Kelimpahan, Sebaran keanekaragaman jenis kelelawar pada beberapa gua dengan pola pengelolaan berbeda di kawasan Karst Gombong Jawa Tengah

(1)

KELIMPAHAN, SEBARAN DAN

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR

(Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA

PENGELOLAAN BERBEDA

DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH

AMIN ASRIADI

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M/1431 H


(2)

KELIMPAHAN, SEBARAN DAN

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR

(Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA

PENGELOLAAN BERBEDA

DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

AMIN ASRIADI

105095003114

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M/ 1431 H


(3)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah” yang ditulis oleh Amin Asriadi, NIM 105095003114 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Februari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Priyanti, M. Si Megga Ratnasari Pikoli, M. Si NIP. 132 283 153 NIP. 19720322.200212.2.002

Pembimbing I Pembimbing II

Fahma Wijayanti, M. Si Paskal Sukandar, M. Si NIP. 150 326 910 NIP. 19510325.198210.1.001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi

Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud


(4)

NIP. 19680117.200112.1.001 NIP. 150 375 182

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Februari 2010

Amin Asriadi

105095003114


(5)

ABSTRAK

Amin Asriadi. Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.

Keberadaan kelelawar pada gua dengan pola pengelolaan berbeda dapat mempengaruhi kelimpahan dan jenis kelelawar di dalamnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2009 dengan menghitung kelimpahan dan mengidentifikasi kelelawar di kawasan karst Gombong Jawa Tengah. Kelelawar dikoleksi menggunakan mist net, harp net dan jaring bertangkai di sekitar mulut Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan. Selama penelitian diperoleh kelimpahan kelelawar pada Gua Petruk adalah ± 3927 ekor, Gua Intan ± 2884 ekor, Gua Jatijajar ± 1274 ekor dan Gua Liyah ± 433 ekor. Didapatkan 11 jenis kelelawar yaitu Chaerephon plicata, Hipposideros ater, H. larvatus, Miniopterus australis, Rhinolophus affinis, Cynopterus horsfieldii, C. brachyotis, C. titthaecheilus, Eonycteris spelaea, Rousettus amplexicaudatus dan Macroglossus sobrinus. Hasil analisis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner menunjukan keanekaragaman jenis kelelawar tertinggi di Gua Petruk (H’ = 1,5024) dan terendah di Gua Intan (H’ = 0,4504). Indeks Kemerataan Shannon Evenness menunjukan kemerataan jenis kelelawar tertinggi di Gua Liyah (E = 0,7956) dan terendah di Gua Intan (E = 0,6497). Indeks Simpson menunjukan dominasi tertinggi di Gua Intan (C = 0,7220) dan terendah di Gua Petruk (C = 0,2371). Cynopterus brachyotis dan Hipposideros larvatus merupakan jenis kelelawar yang paling sering ditemukan selama penelitian.


(6)

ABSTRACT

Amin Asriadi. Species Abundance, Distribution and Diversity of Bats (Chiroptera) in Various Cave Type With Diverge Managerial System at Gombong Karst Area Central Java. Thesis. Biological Study Program. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.

The existence of bats in cave type with diverge managerial system are influenced abundance and species bats. This research was conducted on Juny to July 2009 that counting abundance and identify bats at Gombong karst area Central Java. The bats were collected by using mist net, harp net and stalk net at flying track surrounding cave’s mouth of Petruk Cave, Liyah Cave, Jatijajar Cave and Intan Cave. Bats abundance at Petruk Cave amount ± 3927 bats, Intan cave amount ± 2884 bats, Jatijajar Cave amount ± 1274 bats and Liyah Cave amount ± 433 bats. The eleven spesies were collected from this research, such as Chaerephon plicata, Hipposideros ater, H. larvatus, Miniopterus australis, Rhinolophus affinis, Cynopterus horsfieldii, C. brachyotis, C. titthaecheilus, Eonycteris spelaea, Rousettus amplexicaudatus and Macroglossus sobrinus. The analysis result is used Diversity Index of Shannon-Wienner showed the highest diversity at Petruk Cave (H’ = 1,5024) and the lowest at Intan Cave (H’ = 0,4504). Similarity Index of Shannon Evenness is showed the highest similarity at Liyah Cave (E = 0,7956) and the lowest at Intan Cave (E = 0,6497). Domination Index of Simpson is showed the highest domination at Intan Cave (C = 0,7220) and the lowest at Petruk Cave (C = 0,2371). Cynopterus brachyotis and Hipposideros larvatus are spesies that common and often founded during this research.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang dianugrahkan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW.

Skripsi berjudul “Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan

Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan selesainya naskah skripsi penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tersayang, Mimih dan Babeh yang selalu memberikan dukungan do’a dan semangat. Adik-adikku: Fajar Nur Husein dan Nur Ilham Zein, kalian berdua adalah sumber motivasi terbesarku untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Fahma Wijayanti M.Si Selaku pembimbing I yang dengan ikhlas memberikan bantuan, saran dan bimbingannya selama melaksanakan penelitian hingga selesainya skripsi ini.

3. Paskal Sukandar M.Si selaku pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

5. Dr. Lily Surayya EP. M. Env. Stud. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Narti Fitriana, M.Si dan Drh. Bhintarti S. Hastari, M.Biomed selaku penguji I dan penguji II pada seminar proposal dan seminar hasil penelitian yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

7. Priyanti, M. Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M. Si selaku penguji I dan penguji II pada sidang munaqosyah yang telah memberikan banyak masukan pada penulis.

8. Seluruh staf pengajar Program Studi Biologi, terima kasih atas semua ilmu yang telah diberikan, semoga bisa bermanfaat untuk penulis.

9. Desi Haryanti yang selalu memberikan perhatian dan motivasi ketika senang maupun sedih.

10.Saudara-saudaraku tersayang yang juga melakukan penelitian di Karst Gombong: Muhammad Rizki, Heru Harisma dan Marzuki Pujiantoro. Tanpa kalian penulis tidak akan semangat dan tidak bisa bertukar fikiran. Penelitian selama satu bulan bersama kalian menjadi sangat bermakna dan indah.


(9)

11.Saudara-saudaraku di Biologi angkatan 2005 (BIOMA), Kita semua telah mengarungi lautan dan gunung selama hampir 4 tahun bersama. Semoga Allah SWT selalu memberkahi langkah kita semua.

12.Ade Suryadi, Irvan Rachmatullah, Luqman Budianto, Fachri Fahrudin, Maulya Arfi S, Dede Elica, Galih Hakim Antarnusa, Walid Rumblat dan seluruh warga kosan yang selalu memberikan keceriaan. Rangga Punji Mulyawan yang merelakan laptopnya dipinjam selama penulisan skripsi ini.

13.Seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Jakarta, Februari 2010


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Biologi Kelelawar... 5

2.1.1. Klasifikasi Kelelawar ... 5

2.1.2. Morfologi Kelelawar ... 6

2.1.3. Reproduksi Kelelawar ... 8

2.1.4. Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar ... 9

2.1.5. Perilaku Makan Kelelawar ... 10

2.2. Gua Karst Sebagai Habitat Kelelawar ... 12

2.3 Peran Kelelawar Dalam Ekosistem Gua Karst... 14


(11)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 18

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 19

3.3 Cara Kerja ... 19

3.3.1 Penentuan Lokasi Penelitian... 19

3.3.2 Pengambilan Sampel ... 19

3.3.3 Metode Estimasi Kelelawar... 21

3.4 Analisis Data ... 21

3.4.1. Identifikasi Jenis Kelelawar... 21

3.4.2. Indeks Keanekaragaman Jenis. ... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

4.1. Kondisi Umum Gua Pengamatan ... 25

4.2. Kelimpahan Kelelawar Pada Tiap Gua... 31

4.3. Jenis-Jenis Kelelawar... 34

4.4. Indeks Keanekaragaman Jenis Pada Masing-Masing Gua ... 50

4.5. Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Keberadaan Kelelawar... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang mencakup keanekaragaman flora, fauna dan mikroba (Primack et al, 1998). Tingginya keanekaragaman hayati ini dikarenakan wilayah Indonesia yang terletak di daerah tropik, memiliki berbagai macam tipe habitat, serta berbagai isolasi sebaran berupa laut atau pegunungan (Noerdjito dan Maryanto, 2005). Indonesia memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang cukup tinggi, lebih dari 205 jenis kelelawar yang terdiri dari 72 jenis kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) dan 133 jenis kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera); atau sekitar 20% dari jumlah jenis di dunia yang telah diketahui (Suyanto, 2001).

Kelelawar memiliki peranan penting dalam ekosistem. Kelelawar berfungsi sebagai pemencar biji tumbuh-tumbuhan di hutan tropik. Karena perilaku makan dan kemampuan terbang yang jauh menyebabkan daya pencar biji-bijian pun jauh. Fungsi lainnya adalah sebagai penyerbuk bunga. Terdapat sekitar 300 jenis tanaman tropik yang penyerbukan dan pemencarannya dilakukan oleh kelelawar. Contoh tanaman bernilai ekonomi yang dibantu penyerbukannya oleh kelelawar adalah durian (Durio zibethinus), aren (Arenga sp), petai (Parkia speciosa), kapuk randu (Ceiba pentandra), pisang-pisangan (Musa sp) kelapa (Cocos nucifera) (Suyanto, 2003). Selain itu kelelawar merupakan penghasil guano yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Wiyatna (2003) menyebutkan bahwa


(13)

guano kelelawar memiliki kandungan bahan-bahan utama pupuk yaitu 10% nitrogen, 3% fosfor dan 1% potasium. Kandungan nitrogen yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, sedangkan fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar. Akan tetapi keanekaragaman hayati dan peranan ini belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat dalam usaha konservasi kelelawar. Masyarakat pada umumnya menganggap kelelawar sebagai hama karena memakan buah-buahan dari tanaman budidaya, sehingga banyak perburuan kelelawar yang menyebabkan habitatnya terganggu dan populasi kelelawar di alam menurun.

Ekosistem gua merupakan salah satu ekosistem yang paling rentan di muka bumi dan merupakan tempat berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi berbagai jenis organisme (Rahmadi, 2007). Lebih dari 50% Microchiroptera dan 20% Megachiroptera tinggal di gua. Sebagai penghuni gua, kelelawar memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem di dalam gua, namun hingga saat ini kawasan gua tidak luput dari usaha-usaha eksploitasi yang berpontensi menghancurkan fungsi gua baik sebagai habitat alami kelelawar maupun sebagai pengatur siklus hidrologi.

Wilayah Gombong memiliki bentang alam karst yang terletak di Kecamatan Ayah (Riswan et al, 2006). Kawasan karst Gombong memiliki struktur geologi berupa gunung-gunung berbatu yang terjal dan terbentuk dari batuan kapur. Kawasan karst Gombong merupakan salah satu contoh kawasan karst yang memiliki banyak gua dengan karakteristik yang beragam, terdapat sekitar 15 gua, 8 gua di antaranya dihuni oleh kelelawar (Rahmadi, 2007).


(14)

Beberapa gua di kawasan ini dijadikan obyek wisata, sehingga dikhawatirkan populasi kelelawar yang ada di dalamnya maupun ekosistem gua itu sendiri akan mengalami gangguan, mengingat ekosistem gua yang rapuh dan memiliki fungsi cukup penting, terutama dalam kaitannya dengan ekosistem luar gua, maka dibutuhkan pola pengelolaan gua yang tepat. Agar dapat dibuat pola pengelolaan gua yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, diperlukan informasi yang luas mengenai ekosistem gua serta segala sesuatu yang menyangkut berlangsungnya proses ekologi yang terkait. Penelitian tentang kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar di kawasan karst Gombong Jawa Tengah sangat diperlukan.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) di kawasan karst Gombong Jawa Tengah?

2. Bagaimana kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah?

1.3. Hipotesis

1. Tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) di kawasan karst Gombong Jawa Tengah adalah tinggi.


(15)

2. Terdapat perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) dan mengetahui perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan yang berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberi informasi mengenai perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan yang berbeda.di kawasan karst Gombong Jawa Tengah. 2. Sumber informasi bagi para peneliti yang terkait dan sebagai bahan


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Kelelawar

2.1.1. Klasifikasi Kelelawar

Klasifikasi kelelawar menurut Kunz (1991) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Chiroptera Sub Ordo : - Megachiroptera

- Microchiroptera

Saat ini tercatat 1.111 jenis kelelawar (Kingston et al, 2006) yang tersebar hampir di seluruh dunia. Diperkirakan keanekaragaman jenis kelelawar lebih dari 50% dari keanekaragaman seluruh mamalia. Hampir seperempat dari seluruh jenis mamalia di dunia merupakan anggota ordo Chiroptera (Zimmer, 1998). Jenis kelelawar yang sudah diketahui di Indonesia berkisar 205 jenis yang terbagi menjadi 9 famili dan 52 genus. Kesembilan famili tersebut antara lain Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Mollosidae (Suyanto, 2001).


(17)

2.1.2. Morfologi Kelelawar

Kelelawar termasuk ordo Chiroptera. Chiroptera berasal dari bahasa Yunani “cheir” yang berarti tangan, dan “pteros” yang berarti selaput, atau dapat diartikan sebagai “sayap tangan”, karena kaki depannya termodifikasi menjadi sayap. Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari kaki depan, kaki belakang, dan ekornya. Pada kelelawar betina, patagium berfungsi untuk memegang anaknya yang baru dilahirkan dengan kepala di bawah. Selain untuk terbang, sayap kelelawar berfungsi untuk menyelimuti tubuhnya ketika cuaca dingin dan mengipaskan sayapnya jika cuaca panas, kelelawar aktif pada malam hari karena pada siang hari dapat mengakibatkan radiasi yang merugikan sayap yang disebabkan karena terkena cahaya matahari sehingga lebih banyak panas yang diserap daripada yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan sayap kelelawar hanya berupa selaput kulit tipis yang sangat rentan terkena sinar matahari (Cobert dan Hill, 1992).


(18)

Kelelawar memiliki dua sub ordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiropteraumumnya herbivora dan memiliki ciri-ciri mata besar, penciuman yang baik, memiliki struktur telinga yang sederhana, tidak memiliki tragus/antitragus, ekor biasanya pendek bahkan tidak ada, jari sayap kedua umumnya bercakar, kecuali Eonycteris, Dobsonia, dan Neopteryx. Megachiroptera yang paling kecil (Balionycteris, Chironax, dan Aethalops) berbobot 10 gram, dan yang paling besar Kalong kapuk (Pteropus vampyrus) bisa mencapai berat 1500 gram, bentangan sayapnya mencapai 1700 mm, dan lengan bawah sayapnya 36-228 mm, sedangkan Microchiroptera merupakan insektivora, dan sebagian kecil merupakan omnivora, karnivora, piscivora, frugivora dan nectarivora. Microchiroptera umumnya berukuran kecil, memiliki struktur telinga yang kompleks, memiliki tragus/antitragus. Tragus adalah bagian menonjol dari dalam daun telinga seperti tongkat, sedangkan antitragus adalah bagian menonjol dari luar daun telinga yang berbentuk bundar atau tumpul (Suyanto, 2001).

Microchiroptera paling kecil berbobot 2 gram dan paling besar 196 gram, dan lengan bawah sayapnya 22-115 mm (Suyanto, 2001). Jenis kelelawar tertentu, terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki bagian khusus pada wajah, terutama di bagian lubang hidung, yang disebut daun hidung. Bagian ini merupakan tonjolan kulit. Pada jenis-jenis kelelawar lain, daun hidungnya sangat sederhana, berupa lipatan kulit yang kecil tunggal dan tumbuh di ujung hidung saja. Jari sayap kedua tidak bercakar, tetapi pada genus Miniopterus memiliki panjang ruas akhir (kedua) jari sayap nomor tiga hampir tiga kali panjang ruas jari pertama (Suyanto, 2001).


(19)

2.1.3. Reproduksi Kelelawar

Kelelawar melahirkan anaknya dalam keadaan head-down (posisi terbalik) pada posisi roosting. Selaput kulit (patagium) digunakan sebagai tempat melahirkan anaknya (Altringham, 1996). Pada umumnya kelelawar berkembang biak hanya satu kali dalam setahun dengan masa kehamilan 3 sampai 6 bulan, dan hanya bisa melahirkan satu atau dua ekor bayi setiap periode melahirkan. Bayi yang baru dilahirkan ini mempunyai bobot yang dapat mencapai 25-30% dari bobot tubuh induknya, lebih besar dari bayi manusia yang mencapai 5% dari bobot tubuh induknya (Nowak, 1995).

Kelelawar yang baru lahir memiliki gigi susu, tetapi akan segera digantikan dengan gigi permanen. Gigi susu pada beberapa jenis cukup tajam dengan bentuk membengkok. Ini dapat membantu bayi kelelawar berpegangan pada induknya saat induknya terbang berkeliling dengan menggendong bayinya. Kelelawar pemakan serangga memiliki geraham yang sangat tajam dan digunakan untuk menghancurkan serangga, sedangkan taringnya didesain untuk menggigit dan membawa mangsa yang masih hidup. Gigi tengah umumnya sangat kecil pada kelelawar pemakan serangga dan ketika membuka mulut, terlihat seperti tidak memiliki gigi depan sama sekali. Kelelawar pemakan buah memiliki geraham yang besar dan kuat untuk mengunyah buah dan biji-bijian. Juga memiliki otot rahang yang kuat untuk membantu mengunyah makanan yang keras (Ceave, 1999).


(20)

2.1.4. Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar

Kelelawar hidup pada beberapa tipe habitat seperti gua, hutan alami, hutan buatan, dan perkebunan. Kelelawar mempunyai banyak alternatif dalam memilih tempat bertengger. Jenis kelelawar seperti Kalong kapuk (Pteropus vampyrus), Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus) dan kebanyakan jenis sub ordo Megachiroptera lainnya memilih tempat bertengger untuk tidur pada pohon-pohon yang tergolong besar, sebaliknya beberapa jenis kelelawar yang termasuk sub ordo Microchiroptera lebih banyak memilih tempat berlindung pada lubang-lubang batang pohon, celah bambu, maupun gua. Beberapa jenis hidup secara berkoloni, berkelompok kecil, berpasangan, dan bahkan hidup soliter (Cobert dan Hill, 1992).

Kelelawar gua sebagian besar termasuk sub ordo Microchiroptera. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil, bola mata kecil dan tidak berfungsi sebagai alat penglihatan merupakan penyesuaian dengan keadaan di dalam gua yang gelap. Kemampuan penglihatan kelelawar untuk terbang dalam kegelapan digantikan oleh kemampuan penala gema yang dikenal dengan istilah ekholokasi. Ketika terbang, kelelawar mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi (ultrasonik) rata-rata 50 Khz yang tidak terdengar oleh telinga manusia yang hanya dapat menangkap suara 3-18 Khz (Suyanto, 2001). Pantulan suara ultrasonik (ekholokasi) dapat digunakan untuk memandu arah terbang, mengenali dan melacak posisi mangsanya.

Daerah jelajah kelelawar ketika mencari makan bervariasi seperti Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus), yang mencapai radius 3 km, sedangkan


(21)

Lalai kembang (Eonycteris spelaea) mencapai radius 40 km, sementara Kalong kapuk (Pteropus vampyrus) mencapai radius 60 km. Kelelawar pada waktu terbang membutuhkan oksigen yang jauh lebih banyak dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml berbanding 7 ml Oksigen/1 gram bobot tubuhnya), dan denyut jantung berdetak lebih kencang (822 kali berbanding 522 kali permenit), untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar dibandingkan kelompok lain (0,9% berbanding 0,5% bobot tubuh) (Suyanto, 2001).

2.1.5. Perilaku Makan Kelelawar

Kebiasaan makan kelelawar bervariasi seperti kebanyakan mamalia pada umumnya. Keanekaragaman makanan disesuaikan dengan morfologi dan fisiologi pada kelelawar. Jenis pakan dari beberapa kelelawar adalah arthropoda, serangga, mamalia kecil, burung, reptil, amfibi, ikan, darah, bangkai, buah, bunga, nektar, polen dan daun (Altringham, 1996).

Sub ordo Megachiroptera memiliki komposisi pakan sebagian besar terdiri atas buah, bunga, daun, polen dan nectar. Lebih dari 250 jenis kelelawar memakan satu atau beberapa jenis tumbuhan, dengan memakan buah ataupun nektar bunga sedangkan sub ordo Microchiroptera sebagian besar adalah pemakan serangga, selain itu beberapa terdapat jenis sub ordo Microchiroptera adalah penghisap darah misalnya Desmodus rotundus dan pemakan madu misalnya Leptonecteris curasoae (Altringham, 1996). Meskipun serangga merupakan komponen utama dari kebanyakan pakan kelelawar tetapi laba-laba, kalajengking, udang-udangan


(22)

dan arthropoda lainnya juga dimakan, sekitar 70% dari semua spesies kelelawar adalah pemakan serangga.

Kelelawar pemakan buah dapat menyebarkan biji sekitar 47 spesies tanaman berbeda pada setiap jenis kelelawar (Lopez dan Christopher, 2007). Menurut Suyanto (2001), bahwa penyebaran biji ini dapat meningkatkan variabilitas sifat-sifat tumbuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas hidup tumbuhan itu sendiri. Kelelawar pemakan buah atau madu ini mempunyai peranan sangat penting di dalam regenerasi hutan dan penyerbuk tanaman yang memiliki nilai komersial tinggi. Kelompok kelelawar ini sering memakan buah tidak di lokasi tanaman yang sedang berbuah, akan tetapi membawa dan membuang sepah dan biji buah jauh dari tempat lokasi tanaman tersebut (Sinaga, 2006).

Kelelawar pemakan nektar dan polen memiliki perilaku makan yang unik, yaitu terbang mengelilingi pohon sebelum mendarat pada kelopak bunga, melayang-layang di atas kelopak bunga kemudian secara perlahan mendekati bunga dan mulai menghisap nektar. Kelelawar menghisap nektar dari 2 sampai 3 bunga sebelum pergi (Elangovan, 2000).

Kelelawar pemakan serangga memiliki tubuh yang kecil, keunggulan dari ukuran tubuh yang kecil memudahkan kelelawar melakukan manuver dan kegiatan dalam hal menangkap serangga yang sedang terbang yang tertangkap oleh sistem ekholokasi jarak dekat. Serangga yang dijadikan mangsa disesuaikan dengan ukuran tubuh kelelawar, serangga dengan ukuran yang besar hanya akan menyulitkan pada saat penangkapan, penaklukan dan proses makan, hal ini akan


(23)

banyak membuang energi kelelawar. Apabila ukuran serangganya terlalu kecil, penangkapan sulit dilakukan dan tidak mencukupi kebutuhan energi harian (Altringham, 1996).

2.2. Gua Karst Sebagai Habitat Kelelawar

Gua dalam arti yang sederhana merupakan lubang di bawah permukaan tanah yang dapat dimasuki manusia. Definisi gua mencakup ruangan-ruangan yang lebih kecil, misalnya rekahan-rekahan dan celah-celah yang biasa terdapat di dalam batu gamping. Gua dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan letak dan batuan pembentuknya, yaitu gua lava, gua litoral, gua batu gamping (karst), gua pasir, gua batu halit, gua es dan lain-lain. Di antara gua-gua tersebut, gua karst merupakan gua yang banyak dihuni oleh jenis-jenis fauna seperti kelelawar, walet, dan fauna khas gua (KPG, 2004).

Gua karst terbentuk dari proses pelarutan batuan gamping oleh air. Sifat batu gamping yang mudah meloloskan air menyebabkan batuan ini mudah dilalui aliran air permukaan seperti sungai yang menjadi aliran air bawah tanah jika sudah memasuki lorong gua. Aliran air tersebut membawa sumber makanan dari luar gua yang mendukung terjadinya proses rantai makanan di dalam gua, sehingga memungkinkan berbagai jenis fauna mikro untuk hidup dan menyesuaikan diri di dalamnya (KPG, 2004).

Ekosistem gua merupakan suatu ekosistem unik yang kondisinya berbeda dengan kondisi ekosistem lain di luar gua. Interaksi yang terjadi dalam ekosistem gua terbentuk dari komponen-komponen fisik (abiotik) dan biotik. Komponen


(24)

fisik gua meliputi air, ornamen gua, tanah, temperatur dan kelembaban yang mempengaruhi keanekaragaman jenis fauna gua sebagai komponen biotik yang mendiaminya.

Berdasarkan kondisi fisiknya, Gllenie (1962) dalam Samodra (2001) membagi lorong gua dibagi ke dalam empat zona/mintakat yaitu:

a. Zona terang, dimulai dari mulut gua atau bagian dalam ceruk yang masih dipengaruhi sinar matahari.

b. Zona peralihan, batas antara bagian terang dan gelap.

c. Zona gelap, bagian gua yang masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua sehingga suhu di dalamnya masih berfluktuasi.

d. Zona gelap abadi, bagian gua tanpa fluktuasi suhu dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh iklim di luar gua.

Keberadaan kelelawar di dalam gua erat kaitannya dengan keadaan mikroklimat untuk masing-masing gua. Selain itu kandungan guano untuk setiap gua mempengaruhi perbedaan kelelawar dalam memilih gua tertentu sebagai tempat bertengger, karena secara tidak langsung guano menyebabkan perbedaan temperatur dan kelembaban gua (Maryanto dan Mahadaratunkamsi, 1991).

Fauna gua yang ada di kawasan karst tropis jenisnya sangat beragam. Fauna tersebut dapat menyesuaikan hidupnya dengan lingkungan yang panas, gersang, sedikit air, dan hanya mempunyai lapisan tanah yang relatif tipis. Samodra (2001) menjelaskan bahwa fauna gua bisa tinggal di atas dan di bawah permukaan pada celah atau retakan batuan, pada sela-sela bongkahan batu dan sebagainya.


(25)

Berdasarkan derajat adaptasi fauna gua terhadap lingkungannya di dalam gua, Vandel (1965 ) dalam Samodra (2001) membagi fauna gua menjadi 3 kategori, yaitu:

a. Troglobite : Fauna yang telah beradaptasi secara penuh terhadap lingkungan gua dan merupakan penghuni tetap gua, contohnya adalah ikan gua (Puntius microps), udang gua (Macrobrachium poeti) dan Ketam (Cancrocaea xenomorpha)

b. Troglophile : Fauna yang secara teratur memasuki gua tetapi tidak sepenuhnya di dalam gua. Sebagian siklus hidupnya dapat berlangsung di dalam atau di luar gua. Contohnya adalah kelelawar dan jangkrik gua (Rhaphidophora dammermani dan R. dehaan)

c. Trogloxene : Fauna yang kadang-kadang memasuki gua. Trogloxene ini ada yang datang ke dalam gua secara sengaja dan ada yang masuk ke dalam gua secara tidak sengaja, contohnya adalah ular phyton gua, tokek, biawak, landak dan satwa liar lain yang menggunakan gua sebagai tempat berlindung sementara.

2.3. Peran Kelelawar Dalam Ekosistem Gua Karst

Kelelawar memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting bagi kelangsungan ekosistem, baik di dalam maupun luar gua. Pada suatu ekosistem gua, kelelawar adalah penyeimbang ekosistem. Guano kelelawar diyakini sebagai sumber energi yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan di dalam ekosistem gua (Suyanto, 2001). Guano kelelawar merupakan produsen bagi fauna


(26)

lain seperti jangkrik gua sebagai konsumen pertama. Manfaat lain dari guano yaitu sebagai bahan dasar pupuk. Guano kelelawar adalah 100% pupuk organik yang mengandung elemen mikro dan makro lengkap yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kandungan kasar bahan-bahan utama pupuk yang terdapat dalam guano yaitu 10% nitrogen, 3% fosfor dan 1% potasium (Wiyatna, 2002).

Kondisi iklim mikro gua dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan fisik seperti kelembaban, suhu, cahaya, air, kadar oksigen, CO2, aliran udara, dan

pH tanah, yang berpengaruh terhadap jenis fauna gua yang tinggal di dalamnya. Gua-gua yang dihuni kelelawar memiliki karakteristik yang berbeda dengan gua-gua yang tidak dihuni kelelawar. Perbedaan tersebut di antaranya dapat dilihat dari suhu dan kelembaban. Pada umumnya, gua-gua yang dihuni kelelawar, memiliki suhu yang lebih rendah dan kelembaban yang lebih tinggi daripada yang tidak dihuni kelelawar (Maryanto dan Mahadaratunkamsi, 1991).

Hasil penelitian di kawasan karst Gudawang menunjukkan bahwa gua yang dihuni kelelawar memiliki suhu dan kelembaban rata-rata 26,15 ± 0,97oC dan 90,7 ± 3,49%, sedangkan gua yang tidak dihuni kelelawar meiliki suhu dan kelembaban rata-rata sebesar 26,68 ± 1,55oC dan 87,6 ± 8,2% (Apriandi, 2004).

Gua-gua di daerah tropis cenderung lebih hangat karena variasi suhunya kecil. Sebagian besar fauna gua beradaptasi dengan kondisi suhu yang stabil, karena suhu dalam gua tidak berfluktuasi besar. Suhu sangat berperan dalam tahap reproduksi jenis termasuk fauna gua. Iklim mikro gua tidak hanya dipengaruhi oleh suhu udara tetapi juga oleh suhu air. Suhu air yang mengalir biasanya sama


(27)

dengan suhu air di luar, karena berasal dari air resurgence (aliran sungai yang masuk ke gua (Rahmadi, 2007).

2.4. Kawasan Karst Gombong

Kawasan karst Gombong terletak di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Letaknya kurang lebih 44 km di sebelah barat daya kota Kebumen, dan sekitar 23 km selatan kota Gombong. Berada pada 109o _ 110o Bujur Timur dan 7o – 8o Lintang Selatan. Ketinggian dari permukaan laut sekitar 20 sampai 40 m. Luas wilayah sekitar 82 km2. Sepertiga luas wilayahnya merupakan lahan persawahan, sisanya adalah tanah kering yang dimanfaatkan untuk perkebunan, pemukiman, dan hutan.


(28)

Menurut Riswan et al (2006) Gombong memiliki bentang alam karst yang terletak di Kecamatan Ayah. Menurut Whitten et al (1999), Paparan Sunda awalnya merupakan lautan tropik dangkal dimana di dasarnya banyak mengendap kalsium karbonat yang dihasilkan oleh binatang berkerangka kapur koral dan foraminifera. Sekitar tiga juta tahun yang lalu, dasar lautan terdorong ke atas oleh gaya tektonik, akibatnya terbentuk barisan bukit karst. Selanjutnya CO2

(karbondioksida) di udara yang larut dalam air hujan membentuk asam karbonat lemah. Larutan asam karbonat tersebut melarutkan batu gamping sehingga tebentuklah gua karst. Setelah proses jutaan tahun, gua karst (batu gamping) menjadi ekosistem unik dengan karakteristik ruang tertutup, gelap, temperatur stabil, lembab, ada aliran udara dan dihuni oleh flora dan fauna khas.

Secara keseluruhan kawasan karst Gombong mempunyai banyak gua-gua horizontal maupun vertikal yang tersebar di kecamatan-kecamatan pada bagian pegunungan. Gua-gua yang sudah terdata sekitar 50 gua dan sebagian besar merupakan gua fosil. Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah memiliki dua bentang alam yang memiliki fenomena geologi yang unik, langka dan bernilai tinggi, yaitu daerah karst Gombong dan Karangsambung. Sekitar sepertiga luas wilayahnya merupakan lahan persawahan, sisanya adalah kawasan tanah kering yang dipakai untuk pemukiman, perkebunan, dan hutan. Hutan produksi seluas 17 ribu ha atau 13% luas daerah ditumbuhi oleh jati, pinus, dan sungkai. Vegetasi karst di kawasan Gombong menunjukkan bahwa kawasan karst merupakan ekosistem hutan karst sekunder yang sudah mengalami kerusakan sebelumnya (Riswan et al, 2006).


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) dilakukan di gua-gua yang terdapat di kawasan karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah pada bulan Juni - Juli 2009. Analisis spesimen dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta dan Laboratorium Mamalia, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian (Badan Survey Geologi Nasional, 2004) Ket: Lokasi pemasangan perangkap di sekitar mulut gua 3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: mist net, harp net, jaring bertangkai, kantong blacu, head lamp, lampu senter, meteran gulung, tali


(30)

rafia, kertas label, GPS, anemometer, termometer, timbangan digital, jangka sorong, galah, dan kamera digital.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kelelawar, formalin 4%, alkohol 96%, aquades dan kloroform.


(31)

Penangkapan dan estimasi populasi kelelawar dilakukan di Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan yang terdapat di kawasan karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Pemilihan keempat gua tersebut karena dikelola dengan pola pengelolaan yang berbeda. Gua Petruk dan Gua Liyah pengelolaannya dibiarkan alami dengan fasilitas penunjang seadanya sebagai obyek wisata alam minat khusus. Gua Jatijajar dan Gua Intan dikembangkan sebagai obyek wisata alam umum dengan berbagai sarana penunjang yang diberi fasilitas jalan, jembatan dan lampu di sepanjang lorong gua.

3.3.2 Pengambilan Sampel

Penangkapan kelelawar dilakukan pada pukul 17.00 - 21.00 WIB dengan menggunakan mist net dan harp net pada jalur terbang kelelawar yang berada di sekitar mulut gua. Jaring bertangkai digunakan untuk menangkap kelelawar pada tempat bertengger di dalam gua. Sebelumnya, dilakukan pengukuran parameter fisik seperti suhu, kelembaban, dan kecepatan angin. Kelelawar yang tersangkut kemudian dipindahkan ke dalam kantung blacu. Kelelawar yang tertangkap, dibius dengan kloroform 4 %, kemudian ditimbang dan diukur dengan jangka sorong. Bagian-bagian luar tubuh kelelawar yang diukur tersaji pada Gambar 4.

E

HB

T HF Tb FA


(32)

(Amin, 2009)

- HB (Head and Body) = panjang total tubuh kelelawar, dari mulai kepala sampai dengan pangkal ekor.

- T (Tail) = panjang ekor mulai dari pangkal ekor sampai ujung ekor.

- HF (Hindfoot) = diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang tanpa cakar. - E (Ear), diukur dari pangkal sampai dengan ujung telinga yang terjauh.

- FA (Forearm), diukur dari sisi luar siku sampai dengan sisi luar pergelangan sayap yang melengkung.

- Tb (Tibia), diukur mulai dari lutut sampai lengan pergelangan kaki.

Setelah itu dilakukan pemberian label dan penyuntikan dengan formalin 4%, kemudian kelelawar direndam pada alkohol 70% dan semua sampel yang diperoleh, selanjutnya dianalisis di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.

3.3.3. Metode Estimasi Jumlah Kelelawar

Metode estimasi jumlah kelelawar di Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan dilakukan dengan cara metode sensus (Ahlen, 1993), yaitu dengan menghitung jumlah total individu. Penghitungan dilakukan pada saat kelelawar ke luar dari mulut gua pada sore hari oleh dua orang pengamat dengan menggunakan counter setiap interval waktu lima menit mulai dari kelelawar pertama ke luar gua hingga tidak ada lagi kelelawar yang keluar. Penghitungan kelelawar diulang sebanyak tiga kali pada hari yang berbeda.

3.4. Analisis Data


(33)

Cara mengidetifikasi jenis adalah menggunakan kunci identifikasi yang mengacu pada kunci identifikasi menurut Suyanto (2001) dalam buku Panduan Lapangan Jenis-jenis Kelelawar di Indonesia dan Kingston (2006) dalam buku Bats of Krau Wildlife Reserve.

3.4.2. Indeks Keanekaragaman Jenis

Indeks Keanekaragaman Jenis yang digunakan adalah Indeks Keanekaragaman, Kemerataan, Kesamaan dan Dominasi Jenis. Untuk mengetahui Keanekaragaman jenis kelelawar pada setiap gua digunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (Bower dan Zar, 1977).

Keterangan:

- H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon- Wienner - n

i = Jumlah individu jenis ke-i

- N = Jumlah individu seluruh jenis

Kisaran nilai Indeks Keanekaragaman (H’) (Odum, 1971) adalah sebagai berikut: - H’ < 1 Tingkat Keanekaragaman rendah

- 1 < H’ < 3 Tingkat Keanekaragaman sedang

- H’ > 3 Tingkat Keanekaragaman tinggi

Indeks Keanekaragaman menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas dan juga memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis (Odum, 1971). Nilai Indeks Keanekaragaman digunakan untuk menentukan nilai Indeks Kemerataan Jenis dengan menggunakan rumus Indeks Kemerataan Shannon Evenness (Krebs, 1989).


(34)

Keterangan:

- E = Indeks Kemerataan Shannon Evenness - H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner - S = Jumlah jenis

Kisaran nilai Indeks Kemerataan (E) (Ludwig dan Reynolds, 1988) adalah sebagai berikut: - E < 0.4 Kemerataan rendah

- 0.4 < E < 0.6 Kemerataan sedang - E > 0.6 Kemerataan tinggi

Semakin kecil Indeks Kemerataan (E) akan semakin kecil pula kemerataan suatu populasi, yang menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominasi dari jenis yang ada. Semakin besar nilai Indeks Kemerataan (E) maka populasi menunjukkan kemerataan yang tinggi, yang menandakan bahwa cenderung tidak terjadi dominasi antar jenis yang ada.

Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis antara lokasi Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar, dan Gua Intan dengan menggunakan Indeks Sorensen (IS).

2

100% c

IS

a b

= ×

+ dengan:

a = jumlah jenis di lokasi A b = jumlah jenis di lokasi B


(35)

menggunakan rumus:

Keterangan:

- C = Indeks Dominasi

- ni = Jumlah individu jenis ke-i

- N = Jumlah total individu

Indeks Dominasi berhubungan terbalik dengan Keanekaragaman dan Kemerataan. Nilai Indeks Dominasi (C) berkisar antara 0-1. Jika C mendekati 1, berarti dalam populasi cenderung terjadi dominasi dari salah satu jenis yang ada, dan bila C mendekati 0 maka dalam populasi cenderung tidak terjadi dominasi.


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Lingkungan Gua

- Gua Petruk

Terletak sekitar 7 km selatan Taman Wisata Jatijajar di mana jalan yang beraspal baik menghubungkan keduanya (07o42.315LS/109o24.130BT). Untuk mencapai mulut gua harus ke bukit melalui jalan berundak sejauh lebih kurang 350 m. Pemandangan sebelum masuk kawasan Gua Petruk adalah deretan perbukitan batu gamping yang membentuk morfologi karst. Beberapa bukit yang berlereng curam dibatasi oleh struktur geologi batu gamping di kawasan ini berwarna putih kotor kekuningan atau coklat muda. Vegetasi di sekitar mulut gua cukup lebat, menunjukkan banyaknya air di bagian ini. Mulut Gua Petruk berbangun persegi, yang memanjang ke atas.

- Gua Liah

Terletak di sebelah selatan Gua Petruk dengan bentuk mulut guanya yang melengkung rendah dan sempit (07o42.392LS/109o23.838BT). Tinggi mulut gua hampir sama dengan Gua Petruk, yaitu sekitar 80 m di atas permukaan laut. Sebagai gua fosil, ornamen di dalamnya kurang berkembang. Beberapa ruangan yang cukup besar ukurannya dihubungkan dengan lorong-lorong sempit yang beratap tinggi. Stalakmit di dasar gua tersebar mengikuti stalaktit yang tumbuh berderet di atap gua. Sederetan stalaktit aktif yang berwarna putih berakhir pada sebuah pilar. Stalaktit itu tumbuh di bawah retakan atap gua. Sehingga kelurusannya akan mencirikan arah retakan yang memotong mulut gua


(37)

dan jarak dari pantai ± 10 Km. Tinggi mulut gua ± 8 meter, tinggi rata-rata ± 12 meter, lebar ± 15 meter dan panjang total gua ± 250 meter. Gua Jatijajar merupakan objek wisata andalan Kabupaten Kebumen yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Mulut gua yang tinggi dan lebar menyingkapkan lapisan batu gamping pejal yang kompak dan keras.

- Gua Intan

Gua Intan berada pada Desa Jatijajar dan terletak ± 500 m sebelah barat dari Gua Jatijajar dan berada pada (07o40.211LS/109o25.595BT) dan 74 meter di atas permukaan laut, merupakan gua alam fosil yang penuh dengan ornamen yang masih aktif. Sebuah stalaktit di dinding pintu masuk sebelah kanan dilingkupi oleh sedimen pasir lempungan berwarna merah kecoklatan yang mengandung fosil moluska. Sedimen tersebut merupakan sisa endapan gua yang menyingkap sejarah pembentukan gua. Moluska tersebut adalah binatang darat yang hidup di sekitar gua ketika terjadi aliran air hujan yang masuk ke dalam gua, bersama-sama dengan sedimen pasir dan lempung binatang itu terangkut kedalam gua. Saat terjadi banjir seluruh lorong gua terendam air, dan sebuah stalaktit yang terletak 3 m dari dasar gua ditutupi oleh sedimen tersebut. Pada musim hujan, dasar gua yang dilapisi oleh lempung cokelat tua yang cukup tebal menjadi basah. Sekelompok stalaktit yang menyatu dengan stalakmit membentuk pilar-pilar indah setinggi beberapa meter. Ornamen gua di bagian ini umumnya masih aktif.

4.2. Jumlah Penghitungan Populasi Kelelawar

Berdasarkan hasil penghitungan yang diulang sebanyak tiga kali, rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Petruk pada tanggal 28, 29 dan 30 Juni 2009 adalah ± 3927 ekor. Rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Jatijajar pada tanggal 1, 2, dan 3 Juli 2009 adalah ±


(38)

khusus, sedangkan Gua Jatijajar dikembangkan sebagai obyek wisata alam umum dengan berbagai sarana penunjang. Bahkan bagian dalam Gua Jatijajar telah diberi fasilitas jalan dan jembatan serta dilengkapi dengan deorama yang menggambarkan rangkaian cerita legenda Raden Kamandaka-Lutung Kasarung.

Jumlah kelelawar di Gua Petruk jauh lebih banyak dibandingkan dengan Gua Jatijajar, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pendukung kehidupan kelelawar yang berupa faktor biotik dan faktor abiotik Gua Petruk lebih mendukung perkembangan populasi kelelawar dibandingkan dengan Gua Jatijajar (Wijayanti, 2001). Menurut Altringham (1996), kondisi gua yang jauh dari kebisingan, gelap, lembab dan suhu yang stabil cocok sebagai tempat beristirahat dan bereproduksi kelelawar. Dengan kondisi demikian kelelawar dapat berlindung dari pemangsa, mencegah evaporasi, menjaga suhu tubuh dan berkembang biak dengan aman.

Menurut Griffin (1970) dalam Wijayanti (2001), dalam mencari makan kelelawar mempunyai kemampuan terbang dari tempat bertenggernya sejauh 60 km. Jarak antara Gua Petruk dengan Gua Jatijajar hanya ± 5 km, sehingga wilayah tempat pencarian makan kelelawar penghuni Gua Petruk dan Gua Jatijajar diperkirakan sama. Oleh karena itu, faktor makanan bukan merupakan penyebab adanya perbedaan jumlah populasi kelelawar di kedua gua.

Faktor biotik lain yang diduga mempengaruhi jumlah populasi kelelawar di Gua Petruk dan Gua Jatijajar adalah manusia. Jumlah pengunjung ke Gua Petruk jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Gua Jatijajar. Berdasarkan hasil pengamatan, para pengunjung tidak mengusik ataupun memburu kelelawar secara langsung, namun kebisingan yang ditimbulkannya diduga sangat mengganggu populasi kelelawar. Menurut Altringham (1996),


(39)

hari. Menurut Tidemann & Flavel (1987) dalam Wijayanti (2001), kelelawar memilih tempat bertengger pada pohon-pohon tinggi, cerobong asap, gedung-gedung tua dan gua untuk menghindari kebisingan yang disebabkan oleh manusia dan hewan lainnya.

Ukuran Gua Petruk yang lebih besar (panjang 350 m, lebar rata-rata 45 m) dibandingkan dengan Gua Jatijajar (panjang 250 m, lebar rata-rata 15 m) juga menyebabkan Gua Petruk menampung lebih banyak jenis fauna dibandingkan Gua Jatijajar, hal ini sesuai dengan pendapat Cox dan Moore (1995) yang menyatakan bahwa habitat yang luas menampung lebih banyak jenis makhluk hidup di dalamnya dibandingkan dengan habitat yang lebih sempit.

Lingkungan fisik ekosistem Gua Jatijajar juga telah berubah dari keadaan aslinya akibat pembangunan sarana penunjang pariwisata. Hal itu berbeda sekali dengan lingkungan fisik Gua Petruk yang dibiarkan seperti aslinya. Menurut Ehrlich dan Roughgarden (1987) dalam Wijayanti (2001), ekosistem yang secara fisik mantap memungkinkan tercapainya komunitas klimaks dalam suksesi sehingga terjadi penimbunan keragaman biologi yang tinggi, sedangkan ekosistem yang berubah karena suatu gangguan akan mengalami suksesi kembali (suksesi sekunder), sehingga komunitasnya jauh dari kondisi klimaks.

4.2. Jenis-jenis Kelelawar

Berdasarkan hasil penelitian selama bulan Juni-Juli 2009 di kawasan karst Gombong Selatan Kabupaten Kebumen didapatkan dari 4 gua yang diamati terdapat 79 individu yang terdiri dari 2 sub ordo: Megachiroptera yang hanya terdiri dari 1 famili (Pteropodidae) dengan 6 jenis kelelawar dan Microchiroptera yang terdiri dari 4 famili (Mollosidae, Hipposideridae, Rhinolophidae, dan Vespertilionidae) dengan 5 jenis kelelawar yang terdapat


(40)

Tabel 1. Jenis kelelawar yang tertangkap pada seluruh gua

No. Famili Jenis Nama Lokal Jumlah Individu (%)

Cynopterus horsfieldii Codot horsfieldi 2 2.53

C. brachyotis Codot krawar 15 18.98

C. titthaecheilus Codot besar 2 2.53

Eonycteris spelaea Lalai kembang 2 2.53

Rousettus amplexicaudatus Nyap biasa 3 3.80

1 Pteropodidae

Macroglossus sobrinus Cecadu pisang besar 4 5.07 2 Mollosidae Chaerephon plicata Tayo kecil 11 13.93

Hipposideros larvatus Barong horsfieldi 10 12.66 3 Hipposideridae

H. ater Barong Malaya 18 22.78

4 Rhinolophidae Rhinolophus affinis Prok bruk hutan 10 12.66 5 Vespertilionidae Miniopterus australis Tomosu australi 2 2.53

Jumlah 79 100

Keanekaragaman jenis kelelawar yang ditemukan pada seluruh gua terlampir pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil rekapitulasi tangkapan kelelawar pada seluruh gua

Lokasi Pengambilan No. Jenis

Gua Petruk Gua Liah Gua Jatijajar Gua Intan

1 Cynopterus horsfieldii X

2 C. brachyotis X X X

3 C. titthaecheilus X

4 Eonycteris spelaea X

5 Rousettus amplexicaudatus X X

6 Macroglossus sobrinus X

7 Chaerephon plicata X

8 Hipposideros larvatus X X X

9 H. ater X

10 Rhinolophus affinis X

11 Miniopterus australis X

Pengukuran parameter fisik pada saat pengambilan kelelawar di jalur terbang (pada masing-masing gua) terlampir pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter fisik

Parameter fisik Gua Petruk Gua Liah Gua Jatijajar Gua Intan


(41)

Ketinggian (m dpl) 78 83 81 74

4.3. Kunci Identifikasi Tingkat Famili Kelelawar

1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-

tumpul ... Pteropodidae b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-

runcing ... 2 2a. Tidak berekor, selaput kulit antarpaha tumbuh baik ... 3 b. Ekor ada ... 4 3a. Telinga besar dan panjang, telinga kanan dan kiri bersambung pada-

pangkalnya ... Megadermatidae b. Telinga tidak seperti 3a... Hipposideridae 4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ... 5 b. Tidak seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha... 8 5a. Tidak memiliki daun hidung ... Vespertilionidae b. Memiliki daun hidung... 6 6a. Ujung tulang ekor berbentuk seperti huruf T ... Nycteridae b. Ujung tulang ekor tidak seperti 6a ... 7 7a. Daun hidung belakang tumbuh baik sehingga berbentuk segitiga ...

... Rhinolophidae b. Daun hidung belakang tumpul ... Hipposideridae 8a. Ekor yang mencuat di tengah selaput kulit antar paha ... Emballonuridae b. Ekor yang bebas mencuat di ujung selaput kulit antarpaha ... 9 9a. Ekor yang bebas sangat panjang, lebih dari setengah panjang ekornya, ada


(42)

b. Ekor yang bebas lebih pendek, kurang dari setengah panjang ekor, tidak ada lipatan kulit seperti 8a. Lubang hidung agak bundar ... Molossidae

4.4. Kunci Identifikasi Kelelawar Karst Gombong Selatan

• Spesimen kelelawar dengan kode: P1, P2, P5-P11, P13-P14.

1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham

runcing ... 2

2b. Ekor ada ... 4

4b. Tidak seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ... 8

8b. Ekor yang bebas mencuat di ujung selaput kulit antar paha ... 9

9b. Ekor yang bebas lebih pendek, kurang dari setengah panjang ekor, lubang hidung agak bundar ... Molossidae Wajah ditumbuhi rambut-rambut kaku yang pendek dan hitam. Bibir sangat berkerut-kerut seperti dijahit, daun telinga tebal, bundar dan lebar (telinga bagian kanan dan kiri dihubungkan dengan selaput kulit). Dengan ciri-ciri tersebut di atas, spesimen kelelawar ini termasuk jenis Chaerephon plicata (Buchanan, 1800 dalam Cobert & Hill, 1992). • Spesimen kelelawar dengan kode: P16-P20, P22-P25, P32-P40. 1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham runcing ... 2

2b. Ekor ada ... 4

4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ... 5


(43)

Daun hidung anterior berbentuk seperti ladam kuda, bagian tengah daun hidung merupakan suatu bangunan daging yang berbentuk seperti bantal pendek, sedangkan daun hidung posterior membentuk struktur seperti kantong yang bersekat-sekat.

Jika dilihat dari karakteristik morfologi dan ukuran tubuhnya, spesimen ini adalah Hipposideros ater (Templeton, 1848 dalam Cobert & Hill, 1992).

• Spesimen kelelawar dengan kode: P21, P31, GJ1-GJ4, GJ8-GJ10, dan L8.

1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham

runcing ... 2

2b. Ekor ada ... 4

4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ... 5

5b. Memiliki daun hidung... 6

6b. Ujung ekor tidak seperti 6a ... 7

7b. Daun hidung belakang tumpul ... Hipposideridae Spesimen kelelawar ini adalah Hipposideros larvatus (Horsfield, 1823 dalam Cobert & Hill, 1992), Semua ciri-ciri morfologi mirip dengan H. ater, yang membedakan adalah ukuran tubuh dan bobotnya. H. larvatus jauh lebih besar dari H. ater dengan ukuran fore arm (lengan bawah sayap) 53,2-62,1 mm. • Spesimen kelelawar dengan kode: I1 dan I10. 1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham runcing ... 2


(44)

Ukuran tulang jari terakhir pada sayap nomor tiga, panjangnya lebih dari tiga kali panjang tulang jari pertama, telinga pendek bundar dengan lipatan di bagian belakang dengan tragus pendek tumpul melengkung sedikit ke arah depan, dan spesimen ini termasuk Miniopterus australis (Tomes, 1858 dalam Cobert & Hill, 1992).

• Spesimen kelelawar dengan kode: I2-I9, I11, dan I9.

1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham

runcing ... 2

2b. Ekor ada ... 4

4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha ... 5

5b. Memiliki daun hidung... 6

6b. Ujung ekor tidak seperti 6a ... 7 7a. Daun hidung belakang tumbuh baik sehingga berbentuk segitiga ...

... Rhinolophidae

Famili Rhinolophidae hanya terdiri dari satu genus tunggal yaitu Rhinolophus, memiliki ciri yaitu daun hidung kompleks yang terdiri dari daun hidung belakang yang berbentuk seperti segitiga; daun hidung tengah; dan daun hidung depan yang berbentuk tapal kuda, gigi seri atas kecil, ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha, tidak memiliki tragus sebagai gantinya terdapat antitragus.

Pada bagian dorsal tubuhnya berwarna coklat gelap dengan bagian kepala yang berwarna lebih gelap dibagian didekat telinga, bagian ventralnya lebih cerah dan merupakan spesies Rhinolophus affinis (Horsfield, 1823 dalam Cobert & Hill, 1992).


(45)

1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-

tumpul ... Pteropodidae

1b. Jari sayap kedua ada ... 4

4a. Gigi seri bawah ada ... 6

6b. Gigi seri bawah empat ... 12

12b. Gigi seri atas empat buah... 13

13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar... 14

14b. Ekor ada ... 19

19b. Geraham atas berjumlah lebih dari tiga ... 20

20b. Geraham atas berjumlah empat buah. Gigi seri tidak berbelah ujungnya, moncong pendek, hidung sedang berbentuk tabung... Cynopterus Ciri khas genus Cynopterus adalah tepi telinga berwarna putih. Spesimen ini memiliki tonjolan di tengah permukaan geraham bawah dan merupakan ciri khas jenis Cynopterus horsfieldii (Gray, 1843 dalam Cobert & Hill, 1992). • Spesimen kelelawar dengan kode P26-P30, GJ7, L2, L3, L5, L6, L9-L12, dan L16. 1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham- tumpul ... Pteropodidae 1b. Jari sayap kedua ada ... 4

4a. Gigi seri bawah ada ... 6

6b. Gigi seri bawah empat ... 12

12b. Gigi seri atas empat buah... 13


(46)

20b. Geraham atas berjumlah empat buah. Gigi seri tidak berbelah ujungnya, moncong pendek, hidung sedang berbentuk tabung...

Cynopterus

Spesimen ini adalah Cynopterus brachyotis (Muller, 1838 dalam Cobert & Hill, 1992). Memiliki bentuk wajah dan morfologi yang mirip dengan C. horsfieldii, adanya tepi telinga berwarna putih, hanya saja pada C. brachyotis tidak memiliki tonjolan di tengah permukaan geraham bawah yang merupakan ciri khas dari jenis Cynopterus horsfieldii.

• Spesimen kelelawar dengan kode GJ5 dan GJ6.

1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-

tumpul ... Pteropodidae

1b. Jari sayap kedua ada ... 4

4a. Gigi seri bawah ada ... 6

6b. Gigi seri bawah empat ... 12

12b. Gigi seri atas empat buah... 13

13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar... 14

14b. Ekor ada ... 19

19b. Geraham atas berjumlah lebih dari tiga ... 20 20b. Geraham atas berjumlah empat buah. Gigi seri tidak berbelah ujungnya, moncong pendek, hidung sedang berbentuk tabung...

Cynopterus

Spesimen ini termasuk Cynopterustitthaecheilus (Temminck, 1823 dalam Cobert & Hill, 1992). Hampir menyerupai dengan C. brachyotis, hanya saja memiliki ukuran yang


(47)

sekitar bahu yang lebih terang coklat kemerahan.

• Spesimen kelelawar dengan kode P12 danP15.

1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-

tumpul ... Pteropodidae

1c. Jari sayap kedua tidak bercakar... 2

2b. Punggung berambut, gigi seri dua pasang ... 3

3b. Berekor... Eonycteris Ciri-ciri yang paling mencolok dari genus Eonycteris adalah tidak ada cakar pada jari kedua sayap, moncong panjang, lidah panjang, rambut pendek halus seperti beludru. Lengan bawah sayap 60-81 mm, dan spesimen yang didapat termasuk jenis Eonycteris spelaea (Dobson, 1873 dalam Cobert & Hill, 1992). • Spesimen kelelawar dengan kode P41, L1 dan L4. 1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham- tumpul ... Pteropodidae 1b. Jari sayap kedua ada ... 4

4a. Gigi seri bawah ada ... 6

6b. Gigi seri bawah empat ... 12

12b. Gigi seri atas empat buah... 13

13b. Jarak antar gigi seri sebelah dalam tidak lebar... 14

14b. Ekor ada ... 19


(48)

dimana rambut tumbuh lebih panjang seperti jumbai. Warna permukaan atas tubuh kecoklatan, permukaan bawah coklat muda. Lengan bawah sayap 78-90 mm ... Rousettus

Spesimen ini termasuk Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy, 1810 dalam Cobert & Hill, 1992), memiliki ciri-ciri moncong panjang, tubuh berwarna kecoklatan dan memiliki bentuk permukaan kunyah M3 yang membundar.

• Spesimen kelelawar dengan kode L7, L13-L15.

1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham-

tumpul ... Pteropodidae

1b. Jari sayap kedua ada ... 4

4a. Gigi seri bawah ada ... 6

6b. Gigi seri bawah empat ... 12

12b. Gigi seri atas empat buah... 13 13a. Jarak antar gigi seri sebelah dalam sangat lebar. Gigi seri kecil-kecil. Moncong panjang dan ramping. Lidah sangat panjang, dua kali moncong. Tidak berekor atau kalau ada sangat pendek. Lengan bawah sayap 37-52 mm. Warna rambut coklat... Macroglossus

Spesimen ini termasuk Macroglossus sobrinus (Andersen, 1823 dalam Cobert & Hill, 1992), karena tidak memiliki alur pada tengah bibir atas dan tonjolan pelekatan belahan rahang bawah kanan dan kiri di sebelah dasar. (semua data pengukuran tubuh kelelawar tersaji pada lampiran 1).


(49)

kemampuan terbang yang dimiliki oleh kelelawar ini membuat kelelawar mendapatkan makanan jauh dari tempat bertenggernya.

Pada Tabel 1. Dapat terlihat bahwa kelelawar jenis Hipposideros larvatus memiliki persentase 12.66% dan Cynopterus brachyotis memiliki persentase 18.89%, jenis kelelawar ini hampir berada di semua gua yang diamati, baik pada jalur terbang sekitar Gua Petruk, Gua Liah dan Gua Jatijajar, ini menandakan bahwa daerah jelajah kelelawar ini tersebar secara merata pada semua tempat. Keberadaan kelelawar di semua tempat mungkin ini merupakan jalur terbangnya untuk mencari makan bagi kelelawar dn jika dilihat dari persentasenya yang cukup besar, dimungkinkan selain daerah jelajah yang luas, tetapi juga karena kebutuhan pakan untuk jenis ini cukup banyak.

Kelelawar jenis Rousettus amplexicaudatus memiliki persentase 3,80% dan terdapat pada jalur terbang di sekitar Gua Petruk dan Gua Liah, ini menandakan bahwa daerah jelajah kelelawar ini cukup luas juga tapi tidak seperti Hipposideros larvatus dan Cynopterus brachyotis, dilihat dari persentase yang kecil, ini dimungkinkan karena ketersediaan pakan untuk jenis ini terbatas.

R. amplexicaudatus berbeda dengan jenis-jenis dari famili Pteropodidae lainnya yang menggunakan mata untuk mengenali benda-benda disekitarnya. Jenis kelelawar ini menggunakan kemampuan ekholokasi untuk terbang dan mendeteksi benda disekitarnya sehingga dapat hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungan gua yang gelap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa jenis-jenis Rousettus telah diketahui memiliki sistem ekholokasi dan sering dijumpai di gua-gua, di lubang, dan bertengger di langit-langit yang tinggi (Cobert dan Hill, 1992.)


(50)

kelelawar-kelelawar ini memiliki daerah jelajah yang terbatas.

Kelelawar jenis Hipposideros ater dan Chaerephon plicata memiliki persentase 22,78% dan 13,93%, diduga walaupun daerah jelajahnya terbatas tapi dalam persentase paling banyak dibandingkan dengan jenis kelelawar lainnya yang cenderung sedikit jumlahnya (Cynopterus horsfieldii dan Eonycteris spelaea memiliki persentase hanya 2.53%), mungkin karena di jalur terbang sekitar Gua Petruk banyak ketersediaan makanan untuk kelelawar ini.

Kelelawar jenis Macroglossus sobrinus memiliki persentase 5.07% dan hanya terdapat pada jalur terbang sekitar Gua Liah, ini menandakan bahwa daerah jelajah kelelawar ini terbatas. Begitu pula juga dengan Cynopterus titthaecheillus yang hanya terdapat pada jalur terbang sekitar Gua Jatijajar; Rhinolophus affinis dan Miniopterus australis yang hanya terdapat pada jalur terbang sekitar Gua Intan. Semua kelelawar ini memiliki daerah jelajah yang terbatas.

4.5. Spesies Diversity Index

Gua Petruk memiliki nilai Indeks Keragaman Shannon-Weiner (H’) tertinggi yaitu 1.5024. Pada gua ini terdapat 7 jenis kelelawar yaitu Chaerephon plicata, Hipposideros larvatus, H. ater, Cynopterus brachyotis, C. horsfieldii, Eonycteris spelaea, dan Rousettus amplexicaudatus. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi jumlah individu tiap jenis dalam komunitas di Gua Petruk lebih seimbang dibanding dengan gua lainnya. Gua Intan memiliki nilai Indeks Keragaman Shannon-Weiner (H’) terendah dengan nilai sebesar 0.4504. Hal ini disebabkan karena pada gua tersebut hanya ditemukan 2 jenis kelelawar, yaitu Rhinolophus affinis dan Miniopterus australis.


(51)

populasi tiap-tiap jenis kelelawar pada gua ini cukup merata. Gua yang memiliki Indeks Kemerataan Shannon Evenness (E) terendah adalah Gua Intan dengan nilai sebesar 0.6497. Rendahnya nilai kemerataan ini dikarenakan pada gua tersebut hanya terdapat dua spesies kelelawar.

Gua yang memiliki nilai Indeks Dominasi Simpson (C) tertinggi dengan nilai sebesar 0.7220 adalah Gua Intan, hal ini dikarenakan pada gua tersebut hanya terdapat dua jenis kelelawar, sehingga secara otomatis terjadi dominasi populasi dari jenis yang ada. Gua yang memiliki Indeks Dominasi Simpson (C) terendah adalah Gua Petruk dengan nilai sebesar 0.2371.

Nilai indeks kemerataan berbanding terbalik dengan indeks dominasi. Semakin besar indeks kemerataan, maka populasi semakin merata dan cenderung tidak terjadi dominasi, sedangkan nilai dominasi yang semakin besar menunjukkan bahwa pada komunitas tersebut cenderung terjadi dominasi oleh salah satu jenisnya seperti pada Gua Intan yang hanya terdapat dua jenis kelelawar. Nilai Indeks Keragaman Jenis, Kemerataan Jenis dan Dominasi pada setiap gua disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Indeks Keragaman (H’), Kemerataan (E), dan Dominasi (C) pada setiap Gua.

No. Gua H’ E C

1. Petruk 1.5024 0.7717 0.2371

2. Liah 1.1032 0.7956 0.3984

3. Jatijajar 0.8016 0.7295 0.5400

4. Intan 0.4504 0.6497 0.7220


(52)

menyebabkan beberapa gua tidak dihuni oleh kelelawar. Berdasarkan pengukuran suhu dan kelembaban yan dilakukan pada setiap gua, dapat diketahui bahwa gua yang dihuni oleh kelelawar memiliki suhu dan kelembaban rata-rata sebesar ± 28.25oC dan ± 91.25%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Maryanto dan Mahadaratunkamsi (1991) yang menyatakan bahwa gua-gua yang dihuni oleh kelelawar umumnya memiliki suhu yang rendah dan kelembaban tinggi.

Pada Tabel 3. dapat dilihat pengaruh parameter fisik terhadap tempat pengambilan sampel. Dapat dijelaskan bahwa semua kelelawar yang didapat memiliki suhu rata-rata ±28.25, suhu yang stabil dan cocok untuk kelelawar (tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas), ini dikarenakan kelelawar merupakan hewan berdarah panas (termoregulasi). Suhu yang terdapat di jalur terbang sekitar Gua Petruk stabil sehingga banyak keragaman jenis kelelawar yang terdapat di tempat ini. Berbeda dengan di Gua Jatijajar, Gua Liah dan Gua Intan yang memiliki suhu yang tinggi dan rendah sehingga hanya beberapa jenis saja yang didapat.


(53)

4.2. Jumlah Penghitungan Populasi Kelelawar Pada Setiap Gua

Berdasarkan hasil penghitungan yang diulang sebanyak tiga kali, rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Petruk pada tanggal 28, 29 dan 30 Juni 2009 adalah ± 3927 ekor. Jumlah kelelawar di Gua Petruk jauh lebih banyak dibandingkan dengan Gua Intan, Gua Jatijajar, dan Gua Liah. Gua ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pendukung kehidupan kelelawar yang berupa faktor biotik dan faktor abiotik Gua Petruk lebih mendukung perkembangan populasi kelelawar dibandingkan dengan gua-gua lainnya (Wijayanti, 2001). Menurut Altringham (1996), kondisi gua yang jauh dari kebisingan, gelap, lembab dan suhu yang stabil sesuai sebagai tempat beristirahat dan bereproduksi kelelawar. Dengan kondisi demikian kelelawar dapat berlindung dari pemangsa, mencegah evaporasi, menjaga suhu tubuh dan berkembang biak dengan aman.


(54)

Ahlen, I. 1993. The Bats Fauna of Some Isolated Island in Scandinavia. Oikos, (41) : 352-358.

Altringham, J. D. 1996. Bats Biology and Behaviour. Oxford University Press. New York. Apriandi, J. 2004. Keanekaragaman dan Kekerabatan Jenis Kelelawar Berdasarkan Kondisi

Fisik-Mikroklimat Tempat Bertengger Pada Beberapa Gua di Kawasan Gua Gudawang. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Boedi, A. M. dan A. Suyanto. 1983. An Insectivorous bat, Tadarida plicata (Buchanan) (Microchiroptera: Molossidae) as a possible component in biological control of insects. Biotrop. Spec. Publ.18: 245-247.

Ceave, A. 1999. Bats a Portrait of The Animal World. TODTRI Book publishers. New York. Cobert, G. B. dan J. E. Hill. 1992. The Mammals of The Indomalaya Region: A Systematic

Review. Oxford University Press. Oxford.

Elangovan, V., G. Marimuthu dan T. H. Kunz. 2000. Nectar Feeding Behaviour in The Short-Nosed Fruit Bat Cynopterus sphinx (Chiroptera:Pteropodidae). Acta Chiropterologica, 2 (1): 1-5.

Hill, J. E. dan J. D. Smith. 1984. Bats: A Natural History. British Museum (Natural History) Cromwell Road. London.

Kingston, T., G. Jones., Z. Akbar dan T. H. Kunz. 2000. Resource Partitioning in Rhinolophoid Bats Revisited. Oecologia, 124: 332-342.

Kingston, T., B.L Liem., dan Z. Akbar. 2006. Bats of Krau Wildlife Reserve. Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi.

Kitcheneer, D. J., A. M. Boedi., L. Charlton., dan Mahadaratunkamsi. 1990. Wild Mammals of Lombok Island Nusa Tenggara, Indonesia: Systematic and Natural History. Western Australian Museum.

Kitcheneer, D. J., A. M. Boedi., L. Charlton., dan Mahadaratunkamsi. 2002. Mamalia Pulau Lombok. Puslit Biologi-LIPI, The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Bogor.

KPG ”Hira” Himakova. 2004. Ekspedisi Gua Gimbar Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kelompok Pemerhati Gua ”Hira” Himakova Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.


(55)

Lopez, J. E., dan C. Voughan. 2007. Food Niche Overlap Among Neotropical Frogivorous Bats in Costa Rica. Biological Tropical, 55 (1): 301-313.

Ludwig, J. A. dan J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer On Methods And Computing. John Wiley & Sons Inc. USA.

Maryanto, I dan Mahadaratunkamsi. 1991. Kecenderungan jenis-jenis kelelawar dalam memilih tempat bertengger pada beberapa gua di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa. Media Konservasi III, (3): 29-34.

Noerdjito dan I. Maryanto. 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus dilindungi oleh dan untuk Masyarakat Indonesia. LIPI dan ICRAF. Bogor.

Nowak, R. M. 1995. Bats of The World. The Johns Hopkins University Press. Baltimore & London.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. H. Freeman and Co. San Fransisco.

Primack, R.B., J. Supriatna., M. Indrawan., dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Rahmadi, C. 2007. Arthropoda Gua Karst Maros (Sulawesi) & Gunung Sewu (Jawa): Melintas Garis Wallace. Fauna Indonesia, vol 7 (2): 1-6.

Rianti, I. P. 2006. Keanekaragaman Jenis Dan Pola Penggunaan Ruang Bertengger Kelelawar Di Beberapa Gua Di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Skripsi: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riswan, S., M. Noerdjito dan I. Rachman. 2006. Vegetasi Hutan Karst: Kasus Kawasan

Gombong Selatan Ayah Kebumen, Jawa Tengah. PUSLIT Biologi LIPI. Bogor. Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia. Pengelolaan dan

Perlindungannya. Publikasi khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 25: 1-317.

Sesni, H. 2008. Identifikasi Serbuk Sari Tumbuhan yang Terdapat pada Saluran Pencernaan Kelelawar Penyerbuk Bunga (Eonycteris spelaea, Dobson 1872) di Goa Lalay Kabupaten Tasikmalaya dan Goa Bau Kabupaten Karawang. Skripsi: Program Studi Biologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.

Sinaga. M., A. S. Ahmadi dan I. Maryanto. 2006. Peran Kelelawar Gua Dalam Keseimbangan Ekosistem. Manajemen Bioregional: Karst, Masalah Dan Pemecahanannya. (Editor: Ibnu Maryanto, Mas Noerdjito dan R. Ubaidillah). Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor


(56)

Tidemen, C. R. dan S. C. Flavel. 1987. Factor Affecting Choice of Diurnal Roost Site By Tree Hole Bats (Microchiroptera) in South-Eastern Australia. Australian Wildlife Research, 14 (4): 459-473.

Turttle, M. D. 2000. Where The Bats Are-Part III: Caves, Cliffs, and Rock Crevices. http://www.batcon.org.

Wijayanti. F. 2001. Komunitas Fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar Kabupaten Kebumen. Tesis: Program Studi BiologiUniversias Indonesia. Jakarta.

Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja., dan S. Arifin. 1999. Ekologi Jawa dan Bali.

Prehallindo. Jakarta.

Wiyatna, M. F. 2003. Potensi Indonesia sebagai penghasil pospat guano

kelelawar.

Makalah Falsafah Sains Program Pascasarjana/S3. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.


(57)

(1)

Terbentuknya pola penyebaran jenis kelelawar yang bervariasi pada setiap gua diduga berkaitan erat dengan kondisi fisik dan mikroklimat di dalam gua, hal ini pula yang menyebabkan beberapa gua tidak dihuni oleh kelelawar. Berdasarkan pengukuran suhu dan kelembaban yan dilakukan pada setiap gua, dapat diketahui bahwa gua yang dihuni oleh kelelawar memiliki suhu dan kelembaban rata-rata sebesar ± 28.25oC dan ± 91.25%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Maryanto dan Mahadaratunkamsi (1991) yang menyatakan bahwa gua-gua yang dihuni oleh kelelawar umumnya memiliki suhu yang rendah dan kelembaban tinggi.

Pada Tabel 3. dapat dilihat pengaruh parameter fisik terhadap tempat pengambilan sampel. Dapat dijelaskan bahwa semua kelelawar yang didapat memiliki suhu rata-rata ±28.25, suhu yang stabil dan cocok untuk kelelawar (tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas), ini dikarenakan kelelawar merupakan hewan berdarah panas (termoregulasi). Suhu yang terdapat di jalur terbang sekitar Gua Petruk stabil sehingga banyak keragaman jenis kelelawar yang terdapat di tempat ini. Berbeda dengan di Gua Jatijajar, Gua Liah dan Gua Intan yang memiliki suhu yang tinggi dan rendah sehingga hanya beberapa jenis saja yang didapat.


(2)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Jumlah Penghitungan Populasi Kelelawar Pada Setiap Gua

Berdasarkan hasil penghitungan yang diulang sebanyak tiga kali, rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Petruk pada tanggal 28, 29 dan 30 Juni 2009 adalah ± 3927 ekor. Jumlah kelelawar di Gua Petruk jauh lebih banyak dibandingkan dengan Gua Intan, Gua Jatijajar, dan Gua Liah. Gua ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pendukung kehidupan kelelawar yang berupa faktor biotik dan faktor abiotik Gua Petruk lebih mendukung perkembangan populasi kelelawar dibandingkan dengan gua-gua lainnya (Wijayanti, 2001). Menurut Altringham (1996), kondisi gua yang jauh dari kebisingan, gelap, lembab dan suhu yang stabil sesuai sebagai tempat beristirahat dan bereproduksi kelelawar. Dengan kondisi demikian kelelawar dapat berlindung dari pemangsa, mencegah evaporasi, menjaga suhu tubuh dan berkembang biak dengan aman.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahlen, I. 1993. The Bats Fauna of Some Isolated Island in Scandinavia. Oikos, (41) : 352-358.

Altringham, J. D. 1996. Bats Biology and Behaviour. Oxford University Press. New York. Apriandi, J. 2004. Keanekaragaman dan Kekerabatan Jenis Kelelawar Berdasarkan Kondisi

Fisik-Mikroklimat Tempat Bertengger Pada Beberapa Gua di Kawasan Gua Gudawang. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Boedi, A. M. dan A. Suyanto. 1983. An Insectivorous bat, Tadarida plicata (Buchanan) (Microchiroptera: Molossidae) as a possible component in biological control of insects. Biotrop. Spec. Publ.18: 245-247.

Ceave, A. 1999. Bats a Portrait of The Animal World. TODTRI Book publishers. New York. Cobert, G. B. dan J. E. Hill. 1992. The Mammals of The Indomalaya Region: A Systematic

Review. Oxford University Press. Oxford.

Elangovan, V., G. Marimuthu dan T. H. Kunz. 2000. Nectar Feeding Behaviour in The Short-Nosed Fruit Bat Cynopterus sphinx (Chiroptera:Pteropodidae). Acta Chiropterologica, 2 (1): 1-5.

Hill, J. E. dan J. D. Smith. 1984. Bats: A Natural History. British Museum (Natural History) Cromwell Road. London.

Kingston, T., G. Jones., Z. Akbar dan T. H. Kunz. 2000. Resource Partitioning in Rhinolophoid Bats Revisited. Oecologia, 124: 332-342.

Kingston, T., B.L Liem., dan Z. Akbar. 2006. Bats of Krau Wildlife Reserve. Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi.

Kitcheneer, D. J., A. M. Boedi., L. Charlton., dan Mahadaratunkamsi. 1990. Wild Mammals of Lombok Island Nusa Tenggara, Indonesia: Systematic and Natural History. Western Australian Museum.

Kitcheneer, D. J., A. M. Boedi., L. Charlton., dan Mahadaratunkamsi. 2002. Mamalia Pulau Lombok. Puslit Biologi-LIPI, The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Bogor.

KPG ”Hira” Himakova. 2004. Ekspedisi Gua Gimbar Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kelompok Pemerhati Gua ”Hira” Himakova Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.


(4)

Kunz, T. H. dan E. D. Pierson, 1991. Bats of The World : An Introduction. The John Hopkins University Press. London.

Lopez, J. E., dan C. Voughan. 2007. Food Niche Overlap Among Neotropical Frogivorous Bats in Costa Rica. Biological Tropical, 55 (1): 301-313.

Ludwig, J. A. dan J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer On Methods And Computing. John Wiley & Sons Inc. USA.

Maryanto, I dan Mahadaratunkamsi. 1991. Kecenderungan jenis-jenis kelelawar dalam memilih tempat bertengger pada beberapa gua di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa. Media Konservasi III, (3): 29-34.

Noerdjito dan I. Maryanto. 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus dilindungi oleh dan untuk Masyarakat Indonesia. LIPI dan ICRAF. Bogor.

Nowak, R. M. 1995. Bats of The World. The Johns Hopkins University Press. Baltimore & London.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. H. Freeman and Co. San Fransisco.

Primack, R.B., J. Supriatna., M. Indrawan., dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Rahmadi, C. 2007. Arthropoda Gua Karst Maros (Sulawesi) & Gunung Sewu (Jawa): Melintas Garis Wallace. Fauna Indonesia, vol 7 (2): 1-6.

Rianti, I. P. 2006. Keanekaragaman Jenis Dan Pola Penggunaan Ruang Bertengger Kelelawar Di Beberapa Gua Di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Skripsi: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riswan, S., M. Noerdjito dan I. Rachman. 2006. Vegetasi Hutan Karst: Kasus Kawasan

Gombong Selatan Ayah Kebumen, Jawa Tengah. PUSLIT Biologi LIPI. Bogor. Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia. Pengelolaan dan

Perlindungannya. Publikasi khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 25: 1-317.

Sesni, H. 2008. Identifikasi Serbuk Sari Tumbuhan yang Terdapat pada Saluran Pencernaan Kelelawar Penyerbuk Bunga (Eonycteris spelaea, Dobson 1872) di Goa Lalay Kabupaten Tasikmalaya dan Goa Bau Kabupaten Karawang. Skripsi: Program Studi Biologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.

Sinaga. M., A. S. Ahmadi dan I. Maryanto. 2006. Peran Kelelawar Gua Dalam Keseimbangan Ekosistem. Manajemen Bioregional: Karst, Masalah Dan Pemecahanannya. (Editor: Ibnu Maryanto, Mas Noerdjito dan R. Ubaidillah). Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor


(5)

Suyanto, A. 2003. Kelelawar pemakan buah dan Taman Nasional Gunung Halimun. Zoo Indonesia, 5 (2): Hal 31 – 40.

Tidemen, C. R. dan S. C. Flavel. 1987. Factor Affecting Choice of Diurnal Roost Site By Tree Hole Bats (Microchiroptera) in South-Eastern Australia. Australian Wildlife Research, 14 (4): 459-473.

Turttle, M. D. 2000. Where The Bats Are-Part III: Caves, Cliffs, and Rock Crevices.

http://www.batcon.org.

Wijayanti. F. 2001. Komunitas Fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar Kabupaten Kebumen. Tesis: Program Studi Biologi Universias Indonesia. Jakarta.

Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja., dan S. Arifin. 1999.

Ekologi Jawa dan Bali

.

Prehallindo. Jakarta.

Wiyatna, M. F. 2003. Potensi Indonesia sebagai penghasil pospat guano

kelelawar.

Makalah Falsafah Sains Program Pascasarjana/S3

. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.


(6)