Ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar penghuni gua di karst gombong Kebumen Jawa Tengah

EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI
KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG
KEBUMEN JAWA TENGAH

FAHMA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi : Ekologi, Relung Pakan, dan
Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa
Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.


Bogor, Mei 2011

Fahma Wijayanti
NRP: G361060011

EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI
KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG
KEBUMEN JAWA TENGAH

FAHMA WIJAYANTI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2011

Penguji pada Ujian Tertutp: Prof. Dr. Ani Mardistuti, MSc
(Departemen KSHE, Fakultas Kehutanan IPB)
: Prof. Wasmen Manalu, PhD
(Departemen Anatomi, Fisiologi, dan
Farmakologi FKH, IPB).

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Henry Bastaman MES.
(Deputi Kemeterian Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pembinaan Sarana Teknik Lingkungan
Dan Peningkatan Kapasitas)
: Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, MSi.
Direktur Konservasi Dan Keanekaragaman Hayati
Kementerian Kehutanan RI)

ABSTRACT

The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved,
because bats have important roles for the ecosystem inside the cave as well as

outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of
cave dwelling bats, to identify physical factors which influenced the preference
roosting place, to determine the prey preference of cave dwelling bats, to observe
structural and physiological adaptation of the cave dwelling bats and to propose
the karst management strategy based on the conservation status of bats. This
study was conducted from September 2008 to July 2010 in twelve caves in
Gombong karst area, Central Java. The sample of the bats were picked up at the
roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were
measured under the bat roosts, three times in February, June and October 2009.
Stomach gut content was collected and dissolved in aquadest. The material of
insect were sorted and identified under microscope and compare to the insects that
were collected by light trap in bat foraging area. The polen were collected from
the intestine of fruit bats. Blood was taken from the interfemoral vein of bats.
Lungs removed from body and were made preparations for histology. The
diameter of alveoli was observed under the microscope. Then the amount of
erythrocyte was counted by using hemocytometer and hemoglobin content was
measured using Sahli’s method. The data was analyzed by ANOVA, Principle
Component Analysis (PCA), Redundancy Analysis (RDA), Canonical
Correspondence Analysis (CCA), Hybrid Canonical Correspondence Analysis
(HCCA) and multiple regression. The result showed: 1) Fifteen spesies (eleven

spesies of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known
in this research. 2) The microclimate factors which influenced the preference
roosting place were the sound intensity, the distance from the cave mouth, the
temperature, the humidity and the light intensity. The insects in gut content of
insectivorous bats belong to 10 orders, distributed into 29 families. Otherwise
pollen in gut content of frugivorous bats belong to 9 families, distributed into 33
spesies of plant. The niche overlap index between spesies of bats that occupy in
one cave was less than 30%. The diameter of alveoli significantly correlated with
humidity, temperature and ammonia levels. The amount of erythrocyte increased
by the increase of humidity, decrease in the temperature and the increase of
ammonia level. This tendency also revealed in hemoglobin change. Gombong
karst area proposed as a karst region class I based on Kepmen ESDM No. 1456
K/20/MEM/2000
Key words:
conservation.

bats. Karst Gombong, roost preference, diet, adaptation,
 

 

 

RINGKASAN
FAHMA WIJAYANTI. Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar
Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tegah. Dibimbing oleh DEDY
DURYADI SOLIHIN, HADI SUKADI ALIKODRA, dan IBNU MARYANTO
Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst
dapat
menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan
fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi
ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari
kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik. Penelitian ini
menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua di
Karst Gombong. Aspek-aspek tersebut meliputi: biodiversitas dan struktur
komunitas kelelawar gua; pola pemilihan sarang; relung pakan; serta adaptasi
struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian
tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan
kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy)
dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat
dipertahankan.

Hasil penelusuran gua menunjukkan dari dua belas gua yang diteliti, sepuluh
gua dihuni kelelawar, dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis kelelawar yang
bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar
Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Hasil Redundancy
Analysis (RDA) menunjukkan semakin panjang, tinggi, dan lebar lorong gua,
semakin tinggi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis
kelelawar. Sebaliknya, jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berkorelasi nyata. Gua
dengan lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang
mampu malakukan manuver dengan baik. Sebaliknya, gua dengan lorong lebar,
dapat dihuni kelelawar dengan kemampuan lebih beragam. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Sevcik (2003) pada Plecotus auritus dan P. austriacus yang
membuktian P. auritus lebih unggul mengeksploitasi habitat, karena lebih mampu
melakukan manuver terbang. Semakin panjang, tinggi dan lebar lorong gua,
semakin tinggi kelimpahan dan keanekaragaman jenis kelelawar yang dapat
bersarang didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (1988) bahwa
semakin luas habitat, semakin banyak jumlah dan jenis biota yang dapat hidup di
dalamnya. Penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan ketika terbang menuju
lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderung menggunakan
jalur yang sama. Hal ini menyebabkan jumlah pintu dan ventilasi gua tidak
berpengaruh pada struktur komunitas kelelawar.

Hasil Canonical Component Analysis (CCA) menunjukkan lima parameter
yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar berturut-turut dari yang paling
kuat sampai yang paling lemah pengaruhnya adalah: intensitas suara, jarak dari
pintu gua, suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Berikut adalah beberapa
alasan mengapa faktor faktor tersebut berpengaruh. 1) Hasil penelitian Schnitzler
et al. (2003) membuktikan bahwa di ruang tertutup kelelawar lebih sulit
menganalisis gelombang pantul (ekolokasi). Oleh kerena itu, di ruang tertutup
seperti di dalam gua, gangguan suara sedikit saja akan menyebabkan kelelawar
gagal menganalisis gelombang pantul. 2) Kelelawar yang mampu terbang dengan

manuver yang baik cenderung memilih lokasi sarang pada jarak yang jauh dari
lorong gua karena lebih aman dari gangguan manusia. Sebaliknya kelelawar yang
tidak mampu melewati lorong gua yang panjang memilih sarang di lokasi yang
dekat dari pintu gua untuk memudahkan kelelawar tersebut keluar atau masuk ke
dalam sarang. 3) Kelelawar merupakan homoikiloterm (suhu tubuh konstan)
yang mempunyai batas toleransi sempit pada suhu lingkungan. Batas toleransi
tersebut berbeda antara satu jenis kelelawar dan jenis lainnya, sehingga kelelawar
memilih sarang yang sesuai dengan batas toleransi tubuhnya. 4) Membran
petagium (sayap) kelelawar tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada
kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium

tipis memilih lokasi sarang yang lembap, sedangkan yang memiliki membran
petagium tebal mampu bersarang di lokasi gua yang cenderung kering. 5)
Megachiroptera cenderung menggunakan penglihatannya untuk berorientasi pada
ruang. Oleh karena itu jenis-jenis kelelawar Megachiroptera cenderung memilih
lokasi di dalam gua yang mempunyai intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, jenisjenis Microchiroptera lebih menggunakan kemampuan ekolokasinya untuk
berorientasi pada ruang sehingga tidak memerlukan cahaya. Berdasarkan faktor
mikroklimat yang berpengaruh tersebut, terdapat lima kelompok kelelawar. Setiap
kelompok memiliki pola pemilihan sarang yang spesifik.
Kelelawar insektivora di Karst Gombong memangsa 29 famili serangga
yang termasuk ke dalam 10 ordo, sedangkan kelelawar frugivora di Karst
Gombong memakan polen 33 species tumbuhan yang termasuk dalam sembilan
famili. Berdasarkan pemilihan pakannya tersebut, kelelawar Microchiroptera
berkelompok menjadi lima kelompok, masing masing kelompok memangsa
serangga dengan karakteristik berbeda. Kelelawar Megachiroptera mengelompok
menjadi tiga kelompok, masing masing kelompok memilih ukuran polen berbeda
dan berasal dari bunga dengan tipe tertentu. Hasil penghitungan indeks kesamaan
relung pakan menunjukkan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama
memiliki nilai indeks kesamaan relung pakan kecil (< 30%). Hal ini membuktikan
bahwa jenis-jenis yang berasosiasi tersebut tidak berkompetisi memperebutkan
makanan. Hal ini menjawab pertanyaan, mengapa satu gua dapat dihuni oleh

beberapa jenis kelelawar dengan jumlah populasi yang sangat tinggi.
Hasil penelusuran sarang kelelawar membuktikan beberapa jenis-jenis
kelelawar mampu bertahan hidup dalam sarang dengan kondisi dingin, lembap,
rendah oksigen, dan tinggi kadar amonia. Hasil penelitian terdahulu membuktikan
bahwa kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi hewan mamalia. Penelitian
ini menunjukkan adanya adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan
kelelawar yang bersarang pada kondisi suhu rendah, lembap, dan kadar amonia
tinggi, yaitu dengan diameter alveolus sempit, rasio jumlah eritrosit/bobot tubuh
tinggi dan rasio kadar hemoglobin/bobot tubuh tinggi. Pada kondisi udara dingin,
lembap dan tinggi kadar amonia kelelawar membutuhkan lebih banyak energi
untuk menghangatkan tubuh dan memproduksi zat antibodi. Oleh karenanya, sel
tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen. Diameter alveolus yang menyempit
diperlukan agar absorbsi oksigen oleh pembuluh darah efektif. Jumlah eritrosit
dan hemoglobin yang tinggi diperlukan agar kebutuhan sel akan oksigen segera
terpenuhi akibat meningkatnya laju respirasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Karst Gombong perlu dilindungi
karena memiliki keunikan ekosistem, dihuni oleh spesies yang terancam punah,

memiliki kanekaragaman spesies yang tinggi, memiliki fungsi perlindungan
hidrologi dan potensial untuk wisata alam. Upaya perlindungan di Karst

Gombong ini dapat dicapai dengan strategi konservasi. Konservasi sumber daya
alam tersebut akan berhasil bila dilakukan atas dasar hasil penelitian yang akurat.
Agar dapat dijadikan pedoman bagi semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatan
kawasan Karst Gombong, maka perlu ditetapkan status kawasan Karst Gombong
sesuai dengan hasil penelitian di lapangan dan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan temuan pada
penelitian ini kawasan Karst Gombong dapat diusulkan sebagai Kawasan karst
kelas I sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11.
Hal ini karena kawasan Karst Gombong terbukti merupakan penyimpan air bawah
tanah, merupakan ekosistem unik, habitat satwa khas dan satwa terancam punah,
serta berpotensi wisata. Gua Macan, Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua
Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah dan Gua Petruk berfungsi menyimpan air bawah
tanah, memiliki dekorasi indah/speleotom aktif, habitat fauna khas/ unik, dan
habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya untuk mempertahankan fungsi
ekologis gua dan komunitas biota yang dilindungi, ke-delapan gua tersebut perlu
ditetapkan sebagai gua konservasi dan ditetapkan sebagai zona inti/zona
perlindungan. Zona inti merupakan zona atau kawasan yang dilindungi dan
kegiatan manusia dikendalikan secara ketat. Gua-gua yang ditetapkan sebagai
zona inti tersebut dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata dengan persyaratan
khusus, yaitu dikelola sesuai dengan kebutuhan anatomi dan fisiologis kelelawar

yang menghuni di dalamnya. Untuk menjamin kecukupan pakan kelelawar dan
juga untuk mempertahankan mikroklimat di dalam gua kawasan hutan dan semak
sekitar lima kilometer di luar zona inti perlu diusulkan sebagai zona
penyangga/zona pemanfaatan tradisional. Pada zona penyangga kegiatan manusia
diperkenankan tetapi, dengan pengendalian dan memenuhi ciri berkelanjutan.
Kata kunci : Kelelawar, gua karst, relung pakan, adaptasi, strategi konservasi.

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
Nama
NRP
Program Studi

: Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar
Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa Tengah
: Fahma Wijayanti
: G361060011
: Biologi

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Ketua

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MSc
Anggota

Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto
Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi
Biologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA

Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian : 24 Mei 2011

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 1969 sebagai anak ke
lima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. Hadjid Harna Widagdo dan
Sudarsini. Menikah pada tahun 1993 dengan Nur Muhammad Busro, SE dan
dikaruniai tiga orang putri : Iftina Amalia (16 tahun), Adelia Khairunnisa (10
tahun), dan Alysa Ilmi Aulia (4 tahun). Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas
Biologi, Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto lulus tahun 1993.
Pendidikan Pascasarjana ditempuh di Program Studi Biologi Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun 2001. Kesempatan melanjutkan
program doktor pada Program Studi Biologi IPB diperoleh pada tahun 2006
dengan bantuan biaya pendidikan Program Doktor dari Departemen Agama RI.
Penulis pertama kali bekerja sebagai dosen pada Universitas
Muhammadiayah Hamka (UHAMKA) pada tahun 1994 dan pernah menjabat
sebagai ketua Program Studi Pendidikan Biologi pada tahun 1999 s/d 2003. Pada
tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen PNS di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan pada tahun 2004 s/d 2006 pernah menjabat sebagai Ketua Program
Studi Biologi.
Selama mengikuti program S3 di IPB karya ilmiah berjudul Komunitas
fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar telah disajikan pada Seminar Nasional
Perhimpunan Biologi Indonesia di Malang pada tahun 2009, dan karya ilmiah
berjudul Biodiversity and Pattern of Roosting Preference of Cave Dwelling
Bats: Case Study at Several Caves in Gombong Karst Area, Kebumen, Central
Java telah disajikan pada International 2nd South East Asian Bats Conference
pada tanggal 6 Juni 2011 di Bogor. Tiga artikel telah diterbitkan yaitu: 1)
Pengaruh Fisik Gua Pada Struktur Komunitas Kelelawar di Jurnal Biologi
Lingkungan Volume 4 Nomor 1, April 2010; 2) Keanekaragaman Jenis
Kelelawar serta Kondisi Mikroklimat Habitatnya pada Beberapa Gua di
Kabupaten Kebumen di Jurnal Biologi Lingkungan Volume 4 Nomor 2, Oktober
2010; dan 3) Eritrosit dan Hemoglobin pada Kelelawar Gua di Kawasan Karst
Gombong Kebumen Jawa Tengah di Jurnal Biologi Indonesia Volume 7 Nomor
11, Juni 2011. Sementara satu karya ilmiah lain sedang dalam proses penerbitan
berjudul The Diet of Insectivorous Cave Dwelling Bats Based on Stomach Content
di Journal of Tropical Biology yang akan terbit pada 2012.

KATA PENGANTAR
Berkat rahmat dan hidayah Allah yang maha pemurah, penyusunan disertasi
berjudul Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua
di Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah ini dapat diselesaikan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku
ketua komisi pembimbing, Prof.Dr. H.S.Alikodra MSc, dan Prof. Ris. Dr. Ibnu
Maryanto, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
arahan, petunjuk, dan motivasi sejak penyusunan proposal penelitian sampai pada
penyempurnaan disertasi ini.
Banyak pihak telah ikut dalam pelaksanaan penelitian ini dan membantu
penyelesaian disertasi baik di lapangan (Karst Gombong), di Jakarta, maupun di
Bogor. Segala bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, dengan
segala kerendahan hati penulis berkenan mengucapkan terima kasih. Kiranya
segala bantuan tersebut tercatat sebagai ibadah, dan mendapat balasan kebaikan
dari Allah SWT. Dalam melaksanakan penelitian maupun penulisan disertasi ini,
apabila terdapat tingkah laku, tutur kata, sikap, maupun perbuatan penulis yang
tidak berkenan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini mungkin masih mengandung
kekurangan atau kesalahan, meskipun penulis sudah berusaha sedimikian rupa
untuk menyempurnakannya. Dengan berlapang dada kepada semua pihak yang
mengetahui kekurangan atau kesalahan dalam disertasi ini, penulis sangat
mengharapkan, menghormati, dan menghargai segala saran, kritikan, dan
masukan-masukan untuk penyempurnaannya.
Semoga disertasi ini dapat
bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Bogor, Mei 2011
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xv
PENDAHULUAN ..........................................................................................

1

Latar Belakang .......................................................................................
Rumusan Masalah ..................................................................................
Tujuan Penelitian ...................................................................................
Hipotesis Penelitian ...............................................................................
Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................

1
3
4
4
5

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................

7

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAAN SARANG KELELAWAR:
STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN
KEBUMEN JAWA TENGAH .......................................................................
Abstract ..................................................................................................
Pendahuluan ...........................................................................................
Bahan dan Metode .................................................................................
Hasil .......................................................................................................
Pembahasan ...........................................................................................
Kesimpulan ............................................................................................
Saran ......................................................................................................

30
30
31
32
39
48
55
56

ANALISIS RELUNG PAKAN KELELAWAR INSEKTIVORA (Subordo:
Microchiroptera) DAN KELELAWAR FRUGIVORA (Subordo:
Megachiroptera) YANG BERSARANG DI GUA-GUA KARST
GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH .........................

57

Abstract ..................................................................................................
Pendahuluan ...........................................................................................
Bahan dan Metode .................................................................................
Hasil .......................................................................................................
Pembahasan ...........................................................................................
Kesimpulan ............................................................................................
Saran ......................................................................................................

57
57
59
62
77
84
84

ADAPTASI STRUKTURAL DAN FISIOLOGI PERNAPASAN
KELELAWAR PENGHUNI GUA: STUDI KASUS DI KAWASAN
KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ..........
Abstract ..................................................................................................
Pendahuluan ...........................................................................................
Bahan dan Metode .................................................................................

85
85
85
88
ix 

 

Hasil .......................................................................................................
Pembahasan ...........................................................................................
Kesimpulan ............................................................................................
Saran ......................................................................................................

91
98
103
103

PEMBAHASAN UMUM ...............................................................................
Pentingnya Upaya Konservasi bagi Ekosistem Karts Gombong ...........
Perhatian Pemerintah terhadap Ekosistem Karts Gombong ..................
Usulan Strategi Konservasi Ekosistem Karts Gombong .......................

104
104
107
109

KESIMPULAN ...............................................................................................

116

SARAN …………………………………………………………………… ...

116

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

117

LAMPIRAN ....................................................................................................

124


 

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar .............................

40

2.

Jenis dan kelimpahan kelelawar pada gua-gua yang dihuni kelelawar. .

41  

3.

Struktur komunitas kelelawar di setiap gua ...........................................

42

4.

Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar ..................................

45

5.

Urutan parameter fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan
sarang kelelawar ....................................................................................

46

6.

Pengelompokan kelelawar berdasarkan pola pemilihan sarang ............

47

7.

Hasil analisis isi perut kelelawar Microchiroptera .................................

63

8.

Karakteristik serangga pakan: bobot tubuh, panjang tubuh
(berdasarkan serangga pembanding) dan kekerasan eksoskeleton
(berdasarkan Aguirre et al. 2003) ...........................................................

64

Nilai kesamaan relung pakan (Morsita index) antarjenis kelelawar
pada semua gua .....................................................................................

67

10. Nilai kesamaan relung pakan (niche overlap) dan nilai uji chi square
antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua yang sama ..........

68

11. Persentase polen pada saluran pencernaan tiap jenis kelelawar ............

70

12. Jenis tanaman berdasarkan tipe bunga ..................................................

73

13. Jenis tanaman berdasarkan ukuran polen ..............................................

74

14. Nilai kesamaan relung pakan dan uji chi square antarjenis kelelawar
Megachiroptera ......................................................................................

77

Hasil uji korelasi Spearman hubungan antara diameter alveolus,
jumlah eritrosit, dan kadar hemoglobin dengan kelembapan, suhu,
kadar oksigen, dan kadar amonia ............................................................

92

16. Hasil pengukuran mikroklimat sarang, jumlah eritrosit, kadar
hemoglobin, dan diameter alveolus kelelawar ........................................

93

9.

15.

xi 
 

 

 

17. Hasil uji Tukey perbandingan diameter alveolus antarkoloni kelelawar

94

18. Hasil uji Tukey perbedaan rasio jumlah eritrosit per gram bobot badan
antarkoloni kelelawar ............................................................................

95

19. Hasil uji Tukey perbedaan rasio kadar hemoglobin per gram bobot
badan antarkoloni kelelawar ...................................................................

97

20. Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN
versi 3.1
( IUCN 2001) ........................................................................................ 104
21. Pedoman pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua ............

108

22. Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karts Gombong ..................

111

23. Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang
bersarang dan prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan .......................... 112

xii 
 

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Skema kerangka pemikiran ...................................................................

6

2.

Formasi awal terbentuknya karst ...........................................................

8

3.

Geomorfologi karst .................................................................................

10

4.

Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar .......................................

11

5.

Suplai energi ke dalam gua ...................................................................

13

6.

Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia.......................................

14

7.

Struktur rangka kelelawar .......................................................................

16

8.

Organ pernapasan mamalia ....................................................................

25

9.

Alveolus dan kapiler darah tempat difusi oksigen dan karbon dioksida

26

10. Struktur kimia hemoglobin ...................................................................

27

Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah ............................................................................................

32

12. Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua ...

33

13. Pemetaan gua dengan metode foreward ................................................

35

14. Pengukuran kadar amonia udara ............................................................

36

15. Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang ....................

36

16. Pengambilan sampel kelelawar ...............................................................

37

17. Jenis-jenis kelelawar yang ditemukan pada setiap gua .........................

41

Redundancy Analysis (RDA) hubungan kelimpahan (N), kekayaan
jenis (S), keanekaragaman jenis (H), dan kemerataan jenis (E)
kelelawar dengan panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG),
tinggi lorong gua (TG), jumlah pintu gua (P), dan jumlah ventilasi gua
(V) ..........................................................................................................

43

19. Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis
kelelawar berdasarkan kondisi fisik mikroklimat sarang ........................

47

11.

18.

xiii 
 

20. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar
berdasarkan serangga pakannya .............................................................

66

21. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar
berdasarkan polen yang dimakan .........................................................

71

22. Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA)  pemilihan pakan
jenis kelelawar Frugivora berdasarkan bentuk mahkota bunga .............

75

23. Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA)  pemilihan pakan
jenis kelelawar Frugivora berdasarkan ukuran polen .............................

75

24. Proses pembedahan dan perendaman paru-paru dalam laritan Bouin ....

90

25. Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di lorong Gua
Jatijajar ................................................................................................... 106
26. Usulan zonasi kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen ..............

115

xiv 
 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Gambar jenis-jenis kelelawar penghuni gua Karst Gombong.................

124

2.

Peta sebaran sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong ...................

128

3.

Serangga pakan kelelawar insektivora/Microchiroptera .......................

140

4.

Polen tumbuhan sumber pakan kelelawar ...............................................

143

5.

Gambar penampang melintang sayatan histologi alveolus kelelawar.....

148

6.

Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis  (PCA)
jenis kelelawar berdasrkan jenis serangga pakannya dengan tiga
komponen utama .................................................................................... 152

7

Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA)
jenis kelelawar berdasarkan polen tumbuhan pakannya ......................... 153

xv 
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu
bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem
karst adalah

kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor

lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu
gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes
(sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan
sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga
ekosistem karst berfungsi

sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999).

Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena
kondisi

unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna

tertentu saja

(Epsinasa & Vuong 2008).
Menurut BAPPENAS (2003), terdapat sekitar 15.4 juta hektar kawasan
karst di wilayah Indonesia atau sekitar 10% dari seluruh luas daratan Indonesia.
Selama ini, pemerintah dan masyarakat memanfaatkan ekosistem karst tersebut
sebagai sumber pendapatan, di antaranya untuk kegiatan pertambangan dan obyek
wisata. Namun, pemanfaatan dua sektor ini belum didukung oleh dasar ilmu
pengetahuan (technopreunership) yang kuat, sehingga pemanfaatannya sering kali
menimbulkan persoalan. Menurut Ko (1999), persoalaan utama yang timbul
akibat pemanfaatan ekosistem karst adalah : 1) Adanya perubahan bentang alam
(landscape) dan struktur geologi karst akibat penambangan batu gamping; 2)
Menurunnya debit air bawah tanah akibat berkurangnya porositas batuan karst;
dan 3) Hilangnya keanekaragaman biota khas gua, akibat habitatnya rusak atau
terganggu.
Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst tersebut dapat
menyebabkan ekosistem karst tidak lagi

memberikan manfaat ekonomi dan

fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi
ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari
kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik.

2

Penelitian untuk mendukung pemanfaatan ekosistem karst secara lestari
masih sangat sedikit. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di
kawasan karst di Indonesia terutama hanya terfokus pada struktur geologi karst
saja. Penelitian mengenai komunitas biologi belum banyak dilakukan, padahal
komunitas biologi memegang peran penting dalam keseimbangan ekosistem karst.
Atas dasar alasan tersebut, penelitian mengenai komunitas biologi pada ekosistem
karst mutlak diperlukan.
Salah satu komunitas biologi yang berperan penting dalam ekosistem
karst adalah fauna troglozene, yaitu fauna yang bersarang di dalam gua, tetapi
mencari makan di luar gua (Epsinasa & Vuong 2008). Menurut Whitten et al.
(1999), hewan troglozene utama pada gua-gua karst di Indonesia adalah
kelelawar. Sebagai hewan troglozene, kelelawar mensuplai energi ke ekosistem
gua dengan guano (feses kelelawar) dan bangkainya. Tanpa kehadiran kelelawar,
aliran energi ke dalam ekosistem gua akan terhenti dan keanekaragaman biota
gua akan hilang.
Selain berperan penting dalam kestabilan ekosistem gua, kelelawar juga
memegang fungsi ekologi penting bagi ekosistem luar gua. Peran kelelawar bagi
ekosistem luar gua adalah

sebagai pemencar biji, penyerbuk berbagai jenis

tumbuhan dan pengendali/predator serangga hama tanaman. Penelitian Tan et al.
(1998)

membuktikan

kelelawar

Cynopterus

brachyotis

(Subordo:

Megachiroptera) di Bangi Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17
famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al.
(2005) di Malagasy membuktikan beberapa kelelawar subordo Microchiroptera
yang bersarang di gua

(Hipposideros commersoni, Miniopterus manavi dan

Myotis goudoti) memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Cooleoptera,
Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera. Anggota ordo serangga
tersebut tercatat sebagai serangga hama tanaman. Oleh sebab itu, hilangnya
komunitas kelelawar di dalam gua karst tidak hanya dapat menghancurkan
ekosistem dalam gua, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem luar gua.
Potensi ekonomi ekosistem karst menyebabkan eksploitasi

ekosistem

karst tidak dapat dihindari. Akibat eksploitasi untuk tujuan ekonomi ini,
ekosistem karst menanggung risiko yang cukup tinggi, salah satunya adalah

3

sarang kelelawar di gua yang telah dipertahankan dari generasi ke generasi tidak
lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini karena kondisi fisik gua telah
berubah, menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kelelawar. Oleh karena itu,
agar keberadaan kelelawar di gua dapat dipertahankan, diperlukan informasi yang
akurat mengenai segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan kelelawar gua.
Penelitian ini akan menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan
kelelawar penghuni gua. Aspek-aspek tersebut meliputi biodiversitas dan struktur
komunitas kelelawar gua,

pola pemilihan sarang, relung pakan, serta adaptasi

struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian
tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan
kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy)
dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat
dipertahankan.
Rumusan Masalah
Ekosistem karst berperan penting sebagai reservoar air dan habitat fauna
khas gua (Samodra 2006; Epsinasa & Vuong 2008). Akibat eksploitasi dan
pemanfaatan gua untuk kepentingan ekonomi yang kurang berwawasan
lingkungan, keberadaan dan peran ekosistem karst menjadi terancam. Salah satu
ancaman dari pemanfaatan ekosistem gua adalah rusaknya struktur gua (Ko
1999). Di samping permasalahan struktur gua, terdapat permasalahan lain yang
tidak kalah pentingnya akibat pemanfaatan gua. Permasalahan tersebut adalah
permasalahan komunitas biologi. Eksploitasi gua dengan kegiatan pertambangan
dan pengambilan guano sudah pasti merusak fisik gua dan mengancam komunitas
fauna gua. Demikian pula dengan pemanfaatan gua karst sebagai objek wisata.
Walaupun secara fisik tidak merusak struktur gua, kedatangan pengunjung dan
fasilitas wisata yang dibangun dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan
fauna gua. Salah satu fauna gua yang terancam akibat pemanfaatan gua tersebut
adalah kelelawar. Untuk meminimalisir dampak pemanfaatan gua karst pada
komunitas kelelawar, diperlukan penelitian

mengenai ekologi, relung pakan,

strategi adaptasi dan strategi konservasinya. Luaran penelitian ini adalah

1)

biodiversitas kelelawar gua, 2) pola pemilihan sarang kelelawar gua, 3) kesamaan
relung pakan kelelawar gua, 4) strategi adaptasi struktural dan fisilogi pernapasan

4

kelelawar gua, dan 5) strategi konservasi ekosistem Karst Gombong. Apabila
luaran di atas berhasil dicapai dengan baik, maka dapat dibuat pola pemanfaatan
gua yang tepat, yang dapat mempertahankan komunitas kelelawar dan
ekosistemnya.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a.

Mengkaji biodiversitas kelelawar penghuni gua berdasarkan faktor-faktor
fisik gua di beberapa gua Karst Gombong.

b.

Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang berpengaruh pada pemilihan
sarang kelelawar gua.

c.

Mengidentifikasi pakan kelelawar gua dan menentukan kesamaan relung
(niche overlap) pakan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang
sama.

d.

Mengkaji

adaptasi struktural dan fisiologi

pernapasan kelelawar yang

bersarang di gua-gua Karst Gombong.
e.

Merancang strategi konservasi ekosistem Karst Gombong.

Hipotesis penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah :
a.

Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi
secara nyata oleh panjang lorong, lebar lorong, tinggi lorong, serta jumlah
pintu, dan jumlah ventilasi gua.

b.

Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari mulut
gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan
angin, intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang.

c.

Asosiasi bersarang dalam satu gua oleh beberapa jenis kelelawar dapat
dilakukan oleh jenis-jenis kelelawar yang memiliki indeks kesamaan relung
pakan yang kecil (< 50%).

d.

Adaptasi kelelawar terhadap kondisi ruang gua yang dingin, lembap, rendah
oksigen, dan kadar amonia tinggi menentukan struktur dan fisiologi organ
pernapasan, yaitu

diameter alveolus sempit (< 100µm),

rasio jumlah

5

eritrosit/ bobot badan tinggi ( > 0.3 juta/ml /gr bobot badan) dan rasio kadar
hemoglobin/bobot badan tinggi ( > 0.9 g/ml /gr bobot badan).

Ruang Lingkup Penelitian
Secara sistematik, ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Namun, tahapan penelitian

dilakukan secara bertahap mulai dari penelitian

tentang biodiversitas kelelawar, hingga strategi konservasi ekosistem karst
dilakukan secara rinci melalui beberapa topik penelitian sebagai berikut :
Penelitian 1 : Biodiversitas dan pola pemilihan sarang kelelawar penghuni gua:
Studi

kasus di gua-gua Karst Gombong Kabupaten Kebumen

Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan a, b, dan e.
Penelitian 2 :

Analisis relung pakan kelelawar insectivora ( Subordo
Microchiroptera)

dan

kelelawar

frugivora

(Subordo:

Megachiroptera) yang bersarang di Gua Karst Gombong.
Penelitian ini untuk

mencapai tujuan c dan e.

Penelitian 3 : Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar penghuni
gua

di

Karst

Gombong

Kabupaten

Kebumen

Jawa

Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan d dan e.
Penelitian 4 : Strategi konservasi ekosistem gua Karst Gombong. Penelitian ini
untuk mencapai tujuan e dan tertuang dalam pembahasan umum.

6

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran
PERAN DAN FUNGSI KAWASAN KARST DI PANTAI SELATAN JAWA
- Sebagai reservoar air terutama untuk wilayah Jawa bagian selatan
- Sebagai habitat biota khas gua

PERMASALAHAN KOMUNITAS
BIOLOGI:
1. Kurangnya informasi fauna gua
karst
2. Pemanfaatan gua karst yang

PERMASALAHAN STRUKTUR GUA
KARST:
1. Pemanfaatan gua sebagai
tambang batu gamping dan guano

tidak lestari

ANCAMAN BAGI KOMUNITAS FAUNA GUA

STATUS FAUNA GUA DAN
SARANGNYA
- Keanekaragaman dan struktur
komunitas kelelawar gua
- Pola pemilihan sarang
kelelawar

STRATEGI ADAPTASI FAUNA
GUA
- Pemilihan relung pakan
- Adaptasi struktur organ
pernapasan
- Adaptasi fisiologi pernapasan

1. Karakteristik gua sebagai sarang kelelawar
2. Pola pemilihan sarang kelelawar
3. Pola asosiasi dalam komunitas (Sharing resources)
4. Strategi adaptasi kelelawar gua

Strategi konservasi kelelawar gua
Action plan yang ramah lingkungan : - Pemanfaatan berdasarkan persyaratan
- Pemilihan gua sebagai objek
Pertambangan atau objek ekotourisme
- Zonasi kawasan karst

7

TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Karst
Karstifikasi
Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic
seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada
kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005).
Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap
secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang
dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng
batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu
gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole
(lubang lari air), sungai bawah tanah,

dan gua

(Hamilton & Smith 2006;

Samodra 2006).
Proses terbentuknya karst (karstifikasi) berlangsung selama jutaan tahun
melalui peristiwa

yang melibatkan faktor-faktor geologi, fisika, kimia, dan

biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan lempeng bumi yang bersifat
dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut

menyebabkan lempeng saling

bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng
ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan
yang mengandung

kapur (kalsium karbonat) terangkat dari dasar laut ke

permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut
antara lain, koral (Pontes, Neandrina, Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa,
ganggang

(Halimeda,

Lithothamniam,

Penicillus,

Acialaria,

Neomen),

Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh gaya tektonik ini
menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut.

Gaya-gaya

tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan yang saling
berasosiasi. Lempeng batuan
merupakan area yang

yang terdeformasi oleh gaya-gaya tektonik ini

sangat potensial untuk masuknya aliran air dan

terbentuknya perangkap-perangkap air
terbentuknya karst tersaji pada Gambar 2.

(Eberhard 2006).

Formasi awal

8

karen

Gambar 2 Formasi awal terbentuknya karst (Sumber: Subterra 2004)
Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya
adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida
(CO2) di udara dengan air hujan (H20) menghasilkan H2CO3 yang bersifat asam
lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan
akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra
(2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah
sebagai berikut :
H2O + CO2

H2CO3

H2CO3

HCO3 + H+

HCO3 + CaO

CaCO3 + H2O

CaCO3 + H2O + CO2

CaH2C2O6

Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu
sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole
(lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya
tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling
berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang
panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng

9

batu gamping dapat membentuk morfologi karst menurut Hamilton & Smith
(2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup,
2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak
mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan
lingkungan di sekitarnya.

Geomorfologi karst
Ahli geologi membagi geomorfologi karst menjadi karst luar atau exokarst
dan karst dalam atau endokarst (gua). Exokarst/epikarst dicirikan dengan:

1)

adanya bukit-bukit kapur berbentuk kerucut atau kubah, 2) permukaan kasar
berlubang-lubang membentuk

dolina (cekungan), dan 3) adanya endapan

sedimen lempung berwarna merah hasil pelapukan batu

gamping (Samodra

2006). Selain itu menurut Roemantyo & Noerdjito (2006), exokarst biasanya
tertutup oleh lapisan tanah yang tipis yang umumnya berasal dari batuan kapur
yang hancur dan terdekomposisi secara mekanik dan kimiawi. Lapisan tanah
tipis tersebut sebagian terkumpul pada cekungan. Proses pengayaan nutrisi pada
lapisan tanah exokarst dapat terjadi oleh adanya debu vulkanis, ataupun aliran air
hujan yang membawa humus dari tempat lain. Akibatnya exokarst dapat
ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan tertentu.
Endokarst (gua) menurut Hamilton & Smith (2006) merupakan ruang
dengan sirkulasi udara terbatas dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak
ada cahaya. Selain itu, menurut Wirawan (2005), ruang dalam gua biasanya
dilengkapi dengan ornamen-ornamen gua. Ornamen tersebut merupakan hasil
pengendapan kalsium karbonat (CaCO3) yang sebelumnya terlarutkan oleh
peristiwa karstifikasi. FINSPAC (1993) membagi ornamen-ornamen dalam gua
menjadi: 1) stalaktit, yaitu endapan kapur yang menggelantung pada langit-langit
gua, 2) stalakmit, yaitu endapan kapur yang terdapat pada lantai gua, 3) tiang
(column), yaitu pertemuan antara stalaktit dan stalakmit yang membentuk tiang,
4) tirai (drip curtain/drapery), yaitu endapan yang berbentuk lembaran tipis
vertikal, pada atap gua yang miring, dan 5) teras (travertin), yaitu endapan
kalsium karbonat pada lantai gua yang bertingkat sehingga membentuk
terrasering. Geomorfologi karst tersaji pada Gambar 3.

10

Gambar 3 Geomorfologi karst (Sumber: FINSPAC 1993)
Hamilton & Smith (2006) membagi lingkungan dalam gua berdasarkan
pengaruh sinar matahari menjadi 3 mintakat, yaitu 1) mintakat I adalah mintakat
di dalam gua yang sinar matahari dapat masuk dan iklim dalam gua masih
dipengaruhi oleh iklim luar gua,

2) mintakat II adalah mintakat di dalam gua

yang tidak ada sinar matahari yang masuk, tetapi iklim di dalam mintakat tersebut
masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua, dan 3) mintakat III adalah mintakat
yang tidak ada sinar matahari dan iklim di dalam mintakat ini stabil, tidak
dipengaruhi oleh fluktuasi iklim di luar gua. Contoh denah pembagian mintakat
pada Gua Jatijajar dapat dilihat pada Gambar 4.
Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga
efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh
karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar
gua. Menurut Samodra (2006) mikroklimat dalam gua cenderung lebih dingin
dan lebih lembap. Hal ini karena 1) adanya aliran sungai di lantai gua; 2) adanya
air rembesan di atap gua; 3) tidak ada sinar matahari, dan 4) sirkulasi udara
terbatas. Selain itu menurut Russo et al. (2003)

mikroklimat tersebut dapat

berbeda antara satu zona (mintakat) dan zona lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh
pengaruh sinar matahari, formasi gua, dan

keberadaan mahluk hidup di

dalamnya. Penelitian Baudinette et al. (1994) di

Gua Kelelawar dan Gua

11

Robertson Afrika Selatan membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah
besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC.

Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD
Kabupaten Kebumen 2004 yang telah dimodifikasi)

Tipe-tipe gua
Aliran air merupakan faktor utama dalam pembentukan gua karst.
Karenanya menurut Hamilton & Smith (2006), berdasarkan penetrasi air pada
dinding dan atap gua, dapat dibedakan tiga-tipe gua karst, yaitu 1) gua fosil,
adalah gua karst yang pada dinding dan atapnya tidak ada lagi penetrasi air. Hal
ini menyebabkan pertumbuhan ornamen-ornamen gua terhenti dan mikroklimat
gua cenderung lebih kering dibandingkan tipe gua karst lainnya; 2) gua vedosa:
gua karst yang berada pada sarang air (water table) yang datar. Tipe gua ini
ditandai dengan sedikitnya penetrasi air pada atap gua sehingga tidak banyak
ditemukan ornamen gua. Oleh karena berada pada sarang air datar, maka banyak
terbentuk mata air di dinding gua. Banyaknya mata air tersebut menyebabkan
mikroklimat di dalam gua cenderung dingin dan lembap; 3) gua pheartic adalah
gua karst yang berada pada bidang miring, yang penetrasi air pada atap gua
berlangsung sangat efektif. Tipe gua ini ditandai dengan banyaknya tetesan air

12

pada atap gua dan biasanya lantai gua dilalui sungai bawah tanah. Ornamen gua
membentuk formasi yang kompleks dan masih aktif berkembang. Keberadaan
sungai bawah tanah dan banyaknya tetesan air pada atap gua menyebabkan gua
pheartic dingin dan lembap (Samodra 2006).
Pada gua fosil, vedosa maupun pheartic terbentuk zonasi atau mintakatmintakat.

Mintakat tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya mulut gua,

banyaknya ventilasi gua maupun formasi gua.

Gua tipe pheartic memiliki

formasi gua yang lebih kompleks dibandingkan tipe gua lainnya (Samodra 2006).
Hal ini disebabkan lorong gua yang berliku-liku, adanya aliran sungai, dan
banyaknya ornamen-ornamen gua. Kondisi ini menghasilkan mintakat III yang
lebih luas, yaitu mintakat gelap dengan suhu dan kelembapan stabil tidak
dipengaruhi suhu luar gua.
Gua dapat diartikan sebagai ruang /lorong yang berada di bawah permukaan
tanah. Selain tipe-tipe gua karst yang telah dijelaskan di atas, menurut Ko (2004)
terdapat tiga tipe gua lain, yaitu 1) gua lava: gua yang terbentuk karena aktivitas
vulkanik atau gunung berapi, 2) gua litoral /gua laut: gua yang terbentuk kerena
gelombang laut yang memecah karang di pantai, dan 3) gua sandstone: gua yang
terbentuk karena erosi air dan angin pada batuan pasir. Ketiga tipe gua tersebut
memiliki lorong pendek, formasi gua sederhana, dan cahaya matahari dapat
masuk hampir keseluruh bagian lorong gua. Karena itu tidak terdapat mintakatmintakat

seperti halnya pada gua karst dan tidak membentuk ekosistem yang

kompleks.

Komunitas fauna gua karst
Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan
dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar
matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau
(autotrof)

tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang

dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energ