Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis Pada Domba Garut

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN
SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL
B04103026

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN
SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan Pada
Fakultas Kedokteran Hewan


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

: Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis pada
Domba Garut.

Nama

: Basrizal

NIM


: B04103026

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D

Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi

NIP. 131 664 403

NIP. 132 321 567

Diketahui,
Wakil Dekan FKH IPB

Dr.drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

NIP. 131 129 090

Tanggal Lulus: ......September 2007

“Sang pemenang tidak pernah menyerah, dan orang yang menyerah tidak akan
pernah menang”
Masalahnya bukanlah apakah anda dijatuhkan, tetapi apakah anda bangkit
kembali (Vince Lombardi)

“Dimano Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang”
(Minang)

PRAKATA
Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dengan

judul ”Gambaran Morfologi dan Frekuensi

Tahapan Spermatogenesis pada Domba Garut”. Penelitian ini merupakan
penelitian dasar untuk mengetahui sistem reproduksi domba garut jantan.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT dan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, damai, dan
sentosa.
2. Kedua orang tua, kakak serta keluarga besar di rumah atas doa, cinta,
dukungan, semangat, kehangatan dan pengorbanannya.
3. Drh.

Srihadi

Agungpriyono,

Ph.D

dan

drh.

Wahono


Esthi

Prasetyaningtyas, MSi. sebagai dosen pembimbing skripsi yang tiada lelah
memberikan bimbingan, nasehat, dukungan dan bantuan mulai dari awal
penelitian hingga skripsi ini selesai dikerjakan.
4. Dr. drh. Arief Boediono dan Dr. R. Iis Arifiantini, MSi sebagai dosen
penilai dan penguji yang banyak memberikan masukan dan saran pada
skripsi ini.
5. Drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D sebagai dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberi nasehat selama penulis
dibangku kuliah.
6. Gymnolaemata 40, atas kebersamaannya.
7. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut
membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini, semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2007
Penulis


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1984 di Solok, Sumatera Barat.
Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Idrus dan Zurni.
Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada
tahun 1997 di SDN 1 Tanam Batu. Kemudian pendidikan lanjutan menengah
pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 4 Lembah Gumanti dan
pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 1 Lembah
Gumanti.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2003. Selama perkuliahan
penulis aktif dalam organisasi mahasiswa daerah (IPMM Bogor) dan menjadi
ketua IPMM Bogor periode 2005-2007.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………………………………….………………….…...

i


DAFTAR GAMBAR…………………………………………………

ii

DAFTAR TABEL……………………………………………………

iii

ABSTRAK……………………………………………………………

iv

ABSTRACT………………………………………………….…….....

v

PENDAHULUAN
Latar belakang ………………………….……………..……..
Tujuan ………………………………………………..……....
Manfaat ……………………………………………...……….


1
1
2

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan umum domba…………………………..………….
Testis…………….……..…………………………………….
Proses pembentukan spermatozoa……………………………

3
4
5

MATERI DAN METODE
Waktu dan tempat ………...……………………………….....
Bahan dan sampel yang digunakan………………………….
Metode ………………………………...……………………..

9

9
9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan spermatogenesis domba garut……………………..

13

Frekuensi tahapan spermatogenesis…………….....................

17

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ……………..……………………………………
Saran …………………………………………………………

20
20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………..………………


21

LAMPIRAN …………………………………..……………………...

23

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Domba garut……………………………………………….
Gambar 2 Proses spermatogenesis…………………………………….
Gambar 3 Tahapan spermatogenesis domba garut 1-4……….............
Gambar 4 Tahapan spermatogenesis domba garut 5-8.........................
Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesi domba garut…...
Gambar 6 Durasi masing-masing tahapan spermatogenesis domba
garut .....................................................................................

4
7
15

16
18
19

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Frekuensi dan durasi spermatogenesis pada domba garut .......

17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba Priangan atau yang dikenal dengan domba garut merupakan
domba asli Garut, Jawa Barat. Domba garut merupakan hasil persilangan segitiga
antara domba asli Indonesia, domba Merino dari Asia Kecil dan domba ekor
gemuk dari Afrika. Sebagai plasma nutfah unggul Indonesia, domba garut
merupakan salah satu spesies yang wajib kita lestarikan keberadaannya. Untuk itu,
usaha peningkatan reproduksi perlu dilakukan. Salah satu faktor utama yang
penting dalam mempelajari fisiologi reproduksi adalah proses pembentukan gamet
jantan melalui spermatogenesis.
Menurut O’day (2002), spermatogenesis adalah proses perkembangan dari
sel

germinatif

yaitu

sel

spermatogonia

menjadi

spermatozoa.

Proses

spermatogenesis terjadi di dalam testis tepatnya di dalam tubuli seminiferi.
Spermatogenesis dibagi ke dalam tiga fase : (1) spermatositogenesis, yaitu proses
perubahan spermatogonia menjadi spermatosit, (2) meiosis, tahap masak dari
spermatosit yang menghasilkan spermatid dengan jumlah kromosom yang
berkurang (haploid), dan (3) spermiogenesis, proses perubahan spermatid menjadi
spermatozoa (Dellman & Brown 1976; Ownby 1999).
Proses spermatogenesis terjadi secara berkesinambungan dan terus
menerus. Tahapan spermatogenesis ini dapat teridentifikasi secara mikroskopis.
Beberapa penelitian menggolongkan tahapan spermatogenesis secara morfologis
pada manusia dan beberapa spesies hewan (Kerr & Kretser 1988), misalnya pada
manusia terdiri dari 6 tahap, pada kera 12 tahap, tikus 14 tahap, dan babi 8 tahap.
Namun demikian sampai saat ini informasi mengenai tahapan spermatogenesis
dan durasinya pada domba garut belum terlaporkan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan morfologi dan frekuensi
tahapan spermatogenesis pada domba garut.

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN
SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL
B04103026

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN
SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan Pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

: Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis pada
Domba Garut.

Nama

: Basrizal

NIM

: B04103026

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D

Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi

NIP. 131 664 403

NIP. 132 321 567

Diketahui,
Wakil Dekan FKH IPB

Dr.drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131 129 090

Tanggal Lulus: ......September 2007

“Sang pemenang tidak pernah menyerah, dan orang yang menyerah tidak akan
pernah menang”
Masalahnya bukanlah apakah anda dijatuhkan, tetapi apakah anda bangkit
kembali (Vince Lombardi)

“Dimano Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang”
(Minang)

PRAKATA
Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dengan

judul ”Gambaran Morfologi dan Frekuensi

Tahapan Spermatogenesis pada Domba Garut”. Penelitian ini merupakan
penelitian dasar untuk mengetahui sistem reproduksi domba garut jantan.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT dan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, damai, dan
sentosa.
2. Kedua orang tua, kakak serta keluarga besar di rumah atas doa, cinta,
dukungan, semangat, kehangatan dan pengorbanannya.
3. Drh.

Srihadi

Agungpriyono,

Ph.D

dan

drh.

Wahono

Esthi

Prasetyaningtyas, MSi. sebagai dosen pembimbing skripsi yang tiada lelah
memberikan bimbingan, nasehat, dukungan dan bantuan mulai dari awal
penelitian hingga skripsi ini selesai dikerjakan.
4. Dr. drh. Arief Boediono dan Dr. R. Iis Arifiantini, MSi sebagai dosen
penilai dan penguji yang banyak memberikan masukan dan saran pada
skripsi ini.
5. Drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D sebagai dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberi nasehat selama penulis
dibangku kuliah.
6. Gymnolaemata 40, atas kebersamaannya.
7. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut
membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini, semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2007
Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1984 di Solok, Sumatera Barat.
Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Idrus dan Zurni.
Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada
tahun 1997 di SDN 1 Tanam Batu. Kemudian pendidikan lanjutan menengah
pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 4 Lembah Gumanti dan
pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 1 Lembah
Gumanti.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2003. Selama perkuliahan
penulis aktif dalam organisasi mahasiswa daerah (IPMM Bogor) dan menjadi
ketua IPMM Bogor periode 2005-2007.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………………………………….………………….…...

i

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………

ii

DAFTAR TABEL……………………………………………………

iii

ABSTRAK……………………………………………………………

iv

ABSTRACT………………………………………………….…….....

v

PENDAHULUAN
Latar belakang ………………………….……………..……..
Tujuan ………………………………………………..……....
Manfaat ……………………………………………...……….

1
1
2

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan umum domba…………………………..………….
Testis…………….……..…………………………………….
Proses pembentukan spermatozoa……………………………

3
4
5

MATERI DAN METODE
Waktu dan tempat ………...……………………………….....
Bahan dan sampel yang digunakan………………………….
Metode ………………………………...……………………..

9
9
9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan spermatogenesis domba garut……………………..

13

Frekuensi tahapan spermatogenesis…………….....................

17

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ……………..……………………………………
Saran …………………………………………………………

20
20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………..………………

21

LAMPIRAN …………………………………..……………………...

23

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Domba garut……………………………………………….
Gambar 2 Proses spermatogenesis…………………………………….
Gambar 3 Tahapan spermatogenesis domba garut 1-4……….............
Gambar 4 Tahapan spermatogenesis domba garut 5-8.........................
Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesi domba garut…...
Gambar 6 Durasi masing-masing tahapan spermatogenesis domba
garut .....................................................................................

4
7
15
16
18
19

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Frekuensi dan durasi spermatogenesis pada domba garut .......

17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba Priangan atau yang dikenal dengan domba garut merupakan
domba asli Garut, Jawa Barat. Domba garut merupakan hasil persilangan segitiga
antara domba asli Indonesia, domba Merino dari Asia Kecil dan domba ekor
gemuk dari Afrika. Sebagai plasma nutfah unggul Indonesia, domba garut
merupakan salah satu spesies yang wajib kita lestarikan keberadaannya. Untuk itu,
usaha peningkatan reproduksi perlu dilakukan. Salah satu faktor utama yang
penting dalam mempelajari fisiologi reproduksi adalah proses pembentukan gamet
jantan melalui spermatogenesis.
Menurut O’day (2002), spermatogenesis adalah proses perkembangan dari
sel

germinatif

yaitu

sel

spermatogonia

menjadi

spermatozoa.

Proses

spermatogenesis terjadi di dalam testis tepatnya di dalam tubuli seminiferi.
Spermatogenesis dibagi ke dalam tiga fase : (1) spermatositogenesis, yaitu proses
perubahan spermatogonia menjadi spermatosit, (2) meiosis, tahap masak dari
spermatosit yang menghasilkan spermatid dengan jumlah kromosom yang
berkurang (haploid), dan (3) spermiogenesis, proses perubahan spermatid menjadi
spermatozoa (Dellman & Brown 1976; Ownby 1999).
Proses spermatogenesis terjadi secara berkesinambungan dan terus
menerus. Tahapan spermatogenesis ini dapat teridentifikasi secara mikroskopis.
Beberapa penelitian menggolongkan tahapan spermatogenesis secara morfologis
pada manusia dan beberapa spesies hewan (Kerr & Kretser 1988), misalnya pada
manusia terdiri dari 6 tahap, pada kera 12 tahap, tikus 14 tahap, dan babi 8 tahap.
Namun demikian sampai saat ini informasi mengenai tahapan spermatogenesis
dan durasinya pada domba garut belum terlaporkan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan morfologi dan frekuensi
tahapan spermatogenesis pada domba garut.

Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dasar tentang siklus dan
proses spermatogenesis pada domba garut jantan.

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Domba
Domba diklasifikasikan menjadi subfamili Caprinae dan semua jenis
domba yang diternakkan (domestikasi) termasuk spesies Ovis aries. Ada empat
spesies domba yaitu : domba Moufflon (O. musimon) terdapat di Eropa dan Asia
Barat, domba Urial (O. orientalis, O. vignei) terdapat mulai dari Afganistan
sampai Asia Barat, domba Argali (O. ammon) terdapat di Asia Tengah, dan
domba Bighorn (O. canodensis ) terdapat di Asia Utara dan Amerika Utara. Tiga
jenis yang pertama diatas merupakan domba-domba yang membentuk basis
genetik dari domba-domba modern sekarang (Payne & Williamson 1993).
Menurut Gatenby (1986), ada tiga bangsa domba Indonesia, diantaranya
adalah domba ekor tipis (the Javanese thin tailed sheep), domba Priangan (domba
garut), dan domba ekor gemuk (the Javanese fat tailed sheep). Domba ekor tipis
yang merupakan domba asli Indonesia, mempunyai tubuh kecil, ekor relatif kecil
dan tipis, domba betina umumnya tidak bertanduk sedangkan domba jantan
bertanduk kecil dan melingkar (Mulyono 2000). Domba ekor gemuk yang ada di
Indonesia kemungkinan berasal dari India atau Asia Barat (Payne & Williamson,
1993). Domba ini mempunyai bentuk ekor yang panjang, lebar, besar, dan
semakin keujung semakin mengecil. Ekor ini digunakan sebagai tempat
menimbun lemak untuk cadangan energi (Mulyono 2000), domba ekor gemuk
mempunyai bentuk badan sedikit lebih besar dari pada domba asli Indonesia, yang
jantan bertanduk kecil sedangkan betinanya tidak bertanduk (Dwiyanto 1999).
Domba Priangan merupakan domba asli dari Garut Jawa Barat, yang
berasal dari persilangan segitiga antara domba lokal, domba Merino dan domba
Cape (Afrika Selatan). Persilangan diperkirakan terjadi mulai tahun 1864 ketika
pemerintah Hindia Belanda memasukkan domba Merino ke Indonesia
(Hardjosubroto & Astuti 1979). Domba Priangan (Gambar 1) mempunyai pangkal
ekor lebih lebar dengan ujung ekor yang runcing dan pendek, domba Priangan
betina tidak bertanduk sedangkan domba jantannya bertanduk. Domba ini
memiliki tanda lain seperti daun telinga relatif kecil dan kokoh, berbadan besar
dan lebar serta kuat, domba jantan bertanduk cukup besar yang melengkung
kebelakang berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu serta

memiliki rambut lebih panjang dan halus dari pada domba asli Indonesia. Domba
garut ini biasa digunakan untuk aduan (Mulyono 2000; Sugeng 2000).

Gambar 1 Domba Garut Jantan
(Sumber http://www.dombagarut.com/bigger1.html)
Testis
Testis pada hewan mamalia ada sepasang, bentuknya bulat telur atau
lonjong, berada di dalam rongga skrotum dan digantung oleh funikulus
spermatikus yang terletak di daerah preoubicus. Testis terdiri dari jaringan tubuli
seminiferi, sel stroma, sel interstisial dan sel-sel Leydig. Tubuli seminiferi terdiri
dari dua macam epitel yang berbeda yaitu : (1) sel germinatif adalah sel yang akan
mengalami perubahan selama proses spermatogenesis, sebelum mereka siap untuk
mengadakan fertilisasi. (2) sel Sertoli adalah sel yang berbentuk panjang dan
kadang-kadang seperti piramid, terletak dekat atau diantara sel-sel germinatif.
Fungsi sel ini memberi makan kepada spermatozoa yang masih muda selain itu
juga memfagosit sel-sel spermatozoa yang telah mati atau telah mengalami
degenerasi. Pada jaringan ini terdapat pembuluh darah, limfe serta saraf dan sel
makrofag. Selain itu juga terdapat sel interstitial atau sel Leydig yang
menghasilkan hormon testosteron, hormon juga dihasilkan oleh spermatozoa dan
kelenjar adrenal (Tomaszewska et al. 1991).
Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi, yaitu (1)
Fungsi reproduksi menghasilkan spermatozoa atau sel kelamin jantan (2) Fungsi
endokrin mensekresikan hormon kelamin jantan, testosteron. Fungsi reproduksi

testis adalah produksi spermatozoa atau sel mani yang dihasilkan di tubuli
seminiferi. Bila dibentangkan saluran tubuli seminiferi mempunyai panjang
beberapa kilometer. Spermatozoa adalah bentuk akhir sel jantan setelah
mengalami proses perkembangan (spermatogenesis).

Proses Pembentukan Spermatozoa
Proses spermatogenesis secara sempurna baru dimulai setelah hewan
mencapai dewasa kelamin (pubertas). Produksi spermatozoa akan bertambah
bersamaan dengan meningkatnya umur hewan jantan tersebut. Spermatozoa
diproduksi dalam tubuli seminiferi testis. Spermatozoa berasal dari sel
spermatogonia pada epitel germinatif dari tubuli seminiferi dengan cara
pembelahan. Proses spermatogenesis pada hewan dibagi menjadi empat tahap
(Ownby 1999) yaitu :
1. Tahap proliferasi, tahap ini dimulai sejak sebelum lahir sampai beberapa
saat setelah lahir. Bakal sel kelamin yang ada pada lapisan basal dari tubuli
seminiferi melepaskan diri dan membelah secara mitosis sampai
dihasilkan banyak sel spermatogonia.
2. Tahap tumbuh, pada tahap ini spermatogonia membagi diri secara mitosis
sebanyak empat kali sehingga dihasilkan 16 sel spermatogonia.
3. Tahap menjadi masak, yaitu sel spermatogonia menjadi sel spematosit.
Pada tahap ini terjadi pembelahan meiosis sehingga sel spermatosit primer
berubah menjadi sel spermatosit sekunder. Kemudian spermatosit
sekunder akan berubah menjadi spermatid bersamaan dengan pengurangan
jumlah kromosom dari diploid (2n) menjadi haploid (n).
4. Tahap transformasi, pada tahap ini terjadi proses metamorfosa seluler dari
sel spermatid sehingga terbentuk sel spermatozoa.
Sedangkan menurut Djuwita et al. (2000), proses spermatogenesis dibagi
menjadi dua tahap yaitu:

spermatositogenesis adalah pertumbuhan jaringan

spermatogenik dengan pembelahan mitosis yang diikuti dengan pembelahan
reduksi (meiosis). Pada pembelahan meiosis jumlah kromosom dibagi dua sama
banyak yaitu dari diploid (2n) menjadi haploid (1n). Sehingga pada saat yang
bersamaan sel benih primordial juga berkembang menjadi spermatogonia yang

selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer
akan berkembang menjadi spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder melalui
pembelahan meiosis akan menghasilkan spermatid.
Tahap berikutnya adalah spermiogenesis. Pada fase ini sel spermatid akan
mengalami metamorfosa dan membentuk spermatozoa secara sempurna.
Perubahan proses metamorfosa ini meliputi pembentukan akrosom, kepala, badan
dan ekor dari spermatozoa. Spermiogenesis dibagi dalam tahap Golgi, tahap
tudung (cap phase), tahap akrosom, dan tahap pemasakan. Selama fase Golgi,
butir-butir praakrosom muncul pada gelembung Golgi dan akan bergabung
membentuk butir akrosom tunggal. Pada fase tudung, butir akrosom bergerak ke
kutup anterior inti, difase ini butir-butir akrosom memipih dan intinya memadat.
Selama transisi dari fase tudung ke fase akrosom, kepala spermatid menempel
pada sel Sertoli dan mengarah ke lumen. Pada fase akhir yaitu fase pemasakan
terjadi diferensiasi spermatid, pengeluaran sitoplasma dihentikan. Sitoplasma
yang keluar disebut dengan badan residual kemudian difagosit oleh sel Sertoli
(Dellman & Brown 1976). Selama pertumbuhannya, spermatozoa selalu melekat
pada sel Sertoli dan bergerak dari dinding tubulus semineferus. Dalam
perlekatannya dengan sel Sertoli ini, spermatozoa menerima makanan sampai saat
melepaskan diri ke lumen tubulus. Kemudian spermatozoa meninggalkan tubuli
seminiferi menuju epididimis dan akan disimpan beberapa waktu sampai saat
diejakulasikan. Proses spermatogenesis secara skematis dapat dilihat pada Gambar
2.

Gambar 2 Proses Spermatogenesis (Sumber : http://images.google.co.id)
Spermatogenesis adalah suatu siklus yang teratur dimana spermatogonia
diploid akan berkembang menjadi spermatozoa haploid dewasa. Proses ini terdiri
atas tahapan-tahapan yang berbeda (Leblond & Clermont 1952). Menurut Franca
et al. (1999), untuk mengetahui tahapan siklus epitel seminiferus dapat dilihat dari
keadaan tubuli seminiferi antara lain melalui ukuran inti spermatid, kehadiran
pembelahan meiosis dan komposisi epitel seminiferus secara keseluruhan. Pada
kambing tahapan spematogenesis sebanyak delapan tahap, dengan frekuensi
masing-masing tahapan sebagai berikut: tahap 1 15.8%, tahap 2 12.8%, tahap 3
20.5%, tahap 4 10,7%, tahap 5 11.6%, tahap 6 9.3%, tahap 7 7.6%, tahap 8
11.7%. Sedangkan durasi tiap siklus spermatogenesis adalah 10.6 hari. Dengan
total waktu siklus spermatogenesis adalah 4.5 siklus.
Pada babi, satu siklus spermatogenesis berlangsung 9 + 0.2 hari. Total
durasi spermatogenesis diperkirakan 4.5 siklus epitel seminiferus, sehingga
spermatogenesis diperkirakan mencapai + 40.6 hari. Tahapan spermatogenesis
pada babi berlangsung sebanyak delapan tahap. Tahap 1 11.7%, tahap 2 14.3%,

tahap 3 5.4%, tahap 4 12.1% tahap 5 5.9%, tahap 6 17.2%, tahap 7 15.4%, tahap
8 14.3% (Franca & Cardoso 1998).
Sementara itu pada puma, siklus epitel seminiferus terjadi sebanyak
delapan tahap. Durasi siklus epitel seminiferus adalah 9.89 hari, sehingga
diperkirakan membutuhkan waktu 44.5 hari untuk perkembangan spermatogonia
menjadi spermatozoa (Leite et al. 2006). Pada musang, tahapan spermatogenesis
juga berlangsung sebanyak delapan tahap. Tahap 1 sampai tahap 8 secara
berurutan adalah 10.6%, 2.2%, 7.9%, 13.1%, 22.3%, 21.9%, 14.0%, dan 8.0%.
Durasi satu siklus diperkirakan mencapai 13.0 hari. Ini sama dengan karnivora
lain ( Nakai et al. 2004).
Pada gerbil mongolia, tahapan spermatogenesis dibagi menjadi 15 tahap.
Tahap I adalah frekuensi tertinggi sementara tahap 5 paling rendah dari 12 tahap.
Pola spermatogenesisnya sama dengan rodensia lain yang digunakan sebagai
hewan laboratorium (Segatelli et al. 2002).

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi,
Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari 2007
sampai dengan Agustus 2007.

Bahan
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NaCl
fisiologis, larutan pengawet Bouin, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, Xylol,
Parafin p.a (56-58%), zat-zat warna Hematoksilin Eosin (HE), dan Entellan®.
Sedangkan alat yang dipakai, antara lain : pisau, skalpel, gunting, label,
gelas piala, botol-botol dehidrasi, kertas foto, styrofoam, blok kayu, pinset,
bunsen, tutup pagoda, gelas objek, mikrotom dengan pisaunya, kuas bulu kuda,
spatula, hot plate.

Sampel yang digunakan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel organ testis yang
berasal dari tiga ekor domba garut jantan dewasa dan sehat yang berumur + 2
tahun. Pengambilan sediaan organ testis dilakukan sesaat setelah domba dipotong
di rumah potong hewan (RPH) kabupaten Garut.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan preparat
histologi, dengan cara membuat preparat histologi yang diwarnai dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).
◦ Pembuatan preparat histologi
Proses pembuatan preparat histologi terdiri dari fiksasi jaringan. Sediaan
jaringan testis dipotong dengan ukuran 0,5 cm X 0,8 cm, kemudian dilakukan
proses rutin histologi yang meliputi (dehidrasi, clearing, infiltrasi, dan
embedding), sectioning (pemotongan jaringan), dan staining (pewarnaan).

Dehidrasi adalah proses penarikan air dari jaringan dan

mencegah

pengerutan sel yang diperiksa. Dehidrasi dilakukan dengan cara merendam di
dalam alkohol bertingkat (Alkohol 70%, 80%, 90%,95%, dan alkohol absolut).
Untuk alkohol dengan konsentrasi 70% sebagai stoping point maka waktu
perendaman bisa lama, namun untuk alkohol dengan konsentrasi 80% - 95% lama
perendaman adalah 24 jam. Sedangkan untuk alkohol absolut dilakukan sebanyak
tiga kali dengan masing-masing waktu perendaman selama satu jam.
Clearing (penjernihan) adalah proses intermediet antara proses dehidrasi
dan

proses

embedding

dengan

parafin.

Tujuan

dari

clearing

adalah

menghilangkan sisa alkohol dalam jaringan agar parafin dapat berpenetrasi ke
dalam jaringan. Penghilangan sisa alkohol didalam jaringan dilakukan dengan
menggunakan xylol. Proses dilakukan sebanyak tiga kali masing-masing selama
satu jam.
Infiltrasi parafin dilakukan secara bertahap dan semua proses dilakukan
dalam inkubator yang bersuhu 60 – 70 oC (karena bahan yang digunakan adalah
parafin cair). Perendaman dilakukan sebanyak tiga kali dengan waktu perendaman
masing-masing selama satu jam.
Embedding adalah penanaman jaringan ke dalam blok parafin. Pertamatama disiapkan wadah kaleng yang sesuai yang telah diolesi gliserin dan tetap
dalam kondisi hangat, kemudian parafin cair dituangkan ke dalam pagoda secara
perlahan-lahan sampai permukaannya menggembung. Jaringan secara hati-hati
diletakkan ke dalam parafin dengan menggunakan pinset. Kemudian letaknya
diatur pada posisi yang diinginkan. Selanjutnya wadah dipindahkan kebagian
yang dingin untuk beberapa saat agar membeku, lalu dipindahkan ke dalam air
agar parafin membeku secara sempurna. Parafin dikeluarkan dari wadah dengan
menggunakan pisau kecil. Setelah parafin terlepas, dipisahkan berdasarkan
jaringan yang ditanam. Potongan parafin yang terdapat jaringan ditrimming
sampai membentuk kotak dengan ukuran sesuai lalu ditempelkan pada blok kayu.
Penempelan dilakukan dengan menggunakan sisa parafin yang diencerkan sebagai
perekatnya. Parafin yang telah menempel kemudian dibentuk supaya mudah
dipotong.

Sectioning atau pemotongan jaringan dilakukan dengan alat khusus, yaitu
mikrotom. Blok parafin yang telah dipotong hingga berupa lembaran-lembaran
jaringan setebal 5µm, dan ditempatkan pada gelas obyek, kemudian disimpan
dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 24 jam sampai jaringan menempel
sempurna pada gelas obyek.
Staining atau pewarnaan dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin
(HE). Staining dilakukan untuk mempermudah pengamatan jaringan dibawah
mikroskop. Setelah pewarnaan selesai dilakukan, maka dilakukan mounting
dengan cara menempatkan gelas obyek pada kertas tissue di tempat datar, tetesi
gelas obyek dengan bahan mounting yang sudah diencerkan dengan xylol,
kemudian menutupnya dengan gelas penutup dengan hati-hati agar tidak terbentuk
gelembung udara.
Pengamatan dan pemotretan sediaan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera (Nikon E600, Japan) dengan lensa
obyektif 40X. Pengamatan dititikberatkan pada perubahan morfologi sel
germinatif dalam tubuli seminiferi sehingga dapat dibedakan masing-masing
tahapan spermatogenesis yang terjadi pada domba garut. Selanjutnya masingmasing tahapan dihitung pada 400 tubuli seminiferi dari setiap sampel. Total yang
diamati berjumlah 1200 tubuli. Dari semua tubuli yang

diamati, dibedakan

tahapan-tahapan spermatogenesis. Jumlah tiap tahapan dipersentasekan, kemudian
untuk mengetahui durasi tiap tahapan, hasil persentase dikalikan dengan durasi
total spermatogenesis domba yaitu 10,6 hari

(Franca et al. 1999; Franca &

Cardoso 1998).
Frekuensi Tahapan dan Durasi Siklus Tahapan Spermatogenesis
1. Frekuensi tahapan (%)
= Jumlah tubuli pada masing-masing tahapan X 100
Jumlah total tubuli
2. Durasi siklus spermatogenesis
= Frekuensi masing-masing tahapan X 10.6 hari

◦ Rancangan Percobaan dan Evaluasi Data
Penelitian ini menggunakan desain percobaan eksploratif. Data yang
dikoleksi dipaparkan secara deskriptif dan dikomparasikan dengan data dari
hewan lain yang pernah dilaporkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan Spermatogenesis Domba Garut
Untuk melihat tahapan spermatogenesis, jaringan testis domba garut
diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Pada pewarnaan HE unsur
yang bersifat asam akan menyerap warna biru sampai ungu, sedangkan unsur
yang bersifat basa akan mengambil warna merah muda (Humason 1972; Kiernan
1990). Dengan terwarnainya inti dan sitoplasma sel akan memberikan bentuk
yang jelas pada sel Sertoli dan sel germinatif sehingga mempermudah untuk
mempelajari

morfologinya.

Penentuan

tahapan-tahapan

spermatogenesis

berdasarkan pada perubahan morfologi dan komposisi sel-sel spermatogenik.
Dengan pengamatan menggunakan mikroskop cahaya akan didapatkan gambaran
mikroskopik dari tahapan spermatogenesis pada domba garut.
Secara umum proses spermatogenesis sama pada semua hewan mamalia
(Sharpe 1994). Tahapan spermatogenesis dapat dibedakan berdasarkan, ciri khas
dari perkembangan spermatogonia dan aspek morfologi dari sel germinatif setiap
tahap spermatogenesis. Selain itu, kriteria utama untuk membedakan tahapan
spermatogenesis terletak pada karekteristik morfologi spermatid, letak inti dan
sistem akrosomik (Russel et al. 1990). Walaupun menggunakan metode yang
sama dalam menentukan tahapan spermatogenesis, jumlah tahapan yang
ditemukan dapat berbeda-beda antara peneliti.
Pada penelitian ini perubahan bentuk sel germinatif atau tahapan
spermatogenesis pada domba garut dapat digolongkan dalam 8 tahap (Gambar 3
dan 4). Tahapan ini berdasarkan morfologi spermatogonia, spermatosit, ukuran
dan lokasi dari inti spermatid, adanya tanda pembelahan meiosis, dan komposisi
sel-sel epitel tubuli seminiferi secara keseluruhan. Frekuensi tahapan ditentukan
dari total 1200 tubuli seminiferus ( Nakai et al. 2004).
Tahap 1 dicirikan dengan adanya spermatogonia tipe A yang berada di
lamina basalis. Spermatid yang berinti bulat terdapat dibagian dalam epitel
seminiferus yang terdiri dari beberapa lapis. Sementara itu spermatosit primer
berada di dekat sel Sertoli. Tahap 2 dicirikan dengan terjadinya perubahan bentuk
pada spermatid, yaitu spermatid yang awalnya berbentuk bulat berubah menjadi
agak lonjong (pemanjangan). Pada tahap ini juga ditemukan spermatosit

preleptoten. Inti spermatosit preleptoten kelihatan lebih jelas dan besar dibanding
pada tahap sebelumnya. Sel Sertoli dan spermatogonia tipe A juga ditemukan
serupa dengan tahap 1. Tahap 3 dicirikan dengan adanya dua bentuk spermatosit,
yaitu spermatosit zigoten dan spermatosit diploten. Pada tahap ini pemanjangan
spermatid (spermatid elongated) sudah semakin jelas. Sel Sertoli terletak di
lamina basalis. Tahap 4 dicirikan oleh adanya spermatosit sekunder. Hal ini
menandakan bahwa pada tahap ini terjadi pembelahan meiosis pada spermatosit
diploten menjadi spermatosit sekunder yang kemudian akan menjadi spermatid
yang haploid. Karakteristik utama dari tahap ini yaitu ditemukannya meiotic
figures. Sementara itu spermatid yang memanjang (elongated) ditemukan berjajar
di daerah permukaan tubuli seminiferi. Tahap 5 dicirikan oleh spermatogonia
intermediet, spermatosit zigoten serta spermatid berinti bulat. Spermatid
elongated hampir menyerupai sebuah garis yang berjajar di permukaan tubuli
seminiferi. Tahap 6 dicirikan oleh spermatosit pakiten

dan spermatid bulat.

Spermatid panjang (elongated) sudah mengarah ke lumen tubulus seminiferus.
Sel Sertoli juga ditemukan seperti tahap sebelumnya. Tahap 7 dicirikan oleh
spermatogonia tipe B dan spermatosit pakiten serta terdapat spermatid bulat.
Sementara itu, spermatid elongated sudah semakin dekat ke lumen tubulus
seminiferus. Tahap 8 dicirikan oleh spermatid elongated sudah meninggalkan
epitel seminiferus, juga terlihat spermatogonia tipe B, spermatid bulat dan badan
residual. Spermatid panjang (elongated) sudah berada di lumen tubulus
seminiferus. Proses selanjutnya adalah transformasi spermatid elongated menjadi
spermatozoa.

P
PI
R
E

A

A
S
S
P

a

b
Z
D
E

II
S
Z

E

M
S

D

c

R

d

Gambar 3 Tahapan 1 sampai tahapan 4. Tahap 1 (a) Spermatogonia tipe A; Spermatosit primer
(P); Spermatid bulat (R); Sel sertoli (S). Tahap 2 (b) Spermatogonia tipe A (A); Spermatosit
preleptoten (P I); Spermatosit primer pakiten (P); Spermatid panjang/elongated (E); Sel Sertoli
(S). Tahap 3 (c) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit diploten (D); Spermatid panjang/ elongated
(E); Sel Sertoli (S). Tahap 4 (d) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit diploten (D); Spermatosit
sekunder (II); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang (E); Sel Sertoli (S). Pewarnaan HE. Garis
Skala a-d = 3 μm

P
R

R

E
A
S
S
E
P

In

Z

e

f
P
B
S
E

R

R

E

S

B

g

h

Gambar 4 Tahapan 5 sampai tahapan 8. Tahap 5 (e) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit primer
(P); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang/ elongated (E); Sel sertoli (S). Tahap 6 (f)
Spermatogonia intermediet (In); Spermatosit primer (P); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang
(E); Sel Sertoli (S). Tahap7 (g) Spermatogonia tipe B (B); Spermatid bulat (R); Spermatid
panjang (E); Sel Sertoli (S). Tahap 8 (h) Spermatogonia tipe B (B); Spermatid panjang di lumen
tubuli seminiferi (E); Sel Sertoli. Pewarnaan HE. Garis Skala e-h = 3 μm.

Pada domba garut spermatogenesis dapat dibagi menjadi 8 tahap. Hal ini
sama dengan yang telah dilaporkan pada kambing (Franca et al. 1999). Namun
ada juga beberapa spesies lain yang memiliki tahap spermatogenesis yang berbeda
seperti dilaporkan. Misalnya pada monyet 12 tahap, babi 8 tahap, sapi 12 tahap,
dan tikus 14 tahap (Ross et al. 1995; Kerr & Krestser 1988). Perbedaan dari
tahapan spermatogenesis disebabkan oleh perbedaan spesies, karakteristik fisilogi
reproduksi masing-masing hewan dan perbedaan pola perkawinan.

Frekuensi Tahapan Spermatogenesis Domba Garut
Frekuensi relatif masing-masing tahapan spermatogenesis ditunjukkan
pada Gambar 3. Tahapan frekuensi yang paling tinggi terdapat pada tahap 3
(19.58%), sedangkan tahapan frekuensi yang paling rendah terdapat pada tahap 4
(7.58). Perbedaan tinggi atau rendahnya frekuensi ini disebabkan oleh lamanya
waktu sebuah sel dalam membelah. Misalnya terjadi pada tahap 4, sel spermatosit
sekunder akan segera membelah setelah pembentukannya sehingga jarang dapat
dilihat. Tahapan pre-meiosis terjadi pada tahap 1 sampai tahap 3 dengan jumlah
total 47.83%, pembelahan meiosis ditunjukkan oleh tahap 4 dengan frekuensi
7.58%. Tahapan post-meiosis terjadi pada tahap 5 sampai tahap 8 dengan total
frekuensi 44.58%.
Hasil perhitungan frekuensi dan durasi tahapan spermatogenesis domba
garut disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Frekuensi dan Durasi Tahapan Spermatogenesis pada domba garut
Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

Tahap 4

Domba 1

61

52

78

31

34

45

42

57

400

Domba 2

58

54

74

33

36

47

39

59

400

Domba 3

64

50

83

27

32

41

48

55

400

183

156

235

91

102

133

129

171

1200

61.00

52.00

78.33

30.33

34.00

44.33

43.00

57.00

3.00

2.00

4.51

3.06

2.00

3.06

4.58

2.00

15.25

13.00

19.58

7.58

8.50

11.08

10.75

14.25

100.00

1.62

1.38

2.08

0.80

0.90

1.17

1.14

1.51

10.60

Total
Rata-rata
SD
Frekuensi (%)
Durasi
Spermatogenesis

Tahap 5

Tahap 6

Tahap 7

Tahap 8

Total

Dari Tabel 1, frekuensi tahapan spermatogenesis domba garut dapat
disajikan dalam bentuk grafik dan diperoleh gambaran sebagai berikut:
19.58

20.00
18.00

15.25

16.00

14.25
13.00

14.00

11.08

10.75

12.00
7.58

Frekuensi (%) 10.00

8.50

8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8
Tahapan Spermatogenesis

Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesis domba garut
Jangka waktu dari satu siklus spermatogenesis adalah waktu total dari
seluruh tahap spermatogenesis. Pada babi jantan (Franca & Cardoso 1998) satu
siklus spermatogenesis membutuhkan waktu selama + 9 hari dan terjadi 4.5 siklus
dalam

keseluruhan

spermatogenesis,

sehingga

lamanya

spermatogenesis

diperkirakan selama + 40.6 hari. Sementara itu pada kambing jangka waktu setiap
siklus spermatogenesis adalah 10.6 + 0.5 hari dengan 4.5 siklus,

sehingga

spermatogenesis diperkirakan membutuhkan waktu 47.7 hari (Franca et al. 1999).
Jika data penelitian Franca et al. (1999) tersebut diaplikasikan pada
penelitian ini, maka berdasarkan hasil perhitungan persentase yang diperoleh
untuk tiap tahapan, maka pada domba garut waktu yang diperlukan untuk masingmasing tahapan spermatogenesis adalah : tahap1, 1.62 hari; tahap 2, 1.38 hari;
tahap 3, 2.08 hari; tahap 4, 0.80 hari; tahap 5, 0.90 hari; tahap 6, 1.17 hari; tahap
7, 1.14 hari; tahap 8, 1.51 hari (Gambar 6).

2.50
2.08
2.00

1.62
1.51

1.38

1.50
Lamanya
Tahapan
Spermatogenesis
(Hari)
1.00

1.17
0.80

0.90

4

5

1.14

0.50

0.00
1

2

3

6

7

8

Tahapan Spermatogenesis

Gambar 6 Durasi masing-masing tahapan spermatogenesis pada domba garut
Pengaturan spermatogenesis dilakukan oleh hormon. Hormon-hormon
yang penting untuk spermatogenesis adalah, Folicle Stimulating Hormon (FSH),
Luteinizing Hormon (LH) yang disekresikan oleh hipofise dan hormon testosteron
yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig. Hormon-hormon ini berpengaruh pada sel sel
spermatogenik dan sel Sertoli dalam tubuli seminiferi maupun sel-sel Leydig di
daerah interstitial dan menstimulasi terjadinya spermatogenesis. Sel-sel Leydig
distimulasi oleh LH akan menghasilkan testosteron dan memicu munculnya tanda
kelamin sekunder pada organ lain. Sementara itu sel-sel Sertoli distimulasi oleh
FSH untuk menghasilkan androgen binding protein (ABP) yang berfungsi
mengikat dan mengkonsentrasikan testosteron. Kedua hormon inilah yang
menginisiasi proses spermatogenesis pada testis. Jika terjadi peningkatan jumlah
spermatozoa maka sel Sertoli memproduksi inhibin yang bersama dengan
testosteron berperan sebagai negatif feedback pada sekresi gonadotropin releasing
hormone (GnRH) dari hipotalamus (Tomaszewska et al. 1991). Perbedaan
frekuensi dan lamanya waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahap
spermatogenesis kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
spesies hewan, fisiologi reproduksi, kesuburan hewan, lamanya waktu yang
dibutuhkan hewan dalam mencapai dewasa kelamin serta pola perkawinan.
Dewasa kelamin dan proses spermatogenesis pada hewan jantan adalah dua hal
yang berlangsung hampir bersamaan (Toelihere 1979).

KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan perubahan bentuk sel germinatif, spermatogenesis pada
domba garut dapat digolongkan dalam delapan tahap. Tahapan frekuensi yang
paling tinggi terdapat pada tahap 3 (19.58%), sedangkan tahapan frekuensi yang
paling rendah terdapat pada tahap 4 (7.58%).

Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan berbagai
pewarnaan yang lebih spesifik untuk mengetahui karakteristik sel-sel
germinatif

dan

sel

pendukung

serta

peranannya

dalam

proses

spermatogenesis pada domba garut.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lamanya proses
spermatogenesis pada domba garut.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Developmental stages of spermatogenesis.
http://images.google.co.id.
_________ 2007. Domba Garut. http://www.dombagarut.com/bigger1.html.
Dellman HD, Brown EM. 1976. Textbok of Veterinary Histology. Lea and Fibiger.
Philadelphia.
Djuwita I, Boediono A, Mohamad K. 2000. Bahan Kuliah Embriologi.
Laboratorium Embriologi. Bagian Anatomi. Fakultas kedokteran Hewan.
Institut pertanian Bogor. Bogor.
Dwiyanto M. 1999. Penanganan Domba dan Kambing. Cetakan Ke-3. Penerbit
Penebar Swadaya. Jakarta. 83 Hal.
Franca LR, Silva SCB, Garcia HC. 1999. The length of the cycle of seminiferous
epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31 (3) 274-280.
Franca LR, Cardoso FM. 1998. Duration of spermatogenesis and sperm transit
time through the epididymis in the piau boar. Tissue & Cell 30 (5) 573582.
Gatenby RM. 1986. Sheep Reproduction in The Tropics. Longman. London and
New York.
Hardjosubroto W, Astuti M. 1979. Animal Genetics Resources in Indonesia
Workshop on Animal Genetics Resources. Tsukuba. Japan.
Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. Ed ke-3. San Fransisco : WH
Freeman & Company.
Kerr JB, Kretser DM. 1988. The Cytology of The Testis. The Physiology of
Reproduction. Raven Press. New York.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemicals Methods: Theory and
Practice. Ed ke-2. Departement of Anatomy, The University of Western
Ontario. Pergamon Press, Canada. Pp: 96-186.
Leblond CP, Clermont Y. 1952. Definition of the stages of the cycle of the
seminiferous epithelium in the rat. Ann NY Acad Sci 55: 548–573.
Leite FLG. 2006. Cycle and duration of the seminiferous epitheliumin puma
(Puma concolor). Anim Rep Sci 91: 307–316.
Mulyono S. 2000. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cetakan ke-3.
Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. 88 Hal.

Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis
in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue and Cell 36 (2004)
439–446.
O’Day DH. 2002. Formation of Male Sex Cells : Spermatogenesis. University of
Toronto. Mississauga.
Ownby C. 1999. Spermatogenesis [media onlline]. http://www.cvm.okstate.edu/
intruction/mm_curr/histology/mR/HimRP4.htm.[28 Maret 2007].
Payne WJA, Williamson G. 1993. An Introduction to Animal Husbandary in The
In reply Tropics. Edisi Indonesia : Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Ed ke-3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ross HM, Romrell LJ, Kaye GI. 1995. Histology: A Text and Atlas 3th. Williams
and Wilkins. Maryland. USA.
Russell LD, Ettlin RA, Hikim SAP, Clegg ED. 1990. Histological and
Histopathological Evaluation of The Testis. Cache River Press, Clearwater
Florida.
Segatelli TM et al. 2002. Kinetics of spermatogenesis in the mongolian gerbil
(Meriones unguiculatus). Tissue & Cell 34 (1) 7-13.
Sharpe RM. 1994. Regulation of spermatogenesis. In: Knobil, E. and Neil, J.D.
(eds), The physiology of reproduction. Raven Press. New York. Pp: 1363–
1434.
Sugeng B. 2000. Beternak Domba. Cetakan ke-13. Penerbit Penebar Swadaya.
Jakarta. 72 Hal.
Toelihere MR 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa. Bandung.
Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi
Tingkah Laku dan Produksi Ternak Di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Pp: 4-38.

Lampiran 1 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Xylol I, 2 menit

Xylol II, 2 menit

Xylol III, 2 menit

Alkohol absolut, 2 menit

Alkohol bertingkat (95%-70%), 2 menit

Cuci dengan air kran dan akuades, @ 5menit

Mayer`s Haematoksilin, 8 detik

Cuci dengan air kran, 3 menit

Cuci dengan air akuades, 5 menit
Eosin 2-3 menit

Cuci dengan akuades, 5 menit

Alkohol bertingkat (95%-70%), @10 celupan

Alkohol absolut, @ 2 menit

Xylol I, II dan III, @ 5 menit

Tutup dengan cover glass

Lampiran 2 Komposisi Larutan Bouin
Lamanya fiksasi 24 jam (sehari)
-

Larutan asam pikrat jenuh (1 liter air + 20 gr pikrat) 75 ml (15)

-

Formalin (37/39 – 40%)

25 ml (5)

-

Acetic acid glacial 100%

5 ml

(dicampur dalam keadaan segar – fresh prior to use)

(1)