D. Paham interpretasi Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli”
Pada subbab ini akan dipaparkan bagaimana pemahaman dan konsep teologis yang dipahami oleh Jamaah an-Nadzir. Bagian ini juga dimaksudkan untuk
memperlihatkan perbedaan konsep ataupun praktik keagamaan yang dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir dengan kebanyakan komunitas Islam lainnya di Indonesia. paham
teologis yang kami maksudkan di sini mencakup pemahaman tentang masalah ketuhanan tauhid, praktik ibadah-ibadah inti dalam ajaran agama Islam seperti
salat, puasa, zakat, dan haji. Selain itu juga akan dipaparkan mistifikasi yang dikonstruksikan Jamaah an-Nadzir terhadap komunitas mereka sebagai komunitas
pilihan. Jamaah an-Nadzir menyakini bahwa apa yang mereka praktikkan adalah
dalam rangka menegakkan Dinul Islam. Dalam pengertian Jamaah an-Nadzir kata diin yang oleh kebanyakan terjemahan di Indonesia diterjemahkan sepadan dengan
kata agama bukanlah berarti demikian. Bagi An-Nadzir kata din berarti hukum. Bagi mereka Dinul Islam berarti hukum keselamatan. Setiap orang dapat mengaku
beragama Islam namun belum tentu dia betul-betul Islam dalam arti sebenarnya. Islam adalah jalan keselamatan. Jalan keselamatan tersebut mengandaikan hukum
atau rambu-rambu dalam mencapai puncak dari jalan keselamatan. Barang siapa yang ingin selamat tentunya harus mengikuti dan menjalankan hukum yang telah
ditentukan dalam hal ini oleh Tuhan dan telah dengan sempurna diajarkan melalui nabi dan rasul-Nya.
Selain itu, Jamaah an-Nadzir juga tidak mau dikategorikan dengan label Sunni maupun Syiah, dua sekte terbesar dalam dunia Islam. Mereka menyebut komunitas
mereka sebagai Ahlul Bait. Ahlul Bait dalam pengertian an-Nadzir bukanlah keluarga nabi sebagaimana yang lazim dipahami. Menurut Jamaah an-Nadzir pengertian ahlulbait
itu ada dua, yang pertama, keluarga langsung nabi Muhammad yang berasal dari keturunan hasil pernikahan antara Ali bin Abi Thalib dan puteri nabi, Fatimah. Kedua,
defenisi Ahlulbait versi An-Nadzir adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang besar tanpa memilah-milih ajaran
yang dianggap ringan atau hanya menguntungkan dirinya sendiri. Itu berarti ahlul bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam segala hal. Dalam proyek
mengikuti nabi itu-lah, komunitas an-Nadzir memanjangkan rambut hingga sebahu, memakai jubah, tongkat sebagai upaya menghadirkan sosok nabi dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan klaim seperti ini, Jamaah an-Nadzir berusaha merivisi definisi ahlulbait yang terbatas hanya pada keturunan nabi saja. Apa yang dilakukan Jamaah an-
Nadzir ini adalah sebuah usaha politik identitas untuk menampilkan diri sebagai komunit
as yang lebih „berIslam‟ sehingga tidak mungkin sesat dengan menjadikan kehidupan nabi sebagai medan kontestasi.
Penolakan Jamaah an-Nadzir dikategorikan sebagai penganut Sunni ataupun Syiah adalah karena sekte ini mereka anggap telah mencampur baurkan ajaran Islam
dengan berbagai kepentingan dunia politik, ekonomi, budaya sehingga menjadikan ajaran Islam tidak lagi „murni‟ sebagaimana di masa Rasulullah hidup. Bahkan terkait
dua sekte yang diketahui saling bertentangan ini, Jamaah an-Nadzir mempunyai klaim yang sangat luar biasa jika tidak bisa dikatakan muluk-muluk. Jamaah an-Nadzir
mengklaim jika masanya tiba, Jamaah an-Nadzirlah yang akan menyatukan seluruh umat Islam dunia, termasuk pertentangan berkepanjangan antara Sunni-Syiah.
Hal yang pertama-tama ditekankan oleh an-Nadzir kepada komunitas mereka adalah persoalan tauhid. Tauhid menjadi perkara yang paling utama karena pada
tauhidlah kunci keislaman seseorang terletak. Komunitas an-Nadzir meyakini bahwa kunci keselamatan dunia dan akhirat adalah kesaksian terhadap lafadz syahadatain
Asyhadu allaa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Persaksian terhadap syahadatain merupakan manifestasi kecintaan kepada Allah dan
Nabi Muhammad SAW. Mengikuti perintah Allah dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan adalah manifestasi persaksian seorang Muslim melalui dua kalimat
syahadat. Komunitas an-Nadzir mensyaratkan keharusan mengenal Tuhan sebagai hal
yang mutlak dilakukan oleh umat Islam yang ingin selamat dunia dan akhirat. Untuk mengenalkan Tuhan kepada manusialah yang merupakan agenda utama mengapa para
Nabi dan rasul diutus ke muka bumi. Menurut Jamaah an-Nadzir, bagaimana mungkin seorang Muslim dapat bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang dia sembah selain Allah
jika dia tidak mengenal Tuhannya. Dalam upaya mengenal Tuhan inilah Jamaah an- Nadzir punya caranya sendiri, dalam paham tauhid an-Nadzir Allah adalah sebuah
nama, sebuah nama tentu punya bentuk, lalu seperti apakah Tuhan itu? Tentunya bentuk Tuhan pastilah sempurna. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa bentuk Allah itu seperti
bentuk manusia, alasannya adalah karena manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, Allah adalah penguasa dan raja manusia. Apa mungkin raja kambing
bentuknya seperti ayam? Manusia yang mengenal Allah adalah manusia yang
mengenali dirinya sendiri, darimana dia berasal, mengetahui apa yang menjadi tugasnya dan bagaimana seharusnya dia bertindak dalam menjalani kehidupan di dunia.
Demikian argumentasi An-Nadzir. Konsep hakikat diri yang kami adalah barang siapa yang mengenal dirinya
akan mengenal Adam, barang siapa mengenal Adam akan mengenal Muhammad, barang siapa mengenal ruh akan mengenal Allah. Siapa Adam?
Adam adalah manusia yang kita antar ke liang lahad . Manusia yang sudah tidak lagi mempunyai daya dan upaya. Siapa Muhammad? Muhammad itu
adalah setiap individu manusia. Baik dia Muslim, Yahudi, Majusi dan Nasrani. Siapa ruh? Ruh adalah diri kita sendiri, perwujudan dari zat Allah.
54
Pernyataan seperti yang dikemukakan Jamaah an-Nadzir itu bukanlah sebuah pernyataan yang lazim dalam paham kebanyakan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Pernyataan yang demikian itu di Indonesia dapat menjadikan seseorang atau komunitas dapat diklaim kafir atau sesat karena dianggap menyamakan Tuhan dengan mahluk,
padahal Tuhan itu tidak ada padanannya sesuatu apapun. Di Indonesia sendiri, paham yang hampir mirip dengan pemahaman Jamaah an-Nadzir sebenarnya telah dikenal di
Indonesia khususnya dalam masyarakat Jawa yaitu konsep Manunggaling Kawula Gusti yang dipopulerkan oleh Syehk Siti Djenar.
Pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir yang mempunyai unsur pantheististik tersebut kelihatannya dipengaruhi oleh pemikiran filsuf sekaligus seorang sufi bernama
Muhyiddin Ibn „Arabi. Pemikiran Ibn Arabi memang banyak mempengaruhi berbagai aliran tasawuf di Indonesia. Menurut
Ibnu „Arabi hanya ada satu realitas dalam eksistensi. Realitas ini dapat dipandang dari dua sudut berbeda, pertama kita namakan
Haqq yang Nyata = yang Ril apabila kita pandang Haqq itu sebagai esensi dari semua fenomena. Dan kedua, dinamakan Khalq apabila kita pandang sebagai fenomena yang
54
wawancara dengan Ismail. Anggota Jamaah an-Nadzir.
memanifestasikan Esensi itu. Haqq dan Khalq. Realitas dan penampilan. Yang Satu dan Yang banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari satu realitas, ia
adalah satu kesatuan nyata riel unity tapi beragam secara empiris empirical diversity. Realitas ini adalah Tuhan. Dalam ekspresi bahasa teologis, Yang Satu adalah al Haqq
Yang Ril = Tuhan, Yang banyak adalah al Khalq wujud-wujud cipataan = dunia fenomena. Yang Satu adalah Tuhan Lord, Yang Banyak adalah hamba-hamba
slaves
55
. Pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir yang juga terlihat dipengaruhi pemikiran
Ibn Arabi adalah Metaphor tent ang „cermin‟ mirror dan „image‟ kesan yang erat
sekali kaitannya dengan objek dan bayang-bayangnya. Klaim ini didasarkan pada
wawancara saya dengan seorang jamaah bernama Ismail terkait pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir. Dalam upaya mengenali tuhan dia mendasarkan penjelasan
pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir pada sebuah cerita tentang seekor burung yang ingin bertemu dan melihat „rajanya‟. Di ujung pencarian si burung ternyata yang dia
dapati adalah sebuah cermin memantulkan citra dirinya sendiri. Yang satu dipandang
sebagai suatu objek yang image nya direfleksikan di dalam cermin-cermin yang berbeda. Yang Banyak dunia fenomena adalah bayangan, bayang-bayang shadow
luar objek Ril. Dalam praktik ibadah dan pemahaman fiqh Jamaah an-Nadzir pun cukup
berbeda dengan praktik mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. Jamaah an-Nadzir mengaku tidak mengikuti atau berpedoman pada mazhab apapun sebagaimana lazimnya
sebuah komunitas umat Islam. Jamaah an-Nadzir menurut mereka hanya berpedoman
55
Lih Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, Gaya Media Pratama,1989, hlm 25.
pada Alquran dan sunnah Rasul. Apa yang dilakukan Jamaah an-Nadzir ini dapat dilihat sebagai sebuah tandingan dari tradisi mayoritas umat Islam yang mengatur secara ketat
siapa yang berhak dan dapat menafsirkan teks-teks suci Alquran dan hadist sehingga penafsiran hanya menjadi dominasi kaum ulama, orang-orang yang bukan ulama
dianggap tidak bisa menafsirkan teks suci karena kurang ilmu. Pelaksanaan fiqh tertentu secara ketat terkadang membuat seseorang atau
komunitas dicap fundamentalis. Dalam tradisi fiqh orang yang dianggap melakukan upaya peletakan dasar-dasar keagamaan baik secara hukum fiqh maupun secara politis
menurut Adonis 2007:33 dilakukan oleh Al-imam Muhammad bin Idris asy- Syafi‟i.
56
Menurut asy- Syafi‟I baik dan buruk, perintah dan larangan harus disandarkan pada Al-
kitab dan sunnah. Ia bersifat syar‟iyyah, bukan rasional
57
. Dalam rangka interpretasi al- Kitab dan Sunnah inilah asy-Syafii menetapkan syarat yang ketat. Orang yang berhak
melakukan interpretasi hanya orang-orang mengusai Alquran dan Sunnah, selain itu dia juga harus dengan menguasai bahasa Arab dengan baik dimensi dan tradisinya serta
aspek-aspek keilmuan Islam lainnya
58
. Syarat yang demikian ketat ini membuat penafsiran tentang Islam khususnya dari segi hukum hanya dapat dilakukan oleh
segelintir orang saja. Perbedaan Jamaah an-Nadzir dalam urusan ibadah pertama-tama dapat dilihat
pada lafaz azan yang mereka gunakan, Jamaah an-Nadzir menambahkan lafaz “hayya
alal khairil amar” mari melaksanakan perbuatan yang baik” setelah lafaz hayya alal
56
Lebih dikenal dengan nama Imam Syafi‟I. salah satu dari empat imam mazhab besar dalam tradisi Sunni. Di Indonesia, fiqh imam Syafi‟i adalah fiqh mayoritas yang digunakan oleh umat Islam.
57
Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam vol II hlm 13
58
Ibid., hlm 25
shalat dalam lafaz azan mereka. Menurut mereka, lafaz yang demikian itu merupakan lafaz yang diucapkan pada masa kenabian dahulu.
Perbedaan praktik ibadah Jamaah an-Nadzir dengan komunitas Muslim kebanyakan juga dapat dilihat dari tata cara melakukan shalat. Tidak seperti kebanyakan
umat Muslim di Indonesia yang melakukan shalat dengan cara bersedekap setelah takbiratul ihram, Jamaah an-Nadzir melakukan shalat dengan meluruskan tangan rapat
dengan paha, tidak membedakan cara duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir, mengucapkan salam hanya sekali tanpa memalingkan muka ke kiri dan ke kanan, serta
tidak mengusap muka setelah mengucapkan salam. Selain perbedaan tersebut, tata cara lainnya cenderung sama dengan komunitas Muslim lainnya.
Tidak hanya berbeda dalam tata cara gerakan shalat, an-Nadzir juga terlihat berbeda dalam penentuan waktu shalat. Dalam menentukan waktu-waktu shalat jamah
an-Nadzir berpatokan pada tanda-tanda alam. Komunitas An-Nadzir melakukan shalat Dhuhur dan Asar secara berdekatan. Ini terkait dengan sistem penentuan waktu Dhuhur
mereka yang agak berbeda dengan cara penentuan waktu masyarakat Muslim di Indonesia pada umumnya. Awal waktu Dhuhur dalam tradisi an-Nadzir adalah ketika
suatu benda sama panjang dengan separuh bayangannya. Jika diukur dengan menggunakan jam kira-kira jam 15.00 lebih. Sedangkan waktu akhir Dhuhur adalah
ketika bayangan benda sama panjangnya dari bendanya, atau sekitar jam 17.00. Kemudian, dalam pelaksanaan shalat Dhuhur dan Asar, mereka mengakhirkan waktu
Dhuhur dan mempercepat waktu Asar. Sehingga terlihat seperti menjamak dua shalat.
Waktu shalat yang ditentukan oleh Jamaah an-Nadzir ini menurut mereka didasarkan dan merupakan tuntunan yang terdapat dalam Alquran
59
. Begitu pula dengan shalat Magrib dan shalat Isya. Waktu Magrib dimulai ketika
sudah terlihat mega atau awan merah di ufuk Barat, dan awan merah di Timur telah hilang. Bila diukur dengan jam, sekitar pukul 18.30. Sedangkan waktu Isya masuk
setelah awan merah di ufuk Barat telah hilang yang berarti malam telah turun hingga fajar menyingsing. Shalat Magrib dilakukan pada pukul 18.30, Shalat Isya dilakukan
sekitar pukul 03.00-04.00 malam, sedangkan Shalat Subuh dilakukan ketika selesainya fajar kadzib atau sekitar pukul 06.00 pagi. Hal lain juga yang berbeda adalah dalam
pelaksanaan shalat jumat. Jika komunitas Muslim lain biasanya mengisi khutbah jumat dengan berbagai tema ceramah, khutbah dalam komunitas Jamaah an-Nadzir hanya diisi
dengan wasiat takwa dalam bahasa Arab tanpa ada campuran bahasa lain. Dalam pandangan Jamaah an-Nadzir, khutbah jumat adalah dua rakaat pengganti shalat dhuhur
sehingga berbicara selain bahasa Arab dapat merusak keabsahan shalat. Perbedaan penentuan waktu shalat Jamaah an-Nadzir juga berdampak perbedaan
pelaksanaan puasa yang mereka lakukan. Jadwal imsak dan jadwal berbuka puasa Jamaah an-Nadzir sedikit lebih lambat dibandingkan dengan mayoritas umat Islam di
Indonesia. hal ini disebabkan karena waktu shalat subuh yang merupakan ukuran imsak dan waktu shalat magrib yang merupakan ukuran berbuka puasa dilaksanakan
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Waktu imsak dan berbuka puasa yang mereka praktikkan ini juga merupakan tuntunan yang telah dijelaskan dalam Alquran
59
Q.S Hud 115 dan dirikan shalat di dua tepi siang
menurut Jamaah an-Nadzir
60
. Dalam pandangan Jamaah an-Nadzir waktu berbuka puasa yang dilakukan kebanyakan umat Islam sesungguhnya belumlah waktu berbuka yang
disyaratkan karena belum memasuki permulaan malam waktu shalat magrib, dengan pernyataan ini, komunitas ini terkesan ingin meneguhkan pendapat mereka sekaligus
secara tersirat meyalahkan komunitas lain karena bagi an-Nadzir kebanyakan orang Islam saat ini sudah berbuka pada waktu di mana seharusnya orang masih melaksanakan
puasa. Masih menyangkut puasa Ramadhan, Jamaah an-Nadzir sering kali berbeda
dengan masyarakat Islam di Indonesia dalam penentuan satu Ramadhan dan satu Syawal. Sekurang-kurangnya dalam empat tahun belakangan, komunitas An-Nadzir
selalu lebih dulu satu atau dua hari melaksanakan puasa dan hari raya id dari versi pemerintah. Perbedaan penentuan awal Ramadahan dan Syawal tersebut membuat
komunitas ini dikenal luas di Indonesia karena perbedaan mereka dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya selalu menjadi sorotan media setiap tahun. an-Nadzir
melakukan kombinasi rukyah dan hisab dalam menentukan waktu ramadhan. Rukyah biasanya dilakukan dengan melihat bulan, melihat air pasang, dan kondisi angin di
lautan. Sedangkan hisab dilakukan dengan terlebih dahulu menetapk an waktu Sya‟ban.
Menurut mereka, jika kita telah mengetahui penentuan awal Sya‟ban maka akan sangat mudah menentukan awal Ramadhan.
Pandangan tentang zakat fitrah juga berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya. Komunitas An-Nadzir menganggap bahwa zakat fitrah tidak berlaku untuk
semua orang Islam. Kewajiban zakat fitrah hanya berlaku untuk orang Islam yang telah
60
Q.S al-Baqrah 187 makan dan minumlah sampai jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam di waktu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam
mukallaf atau baligh. Sedangkan anak-anak usia pra-baligh tidak diwajibkan untuk membayar zakat fitrah sebagaimana anak-anak yang belum baligh belum wajib
melaksanakan perintah ibadah lainnya. Ini karena anak-anak masih terbebas dari dosa, karena itu mereka belum diwajibkan membayar zakat fitrah. Praktik kebanyakan umat
Islam yang mewajibkan zakat fitrah bagi seluruh umat Muslim bahkan bagi anak yang baru lahir sebelum hari raya Idulfitri menurut ustad Lukman
61
adalah sebuah bentuk politisasi agama oleh pihak agamawan dan pemerintah untuk memperkaya diri sendiri
atau golongannya. Hal lain yang menarik adalah pandangan Jamaah an-Nadzir tentang pelaksanaan
ibadah haji. Jamaah an-Nadzir tidak memprioritaskan penganutnya untuk melaksanakan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam. Menurut Arif
–salah satu anggota Jamaah an-Nadzir- pelaksanaan ibadah haji dewasa ini kebanyakan hanya dijadikan
sebagai ajang rekreasi, bukan lagi ibadah dan semangat mendapatkan ridho Tuhan yang menjadi tujuan utama. Banyak orang yang menunaikan ibadah haji untuk kepentingan
duniawi, seperti untuk meraih kehormatan atau kebanggaan sosial tertentu. Praktik dan konstruksi ibadah an-Nadzir yang demikian itu sebenarnya bukanlah
hal yang sepenuhnya baru meski dalam konteks masyarakat Indonesia masih dianggap tidak lazim. Praktik dan tata cara ibadah Jamaah an-Nadzir dalam banyak hal tampak
memiliki banyak kemiripan dengan tata cara ibadah kaum Syiah. Mulai dari penentuan waktu shalat, azan, tata cara pelaksanaan shalat, zakat kecuali penentuan waktu puasa
yang direkonstruksi sendiri. Meski demikian, komunitas ini menganggap bahwa
61
Salah satu pemuka Jamaah an-Nadzir
kesamaan itu, bukan karena mereka mengambil secara sengaja model ibadah kelompok Syiah, tetapi karena tata cara yang demikian itulah yang benar.
Pemahaman interpretasi teologis dan praktik ibadah jamaah membuat komunitas ini oleh beberapa pihak
62
dianggap fundamentalis ataupun revivalis. Namun bagi Jamaah an-Nadzir tuduhan semacam itu atau bahkan mereka dituduh gila sekalipun
t idak mereka permasalahkan karena mereka meyakini bahwa „kegilaan‟ mereka adalah
kegilaan terhadap Tuhan. Bahkan Jamaah an-Nadzir menggunakan serangan semacam itu mengafirmasi komunitas mereka. Jika mereka oleh komunit
as lain dianggap „aneh‟ atau semacamnya, maka Jamaah an-Nadzir menganggap klaim yang demikian itu
berarti semakin mendekatkan mereka pada janji Tuhan bahwa Islam di akhir zaman akan kembali asing sebagaimana Islam itu adalah sesuatu yang asing awal
kemunculannya meskipun saat itu kuantitas umat Islam sangatlah banyak
63
. Jamaah an-Nadzir mengkonstruksi komunitas mereka sebagai komunitas yang
telah dijanjikan Allah dalam Alquran
64
. Mereka meyakini bahwa komunitas mereka adalah kelompok pembawa panji-panji hitam dari Timur di akhir zaman sebagaimana
telah dijanjikan dalam hadist Rasulullah
65
. Jamaah an-Nadzir berusaha melakukan
62
Salah satunya adalah Departemen Agama Makassar melalui penelitian yang dilakukan oleh pegawainya
Saprillah; Jamaah an-Nadzir: Melawan Arus, Membangun Kemandirian
63
Wawancara dengan ustad rangka
64
Wahai orang-orang beriman Barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya Islam, niscaya kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,
mereka bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang kafir, dan mereka tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela. Itu adalah karunia Allah yang
diberikan kepada siapa yang dia kehendaki. QS.Al-Maidah 5:54
65
Dari Abdullah bin Umar ra berkata: “Adalah Rasulullah SAW bersama-sama dengan sekumpulan Muhajirin dan Anshar, Ali bin Abi Thalib kw di sebelah kirinya dan Al-Abbas di sebelah kanannya,
ketika Al-Abbas dan seorang lelaki dari kalangan Anshar bersitegang. Sahabat Anshar itu berbicara agak kasar kepada Al-Abbas. Maka Rasulullah saw memegang tangan Al-Abbas dan tangan Ali lalu bersabda,
„Dari keturunannya sambil menunjuk ke arah Al-Abbas akan datang seorang pemuda yang akan memenuhkan dunia ini dengan penindasan dan kedzaliman, dan dari keturunannya sambil menunjuk Ali
muncul seorang lelaki yang akan memenuhkan dunia ini dengan keadilan dan kesaksamaan. Jika kamu
redefenisi tentang makna Timur untuk mengafirmasi argumentasi bahwa merekalah komunitas dari Timur yang dijanjikan tersebut sekaligus menegasikan kelompok-
kelompok lain yang juga mengklaim kelompok sebagai kelompok yang dijanjikan. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa timur yang dimaksud bukanlah dari jazirah Arab
melainkan wilayah Nusantara atau tepatnya Kabupaten Gowa secara khusus. Menurut mereka, Gowa terletak pada wilayah paling timur, jikapun ada wilayah yang lebih timur
dari Gowa tetapi komunitas yang mejalankan dan menghidupkan kembali dimensi kehidupan kenabian hanya ada di tanah Gowa, yakni komunitas mereka. Kelompok
panji-panji hitam diartikan sebagai komunitas yang akan menegakkan kembali hukum- hukum Islam. Dalam rangka merepresentasi diri
sebagai kelompok pembawa „panji- panji hit
am‟ inilah mereka memilih warna hitam sebagai warna pakaian komunitas. Meskipun terlihat atau dianggap fundamentalis, namun di sisi yang lain Jamaah
an-Nadzir membangun mistifikasi terhadap komunitas mereka yang nampak paradox ataupun kontradiktif dengan sisi fundamentalismenya
66
. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran kreatif yang dilakukan terhadap ramalan-ramalan tentang akhir zaman dalam
teologi Islam yang berusaha dileburkan dengan beberapa narasi lokal sehingga menimbulkan kesan hybrid. Penggunaan narasi lokal ini menarik karena sebagaimana
semua melihat yang demikian, berbaiatlah kepada Putera dari Bani Tamim itu yang datang dari arah Timur. Dialah pemilik Panji-panji Al-
Mahdi.” HR. At-Tabrani, Abu Nuaim, Al-Khatib dan Al- Kidji.
Dikutip dari buku Pemuda Bani Tamim, Perintis Jalan Imam Mahdi karya Sayyid Muhammad Al- Jundi.
66
Saya pernah punya pengalaman unik terkait paradox ini ketika saya melakukan penelitian pada Jamaah an-Nadzir. Saya melakukan wawancara dengan ustad Rangka pimpinan Jamaah an-Nadzir di damping
dua anggotanya. Ketika masuk shalat magrib, saya ikut berjamaah dengan mereka. Menariknya kami hanya bertayammum padahal disana banyak air yang dapat digunakan untuk berwudhu. Karena kami
sholat di tempat yang lumayan sempit unvuk menampung kami berempat untuk sholat berdiri, maka kami sholat di atas kursi, padahal kami sangat mungkin mencari tempat yang lebih luas. Hal ini tentu saja tidak
seperti yang dipahami dalam fiqh kebanyakan umat Islam dimana bertayammum tidak diperbolehkan jika seseorang dapat memperoleh air bersih dan tidak sakit. Orang juga tidak dibenarkan sholat duduk jika dia
mampu berdiri. Mengetahui keheranan saya, Rangka mengatakan kalau yang dia lakukan itu adalah perintah Allah, dan dia menjamin jika dia salah maka dia yang akan menanggung dosa saya. Dengan ini
dia berusaha mengklaim diri telah mencapai derajat spiritual tertentu.
telah disebutkan bahwa Jamaah an-Nadzir adalah komunitas diaspora dari berbagai latar belakang etnis. Misalnya Jamaah an-Nadzir menganggap
“Qum” yang diyakini sebagai tempat munculnya Al-Mahdi
adalah sinonim dari kata “Gowa.” Daerah “Qum” atau “Gowa” ini, senantiasa dijaga oleh Allah SWT. Bahkan wilayah inilah terdapat suatu
tempat berkumpulnya para waliyullah menunggu datangnya ketetapan Allah SWT.
67
Jika kita telusuri sejarah, maka di daerah “Qum” atau “Gowa” ini kita akan
menemukan benang merah yang tersambung dari silsilah keturunan salah seorang waliyullah yang sangat dikenal, yakni Syeikh Yusuf yang
merupakan anak keturunan dari Nabiullah Khaidir Ibnu Abbas Balyamulkan Rijema Alfahanisu Al-Ajiru Abul Abbas Balyamulkan as. Di wilayah
“Qum” atau “Gowa” inilah yang menjadi basis dan tempat mempersiapkan, melatih dan mendidik pasukan inti 313 tersebut. Suatu ketika Syeikh Yusuf
melalui dialog spiritual pernah mengatakan : “Sesungguhnya yang paling
berbahagia di antara para waliyyullah di akhir zaman ini adalah saya Syeikh Yusuf. Mengapa demikian? Oleh karena dari anak cucu dan keturunan
sayalah nanti yang paling banyak terlibat, mempersiapkan dan mendampingi Imam
ul „Adzma Al- Mahdi Al-Muntadzar as di akhir zaman
68
. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa komunitas mereka bukan hanya sekadar
komunitas yang dijanjikan, lebih dari itu mereka meyakini bahwa mereka merupakan komunitas yang dipilih Tuhan untuk mengembalikan kejayaan Islam di akhir zaman.
Dalam rangka mencitrakan diri sebagai komunitas pilihan ini, Jamaah an-Nadzir banyak mengajukan klaim yang tampak agak sulit diterima logika, seperti Tuhan maujud dalam
perjalanan mereka, para nabi juga dan malaikat juga hadir dalam spirit yang mewujud dalam tubuh manusia menemani perjalanan akhir zaman tersebut. Tentang hal ini akan
dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.
67
Sebagian masyarakat suku Makassar termasuk masyarakat Gowa meyakini bahwa gunung Bawakaraeng adalah tempat persemayaman para wali.
68
wawancara dengan arif. Anggota Jamaah an-Nadzir.
BAB III KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR