans mempunyai struktur
dinding yang kompleks dengan ketebalan 100 sampai 400 nm. Komposisi utama
dinding sel C. albicans terdiri atas glukan, manan dan khitin (Brooks et al. 2007).
Di dalam tubuh manusia, Candida akan dikontrol oleh mikroflora normal
agar tetap berada dalam jumlah yang rendah dan seimbang. Saat pertumbuhannya
berlebihan, Candida akan mengkolonisasi saluran pencernaan, berubah menjadi
jamur dan membentuk struktur seperti akar yang disebut rizoid. Struktur rizoid
dapat menembus mukosa atau dinding usus, membuat lubang berukuran
mikroskopik dan menyebabkan racun, partikel makanan yang tidak tercerna serta
bakteri dan khamir dapat masuk ke alam aliran darah. Kondisi tersebut disebut
sebagai sindrom kebocoran usus (leaky gut syndrome) (Brooks et al. 2007).

6

Antifungal
Antifungal merupakan senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
dapat menghambat atau mematikan pertumbuhan fungi. Antifungal termasuk
dalam antimikroba yang mempunyai sifat toksik selektif yang berarti hanya
membunuh mikroba yang menyebabkan penyakit tanpa mengganggu inangnya
(Madigan et al. 2006)
Berdasarkan aktivitasnya senyawa antifungal dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu fungistatik dan fungisida. Fungistatik adalah agen antifungal yang bersifat
menghambat pertumbuhan fungi tanpa mematikan, sedangkan fungisida
merupakan agen antifungal yang memiliki aktivitas mematikan fungi.
Mekanisme kerja dari senyawa antimikroba diantaranya adalah menghambat
sintesis dinding sel, merubah permeabilitas membran sel, menghambat sintesis
protein dan asam nukleat serta mengganggu metabolisme sel.
Aktivitas antimikroba dapat ditentukan berdasarkan konsentrasi hambat
minimum (MIC), yaitu konsentrasi terkecil dari senyawa antimikroba yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba uji (Madigan et al. 2006). Untuk menentukan
konsentrasi hambat minimum (MIC) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu a)
Metode Difusi dan b) Metode Dilusi.
a. Metode Difusi
Metode ini dilakukan dengan menggunakan cawan petri berisi media padat
yang diinokulasi dengan mikroba uji. Beberapa senyawa antimikroba
ditambahkan pada paper disk, kemudian diletakkan pada permukaan agar-agar
dan diinkubasi selama 18-24 jam. Selama inkubasi, senyawa antimikroba akan
berdifusi dari paper disk ke dalam agar-agar. Hasil pengamatan yang akan
diperoleh berupa ada atau tidaknya daerah bening yang terbentuk di sekeliling
kertas cakram yang menunjukkan daerah hambatan pertumbuhan bakteri. Zona
hambat yang terbentuk ditentukan berdasarkan jumlah bahan antimikroba yang
ditambahkan pada paper disk, kelarutan senyawa, koefisien difusi dan
efektivitas senyawa.
b. Metode Dilusi
Metode ini dilakukan dengan cara mencampurkan senyawa antimikroba
dengan berbagai konsentrasi ke dalam tabung berisi media cair yang telah
diinokulasi dengan mikroba uji. Konsentrasi senyawa antimikroba dibuat
dengan cara pengenceran kelipatan dua dalam tabung berisi media cair. Setelah
diinkubasi, tabung diamati untuk melihat pertumbuhan mikroba (kekeruhan) di
dalam media. Aktivitas senyawa antimikroba ditentukan sebagai konsentrasi
hambatan minimum (MIC). Nilai MIC dipengaruhi oleh jenis organisme uji,
konsentrasi senyawa antimikroba, jumlah inokulum, komposisi media kultur,
waktu dan kondisi inkubasi seperti suhu, pH dan aerasi.

Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Tujuan dari ekstraksi adalah untuk
memisahkan komponen utama dari zat pengotor sehingga diperoleh larutan yang

7

lebih murni. Ekstraksi ini didasarkan pada perbedaan kelarutan suatu zat dalam
suatu pelarut. Semakin besar perbedaan kelarutan suatu zat maka akan semakin
sempurna proses pemisahannya. Berdasarkan bentuk campuran yang akan
diekstraksi, ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekstraksi padat-cair dan
ekstraksi cair-cair (Supriyanto 2005).
Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia di
antara dua fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen
larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua. Ekstraksi cair-cair
biasanya dilakukan dengan menggunakan corong pemisah (separatory funnel).
Corong pisah yang berisi sampel dan pelarut organik dikocok untuk
mencampurkan pelarut dengan sampel sehingga terpisah menjadi dua lapisan
yaitu fasa organik dan fasa cair. Ekstraksi cair-cair mempunyai tujuan untuk
mendapatkan selektivitas yang tinggi pada tiap komponen. Komponen kimia akan
terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan
perbandingan konsentrasi yang tetap (Sampurno 2000).
Menurut Harbone (1987), untuk mendapatkan ekstrak dengan jumlah dan
hasil yang optimum dapat menggunakan beberapa pelarut yang berbeda tingkat
kepolarannya. Ekstrasi dapat dilakukan dimulai dengan pelarut nonpolar
(misalnya n-heksana atau kloroform), dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil
asetat atau dietil eter) kemudian pelarut polar (metanol atau etanol). Pelarut
nonpolar dapat memisahkan senyawa lemak, minyak atsiri dan steroid, sedangkan
pelarut semipolar memisahkan senyawa seperti kumarin, kuinon dan alkaloid.
senyawa yang dapat diperoleh dari ekstraksi pelarut polar berupa glikosida,
saponin dan tanin. Senyawa yang diperoleh dari hasil ekstraksi menjadi lebih
spesifik karena dilakukan pemisahan dari ekstrak yang lebih kompleks.

Kromatografi
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan senyawa kimia berdasarkan
prinsip adsorbsi dan partisi yang ditentukan oleh fasa diam dan fasa gerak
(Rohman 2009). Pemisahan senyawa kimia tergantung pada gerakan relatif dari
dua fasa tersebut. Senyawa kimia bergerak naik mengikuti fasa gerak karena daya
serap adsorben terhadap senyawa-senyawa kimia tidak sama sehingga senyawa
kimia dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda berdasarkan tingkat
kepolarannya. Teknik kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat- sifat
dari fasa gerak, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa tetap berupa
zat padat maka dikenal sebagai kromatografi serapan (absorption
chromatography) dan jika berupa zat cair maka disebut dengan kromatografi
partisi (partition chromatography). Untuk mendapatkan senyawa murni dari suatu
mikroba dapat dilakukan dengan metode kromatografi.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pemisahan dua atau lebih
senyawa yang ada dalam campuran dengan menggunakan sebuah lempeng
sebagai fasa diam dan larutan pengembang sebagai fasa gerak. KLT dapat dipakai
sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif dan preparatif serta

8

untuk mengetahui sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam
kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi. Perkiraan identifikasi
diperoleh dengan pengamatan bercak dengan harga Rf yang identik dan ukuran
yang hampir sama. Perbandingan visual ukuran bercak dapat digunakan untuk
memperkirakan kadar secara semi kuantitatif. Pengukuran kuantitatif
dimungkinkan bila digunakan densitometri, fluoresensi atau pemadaman
fluoresensi atau bercak dapat dikerok dari lempeng kemudian diekstraksi dengan
pelarut yang sesuai dan diukur secara spektrofotometri (Rohman 2009).
Kromatografi ini dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian zat,
memisahkan dan mengidentifikasi komponen dalam campuran serta menganalisa
secara kuantitatif komponen yang terdapat dalam campuran. Campuran yang akan
dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dan ditotolkan berupa bercak atau
pada pelat KLT. Selanjutnya pelat diletakkan di dalam bejana tertutup yang berisi
larutan pengembang yang sesuai. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan). Senyawa yang tidak berwarna dapat dideteksi dengan
penyemprotan menggunakan pereaksi khusus dan dipanaskan di atas hot plate
atau diletakkan di bawah sinar UV pada λ 245 nm atau 365 nm (Gritter et al.
1991).
Fasa diam (lapisan penjerap) yang umum dipakai adalah silika gel,
aluminium oksida, kieselgur dan selulosa. Fasa gerak adalah medium angkut yang
terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Pelarut yang digunakan harus murni dan
hanya dapat digunakan maksimum dua atau tiga kali. Komposisi campuran dapat
berubah karena penyerapan atau penguapan.
KLT dapat dilakukan dalam bejana atau wadah yang dapat ditutup rapat.
Penjenuhan biasanya dilakukan dengan melapisi dinding bejana dengan kertas
saring. Cuplikan ditotolkan sebagai bercak bulat atau garis 1,5-2,0 cm dari tepi
bawah. Pada umumnya cuplikan ditotolkan sebanyak 1-10 µl dengan
menggunakan mikropipet. Pengembangan adalah proses pemisahan campuran
cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik ke lapisan. Jarak
pengembangan normal yaitu jarak antara garis awal dan garis depan ialah 100
mm.
Deteksi senyawa menunjukkan penyerapan di daerah sinar UV gelombang
pendek (radiasi utama pada 254 nm) atau gelombang panjang (365 nm). Jika
dengan kedua cara tersebut senyawa tidak dapat dideteksi maka digunakan peraksi
semprot. Pereaksi semprot yang dipakai pada KLT dapat digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa aktif pada sampel secara kualitatif.
Identifikasi menggunakan pereaksi akan memberi hasil berupa perubahan warna
atau terbentuknya endapan. Pereaksi yang biasa digunakan diantaranya, serium
(IV) sulfat untuk mendeteksi adanya senyawa organik umum. FeCl3 digunakan
untuk mengidentifikasi senyawa fenol, pereaksi semprot Dragendorff untuk
senyawa alkaloid, pereaksi KMnO4 0,2% dalam air dapat mendeteksi senyawa
terpenoid.
Jarak kromatogram senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan
dengan angka Rf. Rf adalah perbandingan jarak titik pusat bercak. Angka Rf
dikalikan faktor 100, menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. Angka hRf
untuk menunjukkan letak suatu senyawa pada kromatogram.

9

Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan kromatografi cair yang menggunakan
kolom untuk memisahkan komponen-komponen campuran dengan afinitas
berbeda-beda menjadi fraksi-fraksi yang lebih sederhana. Pemisahan yang terjadi
tergantung pada jenis fasa diam yang digunakan, biasanya terbuat dari kaca yang
dilengkapi kran jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran
pelarut.
Prisip kerja kromatografi kolom adalah campuran yang akan dipisahkan,
dimasukkan ke dalam kolom berupa tabung kaca, logam atau plastik. Pelarut (fase
gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom kemudian senyawa campuran akan
bergerak turun melalui kolom dengan dengan kecepatan tertentu sehingga terjadi
pemisahan campuran menjadi fraksi-fraksi ketika keluar dari dasar kolom. Hasil
tiap fraksi ditampung dan divakum dengan rotavapor kemudian dianalisa secara
KLT dan hasilnya diamati secara visual serta disemprot dengan penampang
bercak. Selanjutnya fraksi yang sama kemudian digabung.
Ukuran kolom bermacam-macam tetapi pada umumnya panjang sekurangkurangnya 10 – 100 x garis tengah dalamnya. Ukuran kolom dan banyak penjerap
yang dipakai ditentukan oleh bobot campuran yang akan dipisahkan. Penjerap
yang bisa digunakan adalah silika gel, alumina, poliamida, selulosa, arang aktif.
Namun yang paling berguna dan mudah didapat adalah silika gel dan alumina.

Identifikasi Senyawa Kimia
Identifikasi senyawa aktif suatu metabolit sekunder untuk pendekatan
strukturnya diperoleh melalui ciri spektrumnya, termasuk pengukuran spektrum
UV, IR, GC-MS (Gas Cromatography-Mass Spectometry) dan NMR (Nuclear
Magnetic Resonance) (Johann et al. 2007). Spektrofotometri adalah suatu metode
pengukuran serapan radiasi eletromagnetik dan molekul atom dari suatu zat kimia
pada panjang gelombang tertentu.
Spektrofotometer IR (Infra Red)
Spektrofotometer IR digunakan untuk menentukan struktur kimia secara
kualitatif dan kuantitatif. Spektrum IR memberikan puncak-puncak maksimal
yang jelas sebaik puncak puncak minimumnya. Radiasi infra merah hanya
terbatas pada perubahan energi setingkat molekul. Untuk tingkat molekul,
perbedaan dalam tingkat vibrasi dan rotasi digunakan untuk mengabsorbsi sinar
infra merah. Radiasi medan listrik yang berubah-ubah akan berinteraksi dengan
molekul dan akan menyebabkan perubahan amplitudo salah satu gerakan molekul
yang akan menghasilkan spektrum khas yang digunakan untuk mengidentifikasi
golongan senyawa, gugus fungsi dan juga tipe substitusi pada senyawa aromatik.
Daerah radiasi yang paling sering digunakan untuk berbagai keperluan praktis
adalah 4.000-690 cm-1 (Stahl 1985). Suatu spektrofotometer IR terdiri dari:
sumber radiasi berupa Nernst atau lampu glower yaitu batang berongga dengan
diameter 2 mm dan panjang 30 mm, detektor dan monokromator. Monokromator
yang banyak digunakan adalah prisma NaCl untuk daerah 4.000-600 cm-1 dan
prisma Kbr untuk 400 cm-1 (Stahl 1985).

10

Kromatografi Gas-Spektrometer Massa
Salah satu pendekatan nama dan struktur senyawa aktif dapat dilakukan
dengan intepretasi data spektra yang dihasilkan dari analisis GC-MS (Gas
Cromatography-Mass Spectometry). Spektrometer massa digunakan untuk
mengetahui berat molekul senyawa dan ditunjang dengan adanya fragmentasi ion
molekul yang menghasilkan pecahan-pecahan spesifik untuk senyawa
berdasarkan bobot molekul. Sebelumnya, komponen senyawa aktif dipisahkan
terlebih dahulu dengan kromatografi gas (GC) dengan prinsip yang sama dengan
KLT. Perbedaan GC dengan KLT terletak pada penggunaan fase gerak. Pada GC,
fase gerak yang digunakan adalah gas. Biasanya gas yang digunakan adalah gas
He, H2 atau Ne. Tempat proses pemisahan komponen senyawa GC berupa kolom
dari pipa kapiler atau stainless steel yang diisi zat pendukung dan fase diam yang
menempel pada zat pendukung. Fase diam biasanya berupa zat cair kental yang
sukar menguap seperti mentil penil silikon atau zat padat seperti alumina (Al2O3).
Zat pendukung biasanya lapisan silika (Silverstein et al. 1991).
Hasil kromatografi gas berbentuk kerucut yang disebut puncak atau peak
yang menunjukkan urutan keluarnya komponen dari kolom tiap satuan waktu
(menit). Jumlah puncak menunjukkan jumlah komponen yang terdapat dalam
senyawa yang dianalisa. Kuantitas tiap komponen dihitung dari luasan puncak.
Untuk mengidentifikasi kemungkinan jenis dan struktur komponen dari senyawa
yang dianalisis, dilakukan deteksi dengan spektrometri massa (Hendayana 2006).
Setiap komponen senyawa yang terpisahkan dengan kromatografi gas akan
tergambar dalam satu spektra massa, dengan demikian jumlah spektra massa
sesuai dengan jumlah puncak yang ada. Hasil berupa berat molekul dan pola
fragmentasi dari senyawa yang dianalisis kemudian dibandingkan dengan basis
data untuk mengetahui tingkat kemiripan dengan jenis senyawa terdekat
(Silverstein et al. 1991).

Identifikasi Mikroba
Mikroba yang berpotensi sebagai penghasil senyawa antifungal perlu
dilakukan identifikasi untuk mengetahui jenis dan karakteristik mikroba tersebut
(Bardey 2005). Identifikasi bakteri yang diperoleh dari hasil isolasi dapat
dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pengamatan mikroskopis
menggunakan berbagai reaksi pewarnaan, pengujian sifat-sifat fisiologi atau
biokimia maupun molekuler. Identifikasi mikroba secara molekuler menggunakan
metode sekuen komparatif berdasarkan 16S atau 23S rRNA dengan spesifitas
untuk taksa familia, genus ataupun galur (Iwen 2005).
Identifikasi Morfologi
Identifikasi morfologi sel bakteri dilakukan dengan metode pewarnaan
Gram. Pewarnaan Gram bertujuan untuk menggambarkan perbedaan sel bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif (Madigan et al. 2006). Identifikasi dengan
pewarnaan Gram berdasarkan kemampuan sel bakteri menahan bahan ungu kristal
setelah dibilas dengan etanol 95%. Sel yang mampu menahan pewarna ungu

11

kristal disebut bakteri Gram positif, sedangkan bakteri Gram negatif digambarkan
dengan pewarna merah muda yang berasal dari safranin.
Perbedaan dalam pewarnaan Gram berhubungan ketebalan dan komposisi
dinding sel. Bakteri Gram positif mempunyai dinding sel yang tebal yang terdiri
dari beberapa lapisan peptidoglikan, yang menjadi kering oleh alkohol, sehingga
menyebabkan pori-pori di dalam sel menutup dan menahan pewarna ungu kristal
dan iodin terlepas dari sel serta tidak menyerap warna merah dari safranin
(Madigan et al. 2006).
Bakteri Gram negatif mempunyai lapisan peptidoglikan tunggal. Membran
luar yang mengelilingi sel Gram negatif tersusun atas fosfolipid, liposakarida,
enzim dan protein lain, termasuk lipoprotein (White 1995). Selama proses
pewarnaan, alkohol menembus membran luar sel yang kaya akan lipid dan
menghilangkan pewarna ungu kristal dan iodin dari sel.
Identifikasi Molekuler
Metode genetika molekuler memberikan dampak terhadap identifikasi dan
karakterisasi mikroba. Studi tentang urutan nukleotida gen rRNA menyediakan
sarana untuk menganalisis hubungan filogenetik berbagai tingkat taksonomi dan
membantu dalam pengembangan uji identifikasi untuk spesies bakteri. Aplikasi
teknik molekuler untuk menganalisis keragaman rnikroba, seperti analisis gen 16S
rRNA dengan metode polymerase chain reaction (PCR) mampu menampilkan
keragaman genetika mikroba (Yusuf et al. 2002). Gen 16S rRNA merupakan gen
yang bersifat spesifik pada semua prokariot (Amann et al. 1994). Metode ini
menggunakan prinsip adanya daerah genom rRNA yang tetap (conserved) yang
dimiliki oleh mikroba prokariot. Sekuen daerah ribosomal RNA dapat mendukung
hasil identifikasi dan hubungan kekerabatan antar spesies (Iwen 2005).
Daerah target DNA diamplifikasi dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR). PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan
jumlah molekul DNA pada sekuen tertentu dengan cara mensintesis molekul
DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan
enzim dan primer, menggunakan bantuan peralatan thermocycler (Yang 2004).
Sekuen basa nukleotida dari DNA yang telah diamplifikasi oleh PCR dapat
diketahui dengan Automated DNA Sequencing (Sprangler 2002).
Sekuen yang diperoleh untuk identifikasi mikroba dilanjutkan dengan analis
Basic Local Alignment Search Tool (BLAST). BLAST merupakan program
pencarian kesamaan sekuen yang didesain untuk mengeksplorasi semua database
yang diminta baik berupa DNA atau protein. Program BLAST juga dapat
digunakan untuk mendeteksi hubungan di antara sekuen pada daerah tertentu yang
memiliki kesamaan atau homologi (Soendoro 2010).

12

3 METODE
Bahan
Bahan penelitian yang digunakan adalah sampel daun dan ranting Taxus
sumatrana, bakteri endofit, Candida albicans, kertas cakram, media Potato
Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), Nutrien Agar (NA), Nutrien
Broth (NB), nystatin, alkohol 75%, sodium hipoklorit 5,3%, buffer CTAB 10%,
buffer 0,1X TE, Tris-Cl 1 M, SDS 10%, EDTA 0,5 M, isoamil alkohol 4%, NaCl
1,5 M, etanol 95%, isopropanol 30%, fenol 100%, lisozim 10 mg/ml, etidium
bromida 10 mg/ml, primer F (5’-GACGAACGCTGGCGGCGTGC-3’) dan
primer R (5’-TGCACCACCTGTCACTGTGG-3’), agarosa 0,8%, primer, kaca
obyek, larutan ungu Kristal 2%, safranin 2,5%, iodium 0,8%, n-heksana, etil
asetat, serium sulfat 10%, serbuk silika gel 60 GF254, sea sand B, celite 545,
kertas saring.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan analitik, gelas ukur,
magnetic stirer, tissue steril, pisau steril, cawan petri, erlenmeyer, pinset, bunsen,
autoklaf, laminar air flow, mikropipet, mikroskop, botol vial, cawan porselin,
hotplate detector KLT sinar UV, pengocok (shaker), plat silica gel GF254,
chamber KLT, rotary evaporator, labu ekstraksi, pipa kapiler, alumunium silika
gel 60 F254, kolom kromatografi, sentrifuge, mesin PCR, spektrofotometri IR dan
GC-MS.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap,
yaitu: 1) isolasi dan seleksi bakteri endofit; 2) isolasi dan pemurnian senyawa
aktif; 3) identifikasi senyawa kimia; dan 4) identifikasi mikroba.
Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit asal Taxus sumatrana
Isolasi bakteri endofit asal Taxus sumatrana
Bahan tanaman yang digunakan adalah batang dan daun Taxus sumatrana
yang diambil dari Kebun Raya Cibodas. Sampel tanaman disimpan dalam plastik
untuk dilakukan tahap isolasi di Laboratorium Mikrobiologi Tanah, Puslit
Bioteknologi-LIPI. Isolasi bakteri endofit dilakukan menurut metode Tomita
(2003). Sampel tanaman dicuci dengan air mengalir selama 10 menit, kemudian
dipotong menjadi beberapa bagian dengan panjang 3-5 cm. Potongan batang
disterilisasi permukaan dengan cara direndam dalam alkohol 75% selama 1 menit,
larutan sodium hipoklorit (NaOCl) 5,3% selama 5 menit dan alkohol 75% selama
30 detik. Daun dan batang yang lunak disterilisasi permukaan dengan etanol 75%
selama 2 menit. Potongan sampel dikeringkan dengan kertas tisu steril, kemudian

13

dibelah dengan pisau steril dan diletakkan pada cawan petri yang berisi media
NA (5 g Meat Extract, 10 g peptone, 5 g NaCl, 15 g agar-agar dan 100 mg
nystatin per liter air). Setelah 3 hari sampai 4 minggu diinkubasi pada pada suhu
ruang, bakteri yang muncul dimurnikan dan disimpan pada tabung media NA .
Seleksi bakteri endofit asal Taxus sumatrana
Seleksi dilakukan untuk mengetahui kemampuan seluruh isolat bakteri
endofit dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen. Pengujian aktivitas
antifungal dilakukan dengan metode inokulasi titik dan difusi agar. Pengujian
aktivitas antifungal menggunakan Candida albicans koleksi Puslit BioteknologiLIPI. Isolat C. albicans ditumbuhkan dalam 5 ml media PDB, kemudian digoyang
dengan shaker selama 48 jam, suhu 28oC. Suspensi jamur patogen sebanyak 1 ml
dimasukkan ke dalam 100 ml media PDA cair, kemudian dituang ke dalam cawan
petri.
Metode inokulasi titik dilakukan dengan mengambil satu ose kultur bakteri
endofit berumur 24 jam dan diletakkan di media agar-agar yang mengandung
jamur patogen. Kultur diinkubasi selama 1 minggu. Adanya interaksi antagonis
ditandai dengan terbentuknya zona penghambatan antara isolat bakteri dengan
jamur patogen.
Metode difusi dilakukan dengan menumbuhkan bakteri endofit dalam media
Nutrient Broth (NB) dan digoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam.
Kultur disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit (Gayathri et
al. 2010). Supernatan diambil sebanyak10 µl diteteskan pada paper disk kemudian
diletakkan pada media padat yang berisi jamur patogen. Aktivitas antifungal
ditandai dengan adanya zona penghambatan terhadap pertumbuhan jamur patogen
di sekitar isolat bakteri dan paper disc.
Isolasi dan Pemurnian Senyawa Aktif Antifungal
Ekstraksi
Isolat berpotensi antifungal ditumbuhkan pada 200 ml media NB dalam
Erlenmeyer 500 ml dan digoyang dengan shaker pada kecepatan 150 rpm dan
suhu 28 oC selama 24 jam. Proses fermentasi dilakukan beberapa kali sampai
jumlah total media fermentasi sebanyak 15 L. Kultur bakteri disentrifugasi pada
kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diekstraksi dengan pelarut
non polar n-heksana dan semi polar etil asetat (1 : 1, v/v) (Udin 2009), kemudian
dikocok kuat selama 10 menit dan didiamkan sampai terpisah. Lapisan atas
diambil dan dimasukkan ke dalam botol untuk selanjutnya dievaporasi dan
diuapkan. Ekstrak diuji antagonistik terhadap C. albicans.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Ekstrak yang telah diperoleh, dilarutkan dengan n-heksana kemudian
ditotolkan pada lempeng silika gel GF254 berukuran 10 x 2 cm. Lempeng KLT
dimasukkan ke dalam bejana KLT dengan eluen n-heksana: etil asetat (2:1). Eluen
dibiarkan merambat sampai batas yang ditentukan, kemudian dikeluarkan dan
dikeringanginkan. Bercak yang timbul pada lempeng KLT diamati dengan sinar
UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm, kemudian ditandai dengan
dan
pensil. Lempeng KLT disemprot dengan serium sulfat (Ce(SO4)2)

14

dipanaskan di atas hotplate. Adanya bercak pada lempeng KLT dapat
memberikan informasi tentang banyaknya senyawa dalam ekstrak yang dapat
dipisahkan dengan kromatografi kolom.
Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom dilakukan terhadap fraksi n-heksana dengan
menggunakan fase diam silika gel 60 ukuran 70-120 mesh. Fase gerak yang
digunakan adalah n-heksana: etil asetat. G