Manajemen Lanskap Untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca Nigra) Di Sulawesi Utara

MANAJEMEN LANSKAP UNTUK PENANGGULANGAN
KONFLIK DENGAN MONYET HITAM SULAWESI
(Macaca nigra) DI SULAWESI UTARA

BALQIS NAILUFAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian “Manajemen
Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi
(Macaca nigra) di Sulawesi Utara” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Balqis Nailufar
NIM A451120081

RINGKASAN
BALQIS NAILUFAR. Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik
Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Sulawesi Utara. Dibimbing
oleh SYARTINILIA dan DYAH PERWITASARI.
Ancaman utama bagi kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi (Macaca
nigraDesmarest, 1822) atau masyarakat lokal menyebutnya dengan yaki di
Sulawesi Utara disebabkan adanya kerusakan habitat akibat penebangan liar.
Selain itu terdapatnya perburuan liar juga menjadi ancaman lain untuk
kelangsungan hidup yaki. Kerusakan habitat dan perburuan liar ini, meningkatkan
masalah konflik dengan masyarakat lokal. Konflik manusia dan yaki terutama
pada perambahan hasil pertanian oleh yaki. Tujuan penelitian ini adalah: 1)
menganalisis dampak konflik manusia dan yaki di cagar alam (CA) TangkokoBatuangus/ Duasodara; 2) membangun model probabilitas konflik manusia dan
yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; 3) menganalisis penyebab
terjadinya konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; dan
4) menyusun rencana manajemen konflik penanggulangan manusia dan yaki di

CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penelitian ini dilakukan di CA TangkokoBatuangus/ Duasodara, di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara.
Penelitian ini menggabungkan sistem informasi geografis (SIG) dan data
penginderaan jauh dengan analisis regresi logistik. Analisis berdasarkan
perbandingan variabel lingkungan dari titik presence dan pseudo-absence konflik
dimana titik presence didapat dari wawancara semi-terstruktur dan ground-truth.
Hasil analisis menunjukan bahwa dari 14 variabel lingkungan hanya 2
variabel yang mempengaruhi adanya konflik manusia dan yaki. Model
probabilitas konflik manusia dan yaki ini dipengaruhi oleh variabel ketinggian
400-800 mdpl (JTE2) dan hutan primer (JTHP). Berdasarkan hasil model terlihat
bahwa luas wilayah studi yang dibangun adalah 11 774.10 ha. Area yang sesuai
terjadinya konflik seluas 2 008.50 ha (17.06%), kurang sesuai seluas 3 621.80 ha
(30.76%), dan area yang tidak sesuai seluas 6 143.90 ha (52.18%).
Penanggulangan konflik manusia dan yaki berdasarkan hasil model antara lain:
pemberian batas alami, patroli, kontrol kegiatan ekowisata, pengkayaan jumlah
pakan yaki, peningkatan penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran
masyarakat.

Kata kunci: Macaca nigra, perambahan hasil pertanian, regresi logistik, konflik
manusia dan satwa liar, Sulawesi.


SUMMARY
BALQIS NAILUFAR. Landscape Management Response to Conflict with
Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) in North Sulawesi. Supervised
by SYARTINILIA and DYAH PERWITASARI.
The main threat to the survival of Sulawesi Crested Black Macaques
(SCBM) (Macaca nigraDesmarest, 1822) or the people call with yaki, in North
Sulawesi is habitat destruction caused by illegal logging. Illegal hunting also
became another threat for survival of this species. This threat has increasing the
human – SCBM conflict such as crop-raiding. This study aimed to 1) analyze the
impact of the conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/
Duasodara Nature Reserve; 2) building a probability model of conflict between
humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; 3) analyze
the causes of the conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/
Duasodara Nature Reserve; and 4) prevention of conflict management plan
between the human and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve.
This study was conducted in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve,
Bitung district,North Sulawesi.
Main methodology was combination of primary data interviews and groundtruth check with GIS/remote sensing data using binary logistic regression.
Analyses were based on the comparison features (14 environmental variables) at
the presence and pseudo-absence sites of the human and yaki conflict, where the

point of presence obtained from semi-structured interviews and ground-truth.
The result, from 14 environmental variables, only 2 variables were detected
as important variable for a conflict probability model were predominantly
influenced by elevation 400-800 mdpl (DE2) and natural forest (DNF). The
results showed he area of study was built for the model was 11 774.10 ha, the
high, medium, and low probability conflict areas were covering 2 008.50 ha
(17.05%), 3 621.70 ha (30.76%), and 6 143.90 ha (52.18%), respectively. The
results of this study will be used for management response to human and yaki
conflict in North Sulawesi such as giving a natural boundaries, control
ecotourism activities, patrols, increase the amount of feed,
increased
enforcement, and increased public awareness.

Key words: crop-raiding, human-wildlife conflict, logistic regression, Macaca
nigra, Sulawesi.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MANAJEMEN LANSKAP UNTUK PENANGGULANGAN
KONFLIK DENGAN MONYET HITAM SULAWESI
(Macaca nigra) DI SULAWESI UTARA

BALQIS NAILUFAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Entang Iskandar M.Si

JudulProposal

Nama
NIM

:Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik
Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)di
Sulawesi Utara.
: Balqis Nailufar.
:A451120081.

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Syartinilia SP, MSi

Ketua

Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Arsitektur Lanskap

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir.Nizar Nasrullah, M.Agr

Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 11 Juni 2015

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul
“Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam
Sulawesi (Macaca nigra)di Sulawesi Utara” dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini
dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan
kontribusi kepada penanggulangan konflik interaksi antara manusia dan macaca.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Syartinilia SP, MSi dan Dr.
Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam pembuatan karya ilmiah ini. Di samping itu, penulis
menyampaikan terimakasih juga kepada Dr. Ir. Entang Iskandar M.Si dan Dr. Ir.
Andi Gunawan M.Sc selaku dosen penguji atas kritik dan saran dan Dr. Ir.Nizar
Nasrullah, M.Agr selaku Ketua Program Arsitektur Lanskap atas semangat dan
dukungannya. Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada keluarga, rekanrekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012 (Ray, Aini, Rizki, Pram, Hani, Loly,
CT, dan Sapu), macaca nigra project (MNP) (Bu Antje, Mas Gholib, Bang Meldi,
Mba Susi, Novita, Mas Mentang, Kak Maria, Kak Jojo, Mba Yandi, Andre, Mas
Ono, Mas iwan, Mas Ju, Bang Epen, Jamie, dan Mas Ugiek), rekan-rekan
Arsitektur Lanskap Angkatan 43 (Ika, Cici, Muteb, dan Dicky), rekan-rekan zemi
LFC (Bryan, Mas Anggi, Nindy, Gigih, dan Mas Mono), Kampung Batuputih,
Pinangunian, Tya, Fitri, Lulun, Donny Alamsyah, Nita, Fedi Nuril, Pak Micky,

Mas Ichan, Goffur, Firman, dan Jefri yang telah memberikan dorongan yang tulus
baik moril maupun materil. Penelitian ini juga sudah terpublikasi dalam procedia
of environmental science (Elsevier).
Penulis menyadari dengan semua keterbatasan yang dimiliki penulis yang
masih rendah, sehingga pembuatan karya ilmiah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat,

Bogor, September 2015
Balqis Nailufar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii


DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup

1
1
2
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Macaca nigra Desmarest 1822

Konflik Manusia dan Macaca sp.
Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar
SIG dan Regresi logistik Biner

4
4
6
7
8

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode
Pangkalan Data Spasial
Analisis Dampak Konflik
Analisis Model Probabilitas Konflik
Analisis Penyebab Konflik

10
10
10
12
17
19
21

4 KONDISI UMUM
Profil Kawasan
Batas Wilayah Lokasi Penelitian
Kondisi Macaca nigra
Kondisi Masyarakat
Profil Kampung Batuputih
Profil Kampung Pinangunian
Aktivitas Masyarakat
Aktivitas Ekowisata
Aktivitas Perburuan Liar
Aktivitas Perusakan Habitat

23
23
24
25
26
26
27
27
27
28
29

5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dampak Konflik
Model Probabilitas Kehadiran Konflik
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik
Rekomendasi Penanggulangan Konflik

30
30
31
33
34

DAFTAR ISI (lanjutan)
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

42
42
42

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

43
46
75

DAFTAR TABEL
1. Jenis data, sumber, dan kegunaannya
2. Kelas ketinggian
3. Luas tiap kelas kemiringan
4. Luas penutupan lahan
5. Kelas penutupan lahan dan deskripsinya
6. Variabel lingkungan
7. Kerangka wawancara semi terstruktur
8. Jari-jari wilayah jelajah yaki
9. Ukuran populasi yaki
10. Gambaran umum etnis dan pekerjaan
11. Perbedaan persepsi dampak konflik antara Kampung Batuputih dan
Kampung Pinangunian
12. T-test, Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode
Forward Stepwise (LR)
13. Kriteria desain penghalang (barrier installation) di CA TangkokoDuasodara/ Batuangus

11
13
13
15
15
17
18
25
26
26
30
32
38

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Kerangka pikir penelitian
Lokasi penelitian
Bagan alur studi
Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan
Peta ketinggian
Peta kemiringan
Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan
Peta penutupan lahan
Kondisi penutupan lahan (a) hutan primer (b) hutan sekunder (c) semak
(d) pemukiman (e) kebun campuran, dan (f) lahan kosong
Bentukan lahan lokasi wawancara (a) rumah, (b) rumah-kebun, dan (c)
kebun
Peta presence dan pseudo-absence
Peta kampung sekitar kawasan konservasi
Peta batas lokasi penelitian
Model probabilitas konflik manusia dan yaki

3
10
12
12
13
14
14
15
16
19
20
24
25
33

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
15.
16.
17.
18.

Peta usulan buffer pada probabilitas konflik tinggi
Deskripsi barrier vegetasi
Deskripsi parit pembatas
Deskripsi pembuatan jalan patrol

35
37
37
38

DAFTAR LAMPIRAN
1. 20 Pohon pakan teratas yaki
2. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa
3. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 0-400 mdpl
(JTE1) dengan resolusi 30 x 30 m
4. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 400-800 mdpl
(JTE2) dengan resolusi 30 x 30 m
5. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian >800 mdpl (JTE3)
dengan resolusi 30 x 30 m
6. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 0-8 % (JTS1)
dengan resolusi 30 x 30 m
7. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 8-15 % (JTS2)
dengan resolusi 30 x 30 m
8. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4)
dengan resolusi 30 x 30 m
9. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4)
dengan resolusi 30 x 30 m
10. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 40-155 % (JTS5)
dengan resolusi 30 x 30 m
11. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover semak belukar
(JTSB) dengan resolusi 30 x 30 m
12. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover kebun campuran
(JTKC) dengan resolusi 30 x 30 m
13. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover bangunan (JTBG)
dengan resolusi 30 x 30 m
14. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan primer
(JTHP) dengan resolusi 30 x 30 m
15. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan sekunder
(JTHS) dengan resolusi 30 x 30 m
16. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover tanah lapang
(JTTL) dengan resolusi 30 x 30 m
17. Titik-titik presence dan pseudo-absence
18. Korelasi antar variabel lingkungan (VIF)-Test
19. Publikasi

47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
65
68

49

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sulawesi merupakan salah satu dari lima pulau utama di Indonesia,
yang memiliki luas 189.2 km2. Pulau ini merupakan habitat bagi 127
mamalia asli, 61% diantaranya endemik. Hal tersebut dapat dilihat pada
genus macaca.Genus macaca yang ada di dunia terdapat 20 spesies, 8
spesies diantaranya merupakan endemik Sulawesi, salah satunya yaitu
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra). Monyet hitam sulawesi (M. nigra)
atau masyarakat lokal menyebutnya dengan yaki, memiliki daerah
persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga di
Pulau Bacan, serta Maluku sebagai jenis introduksi. Yaki dilindungi oleh
pemerintah RI, dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970
No.421/Kpts/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.301/KptsII/1991 dan Undang-undang No.5 1990. Daftar yang dikeluarkan IUCN
pada tahun 2008, yaki justru digolongkan sebagai satwa dengan status
genting (endangered) dan dicantumkan dalam Apendiks II CITES.
Status yaki diperoleh karena tren populasi yang cenderung mengalami
penurunan. Penurunan ini dikarenakan adanya perusakan habitat skala besar
di beberapa bagian Pulau Sulawesi. Perusakan habitat ini disebabkan
tingginya tingkat pembalakan liar. Banyaknya perburuan untuk konsumsi
masyarakat dan perdagangan satwa juga menyebabkan populasi yaki
menurun. Populasi rata-rata yaki pada tahun 2012 adalah 45 individu/km2,
karena saat ini habitat yaki yang tersisa di Sulawesi Utara terbatas pada
kawasan konservasi diantaranya adalah cagar alam (CA) Tangkoko, CA
Duasodara, taman wisata alam (TWA) Batuputih, dan TWA Batuangus di
Kabupaten Bitung Sulawesi Utara. Hal tersebut meningkatkan masalah
konflik dengan masyarakat lokal. Konflik manusia dan yaki terutama pada
perambahan hasil pertanian oleh yaki. Secara alami perilaku satwa liar
lainnya tidak meresahkan masyarakat apabila mereka hidup pada habiat
aslinya dan relatif tidak berdampingan dengan kehidupan masyarakat.
Namun, keadaan perilaku ini akan mengalami perubahan ketika
kehidupannya pindah pada kawasan lain, atau berdampingan dengan
kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemahaman tentang
ekosistem yang dinamis, sehingga manusia dan primata dapat hidup
berdampingan. Informasi ini menjadi sangat penting jika kita ingin
memprediksi bagaimana populasi yaki dapat beradaptasi pada lingkungan
yang terus berubah pada masa mendatang. Selain itu perlu juga diketahui
persepsi masyarakat lokal mengenai konflik, probabilitas konflik, dan
variabel penyebab konflik, sebagai informasi untuk menyusun rekomendasi
manajemen lanskap dalam penanggulangan konflik. Studi ini juga menjadi
penting bagi masyarakat lokal dan pengelola dalam upaya mengurangi
kerusakan akibat konflik yang terjadi. Studi ini menggabungkan sistem
informasi geografis (SIG) dan data penginderaan jauh dengan analisis
regresi logistik.

2
Perumusan Masalah
Penelitian mengenai “Manajemen Lanskap Untuk Penangggulangan
Konflik dengan yaki di Sulawesi Utara” diawali dari pemikiran bahwa saat
ini jumlah konflik yang terjadi antara manusia dan satwa liar, salah satunya
dari jenis yaki semakin banyak. Yaki sebagai satwa liar yang tergolong
mudah terhabituasi akan sangat rentan dengan terjadinya konflik. Dewasa
ini, terjadi perbedaan pandangan pada yaki, pada satu sisi yaki merupakan
satwa liar endemik yang berstatus genting, tetapi disisi lain beradasarkan
pandangan masyarakat lokal yang hasil pertaniannya telah mengalami
kerusakan menganggap yaki sebagai hama pertanian. Timbulnya konflik
karena kerusakan lingkungan dan ekosistem menjadi tidak seimbang. Hal ini
menjadikan terjadinya konflik, yang mengindikasikan bahwa lingkungan di
tempat terjadi konflik merupakan lingkungan yang telah mengalami
kerusakan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kajian dalam penanggulangan
konflik yang terjadi antara satwa liar dan manusia.
Berdasarkan pemikiran tersebut, aspek utama yang menjadi titik ukur
dalam kajian ini adalah mengetahui lanskap tempat timbulnya konflik
berdasarkan dampak dan persepsi masyarakat lokal. Lanskap tersebut
dikembangkan dan digunakan untuk membangun model probabilitas konflik
manusia dan yaki. Berdasarkan model probabilitas konflik, maka akan
diketahui variabel yang mempengaruhi terjadinya konflik. Melalui
penentuan variabel yang mempengaruhi terjadinya konflik, akan dapat
disusunrekomendasi pengelolaan lanskap dalam penanggulangan konflik
manusia dan yaki.
Rumusan masalah terkait dasar pemikiran, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dampak konflik manusia dan yaki?
2. Bagaimana model probabilitas konflik manusia dan yaki?
3. Apakah variabel yang berpengaruh dalam penyebab terjadinya konflik
manusia dan yaki, serta bagaimana karakteristik konflik manusia dan
yaki?
4. Bagaimana penanggulangan lanskap dalam menekan terjadinya
konflikmanusia dan yaki?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah manajemen lanskap untuk
penanggulangan terjadinya konflik manusia dan yaki di Sulawesi Utara.
Sementara tujuan khusus penelitian, diantaranya yaitu:
1. Menganalisis dampak konflik manusia dan yaki di CA TangkokoBatuangus/ Duasodara.
2. Membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki di CA
Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.
3. Menganalisis penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki dan
menganalisis karakter lanskap tempat konflik manusia dan yaki di CA
Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.
4. Menyusun rencana manajemen penanggulangan konflik manusia dan
yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.

3

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat lokal dalam
mengatasi konflik dengan yaki. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan
bagi balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) Sulawesi Utara dalam
menyusun rencana pengelolaan wilayah yang sangat dibutuhkan untuk
mengembangkan rencana jangka panjang strategi konservasi habitat alami
dari yaki.
Ruang Lingkup
Batasan penelitian meliputi lingkup kajian dan lingkup area wilayah
kajian. Lingkup kajian penelitian ini dibatasi pada penyusunan rencana
manajemen lanskap untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki. Hal
ini membuat penelitian ini dibatasi hanya pada menganalisis karakteristik
dampak konflik, membuat model probabilitas, dan menganalisis penyebab
terjadinya konflik Gambar 1.
Monyet hitam Sulawesi
atau Yaki

Endemik Pulau
Sulawesi Utara

endangered

CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara

Kerusakan Habitat

Perburuan Liar
KONFLIK

Lingkungan

Variabel Bebas

absence

presence

Variabel Terikat

Model Probabilitas Konflik

MANAJEMEN LANSKAP PENANGGULANGAN KONFLIK

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Macaca nigra Desmarest 1822
Pulau Sulawesi merupakan habitat bagi 127 mamalia asli, 61%
diantaranya endemik (Whitten el al. 2002). Yaki adalah satu monyet
endemik Sulawesi (Nowak 1999). Masyarakat sering menyebut monyet
hitam Sulawesi dengan nama yaki. Sering kali yaki salah dikategorikan
sebagai kera walaupun jenis ini termasuk dalam kelompok monyet karena
keberadaan ekor yang hampir tidak nampak. Berdasarkan Corbet dan Hill
(1992) dan Collinge (1993) mengklasifikasikan yaki sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Famili
: Cercophitecidae
Genus
: Macaca
Spesies
: Macaca nigra.
Yaki merupakan primata dengan struktur sosial banyak jantan –
banyak betina dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1:3.4 (Rowe
1996). Komunikasi antar individu dilakukan dengan bersuara dan beberapa
mimik muka dan postur tubuh (Cawthon 2006). Menurut O’Brien dan
Kinnaird (1997), terdapat lima kelas aktivitas harian yang dilakukan oleh
yaki, yaitu:
1. moving: pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat, dan
melompat;
2. feeding: mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah, atau
menempatkan makanan di mulut;
3. foraging: bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber pakan
potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari pakan;
4. resting: tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak
terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu; dan
5. social: menyidisik, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi, dan
berkelahi.
Pergerakan dari yaki adalah menggunakan keempat anggota geraknya
atau kuadrupedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak
melakukan aktivitasnya di atas tanah (terestrial) (Rowe 1996). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird (1997) di CA
Tangkoko dan Duasodara, yaki menghabiskan lebih dari 60% waktu
hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan
pergerakan yang menempuh jarak yang jauh.
Pada perilaku seksual terlihat pada betina menampakkan
pembengkakan (swellings) pada bantalan duduk (ischial callosities) dari
pink menjadi merah. Betina akan mengutu pada jantan lebih sering daripada
jantan yang mengutu pada betina saat mereka berada pada masa birahi
(Reed et al. 1997). Pada jantan, perilaku seksual ditunjukkan dengan sistem
hirarki yang ditentukan dengan perkelahian. Jantan dominan akan

5

mendapatkan sumberdaya dan akses terhadap betina lebih besar daripada
jantan tidak dominan (Cawthon 2006).
Yaki termasuk ke dalam frugivora atau pemakan buah-buahan.
Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan yaki terdiri lebih dari 145
jenis buah-buahan (66% dari total komsumsi), invertebrata (31.5%),
tumbuhan hijau (2.5%), dan kadang-kadang vertebrata yang lebih kecil.
Beberapa jenis serangga yang dimakan yaki meliputi rayap, tawon, ulat
dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang. Adapun
buah favorit yang menjadi makanan yaki pada dua Grup yaki dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Secara umum genus macaca merupakan genus dengan persebaran
yang paling luas saat ini. Genus macaca mempunyai kemampuan adaptasi
terhadap iklim serta habitat yang paling baik dibandingkan dengan ordo
primata yang lain (Bercovitch dan Huffman 1999). Di dunia terdapat 20
spesies dari genus macaca dan delapan spesies diantaranya merupakan
endemik Sulawesi, salah satunya adalah yaki (Nowak 1999). Habitat yaki
adalah hutan hujan tropis dengan ketinggian sedang. Yaki tersebar di
semenanjung utara Pulau Sulawesi di sebelah timur Sungai Onggak
Dumoga dan Gunung Padang yang berbatasan dengan persebaran M.
nigrescens (Saroyo 2005). Akan tetapi, pada Sulawesi Utara sendiri yaki
dapat dijumpai di CA Dua Sodara, Manembo-nembo, Kotamubagu dan
Modayak. Saat ini, habitat yaki yang tersisa di Sulawesi Utara terbatas pada
kawasan konservasi diantaranya adalah CA Tangkoko, CA Duasodara,
TWA Batuputih, dan TWA Batuangus di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara,
dimana pada CA Tangkoko dan TWA Batuputih merupakan potensial
habitat yaki yang tinggi (Indrawati, 2009). Akan tetapi, pada CA Duasodara
dan TWA Batuangus merupakan potensial habitat rendah. Yaki juga telah
diintroduksi ke Pulau Bacan di Maluku Utara yang populasinya lebih
banyak dibandingkan dengan populasi aslinya (Supriatna dan Wahyono
2000). Kerapatan yaki di CA Gunung Sibela di Pulau Bacan mencapai 170.3
individu/km2, sedangkan di hutan yang sudah terganggu mencapai 133.4
individu/km2 (Saroyo 2005). Berikutnya populasi rata-rata yaki di CA
Tangkoko-Batuangus/ Duasodara pada tahun 2012 adalah 45 individu/ km2
(Palacious et al. 2012). Pada CA Tangkoko dan CA Duasodara, yaki dapat
ditemukan di berbagai tipe habitat seperti hutan primer, hutan sekunder dan
bekas terbakar, semak belukar, dan kebun warga (O'Brien dan Kinnaird,
1997).
Wilayah jelajah (homerange) dari yaki adalah 114-320 ha dengan
jelajah harian mencapai 6 000 meter (Rowe 1996). Luasan wilayah jelajah
dan jelajah harian dapat berubah tergantung pada akses monyet terhadap
hutan primer. Saat yaki mendapatkan akses terhadap hutan primer, mereka
menghabiskan sedikit waktu untuk bergerak karena yaki mendapatkan
kelimpahan yang tinggi dari buah-buahan sehingga tidak membutuhkan
jelajah harian yang luas. Dapat disimpulkan bahwa saat musim berbuah,
jelajah harian yaki tidak terlalu besar (O'Brien dan Kinnaird 2000).

6
Konflik Manusia dan Macaca sp.
Berdasarkan IUCN (international union for conservation of nature)
(2010), salah satu tantangan dalam konservasi satwa liar terletak pada
peningkatan interaksi antara manusia dengan satwa liar, yang pada akhirnya
menimbulkan konflik. Meningkatnya populasi manusia dan meluasnya
pembangunan hingga merambah wilayah hutan menyebabkan konflik
menjadi semakin sering terjadi. Konflik umumnya semakin luas pada
kawasan sebaran alami satwa liar terutama dari jenis mamalia yaitu monyet.
Hal ini karena kebanyakan populasi monyet hidup diluar kawasan lindung
dan berdampingan dengan kawasan manusia. Pada yaki kehadiran manusia
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perilaku yaki (Sari 2010).
IUCN pada tahun 2008 juga menyebutkan yaki digolongkan sebagai satwa
dengan status genting (endangered) dan dicantumkan dalam Apendiks II
CITES. Status yaki diperoleh karena tren populasi yang cenderung
mengalami penurunan (Supriatna dan Andayani 2008).
Secara alami perilaku satwa liar lainnya tidak meresahkan masyarakat
apabila mereka hidup pada habiat aslinya dan relatif tidak berdampingan
dengan kehidupan masyarakat (Gilingham et al. 2003). Namun, keadaan
perilaku ini akan mengalami perubahan ketika kehidupannya pindah pada
kawasan lain (Naughton 1998), atau berdampingan dengan kehidupan
masyarakat (Fuentes dan Wolfe 2002). Oleh sebab itu, masyarakat perlu
memperkuat pemahaman yang komprehensif mengenai situasi konflik yang
ada dan yang berpotensiakan muncul. Selanjutnya, masyarakat juga perlu
melihat pengaruh baik untuk saat ini maupun pada masa mendatang.
Pengintegrasian data kuantitatif dan kualitatif dari berbagai aspek perilaku
dan ekologi manusia dan monyet dibutuhkan, ditambah dengan pemahaman
yang baik mengenai persepsi masyarakat lokal terhadap situasi yang ada.
Pengetahuan
tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan strategi
pengelolaan yang efektif dan sesuai dengan kondisi lokal untuk mencegah
atau mengurangi konflik antara manusia dan monyet, tentunya dengan tetap
menghargai tujuan konservasi dan kondisi sosio-kultural-ekonomi.
Konflik manusia dan monyet umumnya terutama pada perambahan
hasil pertanian oleh monyet dipengaruhi oleh jarak antara pertanian, batasbatas hutan, dan jumlah pertanian (Hill 2000). Konflik umumnya terjadi
ketika habitat monyet hilang, sehingga monyet kehilangan tempat tinggal
bahkan sampai kelaparan (Singleton et al. 2002).Dalam keadaan seperti
itu,ini membuat monyet lebih mungkin untuk menyerang kebun rumah
tangga. Kerentanan konflik antara manusia dan monyet juga berhubungan
dengan umur, jenis kelamin, lokasi pertanian, etnis, aturan budaya,
kumpulan tanaman, dan karakteristik perilaku dan ekologi satwa liar (Hill
2004). Luas dan intensitas kerusakan juga dapat bervariasi tergantung pada
pola tanam, perilaku dan populasi satwa liar, dan ketersediaan makanan di
habitat liar (Sekhar 1998). Kerugian tanaman yang disebabkan oleh satwa
liar mungkin memiliki berbagai dampak terhadap rumah tangga petani.

7

Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar
Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi
negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar.
Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang
berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif
manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap
satwa liar serta mengakibatkan efek-efek detrimental yaitu efek yang
menyebabkan keburukan terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum
terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan
atau perkebunan serta pemangsaan hewan ternak oleh satwa liar, atau
bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Kerugian yang umum terjadi
akibat konflik diantaranya kerusakan tanaman pertanian dan atau
perkebunan serta pemangsaan hewan ternak oleh satwa liar, atau bahkan
menimbulkan korban jiwa manusia. Satwa yang keluar dari habitatnya dan
membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam
keadaan hidup untuk dikembalikan kehabitatnya. Apabila tidak
memungkinkan untuk dilepaskan kembali kehabitatnya satwa dikirim ke
Lembaga Konservasi untuk dipelihara (Pasal 26 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa). Dalam penanggulangan konflik manusia-satwa liar dibutuhkan
proses dan upaya. Upaya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan
dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan
keselamatan satwa liar. Berdasarkan Permenkehut No: P.48/MenhutII/2008, dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan
satwa liar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.Manusia dan satwa liar sama-sama penting.
Konflik manusia dan satwa liar menempatkan kedua pihak pada
situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan
diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang
diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan
terbaik untuk kelestarian satwa liar yang terlibat konflik.
2.Site specific.
Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti
jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik
bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang
berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik.
Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadinya pilihan kombinasi solusi yang
beragam pula di masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif disuatu
lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain,
demikian pula sebaliknya.
3.Tidak ada solusi tunggal.
Konflik antara manusia dan satwa liar dan tindakan
penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut
rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah
proses penanggulangan konflik yang komprehensif.

8
4.Skala lanskap.
Satwa liar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah
jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif
harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah
jelajahnya (home range based mitigation).
5.Tanggung jawab multi pihak.
Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan
memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan
konflik antara manusia dan satwa liar ini harus melibatkan berbagai pihak
yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk
berbagi tanggungjawab.
SIG dan Regresi logistik Biner
Berdasarkan Aronoff (1991), SIG merupakan perangkat lunak
komputer yang mampu memetakan dan menganalisa data geografis. SIG
juga dikenal sebagai sistem komputer yang digunakan untuk menyimpan
dan memanipulasi informasi geografis. SIG juga merupakan sebuah sistem
komputerisasi yang memungkinkan kita untuk mempelajari fenomena
geografis melalui representasi komputer. Untuk tujuan ini, SIG akan
memungkinkan kita untuk melakukan tiga tahapan dasar kerja, diantaranya:
1. Data entry: tahap awal yaitu data tentang fenomena dipelajari,
dimasukkan ke dalam SIG, dan merepresentasikan yang akan dibuat.
2. Analisis data: tahap menengah yang di representasi dapat dimanipulasi
dan dipelajari untuk mendapatkan wawasan baru.
3. Data presentasi: tahap akhir yaitu hasil analisis disajikan (dalam peta atau
sebaliknya).
SIG merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis karakteristik
lanskap tempat konflik secara spasial. Sistem informasi geografis
merupakan seperangkat sistem komputer yang berfungsi untuk
mengumpulkan, menyimpan, memanggil, menganilisis, dan menampilkan
data geografis (Chang 2002). Sistem ini dipadukan dengan analisis secara
statistika berupa regresi logistik biner untuk mengetahui variabel atau
faktor-faktor yang memperngaruhi terjadinya konflik.
Berdasarkan Mutaqin (2008), metode Regresi Logistik merupakan
metode untuk mengkaji hubungan antara satu atau lebih peubah bebas
dengan peubah respon. Perbedaan mendasar dengan model regresi linear
yaitu pada peubah responnya. Peubah respon pada regresi logisik
merupakan peubah biner atau dichotomous.Peubah bebas dapat berupa
peubah kategorik maupun interval. Akan tetapi untuk regresi linear, peubah
responnya minimal berskala interval. Perbedaaan lainnya tercemin pada
pemilihan model parametrik dan asumsi-asumsi yang mendasari kedua
model. Walaupun demikian, prinsip-prinsip pendugaan parameter yang
digunakan dalam analisis model regresi logistik sama dengan analisis model
regresi linear (Hosmer et al.1997).
Jika data hasil pengamatan memiliki P peubah bebas yang ditunjukkan
oleh vector x’ = (x1, x2, …, xp) dan peubah respon Y, dimana Y mempunyai

9

dua kemungkinan nilai yaitu 0 dan 1, dimana y=1 menyatakan respon
memiliki kriteria yang ditentukan (presence) dan sebaliknya y=0
menyatakan respon tidak memiliki kriteria (absent), maka peubah respon Y
akan mengikuti sebaran Bernouli dengan fungsi peluang:

P(Y  y)   y (1   )1 y
Jika kejadian peubah respon Y berjumlah n, peluang setiap kejadian
sama dan setiap kejadian saling bebas dengan yang lainnya maka peubah
respon Y akan mengikuti sebaran binomial.
Peluang bersyarat untuk peubah respon Y (yang memiliki kriteria
ditentukan) jika x diketahui, ditunjukkan oleh P (Y=1/x)= π(x). Maka model
regresi logistik dapat dituliskan sebagai berikut:

e g ( x)
 ( x) 
1  e g ( x)
Beberapa penelitian yang menggunakan regresi logistik sebagai
metode analisis data antara lain:
a. Penelitian elang jawa di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008). Penelitian ini
menggunakan sarang butung elang jawa sebagai variable terikat/
respon (P), sedangkan variabel bebas/ penjelas (Xji) antara lain
kemiringan, ketinggian tempat, NDVI, Aspek (Sun Index), jarak
ke jalan, jarak ke sungai dan jarak ke permukiman.
b. Penelitian burung hantu kerdil utara di Pegunungan Rocky,
Kanada oleh Piorecky dan Prescott (2006). Penelitian ini
menggunakan lokasi perjumpaan dengan burung hantu kerdil
utara sebagai variabel terikat/respon (Z), sedangkan variabel
ebbas/penjelas (Xij) antara lain kelembaban, tutupan tajuk,
komposisi vegetasi, komposisi umur vegetasi, komposisi tinggi
tegakan, indeks fragmentasi, struktur alternatif, dan lain-lainnya.

10

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara, di
Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara (Gambar 2). Data digunakan untuk
membuat pemodelan probabilitas adanya konflik yaki dengan manusia
dilakukan di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penelitian ini
berlangsung pada bulan Oktober 2013 dan diakhiri sampai bulan Agustus
2015.

Gambar 2Lokasi penelitian
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode mulai
dari pengumpulan data (Tabel 1), metode pangkalan data spasial, analisis
model probabilitas konflik, dan analisis variabel yang berpengaruh dalam
penyebab terjadinya konflik dan penyusunan rencana manajemen (Gambar
3).

11

Tabel 1 Jenis data, sumber, dan kegunaannya
No

Jenis Data

1.
A

Aspek Fisik
Citra Landsat 8 ETM+
path 111 row 059 Tahun
2014

B

ASTER DEMTahun
2014

C
D

Batas Konservasi
SULUT
RBI

2.
A

Aspek Sosial
Demografi

Unit

Sumber

Cara
Analisis

Kegunaan

Raster
Landsat
(resolusi
30x30 m2)

BIOTROP
Training and
Information
Centre
(BTIC)

ERDAS
dan SIG

Raster
(resolusi
30x30 m2)
Vektor

(http://srtm.c
si.cgiar.org/)

SIG

BKSDA
Sulut
BIOTROP
Training and
Information
Centre
(BTIC

SIG

1) Penutupan
Lahan
2) Jarak
terdekat ke
Terbangun,
Semak,
Hutan primer
dan
sekunder,
Kebun
Campuran,
dan Tanah
Lapang
1) Elevasi
2) Kemiringan
Lahan
Peta
Administratif
Peta
Administratif,
Infrastruktur,
Badan Air,
Landuse

Kelurahan
Kampung
Batu Putih

Deskripsi 1)

Vektor

Dokumen

SIG

2)

3)
4)
B

Budaya

Dokumen

Survei dan
wawancara

Deskripsi

1)
2)
3)
4)

Jumlah
Penduduk
Umur dan
Jenis
Kelamin
Pekerjaan
Penyebaran
Penduduk
Etnik
Adat Istiadat
Kepercayaan
Sampling
Potensi
Komoditas

12
Macaca nigra
Konflik
Analisis Sosial

Analisis Biofisik

Wawancara Semi-Struktur
&Ground-truth

SIG &RS Data base

Dampak Konflik
Random sample
Hawths tools

Penutupan
Lahan

Kemiringan

Ketinggian

Presence & Pseudo-absences
Variabel Lingkungan
UJI VIF

Variabel Terikat
Variabel Tidak Terikat

Penerapan Regresi Logistik
Uji Kelayakan Model & Validasi
Model Probabilitas Konflik
Analisi Penyebab konflik

Manajemen Penanggulangan Konflik

Gambar 3 Bagan alur studi
Pangkalan Data Spasial
Penyusunan data spasial adalah kegiatan pembuatan peta tematik yang
berupa peta ketinggian, peta kemiringan lahan, peta penutupan lahan, data
presence dan pseudo-absence, serta peta variabel lingkungan. Peta tematik
dibuat menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 dan ERDAS
Imagine versi 9.1.Peta tersebut dilengkapi dengan informasi deskripsi
(attribute) yang menerangkan peta tersebut.
a. Peta ketinggian dan kemiringan lahan
Peta ketinggian dan kemiringan lahan dihasilkan dari peta DEM
(Digital Elevation Model) yang diperoleh dari ASTER GDEM melalui situs
http://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp. Bagan alir perolehan peta ketinggian
dan peta kemiringan lahan terdapat pada Gambar 4.
Peta DEM
Pemotongan sesuai area studi
Proyeksi ke UTM

Analisis topografi

Peta Ketinggian

Peta Kemiringan

Gambar 4 Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan

13

Peta DEM merupakan data ketinggian suatu tempat. Pembuatan peta
ketinggian pada klasifikasi ketinggian berbentuk data kontinu disesuaikan
dengan distribusi data yang terbagi menjadi 3 kelas (Gambar 5 dan Tabel 2).

Gambar 5 Peta ketinggian
Tabel 2 Kelas ketinggian
No
1.
2.
3.

Kelas Ketinggian (mdpl)
0-400
400-800
>800

Luas (ha)
6896.63
4114.73
762.72

Pada pembuatan peta kemiringan lahan, klasifikasi kemiringan lahan
terbagi menjadi 5 kelas kemiringan dari tingkatan kemiringan datar sampai
sangat curam (Tabel 3 dan Gambar 6).Penetapan klasifikasi berdasarkan SK
Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara
Penetapan
Hutan
Lindung
dan
SK
Menteri
Pertanian
No.683/Kpts/Um/II/1981 tentang Tata Cara Penetapan Hutan Produksi.
Tabel 3 Luas tiap kelas kemiringan
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Kelas
Kemiringan
Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat Curam

Tingkat Kemiringan
(%)
0–8
8–15
15–25
25–40
>40

Kemiringan
(°)
0.00–6.56
6.56–12.3
12.3–20.5
20.5–32.8
> 32,8

Luas (ha)
1344.89
2268.12
3439.51
2797.55
1924.02

14

Gambar 6 Peta kemiringan
b. Peta penutupan lahan
Pada tahap inventarisasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain
persiapan data, pengumpulan data spasial dan non-spasial, serta survei
lapang. Data satelit citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra
Landsat 8 ETM+ path 111 row 059tahun 2014 yang telah dilakukan Gap
fillinguntuk meminimalisir adanya tutupan lahan berupa awan. Bagan alir
pembuatan peta penutupan lahan terdapat pada Gambar 7.
Landsat 8 ETM+
Koreksi Geometrik
Klasifikasi terbimbing
Validasi (hasil ground truth check)

Tidak

Ya
Peta penutupan lahan

Gambar 7 Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan
Kelas penutupan lahan dibagi ke dalam 7 kelas (Tabel 4). Peta
penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 8. Deskripsi kelas penutupan
lahan yang terdapat di kawasan penelitian terbagi menjadi tujuh penutupan
lahan (Tabel 5). Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS
Imagine versi 9.1, dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised
classification) dengan batasan parameter maximum likelihood. Klasifikasi
terbimbing dilakukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari survei

15

pada lokasi penelitian (ground truth check). Informasi tersebut digunakan
sebagai training area untuk klasifikasi terbimbing dan validasi (Gambar
9).Training area diperlukan dalam setiap kelas yang akan dibuat. Training
area juga harus bisa melihat secara jelas perbedaan yang tampak pada citra.
Training area tidak hanya digunakan untuk proses klasifikasi, tetapi juga
digunakan untuk proses validasi hasil klasifikasi. Perbandingan bobot
training area sebagai sampel untuk proses klasifikasi dan validasi adalah
75%:25% dari total training area yang dibuat. Validasi penutupan lahan
menggunakan akurasi Kappa dan akurasi keseluruhan (Lampiran 2).
Tabel 4 Luas penutupan lahan
Penutupan Lahan
Awan
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Semak
Kebun Campuran
Tanah Lapang
Bangunan

Luas (ha)
1094.99
4332.86
2566.75
1730.79
1707.24
259.03
82.42

Persentase (%)
9.3
36.8
21.8
14.7
14.5
2.2
0.7

Gambar 8 Peta penutupan lahan
Tabel 5 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya
No
1

Kelas Penutupan Lahan
Semak

2

Kebun Campuran

Deskripsi
Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara vegetasi
tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara liar dan belum
termanfaatkan.
Seluruh kawasan binaan penduduk yang terdiri dari campuran
antara vegetasi tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara
teratur dan cukup terpola.

16
Tabel 5 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya (Lanjutan)
No
3

Kelas Penutupan Lahan
Terbangun

4

Hutan Primer

5
6

Hutan Sekunder
Tanah Lapang

7

Awan

Deskripsi
Seluruh bangunan, baik didalamnya fasilitas wisata maupun
kawasan pemukiman penduduk, serta jalan yang ada di lokasi
studi.
Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang didominasi
oleh pohon.
Seluruh hamparan kering yang didominasi oleh vegetasi rendah.
Seluruh hamparan kosong baik yang ditumbuhi rumput seperti
lapangan, maupun tidak ditumbuhi vegetasi seperti lava dan
berbatuan.
Seluruh kawasan yang tertutup awan.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 9 Kondisi penutupan lahan(a) hutan primer (b) hutan sekunder (c)
semak (d) pemukiman (e) kebun campuran, dan (f) lahan kosong

17

c. Peta variabel lingkungan
Variabel Lingkungan merupakan variabel yang digunakan untuk
menentukan karakteristik lanskap yang mempengaruhi terjadinya konflik
(Hill 2000). Sebanyak 14 variabel lingkungan yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan kepada kebutuhan dan aktifitas harian manusia
dan yaki(Tabel 6).
Tabel 6 Variabel lingkungan
No

1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.
9

10.
11.
12.
13.
14.

Variabel
Lingkungan
Jarak Terdekat ke
Ketinggian 0-400 mdpl
Jarak Terdekat ke
Ketinggian 400-800 mdpl
Jarak Terdekat ke
Ketinggian> 800 mdpl

Jarak Terdekat ke Semak
Belukar
Jarak Terdekat ke Kebun
Campuran
Jarak Terdekat ke
Terbangun
Jarak Terdekat ke Hutan
Primer
Jarak Terdekat ke Hutan
Sekunder
Jarak Terdekat ke Tanah
Lapang
Jarak Terdekat ke
Kemiringan Lahan 0-8%
Jarak Terdekat ke
Kemiringan Lahan 8-15%
Jarak Terdekat ke
Kemiringan Lahan 15-25%
Jarak Terdekat ke
Kemiringan Lahan 25-40%
Jarak Terdekat ke
Kemiringan Lahan >40%

Singkatan
Slope
JTE1
JTE2
JTE3

Preferensi

Moving,Feeding,For
aging, Resting,
Social(Perebutan
Wilayah antar Grup)
dan
AktifitasManusia

Sumber

Ekstraksi dari
ASTER DEM
yang dibuat
menjadi peta
Jarak terdekat

Penutupan Lahan
JTSB
JTKC
JTBG
JTHP

Moving, Feeding,
Foraging, Resting,
Social dan
Aktifitas Manusia

JTHS

Ekstraksi dari peta
penutupan lahan
yang dibuat
menjadi
peta jarak terdekat

JTTL
Kemiringan
JTS1
JTS2
JTS3
JTS4

Moving, Resting,
Social dan
Aktifitas Manusia

Ekstraksi dari
ASTER DEM
yang dibuat
menjadi peta
Jarak terdekat

JTS5

Variabel tersebut selanjutnya dibuat peta jarak (euclidean distance)
(Lampiran 3-16) menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Euclidiaen
distance difungsikan untuk memberikan informasi tentang jarak setiap sel
dalam raster ke sumber terdekat (ESRI 2007).
Analisis Dampak Konflik
Pada analisis dampak konflik dilakukan melalui survei yaitu
menggunakan wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check untuk
menyelidiki persepsi penduduk terjadinya konflik manusia dan yaki dalam
pengambilan hasil pertanian dan perkebuan para penduduk.

18
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama ground-truth check antara
lain: (1) mencatat setiap lokasi geografis perjumpaan terjadinya konflik
dengan menggunakan GPS; (2) mencatat kondisi umum lokasi penelitian
(analisis vegetasi, keberadaan satwa lain atau predator, sumber air,
topografi, dan ketinggian); (3) mencatat perilaku perusakan yang dilakukan
oleh yaki. Akan tetapi pengamatan lain melalui metode wawancara yang
dilakukan dengan pengumpulan kuisioner yang berbentuk multi-respon
yang dimulai dengan beberapa pertanyaan khusus dan selanjutnya sudut
pandang masing-masing individu sejalan dengan penggalian lebih lanjut
oleh peneliti. Kerangka wawancara diadaptasi dari Gillingham et al. (2003)
(Tabel 7). Wawancara dilakukan dalam Bahasa Indonesia dengan bantuan
seorang penerjemah lokal.
Tabel 7 Kerangka wawancara semi terstruktur
Jumlah responden, tanggal, lokasi (nama desa), jenis kelamin, dan waktu
pelaksanaan wawancara pertama kali ditanyakan, kemudian direkam dan
dicatat. Selanjutnya, dilanjutkan pertanyaan berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Berapa umur Anda?
Apa etnik Anda?
Apa agama Anda?
Sudah berapa lama Anda tinggal di desa ini?
Apa posisi Anda dalam rumah tangga?
Berapa jauh rumah dari kebun Anda?
Jenis tanaman apa yang tumbuh di kebun Anda?
Apakah Anda menjual hasil panen kebun Anda, atau hanya untuk konsumsi rumah
tangga?
9. Apa yang membatasi hasi kebun Anda?
a. Responden menjawab “ya” untuk pertanyaan ini kemudian diminta: “manakah dari
jenis masalah membatasi hasil panen di kebun Anda?”. Responden diminta untuk
merangking masalah dalam urutan kepentingan.
b. Jika responden mengatakan satwa liar sebagai salah satu masalah, mereka diminta
menjawab pertanyaan “hewan yang merusak kebun adalah?” kemudian responden
diminta untuk merangking empat spesies satwa liar yang menyebabkan kerusakan
yang paling parah dalam perusakan kebun.
c. Responden melaporkan primata sebagai penyebab kerusakan hasil kebun,
kemudian responden kembali ditanya “Kapan terakhir kali primata menyebabkan
kerusakan pada hasil kebun?” dan “spesies primata manakah yang sering Anda
lihat sebagai perusak kebun Anda?”
10. Metode yang Anda gunakan untuk melindungi kebun Anda?
11. Apakah Anda pernah melihat/ mendengar seseorang menembak/ menjebak untuk
menjaga hasil kebun?
Responden yang menjawab “ya” kemudian ditanya kembali “apakah orang ini
membunuh hewan atau melukai hewan itu?”

Sumber: Hill (2000) dengan modifikasi
Wawancara dilakukan pada dua kampung yang berada di sekitar
kawasan konservasi yaitu: Kampung Batuputih yang didominasi suku
Sangir (28 responden) dan Kampung Pinangunian (2 responden dan 1
responden kunci) yang umumnya didominasi oleh suku Minahasa.
Pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling, yaitu
responden yang memiliki kepemilikan lahan di sekitar kawasan konservasi

19

dan lahan tersebut pernah didatangi oleh yaki. Berdasarkan Hill (2000),
jarak antar pertanian, batas-batas hutan dan jumlah peternakan setiap rumah
tangga mempengaruhi kerentanan terhadap konflik. Sehingga pembagian
bentukan lahan respondendibedakan berdasarkan tiga jenis (Gambar 10).
Bentukan lahan tersebut yaitu:
a. Kebun.
Lahan yang ditanami oleh tanaman kelapa, singkong, palawija, buah
yang ditujukan untuk diambil produktivitasnya baik untuk konsumsi sendiri
maupun dijual.
b. Rumah.
Lahan yang digunakan untuk tempat tinggal. Umumnya terdapat
pekarangan disekitarnya dan kandang .
c. Kebun–Rumah.
Lahan yang digunakan untuk kebun yang ditanami oleh tanaman
kelapa, singkong, palawija, buah dan di dalamnya juga terdapat rumah
untuk tempat tinggal.

(a)
(b)
(c)
Gambar 10 Bentukan lahan lokasi wawancara (a) rumah, (b) rumah-kebun,
dan (c) kebun
Analisis Model Probabilitas Konflik
a. Analisis Penyusunan Model
Analisis dilakukan berdasarkan pada perbandingan variabel
lingkungan yang terdapat pada lokasi perjumpaan dengan terjadinya konflik
dan lokasi yang diduga tidak ditemukannya konflik berdasarkan hasil
wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check (32 titik) kemudian
ditambah dengan data random sampleplug-in Hawths Tools pada software
Arc GIS 9.3 dengan grid 30x30 m2 (27 titik). Analisis statistik yang
dilakukan untuk membangun model menggunakan regresi logistik biner
(Binary Logistic Regression). Total data yang digunakan yaitu 60 titik
(Gambar 11). Sebanyak 70% (42 titik) yang digunakan untuk pembuatan
model, kemudian 30% (18 titik) digunakan untuk validasi. Data presence
(21 titik) adalah lokasi yaki datang dan menimbulkan konflik. Data pseudoabsence (21 titik) adalah lokasi yaki datang tetapi tidak menimbulkan
konflik (Lampiran 17). Data presence dan pseudo-absence ditumpang tindih
dengan euclidean distance variabel lingkungan untuk mengetahui variabel
yang mempengaruhi penyebab adanya konflik manusia dan yaki.
Autokolinearitas
antar
variabel
bebas
dapat
diketahui
denganmelakukan uji Variance Inflation Factor (VIF). Prosedur
penanggulangan yang ditempuh untuk mengatasi masalah autokolinearitas

20
adalah dengan mengelimiinasi peubah-peubah lingkungan yang memiliki
hubungan linear sempurna atau yang mengalami multikolinearitas.
Pengembangan model regresi logistik dimulai dengan memasukkan peubahpeubah lingkungan yang tersisa setelah dilakukan eliminasi berdasarkan uji
VIF. Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunaka