Kinerja Aparatur Dinas Pertenakan Provinsi Jawa Barat Dalam meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut kemudian berkembang dan direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Otonomi Daerah. Peraturan ini merupakan konsep pemerintahan desentralistik.

Penyelenggaraan asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksud untuk memberikan kesempatan dan keleluasan kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi dilaksanakan berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aparatur memiliki peranan strategis dalam menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Peranan aparatur tersebut sesuai dengan tuntutan zaman terutama untuk menjawab tantangan masa depan. Aparatur yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi tantangan masa depan. Kemampuan untuk melaksanakan setiap tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik.


(2)

Hal lainnya adalah mampu memelihara dan mengembangkan kecakapan dan kemampuannya secara berkesinambungan. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas pimpinan pada setiap organisasi pemerintahan untuk memelihara dan membina semua aparatur agar dapat lebih berkualitas dalam rangka pencapaian tujuan.

Pengelolaan sumber daya manusia terkait dan mempengaruhi kinerja instansi pemerintahan dengan cara menciptakan nilai atau menggunakan keahlian sumber daya manusia yang berkaitan dengan praktek manajemen dan sasarannya cukup luas, tidak hanya terbatas aparatur pemerintah saja semata, namun juga meliputi tingkatan pemimpin.

Pencapaian tujuan dari setiap organisasi pemerintahan juga didukung oleh kinerja dari setiap aparaturnya. Kinerja yang tinggi timbul apabila seseorang bersikap dan memandang kerja sebagai sesuatu hal yang luhur untuk eksistensi manusia. Hal ini dijadikan sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbuat sesuatu untuk masyarakat. Sebaliknya kinerja yang rendah terjadi apabila seseorang tidak mempunyai pandangan atau sikap terhadap kerja dan memandang kerja yang dilakukan asal dilakukan saja.

Masalah sumber daya manusia masih menjadi sorotan dan tumpuhan bagi setiap instansi pemerintahan untuk tetap dapat bertahan di era globalisasi. Sumber daya manusia mempunyai peran utama dalam setiap kegiatan perusahaan. Walaupun didukung dengan sarana dan


(3)

prasarana serta sumber dana yang berlebihan, tetapi tanpa dukungan sumber daya manusia yang andal kegiatan perusahaan tidak akan terselesaikan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia merupakan kunci pokok yang harus diperhatikan dengan segala kebutuhannya. Sebagai kunci pokok, sumber daya manusia akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan perusahaan. Tuntutan perusahaan untuk memperoleh, mengembangkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas semakin mendesak sesuai dengan dinamika lingkungan yang selalu berubah.

Sumber daya manusia merupakan aspek yang sangat penting di dalam pembangunan, disamping unsur lainnya seperti bahan, modal, dan teknologi. Pembangunan nasional dapat tercapai dengan baik, apabila ditunjang oleh sumber daya manusia yang handal. Sumber daya manusia merupakan unsur yang sangat penting untuk tercapainya keberhasilan pembangunan. Peran yang begitu besar sumber daya manusia sebagai pelaku utama dan juga merupakan input dari proses produksi dalam pembangunan akan tercapai apabila faktor-faktor penunjang optimalisasi peran tersebut tercapai. Salah satu faktor yang menentukan peran SDM adalah kinerja. Jika aparatur dalam organisasi atau perusahaan mempunyai kinerja yang baik, maka diharapkan akan mempunyai kontribusi positif terhadap organisasi atau perusahaan. Kinerja aparatur sangat ditentukan oleh seberapa baik pengetahuan dan keterampilan


(4)

yang dimiliki aparatur dan memfasilitasi penyelesaian atau pencapaian kinerja mereka, diklat berkorelasi positif dengan kinerja pegawai.

Keseluruhan aspek penilaian tersebut di ibaratkan bahwa semua aparatur memiliki tingkat kemampuan dan latar belakang yang sesuai dengan tuntutan kerja sebagaimana diatur dalam tugas pokok dan fungsi dari instansi tersebut. Penilaian kinerja aparatur yang merupakan cara pembinaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi perlu dilakukan dengan prinsip-prinsip pembinaan personil yang tepat sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini tidak dianut didalam sistem penilaian kinerja yang dilakukan oleh instansi pemerintah, disamping itu jarak antara pekerjaan dan penilaian kinerja selama satu tahun sangat kesulitan dalam penilaian, hal ini akan berakibat bahwa sipenilai tidak lagi obyektif dalam menilai anak buahnya bahkan yang ditemukan dilapangan penilaian kinerja aparatur justru diisi oleh pegawai yang dinilai sedangkan atasannya yang mempunyai hak untuk menilai hanya melegalkan hasil dari penilaian tersebut.

Kinerja merupakan suatu proses untuk mencapai suatu hasil. Berbicara mengenai kinerja personil serta kaitannya dengan cara mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang, maka perlu ditetapkan standar kinerja atau standar performance. Standar kinerja perlu diatur adalah seluruh kinerja organisasi, unit-unit organisasi yang mendukungnya, serta kinerja orang yang berperan didalamnya. Unsur


(5)

utama yang harus dinilai kinerjanya adalah unsur manusia atau aparatur, karena pegawai yang berperan dalam menentukan kinerja organisasi.

Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan untuk masyarakat.

Kemampuan untuk menyediakan dan memberikan layanan publik yang berkualitas dan tepat sasaran merupakan salah satu faktor penting keberhasilan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut meberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkembang dan berubah secara dinamis. Peranan dan cara kerja pemerintah harus berubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Pelayanan umum pemerintah yang melibatkan seluruh aparatur pemerintah semakin terasa dengan adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak atas pelayanan yang berkualitas.

Pelayanan publik menjadi suatu tolak ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Masyarakat dapat langsung menilai kinerja pemerintah berdasarkan kualitas layanan publik yang diterima, karena kualitas layanan publik menjadi kepentingan banyak orang dan dampaknya


(6)

langsung dirasakan masyarakat dari semua kalangan, dimana keberhasilan dalam membangun kinerja pelayanan publik secara profesional, efektif, efisien dan akuntabel akan mengangkat citra positif aparatur pemerintah di mata masyarakatnya.

Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Instansi Pemerintahan Kota Bandung yang bergerak bersama dalam roda pembangunan. Fungsi dan peran Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam penyelenggaraan pembangunan daerah sangat strategis, khususnya dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang peternakan berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Dengan adanya pembangunan akan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Agar tujuan tercapai, pembangunan dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.


(7)

Kinerja aparatur yang baik akan mendukung pelaksanaan pembangunan di Kota Bandung. Penilaian kinerja aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat juga digunakan untuk mengukur perilaku kerja dan kemampuan setiap aparatur atau unit kerja dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi. Penilaian kinerja juga dapat menumbuhkan pengembangan perilaku dan motivasi. Perilaku dan motivasi yang terbangun akan membantu pencapaian tujuan organisasi.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengangkat permasalahan tentang kinerja aparatur, oleh karena itu penulis mengambil judul Kuliah Kerja Lapangan mengenai “Kinerja Aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka untuk memperjelas fokus masalah yang akan dipaparkan. Penulis menyusun identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik?

2. Bagaimana tanggung jawab aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik?

3. Bagaimana kedisiplinan aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik?


(8)

4. Bagaimana inisiatif aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik?

1.3 Maksud dan Tujuan Laporan KKL

Maksud dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kinerja aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sedangkan tujuan dari Laporan KKL ini sebagai berikut: 1. Untuk Mengetahui efektivitas aparatur Dinas Peternakan Provinsi

Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. 3. Untuk mengetahui kedisiplinan aparatur Dinas Peternakan Provinsi

Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

4. Untuk mengetahui inisiatif aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

1.4 Kegunaan Laporan KKL

Hasil laporan kuliah kerja lapangan ini diharapkan memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis, sebagai berikut:

1. Bagi kepentingan penulis, hasil tulisan ini dapat berguna untuk menambah pengalaman, wawasan, pengetahuan dan memahami kinerja aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, sehingga dapat memperoleh


(9)

gambaran mengenai kesesuaian fakta dilapangan dengan teori yang ada.

2. Secara teoritis, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan perkembangan ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan khususnya teori-teori dalam bidang Ilmu Pemerintahan yang terkait dengan kinerja aparatur dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan untuk melakukan pelayanan yang baik bagi masyarakat sebagai abdi masyarakat

3. Secara praktis, diharapkan penulisan ini dapat bermanfaat untuk aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualiatas pelayanan publik.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perubahan model sentralisasi menjadi desentralisasi menyebabkan pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengurusi rumah tangganya sendiri. Desentralisasi menghasilkan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Pemerintah daerah lebih dituntut untuk menyelenggarakan urusan daerah dalam rangka pembangunan daerah. Penyelenggaraan urusan daerah berawal dari perencanaan pembangunan daerah. Aparatur pelaksana perencanaan pembangunan daerah merupakan pihak yang menjadi pondasi pembangunan daerah. Kinerja aparatur tersebut akan menentukan kelancaran pembangunan di daerah.


(10)

Kinerja para aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat pada saat ini membutuhkan tenaga kerja yang terampil dalam semua bidang. Oleh karena itu, pelaksanaan harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia terhadap kinerja aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kualiatas pelayanan publik. Faktor sumber daya manusia merupakan salah satu indikator terwujudnya kinerja yang baik pada organisasi, khususnya di Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.

Menurut Sedarmayanti dalam bukunya yang berjudul Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja mendefinisikan Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, unjuk kerja atau penampilan kerja. (Sedarmayanti, 2001:50).

Berdasarkan pendapat di atas, kinerja adalah penampilan yang melakukan, menggambarkan dan menghasilkan sesuatu hal, baik. Sesuatu yang dihasilkan tersebut bersifat fisik dan non fisik yang sesuai dengan petunjuk, fungsi dan tugasnya yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi. Keterampilan dilaksanakan dalam proses pencapaian kerja.

Hasibuan memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah “evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan” (Hasibuan, 2001:88). Penilaian kinerja merupakan wahana


(11)

untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi.

Berdasarkan pendapat hasibuan diatas, kinerja adalah sikap terhadap evaluasi diri pada jati diri yang bersifat membangun untuk mendapatkan hasil yang baik untuk suatu organisasi agar terciptanya aparatur yang terampil dalam organisasi tersebut.

Sejalan dengan pendapat Hasibuan, Prawirosentono mengemukakan beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, yaitu:

1. Efektivitas

2. Otoritas dan tanggung jawab 3. Disiplin

4. Inisiatif

(Prawirosentono, 1999:27)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa:Pertama, Efektivitas adalah merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan. Kedua, Otoritas dan tanggung jawab adalah merupakan kesanggupan seorang aparatur negeri sipil menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya. Ketiga,Disiplin adalah merupakan suatu bentuk ketaatan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan disiplin terdiri atas dua jenis disiplin, yaitu disiplin waktu dan disiplin perbuatan. Kedua jenis disiplin tersebut


(12)

merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan serta saling mempengaruhi. Disiplin waktu tanpa disertai disiplin kerja tidak ada artinya, dengan kata lain tidak ada hasil sesuai dengan ketentuan organisasi. Sebaliknya disiplin kerja tanpa didasari dengan disiplin waktu tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu usaha pendisiplinan tidak dapat dilakukan separuh-separuh melainkan harus serentak kedua-duanya. Keempat,Inisiatif adalah kualitas kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa harus disuruh atau diberitahu.

Penyampaian Informasi pemerintahanmempunyai keterkaitan dengan pelayanan dikarenakan penyampaian informasi merupakan bentuk dari pelayanan oleh pemerintah dalam hal kebutuhan akan informasi. Pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain, pelayanan juga merupakan suatu hal, cara atau hasil pekerjaan melayani yang setiap kegiatannya dilakukan dalam suatu kumpulan yang menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat. Menurut pendapat Sampara yang dikutip oleh Lijan Poltak Sinambela dalam bukunya Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi mendefinisikan, pelayanan sebagai berikut:

“Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan”.

(Sinambela, 2006:5).

Kebutuhan akan informasi yang di perlukan membuat orang memerlukan pelayanan yang serba cepat, akurat, efektif dan efesien. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan(melayani)


(13)

keperluan orang atau masyarakat yang mempunyaikepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Mengenai peran dan fungsi pemerintahan dalam pelayanan dijelaskan oleh Arief Budiman sebagai berikut:

“Sebagaimana fungsi pemerintah dalam melakukan pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan umum.Negara yang dijalankan melalui pemerintahannya mempunyai misi tersendiri yaitu menciptakan masyarakat yang lebih baik dari sekarang”. (Budiman dalam Wiryatmi, 1996:2).

Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa kegiatan pelayanan oleh pemerintah, merupakan fungsi utama sebagai upaya untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian pemerintah memiliki peran dan fungsi melakukan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.

Secara singkat, kerangka pemikiran di atas dapat dilihat secara jelas dalam model kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 1.1

Model Kerangka Pemikiran Kinerja Aparatur Dinas Peternakan

Provinsi Jawa Barat

Pelayanan Publik yang Baik Disiplin Otoritas dan

tanggung jawab


(14)

1.6 Metode Penulisan 1.6.1 Metode Laporan KKL

Metode Laporan KKL yang digunakan untuk mengemukakan tata kerja dalam suatu kegiatan Laporan KKL melalui Metode Laporan KKL yang penulis gunakan adalah metode penulisan deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisa yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data berdasarkan keadaan atau fenomena yang nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanapiah Faisal dalam bukunya Format-Format Penulisan Sosial, mendefinisikan pengertian penulisan deskriptif (descriptive research), sebagai berikut:

“Untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak menggunakan dan tidak melakukan pengujian hipotesis, berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori”

(Faisal, 1999:20).

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan adalah kualitatif. Menurut Sugiyono metode penulisan kualitatif adalah:

“Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2005:1).

Penulis menggunakan metode deskriftif, karena penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang Kinerja Aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik.


(15)

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan cara-cara untuk memperoleh data dan keterangan yang diperlukan dalam penulisan. Metode yang digunakan untuk menunjang Laporan KKL ini sebagai berikut:

1. Observasi partisipan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara peneliti berada di dalam subjek yang diteliti dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, sehingga peneliti dapat lebih mudah mengamati tentang data dan informasi yang diharapkan. Penulis meneliti tentang Kinerja Aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik.

2. Studi Pustaka, yaitu cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan Kinerja Aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik.

1.6.3 Teknik Analisa Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data.Untuk menganalisa data yang diperoleh dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu penelitian kualitatif. Menurut Moleong bahwa:


(16)

“Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain” (Moleong, 2005: 248).

Sesuai dengan definisi di atas, analisis data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan berdasarkan data yang ada.kemudian data dipilih dan dikelola berdasarkan jenisnya. Pola analisis ditentukan berdasarkan temuan data.Setelah dipelajari, maka hasil analisis tersebut disimpulkan. Kesimpulan analisis tersebut merupakan informasi yang dapat disampaikan kepada orang lain.

Menurut Winarno, bahwa analisa data dalam penelitian deskriptif mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data: dilakukan dengan teknik dokumentasi atau penelitian kepustakaan untuk memperoleh baik data primer maupun sekunder. Kemudian pengamatan tentang peranan aparatur dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Yang terakhir dengan pelengkap wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.

2. Penilaian data: pada tahap ini masalahnya adalah validitas dan obyektifitas sehingga perlu melakukan kategorisasi data primer dan sekunder dengan pencatatan serta mereduksi data sekunder, kemudian diseleksi agar relevan dengan masalah penelitian.

3. Interpretasi data: yakni memberikan penilaian (penafsiran), menjelaskan pola atau kategori serta mencari dan menggambarkan


(17)

hubungan pengaruh antar berbagai konsep. Langkah ini dilakukan berdasarkan pemahaman intelektual dalam arti dibangun berdasar pengamatan empiris. Untuk ini, memerlukan seperangkat konsep yang telah tersusun, yang dalam penelitian ini berupa teori-teori tentang peranan aparatur, kualitas pelayanan publik dan e-Government.

4. Menarik kesimpulan atau generalisasi: yaitu ditujukan untuk menjawab pertanyaan dalam permasalahan yang dirumuskan dengan melihat dasar analisis yang dilakukan, kemudian disusul dengan komentar terhadap hasil kesimpulan.(Winarno, 1985:133)

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berdasarkan pada pengumpulan data. Pengumpulan data primer maupun data sekunder berdasarkan dokumentasi atau penelitian. Penilaian data untuk menyeleksi kategorisasi data primer atau data sekunder. Interpretasi data dilakukan untuk menafsirkan data-data yang ditemui di lapangan. Kesimpulan dihasilkan berdasarkan generalisasi dari pertanyaan-pertanyaan tentang permasalahan.

1.7 Lokasi dan Jadwal Laporan KKL

Laporan KKL ini dilaksanakan di Kantor Dinas Peternakan Jawa Barat, yang berada di Jln. Ir. H. Juanda No.358 Bandung. Telepon (022) 2501151.


(18)

Adapun waktu Laporan KKLyang dilakukan dimulai dari observasi awal sampai dengan pengumpulan laporan kuliah kerja lapangan ini dapatdilihat dalam tabelberikut:

Tabel 1.1 Jadwal Penelitian

Waktu Kegiatan

Tahun 2011

Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov

Observasi lokasi KKL Pengajuan Judul KKL Penyusunan Usulan Penelitian

Bimbingan Laporan KKL Pelaksanaan KKL


(19)

19 2.1 Pengertian Kinerja

Kinerja dalam sebuah organisasi merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan tugas organisasi, baik itu dalam lembaga pemerintahan maupun swasta. Kinerja berasal dari bahasa job performance atau actual perpormance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang atau suatu institusi). Kamus bahasa Indonesia. Berikut pengertian kinerja:

“Menurut Awar Prabu Mangku Negara dalam bukunya yang berjudul evaluasi kinerja sumber daya manusia kinerja sumberdaya manusia adalah prestasi kerja atau hasil kerja output baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai dalam persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. (Mangku Negara 2005:9)

Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi pemerintahan tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. kinerja tidak lepas dari faktor yang mempengaruhi. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sebagaimana yang dikemukakan oleh Keith Davis dalam buku Anwar Prabu Mangku Negara.

1. Faktor Kemampuan Ability

Secara psikologis, kemampuan ability terdiri dari kemampuan potensi IQ dan kemampuan reality knowledge+skill. Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQsuperior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatan dan terampil dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari maka akan mudah menjalankan kinerja maksimal.

2. Faktor motivasi Motivation

Motivasi diartiakan sebagai suatu sikap attitude pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja situation dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif fro terhadap situasi


(20)

kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka berpikir negatif kontra terhadap situasi kerjanya akan menunjukan pada motivasi kerja yang rendah. Situasi yang dimaksud meliputi hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. (Mangku Negara 2005:13)

Berdasarkan pengertian diatas bahwa suatu kinerja dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung dan penghambat berjalannya suatu pencapaian kinerja yang maksimal faktor tersebut meliputi faktor yang berasal dari intern maunpun ekstern. Dalam menilai kinerja apakah sudah berjalan dengan yang direncanakan perlu diadakan suatu evaluasi kinerja sebagai mana yang dikemukakan oleh Andrew E. Sikula dalam buku Anwar Prabu Mangku Negara.

“Evaluasi kinerja atau penilaian merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penapsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa objek orang ataupun sesuatu barang. Mangku Nagara” (2005:69)

Dari beberapa pendapat tentang penilaian atau evaluasi kinerja dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk menilai kinerja pegawai dan organisasi. Disamping itu juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja dengan tepat dan memberikan tanggung jawab kepada pegawai atau organisasi sehingga dapat meningkatkan kinerjanya dimasa yang akan datang.


(21)

2.1.1 Pengertian Aparatur

Aparatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu lembaga pemerintahan disamping faktor lain seperti uang, alat-alat yang berbasis teknologi misalnya komputer dan internet. Oleh karena itu, sumber daya aparatur harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintahan untuk mewujudkan profesional pegawai dalam melakukan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeworno Handayaningrat bahwa:

“Aparatur adalah aspek-aspek administrasi yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau Negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional. Aspek organisasi itu terutama pengorganisasian atau kepegawaian” (Soewarno,1982:154).

Pendapat tersebut mengemukakan bahwa aparatur merupakan aspek-aspek administrasi yang diperlukaan oleh pemerintah dalam penyelenggaran pemerintahan atau Negara. Sedangkan Sarwono mengemukakan lebih jauh tentang aparatur pemerintahan bahwa yang dimaksud tentang aparatur pemerintahan ialah orang-orang yang menduduki jabatan dalam kelembagaan pemerintahan (Soewarno,1982:154).

Kinerja aparatur tidak lepas dari apa yang dinamakan dengan sumber daya manusia. SDM Merupakan salah satu faktor penunjang dalam menjalankan tugas kepegawaian bagi aparatur. Setiap aparatur mempunyai tugas menjalankan fungsi organisasi dan pemerintahan


(22)

dengan baik dan terarah, berikut pengertian tentang sumber daya aparatur.

Sumber daya aparatur menurut Badudu dan Sutan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah terdiri dari kata sumber yaitu, tempat asal dari mana sesuatu datang, daya yaitu usaha untuk meningkatkan kemampuan, sedangkan aparatur yaitu pegawai yang bekerja di pemerintahan. Jadi, sumber daya aparatur adalah kemampuan yang dimilki oleh pegawai untuk melakukan sesuatu. (Badudu dan Sutan, 1996:1372).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa sumber adaya aparatur merupakan sesuatu yang dimiliki seorang pegawai yang berkemampuan untuk melakukan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Sumber daya aparatur merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja suatu pemerintahan. Untuk itu sumber daya aparatur perlu dikelola melalui pemberian pendidikan dan latihan yang diterapkan oleh pemerintah, untuk mengembangkan sumber daya aparatur. Sehingga kinerja suatu pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat Sub Bagian Kepegawaian dan Umum dapat mewujudkan profesional pegawai. Sehingga kinerja aparatur tersebut berdasarkan jabatan dan pekerjaan yang dibebankan kepada aparatur tersebut.

Berkaitan dengan sumber daya aparatur di atas, untuk mewujudkan profesional pegawai. Menurut Jhon M. Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris Indonesia, bahwa profesional adalah seorang tenaga ahli,


(23)

pekerjaan yang sesuai di bidangnya, dan berdasarkan jabatan.(Echols dan Hassan, 1996:449).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa profesional merupakan kinerja seseorang sesuai dengan jabatan yang diberikan kepadanya. Tugas yang diberikan kepada orang tersebut harus dipertanggung jawabkan, karena merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan serta pekerjaan yang diberikan kepadanya tidak boleh ditinggalkan sebelum pekerjaan itu selesai.

2.1.2 Kinerja Aparatur

Dalam kerangka organisasi terdapat hubungan antara kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja organisasi (organization performance). Suatu organisasi pemerintah maupun swasta besar maupun kecil dalam tujuan yang telah ditetapkan harus melalui kegiatan-kegiatan yang digerakkan oleh orang atau sekelompok orang yang aktif berperan sebagai pelaku, dengan kata lain tercapainya tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena adanya upaya yang dilakukan oleh orang atau kinerja aparatur dalam organisasi tersebut.

Kinerja organisasi akan sangat ditentukan oleh unsure aparaturnya karena itu dalam mengukur kinerja suatu organisasi sebaiknya diukur dalam tampilan kerjadari aparaturnya. Terdapat beberapa pengertian dari kinerja aparatur yang diungkapkan oleh beberapa pakar berikut ini:


(24)

Adapun pengertian kinerja aparatur yang dikemukakan oleh Agus Dharma dalam bukunya “Manajemen Prestasi” yaitu sebagai berikut: “Kinerja aparatur adalah sesuatu yang dicapai oleh aparatur, prestasi kerja yang diperhatikan oleh aparatur, kemampuan kerja dikaitkan dengan penggunaan peralatan kantor”. (Dharma, 1991:105)

Sejalan dengan pengertiant ersebut, A.A. Anwar Prabu Mangkunegara dalam bukunya “Evaluasi Kinerja SDM”, mengatakan bahwa:

“Kinerja aparatur adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang aparatur dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

(Mangkunegara,2005:9).

Sedangkan pengertian kinerja aparatur menurut Bambang Kusriyanto yang dikutip oleh Harbani Pasolong dalam bukunya “Teori Administrasi Publik” adalah “Kinerja aparatur adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi”. (Pasolong,,2007:175)

Berdasarkan pengertian kinerja aparatur dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat ditafsirkan bahwa kinerja aparatur erat kaitannya dengan hasil pekerjaan seseorang dalam suatu organisasi, hasil pekerjaan tersebut dapat menyangkut kualitas, kuantitas, dan ketepatan waktu. Kinerja aparatur tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan dan keahlian dalam bekerja tetapi juga sangat dipengaruhi oleh semangat kerjanya.


(25)

2.2 Pengertian Pelayanan Publik

Mengenai peran dan fungsi pemerintahan dalam pelayanan dijelaskan oleh Arief Budiman sebagai berikut:

“Sebagaimana fungsi pemerintah dalam melakukan pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Negara yang dijalankan melalui pemerintahannya mempunyai misi tersendiri yaitu menciptakan masyarakat yang lebih baik dari sekarang” (Budiman dalam Wiryatmi, 1996:2).

Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa kegiatan pelayanan oleh pemerintah, merupakan fungsi utama sebagai upaya untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian pemerintah memiliki peran dan fungsi melakukan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Dalam membahas pengertian pelayanan publik, sebaiknya terlebih dahulu dibahas mengenai pengertian pelayanan. Arti pelayanan secara etimologis menurut Poerwadarminta, yaitu:

“Berasal dari kata “layan” yang berarti membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang, kemudian palayanan dapat diartikan sebagai, perihal atau cara melayani, service atau jasa, sehubungan dengan jual beli barang atau jasa” (Poerwadarminta, 1995:571).

Hal ini sejalan dengan pendapat Normann tentang karakteristik pelayanan, yaitu meliputi:

1. pelayanan merupakan suatu produksi yang mempunyai sifat yang tidak dapat diraba, berbeda dengan barang produksi lain (barang jadi atau barang industri yang berwujud)

2. pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial

3. produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadian bersamaan dan terjadi di tempat yang sama


(26)

Menurut kedua pendapat di atas bahwa pelayanan adalah membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang, dan berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam karakteristiknya pelayanan merupakan suatu produksi yang mempunyai sifat yang tidak dapat diraba, pelayanan juga kenyataanya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial, serta pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadian bersamaan dan terjadi di tempat yang sama dari produksi dan konsumsi.

Definisi mengenai pelayanan publik dikemukakan oleh Saefullah adalah:

“Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi penduduk negara yang bersangkutan, dilihat dari prosesnya, terjadi interaksi antara yang memberi pelayanan dengan yang diberi palayanan. Pemerintah sebagai lembaga birokrasi mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sedangkan masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah” (Saefullah, 1999:5).

Berdasarkan definisi-definisi pelayanan di atas, dapat dilihat bahwa pemberian pelayanan merupakan proses yang dilakukan organisasi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bersama. Pelayanan publik merupakan pemberian layanan dari organisasi pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat serta dalam rangka mengimplementasikan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.


(27)

Pendapat lain mengenai definisi pelayanan publik dikemukakan oleh Moenir sebagai: “kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materil melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya” (Moenir, 1995:26).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Sadu Wasistiono mengemukakan bahwa:

“Pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat” (Wasistiono, 2001:51-52).

Berdasarkan kedua pendapat di atas bahwa pelayanan publik itu diselenggarakan sesuai dengan sistem atau prosedur dan bukan hanya diberikan instansi atau lembaga pemerintah saja, melainkan juga diberikan oleh pihak swasta. Kegiatan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah untuk masyarakat meliputi banyak hal, yaitu yang menyangkut semua kebutuhan masyarakat baik berupa barang maupun jasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Pamudji bahwa:

“Jasa pelayanan pemerintah yaitu berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa, jenis pelayanan publik dalam arti jasa-jasa-jasa, yaitu seperti pelayanan kesehatan, pelayanan keluarga, pelayanan pendidikan, pelayanan pencarian keadilan” (Pamudji, 1994:21-22).


(28)

2.2.1 Pengertian Kualitas Pelayanan Publik

Pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas, hubungan kualitas dengan pelayanan dikemukakan oleh Sampara Lukman bahwa:

“Kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam memberikan layanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik” (Lukman, 1999:14).

Sejalan dengan pendapat Lovelock kualitas pelayanan adalah “sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan” (Lovelock dalam Tjiptono, 1996:59). Hal ini berarti apabila jasa atau layanan yang diterima rendah, dari yang diharapkan oleh pelanggan atau masyarakat maka dipersepsikan buruk, suatu layanan yang diberikan aparatur pemerintah itu harus menjamin efisiensi dan keadilan serta harus memiliki kualitas yang mantap. Kualitas merupakan harapan semua orang atau pelanggan.

2.2.2 Kultur Organisasi

Menurut Peter F Druicker kultur organisasi adalah:

Organizational Culture is the body of solutions to external and internal problems that has worked consistenly for a group and that is therefore thought to new members as the correct way to perceive, think about, and feel in relation to those problems (pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai


(29)

cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait)”.

(Druicker dalam Pabundu, 2006:4).

Sejalan dengan pendapat di atas, definisi kultur organisasi menurut Robbins adalah: ”esensi yang dipergunakan dalam memberikan perhatian kepada suatu hal sampai paling detail, harus agresif dalam pelaksanaan tugas” (Robbins dalam Tampubolon, 2004:189). Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa kultur organisasi merupakan pokok untuk menyelesaikan masalah-masalah eksternal maupun internal di dalam organisasi dan mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami dan menyelesaikan terhadap masalah-masalah yang terkait. Kultur organisasi menurut Crown Dirgantoro terdiri dari beberapa indikator, yaitu:

a. Struktur organisasi b. Tujuan organisasi c. Kebijakan organisasi (Dirgantoro, 2004: 42).

Sedangkan menurut Fred Luthans dan Stephen P.Robbins, indikator kultur organisasi terdiri dari:

a. Perilaku individu yang tampak

b. Norma-norma yang berlaku dalam organisasi c. Peraturan-peraturan yang berlaku

d. Iklim organisasi

e. Inisiatif individu organisasi f. Pengawasan kerja

g. Pengarahan pimpinan

(Luthans dan Robbins dalam Mangkunegara, 2005: 122-123).

Secara lebih rinci, indikator-indikator kultur organisasi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:


(30)

a. Struktur Organisasi

Struktur organisasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik, karena akan menjelaskan bagaimana kedudukan, tugas, dan fungsi dialokasikan dalam organisasi. Hal ini mempunyai dampak yang siginifikan terhadap cara orang melaksanakan tugasnya dalam organisasi, ketika arah dan strategi organisasi secara keseluruhan telah ditetapkan serta struktur organisasi telah dibentuk, maka hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut melakukan kegiatan atau menjalankannya tugas dan fungsinya. Adapun definisi tentang struktur organisasi dijelaskan oleh Malayu Hasibuan adalah:

”Suatu gambar yang menggambarkan tipe organisasi, pendepartemenan organisasi, kedudukan dan jenis wewenang pejabat, bidang dan hubungan pekerjaan, garis perintah dan tanggung jawab, rentang kendali dan sistem pimpinan organisasi” (Hasibuan, 1996:131).

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa struktur organisasi merupakan suatu gambar yang menggambarkan tentang jenis atau tipe organisasi, pendepartemenan atau pembagian bidang-bidang, kedudukan dan jenis wewenang pejabat, bidang dan hubungan pekerjaan yang terkait, garis perintah dan tanggung jawab serta rentang kendali dan sistem pimpinan organisasi. Fungsi struktur organisasi tersebut menunjukan bahwa struktur organisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi, sehingga dengan demikian struktur


(31)

organisasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan. Komponen-komponen struktur organisasi yang mendukung harus disusun dengan baik, dan pembagian kerja atau spesialisasi harus disusun sesuai dengan kebutuhan, saling menunjang, jelas wewenang tugas dan tanggung jawabnya, serta tidak tumpang tindih. Suatu organisasi haruslah terstruktur dengan baik dan tepat untuk mencapai tujuan organisasi. b. Tujuan Organisasi

Definisi tujuan organisasi dijelaskan oleh Sondang P. Siagian yaitu: ”Penentuan arah yang akan ditempuh oleh organisasi, sarana dan prasarana apa yang diperlukan, produk apa yang akan dihasilkan, dan siapa yang akan jadi penggunanya, bentuk dan jenis interaksi dengan lingkungan eksternal, kultur organisasi bagaimana yang akan ditumbuhkembangkan, serta teknologi yang bagaimana yang akan dimanfaatkan” (Siagian, 2005:43).

Sejalan dengan pendapat di atas, George R. Terry mengemukakan tujuan organisasi adalah ”hasil yang diinginkan yang melukiskan skope yang jelas, serta memberikan arah kepada usaha-usaha seseorang manajer” (Terry dalam Hasibuan, 1996:18). Berdasarkan kedua pendapat di atas, tujuan organisasi merupakan penentuan arah yang jelas yang akan ditempuh oleh suatu organisasi dengan sarana dan prasarana apa yang diperlukan, produk apa yang akan dihasilkan, dan siapa yang akan jadi penggunanya, bentuk dan jenis interaksi dengan lingkungan eksternal, kultur organisasi bagaimana yang akan ditumbuhkembangkan, serta teknologi yang bagaimana yang akan dimanfaatkan. Tujuan organisasi merupakan kesepakatan seluruh pengurus dan anggota organisasi tersebut.


(32)

c. Kebijakan Organisasi

Menurut pendapat Carl Friedrich bahwa kebijakan organisasi merupakan:

”Arah suatu tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu” (Friedrich dalam Winarno, 2005:16).

Sejalan dengan pendapat Laswell dan Kaplan bahwa kebijakan sebagai ”suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah” (Laswell dan Kaplan dalam Islamy, 1997:14). Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan adalah tindakan yang dilakukan atas usulan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu untuk mencari peluang dalam mengatasi hambatan-hambatan agar dapat mewujudkan sasaran dan tujuan yang terarah. Kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun individu.

d. Perilaku Individu dalam Organisasi

Perilaku individu dalam organisasi dijelaskan oleh Manahan Tampubolon sebagai berikut:

”Perilaku manusia dalam organisasi, yang mana dengan menggunakan ilmu pengetahuan tentang bagaimana manusia bertindak dalam organisasi. Perilaku organisasi ini mendasarkan pada analisis terhadap manusia yang ditujukan bagi kemanfaatan orang” (Tampubolon, 2004:2).


(33)

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Lindsay dan Patrick bahwa elemen kunci dari perilaku individu dalam organisasi adalah:

”Orang, struktur, teknologi, dan lingkungan di mana organisasi itu berkedudukan dan jangkauan operasionalnya. Lingkungan organisasi juga dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal” (Lindsay dan Patrick dalam Tampubolon, 2004:2-3).

Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa perilaku individu dalam organisasi adalah mengenai perilaku manusia yang dilakukannya di dalam organisasi yaitu bagaimana manusia bertindak dalam organisasi, perilaku atau sikap manusia di dalam organisasi bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi. Perilaku individu organisasi dipengaruhi oleh manusianya sendiri, struktur, teknologi dan lingkungan, kedudukan serta jangkauan operasional organisasi tersebut baik lingkungan eksternal maupun lingkungan internal.

e. Norma-Norma dalam Organisasi

Norma atau etika di dalam suatu organisasi menurut Manahan Tampubolon merupakan:

”Ukuran bagi anggota organisasi untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan kaidah-kaidah norma tersebut, dan norma yang semakin mendalam dan meresap dalam diri anggota organisasi tidak tertulis lagi. Etika adalah yang membungkus tingkah laku anggota organisasi tersebut untuk bertindak sesuai dengan kriteria norma, yang pada akhirnya proses pendalaman norma ini yang disebut sebagai budaya” (Tampubolon, 2004:185).

Berdasarkan pendapat di atas, norma dalam suatu organisasi merupakan ukuran bagi seluruh anggota organisasi untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan kaidah-kaidah norma yang diterapkan oleh suatu


(34)

organisasi, serta etika merupakan yang membungkus tingkah laku anggota organisasi tersebut untuk bertindak sesuai dengan kriteria norma yang berlaku.

f. Iklim Organisasi

Gary A. Yukl menjelaskan bahwa iklim organisasi adalah:

”Terciptanya hubungan kerja yang harmonis yang saling percaya yang dilandaskan kepada keimanan dan ketakwaan antara seluruh anggota organisasi dan memahami dengan jelas serta melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajibannya”. (Yukl dalam Mangkunegara, 2005:133).

Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan terciptanya suasana hubungan kerja yang harmonis yang saling percaya dengan berlandaskan kepada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, antara seluruh anggota organisasi dan memahami dengan jelas serta melaksanakan tugas, fungsi dan kewajibannya. Dalam suatu organisasi perlu diciptakan iklim kerja yang kondusif serta organisasi perlu dikelola secara profesional agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

g. Inisiatif Individu dalam Organisasi

Inisiatif individu dalam organisasi menurut Stephen P. Robbins merupakan:

”Tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi” (Robbins dalam Pabundu, 2006:10).


(35)

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa inisiatif individu dalam organisasi merupakan tingkat tanggung jawab, kebebasan seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi untuk mengemukakan pendapatnya. Pendapat dari seseorang tersebut perlu dihargai oleh organisasi maupun pimpinan organisasi sepanjang menyangkut ide dalam memajukan dan mengembangkan organisasi.

h. Pengawasan Kerja Organisasi

Menurut Hendri Fayol pengawasan kerja dalam organisasi adalah: ”Tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsip prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan itu, pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap manusia, benda, perbuatan maupun hal-hal lainnya” (Fayol dalam Sarwoto, 1985: 95).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa pengawasan kerja dalam suatu organisasi merupakan tindakan meneliti yang dilakukan oleh seorang pimpinan, apakah segala sesuatu sudah tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan. Pengawasan bertujuan menunjukan atau menemukan kelemahan-kelemahan dalam organisasi agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan tersebut, pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap manusia, benda, perbuatan maupun hal-hal lainnya.


(36)

i. Pengarahan Pimpinan Organisasi

Menurut Anwar Prabu Mangkunegara pengarahan pimpinan dalam organisasi merupakan:

”Pemberian pengarahan oleh pimpinan kepada bawahan untuk bekerja produktif dan disiplin serta memberikan penyuluhan agar berpartisipasi aktif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehari-hari dan merupakan salah satu pembinaan pimpinan terhadap seluruh pegawainya” (Mangkunegara, 2005:135).

Berdasarkan pendapat di atas, pengarahan pimpinan dalam suatu organisasi merupakan pemberian pengarahan oleh pimpinan kepada bawahan agar bekerja dengan produktif dan disiplin serta memberikan penyuluhan agar berpartisipasi aktif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehari-hari dan merupakan salah satu wujud pembinaan pimpinan terhadap seluruh pegawainya.

2.2.3 Sumber Daya Manusia (SDM)

Profesionalisme SDM dalam melaksanakan pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah faktor utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas secara dinamis, tanggap, cepat serta tepat sasaran. SDM memegang peranan yang sentral dan paling menentukan. Tanpa SDM yang handal, penggunaan pemanfaatan sumber-sumber lainnya akan menjadi tidak efektif. Indikator SDM menurut Zeithaml dan Berry terdiri dari:


(37)

a. Kompetensi b. Kesopanan c. Kredibilitas

(Zeithaml & Berry dalam Ratminto, 2006: 183).

Sejalan dengan pendapat di atas indikator SDM menurut Ratminto terdiri dari:

a. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan, dan tanggung jawabnya).

b. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.

c. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan penyelesaian pelayanan kepada masyarakat.

d. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.

e. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.

f. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan atau status masyarakat yang dilayani.

g. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.

(Ratminto, 2006: 226-227).

Secara lebih rinci, indikator-indikator SDM tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Competence

Menurut Hooghiemstra mengenai competence atau kompetensi adalah:

“Suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan. Secara ketidaksamaan dalam kompetensi-kompetensi inilah yang membedakan seseorang


(38)

perilaku unggul dan perilaku yang berprestasi rata-rata, untuk mencapai kinerja sekedar cukup atau rata-rata diperlukan kompetensi batas atau kompetensi esensial. Kompetensi batas dan kompetensi esensial tertentu merupakan pola atau pedoman dalam pemilihan karyawan, perencanaan dan pengalihan tugas dan penilaian kerja”. (Hooghiemstra dalam Kurniawan, 2005:87).

Sejalan dengan pendapat di atas, Zeithaml mengemukakan bahwa kompetensi merupakan: “tuntutan yang harus dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan” (Zeithaml dalam Kurniawan, 2005:52). Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa kompetensi merupakan tuntutan yang harus dimiliki oleh setiap aparatur penyelenggara pelayanan yaitu pengetahuan dan keterampilan yang baik. Setiap aparatur berkompetensi agar mendapatkan prestasi yang unggul dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

b. Credibility

Menurut Ratminto credibility atau kredibilitas merupakan suatu: ”Kejujuran yang dimiliki oleh petugas pelayanan dan kejujuran tersebut sangat diperlukan karena akan mendorong petugas pelayanan untuk melaksanakan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan. Sikap jujur akan membentengi seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya” (Ratminto, 2006:134).

Sejalan dengan pendapat di atas, Zeithaml mengemukakan bahwa kredibilitas adalah ”sikap jujur para pegawai penyelenggara pelayanan dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat” (Zeithaml dalam Kurniawan, 2005:53). Kredibilitas merupakan suatu sikap kejujuran yang harus dimiliki setiap aparatur penyelenggara pelayanan, karena


(39)

sikap jujur akan membentengi seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

c. Kejelasan Petugas Pelayanan Publik

Menurut Mahmudi bahwa definisi mengenai kejelasan petugas pelayanan publik adalah:

”Kejelasan dalam hal persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik, unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan, persoalan, sengketa, atau tuntutan dalam pelaksanaan pelayanan publik, serta rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaranya.” (Mahmudi, 2005:235).

Sejalan dengan pendapat di atas, kejelasan petugas pelayanan didefinisikan oleh Ratminto sebagai ”keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan, dan tanggung jawabnya)” (Ratminto, 2006:226-227). Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa kejelasan petugas pelayanan merupakan keberadaan dan kepastian petugas yang berwenang dan yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian apabila ada keluhan, persoalan, sengketa atau tuntutan dari masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan.

d. Kedisiplinan Petugas Pelayanan Publik

Menurut Moenir kedisipilinan petugas pelayanan dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat adalah:

”Disiplin dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan terdiri atas dua bentuk disiplin, yaitu disiplin waktu dan disiplin perbuatan, kedua bentuk disiplin itu menyatu dalam perwujudan kerja. Ada disiplin waktu tidak ada disiplin perbuatan, tidak akan ada disiplin dalam hal


(40)

waktu akan mengecewakan, karena kedua bentuk disiplin harus ditegakan bersama” (Moenir, 2006:125).

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Gordon dan Watkins disiplin merupakan:”suatu kondisi atau sikap yang ada pada semua anggota organisasi yang tunduk dan taat pada aturan organisasi” (Gordon dan Watkins dalam Moenir, 2006:94). Hal ini berarti bahwa kedisiplinan yang perlu ditegakan oleh setiap aparatur meliputi disiplin waktu dan disiplin perbuatan agar tunduk dan taat pada aturan yang berlaku.

e. Tanggung Jawab Petugas Pelayanan Publik

Menurut Siagian definisi tanggung jawab aparatur penyelenggara pelayanan merupakan: ”kewajiban seorang bawahan untuk melaksanakan tugas sebaik mungkin yang diberikan oleh atasannya. Inti dari tanggung jawab adalah kewajiban” (Siagian, 1983:53). Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa tanggung jawab yang dikemukakan oleh Ratminto adalah: ”kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan penyelesaian pelayanan kepada masyarakat” (Ratminto, 2006:226-227). Berdasarkan pendapat di atas, tanggung jawab merupakan kejelasan wewenang dan kewajiban aparatur sebagai penyelenggara pelayanan dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

f. Kemampuan Petugas Pelayanan Publik

Definisi mengenai kemampuan petugas pelayanan dijelaskan oleh James adalah:


(41)

”Kemampuan melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia. Dengan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa keterampilan lebih banyak menggunakan unsur anggota badan dari pada unsur lain, seperti otot, saraf, perasaan dan pikiran, dengan kombinasi yang berbeda dari masing-masing unsur, tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan” (James dalam Kurniawan, 2005:85).

Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa menurut Brown ada tiga jenis kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap petugas pelayanan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yaitu:

”Pertama, kemampuan teknis (technical skill), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas yang diperoleh dari pengalaman, training, dan pendidikan. Kedua, kemampuan sosial (social/human skill), kemampuan dan kata putus (judgment) dalam pekerja dengan melalui orang lain, mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif. Ketiga, kemampuan konseptual (conceptualskill), kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang unit kerja masing-masing ke dalam organisasi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar tujuan dan kebutuhan kelompok sendiri” (Brown dalam Kurniawan, 2005:85).

Berdasarkan pendapat di atas, kemampuan petugas penyelenggara pelayanan harus memiliki kemampuan secara teknis yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode dan teknik serta peralatan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya selain kemampuan secara teknis petugas penyelenggara pelayanan dituntut memiliki kemampuan untuk memotivasi orang lain dalam melaksanakan tugas dan mampu untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang unit kerja masing-masing ke dalam organisasi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan


(42)

tujuan organisasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas secara dinamis dan tanggap, cepat serta tepat sasaran.

g. Kecepatan Petugas Pelayanan Publik

Menurut Ratminto, kecepatan petugas pelayanan merupakan ”target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan” (Ratminto, 2006:226-227). Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kecepatan petugas pelayanan adalah target yang harus diselesaikan oleh petugas pelayanan dalam menyelesaikan tugasnya dengan tepat dan benar.

h. Keadilan Petugas Pelayanan Publik

Mertin mengemukakan bahwa keadilan petugas dalam menyelenggarakan pelayanan adalah:

”Perlakuan yang sama kepada masyarakat selain itu juga perlakuan yang adil untuk masyarakat yang pluralistik kadang-kadang diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama misalnya menghapus diskriminasi suku, ras, agama” (Mertin dalam Kurniawan, 2005:75).

Sejalan dengan pendapat di atas, keadilan petugas pelayanan seperti yang dikemukakan Ratminto merupakan: ”pelaksanaan pelayanan dengan tidak membeda-bedakan golongan status masyarakat yang dilayani” (Ratminto, 2006:227). Keadilan petugas penyelenggara pelayanan merupakan pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan dengan tidak membeda-bedakan golongan didalam status masyarakat karena


(43)

seluruh masyarakat memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan dari pemerintah.

i. Kesopanan dan Keramahan Petugas Pelayanan Publik

Menurut Ratminto kesopanan dan keramahan petugas pelayanan merupakan: ”sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati” (Ratminto, 2006:227).


(44)

44

3.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat 3.1.1 Keadaan Geografis Provinsi Jawa Barat

Kronologis sejarah menonjolkan bahwa Provinsi jawa Barat dibentuk pertama kali tanggal 14 Agustus berdasarkan penetapan Pemerintah Hindia Belanda melalui staatblad 1924 Nomor: 378 tanggal 14 Agustus 1926, pada masa pra kemerdekaan dan pada tanggal 19 Agustus 1945 berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membagi kembali Daerah Negara Republik Indonesia menjadi delapan provinsi yang salah satunya Provinsi Jawa Barat. Pembentukan Provinsi Jawa barat ini kemudian ditetapkan kembali oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 1950. Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah No 26 Tahun 2010 bahwa tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Barat.

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5o50’ - 7o50’ Lintang Selatan dan 104o48’ - 108o48’ Bujur Timur, dengan batas wilayah: sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta; sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061,32 hektar dan garis pantai sepanjang 755,829 km. Daratan


(45)

Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9,5% dari total luas wilayah Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) terletak di bagian Tengah dengan ketinggian 10 - 1.500 m dpl; dan wilayah dataran luas (54,03%) terletak di bagian Utara dengan ketinggian 0 – 10 m dpl. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebun campuran (22,89 % dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%), dan perkebunan (17,41%), sementara hutan primer dan hutan sekunder di Jawa Barat hanya 15,93% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Barat.

Iklim di Jawa Barat yaitu tropis, dengan suhu rata-rata berkisar antara17,4 – 30,7°C dan kelembaban udara antara 73–84%. Data BMKG menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008, turun hujan selama 1-26 hari setiap bulannya dengan curah hujan antara 3,6 hingga 332,8 mm.

Jawa Barat dialiri 40 sungai dengan wilayah seluas 32.075,15 km2. Jawa Barat juga memiliki 1.267waduk/situ dengan potensi air permukaan lebih dari 10.000juta m3.Air permukaan tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, pertanian, dan air minum.Terdapat peningkatan jumlah perusahaan yang aktif memanfaatkan air permukaan menjadi 625 perusahaan dari 606 perusahaan pada tahun 2007.


(46)

3.1.2 Sejarah Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

Organisasi/Instansi pemerintah yang menangani urusan/fungsi peternakan dan kesehatan hewan di Jawa Barat sudah berdiri sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, yaitu tercatat mulai berdiri pada tahun 1932 dengan nama Provinciale Veeart Senijkundige Diesnst, yang berkedudukan di Bandung, dikepalai oleh seorang Inspektur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh pegawai sebanyak 46 orang, dengan wilayah kerja meliputi Jawa Barat dan Jakarta. Organisasiini mempunyai tugas memfasilitasi masyarakat dalam hal pencegahan/pemberantasan penyakit hewan dan peningkatan produksi ternak, serta penyediaan kesehatan produk ternak (RPH) di Jawa Barat dan Jakarta. Pada masa tersebut pemerintah Belanda cukup tinggi perhatiannya dalam pengembangan budidaya peternakan milik masyarakat, dicirikan dengan berbagai kebijakan yang ditetapkan dalam undang-undang kehewanan antara lain berisi tentang:

1 Penetapan tanah pangonan disetiap desa, sebagai lahan yang diperuntukan bagi pengembalaan ternak-ternak milik masyarakat desa, dan tanah tersebut merupakan tanah fasilitas umum yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan

2 Pengangkatan Mantri Hewan di setiap Kecamatan, yang bertugas untuk melayani dan menjaga kesehatan ternak milik masyarakat.


(47)

3 Pelarangan pemotongan betina produktif hewan bertanduk, yang bermaksud meningkatkan populasi ternak.

Pada awal masa kemerdekaan, organisasi kehewanan ini menjadi Jawatan Pertanian Republik Indonesia, merupakan instansi vertikal (Pusat) dibawah Kementerian Kemakmuran. Kebijakan dan program dari Jawatan Pertanian tersebut adalah dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan petani/masyarakat, yang meliputi usaha-usaha pertanian rakyat, perkebunan, perikanan darat, kehewanan dan penyaluran bahan makanan.

Berawal dari pembentukan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1950 melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950. Undang-undang tersebut memberikan urusan yang menjadi kewenangan pangkal daerah, diantaranya adalah urusan kehewanan. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1951 tentang pelaksanaan penyerahan sebagian urusan dalam lapangan kehewanan kepada Provinsi Jawa Barat yang meliputi urusan-urusan: Usaha pemasukan bibit ternak dari luar provinsi, Usaha mempeternakan atau menyediakan bibit ternak untuk dibagi-bagikan di luar provinsi, Mengadakan pertemuan-pertemuan dan tindakan-tindakan lain dalam urusan peternakan, termasuk juga ternak jenis unggas yang mempengaruhi lingkungan yang lebih luas dari daerah. Dengan terbitnya peraturan perundang-undangan tersebut diatas wilayah Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Sementara (DPDS) Pemerintah Provinsi


(48)

Daerah Tingkat I Jawa Barat resmi berdiri, sedangkan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang Pertanian ditetapkan melalui Keputusan Dewan Pemerintahan Daerah Sementara (DPDS) Provinsi Daerah Jawa Barat Nomor 3/UPO/1952 dibentuklah Jawatan Pertanian Rakyat dan Jawatan Kehewanan Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Juni 1952.

Jawatan Kehewanan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat merupakan instansi otonom Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat. Sedangkan sub sistem unit kerja bawahannya adalah sebagai berikut: 1. Jawatan Kehewanan Daerah Banten, meliputi Wilayah Serang,

Pandeglang dan Lebak,berkedudukan di Serang dipimpin oleh Drh. Sungkawa Nitibaskara.

2. Jawatan Kehewanan Daerah Cirebon, meliputi wilayah Cirebon, Majalengka,Kuningan dan Indramayu, berkedudukan di Cirebon dipimpin oleh Drh.Sutrisno.

3. Jawatan Kehewanan Daerah Priangan Barat, meliputi wilayah Bandung, Sumedang dan Garut berkedudukan di Bandung dipimpin oleh Drh. Suyono dibantu oleh Drh. Hutabarat.

4. Jawatan Kehewanan Daerah Priangan Timur, meliputi Tasikmalaya dan Ciamis,berkedudukan di Tasikmalaya, dipimpin oleh Drh. Ismail.

Jawatan kehewanan daerah tersebut diatas merupakan perwakilan dari Jawatan Kehewanan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan


(49)

bertanggung jawab kepada Gubernur Jawa Barat melalui Kepala Jawatan Kehewanan Provinsi Jawa Barat.

Selain sebagai instansi otonom, Jawatan Kehewanan Provinsi juga masih mempunyai hubungan vertikal dengan Pusat melalui Kementrian Pertanian,sehingga program dan kebijakannya mengacu kepada Rencana Kerja Istimewa (RKI) dari Pemerintah Pusat. Salah satu kegiatan yang dibiayai Pemerintah Pusat adalah pembentukan Pembibitan Ternak dengan sebutan Vokstation/Taman Ternak. Dibentuk sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jawatan Kehewanan Provinsi Jawa Barat, yang berfungsi sebagai unit pelaksana pembibitan ternak, adapun UPT tersebut terdiri atas:

1. Taman Ternak Cikole Lembang untuk pembibitan ternak sapi perah 2. Taman Ternak Ciseureuh Cianjur untuk pembibitan ternak sapi perah 3. Taman Ternak Jatiwangi Majalengka untuk pembibitan ternak unggas 4. Taman Ternak Ciumbuleuit Bandung untuk pembibitan ternak unggas.

Pada tahun 1961 terjadi perubahan pelaksanaan kepemerintahan, yaitu penyerahan sebagian urusan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya melalui Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 15/PD-DPRD-GR/1961, tentang Penyerahan urusan-urusan dalam lapangan kehewanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II/Kotapraja di seluruh Jawa Barat. Untuk penyerahan urusan peternakan yang diserahan ke Kabupaten/Kotamadya meliputi:


(50)

1. Urusan memajukan peternakan, termasuk ternak unggas.

2. Urusan kesehatan ternak, dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu, sepanjang urusan ini belum menjadi urusan Daerah tersebut.

3. Usaha-usaha tentang pemeriksaan pengangkutan hewan-hewan, memperlindungi dan mencegah serta mengawasi penganiayaan-penganiyaan hewan.

Dengan telah diserahkannya sebagain urusan lapangan kehewanan dari DaerahTingkat I kepada Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya diseluruh Jawa Barat, maka sejak saat itu terbentuk pula Jawatan Kehewanan di DT II Kabupaten/Kotamadya diseluruh Jawa Barat sebagai instansi Otonom Tingkat II.

Pada tahun 1968 melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968 yang merubah nama/istilah Direktorat Jenderal Kehewanan pada Departemen Pertanian menjadi Direktorat Jenderal Peternakan, maka dengan Keputusan Presiden tersebut, nomen klatur Jawatan Kehewanan disesuaikan menjadi Jawatan Peternakan Provinsi Jawa Barat.

Dengan meningkatnya urusan penyelenggaraan pemerintahan dan fasilitasi pembangunan, pada tahun 1975 terjadi perubahan struktur instansi otonom dilingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat, yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 107/A/V/18/SK/1975, tentang perubahan Jawatan (Otonomi) menjadi Dinas. Maka sejak itu Jawatan Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat menjadi Dinas Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.


(51)

3.1.3 Visi dan Misi Provinsi Jawa Barat

Visi Provinsi Jawa Barat adalah Dengan Iman dan Taqwa, Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia.

Misi Provinsi Jawa Barat adalah:

1. Mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat yang berbudaya ilmu dan teknologi, produktif dan berdaya saing.

2. Meningkatkan perekonomian yang berdaya saing dan berbasis potensi daerah

3. Mewujudkan lingkungan hidup yang asri dan lestari 4. Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik

5. Mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan

3.2 Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

3.2.1 Gambaran Umum Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

Struktur organisasi dalam suatu lembaga atau instansi sangat diperlukan keberadaannya. Karena struktur organisasi ini dapat dijadikan pedoman dalam pembagian tugas, oleh setiap bagian sesuai dengan fungsinya masing-masing agar lebih mengarah pada pelaksanaan pedoman kerja yang telah disusun sebelumnya. Jika pembagian tugas tidak jelas, maka akan menghambat dalam pengambilan keputusan dan dalam pencapaian tujuan yang sudah direncanakan.


(52)

Dinas Peternakan Jawa Barat mempunyai struktur organisasi garis dan staf, maksudnya adalah dalam setiap tingkat level organisasi dikepalai oleh seseorang atasan yang membawahi beberapa orang aparatur. Jadi seoarang aparatur hanya bertanggungjawab kepada seorang atasan.

Pada tahun 1961 terjadi perubahan pelaksanaan kepemerintahan, yaitu penyerahan sebagian urusan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya melalui Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 15/PD-DPRD-GR/1961, tentang Penyerahan urusan-urusan dalam lapangan kehewanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II/Kotapraja di seluruh Jawa Barat.

Untuk penyerahan urusan peternakan yang diserahkan ke Kabupaten/Kotamadya meliputi:

1. Urusan kesehatan ternak, dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu, sepanjang urusan ini belum menjadi urusan Daerah tersebut

2. Usaha-usaha tentang pemeriksaan pengangkutan hewan-hewan, memperlindungi dan mencegah serta mengawasi penganiayaan-penganiyaan hewan.

Dengan telah diserahkannya sebagain urusan lapangan kehewanan dari DaerahTingkat I kepada Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya diseluruh Jawa Barat, maka sejak saat itu terbentuk pula Jawatan Kehewanan di DT IIKabupaten/Kotamadya diseluruh Jawa Barat sebagai instansi OtonomTingkat II. Pada tahun 1968


(53)

melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968 yang merubah nama /istilah Direktorat Jenderal Kehewanan pada Departemen Pertanian menjadi Direktorat Jenderal Peternakan, maka dengan Keputusan Presiden tersebut, nomen klatur Jawatan Kehewanan disesuaikan menjadi Jawatan Peternakan Provinsi Jawa Barat.

Dengan meningkatnya urusan penyelenggaraan pemerintahan dan fasilitasi pembangunan, pada tahun 1975 terjadi perubahan struktur instansi otonom dilingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat, yang ditetapkanmelalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 107/A/V/18/SK/1975, tentang perubahan Jawatan (Otonomi) menjadi Dinas. Maka sejak itu Jawatan Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat menjadi Dinas Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

3.2.2 Struktur Organisasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Struktur organisasi dan tata kerja Dinas Peternakan diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Dati I Jawa Barat Nomor 6 tahun 1979, tentang susunan organisasi dan tata kerja Dinas Peternakan Provinsi Dati I Jawa Barat, kemudian dengan keluarnya Instruksi Menteri dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1980, tentang petunjuk pelaksanaan mengenai pembentukan susunan organisasi dan tata kerja peternakan, maka struktur dinas disesuaikankembali melalui Peraturan Daerah Tingkat Jawa Barat Nomor 13 Tahun 1983, tentang susunan organisasi dan tata kerja Dinas


(54)

Peternakan Provinsi Daerah Tingkat Jawa Barat, dengan sub sistem organisasi Dinas terdiri atas:

1. Kepala Dinas

Kepala Bagian Tata Usaha membawahi : a. Subag Kepegawaian

b. Subag Perlengkapan c. Subag Umum

d. Subag Humas

2. Sub Dinas Teknis yang terdiri atas: a. Sub Dinas Bina Program

b. Sub Dinas Produksi c. Sub Dinas Bina Usaha

d. Sub Dinas Kesehatan Hewan e. Sub Dinas Penyuluhan

f. Sub Dinas Pengembangan dan Penyebaran Ternak

Untuk sub sistem tatalaksana pemerintahan mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang intinya penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan secara sentralistik (terpusat) dengan Gubernur juga merangkap sebagai Kepala Daerah, sehingga seluruh Daerah Tingkat II juga bertanggung Jawab Kepada Gubernur, dan untuk bidang peternakan melalui Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.


(55)

Dengan terbitnya Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/12/94, tentang Penyerahan sebagain urusan Pemerintahan di Bidang Pertanian kepada Daerah Tingkat II, untuk bidang peternakan yang diserahkan adalah sebagai berikut:

a. Pengujian dan penerapan teknologi

b. Sumber daya lahan, Penyebaran dan pengembangan peternakan c. Perbibitan dan silsilah ternak

d. Pakan ternak, dan tanah pengembalaan e. Obat Hewan

f. Pembinaan alat dan mesin g. Peredaran dan mutasi ternak h. Kesehatan hewan

i. Pelayanan dan perijinan usaha j. Pembinaan pemasaran

k. Pembinaan manajemen usaha tani l. Tenaga kerja peternakan

m. Data dan statistik peternakan n. Penyuluhan pertanian

Sejalan dengan penyerahan sebagain urusan kepada Kepala Daerah Tingkat II, maka struktur organisasi dinas berubah kembali, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 17 Tahun 1995, tentang Organisasi dan Tata kerja Dinas Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, yaitu dengan tugas pokok


(56)

menyelenggarakan sebagaian urusan rumah tangga daerah di bidang peternakan dan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah. Adapun struktur organisasinya berubah menjadi: Kepala Dinas; Kepala Bagian Tata Usaha membawahi Subag Perencanaan, Subag Kepegawaian, Subag Perlengkapan, Subag Umum; dan 6 Sub Dinas Teknis yang terdiri atas: Sub Dinas Bina Produksi, Sub Dinas Bina Usaha, Sub Dinas Bina Kesehatan Hewan, Sub Dinas Bina Penyuluhan, Sub Dinas Bina Pengembangan dan Penyebaran Ternak serta Unit Pelaksana Teknis Dinas.

Perubahan Pemerintahan yang cukup besar terjadi setelah terbitnya Undang Undang 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dari sistem pemerintahan yang sentralistik menuju pemerintahan desentralisasi, yang lebih menitik beratkan fungsi dan kewenangan kepada pemerintah kabupaten dan Kota dengan maksud lebih mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat. Undang-undang tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya di bidang pertanian, terdapat 12 kewenangan peternakan yang harus dilaksanakan Provinsi yaitu:

1. Penetapan standar pelayanan minimal dalam bidang pertanian yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.


(57)

2. Penetapan standar pembibitan/pembenihan pertanian.

3. Penetapan standar teknis minimal RPH, Rumah Sakit Hewan dan satuan pelayanan peternakan terpadu.

4. Penyelenggaraanpendidikan dan pelatihan SDM aparat pertanian teknis fungsional,keterampilan dan diklat kejuruan tingkat menengah. 5. Promosi ekspor komoditas pertanian unggulan Daerah Provinsi.

6. Penyediaan dukungan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang pertanian.

7. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular.

8. Pengaturan penggunaan bibit unggul pertanian.

9. Penetapan kawasan pertanian terpadu berdasarkan kesepakatan dengan Kabupaten/Kota.

10. Pelaksanaan penyidikan penyakit di bidang pertanian lintas Kabupaten/Kota.

11. Penyediaan dukungan pengendalian eradikasi organisme pengganggu tumbuhan, hama dan penyakit di bidang peternakan.

12. Pemantauan,peramalan dan pengendalian serta penanggulangan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan penyakit di bidang pertanian.

Untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi maka terjadi pula penyesuaian instansi/dinas-dinas di tingkat Provinsi, dan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.15 Tahun 2000 jo No. 5 Tahun


(1)

81

Mahmudi. (2005). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Mangkunegara, Prabu Anwar. (2005). Perilaku Dan Budaya Organisasi. Bandung: PT Refika Aditama.Moenir, A.S. 2006. Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara,.

Miftah Thoha. 2003 Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Moenir, H.A.S. (2006). Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, Hadari. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nelson, Bob. 2001. Buku 1001 Cara membuat inisiatif dalam kerja. Jakarta: Prestasi Pusaka.

Nitisemito, Alex. 1986. Marketing. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pabundu, Mohammad. (2006). Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Pamudji, (1994). Profesionalisme Aparatur Negara dalam Meningkatkan Pelayanan dan Perilaku Politik Publik. Jakarta: Widya Praja.

Poerwadarminta, (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Prawirosentono, Suryadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta: BPFE.


(2)

82

Saefullah. 1999. Managemen Konflik Politik dan Demokratisasi Orde Baru, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No 5-6 Vol, V, Jakarta, LSAF dan ICMI.

Sarwoto, (1985). Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Gahlia Indonesia.

Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju.

Sinambela, Lijan Poltak, 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, Dan Implementasi . Jakarta: Bumi angkasa.

Siagian, Sondang P. (2005). Manajemen Stratejik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Supranto, (1997). Pengukuran Tingkat Kepuasan untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Supriatna, Tjahya. (1996). Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Nimas Multima.

Suwatno. (2001). Asas-Asas Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Suci Press.

Tampubolon, Manahan. (2004). Perilaku Keroganisasian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tjiptono, Fandi. (1995). Total Manajemen. Yogyakarta: Andi Offset

Wasistiono, Sadu. (2001). Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah. Sumedang: Alqoprint.


(3)

81

Winarno, Budi. (2005). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta:Media Pressindo (Anggota IKAPI).

Wiryatmi, Endang Tri L. (1996). Manajemen Pelayanan Umum. Bandung: LAN.

Dokumen

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Rujukan Elektronik

Website Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (Disnak Jabar) http://www.disnak.jabarprov.go.id


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena dengan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyusun Laporan KKL yang berjudul “Kinerja Aparatur Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”.

Penyusunan Laporan KKL ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat akademis Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diharapkan dalam Penelitian ini dengan tangan terbuka dari berbagai pihak.

Proses penyusunan Laporan KKL ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak dan memberi bimbingan, dorongan dan segala fasilitas yang bermanfaat. Untuk itu dalam kesempatan yang berharga ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia.

2. Ibu Nia Karniawati, S.IP., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia.

3. Ibu Tatik Fidowaty, S.IP., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberi masukan yang bermanfaat bagi penulis.

4. Dosen pengajar dan staf di Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia. 5. Ir. H. Koesmayadi, TP selaku Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan rekomendasi penulis dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan.


(5)

v

6. Papa, Mama, dan Adikku tercinta yang sudah memberikan dorongan dengan do’a, moril maupun materil yang tidak ternilai, sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan Laporan KKL ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa di Program Studi Ilmu Pemerintahan

Semoga Laporan KKL ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca semua.

Bandung, November 2011

Penulis


(6)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Diri

Nama Lengkap

: Fiqih Permana

Tempat dan Tanggal Lahir

: Labuhan Haji, 13 April 1989

Agama

: Islam

Alamat Lengkap

: Jl. Kubang Selatan No 127

Bandung

Email

: zems_orlando@yahoo.com

Handphone

: +6281375913013

Nama Ayah

: Subur Subroto

Pekerjaan Ayah

: Karyawan BUMN

Nama Ibu

: Supriati

Pekerjaan Ibu

: Wiraswasta

Alamat Lengkap

: PT.PN3 Perkebunan Labuhan Haji

AFD V Sumatera Utara

II. Pendidikan Formal

1. SD Negeri No. 117855 Labuhan Haji 1995-2001

2. SMP Sultan Hasanuddin Kualuh Hulu, Labuhan Batu 2001-2004

3. SMA Negeri 1 Kualuh Hulu, Labuhan Batu 2004-2007

4. Universitas Komputer Indonesia 2008-sekarang

Bandung, November 2011

Fiqih Permana

41708009