Karakteristik Dominasi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkok-Batualis, Sulawesi Utara

(1)

KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO- BATUANGUS,

SULAWESI UTARA

SAROYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2005


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Desember 2005 Saroyo NIM B066010011


(3)

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sistem sosial monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) melalui kajian karakteristik dominansi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus. Penelitian dilaksanakan bulan Januari–Desember 2004. Kelompok monyet yang diamati adalah Kelompok Rambo II (KRII) dan Kelompok Rambo I (KRI) dengan ukuran masing-masing pada awal pengamatan sebesar 51 ekor.

Hasil pengamatan selama setahun, didapat nisbah jantan dan betina dewasa berkisar dari 1:1,9-1:7,5. Nilai nisbah ditentukan oleh filopatri betina dan faktor migrasi jantan. Daerah jelajah KRII seluas 232 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,8-4,1 km dengan rata-rata 3,05 ± 0,58 km. Daerah jelajah KRI seluas 119 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,7-3,3 km dengan rata-rata 2,09 ± 0,34 km.

Dominansi ditentukan melalui pengamatan interaksi agonistik pada enam jantan KRII, enam jantan KRI, dan 14 betina KRI. Interaksi agonistik intrakelompok hanya mencakup 1,8% dari total waktu harian. Interaksi agonistik meliputi agresi ringan sebesar 59,5% dan agresi berat sebesar 40,5%. Agresi lunak diikuti dengan rekonsiliasi sebesar 75,8% dan tingkah laku arah diri/TAD sebesar 24,2%, sedangkan agresi berat diikuti dengan rekonsiliasi sebesar 33,3% dan TAD sebesar 66,7%. Angka rekonsiliasi pada agresi lunak sebesar 75,8% dan pada agresi berat sebesar 33,3%. Inisiasi rekonsiliasi dilakukan oleh individu dominan sebesar 59,5% dan 40,5% dilakukan oleh individu subordinan.

Hierarki dominansi jantan bersifat linear sempurna. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antarjantan, hierarki dapat bersifat tidak linear. Ketidakseimbangan hubungan antarjantan terjadi pada saat terjadi perubahan tingkah laku agresif sampai terbentuknya hierarki baru. Hierarki dapat berubah karena faktor perubahan tingkah laku agresif jantan dan faktor migrasi. Dengan demikian, interaksi sosial jantan bersifat asimetris yang ditunjukkan melalui hubungan dominansi.

Hirarki dominansi betina bersifat linear tidak sempurna karena terdapatnya beberapa hubungan segitiga. Tingkah laku menelisik pada betina tidak dipengaruhi oleh peringkat dominansi sehingga interaksi sosial antarbetina bersifat simetris dan menunjukkan sistem sosial egaliter atau pola dominansi yang rileks.


(4)

Koalisi dapat menurunkan peran dominansi untuk akses terhadap pakan, tempat, dan kawin, serta dapat meningkatkan status individu dalam hierarki dominansinya. Koalisi dapat terdiri dari 2-6 ekor monyet. Koalisi dapat bertipe konservatif jika dua individu dominan melawan individu subordinan, tipe jembatan jika individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat menengah, dan tipe revolusioner jika individu-individu subordinan melawan individu dominan. Koalisi berbentuk konservatif sebesar 32,3%, berbentuk revolusioner sebesar 35,5%, dan berbentuk jembatan sebesar 32,3%.

Migrasi terjadi pada individu jantan dewasa dan individu jantan pada saat mencapai umur dewasa. Empat jantan KRII bermigrasi ke KRI selama bulan Oktober dan November. Pada saat migrasi terjadi, terdapat 15 ekor betina KRI sedang estrus, sedangkan pada KRII hanya terdapat satu betina estrus. Migrasi jantan tampaknya disebabkan ketertarikan secara seksual dengan betina yang reseptif pada kelompok lain.

Menelisik merupakan aktivitas yang mencakup 12,3% dari total waktu aktivitas harian monyet. Betina lebih banyak menelisik jantan daripada jantan menelisik betina. Menelisik berperan dalam: pendekatan dalam tingkah laku seksual, sarana rekonsiliasi, ikatan sosial, mencegah tertelisik pindah tempat, dan sebagai sarana TAD. Terdapat kecenderungan jantan dominan mendekati jantan subordinan, betina dominan mendekati betina subordinan, dan betina mendekati jantan. Interaksi antarkelompok dapat bersifat agonistik maupun afiliatif, bahkan terjadi perkawinan.

Tingkah laku seksual monyet hitam Sulawesi sangat bervariasi terutama tingkah laku prakopulasi, pascakopulasi, dan durasi kopulasi. Frekuensi kawin pada jantan dewasa tidak dipengaruhi oleh peringkat dalam hierarki dominansinya. Akses kawin dimiliki oleh seluruh jantan dari semua kelas umur sebagai akibat dari karakter personal Jantan-á dan strategi kawin jantan peringkat rendah. Walaupun demikian, terdapat monopoli betina estrus oleh jantan peringkat tinggi yang juga dipengaruhi oleh faktor kesukaan jantan oleh betina maupun faktor kesukaan betina oleh jantan. Untuk mendapatkan akses kawin, jantan peringkat rendah menerapkan strategi dengan menjauhi kelompok dan kawin pada saat jantan dominan lengah.


(5)

ABSTRACT

SAROYO. Dominance Characteristics of Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi. Under the supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER, RUDY C. TARUMINGKENG, DEDY DURYADI SOLIHIN, and KUNIO WATANABE.


(6)

The social system of Sulawesi macaques is considered as ‘egalitarian’. Generally, social system patterns relate to females. The aims of this study were to investigate whether ‘egalitarian’ social relationships also apply to Sulawesi crested black macaque males and the function of dominance to social interactions. For this, the male and female dominance pattern, dominance hierarchy changes, and its function to social interactions were studied. This study has been conducted on two identified and habituated groups at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi from January to December 2004. Data were collected by focal animal sampling of six males of Rambo II, six males of Rambo I and 14 females of Rambo II. Linearity of male hierarchy was calculated with the Landau’s index of linearity (h). The dynamic of dominance hierarchy was monitored by observation of changes in the direction of agonistic interactions. Results showed that: 1) during periods with stable male relationships, the male dominance hierarchy was linear and transitive, whereas during unstable periods, it was non-linear; 2) during one year, α -male replacements occurred two times on Rambo II and one times on Rambo I; 3) the female dominance hierarchy was imperfectly linear; 4) migration process only occurred in adult and growing adult males; 5) dominance determined priority for accessing to safety and comfortable place and food; 6) coalition might play a role in decreasing domination of dominant individual; 7) to decrease agonistic frequency and intensity, the Sulawesi black macaques used several behavioral mechanisms, such as allogrooming and postconflict affiliation; 8) females groomed males more frequently than males did, grooming among females was unrelated to their ranking; 9) there was a tendency for high rank males to approach lower rank males, for high rank females to approach lower rank females and for females to approach males; 10) intergroup interaction included agonistic and affiliative interactions between the two group members and intergroup mating; and 11) natural sexual behavior was varied; 12) mating frequency of the males was not influenced by their ranking; 13) there were mate choice factors and mating strategy of lower rank to avoid intervention by high rank. From the results, it can be concluded that contrary to females that have egalitarian society, in male Sulawesi crested black macaques, the dominance hierarchy is usually linear and male relationships are non-‘egalitarian’. When defining a social system in primates, it should thus always be clear to which sex the definition is referring to.

Key words: Dominance characteristics, Sulawesi crested black macaques (Macaca nigra), Tangkoko-Batuangus Nature Reserve

KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI


(7)

SAROYO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2005

Judul Disertasi : Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara Nama : Saroyo


(8)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua

Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng Anggota

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota

Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Ujian Tanggal: 11-11-2005

Tanggal Ujian:

Lulus tanggal:

Tanggal Lulus:


(9)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini berjudul Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2004.

Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, Bapak Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, serta Bapak Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama persiapan, penelitian, dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado beserta staf dan pegawai, Kepala Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB beserta staf dan pegawai, serta PEMDA Sulawesi Utara yang telah memberi kesempatan dan bantuan untuk menunaikan tugas belajar di PS Primatologi SPS IPB. Dengan selesainya penelitian di CA. Tangkoko-Batuangus, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Kepala Balai KSDA Sulawesi Utara beserta staf dan pegawai atas bantuan dan kerjasama selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada PEMKOT Bitung, Lurah, dan masyarakat Batuputih yang banyak membantu penulis selama di lokasi penelitian. Banyak pihak telah membantu pendanaan penelitian, sehingga penulis menyampaikan terima kasih kepada DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS, Director of The Rufford Small Grant dan Primate Research Institute Kyoto University atas bantuan dana untuk penelitian. Kepada keluarga, sahabat, dan mahasiswaku penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dorongannya.

Semoga disertasi ini bermanfaat, terutama sebagai salah satu landasan konservasi monyet hitam Sulawesi dan pengelolaan kawasan konservasi.

Bogor, 11 November 2005 Saroyo RIWAYAT HIDUP


(10)

Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 24 Juni 1968. Pendidikan menengah ditempuh di SMA I Boyolali Program A2 dan lulus pada tahun 1987. Lulus pendidikan sarjana dari Program Studi Pendidikan Biologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1992. Melanjutkan pendidikan Pra-S2 di Program Studi Biologi Institut Teknologi Bandung pada tahun 1993 melalui program Calon Tenaga Akademik Baru (CTAB), dilanjutkan dengan pendidikan magister tahun 1994 pada program studi yang sama pada bidang Biologi Perkembangan dengan beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dari DIKTI. Lulus pendidikan magister pada tahun 1996. Menempuh program doktor di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Primatologi pada tahun 2001 dengan nomor mahasiswa B066010011.

Pada tahun 1996, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado di Fakultas Peternakan, Program Studi Ilmu Produksi Ternak. Pada tahun 2000 penulis dipindahkan sebagai staf pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Biologi. Beberapa kursus telah diambil, antara lain Method in Microbiology, Natural Product Chemistry, Field Course in Primate Behavior and Ecology Tangkoko Nature Reserve, Kursus Singkat Biologi Molekuler, Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Tingkat Nasional, Kursus Pekerti, Kursus AA, Penataran Calon Penulis Buku Ajar Perguruan Tinggi, Tinjil Island Primate Research Project Field Course: Primate Behavior and Ecology, Pelatihan Kiat-Kiat Penyusunan Proposal Penelitian Berdaya Saing Tinggi dan Penelusuran Informasi Ilmiah Mutakhir.

Mulai bekerja untuk monyet hitam Sulawesi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus dari tahun 1998 sebagai peneliti maupun pembimbing penelitian mahasiswa. Beberapa hasil penelitiannya telah dipublikasikan pada beberapa jurnal, yaitu Zootek, Jurnal Ilmiah Sains, Eugenia, dan Jurnal Primatologi Indonesia.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xi


(11)

KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO- BATUANGUS,

SULAWESI UTARA

SAROYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2005


(12)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Desember 2005 Saroyo NIM B066010011


(13)

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sistem sosial monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) melalui kajian karakteristik dominansi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus. Penelitian dilaksanakan bulan Januari–Desember 2004. Kelompok monyet yang diamati adalah Kelompok Rambo II (KRII) dan Kelompok Rambo I (KRI) dengan ukuran masing-masing pada awal pengamatan sebesar 51 ekor.

Hasil pengamatan selama setahun, didapat nisbah jantan dan betina dewasa berkisar dari 1:1,9-1:7,5. Nilai nisbah ditentukan oleh filopatri betina dan faktor migrasi jantan. Daerah jelajah KRII seluas 232 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,8-4,1 km dengan rata-rata 3,05 ± 0,58 km. Daerah jelajah KRI seluas 119 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,7-3,3 km dengan rata-rata 2,09 ± 0,34 km.

Dominansi ditentukan melalui pengamatan interaksi agonistik pada enam jantan KRII, enam jantan KRI, dan 14 betina KRI. Interaksi agonistik intrakelompok hanya mencakup 1,8% dari total waktu harian. Interaksi agonistik meliputi agresi ringan sebesar 59,5% dan agresi berat sebesar 40,5%. Agresi lunak diikuti dengan rekonsiliasi sebesar 75,8% dan tingkah laku arah diri/TAD sebesar 24,2%, sedangkan agresi berat diikuti dengan rekonsiliasi sebesar 33,3% dan TAD sebesar 66,7%. Angka rekonsiliasi pada agresi lunak sebesar 75,8% dan pada agresi berat sebesar 33,3%. Inisiasi rekonsiliasi dilakukan oleh individu dominan sebesar 59,5% dan 40,5% dilakukan oleh individu subordinan.

Hierarki dominansi jantan bersifat linear sempurna. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antarjantan, hierarki dapat bersifat tidak linear. Ketidakseimbangan hubungan antarjantan terjadi pada saat terjadi perubahan tingkah laku agresif sampai terbentuknya hierarki baru. Hierarki dapat berubah karena faktor perubahan tingkah laku agresif jantan dan faktor migrasi. Dengan demikian, interaksi sosial jantan bersifat asimetris yang ditunjukkan melalui hubungan dominansi.

Hirarki dominansi betina bersifat linear tidak sempurna karena terdapatnya beberapa hubungan segitiga. Tingkah laku menelisik pada betina tidak dipengaruhi oleh peringkat dominansi sehingga interaksi sosial antarbetina bersifat simetris dan menunjukkan sistem sosial egaliter atau pola dominansi yang rileks.


(14)

Koalisi dapat menurunkan peran dominansi untuk akses terhadap pakan, tempat, dan kawin, serta dapat meningkatkan status individu dalam hierarki dominansinya. Koalisi dapat terdiri dari 2-6 ekor monyet. Koalisi dapat bertipe konservatif jika dua individu dominan melawan individu subordinan, tipe jembatan jika individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat menengah, dan tipe revolusioner jika individu-individu subordinan melawan individu dominan. Koalisi berbentuk konservatif sebesar 32,3%, berbentuk revolusioner sebesar 35,5%, dan berbentuk jembatan sebesar 32,3%.

Migrasi terjadi pada individu jantan dewasa dan individu jantan pada saat mencapai umur dewasa. Empat jantan KRII bermigrasi ke KRI selama bulan Oktober dan November. Pada saat migrasi terjadi, terdapat 15 ekor betina KRI sedang estrus, sedangkan pada KRII hanya terdapat satu betina estrus. Migrasi jantan tampaknya disebabkan ketertarikan secara seksual dengan betina yang reseptif pada kelompok lain.

Menelisik merupakan aktivitas yang mencakup 12,3% dari total waktu aktivitas harian monyet. Betina lebih banyak menelisik jantan daripada jantan menelisik betina. Menelisik berperan dalam: pendekatan dalam tingkah laku seksual, sarana rekonsiliasi, ikatan sosial, mencegah tertelisik pindah tempat, dan sebagai sarana TAD. Terdapat kecenderungan jantan dominan mendekati jantan subordinan, betina dominan mendekati betina subordinan, dan betina mendekati jantan. Interaksi antarkelompok dapat bersifat agonistik maupun afiliatif, bahkan terjadi perkawinan.

Tingkah laku seksual monyet hitam Sulawesi sangat bervariasi terutama tingkah laku prakopulasi, pascakopulasi, dan durasi kopulasi. Frekuensi kawin pada jantan dewasa tidak dipengaruhi oleh peringkat dalam hierarki dominansinya. Akses kawin dimiliki oleh seluruh jantan dari semua kelas umur sebagai akibat dari karakter personal Jantan-á dan strategi kawin jantan peringkat rendah. Walaupun demikian, terdapat monopoli betina estrus oleh jantan peringkat tinggi yang juga dipengaruhi oleh faktor kesukaan jantan oleh betina maupun faktor kesukaan betina oleh jantan. Untuk mendapatkan akses kawin, jantan peringkat rendah menerapkan strategi dengan menjauhi kelompok dan kawin pada saat jantan dominan lengah.


(15)

ABSTRACT

SAROYO. Dominance Characteristics of Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi. Under the supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER, RUDY C. TARUMINGKENG, DEDY DURYADI SOLIHIN, and KUNIO WATANABE.


(16)

The social system of Sulawesi macaques is considered as ‘egalitarian’. Generally, social system patterns relate to females. The aims of this study were to investigate whether ‘egalitarian’ social relationships also apply to Sulawesi crested black macaque males and the function of dominance to social interactions. For this, the male and female dominance pattern, dominance hierarchy changes, and its function to social interactions were studied. This study has been conducted on two identified and habituated groups at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi from January to December 2004. Data were collected by focal animal sampling of six males of Rambo II, six males of Rambo I and 14 females of Rambo II. Linearity of male hierarchy was calculated with the Landau’s index of linearity (h). The dynamic of dominance hierarchy was monitored by observation of changes in the direction of agonistic interactions. Results showed that: 1) during periods with stable male relationships, the male dominance hierarchy was linear and transitive, whereas during unstable periods, it was non-linear; 2) during one year, α -male replacements occurred two times on Rambo II and one times on Rambo I; 3) the female dominance hierarchy was imperfectly linear; 4) migration process only occurred in adult and growing adult males; 5) dominance determined priority for accessing to safety and comfortable place and food; 6) coalition might play a role in decreasing domination of dominant individual; 7) to decrease agonistic frequency and intensity, the Sulawesi black macaques used several behavioral mechanisms, such as allogrooming and postconflict affiliation; 8) females groomed males more frequently than males did, grooming among females was unrelated to their ranking; 9) there was a tendency for high rank males to approach lower rank males, for high rank females to approach lower rank females and for females to approach males; 10) intergroup interaction included agonistic and affiliative interactions between the two group members and intergroup mating; and 11) natural sexual behavior was varied; 12) mating frequency of the males was not influenced by their ranking; 13) there were mate choice factors and mating strategy of lower rank to avoid intervention by high rank. From the results, it can be concluded that contrary to females that have egalitarian society, in male Sulawesi crested black macaques, the dominance hierarchy is usually linear and male relationships are non-‘egalitarian’. When defining a social system in primates, it should thus always be clear to which sex the definition is referring to.

Key words: Dominance characteristics, Sulawesi crested black macaques (Macaca nigra), Tangkoko-Batuangus Nature Reserve

KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI


(17)

SAROYO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2005

Judul Disertasi : Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara Nama : Saroyo


(18)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua

Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng Anggota

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota

Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Ujian Tanggal: 11-11-2005

Tanggal Ujian:

Lulus tanggal:

Tanggal Lulus:


(19)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini berjudul Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2004.

Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, Bapak Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, serta Bapak Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama persiapan, penelitian, dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado beserta staf dan pegawai, Kepala Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB beserta staf dan pegawai, serta PEMDA Sulawesi Utara yang telah memberi kesempatan dan bantuan untuk menunaikan tugas belajar di PS Primatologi SPS IPB. Dengan selesainya penelitian di CA. Tangkoko-Batuangus, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Kepala Balai KSDA Sulawesi Utara beserta staf dan pegawai atas bantuan dan kerjasama selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada PEMKOT Bitung, Lurah, dan masyarakat Batuputih yang banyak membantu penulis selama di lokasi penelitian. Banyak pihak telah membantu pendanaan penelitian, sehingga penulis menyampaikan terima kasih kepada DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS, Director of The Rufford Small Grant dan Primate Research Institute Kyoto University atas bantuan dana untuk penelitian. Kepada keluarga, sahabat, dan mahasiswaku penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dorongannya.

Semoga disertasi ini bermanfaat, terutama sebagai salah satu landasan konservasi monyet hitam Sulawesi dan pengelolaan kawasan konservasi.

Bogor, 11 November 2005 Saroyo RIWAYAT HIDUP


(20)

Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 24 Juni 1968. Pendidikan menengah ditempuh di SMA I Boyolali Program A2 dan lulus pada tahun 1987. Lulus pendidikan sarjana dari Program Studi Pendidikan Biologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1992. Melanjutkan pendidikan Pra-S2 di Program Studi Biologi Institut Teknologi Bandung pada tahun 1993 melalui program Calon Tenaga Akademik Baru (CTAB), dilanjutkan dengan pendidikan magister tahun 1994 pada program studi yang sama pada bidang Biologi Perkembangan dengan beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dari DIKTI. Lulus pendidikan magister pada tahun 1996. Menempuh program doktor di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Primatologi pada tahun 2001 dengan nomor mahasiswa B066010011.

Pada tahun 1996, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado di Fakultas Peternakan, Program Studi Ilmu Produksi Ternak. Pada tahun 2000 penulis dipindahkan sebagai staf pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Biologi. Beberapa kursus telah diambil, antara lain Method in Microbiology, Natural Product Chemistry, Field Course in Primate Behavior and Ecology Tangkoko Nature Reserve, Kursus Singkat Biologi Molekuler, Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Tingkat Nasional, Kursus Pekerti, Kursus AA, Penataran Calon Penulis Buku Ajar Perguruan Tinggi, Tinjil Island Primate Research Project Field Course: Primate Behavior and Ecology, Pelatihan Kiat-Kiat Penyusunan Proposal Penelitian Berdaya Saing Tinggi dan Penelusuran Informasi Ilmiah Mutakhir.

Mulai bekerja untuk monyet hitam Sulawesi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus dari tahun 1998 sebagai peneliti maupun pembimbing penelitian mahasiswa. Beberapa hasil penelitiannya telah dipublikasikan pada beberapa jurnal, yaitu Zootek, Jurnal Ilmiah Sains, Eugenia, dan Jurnal Primatologi Indonesia.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xi


(21)

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Ruang Lingkup ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Kerangka Pemikiran ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Hitam Sulawesi ... 6

Cagar Alam Tangkoko-Batuangus ... 10

Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi ... ... 11

Definisi Istilah ... 25

MATERI DAN METODE PENELITAN Tempat dan Waktu ... 29

Materi dan Alat ... 29

Metode Penelitian ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kelompok ... 45

Ukuran dan Komposisi Kelompok ... 45

Pertumbuhan Kelompok ... 46

Daerah Jelajah dan Jelajah Harian ... 52

Aspek Karakteristik Dominansi ... 58

Dominansi Jantan ... 58

Dominansi Betina ... 71

Aspek Tingkah Laku Sosial ... 75

Peran Dominansi Terhadap Tempat ... 75

Peran Dominansi Terhadap Pakan ... 79

Pola Interaksi Intrakelompok ... 83

Pola Interaksi Antarkelompok ... 96

Aspek Reproduksi ... 102

Tingkah Laku Seksual ... 102

Peran Dominansi dalam Kawin ... 105

Pemilihan Pasangan Kawin ... 110

Strategi Kawin Jantan Peringkat Rendah ... 112

SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 122

GLOSARIUM ... 130


(22)

Halaman 1 Perbandingan hubungan sosial primata betina keempat tipe

kompetisi ... 18

2 Tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi (Widdig 2000) .. 22 3 Komposisi KRII (Januari 2004) ... 45 4 Komposisi KRI (Juli 2004) ... 45 5 Rekapitulasi kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi KRII ... 46 6 Komposisi KRII pada akhir pengamatan (Desember 2004) ... 47 7 Komposisi KRI pada akhir penelitian (Desember 2004) ... 49 8 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII ... 51 9 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRI ... 52 10 Jarak jelajah harian KRII ... 54 11 Jarak jelajah harian KRI ... 54 12 Karakteristik jantan dewasa KRII ... 59 13 Rekapitulasi hasil pertemuan agresif dan arah ancaman atau tunduk

pada jantan dewasa KRII ... 60

14 Hasil interaksi agonistik dan arah ancaman atau tunduk pada jantan dewasa KRI ………...

60

15 Dinamika hierarki jantan KRII ... 62 16 Dinamika hierarki jantan KRI ... 63 17 Komposisi individu dewasa KRII dan KRI pada bulan Oktober awal 68 18 Perbandingan lama proses migrasi pada dua jantan KRII ... 70 19 Matriks sosiometrik hasil interaksi agresif antarbetina KRII pada

awal pengamatan (Juni 2004) ... 72

20 Matriks sosiometrik hasil interaksi agresif antarbetina KRII pada akhir pengamatan (Agustus 2004) ...

72

21 Rekapitulasi pendekatan antarjantan KRII ... 76 22 Hasil uji pakan pada enam jantan KRII ... 80 23 Interaksi agonistik antarindividu KRII ... 84 24 Hasil pengamatan koalisi ... 88 25 Rekapitulasi pendekatan KRII ... 94 26 Perkawinan antarkelompok KRI dan KRII ... 100 27 Tingkah laku seksual dan variasinya ... 103 28 Rekapitulasi variasi tingkah laku kawin ... 104 29 Rekapitulasi frekuensi kawin jantan KRII ... 106 30 Monopoli terhadap betina subur oleh jantan... 109


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Monyet hitam Sulawesi ... 6

2 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi perebutan ... 16 3 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi pertandingan ... 17 4 Peta lokasi penelitian ... 30 5 Pertumbuhan KRII selama tahun 2004 ... 47 6 Daerah jelajah KRII dan KRI ... 53 7 Tipe-tipe vegetasi pada daerah jelajah KRII dan KRI ... 55 8 Hubungan segitiga antarjantan KRII ... 61 9 Migrasi jantan dewasa yang teramati selama penelitian ... 65 10 Dinamika dalam hierarki dominansi betina dewasa KRII pada awal

pengamatan (Juni) dan akhir pengamatan (Agustus) ... 74

11 Pergeseran daerah jelajah KRII selama tahun 2004 ... 77 12 Interaksi antara KRII dan KRII pada daerah interseksi ... 98


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Dinamika dalam hierarki dominansi KRII ... 122

2 Dinamika dalam hierarki dominansi KRI ... 125 3 Proses migrasi jantan KRII ... 127 4 Frekuensi menelisik silang antarindividu dewasa KRII ... 129


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sulawesi termasuk salah satu pulau dalam daerah Wallacea. Daerah Wallacea adalah daerah peralihan antara Zoogeografi Oriental dan Zoogeografi Australia (Coates dan Bishop 2000). Satwa Sulawesi merupakan yang paling khas di seluruh Indonesia terutama di antara mammalia. Dari 127 spesies mammalia asli, 62% bersifat endemik (Whitten et al. 1987). Monyet (genus Macaca) adalah satwa khas Oriental yang daerah penyebarannya sampai di Sulawesi (Bynum 1999). Nenek moyang monyet Sulawesi menyeberang ke Pulau Sulawesi pada pertengahan Plestosen dari Pulau Kalimantan atau Jawa (Whitten et al. 1987). Pada saat ini terdapat enam spesies monyet endemik Sulawesi, yaitu M. nigra, M. nigrescens, M. hecki, M. tonkeana, M. maura (M. maurus), dan M. ochreata (Groves 2001), atau tujuh spesies menurut Fooden (1969 dalam Bynum 1999) dengan tambahan M. brunnescens.

Penelitian tentang aspek sosial monyet Sulawesi belum banyak dilakukan, kecuali untuk M. maurus. Beberapa penelitian tentang aspek sosial pada M. maurus, antara lain: organisasi sosial (Watanabe dan Matsumura 1996), afiliasi pascakonflik (Matsumura 1996), hubungan dominansi rileks antarbetina (Matsumura 1996), faktor-faktor yang mempengaruhi proksimitas antaranggota kelompok selama makan, bergerak, dan istirahat (Matsumura dan Okamoto 1997), serta sejarah hidup dan demografi (Okamoto et al.

2000).

Sistem sosial monyet dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan pola dominansinya, yaitu sistem sosial egaliter dan sistem sosial despotik (Hemelrijk 1999). Pada sistem sosial egaliter, keuntungan dalam memanfaatkan sumber tersebar merata pada semua peringkat dan interaksi sosialnya bersifat simetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). Pada sistem sosial despotik, keuntungan dalam memanfaatkan sumber secara kuat dimiliki oleh individu peringkat tinggi, dengan interaksi sosial bersifat asimetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). Penelitian pada M. maurus oleh


(26)

Matsumura (1998) didapatkan hasil bahwa hubungan sosial antarbetina dewasa bersifat egaliter atau mempunyai pola dominansi rileks.

Hubungan sosial monyet Sulawesi betina dikategorikan sebagai dominansi rileks atau sistem sosial egaliter seperti pada monyet Barbary (M. sylvanus), monyet bonnet (M. radiata), dan monyet stumptail (M. arctoides) (Matsumura 1998). Hubungan sosial yang berbeda, yang disebut despotik ditemukan pada sistem sosial monyet Jepang (M. fuscata), monyet Rhesus (M. mullata), dan beruk (M. nemestrina) (Matsumura 1998).

Masyarakat egaliter atau despotik pada satwa primata umumnya ditentukan dari interaksi antarbetina. Sistem sosial M. nigra (monyet hitam Sulawesi) betina bilamana termasuk sistem sosial egaliter seperti pada M. maurus atau despotik belum banyak diketahui. Sistem sosial monyet hitam Sulawesi jantan bilamana mempunyai pola yang sama atau berbeda dengan sistem sosial pada betina juga belum banyak diketahui. Demikian juga jika monyet hitam Sulawesi mempunyai sistem sosial seperti pada monyet Sulawesi lainnya, karakteristik dominansi pada monyet hitam Sulawesi juga masih harus diteliti. Oleh karena itu studi yang mendalam tentang sistem sosial monyet hitam Sulawesi, terutama tentang pola dominansi menjadi sangat penting.

Monyet hitam Sulawesi menempati habitat hutan hujan tropis primer dan sekunder di beberapa lokasi di semenanjung utara Pulau Sulawesi dan beberapa pulau satelitnya (Lee dan Kussoy 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Penelitian Reed et al. (1997) pada tahun 1994 selama enam minggu pada Kelompok Rambo (97 ekor), menunjukkan bahwa dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa. Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat. Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang lebih tinggi terhadap betina, yang reseptif secara seksual dibandingkan dengan betina pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa monyet hitam Sulawesi jantan mempunyai organisasi sosial yang sama dengan kelompok banyak jantan-banyak betina seperti pada spesies Macaca lainnya.

Ukuran kelompok monyet hitam Sulawesi pada saat ini tidak sebesar pada tahun 1994. Berdasarkan penelitian O’Brien dan Kinnaird (1997) yang dilakukan pada tahun 1994, ukuran kelompok berkisar 27-97 ekor. Pada penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a), ukuran Kelompok Rambo I dan Kelompok Rambo II berkisar 50-60 ekor.


(27)

Kelompok kecil yang disebut Kelompok Gila mempunyai ukuran 13 ekor. M. maurus

mempunyai ukuran kelompok yang lebih kecil, yaitu 20-30 (Matsumura 1998).

Penelitian aspek dominansi pada spesies lain, misalnya pada monyet Jepang (M. fuscata) didapatkan hasil bahwa hierarki di antara individu dewasa dan remaja dari kedua jenis kelamin bersifat linear sempurna (Chaffin et al. 1995). Hasil yang sama juga didapatkan pada monyet Rhesus (M. mullata) dan monyet stumptail (M. arctoides) (Chaffin et al. 1995).

Umumnya penelitian tentang dominansi terkonsentrasi pada jantan dewasa dibandingkan dengan pada betina dewasa (Chalmer 1980). Secara umum, pada satwa primata yang menunjukkan sifat dominansi, jantan dewasa mempunyai peringkat dominansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina dewasa, dengan kekecualian pada talapoin (Miopithecus talapoin) (Chalmer 1980) dan Lemur (Rowe 1996). Dominansi pada betina lebih terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pakan dan keberhasilan dalam reproduksi (Matsumura 1998, Range dan Noe 2002). Betina yang lebih dominan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pakan yang lebih banyak daripada betina yang kurang dominan, terutama untuk sumber pakan yang terbatas (Chalmer 1980). Betina peringkat tinggi mempunyai angka kelahiran dan angka kesintasan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina peringkat yang lebih rendah (Chalmer 1980).

Dominansi merupakan kedudukan yang penting dalam tingkah laku sosial, karena keuntungan didapat oleh individu peringkat tinggi, seperti prioritas untuk akses kawin, pakan, dan tempat aman (Hemelrijk 1999). Perbedaan dalam akses terhadap kawin ini akan mengakibatkan hanya beberapa jantan peringkat tinggi saja yang dapat melakukan kawin dengan betina yang secara seksual reseptif. Akibatnya hanya beberapa jantan saja yang menyumbangkan sumber genetik untuk generasi berikutnya. Walaupun demikian, karena jantan dan betina peringkat tinggi mempunyai sifat morfologi dan tingkah laku yang unggul atau superior (Napier dan Napier 1985, Reed et al. 1997), maka perkawinan dengan induk yang secara morfologi dan tingkah laku unggul akan menurunkan anak-anak dengan gen yang unggul juga (Reed et al. 1997).


(28)

Perbedaan ukuran kelompok pada kondisi habitat di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus kemungkinan akan berpengaruh terhadap karakteristik dominansi monyet hitam Sulawesi. Oleh karena itu masalah tersebut menarik untuk diteliti.

Tujuan Penelitian

1) Mengkaji karakteristik dominansi sebagai dasar dalam penentuan sistem sosial monyet hitam Sulawesi.

2) Menentukan peran dominansi dalam berbagai interaksi sosial monyet hitam Sulawesi.

Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif bidang tingkah laku satwa primata di alam. Salah satu ciri penelitian ini adalah tidak dapat dibuat hipotesis dan apabila dipaksakan maka hipotesisnya akan berbetuk sangat umum (Suratmo 2002). Penelitian ini dititikberatkan pada salah satu aspek sistem sosial monyet hitam Sulawesi, yaitu aspek karakteristik dominansi. Aspek pendukung yang juga diamati meliputi karakteristik kelompok yang mencakup ukuran dan komposisi kelompok, pertumbuhan kelompok, serta daerah jelajah dan jelajah harian. Aspek peran dominansi dalam interaksi sosial monyet meliputi aspek tingkah laku sosial dan aspek reproduksi. Luaran penelitian diharapkan dapat dijadikan rekomendasi bagi otoritas manajemen kawasan konservasi dan organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi ex-situ.

Manfaat Penelitian

1) Menambah informasi tentang karakteristik dan peran dominansi dalam berbagai interaksi sosial sebagai dasar dalam penentuan sistem sosial monyet hitam Sulawesi. 2) Dasar dalam pengelolaan populasi monyet hitam Sulawesi melalui pengelolaan

tingkah laku kelompok, terutama yang berkaitan dengan sistem sosial bagi otoritas manajemen CA Tangkoko-Batuangus dan kawasan konservasi lainnya di Sulawesi Utara dan lembaga/organisasi konservasi ex-situ dalam pengelolaan kelompok, sehingga kelestarian spesies ini dapat dipertahankan.


(29)

Permasalahan:

- Ada tidaknya perubahan sistem sosial dengan berubahnya ukuran kelompok

- Sistem sosial jantan sama atau berbeda dengan sistem sosial pada betina

- Karakteristik dominansi pada M. nigra

Analisis dan evaluasi hasil didasarkan pada kajian teoritis dan fakta di lapangan.

Koleksi Data: - Pola dominansi

- Peran dominansi dalam interaksi sosial

Jantan Betina

Penyimpulan

Sistem sosial monyet Sulawesi dikategorikan sebagai sistem sosial egaliter

- Penelitian serupa banyak dilakukan pada M. maurus

- Pada M. nigra jantan dilakukan oleh Reed et al. pada tahun 1994 pada kelompok Rambo (97 ekor) selama enam minggu


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Monyet Hitam Sulawesi Klasifikasi

Monyet hitam Sulawesi atau dalam bahasa lokal disebut yaki (Gambar 1) merupakan satu dari enam jenis monyet Sulawesi. Monyet Sulawesi meliputi dare (M. maura/maurus), yaki (M. nigra), dihe (M. nigrescens), dige (M. hecki), boti (M. tonkeana), hada (M. ochreata) (Groves 2001).

Gambar 1 Monyet hitam Sulawesi

Menurut Corbet dan Hill (1992) serta Collinge (1993), monyet hitam Sulawesi dimasukkan ke dalam Bangsa Primates, Suku Cercopithecidae, Marga Macaca, dan Jenis

Macaca nigra. Pemberian nama yang salah untuk jenis ini, misalnya Celebes black ape


(31)

bahasa daerah, monyet ini disebut yaki (Tonsea, Bacan), wolai (Tondano), dan bolai

(Mongondow) (Supriatna dan Wahyono 2000).

Penyebaran

Monyet hitam Sulawesi tersebar di semenanjung utara Pulau Sulawesi di sebelah timur Sungai Onggak Dumoga dan Gunung Padang yang berbatasan dengan penyebaran

M. nigrescens (Groves 2001). Di Sulawesi Utara, monyet ini dapat dijumpai di CA Tangkoko-Batuangus, CA DuaSudara, SM Manembonembo, Kotamobagu, dan Modayak. Monyet ini juga ditemukan di CA Gunung Lokon, CA Gunung Ambang, CA Tanggale, Pulau Manado Tua, dan Pulau Talise (Lee dan Kussoy 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Monyet ini telah diintroduksi ke Pulau Bacan di Maluku Utara dan populasinya lebih banyak dibandingkan dengan populasi aslinya. Penelitian oleh Rosenbaum et al. (1998) didapatkan hasil bahwa kerapatan monyet hitam Sulawesi di Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan mencapai 170,3 ekor/km2, sedangkan di hutan yang sudah terganggu mencapai 133,4 ekor/km2.

Pertelaan

Monyet hitam Sulawesi mempunyai ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan jenis lainnya. Panjang tubuh betina dewasa 445-550 mm dan pada jantan dewasa 520-570 mm, ekor sepanjang 25 mm (Rowe 1996). Bobot tubuhnya 7-15 kg (Supriatna dan Wahyono 2000). Rambut yang menutupi seluruh tubuh berwarna hitam kelam, namun bagian belakang (punggung) dan paha berwarna lebih terang dibandingkan dengan bagian lain (Bynum 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Wajah berwarna hitam dan tidak ditumbuhi rambut. Moncong jauh lebih menonjol dibandingkan dengan monyet Sulawesi lainnya. Kepala mempunyai jambul merupakan ciri khas monyet tersebut. Warna tubuh betina dan monyet muda sedikit pucat bila dibandingkan dengan jantan dewasa. Bantalan tungging berbentuk suboval dan terbagi secara sempurna (Bynum 1999). Pantat membengkak merah pada monyet betina menandakan bahwa satwa tersebut sedang estrus (Rowe 1996, Kinnaird 1997). Kematangan seksual pada betina dicapai pada umur 49 bulan, siklus estrus sepanjang 36 hari, kebuntingan selama 174-196 hari, umur pertama


(32)

melahirkan 65 bulan, interval kelahiran 18 bulan, dan lama hidup dapat mencapai 18 tahun (Rowe 1996). Bayi berambut putih pada wajah, lengan, dan bagian bawah badan. Warna ini akan berubah perlahan-lahan menjadi hitam sebelum umur empat sampai enam bulan (Kinnaird 1997). Indeks intermembran sebesar 94 dan bobot otak dewasanya mencapai 94,4 g (Rowe 1996).

Ekologi 1. Habitat

Monyet hitam Sulawesi hidup di hutan tropis primer dan sekunder (Rowe 1996) di Sulawesi Utara. Mereka dapat dijumpai pada hutan primer atau sekunder dataran rendah hingga dataran tinggi sampai 2.000 dpl (Supriatna dan Wahyono 2000). Ular python (Python reticulatus) merupakan predator alaminya (Kilner 2001).

2. Pakan

Seperti pada jenis monyet lain, monyet hitam Sulawesi termasuk omnivor. Monyet ini memakan berbagai bagian tumbuhan, mulai dari daun, pucuk daun, bunga, biji, buah, dan umbi, serta beberapa jenis serangga, moluska, dan invertebrata kecil. Terdapat lebih dari 145 jenis buah yang dimakan. Di CA Tangkoko-Batuangus, sekelompok monyet sering ditemukan di tepi laut untuk mencari moluska sebagai salah satu sumber pakannya (Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon ara merupakan salah satu sumber pakan bagi monyet yang paling melimpah. Di CA Tangkoko-Batuangus dan CA DuaSudara terdapat 45 jenis. Buah ara merupakan 20 persen dari total pakan monyet (Kinnaird 1997). Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini meliputi tawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang (Saroyo 2002b).

3. Tingkah Laku

Monyet hitam Sulawesi merupakan spesies diurnal, terestrial, dan arboreal yang kadang-kadang disebut semiarboreal (Rowe 1996, Supriatna dan Wahyono 2000). Lokomosi terutama secara kuadrupedal (Rowe 1996), walaupun cara bergerak monyet ini sangat bervariasi, dari menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brakiasi), ataupun memanjat (Supriatna dan Wahyono 2000). Daerah jelajahnya seluas 114-320 ha,


(33)

dan jelajah hariannya dapat mencapai 5 km (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan penelitian pendahuluan (Saroyo 2002b, Saroyo et al. 2004b), Kelompok Rambo II di CA Tangkoko-Batuangus mempunyai daerah jelajah yang cukup sempit yaitu 59 ha dan jarak jelajah hariannya 2.839 ± 423,6 m. Monyet hitam Sulawesi aktif pada siang hari (diurnal), dan sore hari menjelang tidur mereka memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur dilakukan pada tajuk tinggi pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk segera turun mencari makan. Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di tanah dan setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan (Kinnaird 1997).

Status Konservasi

Monyet hitam Sulawesi dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 421/Kpt/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 (Supriatna dan Wahyono 2000). Dalam daftar yang dikeluarkan IUCN, spesies ini digolongkan sebagai satwa genting dan dicantumkan dalam Appendix II CITES (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan kecenderungan hilangnya hutan, status spesies ini perlu diubah menjadi kritis (Lee et al. 2002).

Populasi

Habitat monyet hitam Sulawesi telah banyak mengalami penyusutan akibat penebangan dan pembukaan lahan perkebunan (Lee et al. 2001). Saat ini mereka telah kehilangan 60% habitatnya dari 12.000 km2 menjadi 4.800 km2, dan hanya menempati areal seluas 2.750 km2 dalam kawasan konservasi (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan penelitian Lee dan Kussoy (1999), kerapatan populasi monyet hitam Sulawesi di Tangkoko sebesar 58,0 ekor/km2, di Pulau Talise 21,5 ekor/km2, di Manembonembo (22,8 ekor/km2), dan di Manado Tua 34,0 ekor/km2.

Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, populasi monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.


(34)

Penelitian MacKinnon dan MacKinnon pada tahun 1978, kerapatan populasi monyet di CA Tangkoko-Batuangus-DuaSudara sebesar 300 ekor/km2, dan berdasarkan penelitian Sugardjito et al. pada tahun 1988, kerapatannya menjadi 76 ekor/km2 (Rosenbaum et al. 1998). Penelitian Rosenbaum et al. pada tahun 1994 menunjukkan bahwa kerapatan populasi monyet sebesar 66,7 ekor/km2 (Rosenbaum et al. 1998). Berdasarkan hasil survei Kyes et al. (2002) pada tahun 1999-2002, kerapatannya sebesar 39,8 ekor/km2.

Cagar Alam (CA) Tangkoko-Batuangus

Sulawesi Utara mempunyai beberapa kawasan perlindungan, baik cagar alam, taman nasional, maupun suaka margasatwa. CA Tangkoko-Batuangus terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan GB No. 6 Stbl 1919, tanggal 12 Februari 1919 (KSDA Sulawesi Utara). Luas cagar alam ini 3.196 ha, terletak pada 1o30’-1o34’N dan 125o10’-125o81’E (Sunarto et al. 1999). Sebagian dari wilayahnya digunakan sebagai daerah wisata alam, dan sampai saat ini belum diketahui pengaruh kegiatan tersebut terhadap kehidupan monyet. Beberapa kelompok monyet, seperti KRII dan KRI mempunyai daerah jelajah yang melalui daerah Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih (Saroyo 2002a). CA Tangkoko-Batuangus menyatu dengan CA DuaSudara, TWA Batuangus, dan TWA Batuputih. Luas keempat kawasan ini 8.718 ha (KSDA Sulawesi Utara 2002).

CA Tangkoko-Batuangus meliputi beberapa tipe habitat (Whitten et al. 1987, Saroyo 2003b) sebagai berikut ini.

1) Pantai, yaitu formasi barringtonia, meliputi tumbuhan: Barringtonia asiatica

(bitung), Pandanus sp. (pandan), Callophyllum soulattri (nyamplung), Morinda citrifolia (mengkudu daun besar), Morinda bracteata (mengkudu daun kecil), Cycas rumphii (pakis haji), Terminalia catappa (ketapang), Hibiscus tiliaceus (waru laut),

Ixora sp. (soka/suwing), Erythrina sp. (dadap), Pongamia pinnata (lakehe), Leea indica (momaling biasa), Kleinhovia hospita (bintangar), dan Barringtonia acutangula (salense).

2) Hutan sekunder dengan pohon khas Cocos nucifera (kelapa), Mangifera indica


(35)

3) Semak-semak yang tersusun atas Imperata cylindrica (alang-alang), Saccharum spontaneum (glagah), Eupatorium odoratum, Lantana camara (tembelekan), Piper aduncum (sirih hutan), dengan diselingi pohon Macaranga sp. (binunga), dan Melia azedarach (mindi/bugis).

4) Semak-semak lain yang tersusun atas rumput Cyrtococcum oxyphyllum yang hampir tertutup oleh Piper aduncum (sirih hutan), Melia azedarach (mindi/bugis),

Macaranga sp. (binunga), Lantana camara (tembelekan), Pterospermum diversifolium (wolo daun besar), Alstonia sp. (kayu telur), Laportea sp. (kemaduh), dan Tectona grandis (jati).

5) Hutan primer dengan berbagai jenis pohon, yang menyolok antara lain Ficus sp.

(ara), Leea indica (momaling biasa), Palaquium amboinense (nantu), Ardisia sp.

(kayu anoa), Eugenia sp. (gora hutan), Garuga floribunda (kayu kambing),

Dracontomelum dao (rao), Livistona rotundifolia (woka), dan Baringtonia acutangula (salense).

6) Di atas ketinggian 800 m sudah merupakan vegetasi pegunungan.

Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi

Bangsa Primates merupakan salah satu Bangsa dalam Kelas Mammalia yang hidup dalam suatu kelompok sosial. Hidup bersosial memberikan beberapa keuntungan untuk akses terhadap pakan, proteksi terhadap predator, akses untuk kawin, dan mempermudah dalam pemencaran keturunan (Collinge 1993). Beberapa terminologi berikut merujuk pada Collinge (1993). Suatu Kelompok Sosial tersusun dari satwa-satwa yang berinteraksi pada suatu basis reguler. Primata mampu mengenal satu dengan yang lain dan menggunakan lebih banyak waktu dengan anggota kelompoknya. Struktur Sosial menunjukkan bentuk fisik kelompok berkaitan dengan kelompok umur dan jenis kelamin, serta hubungan interaksi satu dengan lainnya. Organisasi Sosial merupakan ekspresi yang lebih inklusif yang secara umum digunakan untuk mendeskripsikan beberapa aspek kelompok sosial, yang meliputi distribusi spasial, komposisi kelompok, serta hubungan sosial dan fisik di dalam kelompok. Perbedaan utama struktur sosial dan organisasi sosial, bahwa organisasi sosial juga mencakup komponen tingkah laku.


(36)

Berdasarkan sistem klasifikasi sosioseksual, struktur sosial monyet hitam Sulawesi termasuk kelompok banyak jantan-banyak betina. Di alam, monyet hitam Sulawesi hidup dalam kelompok besar, yaitu 20-70 ekor (Supriatna dan Wahyono 2000). Mereka hidup dalam kelompok dengan nisbah (rasio) jantan dan betina dewasa 1:3,4 (Rowe 1996). Nisbah jantan dan betina ini merupakan fungsi dari pola emigrasi jantan dan filopatri betina (Napier dan Napier 1985). Filopatri betina berarti bahwa betina tetap berada dalam kelompok kelahirannya. Masyarakat monyet ini berpusat pada keluarga betina, sementara jantan keluar dari kelompok kelahirannya (Matsumura 1998).

Interaksi Sosial

Tingkah laku sosial monyet hitam Sulawesi sangat terorganisir dan kompleks. Jantan membentuk hierarki kekuasaan. Jantan paling dominan ditandai dengan ukuran tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas dalam mendapatkan pakan dan pasangan (Kinnaird 1997). Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan anak, sehingga jantan sempat membersihkan segala parasit dari rambut tubuh mereka dan membantu kaum betina memperkuat ikatan sosial dengan anggota lainnya. Kaum remaja melewatkan waktu dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran atau bergumul dengan sebayanya. Meringis lebar merupakan senyuman mengajak bermain-main bukan menantang berkelahi (Kinnaird 1997).

Interaksi sosial dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu kompetitif (antagonistik) dan kooperatif (positif atau afiliatif). Beberapa penelitian tentang interaksi sosial antaranggota kelompok pada satwa primata, antara lain: dominansi pada monyet Jepang (M. fuscata) (Chaffin et al. 1995), hubungan dominansi betina dewasa pada monyet Jepang di alam (Nakamichi et al. 1995), hubungan proksimitas pada monyet Jepang (Nakamichi 1996), dominansi pada monyet Assam (M. assamensis ) (Bernstein dan Cooper 1999), menelisik, ikatan sosial, dan agonistik pada monyet Rhesus (M. mullata) (Matheson dan Bernstein 2000), dan hubungan kekeluargaan dan dominansi betina pada

sooty mangabey (Cercocebus atys) (Range dan Noe 2002). Penelitian tentang tingkah laku sosial jantan dan hierarki dominansi pada monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus telah dilakukan pada tahun 1994 selama enam minggu (Reed et al. 1997) pada


(37)

suatu kelompok besar (97 individu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa. Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat. Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang lebih tinggi terhadap betina yang secara seksual reseptif daripada terhadap betina pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa jantan monyet hitam Sulawesi mempunyai organisasi sosial yang sama dengan pada spesies Macaca lainnya (Reed et al. 1997).

1. Interaksi Kompetitif (Antagonistik)

Jika hewan hidup dalam kelompok yang stabil, pesaing superior secara konsisten unggul terhadap pesaing inferior (Collinge 1993). Pasangan individu tersebut mempunyai hubungan dominansi. Hubungan dominansi dapat diukur melalui hasil perkelahian dalam pertemuan agresif antara dua individu atau arah sikap mengancam atau tunduk. Agresi mencakup agresi ringan (mengancam dengan membuka mulut, mengancam dengan suara, menerjang) dan agresi berat (mengusir, menendang, mencakar, menggigit) (Perry 1996).

1.1. Hierarki Dominansi

Menurut Martin dan Bateson (1999), pada banyak spesies primata, hubungan di antara sepasang individu berbentuk asimetris. Satu individu secara konsisten akan mengusir individu lain pada saat mereka berkompetisi untuk suatu sumber yang bermanfaat, misalnya pakan, tempat, atau kawin, atau secara sederhana satu individu menghindar pada saat mereka bertemu. Jika sejumlah kejadian dicatat untuk setiap pasangan dalam kelompok, seringkali menjadi jelas bahwa satu individu cenderung untuk mengusir seluruh individu lainnya, sedangkan individu lain akan diusir yang lainnya. Keseluruhan susunan individu dominan dan subordinan dalam kelompok dikenal sebagai hierarki dominansi (Martin dan Bateson 1999). Dominansi merupakan hal penting dalam tingkah laku sosial pada spesies hewan yang hidup berkelompok dengan keuntungan yang lebih besar diperoleh oleh individu yang mempunyai peringkat tinggi, misalnya akses untuk kawin, pakan, dan lokasi yang aman. Satwa primata hidup dalam


(38)

suatu kelompok, sehingga harus bersaing satu dengan yang lain dari waktu ke waktu untuk akses terhadap sumber-sumber di atas. Kompetisi ini menghasilkan kemantapan dalam hierarki dominansi yang mencakup perbedaan tingkah laku individu berdasarkan jenis kelamin, ukuran, umur, status, dan kekerabatan (Swindler 1998).

Terdapat beberapa bentuk hierarki dominansi. Jika seluruh individu dalam kelompok dapat disusun dalam urutan dominansi yang pasti (misalnya C dominan terhadap A, A dominan terhadap D, D dominan terhadap E, dan E dominan terhadap B), maka hierarki dominansinya linear (Martin dan Bateson 1999). Dalam kenyataan, hanya beberapa hierarki ini yang linear sempurna. Kadang-kadang dominansi balik dapat terjadi, jika subordinan mengalahkan individu yang secara normal lebih dominan (Martin dan Bateson 1999). Lebih jauh untuk hierarki linear sempurna, seluruh hubungan diad harus asimetris. Pada beberapa kelompok, dua atau lebih individu dapat mempunyai status yang sama. Pada hierarki linear sempurna, seluruh kemungkinan hubungan triad harus transitif (jika A dominan terhadap B dan B dominan terhadap C, maka A harus dominan terhadap C) (Martin dan Bateson 1999).

Pada saat ini kelompok monyet di CA Tangkoko-Batuangus tidak sebesar pada tahun 1994. Kelompok Rambo telah terfragmentasi menjadi dua kelompok yang lebih kecil, yaitu KRI (±60 ekor) dan KRII (51 ekor) (Saroyo 2002a). Pola dominansi betina pada monyet hitam Sulawesi digolongkan sebagai nepotistik-toleran (Slater 2002). Pola ini berarti bahwa betina bersifat filopatri dan terdapat kerjasama antarkerabat dalam kompetisi.

1.2. Pola Dominansi

Pola dominansi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu despotik dan egaliter. Perbedaan antara keduanya, pada pola despotik keuntungan yang besar diperoleh oleh individu dengan peringkat tinggi, sementara pada pola egaliter keuntungan terdistribusi relatif merata (Hemelrijk 1999). Jika kompetisi antarkelompok rendah, atau resiko predasi tinggi, dominan mempunyai lebih banyak kesempatan dalam menggunakan sumber secara despotik (sangat protektif). Hal ini akan menyebabkan anggota kelompok


(39)

menunjukkan sedikit toleransi terhadap subordinan, menghasilkan hierarki dominansi yang jelas dan umumnya merupakan masyarakat despotik. Sebaliknya, jika kompetisi antarkelompok tinggi dan resiko predasi rendah, maka individu dominan akan lebih toleran terhadap subordinan, untuk mencegah mereka meninggalkan kelompok dan masuk ke kelompok lain. Pola hubungan yang kurang kompetitif ini akan menghasilkan masyarakat yang lebih toleran dan hubungan dominansi lebih egaliter (Hemelrijk 1999).

Hasil penelitian yang sangat baik tentang peringkat, keberhasilan dalam reproduksi, dan dispersal telah dilakukan pada monyet Rhesus (M. mullata) di alam oleh Berard (1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi pada jantan anggota tetap kelompok dan peringkat tinggi menurun selama periode penelitian. Di pihak lain terjadi peningkatan keberhasilan dalam perkawinan pada jantan emigran dari tahun ke tahun. Walaupun peringkat seekor jantan anggota tetap kelompok tersebut meningkat, tetapi keberhasilan dalam perkawinanya menurun. Jantan peringkat tinggi harus memutuskan untuk tetap tinggal dalam kelompok tetapi mempunyai keberhasilan dalam perkawinan rendah, atau bermigrasi ke kelompok lain menjadi peringkat rendah tetapi keberhasilan dalam perkawinannya tinggi.

Aspek dominansi pada betina kurang mendapatkan perhatian untuk diteliti (Chalmer 1980). Secara umum, pada primata yang menunjukkan sifat dominansi, jantan dewasa mempunyai peringkat dominansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina dewasa, dengan kekecualian pada talapoin (Miopithecus talapoin). Dominansi pada betina lebih terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pakan dan keberhasilan dalam reproduksi (Koenig 2002). Betina yang lebih dominan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pakan yang lebih banyak daripada betina yang yang kurang dominan, terutama untuk sumber pakan yang terbatas. Betina dengan peringkat tinggi mempunyai angka kelahiran dan angka kesintasan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina yang mempunyai peringkat lebih rendah (Chalmer 1980).

Penelitian hubungan sosial antarbetina pada monyet capuchin muka putih (Cebus capucinus) oleh Perry (1996) diperoleh hasil yaitu betina membentuk hierarki dominansi linear yang stabil; betina dewasa lebih banyak menggunakan waktunya dalam proksimitas dengan betina dewasa lain daripada dengan jantan dewasa; mereka saling


(40)

menelisik dengan betina lain dua kali lebih banyak daripada yang dilakukan dengan jantan; betina cenderung menelisik kepada yang lebih dominan. Pada langur hanuman (Semnopithecus entellus) yang mempunyai sistem sosioseksual berpusat pada jantan tunggal, hubungan hierarki betina menunjukkan ketidakstabilan, inkonsisten, individualistik, dan angka koalisi agonistik rendah (Borries 1993).

1.3. Tipe Kompetisi

Kompetisi untuk suatu sumber dibedakan menjadi dua tipe dasar, yaitu Kompetisi perebutan atau kompetisi tidak langsung dan kompetisi pertandingan atau kompetisi langsung (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/ 4_26_02.html). Kompetisi perebutan terjadi jika hewan harus berbagi sumber yang terbatas tetapi tidak mempunyai cara untuk membatasi akses individu lain terhadap sumber tersebut. Seluruh individu dalam kelompok bersama-sama akan mengalami pengurangan pakan. Efek kompetisi tipe ini akan meningkat dengan meningkatnya ukuran kelompok (Gambar 2). Kompetisi tipe ini untuk pakan terjadi jika ketersediaan pakan sangat sedikit dan sangat jarang.

Gambar 2 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi perebutan (K = ukuran kelompok kecil; S = ukuran kelompok sedang; B = ukuran kelompok besar)

Kompetisi pertandingan terjadi jika individu yang lebih kuat dapat membatasi akses individu yang lebih lemah untuk suatu sumber (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02.html). Kompetisi tipe ini terjadi karena terdapatnya perbedaan kemampuan berkompetisi antarindividu. Individu dominan mempunyai akses yang lebih besar terhadap sumber (Gambar 3). Kompetisi tipe ini


(41)

terjadi jika pakan tersebar tidak merata. Sebagai contoh, pohon kecil yang sedang berbuah merupakan sumber yang menyebabkan rejim kompetisi tipe pertandingan.

Gambar 3 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi pertandingan (K = ukuran kelompok kecil; S = ukuran kelompok sedang; B = ukuran kelompok besar)

Terdapat empat tipe kombinasi yang menghasilkan tipe masyarakat yang berbeda (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02.html). Untuk lebih jelasnya, Tabel 1 di bawah menunjukkan perbandingan hubungan sosial primata betina pada keempat tipe kompetisi. 1) Jika kompetisi perebutan intrakelompok lebih penting daripada kompetisi pertandingan, akan menghasilkan masyarakat tipe dispersal-egaliter. Masyarakat tipe ini ditemukan pada monyet howler, monyet bajing Costa Rica, dan gorilla. 2) Jika kompetisi pertandingan intrakelompok lebih penting daripada kompetisi

perebutan intrakelompok dan kompetisi pertandingan interkelompok, akan menghasilkan masyarakat yang despotik. Pada masyarakat tipe ini, betina cenderung untuk membentuk aliansi dengan sanak dan kerabatnya. Tipe ini terutama terjadi pada primata frugivor dan mereka disebut residen-nepotistik. Sebagai contoh, misalnya pada monyet (Macaca), baboon, dan monyet capuchin.

Tabel 1 Perbandingan hubungan sosial primata petina keempat tipe kompetisi (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02.html)

Kategori Rejim kompetitif Respon sosial

Pertandingan intrakelompok

Pertandingan

interkelompok

Filopatri betina

Peringkat betina

Dispersal-Egaliter


(42)

Residen-Egaliter

Rendah Tinggi Ya Egaliter

Residen-Nepotistik

Tinggi Rendah Ya Nepotistik

dan despotik

Residen- Nepotistik-Toleran

Tinggi Tinggi Ya Nepotistik

dan toleran

3) Pada beberapa spesies, kompetisi pertandingan interkelompok dapat lebih penting daripada kompetisi intrakelompok. Akibatnya hubungan antaranggota kelompok menjadi lebih egaliter dan kurang nepotistik. Tipe masyarakat seperti ini disebut residen-egaliter. Sebagai contoh, misalnya guenon, monyet patas, dan langur

hanuman.

4) Pada beberapa spesies, kompetisi pertandingan interkelompok dan intrakelompok sama pentingnya, akan menghasilkan masyarakat residen-nepotistik-toleran.

1.4. Pemilihan Pasangan Kawin

Pemilihan pasangan kawin didefinisikan sebagai pola tingkah laku pada satu jenis kelamin yang dapat meningkatkan probabilitas perkawinan fertil dengan individu tertentu pada jenis kelamin yang berbeda (Soltis et al. 1997). Hasil penelitian Soltis et al. (1997) menunjukkan terdapat pemilihan betina oleh jantan dan pemaksaan seksual jantan oleh betina pada M. fuscata. Proksimitas betina terhadap jantan dan agresi jantan terhadap betina berkorelasi dengan peningkatan keberhasilan perkawinan. Kebanyakan agresi jantan dihasilkan dari peningkatan lama waktu dalam proksimitas oleh betina, dan sebagian disebabkan oleh pemaksaan seksual (Soltis et al. 1997).

2. Interaksi Kooperatif (Positif, Afiliatif) 2.1. Rekonsiliasi (Reuni)

Selama dua dekade terakhir, penelitian tentang manajemen konflik pada hewan yang hidupnya berkelompok terfokus pada reuni pascakonflik atau rekonsiliasi. Individu-ividvidu yang bertengkar segera melakukan tingkah laku afiliasi setelah konflik agresif (de Wall 2000; Aureli 2002). Kejadian lain pada pascakonflik adalah terdapatnya koaliasi


(43)

pihak ketiga pascakonflik yang didefinisikan sebagai kontak afiliatif pascakonflik antara individu-individu yang bertengkar dan individu-individu di sekitarnya (Call et al. 2002).

Rekonsiliasi pada satwa primata, suatu interaksi afiliatif pascakonflik di antara individu yang bertengkar mempunyai dua fungsi: (1) untuk memperbaiki kerusakan hubungan karena agresi, dan (2) untuk mereduksi ketidakpastian pascakonflik dan tekanan pada individu tersebut (Kutsukake dan Castles 2001). Hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi terkait dengan fungsi tersebut melalui argumentasi bahwa kerusakan hubungan karena agresi akan menyebabkan tekanan yang tinggi, sehingga menimbulkan usaha untuk berekonsiliasi untuk menurunkan tekanan tersebut (Kutsukake dan Castles 2001).

Beberapa hipotesis telah diajukan oleh beberapa ahli tingkah laku. Beberapa studi mengindikasikan bahwa rekonsiliasi berfungsi untuk memperbaiki kerusakan hubungan sosial karena agresi (hipotesis perbaikan hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000). Sebagai contoh, rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan korban agresi mengalami serangan berikutnya yang dilakukan oleh penyerang pertama atau individu lain, serta meningkatkan toleransi untuk sumber pakan (Kutsukake dan Castles 2000).

Pada kenyataannya agresi tidak selalu diikuti oleh rekonsiliasi. Beberapa peneliti berusaha menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rekonsiliasi. Mereka mengemukakan bahwa kualitas hubungan individu yang bertengkar merupakan faktor penting untuk menentukan terjadinya rekonsiliasi. Rekonsiliasi sering terjadi mengikuti agresi di antara individu yang bertengkar. Individu-individu tersebut mempunyai hubungan dengan nilai biologis yang tinggi, suatu fungsi keuntungan kebugaran yang dapat dihasilkan dari hubungan tersebut (hipotesis nilai hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000). Sebagai contoh, pada beberapa spesies monyet yang membentuk masyarakat ikatan betina yang didasarkan pada unit matrilineal, interaksi agresif di antara individu yang berkerabat lebih sering diikuti rekonsiliasi dibandingkan dengan pada individu yang tidak berkerabat. Bukti eksperimen yang juga mendukung hipotesis ini, rekonsiliasi secara dramatis meningkat mengikuti peningkatan nilai hubungan di antara pasangan monyet ekor panjang (Cord dan Thurnheer 1993).


(44)

Fungsi rekonsiliasi yang lain berperan untuk mereduksi tekanan pascakonflik. Pada satwa primata terdapat tingkah laku arah diri/TAD seperti menggaruk, menelisik diri, dan menguap berkaitan dengan situasi tertekan (Cord dan Thurnheer 1993). Sebagai contoh, proksimitas oleh individu yang dominan dapat meningkatkan laju TAD pada monyet ekor panjang dan olive baboon (Papio anubis), sedangkan menelisik silang dapat mereduksi TAD dan detak jantung pada tertelisik. Oleh karena itu, proksimitas dalam rekonsiliasi menyebabkan reduksi ketidakpastian dan menurunkan kondisi tertekan (Cord dan Thurnheer 1993).

Aureli (1997) mengajukan hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa agresivitas tidak hanya berpengaruh pada korban, pada penyerang juga akan meningkatkan TAD. Ini membuktikan bahwa kondisi tertekan pascakonflik tidak terbatas pada korban, tetapi juga dialami oleh penyerang. Sebagaimana terjadi pada korban, pada penyerang juga terjadi penurunan laju TAD pada rekonsiliasi (Aureli 1997).

Tidak semua spesies satwa primata menunjukkan terjadinya afiliasi pascakonflik. Pada sebagian besar spesies Cercopithecine yang hidup dalam kelompok sosial kompleks, mereka membentuk afiliasi (Call et al. 2002). Pada red-bellied tamarin

(Saguinus labiatus), agresi yang terjadi tidak merusak hubungan antaranggota kelompok, sehingga rekonsiliasi tidak diperlukan (Schaffner dan Caine 2002).

2.2. Aliansi atau Koalisi

Konflik di antara dua individu hewan sering kali diinterpretasikan sebagai kompetisi terhadap sumber yang terbatas (Widdig et al. 2000). Hasil interaksi agresif pada masyarakat primata sering kali dipengaruhi oleh intervensi pihak ketiga (Collinge 1993). Aliansi dibentuk saat satu individu luar membantu dalam bertahan atau menyerang. Pada monyet, baboon, dan chimpanzee, seekor individu yang sedang konflik dapat melihat sekilas ke individu lain untuk membantu melawan pihak musuh. Frekuensi aliansi bergantung pada struktur sosial spesies yang bersangkutan dan faktor terkait lainnya, seperti umur, kondisi reproduksi, dan hubungan individual.


(45)

Terdapat beberapa tipe aliasi tergantung pada hasilnya. Aliansi spesifik sumber ditemukan pada baboon savana di alam bebas (Collinge 1993). Jantan tua dan jantan peringkat rendah sering membentuk koalisi untuk mengusir hewan dominan yang sedang kopulasi dengan betina estrus. Koalisi ini bersifat resiprok terhadap kesempatan untuk kawin. Pada masyarakat banyak jantan-banyak betina, misalnya pada monyet Jepang dan monyet Rhesus, betina membentuk matrilineal yang besar bekerja sama dalam interaksi agonistik. Pada spesies dengan jantan tetap berada dalam kelompok kelahirannya (filopatri), seperti chimpanzee dan monyet colobus merah, jantan-jantan yang berkerabat bekerja sama melawan individu dominan atau untuk berkompetisi dalam akses terhadap betina estrus. Aliansi antara jantan dan betina terjadi terutama pada saat musim kawin dalam konteks pasangan kawin. Istilah aliansi xenofobik menunjukkan bahwa seluruh anggota kelompok bersama-sama mempertahankan teritorialnya dari kelompok lain (Collinge 1993).

Berdasarkan fungsinya, terdapat dua penjelasan: (1) intervensi dapat bersifat altruistik atau (2) menguntungkan salah satu pihak saja (Widdig et al. 2000). Tingkah laku altruistik berkaitan dengan pengeluaran oleh pemberi/altruist (misalnya waktu, energi, resiko luka, dan pembalasan) dan keuntungan bagi penerima/resipien (misalnya akses terhadap sumber yang terbatas dan kurangnya perlukaan dalam perkelahian) (Widdig et al. 2000).

Pembentukan koalisi dapat dijelaskan melalui tiga teori, yaitu seleksi sanak, altruisme resiprok, dan kooperasi (Widdig et al. 2000). Teori seleksi sanak memprediksi bahwa individu-individu yang mendukung kerabat akan meningkatkan kebugaran secara tidak langsung karena mereka membagi gennya dengan resipien. Seleksi diharapkan memberikan keuntungan di antara sanak, individu-individu yang berkerabat dekat, pengeluaran/ongkos yang rendah oleh altruist, dan keuntungan yang besar pada penerima. Terdapat bukti bahwa seleksi ini terjadi pada satwa primata (misalnya M. fuscata, M. radiata, dan Papio cynocephalus) meskipun pemencaran jantan dapat mengurangi ketersediaan sanak. Sebagai contoh, monyet Rhesus jantan lebih suka


(46)

bergabung dengan jantan saudaranya yang lebih tua dan membentuk koalisi (Widdig et al. 2000).

Pada altruisme resiprok, pemberi berperan memberikan pengeluaran dan tanpa keuntungan segera, tetapi pemberi menerima keuntungan pada masa mendatang dari penerima. Jika keuntungan untuk penerima lebih besar daripada pengeluaran oleh pemberi, kedua pihak memperoleh kebugaran langsung untuk periode waktu yang lama meskipun tidak berhubungan lagi (Widdig 2000). Sebagai contoh, Pasangan baboon

jantan yang tidak berkerabat memperoleh kesempatan untuk mengawini betina estrus.

Tabel 2 Tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi (Widdig 2000) Tingkah laku altruistik Tingkah laku mandiri

seleksi sanak keuntungan untuk penerima

(sanak)

pengeluaran oleh pendukung

kebugaran tidak langsung bagi pendukung (segera)

altruisme resiprok keuntungan untuk penerima

(bukan sanak) pengeluaran oleh pendukung

kebugaran langsung bagi pendukung (ditunda)

Kooperasi

Keuntungan untuk penerima (bukan sanak) dan

pendukung Tidak ada pengeluaran oleh

pendukung

kebugaran langsung bagi pendukung (segera)

Pada teori kooperasi, pendukung bukanlah pemberi karena menerima keuntungan langsung dari ikatan dengan individu yang tidak berkerabat (Widdig 2000). Chimpanzee

jantan mendapatkan keuntungan saat membantu individu yang tidak berkerabat melawan individu lain, sehingga dapat menaikkan peringkat individu tersebut (Widdig et al. 2000). Perbandingan tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan pada hierarki dominansi, aliansi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) tipe konservatif, (2) tipe jembatan, dan (3) tipe revolusioner (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02. html). Pada aliansi tipe konservatif, dua individu dominan melawan individu subordinan. Pada aliansi tipe jembatan, individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat


(47)

menengah. Pada aliansi tipe revolusioner, individu-individu subordinan melawan individu dominan.

2.3. Menelisik

Menelisik didefinisikan sebagai tindakan mengambil kotoran atau lainnya dari rambut dan kulit dengan menggunakan jari atau gigi (Rasmussen 1993). Menelisik merupakan bentuk komunikasi sentuhan yang secara intensif sudah dipelajari karena mempunyai peranan yang menonjol dalam kehidupan harian kebanyakan spesies primata (Collinge 1993). Di samping berfungsi untuk membersihkan kulit dan rambut dari kotoran dan parasit, menelisik juga berperan dalam interaksi sosial dalam berbagai konteks, misalnya dalam hal induk menenangkan bayinya, pasangan kawin untuk sinyal memulai kawin, persaudaraan, dan untuk rekonsiliasi. Menelisik oportunistik terhadap hewan dominan merupakan strategi yang sering digunakan oleh hewan subordinan sebagai sarana untuk membagi keuntungan aspek dominansi (Collinge 1993).

Menelisik mencakup manipulasi oral dan manual pada kulit dan/atau rambut (Cooper dan Berstein 2000).Menelisik dapat dilakukan untuk diri sendiri (menelisik diri) dan dapat dilakukan untuk pasangan sosialnya (menelisik silang) (Chalmer 1980). Jika dilakukan untuk diri sendiri, menelisik berfungsi untuk membuang ektoparasit atau untuk membersihkan dan mempertahankan permukaan tubuh. Menelisik untuk fungsi ini sudah diamati pada monyet ekor singa (M. silenus), lemur ekor cincin (Lemur catta), monyet hitam Sulawesi (M. nigra), dan monyet bonnet (M. radiata) (Chalmer 1980). Menelisik sosial, di samping berfungsi seperti menelisik diri, juga untuk mempererat ikatan sosial. Menelisik sosial dapat berfungsi sebagai pembayaran oleh individu subordinan sebagai sarana dalam perjumpaan agonistik dengan individu dominan pada saat yang akan datang (Cooper dan Berstein 2000). Penelitian pada monyet Rhesus (M. mullata), mereka sering menelisik segera setelah terlibat perkelahian (Chalmer 1980). Pada M. arctoides, menelisik dapat mereduksi kecenderungan bagi tertelisik untuk berjalan. Dengan demikian menelisik berfungsi untuk meningkatkan imobilitas (efek plikatori) (Chalmer 1980).


(1)

13,73%dari total individu awal. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, filopatri betina dan migrasi jantan baik imigrasi maupun emigrasi menentukan nisbah jantan dan betina dewasa dalam kelompok tersebut.

PERTUMBUHAN KELOMPOK

32 32 32 32 33 32 32 30 32 31 33 32

19 19 19 19 21 21 25 25 25 25 26 26

0 10 20 30 40 50 60 70

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Bulan

J

u

m

la

h (

E

k

or

)

Betina Jantan

Gambar 5 Pertumbuhan KRII selama tahun 2004

Kelahiran (natalitas) terjadi pada bulan Mei-November. Jika dilihat pertumbuhan kelompok hanya pada KRII saja seakan-akan terdapat musim kawin, tetapi jika diamati pada KRI pada bulan-bulan tersebut justru tidak terdapat kelahiran. Sebanyak 65,22% betina mengalami estrus. Hal ini berbeda dengan KRII yang sebagian besar betinanya (73,33%) sedang mengasuh bayi dan hanya sedikit yang menunjukkan tanda-tanda estrus.

Tabel 6 Komposisi KRII pada bulan Desember 2004 Jenis Kelamin (ekor)

Kel Umur

Jantan Betina

Nisbah Jantan:Betina

Bayi 4 9

Anak 21 2

Remaja 4 -

Dewasa 3 15 1:5


(2)

Kematian (mortalitas) secara alami disebabkan faktor kecelakaan, umur, dan serangan predator. Kematian betina anak terjadi karena serangan predator. Pada tubuh individu tersebut ditemukan bekas-bekas cakaran, tetapi tidak ada luka yang besar. Kemungkinan individu ini diserang oleh biawak (Varanus salvator). Kematian betina bayi disebabkan tertimpa cabang pohon yang menyebabkan atap tengkorak pecah, sehingga otak terdedah. Peristiwa ini terjadi pada tanggal bulan Agustus pada saat terjadi angin selatan yang cukup kencang. Bayi mampu bertahan selama hampir dua bulan dalam kondisi yang lemah karena tidak mampu lagi makan dan berjalan jauh dan baru mati pada akhir bulan November. Pada perut bayi terdapat empat lubang bekas gigitan. Kemungkinan luka ini disebabkan gigitan biawak. Bayi yang mati ini dibawa induknya selama satu hari saja, dan pada hari berikutnya sudah tidak dibawa.

Pada KRII terdapat enam ekor jantan melakukan emigrasi, yaitu Yoko (jantan yang baru memasuki umur dewasa), Perot, Ompong, Kiting, Patchy, dan Blacky. Yoko keluar dari KRII dan menjadi soliter sebelum masuk ke KRI. Perot keluar dari kelompok dan masuk ke KG sampai akhirnya bergabung dengan KRI. Ompong terpisah dari kelompok dan tidak pernah masuk kembali ke KRII yang akhirnya juga bergabung dengan KRI. Kiting dan Patchy pernah keluar dari KRII dan bergabung dengan KRI. Kiting beberapa kali masuk ke KRI dan kembali lagi ke KRII, tetapi pada akhirnya kembali bergabung dengan KRI. Berbeda dengan Kiting, setelah masuk ke KRI Patchy kembali lagi ke KRII. Blacky merupakan Jantan-á KRII yang keluar dari kelompok karena diusir oleh Rawing yang menggantikannya sebagai Jantan-á. Rawing adalah satu-satunya jantan luar yang melakukan imigrasi ke KRII. Rawing pernah menjadi Jantan-á

KRII pada tahun 2003 (Saroyo et al. 2004a).

Pada penelitian pendahuluan pada KRII (Saroyo 2002a) selama empat bulan pengamatan terdapat dua jantan bayi mati, yaitu seekor karena jatuh dari pohon tidur dan yang satunya tidak diketahui penyebabnya. Kedua bayi yang mati tersebut dibawa induknya selama tiga hari. Berbagai studi menunjukkan bahwa angka mortalitas berbeda pada setiap kelompok umur, dan biasanya tinggi pada fase bayi. Kematian bayi merupakan faktor utama dalam pengontrolan ukuran kelompok (Chalmer 1980).

Pada bulan April terdapat seekor betina dewasa KRI yang mati karena dibunuh oleh seekor ular piton (Phyton reticulatus). Pada awal pengamatan (Juli 2004), ukuran


(3)

KRI sebesar 51 ekor. Selama enam bulan terdapat sembilan jantan yang masuk dan empat jantan yang keluar kelompok, tanpa ada kelahiran dan kematian. Dengan demikian pada akhir penelitian (Desember), ukuran kelompok menjadi 56 ekor dengan komposisi seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi KRI pada bulan Desember 2004 Jenis Kelamin (ekor)

Kel Umur

Jantan Betina

Nisbah Jantan:Betina

Bayi - -

Anak 17 4

Remaja 1 -

Dewasa 11 23

1:2,1

Jumlah 29 27

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran kelompok untuk KRII dan KRI pada akhir pengamatan mengalami pertumbuhan jika dibandingkan dengan awal pengamatan dan masih pada kisaran 50-60 ekor. Ukuran kedua kelompok ini dari tahun 1998-2004 stabil pada kisaran tersebut, walaupun tekanan terhadap kelestarian spesies ini di CA Tangkoko-Batuangus dan CA Duasudara di dekatnya sangat besar, terutama perburuan untuk konsumsi dan perusakan habitat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut ini.

1) Angka reproduksi yang tinggi

Pengamatan jumlah kelahiran selama setahun pada KRII didapatkan 13 kelahiran, yang terdiri dari empat jantan dan sembilan betina dari 51 ekor anggota kelompok. Dengan demikian angka kelahiran kelompok ini sebesar 25,5%. Selama empat bulan penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a) terdapat empat kelahiran (empat bayi jantan) dari 51 ekor anggota KRII atau sebesar 23,5% dalam setahun. Jumlah kematian selama setahun sebesar dua ekor atau 3,9%. Jumlah jantan yang masuk ke kelompok sebesar tiga atau 5,9%, sedangkan jumlah jantan yang keluar dari kelompok sebesar tujuh ekor atau 13,7%. Satu-satunya faktor yang tidak diketahui adalah angka perburuan. Selama penelitian dilaksanakan, aktivitas perburuan terhadap kedua kelompok ini tidak terjadi. Hal ini disebabkan aktivitas penelitian yang dilaksanakan


(4)

mengharuskan mengikuti kelompok hampir setiap hari, sehingga aktivitas perburuan terjadi di tempat lain. Aktivitas perburuan yang tinggi terjadi pada bulan Desember dan Januari pada saat masyarakat melaksanakan beberapa pesta adat yang biasanya menyediakan menu satwa liar, termasuk monyet. Dengan demikian ukuran kelompok ini dipertahankan pada kisaran 50-60 ekor melalui mekanisme kelahiran dan imigrasi yang menambah jumlah anggota, kematian, emigrasi, dan perburuan yang mengurangi jumlah anggota kelompok.

2) Aktivitas wisata alam

CA Tangkoko-Batuangus berbatasan langsung dengan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih dan sampai sekarang tidak ada batas yang jelas antara kedua kawasan konservasi ini. Aktivitas wisata alam yang seharusnya hanya dilaksanakan di TWA telah jauh meluas ke cagar alam. Walaupun demikian, terdapat keuntungan langsung dari aktivitas wisata ini terhadap keamanan tempat-tempat yang sering dikunjungi wisatawan, terutama untuk kelestarian KRII dan KRI. Aktivitas wisata mancanegara mencapai puncaknya pada setiap bulan Juli-September. Biasanya perburuan terhadap kedua kelompok ini terjadi pada bulan-bulan lain dan pada tempat-tempat yang jarang dikunjungi wisatawan pada saat kelompok monyet menjelajahi tempat-tempat tersebut.

3) Peran Kelompok Pemandu Wisata Alam Tangkoko

Di Kelurahan Batuputih, perkampungan yang paling dekat dengan TWA Batuputih dan CA Tangkoko terdapat organisasi masyarakat yaitu Kelompok Pemandu Wisata Alam Tangkoko. Kelompok ini bersama-sama dengan jagawana di Resort KSDA Tangkoko-Duasudara menyelenggarakan kegiatan wisata alam. Dengan keterlibatan beberapa anggota masyarakat lokal ini, masyarakat mulai merasakan manfaat langsung keberadaan kawasan konservasi di daerah tersebut. Dengan kerjasama seperti ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya pelestarian monyet sebagai salah satu satwa khas di TWA dan cagar alam. Selain itu, kelompok pemandu ini juga berperan sebagai mediator penyebaran pesan-pesan konservasi kepada anggota masyarakat lain dan mereka selalu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan patroli dan pengontrolan api jika terjadi kebakaran di kawasan konservasi. Kemungkinan manajemen kawasan seperti ini dapat menjadi contoh pengelolaan


(5)

kawasan konservasi di tempat lain untuk melibatkan masyarakat lokal dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konservasi dan keutuhan kawasan.

Dengan terjadinya peningkatan umur dari remaja menjadi dewasa dan proses migrasi jantan akan menyebabkan perubahan dalam nisbah jantan dan betina dewasa. Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII diikuti dari tahun 2001 pada saat penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a, 2004a). Hasil penghitungan nisbah jantan dan betina dewasa KRII disajikan pada Tabel 8. Untuk dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa untuk KRI disajikan pada Tabel 9.

Tabel 8 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII selama penelitian pendahuluan dan tahun 2004

Tanggal Jumlah

• Dewasa

(ekor)

Jumlah

• Dewasa

(ekor)

Nisbah Keterangan

April 2001 4 17 1:4,3

April 2002 6 17 1:2,8

Agustus 2003 4 17 1:4,3

Januari 2004 6 14 1:2,3

25 Juli 2004 5 15 1:3,0 1 • keluar, 1 •

tumbuh dewasa

10 Agustus 2004 4 15 1:3,8 1 • keluar

17 Agustus 2004 5 15 1:3,0 1 • masuk

28 Agustus 2004 4 15 1:3,8 1 • keluar

31 Agustus 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar

11 September 2004 4 15 1:3,8 1 • masuk

14 September 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar

18 September 2004 4 15 1:3,8 1 • masuk

7 Oktober 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar

8 Oktober 2004 2 15 1:7,5 1 • keluar

18 Oktober 2004 3 15 1:50 1 • masuk

19 Oktober 2004 2 15 1:7,5 1 • keluar

23 Oktober 2004 3 15 1:5,0 1 • masuk

24 Oktober 2004 2 15 1:7,5 1 • keluar

6 November 2004 3 15 1:5,0 1 •masuk

13 November 2004 4 15 1:3,8 1 •masuk

15 November 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar

19 November 2004 4 15 1:3,8 1 •masuk

22 Desember 2004 3 15 1:5,0 1 •masuk, 2 •


(6)

Hasil pengamatan pada penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a), nisbah jantan dan betina dewasa pada KRII sebesar 1:2,8; sedangkan menurut Rowe (1996) sebesar 1:3,4. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian didapatkan hasil bahwa nisbah jantan dan betina dewasa pada KRII berkisar dari 1:2,3 sampai dengan 1:7,5 sedangkan pada KRI berkisar dari 1:1,9 sampai dengan 1:4,0.

Tabel 9 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRI (Juli-Desember)

Tanggal Jumlah

• Dewasa

(ekor)

Jumlah

• Dewasa

(ekor)

Nisbah Keterangan

Juli 2004 5 20 1:4,0

Agustus 2004 5 20 1:4,0

September 2004 10 20 1:2,0 5 • masuk

7 Oktober 2004 11 23 1:2,1 1 • masuk, 3 •

tumbuh dewasa

8 Oktober 2004 12 23 1:1,9 1 • masuk

6 November 2004 11 23 1:2,1 I • keluar

13 November 2004 10 23 1:2,3 I • keluar

15 November 2004 11 23 1:2,1 1 • masuk

18 November 2004 10 23 1:2,3 I • keluar

22 Desember 2002 11 23 1:2,1 2 • masuk, 1 •

keluar

Dengan demikian kisaran nisbah jantan dan betina dewasa pada monyet hitam Sulawesi selama penelitian sebesar 1:1,9-1:8. Nilai ini menunjukkan bahwa nisbah jantan dan betina dewasa sangat bervariasi bergantung pada beberapa faktor, yaitu kematian individu dewasa, migrasi jantan, dan pertumbuhan individu dari remaja menjadi dewasa.

Daerah Jelajah dan Jelajah Harian

Penyebaran monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus mencakup tepi pantai sampai puncak Gunung Tangkoko yang mempunyai ketinggian 1.109 m dpl. Mereka tersebar pada daerah jelajah yang saling berselingkupan. Daerah jelajah monyet mencakup berbagai tipe vegetasi. Sebagai contoh, KRII mempunyai daerah penyebaran yang mencakup tipe vegetasi pantai, hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, dan padang ilalang (Saroyo 2002b, Saroyo et al. 2003b). Daerah jelajah dan jelajah harian diamati pada KRII dan KRI. Daerah jelajah diukur sampai akhir penelitian, sedangkan