Penapisan dan Identifikasi Daerah Ds pada Padi Mutan Pembawa Activation-Tag untuk Mengungkap Gen Toleran Terhadap Cekaman Salinitas

PENAPISAN DAN IDENTIFIKASI DAERAH DS PADA PADI MUTAN
PEMBAWA ACTIVATION-TAG UNTUK MENGUNGKAP
GEN TOLERAN TERHADAP CEKAMAN SALINITAS

ANKY ZANNATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penapisan dan Identifikasi Daerah Ds
pada Padi Mutan Pembawa Activation-Tag untuk Mengungkap Gen Toleran Terhadap Cekaman
Salinitas adalah benar karya saya bersama komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bogor, Agustus 2014

Anky Zannati
NIM P051100181 

RINGKASAN
ANKY ZANNATI. Penapisan dan Identifikasi Daerah Ds pada Padi Mutan
Pembawa Activation-Tag untuk Mengungkap Gen Toleran Terhadap Cekaman
Salinitas. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI dan SATYA NUGROHO.
Peningkatan produksi padi pada masa mendatang, akan banyak
menghadapi tantangan yang semakin komplek, berkaitan dengan cekaman abiotik
dan biotik akibat dampak perubahan iklim. Pengembangan varietas unggul untuk
menghadapi cekaman kini menjadi sangat penting. Mutasi insersi merupakan
salah satu metode dalam analisis functional genomics atau analisis fungsi genom.
Penggunaan elemen transposon Ac/Ds yang mampu bertransposisi dalam berbagai
tanaman termasuk padi, memungkinkan untuk menemukan gen fungsional seperti
pengkode toleransi terhadap cekaman abiotik pada padi. Pendekatan ini
diharapkan dapat mengungkap potensi sumber gen bermanfaat, atau faktor dan
elemen bermanfaat yang mengontrol sifat terkait cekaman abiotik, khususnya
cekaman salinitas pada padi. Selanjutnya informasi yang diperoleh dapat

dimanfaatkan untuk merakit padi atau bahkan varietas tanaman lainnya yang lebih
toleran salinitas. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan penapisan padi
mutan pembawa activation-tag untuk toleransi terhadap cekaman salinitas,
mengurutkan daerah pengapit Ds, dan mengidentifikasi situs penyisipan gen yang
diduga bertanggung jawab atas fenotip.
Sebanyak 75 galur padi mutan dipilih dari 1000 benih hasil penapisan
massal digunakan untuk mengidentifikasi mutan yang responsif terhadap cekaman
salinitas. Mutan divalidasi toleransi salinitasnya dalam tiga percobaan, dilakukan
pada perkecambahan umur 17 hari dalam larutan Yoshida yang mengandung 200
mM NaCl. Pendekatan yang digunakan untuk mengevaluasi toleransi terhadap
salinitas, yaitu dengan menghitung nilai Vigour Index dan persentase reduksi.
Analisis sekuen pengapit daerah insersi pada genom padi dilakukan menggunakan
metoda TAIL-PCR. Sedangkan identifikasi daerah insersi dilakukan melalui
analisis bioinformatika. Analisis dilakukan dengan menggunakan beberapa
database yang bersifat public open-source.
Sebanyak 10 mutan potensial toleran salinitas diperoleh dari hasil
penapisan, dengan nilai indeks vigour tertinggi yaitu 3,54 hingga 7,45. Analisis
insersi menggunakan PCR terhadap galur mutan 170-10 menghasilkan pita
berukuran 400pb, menunjukkan bahwa elemen Ds telah bertransposisi. Sebuah
amplikon dari galur mutan 170-10 berhasil diisolasi dengan teknik TAIL- PCR

menggunakan primer random (degenerate primer) AD2 dan primer spesifik Ds3.
Analisis bioinformatika menunjukkan insersi terletak di daerah coding sequence
sebagai Os11g0686500 pada kromosom 11.
Kata kunci: Padi(Oryza sativa L.), activation-tag, cekaman salinitas.

SUMMARY
ANKY ZANNATI. Screening and Identification of Ds Insertions Sites of Mutant
Rice Carrying Activation-tag to Discover Genes Responsive to Salinity Stress.
Supervised by UTUT WIDYASTUTI and SATYA NUGROHO.
Increased rice production will face many complex challenges, related to
abiotic and biotic stresses due to climate change impacts. Development of
improved varieties to cope with stress has become a very important need.
Insertion mutation is one method of functional genomics analysis. The use of
transposon element Ac / Ds that capable transposed in the genome, allows this
method finding functional genes encoding tolerance to abiotic stresses in rice.
This approach expected to reveal potential sources of useful genes, or factors and
elements that control traits related to abiotic stresses, especially salinity stress in
rice. Furthermore, the information obtained can be used to make rice plant or
other crop varieties become more tolerant to salinity. The objectives of this
research were to screen activation-tag mutant rice for salinity stress tolerance,

sequence the Ds flanking regions of a candidate salinity tolerant mutant rice, and
identify the insertion site and putative gene responsible for the phenotype.
Seventy-five lines were chosen from a 1000 fast screening experiment to
identify mutant responsive to salinity stress. The mutant was validated in three
screening batches at germinating stage in Yoshida solution containing 200 mM
NaCl. Methods used to evaluate salinity tolerance were calculated from the value
of Vigour Index and the percentage reduction. The insertion analysis of flanking
sequence region in the rice genome was performed using TAIL-PCR. While the
insertion area identification perfomed by bioinformatics analysis using several
open-source databases.
Ten potential tolerant mutants, with the highest vigour index from 3,54 to
7,45 were identified. Insertion analysis of the mutant 170-10 showed that the Ds
elements has been transposed, based on 400 bp PCR result. band. A specific
amplicon from mutant rice line 170-10 was successfully isolated with TAIL PCR
technique using AD2 degenerate primer and Ds3 specific primers. Bioinformatics
based analyses found that the insertion is located in a putative coding sequence
designated as Os11g0686500 located in chromosome 11.
Keywords: rice (Oryza sativa L.), activation-tag, salinity tolerant.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB dan LIPI.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan LIPI

PENAPISAN DAN IDENTIFIKASI DAERAH DS PADA PADI MUTAN
PEMBAWA ACTIVATION-TAG UNTUK MENGUNGKAP
GEN TOLERAN TERHADAP CEKAMAN SALINITAS

ANKY ZANNATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA

Judul Tesis : Penapisan dan Identifikasi Daerah Ds pada Padi Mutan
Pembawa Activation-Tag untuk Mengungkap
Gen Toleran Terhadap Cekaman Salinitas
Nama
: Anky Zannati
NIM
: P051100181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Utut Widyastuti, MSi

Ketua

Dr Satya Nugroho
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
23 Mei 2014

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Penapisan dan
Identifikasi Daerah Ds pada Padi Mutan Pembawa Activation-Tag untuk
Mengungkap Gen Toleran terhadap Cekaman Salinitas berhasil diselesaikan.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1.

Dr Utut Widyastuti sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Satya
Nugroho sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan ilmunya kepada penulis.

2.

Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA selaku dosen penguji luar komisi yang telah
memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

3.


Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) RI yang telah
memberikan beasiswa pendidikan, hingga penulis bisa menyelesaikan studi
pada program Pascasarjana Bioteknologi IPB.

4.

Dana Penelitian Riset Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang telah mendanai penelitian ini.

5.

Keluarga besar laboratorium Genomik dan Perbaikan Mutu Tanaman, yang
telah banyak memberikan bantuan atas kelancaran penelitian ini.

6.

Kedua orangtua yang telah memberikan begitu banyak perhatian, dukungan
dan do’anya kepada penulis.

7.


Segenap sahabat mahasiswa S2 Bioteknologi IPB angkatan 2010 yang telah
banyak memberikan motivasi dan bantuannya.

8.

Segenap karyawan serta staff administrasi Program Studi Bioteknologi IPB,
yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi.

Serta semua pihak yang telah banyak memberikan motivasi, dan
dukungannya serta menjadi inspirasi bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Anky Zannati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Padi sebagai Tanaman Model
Produksi Padi dan Tantangannya
Produksi Padi dan Perubahan Iklim
Cekaman Abiotik: Salinitas
Forward dan Reverse Genetics
Strategi Mutagenesis untuk Mempelajari Fungsi Gen
Mutasi Insersi: Transposon Tagging
Sistem Transposon Ac/Ds untuk Analisis Fungsi Genom
pada padi (Oryza sativa L)
Bioinformatika

3
3
3
4
7
11
11
12

3 METODE
Bahan
Prosedur Kerja

17
17
18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penapisan Cekaman Salinitas
Analisis Insersi
Analisis Sekuen Pengapit
Prediksi CDS di Daerah Insersi dengan Bioinformatik a
Prediksi CDS di Daerah Upstream dan Downstream Insersi
Prediksi CDS di Daerah Non-Coding
Prediksi Fungsi Gen Teridentifikasi dan Kaitannya dengan Toleransi
Cekaman Salinitas: Protein Dinding Sel
Prediksi Fungsi Gen Teridentifikasi dan Kaitannya dengan Toleransi
Cekaman Salinitas

21
21
24
28
29
30
31

14
14

32
33

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

34
34
34

DAFTAR PUSTAKA

35

LAMPIRAN

42

RIWAYAT HIDUP

55

DAFTAR TABEL
1

2
3
4
5
6

Hubungan EC dengan satuan yang lain dan dengan konsentrasi NaCl.
Faktor konversi terkait total garam terlarut atau NaCl terhadap electrical
conductivity (EC) 1 dS/m
Electrical conductivity (EC) dari larutan pada 20oC.
Kondisi TAIL PCR
Nilai vigour index 10 mutan terbaik
Persentasi reduksi pertumbuhan 10 mutan dengan nilai terendah
Data hasil PCR gen hpt dan bar pada 10 galur mutan

10
10
19
22
24
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Fenomena efek rumah kaca
Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis
akibat pemanasan global dan perubahan iklim
Pengaruh salinitas terhadap hasil tanaman padi
Ringkasan skematik cekaman yang dapat terjadi dibawah
kondisi salinitas tinggi
Fenotip perkecambahan pada 17 hari setelah perlakuan salinisasi
Tingkat toleransi relatif tanaman pangan terhadap kondisi salin
Skema konstruksi padi mutan pembawa activation-tagging
Contoh hasil PCR gen hpt dan bar
Skema dari plasmid pMO mengandung elemen Ds
Hasil analisis PCR eksisi
Skema TAIL-PCR
Hasil TAIL-PCR pada padi mutan potensial galur 170-10
Skema gen Os11g0686500
Daerah insersi dan lokasi gen Os11g0686500 kromosom 11

5
6
7
9
21
23
25
26
26
27
28
29
30
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Hasil Uji Duncan pada Vigour index (Kontrol)
Grafik Vigour index Kontrol
Hasil Uji Duncan pada Nilai Vigour index Perlakuan
Grafik Vigour index Perlakuan
Hasil Uji Duncan pada Nilai Persentase Reduksi Pertumbuhan
Grafik Nilai Persentase Reduksi Pertumbuhan
Data PCR Eksisi

42

45
46
49
50
52
53

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah pangan dan ketahanan pangan di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari konteks komoditas beras. Untuk mengamankan ketersediaan pangan dengan
pertumbuhan penduduk mencapai 1,3% per tahun (BPS, 2010), maka dibutuhkan
pertumbuhan produksi beras yang berkelanjutan, agar dapat memenuhi kebutuhan
beras di Indonesia. Kebutuhan beras tahun 2015 akan mencapai lebih dari 37 juta
ton dan pada tahun 2025 menjadi 41 juta ton, atau meningkat masing-masing 8%
dan 27% dari tahun 2003 yang hanya 32 juta ton (Suryana, 2005). Oleh karena itu
produksi padi menjadi faktor penting dalam pertanian di Indonesia.
Salah satu lahan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi
padi adalah pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan pasang surut, yang belum
diupayakan secara optimal untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan
pangan nasional. Areal pasang surut di Indonesia diperkirakan mencapai 20.11
juta ha, dengan 0.44 juta ha lahan salin yang merupakan salah satu lahan marginal
yang dapat berpotensi menjadi areal persawahan. Pengelolaan yang baik dari
potensi produksi padi lahan pasang surut dapat mencapai 5 ton/ha (Sudana, 2005).
Cekaman salinitas merupakan salah satu kendala utama untuk produksi
sereal dunia, dimana seluas lebih dari 10% dari lahan di dunia telah rusak oleh
salinitas. Di Asia, 12 juta hektar lahan budidaya terkena dampak oleh salinitas
yang tinggi, sehingga perlu menjadi perhatian (Lafitte et al. 2004). Lahan
marginal di Indonesia selain berupa areal pasang surut, areal persawahan yang
terkena intrusi air laut telah menjadi salah satu masalah serius dalam produksi
tanaman padi di Indonesia. Lahan persawahan yang mengalami intrusi air laut
menyebabkan tanah bersifat salin saat ini semakin meluas. Daerah-daerah tersebut
berada di sepanjang pantai utara dan selatan Pulau Jawa (Las et al. 2008).
Sulawesi Selatan dan Flores (Nusa Tenggara Timur) juga telah mengalami intrusi
air laut ke daratan dan telah masuk ke lahan pertanian (Sembiring et al. 2008).
Selain permasalahan tersebut, peningkatan produksi padi pada masa
mendatang, akan banyak menghadapi tantangan yang semakin komplek, berkaitan
dengan cekaman abiotik dan biotik akibat dampak perubahan iklim. Permasalahan
yang tidak kalah penting lainnya adalah kurangnya varietas toleran cekaman
lingkungan, terutama cekaman kadar garam yang tinggi. Pengembangan varietas
unggul untuk menghadapi cekaman kini menjadi sangat penting.
Cekaman salinitas mempengaruhi pertumbuhan akar, batang dan luas
daun, hal ini akibat ketidakseimbangan metabolik yang disebabkan oleh
keracunan ion Na+, cekaman osmotik dan kekurangan hara (Munns, 2002).
Tanaman padi sangat peka terhadap cekaman salinitas, khususnya pada fase
perkecambahan. Cekaman salinitas pada padi dapat mengarah pada penurunan
hasil (Lafitte et al. 2004). Kini melacak gen dengan sifat spesifik untuk fungsi
menghadapi cekaman lingkungan, seperti cekaman salinitas, telah difasilitasi
dengan tersedianya informasi genom lengkap sehingga memungkinkan adanya
eksplorasi sifat-sifat molekul, ekspresi dan regulasi gen.
Mutasi insersi telah menjadi salah satu strategi paling baik untuk
mengetahui fungsi suatu gen. Transposon AC/Ds yang berasal dari jagung adalah

2
salah satu sistem yang banyak digunakan dalam mutasi insersi pada tanaman,
yaitu antara lain pada Arabidobsis, wortel (Van Sluys et al.1987), tomat (Meissner
et al. 2000), lettuce (Yang, et al. 1993), tembakau (Fitzmaurice et al.1999), dan
kentang (Knapp. et al. 1988). Studi yang telah dilakukan sebelumnya
menunjukkan bahwa transposon Ac/Ds juga dapat digunakan pada padi sebagai
mutagen insersional yang potensial (Izawa, et al. 1997). Sistem activation-tagging
dengan elemen Ds yang membawa empat salinan enhancer dapat diterapkan
untuk melakukan mutasi overekspresi dan dapat digunakan pada padi untuk
memaksimalkan upaya pencarian gen-gen penting (Upadhyaya et al. 2002).
Pendekatan ini diharapkan dapat mengungkap potensi sumber gen bermanfaat,
atau faktor dan elemen bermanfaat yang mengontrol sifat terkait cekaman abiotik,
khususnya cekaman salinitas pada padi. Selanjutnya informasi yang diperoleh
dapat dimanfaatkan untuk merakit padi atau bahkan varietas tanaman lainnya
yang lebih toleran salinitas.
Pada penelitian sebelumnya, sebanyak 1000 populasi mutan padi
pembawa Ac/Ds telah berhasil dikembangkan dan telah melalui fase penapisan
massal untuk cekaman salinitas (data belum dipublikasi).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan penapisan populasi mutasi insersi
padi atas respon terhadap cekaman salinitas pada fase perkecambahan,
mengidentifikasi daerah insersi pada padi mutan pembawa activation-tag
responsif salinitas tinggi, lalu informasi yang diperoleh digunakan untuk
mengetahui daerah insersi padi mutan toleran salinitas.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Padi Sebagai Tanaman Model
Padi (Oryza sativa L.) adalah salah satu spesies serealia paling penting di
dunia, karena merupakan sumber kalori bagi lebih dari 50% penduduk dunia dan
nilai ekonominya yang tinggi (David 1991). Padi telah menjadi model untuk
tanaman monokotil karena akumulasi informasi molekuler untuk spesies ini
(Sakata et al. 2000), efisiensi transformasi (Tyagi dan Mohanty 2000), ukuran
genom yang kecil (430 Mb) (Arumuganathan dan Earle 1991).
Gen dari padi dapat menjadi acuan bagi tanaman serealia yang lain,
seperti gandum, jagung, barley, dan sorgum (Gale dan Devos 1998). Sehingga
analisis fungsional dari gen padi memiliki dampak yang luas untuk tanamantanaman ekonomis penting lainnya, karena informasi genom pada padi dapat
dimanfaatkan secara luas. Pemanfaatan dapat dilakukan dalam mengembangkan
produksi dan teknologi baik pada tanaman padi maupun tanaman pangan lainnya.
Melalui upaya terpadu berbagai lembaga, seluruh genom padi (Oryza
sativa ssp. japonica) kultivar Nipponbare dan indica telah berhasil diurutkan
(Goff et al, 2005; Yu et al. 2002). Melalui konsorsium internasional, yaitu
International Rice Genome Sequencing Project (IRGSP) yang didirikan pada
tahun 1997 telah diselesaikan pengurutan genom padi pada bulan Desember 2004.
Genom padi yang telah dikenali sekuen genomnya meliputi dua sub-species padi
yang berbeda, pada tahun 2002 oleh Syngenta (Torrey Mesa Research Institute,
San Diego, Amerika Serikat ) untuk sub-species japonica dan BGI (Beijing
Genomics Institute, Beijing, Cina) untuk sub-species indica (Goff et al. 2005; Yu
et al. 2002).

Produksi Padi dan Tantangannya
Perubahan iklim global akan menyebabkan perubahan dalam sistem
pertanian. Produktivitas tanaman akan terganggu. Agro-ekosistem dapat berubah
karena terjadinya cekaman kekeringan yang berkepanjangan, banjir dan salinisasi,
yang selanjutnya akan mengancam ketahanan pangan (Rosenzweig dan Tubiello
2007).
Lahan pertanian, identik dengan wilayah pedesaan yang penduduknya
memiliki mata pencaharian bergerak di sektor agraris. Penyempitan lahan
pertanian merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
kondisi dimana lahan pertanian di pedesaan sudah banyak berkurang (Irawan,
2005). Di Indonesia, masalah penyempitan lahan sudah terjadi selama bertahuntahun. Menurut data dari tahun 1999-2002 penyempitan diperkirakan mencapai
330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Hal ini disebabkan oleh
munculnya sumber-sumber ekonomi baru di desa seperti industri modern, badanbadan perniagaan, perumahan dan lain-lain (Irawan, 2005).
Pemanasan global diprediksi masih tetap akan terjadi dalam beberapa
dekade mendatang, dan akibatnya adalah permukaan air laut meningkat. Rusono
et al (2010) menyebutkan bahwa diprediksi pada tahun 2025-2030 dengan

4
kenaikan muka air laut 0.5 m, maka luas lahan pertanian di Pulau Jawa akan
hilang sebanyak 313 ribu hektar, dan dari angka ini 113 ribu hektar diantaranya
adalah lahan sawah. Lahan yang terkena dampak kenaikan air laut ini, harus
bertahan dengan kondisi garam yang tinggi.
Salinitas pada lahan pertanian telah menjadi salah satu masalah serius
dalam produksi tanaman padi di Indonesia. Lahan persawahan yang mengalami
intrusi air laut menyebabkan tanah bersifat salin saat ini semakin meluas. Daerahdaerah tersebut berada di sepanjang pantai utara dan selatan Pulau Jawa (Las et al.
2008). Selain itu juga di daerah Aceh dan Nias yang beberapa tahun yang lalu
mengalami musibah tsunami. Sulawesi Selatan dan Flores (Nusa Tenggara Timur)
juga telah mengalami intrusi air laut ke daratan dan telah masuk ke lahan
pertanian (Sembiring et al. 2008).
Akibat luas lahan pertanian yang cenderung terus menurun, maka di masa
mendatang jumlah beras yang dihasilkan diprediksi tidak mencukupi. Cekaman
abiotik, termasuk kekeringan, salinitas, dan suhu rendah akan mempengaruhi
pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Lebih dari 50% produksi gabah bisa
hilang akibat cekaman abiotik tersebut. Oleh karena itu, varietas padi di masa
mendatang diharapkan tidak hanya berproduktifitas tinggi pada lingkungan
normal, tetapi juga dapat mengurangi kehilangan produksi pada lingkungan
dengan cekaman abiotik dan biotik (Ainsworth dan Donald 2010).
Perhitungan dari Badan Pusat Statistik Indonesia menyebutkan bahwa,
pertumbuhan maksimal populasi rata-rata pada tahun 2005-2030 yaitu 1,3%.
Diprediksikan pada tahun 2015 saja, konsumsi beras per kapita per tahun sudah
sebesar 139 kg, maka masyarakat indonesia akan membutuhkan beras sekitar
61.577.000 ton. Oleh karena itu pada 2030 diprediksi, kebutuhan beras untuk
makanan akan mencapai lebih dari 75 juta ton (Prabowo, 2007). Di Indonesia
pada tahun 2010, luas area tanaman padi sekitar 13.118.120 Ha, dengan jumlah
produksi padi (Gabah Kering Sawah) sekitar 65.980.670 ton. Populasi Indonesia
pada tahun 2010 sebanyak 237.600.000 orang (BPS, Indonesia, 2011). Oleh
karena itu ada sebuah tuntutan yang ditargetkan oleh pemerintah untuk
mengupayakan ketersediaan bahan makanan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri
bagi para pembuat kebijakan, peneliti dan semua pemangku kepentingan lainnya.

Produksi Padi dan Perubahan Iklim
Perubahan Iklim adalah keadaan iklim global yang berubah karena suhu
rata-rata telah naik ataupun turun secara musiman (Freeman, 2012). Hal ini akibat
dari fluktuasi radiasi matahari, atau akibat letusan gunung berapi secara berkala.
Kini perubahan iklim disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan
lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi
memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat
pembakaran batu bara, minyak, dan kayu secara besar-besaran, serta pembabatan
hutan. Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi gas-gas rumah kaca
(GRK), dinamakan demikian karena gas-gas itu memiliki efek yang sama dengan
atap sebuah rumah kaca. Gas-gas itu memungkinkan sinar matahari menembus
atmosfer bumi sehingga menghangatkan bumi, tetapi gas-gas ini mencegah

5
pemantulan kembali sebagian udara panas ke ruang angkasa. Akibatnya bumi dan
atmosfer perlahan-lahan memanas (Freeman, 2012) (Gambar 1).

Gambar 1 Fenomena efek rumah kaca ( Freeman, 2012)
Kenaikan suhu itu mungkin tidak terlalu tinggi, tetapi di negara tertentu
seperti Indonesia, hal ini menyebabkan cuaca yang lebih ekstrem. Indonesia akan
mengalami badai pesisir yang lebih sering dan lebih dahsyat, serta kemarau
panjang dan curah hujan tinggi. Kenaikan muka air laut, akibat dari melelehnya
gletser dan lapisan es di kutub, menyebabkan naiknya muka air laut antara 9
hingga 100 cm. Kenaikan ini akan mempercepat erosi di wilayah pesisir, memicu
intrusi air laut ke air tanah, merusak lahan rawa di pesisir, dan menenggelamkan
pulau-pulau kecil (Moediarta dan Stalker 2007).
Sebagai sebuah negara kepulauan amat luas yang memiliki lebih dari
17.000 pulau dan 80.000 kilometer garis pantai. Indonesia amat rentan terhadap
kenaikan muka air laut. Kenaikan satu meter dapat menenggelamkan 405.000
hektar wilayah pesisir dan menenggelamkan 2.000 pulau yang terletak dekat
permukaan laut beserta kawasan terumbu karang. Hal ini berpengaruh pada batasbatas negara. Penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92
pulau-pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat
rentan terhadap kenaikan muka air laut. Saat ini sekitar 42 juta penduduk
Indonesia mendiami wilayah yang terletak 10 meter di atas permukaan laut.
Kenaikan muka air laut dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan
batas wilayah negara Indonesia (Moediarta dan Stalker 2007).

6
Perubahan iklim diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan
terhadap produksi pertanian di Indonesia, khususnya tanaman pangan.
Dampaknya dapat bersifat langsung yaitu menurunnya produktivitas karena
meningkatnya suhu udara dan pola hujan, serta semakin seringnya gagal panen
akibat meningkatnya frekuensi dan kejadian dampak iklim ekstrim seperti banjir,
kekeringan dan salinitas (Boer et al. 2009). Secara tidak langsung, perubahan
iklim dapat merubah jenis hama dan penyakit dominan pada tanaman pangan
(Wiyono, 2008). Apabila teknologi pengendaliannya tidak dikembangkan pada
waktu yang tepat, maka hal tersebut akan berakibat pada menurunnya hasil atau
seringnya gagal panen akibat serangan hama dan penyakit. Hasil penelitian bahwa
pemanasan global dan perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan
menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan apabila tidak
dilakukan langkah-langkah adaptasi. Jagung lebih sensitif dari padi terhadap
perubahan iklim. Penurunan hasil pada tanaman jagung dapat mencapai lebih dari
40% dan padi 20% apabila peningkatan suhu akibat pemanasan global meningkat
sampai 5OC (Gambar 2).

Gambar 2 Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di
daerah tropis akibat pemanasan global dan perubahan
iklim (Tschirley, 2007)
Apabila upaya global dalam menekan emisi GRK berhasil, maka
diharapkan rata-rata peningkatan suhu global tidak lebih dari 2oC per tahun.
Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2oC tetap akan berdampak negatif
terhadap produktivitas tanaman pangan. Perubahan iklim juga berpengaruh dalam
peningkatan muka air laut, seperti yang sudah terjadi di beberapa wilayah
Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat di masa depan. Kondisi ini juga
akan mengancam produksi pangan Indonesia khususnya di wilayah pertanian yang
ada di sepanjang pesisir, karena terjadinya peningkatan salinitas air tanah. Kondisi
ini akan diperparah apabila tinggi curah hujan dan volume air sungai semakin
turun pada musim kemarau karena intrusi air laut akan semakin masuk ke wilayah
daratan sehingga salinitas akan semakin meningkat (Grattan et al. 2002). Hasil

7
penelitian menunjukkan, produktivitas tanaman padi menurun secara linear
dengan meningkatnya salinitas air tanah (Gambar 3).

Gambar 3 Pengaruh salinitas terhadap hasil tanaman padi (Grattan et al. 2002)

Cekaman Abiotik Salinitas
Cekaman abiotik menyebabkan masalah dalam pertanian dengan
menghambat pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman abiotik juga
membatasi penggunaan lahan untuk pertanian, karena umumnya lahan yang
tercekam abiotik menjadi lahan yang marjinal dan tidak digunakan (Lexer dan Fay
2005)
Tanaman adalah spesies sesil (tidak bisa berpindah tempat), maka tanaman
harus bertahan pada kondisi lingkungan, bahkan pada kondisi yang merugikan.
Hal ini menyebabkan tanaman memiliki berbagai respon untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan lingkungan. Selama evolusi, tanaman telah mengembangkan
mekanisme untuk merasakan perubahan minimal sekalipun dari kondisi
pertumbuhan, hal ini memicu jalur sinyal transduksi, yang pada gilirannya
mengaktifkan gen responsif terhadap cekaman lalu menyebabkan perubahan pada
fisiologis dan tingkat biokimia. Padi adalah tanaman pangan bagi lebih dari
setengah populasi dunia, yang peka terhadap berbagai cekaman abiotik, termasuk
salinitas, kekeringan, rendaman dan suhu rendah (Lafitte et al. 2004).
Gen-gen yang terinduksi oleh cekaman abiotik telah dikarakterisasi. Gengen tersebut meliputi gen-gen yang menyandikan enzim-enzim yang diperlukan
untuk biosintesis berbagai osmoprotektan, enzim-enzim yang menekan reactive
oxygen species (ROS), protein-protein late embryogenesis abundant (LEA),
enzim-enzim untuk detoksifikasi dan faktor transkripsi untuk cekaman abiotik
seperti OsERF1 dan OsDREB1(Shinozaki et al. 2005). Gen ini digunakan para
peneliti untuk membuat tanaman transgenik toleran cekaman abiotik.
Perubahan iklim global dikhawatirkan dapat memicu degradasi lahan
pertanian dunia. Salinisasi adalah salah satu degradasi yang mengancam

8
keberlangsungan pertanian, yang dapat meningkat karena aktivitas manusia
seperti irigasi pada wilayah arid dan semi-arid. Diperkirakan 20% dari lahan
irigasi di dunia tergangganggu akibat salinisasi (Yeo 1999). Cekaman salinitas
dapat menurunkan perkembangan dan produktifitas pada spesies glycophyte, yang
pada umumnya merupakan produk pertanian.
Salinitas adalah salah satu faktor pembatas utama di lingkungan yang
berpengaruh pada pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Dampak dari salintas
pada tanaman dapat diamati pada fase tanaman dewasa sejalan dengan kematian
tanaman atau menurunnya produktivitas. Umumnya terdapat 2 mekanisme
toleransi terhadap salinitas, yaitu tanaman mengembangkan mekanisme baik
mengeluarkan garam dari sel ataupun untuk bertoleransi atas kehadiran garam
dalam sel. Selama tanaman mengalami cekaman, semua proses penting seperti
fotosintesis, sintesis protein, pembentukan energi dan metabolism lipid menjadi
terganggu. Respon awal adalah reduksi dari luasan daun, selanjutnya terjadi
penghentian pertumbuhan. Pertumbuhan dapat berlanjut lagi jika cekaman hilang.
Karbohidrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel disuplai terutama dari proses
fotosintesis, namun umumnya proses fotosintesis menurun pada tanaman yang
tercekam salinitas khususnya salinitas karena NaCl (Parida dan Das 2005).
Toleransi terhadap salinitas tinggi adalah kemampuan tanaman untuk
berkembang dan menyelesaikan siklus hidupnya pada suatu substrat yang
mengandung konsentrasi garam terlarut yang tinggi. Tanaman yang dapat
bertahan dalam kondisi konsentrsi garam tinggi di rhizosphere dan dapat tetap
tumbuh dengan baik disebut dengan halophyte. Spesies halophyte obligate dapat
hidup pada konsentrasi 50% air laut. Sedangkan halophyte fakultatif ditemukan
pada area perbatasan salin dan non-salin (Parida dan Das 2005).
Definisi salinitas merepresentasikan seluruh masalah dari tanah akibat
akumulasi berlebih dari garam, yang dapat dikatagorikan ke dalam tanah sodik
(alkali) dan salin. Tanah sodik memiliki struktur yang lemah umumnya tersebar di
wilayah kering dan agak gersang, mengandung Na+ dalam konsentrasi yang
tinggi, dan memiliki pH yang tinggi diatas 8,5 dengan exchangeable sodium
percentage (ESP>15) (IRRI 2011). Tanah salin umumnya ditemui wilayah arid,
estuaria dan tepi pantai, yang didominasi oleh ion-ion Na+ dengan electrical
conductivity (EC) lebih dari 4 dS/m setara dengan 40 mM NaCl (IRRI 2011;
Munns dan Tester 2008). Cekaman salinitas pada tanaman dapat terjadi dalam
bentuk cekaman osmotik dan cekaman ionik (Gambar 4).
Cekaman osmotik disebabkan karena meningkatnya kadar garam di luar
akar, yang akan menghambat penyerapan air oleh akar (Munns dan Tester 2008).
Cekaman ionik terjadi akibat akumulasi ion Na+ pada tanaman, umumnya pada
daun dengan kadar yang melebihi ambang batas, yang akan memicu pada
kematian sel daun dengan terjadinya klorosis dan nekrosis, dan dilanjutkan
dengan menurunnya aktivitas metabolism selular termasuk fotosintesis (Glenn et
al. 1999) (Gambar 4).
Tanaman mengembangkan strategi bertahan secara biokimia dalam
menghadapi cekaman salinitas: pertama dengan menyeleksi keluar masuknya ion,
kedua mengatur penyerapan ion oleh akar sekaligus mengatur transportnya, ketiga
membangun sistem kompartemen untuk ion pada tingkat selular, keempat
pembentukkan compatible solute, kelima perubahan pada jalur fotosintesis,
keenam perubahan struktur membran, ketujuh adanya induksi dari enzim-enzim

9
antioksidan, dan kedelapan adanya induksi dari hormon-hormon tanaman (Iyengar
dan Reddy 1996).

Gambar 4 Ringkasan skematik cekaman yang dapat terjadi dibawah
kondisi salinitas tinggi dan respon tanaman untuk
menghadapi cekaman tersebut (Horie et al. 2012)

Spesies tanaman berbeda-beda toleransinya dalam menghadapi kondisi
hidup di tanah salin. Tanaman dapat dikatakan toleran salinitas jika tanaman
mampu hidup diatas kisaran nilai 15 ds/m konduktivitas listrik atau electrical
conductivity (EC). Electrical conductivity adalah kemampuan suatu larutan untuk
menghantarkan arus listrik. Satuan yang dipakai adalah decisiemens per meter
(dS/m). Pada EC 1 dS/m setara dengan konsentrasi 10 mM NaCl.

10
Tabel 1 Hubungan antara satuan konduktivitas listrik (EC) dan konsentrasi garam
NaCl.
Unit

Aplikasi

1 dS/m setara
1 ds/m

Equivalent
units
1 dS/m = 1
mS/cm = 1
mmho/cm

Konduktivitas (dS/m)

tanah

Konduktivitas
(µS/cm)

air irigasi dan sungai

1000 µS/cm

1 µS/cm = 1
µmho/cm

Total garam terlarut

air irigasi dan sungai

640 mg/L

1 mg/L = 1
mg/kg =1 ppm

Molaritas NaCl(mM)

laboratorium

10 mM

1 mM = 1
mmol/L

Tanaman padi relatif rentan terhadap salinitas tanah, dan NaCl adalah
garam utama yang menyebabkan masalah ini (Flowers 2004). Secara umum,
konduktivitas listrik atau electrical conductivity (EC) sampel tanah dari 4,0
deciSiemens per meter (dS/m) dianggap sebagai batas minimal untuk
mendefinisikan tanah salin. Konsentrasi tinggi dari ion Na+ dalam tanah
menyebabkan berbagai efek yang merugikan pada tanaman, seperti gangguan ion
intraselular mengakibatkan perubahan homeostasis, disfungsi membran dan
terhambatnya metabolisme mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan
akhirnya adalah penurunan hasil (Hasegawa et al. 2000).
Tabel 2 Electrical conductivity (EC) dari larutan pada 20oC .Konsentrasi larutan
merupakan gambaran konsentrasi garam yang umumnya ditemukan pada
tanah dan air laut.
Larutan

EC (dS/m)

10 mM NaCl

1,0

100 mM NaCl

9,8

500 mM NaCl

42,2

11
Forward dan Reverse Genetics
Pada tanaman, penyingkapan fungsi gen dengan pendekatan forward
genetics yaitu pengungkapan dari fenotipe ke sekuen gen yang bertanggung
jawab, diantaranya dapat dilakukan dengan map-based cloning, mutant analysis.
Fenotip akibat mutasi dianalisis, lalu mutasi dipetakan untuk menentukan gen atau
aktivitas protein yang terpengaruh. Terdapatnya fenotipe mutan tertentu
merupakan dasar awal untuk mengungkap proses biologis (Tierney dan Lamour
2005). Pendekatan genetika dan genomik pada tingkat molekuler telah merevolusi
pemahaman tentang proses biologi. Pendekatan reverse genetics menjelaskan
proses pengungkapan "dari gen ke fenotipe", dimana fungsi suatu gen dapat
diselidiki dengan mengganggu ekspresi fisiologis gen tersebut. Reverse genetics
adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan mengganggu ekspresi gen dengan
mutasi, sehingga dampak fenotipik dari gangguan genetik ini dapat lebih lanjut
dianalisis. Sebagai contoh suatu sekuen gen telah diketahui namun fungsi dari gen
tersebut belum diketahui, maka knockout dapat dilakukan untuk mengetahui atau
menganalisis fungsinya (Tierney dan Lamour 2005).

Strategi mutagenesis untuk mempelajari fungsi gen
Mutasi berasal dari kata Mutatus (bahasa latin) yang artinya adalah
perubahan. Mutasi adalah perubahan susunan atau konstruksi dari gen maupun
kromosom suatu individu tanaman, sehingga memperlihatkan penyimpangan
(perubahan) dari individu asalnya dan bersifat baka (turun-temurun). Peristiwa
terjadinya mutasi disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang mengalami mutasi
disebut mutan dan faktor penyebab mutasi disebut mutagen (mutagenic agent).
Mutasi dapat terjadi secara alamiah, tetapi frekuensinya sangat rendah,
yaitu 10-6 pada setiap generasi. Untuk mempercepat terjadinya mutasi dapat
dilakukan secara buatan dengan memberikan perlakuan-perlakuan sehingga terjadi
mutasi (induced mutation). Mutasi pada tanaman dapat menyebabkan perubahanperubahan pada bagian tanaman baik bentuk maupun warnanya juga perubahan
pada sifat-sifat lainnya (Herawati dan Setiamihardja, 2000).
Mutasi dapat dilakukan dengan beberapa mutagen, yaitu analog basa,
mutagen kimia, dan mutagen fisik. Analog basa adalah senyawa dengan struktur
kimia mirip dengan salah satu basa nukleotida sehingga dapat digabungkan
dengan molekul DNA dalam proses replikasi. Analog basa dapat menginduksi
mutasi karena dapat menyebabkan kesalahan dalam penyisipan nukleotida pada
untaian DNA pasangannya. Senyawa ini dapat menyebabkan mutasi transisi.
Contoh dari senyawa ini adalah 5-bromourasil (5-BU) dan 2-aminopurin (2-AP)
(Yuwono, 2008).
Mutagen kimia yang banyak digunakan oleh pemulia adalah yang berasal
dari kelompok alkylating agents. Senyawa ini mengandung satu atau lebih
kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana
kerapatan elektronnya tinggi. Alkylating agents ini akan bereaksi dengan DNA
dengan cara mengalkilasi kelompok fosfat, termasuk basa-basa purin dan
pirimidin. Mutagen kimia yang biasa digunakan diantaranya adalah EMS (ethyl
methane sulphonate), DES (diethylsulfate), El (ethylenimine), NMUT (N-nitroso-

12
N-methyl urethane), NMU (N-nitro-N-methyl urea), NEUT (N-nitrose-N-ethyl
urethane) dan NEU (N-nitrose-N-ethyl urea) (Aisyah, 2006).Mutagen fisik secara
khas dibedakan dari tipe radiasinya. Mutagen fisik yang sering digunakan
diantaranya adalah sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, dan neutron. Mutagen fisik
lainnya adalah partikel alpha dan sinar devteron (Welsh, 1981).
Mutasi dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan suatu organisme.
Apabila terjadi di dalam jaringan somatik, mutasi mengakibatkan pola mosaik
pada satu atau beberapa sel. Apabila di dalam jaringan generatif, mutasi dapat
dipindahkan kepada keturunannya, tetapi tidak terlihat untuk beberapa generasi.
Jaringan tertentu dari suatu organisme lebih sensitif terhadap mutagen daripada
jaringan lain. Embrio lebih sensitif daripada jaringan yang sudah tak berkembang.
(Crowder, 2006).
Tujuan mutasi pada tanaman adalah (1) untuk memperbaiki satu atau
beberapa karakter khusus dari suatu kultivar/galur, (2) untuk membentuk penanda
morfologi (warna) sebagai identitas pada galur-galur harapan, (3) untuk
membentuk galur mandul jantan yang berguna bagi pembentukan kultivar hibrida,
(4) untuk mendapatkan karakter khusus dalam genotipe (Herawati dan
Setiamihardja, 2000).
Analisis fungsional gen bertujuan untuk menemukan korelasi antara
fenotipe dan genotip pada mutan tertentu. Ada beberapa metode yang digunakan
seperti kimia, fisik dan biologis untuk menciptakan mutan. Metode yang paling
banyak digunakan adalah perlakuan ethyl methanesulfonate (EMS), iradiasi
neutron, insersi T-DNA dan transposon. Korelasi antara fenotipe dan genotip pada
mutan insersi T-DNA dan transposon dapat dengan mudah diidentifikasi (Ennis
2001).
Koleksi mutan dari insersi T-DNA dan transposon telah dilakukan oleh
banyak peneliti di seluruh dunia untuk berbagai spesies tumbuhan dan telah
digunakan untuk menganalisis fungsi gen dengan pendekatan forward dan
reverse genetics, terutama pada Arabidopsis sebagai tanaman model dikotil
(Parinov dan Sundaresan 2000) dan padi sebagai tanaman model monokotil
(Hirochika et al. 2004).

Mutasi insersi: transposon tagging
Seluruh genom padi (Oryza sativa ssp. kultivar Nipponbare (japonica) dan
93-11 (indica) telah berhasil diurutkan (Yu et al. 2002; Goff et al, 2002.) akan
tetapi belum seluruh gen diketahui fungsinya. Oleh karena itu, salah satu tujuan
yang paling menantang di era pasca genomic adalah untuk mengetahui fungsifungsi gen. Untuk memudahkan evaluasi tersebut, beberapa pendekatan reverse
genetics telah dikembangkan, termasuk rekombinasi homolog, antisense atau
RNAi (Chuang dan Meyerowitz, 2000), dan mutasi insersional (Jeon et al. 2000).
Gene trap dan activation tagging adalah dua metode yang sering digunakan
dalam mutasi insersi. Gene trap dan activation tag memiliki kelebihan yaitu
efisiensi yang tinggi, karena itulah dua metode ini sering digunakan dalam
konstruksi insersi multi-fungsional T-DNA populasi mutan (Wan et al.2009)
Mengganggu fungsi gen melalui mutasi insersi hampir selalu
menghasilkan mutasi loss of function, atau mutasi tersebut tidak selalu

13
menyebabkan fenotipe yang jelas akibat beragam faktor seperti redudansi fungsi
gen. Karena itulah dengan meningkatkan ekspresi dari suatu gen diharapkan dapat
menghasilkan fenotipe mutan yang lebih informatif. Strategi untuk menghasilkan
mutan dengan ekspresi yang meningkat dikenal dengan metode activation
tagging. Prinsip kerjanya adalah dengan penggunaan enhancer pada T-DNA atau
transposon yang menghasilkan ekspresi atau overekspresi dari gen-gen sekitarnya
akibat aktivasi transkripsi (Ramachandran dan Sundaresan 2001).
Transposon adalah element loncat yang dapat bertransposisi dari suatu
lokasi ke lokasi lain dalam suatu genom (Hayes 2003). Terdapat sekuen DNA
yang dapat menginsersikan dirinya pada lokasi yang baru dalam genom tanpa ada
keterkaitan sebelumnya dengan target lokasi tersebut (Lewin 2004). Mutasi insersi
dengan transposon telah banyak berhasil mengindentifikasi gen-gen terkait
dengan sifat pathogenitas. Juga telah dikembangkan pada banyak hewan model
dan tanaman model (Hayes 2003)
Activation tagging adalah metode untuk menghasilkan mutasi dominan
pada tanaman atau sel tanaman dengan insersi random dari T-DNA yang
membawa elemen enhancer, yang dapat menyebabkan aktivasi transkripsional
dari gen (Memelink, 2003). Sejak pertama kali dilakukan activation tagging pada
tanaman (Odell et al., 1985), gen fungsional telah banyak diisolasi (Nakazawa et
al. 2003).
Transposon tagging telah menjadi alat yang ampuh untuk mengisolasi gen
baru sejak elemen pengendali pertama kali ditemukan oleh McClintock (Fedoroff
et al. 1993). Sejumlah gen telah diisolasi menggunakan transposon sebagai
dengan cara tagging seperti pada tembakau(Sundaresan, 1996).). Sistem
transposon lainnya, seperti En / Spm (Enhancer / penekan-mutator) dan Mu
(mutator), telah digunakan untuk kloning beberapa gen jagung (Walbot, 1992).
Strategi konvensional, seperti mutagenesis T-DNA atau transposons
tagging, tidak dapat mengidentifikasi gen berfungsi pada beberapa tahap siklus
hidup, misalnya pada pembentukan awal embrio atau pada fase gametofit (Weigel
et al. 2000).
Pada Arabidobsis hanya kurang dari 10% gen yang berhasil di-tagging,
yang menunjukkan perubahan fenotipik. Oleh karena itu, untuk melengkapinya
dibutuhkan teknologi yang dapat mengetahui fungsi gen yang masih belum
terungkap. Salah satu teknik tersebut adalah sistem activation tagging yang telah
dikembangkan dalam Arabidopsis (Weigel et al. 2000).
Sistem ini menggunakan vektor T-DNA yang mengandung multimerized
transcriptional enhancer CaMV 35S diposisikan dekat T-DNA right border.
Sistem transposon activation-tagging juga telah dikembangkan menggunakan
elemen Ds yang sekaligus membawa enhancer tetramerized CaMV 35S (Mori et
al. 2000). Sistem activation-tagging, T-DNA pool yang digunakan pada
Arabidopsis, telah terkarakterisasi lebih dari 30 mutan dominan dengan berbagai
fenotipe (Weigel et al. 2000). Analisis dari mutan menunjukkan bahwa vektor
tagging menyebabkan over-ekspresi gen yang berdekatan dengan lokasi enhancer.

14

Sistem Ac/Ds transposon untuk analisis fungsi genom pada padi
Di antara beberapa pendekatan analisis fungsi genom (Pereira 2000),
mutasi insersional menggunakan transposon dianggap sebagai alat yang
menjanjikan untuk penemuan fungsi gen padi (Jeon dan An 2001). Elemen Ac/Ds
dari jagung telah terbukti aktif pada kingdom tanaman secara luas. Sejumlah gen
penting tanaman telah diklon menggunakan elemen Ac/Ds ( Ramachandran dan
Sundaresan 2001). Pustaka insersi Ds telah dihasilkan di Arabidopsis (Ito et al.
2002) dan Padi (Kolesnik et al . 2004).
Sistem Ac/Ds jagung telah diuji untuk gen tagging pada padi. Pertama,
elemen Ac telah berhasil dikloning ditempatkan antara promotor dan
phosphotransferase higromisin. Konstruksi tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam kromosom padi dengan transformasi menggunakan Agrobacterium.
Transposisi dari elemen Ac terbukti dengan tanaman yang tahan terhadap
antibiotik higromisin (Izawa et al. 1997).
Sistem gen tagging serupa Ac/Ds telah dikembangkan pada padi
menggunakan metode introduksi gen dengan bantuan Agrobacterium (Nakagawa
et al. 2000) Metode ini membuat transgen lebih stabil dibandingkan dengan
metode transfer gen langsung. Sebanyak 80% dari elemen Ds telah melompat dari
situs integrasi asli, hal ini karena adanya aktivitas transposase Ac, yang
menunjukkan bahwa sistem Ac/Ds adalah salah satu strategi yang mampu
menghasilkan populasi mutan (Chin et al. 1999).

Bioinformatika
Bioinformatika, salah satu faktor pendukung dalam era analisis fungsi
genom, didefinisikan sebagai pengembangan dan penerapan alat komputasi untuk
penyimpanan, analisis dan interpretasi informasi biologis (Edwards dan Batley
2004). Bioinformatika adalah gabungan disiplin ilmu komputer, statistik dan
biologi. Bioinformatika memfasilitasi analisis data genom dan pasca genomic,
dan integrasi data terkait bidang trankriptomik, proteomik, metabolomik dan
fenomik, dengan menggunakan database dan metode untuk manajemen yang
efisien dan berguna untuk interpretasi informasi biologis dalam skala besar. Pada
awalnya bioinformatika difokuskan untuk analisis data sekuen DNA, namun kini
terlibat lebih dalam untuk merancang desain dan integrasi database sekuen DNA,
penyelarasan urutan protein dan DNA, perakitan fragmen DNA ke dalam peta
genom, dan prediksi fungsi gen berdasarkan perbandingan urutan dengan
gen dengan fungsi yang telah diketahui.
Kemajuan dalam teknologi genomik telah menyebabkan ledakan data dan
perkembangan dalam bioinformatika. Hal ini terjadi pada bidang bioteknologi
tanaman maupun biomedis. Aplikasi dari bioinformatika telah meluas menjadi
yang disebut sebagai teknologi omic, dan disiplin ini sekarang menjadi payung
bagi bidang bioteknologi. Tantangan yang dihadapi bidang bioinformatika adalah
untuk memberikan, baik berupa data yang terintegrasi bagi seluruh kerangka omic
dan dapat menghubungkan antara data genetika dengan genom, transkriptomik,
proteomik dan metabolomik dan fenotipe dari tanaman. Tantangan bioteknologi

15
tanaman kini untuk mengatasi isu-isu spesifik, yang bahkan mengantarkan kepada
hubungan interdisiplin ilmu. Meskipun aplikasi bioinformatik kini menjadi luas
bersama munculnya teknologi omic dan pasca genomic, namun fokus dan
kekuatan tetap dalam analisis sekuen DNA dan genom (Edwards dan Batley
2004).
Revolusi dalam era genomik tanaman telah terjadi sejak dirilisnya hasil
pengurutan sekuen genom lengkap Arabidopsis thaliana oleh Arabidopsis
Genome Initiative pada tahun 2000, empat tahun lebih cepat dari rencana awal
(TAGI 2000). Dua tahun kemudian, dilanjutkan dengan keberhasilan penyelesaian
pengurutan sekuen genom padi (Oryza sativa L.ssp. Japonica Nipponbare) oleh
konsorsium publik. Keberhasilan ini merupakan hasil sekuensing yang dilakukan
oleh Syngenta (Goff et al. 2002) dan Monsanto (Barry, 2001) juga proyek
penelitian yang terpisah di Beijing Genomics Institute yang bekerja pada
subspesies indica (Yu et al. 2002). Adanya kesamaan genomik antara genom padi
dan spesies tanaman pangan penting lainnya (Moore et al. 1995), menyebabkan
penyelesaian pengurutan genom padi telah memiliki dampak yang signifikan
terhadap bioteknologi tanaman dan bioinformatika.
Pertumbuhan pesat dalam informasi sekuen DNA menuntut
pengembangan database sekuen DNA yang lebih spesifik. Database sekuen yang
terbesar muncul pada tahun 1986, kolaborasi dari GenBank dan EMBL, dan
bergabung tahun berikutnya dengan database DNA dari Jepang (Goff et al. 2002).
Database meta-sekuen ini dianggap standar baku untuk acuan sekuen DNA oleh
publik di seluruh dunia dan berisi lebih dari 7,4 juta sekuen DNA tanaman.
Ketersediaan urutan genom lengkap, juga banyaknya data sekuen,
mengharuskan data tersebut dapat diatur dan diambil manfaatnya. Terjadinya data
yang tumpang tindih dalam penemuan gen sudah berkurang dengan adanya
referensi atau konsensus database. Jika urutan genom tidak tersedia untuk
tanaman tertentu, maka informasi genom sintetik yang terkait dapat digunakan.
Terdapatnya database sekuen yang terus meningkat mendorong kemampuan
bioinformatik yang lebih baik, terdapat juga kebutuhan untuk mengurangi
tumpang tindih data. Pengembangan database telah disertai dengan kemajuan
dalam alat untuk analisis data, memungkinkan peneliti untuk memberikan
keterangan tentang suatu sekuen dan memungkinkan untuk mengkaji lebih dalam,
dengan melihat interaksi antar data sekuen yang didapat sehingga informasi
biologi yang diinginkan menjadi lebih lengkap (Edwards dan Batley 2004).
Perangkat pencarian kesamaan sekuen adalah dasar dari banyak aplikasi
perangkat lunak untuk menganalisis informasi genomik tanaman. Memiliki
kemampuan mengidentifikasi kemiripan dengan sekuen yang telah diketahui
sebelumnya, dengan proses anotasi sekuen memungkinkan perbandingan dengan
database sekuen, sehingga mengurangi tingkat pengulangan dalam data dan
memungkinkan teridentifikasinya variasi dalam suatu sekuen (Edwards dan
Batley 2004).
BLAST menjadi sarana yang tercepat dengan mengidentifikasi sekuen
tertentu dalam dataset yang besar dan memungkinkan untuk mengetahui
informasi suatu sekuen yang baru (Altschul et al. 1990). Meskipun BLAST adalah
alat standar untuk mengidentifikasi kesamaan suatu sekuen dalam dataset, ada
beberapa pilihan lain, pilihan yang tergantung pada ketersediaan hardware, ukuran
dataset, format data, struktur dan struktur genetik dari organisme bersangkutan.

16
Ketersediaan dataset sekuen yang besar memungkinkan pengkajian
informasi mengenai fitur biologis, misalnya marka molekuler single nucleotide
polymorphism (SNiP) (Barker et al. 2003) dan simple sequence repeat (SSR)
(Robinson et al. 2004) yang kemudian dapat diaplikasikan pada penelitian
bioteknologi seperti pemetaan sifat genetik. Ketersediaan sekuen genom lengkap
memungkinkan ekplorasi informasi lanjut untuk sekuen promotor baru (Qui,2003)
dan fitur lainnya seperti mikro-RNA (Nelson et al. 2003).

17

3 METODE

Bahan
Benih padi Nipponbare mutan sebanyak 75 galur, yang diperoleh dari
koleksi benih padi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Nugroho, 2006) yang telah
melalui penapisan masal salinitas. Benih padi varietas Pokkali digunakan sebagai
kontrol toleran, IR-