Pertumbuhan Kultur Suspensi Sel Tanaman Kina (Cinchona ledgeriana Moens) dengan Adanya Berbagai Agen Pembawa Cekaman dalam Media.

PERTUMBUHAN KULTUR SUSPENSI SEL TANAMAN KINA
(Cinchona ledgeriana Moens) DENGAN ADANYA BERBAGAI
AGEN PEMBAWA CEKAMAN DALAM MEDIA

DIAN RAHMA PRATIWI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pertumbuhan Kultur
Suspensi Sel Tanaman Kina (Cinchona ledgeriana Moens) dengan Adanya
Berbagai Agen Pembawa Cekaman dalam Media” adalah benar karya saya
dengan arahan dari kedua pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Dian Rahma Pratiwi
NIM G34110013

ABSTRAK
DIAN RAHMA PRATIWI. Pertumbuhan Kultur Suspensi Sel Tanaman Kina
(Cinchona ledgeriana Moens) dengan Adanya Berbagai Agen Pembawa Cekaman
dalam Media. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI dan SUMARYONO.
Kultur suspensi tanaman dipilih karena laju multiplikasinya lebih tinggi
dibandingkan kultur pada media padat. Pertumbuhan sel secara in vitro sangat
ditentukan oleh interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam media dan hormon endogen yang dihasilkan sel yang
dikultur. Interaksi yang terjadi selama kultur berlangsung, bersama dengan nutrisi
yang diberikan, mempengaruhi pertumbuhan sel. Dengan demikian, cekaman
yang dialami sel secara in vitro akan mempengaruhi proliferasi sel dan
kemampuannya dalam menghasilkan metabolit sekunder. Asam absisat,

paklobutrazol, manitol, dan sorbitol digunakan sebagai agen pembuat cekaman.
Penelitian ini bertujuan mengetahui laju pertumbuhan sel dan menganalisis
kondisi sel tanaman kina Cinchona ledgeriana Moens dengan adanya berbagai
agen pembuat cekaman di dalam medianya. Daun muda C. ledgeriana klon QRC
315 digunakan sebagai eksplan untuk memperoleh kalus remah. Kultur suspensi
sel diukur pertumbuhannya dengan metode Cell Volume after Sedimentation
(CVS) selama 10 minggu, lalu dilakukan analisis sitologi. Pertumbuhan volume
dan bobot sel terbaik pada perlakuan A1k, A1m, A3m, dan P5k dengan rata-rata
pertumbuhan sel tertinggi terjadi pada minggu kesembilan. Berdasarkan analisis
sitologi, sel kina berbentuk membulat dan sebagian besar selnya panjang. Sel
dengan perlakuan ABA berdinding sel tebal, sedangkan sel dari perlakuan PBZ
berukuran besar dan berdinding sel tipis.
Kata kunci:Cinchona ledgeriana; pertumbuhan kultur sel;agen pembawa cekaman

ABSTRACT
DIAN RAHMA PRATIWI. The Growth of Cell Suspension Culture of Cinchona
(Cinchona ledgeriana Moens) in Media with Several Stress Inducing Agents.
Supervised by DIAH RATNADEWI and SUMARYONO.
Suspension culture of plants is chosen because its multiplication rate is
higher than that of on semi-solid medium. Cell growth in vitro is determined by

the interaction and balance between the growth substances added into the medium
and the endogenous hormones. The interactions that occur during the culture,
along with the nutrients provided, will determine the cell growth. Thus, stresses
experienced by cells will affect cell proliferation and its ability to produce
secondary metabolites. Abscisic acid, paclobutrazol, mannitol and sorbitol were
used as stress-inducing agents. This research aimed to determine the rate of cell
growth and to analyze the conditions of Cinchona ledgeriana Moens cells with
the presence of those various stress-inducing agents. Young leaves of C.
ledgeriana clone QRC 315 were used as explants for obtaining friable callus.
Further, cell suspension culture growth was measured by Cell Volume after

Sedimentation (CVS) method for 10 weeks, then cytological analysis was
performed. Cultures with A1k, A1m, A3m, and P5k treatments had the highest
cell volume and cell weight. The peak of cell growth occurred at the ninth week.
Cytological analysis demonstrated that the shape of cinchona cells were round,
but mostly elongated. Cells with ABA treatments had thick cell walls, while cells
with PBZ treatments had large size and thin cell walls.
Key words :Cinchona ledgeriana; cell culture growth; stress-inducing agents

PERTUMBUHAN KULTUR SUSPENSI SEL TANAMAN KINA

(Cinchona ledgeriana Moens) DENGAN ADANYA BERBAGAI
AGEN PEMBAWA CEKAMAN DALAM MEDIA

DIAN RAHMA PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.

Karya ilmiah ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan
Agustus 2014 hingga Juni 2015 dengan judul Pertumbuhan Kultur Suspensi Sel
Tanaman Kina (Cinchona ledgeriana Moens) dengan Adanya Berbagai Agen
Pembawa Cekaman dalam Media.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Diah Ratnadewi dan
Bapak Ir. Sumaryono, M.Sc selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah
memberikan banyak bimbingan hingga selesainya karya ilmiah ini, serta Ibu
Dr.Yohana C Sulistyaningsih, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan selama perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada semua pihak Laboratorium Biak Sel dan
Mikropropagasi, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia,
Ciomas, serta pihak Laboratorium Mikroteknik, Departemen Biologi FMIPA IPB
atas segala bantuannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak,
ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, para sahabat
Ayu, Citra, Aurora, Kak Evi, dan Kak Rifqi yang selalu menemani dan
memberikan semangat, serta Biologi 48 yang selalu memberikan dukungan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2015
Dian Rahma Pratiwi


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Tujuan Penelitian
METODE


1
2

Alat dan Bahan

2

Prosedur Penelitian

2

Persiapan eksplan dan produksi kalus

2

Homogenisasi sel

2


Kultur sel

3

Pengukuran pertumbuhan sel

3

Analisis sitologi

3

Analisis data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4


Hasil

4

Pembahasan

9

SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan

13

Saran

13


DAFTAR PUSTAKA

13

LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
Volume sel dalam kultur suspensi sel C. ledgeriana pada
minggu ke-9

5

2


Pengamatan sel C. ledgeriana pada minggu kesepuluh

7

3

Ukuran dan kondisi sel C. ledgeriana

8

1

DAFTAR GAMBAR
1

Kalus kina hasil proliferasi

5

2

Rerata volume sel sejalan dengan waktu kultur

5

3

Pertumbuhan sel dalam kultur suspensi C. ledgeriana

6

4

Dinding sel hasil perlakuan

8

5

Kondisi sel dengan perlakuan PBZ

9

DAFTAR LAMPIRAN
1

Rata-rata dan simpangan baku volume sel minggu 1 hingga 10

16

2

Penampilan sel hasil perlakuan

17

3

Komposisi media Woody Plant (Lloyd dan McCown 1981)

19

PENDAHULUAN
Kultur sel banyak digunakan untuk memproduksi senyawa kimia atau
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman. Metabolit sekunder telah
banyak dimanfaatkan secara komersial, antara lain sebagai perencah makanan,
parfum, obat-obatan, pestisida (insektisida dan fungisida), pembangkit aroma rasa,
serta bahan baku industri (Taiz dan Zeiger 2002). Beberapa penelitian telah
menerapkan teknik kultur sel guna memproduksi senyawa aktif secara massal
seperti antifungi Spirostanol Saponin (SC-1) dari Solanum chrysotrichum
(Villarreal et al. 1997), betasianin dari sel Beta vulgaris (Akita et al. 2002),
antosianin dan fenilpropanoid dari sel Fragaria ananassa (Edahiro dan Seki
2006), anthraquinone dari sel mengkudu (Morinda elliptica) (Abdullah et al.
1998), azadirahtin dari sel tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) yang
berguna sebagai biopestisida (Zakiah et al. 2003), serta senyawa alkaloid dari sel
tanaman kina Cinchona ledgeriana (Staba dan Chung 1981; Ratnadewi dan
Sumaryono 2010).
Pertumbuhan sel secara in vitro akan mempengaruhi kemampuannya dalam
menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan. Adanya interaksi antara zat
pengatur tumbuh eksogen dan endogen serta keseimbangan kedua sumber ZPT
tersebut turut menentukan pertumbuhan sel secara in vitro (George dan
Sherrington 1984). Pada fase pertumbuhan sel, interaksi ZPT di dalam media
mempengaruhi panjang pendeknya fase tersebut. Pertumbuhan sel yang stabil
dapat membentuk populasi sel dengan aktivitas fisiologi yang homogen, yaitu
dalam mensintesis metabolit sekunder tertentu dan dalam membentuk vakuola
sebagai tempat penyimpanan metabolit sekunder (Mantel dan Smith 1983).
Metabolit sekunder dihasilkan oleh tanaman pada saat tertentu, seperti
terjadi serangan herbivor dan patogen serta mengalami cekaman abiotik.
Metabolit sekunder ini memiliki fungsi ekologi bagi tumbuhan, antara lain
menarik polinator dan melindungi tumbuhan dari serangan herbivor dan infeksi
patogen. Jenis metabolit sekunder alkaloid, diketahui mampu memproteksi
tanaman dari serangan predator, khususnya mamalia karena bersifat toksik (Taiz
dan Zeiger 2002). Karena adanya peran cekaman yang menginduksi dihasilkannya
metabolit sekunder, maka dalam kultur sel dapat diberikan agen pembuat cekaman.
Cekaman yang umum diberikan dalam kultur berupa cekaman osmotik, salinitas
serta oksidatif. Cekaman osmotik dapat dilakukan dengan mengganti gula pada
media dengan manitol atau sorbitol, salinitas dengan menambahkan NaCl, serta
cekaman oksidatif dengan memberikan H2O2 (Claeys et al. 2014). Namun
pertumbuhan sel penting diperhatikan karena persentase kandungan suatu zat yang
tinggi kurang berarti bila massa sel yang dihasilkan hanya sedikit, sebab akan
menjadikan total kandungan zat tersebut kecil.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui laju pertumbuhan sel dan menganalisis
kondisi sel tanaman kina Cinchona ledgeriana Moens dengan adanya berbagai
agen pembuat cekaman di dalam mediumnya.

2

METODE
Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2014 hingga Juni 2015 dengan
melakukan kultur suspensi sel di Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi,
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Ciomas, Bogor. Analisis
sitologi dilakukan di Laboratorium Mikroteknik, Departemen Biologi FMIPA IPB.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan di antaranya shaker, buffle flasks, dan laminar air flow
cabinet. Bahan eksplan yang digunakan yaitu daun muda tanaman kina Cinchona
ledgeriana klon QRC 315.

Prosedur Penelitian
Persiapan eksplan dan produksi kalus
Eksplan tanaman yang digunakan adalah lamina daun muda tanaman kina,
disterilisasi permukaan dengan 0.2% Dithane M-45 selama 10 menit, diikuti
dengan larutan 20% natrium hipoklorit komersial (NaOCl 5.25%) selama 15
menit lalu dibilas dengan akuades steril hingga bersih. Selanjutnya, daun yang
telah disterilisasi dibuang tulang daun dan pinggir daunnya lalu di potong
berukuran 1 cm x 1 cm dan dikulturkan pada medium sebanyak 4-5 eksplan dalam
cawan petri (Ratnadewi et al. 2013). Media WP (Woody Plant) semi-padat (Lloyd
dan McCown 1981) yang telah dimodifikasi, digunakan sebagai media dasar
untuk menginduksi kalus. Media dasar tersebut ditambah dengan 15 µM picloram,
2 µM benzyladenin (BA), 1 µM phloroglucinol, dan 2 g/L Gelrite. Sukrosa pada
ukuran standar (30 g/L) kemudian ditambahkan ke dalam media. Induksi kalus
dilakukan di ruang gelap dengan suhu 25oC selama 8 minggu.
Homogenisasi sel
Setelah 8 minggu, kalus yang pertumbuhannya cepat dipindahkan ke dalam
buffle flasks yang berisi media WP cair dan dihomogenisasi selama 2 minggu
sebelum digunakan untuk kultur suspensi sel. Media cair yang digunakan
komposisinya serupa dengan media kalus semi-padat, tapi dengan pemberian BA
sebanyak 0.5 µM (Sumaryono dan Riyadi 2005). Subkultur kalus dilakukan sekali
lagi apabila sel masih belum homogen. Kultur diletakkan di ruangan di bawah
cahaya dengan intensitas 30 µmol foton/m2/s dengan lama pencahayaan 14 jam
per hari dengan suhu 25oC, dikocok pada meja pengocok (shaker) dengan
kecepatan 80 rpm.

3
Kultur sel
Sel dari tahap homogenisasi disaring menggunakan saringan berukuran
1000 µm kemudian 50 µm. Satu spatula, kira-kira 0.2-0.3 g sel, disubkultur ke
dalam labu Erlenmeyer berisi 20 mL media. Media dasar untuk kultur sel adalah
WP ditambah phloroglucinol 1 µM, picloram 15 µM, dan BA 0.5 µM. Media
dasar divariasikan dengan penambahan zat pembawa cekaman yaitu asam absisat
(ABA) atau paklobutrazol (PBZ), yang dikombinasikan dengan sukrosa dan
manitol, atau sorbitol. Perlakuan dalam media disusun sebagai berikut:
Kode
A1k
A1m
A1s
A3m
A3s
P5m
P5s
P7m3
P7m
P5k
K

Perlakuan
ABA 1 mg/L + sukrosa 30 g/L sebagai kontrol bagi ABA
ABA 1 mg/L + manitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
ABA 1 mg/L + sorbitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
ABA 3 mg/L + manitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
ABA 3 mg/L + sorbitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
PBZ 5 mg/L + manitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
PBZ 5 mg/L + sorbitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
PBZ 7 mg/L minggu ketiga kultur + manitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
PBZ 7 mg/L + manitol 5.3 g/L + sukrosa 20 g/L
PBZ 5 mg/L + sukrosa 30 g/L sebagai kontrol bagi PBZ
Tanpa agen pembuat cekaman ditambah sukrosa 30 g/L

Kultur suspensi sel ini kemudian dipelihara selama 10 minggu pada meja
pengocok dengan kecepatan 80 rpm, suhu 26 ± 1oC, di bawah intensitas cahaya 20
µmol foton/m2/s selama 12 jam per hari.
Pengukuran pertumbuhan sel
Pertumbuhan sel yakni volume sel, diamati pada hari ke 0, 2, 5 dan 7, dan
selanjutnya seminggu sekali selama 10 minggu. Pengukuran dilakukan
menggunakan metode non-destruktif yang dideskripsikan oleh Blom et al. (1992)
yaitu cell volume after sedimentation (CVS). Pada minggu ke-10 dilakukan
pengamatan bobot segar dan bobot kering sel.
Analisis sitologi
Sel yang dipanen pada umur 10 minggu diambil sebanyak 1.5 mL,
disentrifugasi dengan kecepatan rendah dan dibuang medianya. Pelet kemudian
disuspensikan dengan akuades hingga volume 1.5 mL, dan diwarnai dengan
safranin 1%. Sejumlah sampel sel diamati di bawah mikroskop cahaya dan
diambil gambarnya menggunakan Optilab pada perbesaran 400 kali. Parameter
yang diamati adalah rerata keliling sel, kerapatan sel, jumlah sel membulat dan
panjang, serta ketebalan dinding sel pada 5 bidang pandang. Pengukuran rerata
keliling sel dilakukan dengan menggunakan software analisis gambar
ImageRaster. Kerapatan sel diukur dengan memipet 1-2 tetes sel dari tabung
ependorf yang sebelumnya dikocok terlebih dahulu agar sel tercampur merata,
selanjutnya sel dihitung di bawah mikroskop cahaya pada perbesaran 400 kali.
Pengamatan kerapatan sel ini dilakukan dengan menghitung sel pada 5 bidang
pandang secara acak. Ketebalan dinding sel ditentukan dengan melihat kondisi sel
dibawah mikroskop cahaya pada perbesaran 400 kali. Sel yang berdinding tebal

4
warnanya lebih gelap, sedangkan sel yang berdinding tipis warnanya lebih
terang/transparan.
Kerapatan sel :

Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS 20 melalui uji sidik
ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan waktu kultur
terhadap pertumbuhan sel. Jika ANOVA memberikan perbedaan yang nyata,
maka dilakukan uji banding Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pertumbuhan Sel
Pada eksplan daun yang diinduksi di ruang gelap, mulai muncul kalus pada
minggu kedua. Kalus yang muncul berupa kalus remah berwarna putih
kecokelatan dan kalus kompak berwarna cokelat lebih tua. Kalus berumur 10
minggu yang seragam dijadikan sebagai bahan untuk kultur suspensi sel (Gambar
1). Dalam kultur suspensi, pertumbuhan sel C. ledgeriana terbukti dipengaruhi
oleh pemberian zat pengatur tumbuh berupa ABA atau PBZ. ABA dan PBZ di
sini dimaksudkan sebagai agen pembawa cekaman yang dapat menghambat
pertumbuhan sel. Namun pengamatan menunjukkan kedua zat ini justru
meningkatkan pertumbuhan sel dibandingkan kontrol (K).
Pemberian ABA secara umum meningkatkan pertumbuhan sel lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian PBZ (Gambar 3 dan Tabel 1). Pertumbuhan sel
terbaik diperoleh dengan pemberian ABA, yakni pada perlakuan A1m (ABA 1
mg/L dengan kombinasi manitol 5.3 g/L dan sukrosa 20 g/L), A3m (ABA 3 mg/L
dengan kombinasi manitol 5.3 g/L dan sukrosa 20 g/L) dan A1k (ABA 1 mg/L
dengan kombinasi manitol 5.3 g/L dan sukrosa 20 g/L), sedangkan dengan PBZ
diperoleh pada perlakuan P5k, yaitu PBZ 5 mg/L dan sukrosa 30 g/L tanpa
substitusi gula (Tabel 1). Pertumbuhan sel berbeda dari waktu ke waktu dan
mencapai puncaknya rata-rata pada minggu kesembilan. Peningkatan
pertumbuhan yang signifikan pada masing-masing perlakuan terjadi mulai minggu
keempat, namun pada perlakuan K baru terlihat pada minggu ketujuh. Pada
perlakuan A1s terjadi penurunan volume sel pada minggu kedelapan dan
meningkat lagi pada minggu kesembilan (Gambar 2 dan 3).

5

a

b

Gambar 1 Kalus kina hasil proliferasi a) kalus remah, b) kalus kompak.

Tabel 1 Volume sel dalam kultur suspensi sel C. ledgeriana pada minggu ke-9
Perlakuan
A1k
A1m
A1s
A3m
A3s
P5k
P5m
P5s
P7m
P7m3
K

Volume sel (mL)
7.46a
7.56a
5.15bc
7.50a
6.33ab
3.42d
3.03d
2.79d
3.16d
3.52cd
2.45d

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji banding
Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Volume sel (mL)

6
5
4
3
2
1
0
1

2

3

4
5
6
7
8
Waktu kultur (minggu)

9

10

Gambar 2 Rerata volume sel sejalan dengan waktu kultur

6
A

Volume sel (ml)

10
8
6

A1k

4

A1m

2

A1s

0

K
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu kultur (minggu)

B

Volume sel (ml)

10
8
6

A3m

4

A3s

2

K

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu kultur (minggu)

C

Volume sel (ml)

10
8
6

P5k

4

P5m

2

P5s

0

K
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu kultur (minggu)

Volume sel (ml)

10

D

8
6

P7m

4

P7m3

2

K

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu kultur (minggu)

Gambar 3 Pertumbuhan sel dalam kultur suspensi C. ledgeriana
dengan perlakuan ABA 1 mg/L (A), ABA 3 mg/L (B), PBZ 5 mg/L
(C), dan PBZ 7 mg/L (D).

7
Ukuran Sel
Bobot, besaran dan jumlah sel diukur saat sel dipanen pada minggu
kesepuluh. Rata-rata bobot yang besar diperoleh pada perlakuan ABA, dengan
bobot basah dan bobot kering terbaik pada perlakuan A1k (ABA 1 mg/L dengan
sukrosa 30 g/L tanpa substitusi gula), sebesar berturut-turut 4.33 g dan 0.15 g.
Bobot sel ini pada umumnya bersesuaian dengan volume sel. Perlakuan dengan
PBZ lebih banyak menunjukkan penghambatan pertumbuhan sel. Hal ini terlihat
dengan rendahnya volume sel, bobot serta kerapatan sel yang dihasilkan. Keliling
sel tertinggi terlihat pada kultur yang diberi PBZ. Sebaliknya, perlakuan ABA
memperlihatkan rata-rata keliling sel yang lebih kecil dengan volume dan
kerapatan sel yang besar (Tabel 2). Bila dirata-ratakan keliling sel keseluruhan
perlakuan ABA memberikan rerata sebesar 1.07 mm, sedangkan untuk
keseluruhan perlakuan PBZ rerata sebesar 1.81 mm. Keliling sel yang besar
memiliki kerapatan sel yang lebih kecil per bidang pandang mikroskop,
sedangkan keliling sel yang kecil memiliki kerapatan yang lebih besar. Pada
kontrol 4 minggu (K4) rata-rata keliling sel yang didapatkan lebih kecil
dibandingkan dengan kontrol 7 minggu (K7), berturut-turut sebesar 1.63 mm dan
1.80 mm.
Tabel 2 Pengamatan sel C. ledgeriana pada minggu kesepuluh
Perlakuan
A1k
A1m
A1s
A3m
A3s
P5k
P5m
P5s
P7m
P7m3
K

Volume sel
(ml)
7.2 ± 2.6
7.3 ± 2.5
5.2 ± 2.2
7.8 ± 2.4
6.3 ± 2.9
3.1 ± 1.0
2.9 ± 1.4
2.6 ± 1.0
2.8 ± 0.6
3.1 ± 1.1
2.4 ± 0.4

Bobot segar
(g)
4.33 ± 3.14
3.76 ± 1.27
2.76 ± 1.94
3.37 ± 1.78
3.48 ± 2.04
0.70 ± 0.45
0.41 ± 0.17
0.47 ± 0.18
0.50 ± 0.15
0.58 ± 0.25
0.37 ± 0.15

Bobot kering
(g)
0.15e ± 0.10
0.11e ± 0.02
0.08abc ± 0.05
0.09cd ± 0.03
0.10d ± 0.06
0.06cd ± 0.04
0.05cd ± 0.03
0.04a ± 0.02
0.05ab ± 0.03
0.05abc ± 0.04
0.02bcd ± 0.01

Keliling sel
(mm)
0.20 ± 0.04
0.24 ± 0.05
1.85 ± 0.37
1.59 ± 0.28
1.45 ± 0.24
1.60 ± 0.34
1.61 ± 0.25
2.05 ± 0.43
1.95 ± 0.29
1.86 ± 0.65
1.71 ± 0.63

Kerapatan
(sel/mm2)
133.33
106.92
83.02
128.30
106.92
108.18
74.21
85.53
76.73
81.76
70.44

Kondisi Sel
Sel yang dipanen umumnya berupa agregrat yang terdiri dari sel yang
panjang dan membulat (Tabel 3). Masing-masing perlakuan memiliki ukuran
(dinyatakan dengan keliling sel) dan distribusi bentuk sel yang berbeda. Sel yang
panjang lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan sel yangmembulat. Sel yang
membulat lebih banyak ditemukan pada media dengan perlakuan zat penghambat
tumbuh dalam konsentrasi rendah. ABA konsentrasi 1 mg/L dan PBZ konsentrasi
5 mg/L cenderung memberikan sel membulat lebih banyak dibandingkan ABA
konsentrasi 3 mg/L dan PBZ 7 mg/L, sebaliknya sel dengan perlakuan zat
penghambat tumbuh konsentrasi lebih tinggi cenderung menunjukkan porsi sel
yang panjang lebih tinggi. Hal sama juga ditemui pada jenis substitusi gula yang

8
digunakan, yaitu pada penggunaan sorbitol jumlah sel membulat lebih sedikit
dibandingkan menggunakan manitol. Secara umum, sel pada perlakuan ABA
cenderung memiliki dinding sel yang tebal, sedangkan perlakuan PBZ cenderung
memberikan sel dengan dinding lebih tipis. Pengamatan dinding sel di bawah
mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 X menunjukkan sel yang berdinding
tebal warna dindingnya lebih gelap, sedangkan sel yang berdinding tipis
dindingnyaberwarna lebih terang/transparan (Gambar 4). Penggunaan jenis gula
juga mempengaruhi kondisi dinding sel. Sel dengan perlakuaan sorbitol
persentase dinding sel yang tipis lebih tinggi dibandingkan dengan manitol (Tabel
3). Kontrol minggu keempat (K4) dan ketujuh (K7) dimaksudkan untuk melihat
kecenderungan bentuk sel. Pada K4 sel yang membulat cenderung lebih banyak
dibandingkan sel yang panjang. Sebaliknya pada K7 dan K, sel yang panjang
jumlahnya lebih banyak dibandingkan sel yang membulat.
Tabel 3 Ukuran dan kondisi sel C. ledgeriana
Kerapatan
Jumlah sel (%)
Dinding sel (%)
Perlakuan
2
(sel/mm ) Membulat
Panjang
Tebal Tipis
A1k
133.33
40
60
62
38
A1m
106.92
40
60
40
60
A1s
83.02
29
71
34
66
A3m
128.30
16
84
56
44
A3s
106.92
25
75
28
72
P5k
108.18
53
47
24
76
P5m
74.21
61
39
20
80
P5s
85.53
25
75
10
90
P7m
76.73
33
67
60
40
P7m3
81.76
23
77
18
82
K4*
105.66
64
36
8
92
K7**
77.99
34
66
72
28
K***
70.44
30
70
26
74
Keterangan : Kultur suspensi sel yang berusia (*) 4 minggu, (**) 7 minggu,
(***) 10 minggu.

a

b

te

ti

Gambar 4 Dinding sel hasil perlakuan a) ABA, b) PBZ. te: dinding sel
tebal, ti: dinding sel tipis

9
a

b
k

p

Gambar 5 Kondisi sel dengan perlakuan PBZ. p: sel terplasmolisis, k: sel
kosong.

Pembahasan
Sel kina dengan pemberian ABA terlihat masih mengalami peningkatan
volume hingga minggu kesepuluh dengan waktu rata-rata pertumbuhan
maksimum terjadi pada minggu kesembilan. Hal ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sumaryono dan Riyadi (2005) bahwa pertumbuhan
maksimum dicapai pada minggu keenam. Perbedaan hasil ini diduga karena pada
penelitian sebelumnya, tidak ditambahkan agen pembawa cekaman seperti
manitol dan sorbitol ke dalam kultur. Pertumbuhan yang masih terjadi hingga
minggu kesepuluh ini dimungkinkan karena terdapat interaksi antara retardan dan
gula alkohol yang diberikan dalam kultur sehingga mampu mempertahankan sel
terus tumbuh. ABA dalam keadaan normal berperan dalam penghambatan
pertumbuhan tanaman, namun pada saat terjadi cekaman, ABA dapat menjadi
sinyal yang membantu mengaktifkan gen-gen yang mengkodekan enzim untuk
biosintesis kompatibel osmolit. ABA akan menurunkan pertumbuhan dan
metabolisme (di luar metabolisme utama), sehingga menghemat sumber daya
yang tersedia hingga cekaman hilang (Xiong dan Zhu 2003). Adanya manitol dan
sorbitol dalam media kultur diduga berperan dalam menyediakan sumber daya
lain saat sumber energi utama ditekan penggunaannya oleh ABA.
Manitol dan sorbitol diduga berperan sebagai sumber energi saat sel
tumbuhan dalam kondisi tercekam. Penggunaan manitol sebagai sumber karbon
dan energi pada tanaman seledri terkait dengan kerja enzim manitol
dehidrogenase (MTD). Saat awal ada kondisi cekaman salinitas dan terbatasnya
sukrosa, aktivitas enzim MTD menurun, sehingga akumulasi manitol meningkat.
Pada kondisi normal, tanaman cenderung menggunakan sukrosa untuk
metabolismenya, namun pada keadaan tercekam, sukrosa menjadi terbatas
jumlahnya sehingga manitol yang disimpan dalam jumlah besar digunakan
sebagai karbohidrat cadangan. Pada kondisi tanaman tercekam namun sukrosa
masih tersedia, sukrosa dan manitol ditranslokasi bersama-sama dengan tujuan
mengakumulasikan manitol sebagai osmoproteksi, bukan untuk pertumbuhan.
Namun, saat kebutuhan energi dan karbon tinggi, sukrosa menjadi terbatas, maka
aktivitas MTD meningkat. Akibat meningkatnya aktivitas enzim MTD, manitol
yang semula sebagai osmoproteksi dapat dijadikan sumber karbon dan energi siap

10
pakai untuk mempertahankan metabolisme pusat (Williamson et al. 2002). Hal
serupa juga terjadi pada penggunaan sorbitol pada tanaman jagung. Kemampuan
untuk menggunakan sorbitol sebagai sumber energi terkait dengan adanya enzim
tertentu dalam tumbuhan yang mendukung untuk metabolisme sorbitol.
Keberadaan enzim SDH (suksinat dehidrogenase) membedakan antara kalus
embriogenik dan non embriogenik. Konsentrasi enzim ini rendah pada kalus yang
non embriogenik, dan tinggi pada kalus embriogenik. Pada tanaman jagung
diketahui bahwa sorbitol dapat menjadi sumber energi primer dengan memberikan
efek osmotik yang kecil, sehingga mendukung pertumbuhan kalus ketika sumber
karbon lainnya tidak ada. Sorbitol berfungsi sebagai osmoregulator selama fase
perkecambahan berlangsung (Swedlund dan Locy 1993). Selain sorbitol dan
manitol, gula alkohol lainnya seperti mio-inositol juga berperan dalam
memproteksi organel fotosintesis dari cekaman oksidatif akibat rendahnya
potensial osmotik, dengan menjadi substrat bagi enzim D-mio-inositol
metiltransferase (IMT 1) untuk menghasilkan ononitol. Sebagai osmoproteksi,
ononitol memiliki keefektifan yang sama dengan manitol. Pada tanaman
tembakau, keberadaan mio-inositol meningkatkan produksi D-ononitol yang
meningkatkan proteksi terhadap cekaman salinitas (Williamson et al. 2002).
Pemberian ABA secara keseluruhan tidak memperlihatkan efek
penghambatan laju pertumbuhan sel dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang
tanpa agen pembuat cekaman (K). Perlakuan K ini terlihat abnormal karena
mengalami penghambatan pertumbuhan sejak awal kultur sehingga pertumbuhan
selnya hingga akhir pengamatan rendah. Hal ini dikarenakan kalus berwarna putih
yang digunakan sebagai bahan suspensi sel proporsinya menguasai media K.
Ternyata, kalus berwarna putih ini pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan
dengan kalus yang berwarna kuning. ABA konsentrasi lebih tinggi yakni 3 mg/L
bahkan memberikan efek pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada
konsentrasi 1 mg/L. Pada perlakuan A1s terjadi penurunan volume sel pada
minggu kedelapan. Hal ini diduga sel mulai mengalamani kematian akibat nutrisi
dalam media habis dan meningkat lagi pada minggu kesembilan, diduga sel mulai
menggunakan sumber energi yang lainnya yaitu sorbitol. ABA diketahui
mempengaruhi fisiologi tanaman. ABA memiliki efek menghambat dan dapat
pula meningkatkan pertumbuhan tanaman. ABA berperan dalam proses selular
seperti dalam perkembangan benih, dormansi, dan perkecambahan. ABA eksogen
yang tinggi akan menghambat pertumbuhan pada kondisi tanpa cekaman, namun
peningkatan kandungan ABA dalam jaringan sangat bermanfaat bagi tumbuhan di
bawah cekaman lingkungan (Xiong dan Zhu 2003). Hal itu menjelaskan mengapa
ABA meningkatkan laju pertumbuhan sel pada media yang diberikan cekaman
osmotik berupa manitol dan sorbitol, sehingga volume sel yang diperoleh lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian cekaman osmotik,
misalnya pada A1k.
Perlakuan dengan paklobutrazol (PBZ) menunjukkan volume sel yang lebih
rendah dibandingkan dengan pemberian ABA. Hal ini memperlihatkan bahwa
PBZ memiliki pengaruh lebih besar dalam menekan pertumbuhan sel dalam
kultur. Pada konsentrasi PBZ lebih tinggi (7 mg/L), laju pertumbuhan sel terlihat
lebih rendah lagi dibandingkan dengan PBZ 5 mg/L. Waktu pemberian PBZ juga
terlihat memberikan pengaruh pada laju pertumbuhan. Sel pada perlakuan PBZ
yang diberikan di minggu ketiga memperlihatkan volume sel yang lebih tinggi

11
dibandingkan PBZ yang diberikan sejak hari pertama kultur. Rata-rata volume sel
pada P7m3 setara dengan volume sel dengan perlakuan P5k tanpa substitusi gula.
Hal ini menunjukkan penghambatan oleh PBZ semakin besar pengaruhnya ketika
diberikan dalam periode yang lama. PBZ bekerja secara antagonis terhadap
giberelin. PBZ mampu menghambat pertumbuhan tanaman Syzygium
campanulatum seperti mereduksi luas daun dan tinggi tanaman, menghambat
pemanjangan sel, meningkatkan ketebalan parenkima palisade daun dan
mereduksi ketebalan xylem pada batang (Nazarudin et al. 2007). Paklobutrazol
mampu meningkatkan pembentukan buah dengan menghambat pertumbuhan
vegetatif pada tanaman anggur (Christov et al. 1995).
Perlakuan menggunakan manitol dan sorbitol baik dengan kombinasi ABA
maupun PBZ menghasilkan volume dan bobot sel yang lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol tanpa substitusi gula (A1k dan P5k). Hal ini menunjukkan bahwa
substitusi sukrosa dengan manitol atau sorbitol mampu menekan pertumbuhan sel
dalam kultur suspensi sel. Pada Arabidopsis thaliana, keberadaan manitol dan
sorbitol dalam media menghambat pertumbuhannya. Penggunaan manitol
memberikan dampak yang drastis yakni mempengaruhi pembentukan roset pada
konsentrasi rendah 5 mM, sedangkan pada konsentrasi di atas 25 mM, tanaman
menjadi kerdil, berwarna hijau gelap, dan roset lebih kompak. Sorbitol memiliki
efek yang berbeda dengan manitol, Penggunaan konsentrasi sorbitol yang rendah
memberikan efek penghambatan yang kecil.Penghambatan oleh sorbitol pada
tanaman Arabidopsis mulai terlihat pada konsentrasi 75 mM yaitu semakin
tereduksinya jarak roset (Claeys et al. 2014).
Manitol dan sorbitol merupakan gula alkohol bentuk tereduksi dari aldosa
dan ketosa. Manitol merupakan gula berkarbon enam turunan dari manosa,
sedangkan sorbitol turunan dari glukosa. Kedua jenis gula ini terakumulasi saat
tumbuhan berada pada kondisi tercekam kekeringan dan salinitas. Konsentrasi
manitol dan sorbitol tinggi ketika terjadi penurunan potensial air di sel. Kelompok
hidroksilnya mampu secara efektif menggantikan air dalam menstabilkan ikatan
hidrogen ketika air terbatas sehingga memproteksi aktivitas enzim dan membran
(Noiraud et al. 2001). Gen manitol-1-fosfat dehidrogenase pada tembakau
transgenik mengakumulasikan lebih banyak manitol yang resisten terhadap metil
viologen, penginduksi stress oksidatif, sehingga memiliki laju fiksasi CO2 dan
fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman tembakau tipe liarnya (Shen et al.
1997). Keberadaan sorbitol berkaitan dengan aktivitas SDH (suksinat
dehidrogenase) yang berperan dalam perkembangan embrio (Swedlund dan Locy
1993). Sorbitol diketahui memiliki efek menguntungkan ketika digunakan
bersama dengan sukrosa, di antaranya mendorong morfogenesis pada kultur padi
(Kishor dan Reddy 1986), gandum dan barley (Ryschka et al. 1991).
Sel kina yang dikultur didominasi oleh sel yang panjang, disamping itu,
ditemukan juga sel yang membulat (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan penelitian
Sumaryono dan Riyadi (2005). Sel yang ditemukan pada kultur minggu keempat
(K4) didominasi oleh sel yang membulat. Sel yang membulat ini menurun
jumlahnya pada kultur minggu ketujuh (K7) dan minggu kesepuluh (K). Pada K7
dan K sel didominasi oleh sel yang panjang. Dapat diduga bahwa sel kina muda
berbentuk membulat, yang semakin memanjang seiring dengan bertambahnya usia
sel. Sel yang membulat dan panjang tidak menunjukkan perbedaan akibat
perlakuan karena kedua bentuk sel tersebut umum ditemukan pada setiap

12
perlakuan.
Volume, bobot dan jumlah sel yang besar dijumpai pada perlakuan ABA,
sedangkan ukuran sel yang besar lebih umum pada perlakuan PBZ. Kerapatan sel
juga sebanding dengan volume sel yang diperoleh saat panen. Kerapatan sel pada
yang tinggi terlihat pada perlakuan dengan volume sel yang tinggi yaitu A1k,
A3m, A1m, A3s, dan P5k dengan nilai berturut-turut 133.33 mm2, 128.30 mm2,
106.92 mm2, 106.92 mm2, dan 108,18 mm2. Volume dan bobot sel yang tinggi
memiliki sel yang kecil, sedangkan volume dan bobot sel yang kecil memiliki sel
yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa ABA dan PBZ mampu membuat sel
membesar namun proliferasi sel mengecil. Pengaruh penghambatan proliferasi sel
yang lebih jelas terlihat pada perlakuan PBZ. Sel diamati kondisi dinding selnya
secara kualitatif, yakni tebal dan tipisnya dinding. Pada perlakuan PBZ umumnya
sel memiliki dinding yang tipis meskipun dijumpai sel berdinding tebal, dan lebih
banyak terjadi plasmolisis pada sel (Gambar 5). Dinding sel yang tipis ini diduga
karena metabolisme sel tertekan termasuk proses pembentukan dinding sel.
Penggunaan PBZ 0.8 mg/L pada tanaman anggrek Dendrobium nobile
diketahui mampu meningkatkan kemampuan transplantasi dan efisiensi
perkembangan akar (Wen et al. 2013). Ekstraksi dua enzim yakni peroksidase dan
selulase pada akar D. nobile juga menunjukkan adanya interaksi yang berperan
dalam pertumbuhan sel. Peroksidase bertanggung jawab pada proses pembentukan
dan pengerasan dinding sel, sedangkan selulase terlibat dalam proses pengenduran
dinding sel dan memacu pembesaran sel tanaman. Perlakuan dengan PBZ
menurunkan konsentrasi peroksidase dari 2.20 U/mg bobot segar menjadi 0.72
U/mg bobot segar, sedangkan peningkatan terjadi pada konsentrasi selulase dari
5.63 U/mg bobot segar menjadi 6.47 U/mg bobot segar. Interaksi antara PBZ dan
kedua enzim tersebut mempengaruhi anatomi dan morfologi tanaman D. nobile,
sehingga menghasilkan sel yang elastis dan lebih besar (Wen et al. 2013).
Paklobutrazol (PBZ) merupakan retardan pertumbuhan yang mampu
meningkatkan efisiensi tranplantasi perbanyakan tanaman anggrek secara in vitro
(Fernandes et al. 2004; Wen et al. 2013). PBZ juga diketahui mampu
memperbaiki ketahanan terhadap kekeringan yang terkait aklimatisasi tanaman
anggur ke tanah (Smith et al. 1992). Selain itu juga PBZ mampu meningkatkan
daya hidup tumbuhan dengan memperpendek ruas batang, mempertebal daun, dan
meningkatkan kandungan klorofil (Cui et al. 2009).
Perlakuan ABA memberikan kecenderungan sel berdinding tebal lebih
banyak dibandingkan PBZ. ABA diketahui mampu menghambat pemanjangan
sel. Studi ultrastruktur yang dilakukan pada sel akar Allium cepa menunjukkan
adanya penghambatan yang terjadi pada sel ketika diberi perlakuan ABA.
Penghambatan oleh ABA terjadi pada proses pembentukan dinding sel.
Terbentuknya dinding sel meliputi dua proses yakni pertumbuhan permukaan sel
(pembesaran sel) serta penebalan dinding sel. Pengukuran yang dilakukan
menunjukkan bahwa ABA menghambat proses pembesaran sel sehingga proses
penebalan dinding sel menjadi lebih intensif (Risueno et al. 1971). Hal ini
menyebabkan sel yang diberi perlakuan ABA menjadi lebih pendek dan dinding
selnya lebih tebal.

13

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan








Pertumbuhan sel yang dinyatakan dengan volume sel terbaik diperoleh pada
perlakuan ABA, yakni pada A1m (ABA 1 mg/L dengan kombinasi manitol
5.3 g/L dan sukrosa 20 g/L), A3m (ABA 3 mg/L dengan kombinasi manitol
5.3 g/L dan sukrosa 20 g/L) dan A1k (ABA 1 mg/L dengan kombinasi manitol
5.3 g/L dan sukrosa 20 g/L), sedangkan dengan PBZ diperoleh pada perlakuan
P5k, yaitu PBZ 5 mg/L dan sukrosa 30 g/L tanpa substitusi gula dalam kultur
suspensi sel Cinchona ledgeriana klon QRC 315.
Pertumbuhan sel mencapai maksimum rata-rata pada minggu kesembilan.
Sel yang membulat persentasenya lebih tinggi pada ABA dan PBZ konsentrasi
rendah serta substitusi sebagian sukrosa dengan manitol. Sebaliknya, sel yang
panjang persentasenya lebih tinggi pada ABA dan PBZ konsentrasi lebih
tinggi serta substitusi sebagian sukrosa dengan manitol. Pada konsentrasi
rendah ABA dan PBZ dengan substitusi sorbitol, sel yang membulat
persentasenya rendah, begitupula sel yang panjang pada konsentrasi tinggi
ABA dan PBZ persentasenya rendah dengan menggunakan sorbitol.
Ketebalan dinding sel berkurang pada perlakuan dengan sorbitol daripada
perlakuan dengan manitol.
Perlakuan dengan ABA menghasilkan dinding sel tebal, serta kerapatan dan
volume sel yang tinggi, sedangkan perlakuan PBZ memberikan sel dengan
dinding yang lebih tipis, serta kerapatan dan volume sel yang lebih rendah.
Saran

Kultur suspensi kina sebaiknya menggunakan kalus kina remah yang
berwarna kuning kecokelatan untuk diperoleh pertumbuhan sel yang baik. Sel
berbentuk agregat yang akan diukur sebaiknya dilepaskan menjadi individu sel
terlebih dahulu, caranya dapat menggunakan perlakuan dengan asam kromat.
Bentuk dan ukuran sel dapat ditentukan secara kuantitatif dengan
morfometri melalui pengukuran panjang dan lebar sel sehingga didapatkan
gambaran mengenai morfologi sel. Selain itu, untuk mengukur ketebalan dinding
sel secara kuantitatif dan akurat perlu menggunakan bantuan transmission
electron microscopy (TEM).

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MA, Ali AM, Marzia M, Lazis NH, Ariff AB. 1998. Establishment of
cell suspension cultures of Morinda elliptica for the production of
anthraquinones. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 54: 173-182.

14
Akita T, Hina Y, Nishi T. 2002. New medium composition for high betacyanin
production by a cell suspension culture of table beet (Beta vulgaris
L.).Biosci, Biotech, and Biochem. 66(4): 902-905.
Blom TJM, Kreis W, Van Iren F, Libbenga KR. 1992. A non-invasive method for
the routine-estimation of fresh weight in batch suspension cultures. Plant
Cell Rep. 11: 146-149.
Christov C, Tsvetkov I, Kovachev V. 1995. Use of paclobutrazol to control
vegetative growth and improve fruiting efficiency of grapevines (Vitis
vinifera L). Bulg J Plant Physiol. 21(4): 64-71.
Claeys H, Landeghem SV, Dubois M, Maleux K, Inze D. 2014. What is stress?
dose-response effects in commonly used in vitro stress assays. Plant Physiol.
165: 519-527.
Cui HX, Gu XH, Shi L. 2009. In vitro proliferation from axillary buds and ex
vitro protocol for effective propagation of Syringa x hyacinthiflora „Luo Lan
Zi‟. Sci Hort. 121: 186-191.
Edahiro JI, Seki M. 2006. Phenylpropanoid metabolite supports cell aggregate
formation in strawberry cell suspension culture. J Biosci Bioeng. 102(1): 813.
Fernandes JA, Balenzategui L, Banon S, Frranco JA. 2004. Induction of drought
tolerance of paclobutrazol and irrigation deficit in Phillyrea angustifolia
during the nursery period. Sci Hort. 107: 277-283.
George FE, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. USA
(US): Handbook and Directory of Commercial Laboratories.
Kishor PBK, Reddy GM. 1986. Retention and revival of regenerating ability by
osmotic adjustment in long-term cultures of four varieties of rice. J Plant
Physiol. 126: 49-54.
Llyod G, McCown B. 1981. Commercially feasible micropropagation of mountain
laurel Kalmia latifolia by use of shoot tip culture. Comb Proc Intl Plant
Prop Soc. (30): 421-427.
Mantell SH, Smith H. 1983. Plant Biotechnology. Cambridge (UK): Cambridge
University Pr.
Nazarudin MRA, Fauzi RM, Tsan FY. 2007. Effects of paclobutrazol on the
growth and anatomy of stems and leaves of Syzygium campanulatum. J of
Trop Forest Sci. 19(2): 86-91.
Noiraud N, Laurence M, Remi L. 2001. Transport of polyols in higher plants.
Plant Physiol Biochem. 39: 717-728.
Ratnadewi D, Sumaryono. 2010. Quinoline alkaloids in suspension cultures of
Cinchona ledgeriana treated with various substances. Hayati J BioSci.
17(4): 179-182.
Ratnadewi D, Satriawan D, Sumaryono. 2013. Enhanced production level of
quinine in cell suspension culture of Cinchona ledgeriana Moens by
paclobutrazol. Biotropia. 20(1): 10-18.
Risueno MC, Diez JL, Gimenez-Martin G, Torre CD. 1971. Ultrastructural study
of the effect of abscisic acid on cell elongation in plant cells. Protoplasma.
73: 323-328.
Ryschka S, Ryschka U, Schulze J. 1991. Anatomical studies on the development
of somatic embryoids in wheat and barley explants. Biochem Physiol
Pflanzen. 187: 31-41.

15
Shen B, RG Jensen, HJ Bohnert. 1997. Increased resistance to oxidative stress in
transgenic plants by targeting manitol biosynthesis to chloroplasts. Plant
Physiol. 113: 1177-1183.
Smith EF, Gribaudo I, Roberts AV, Mottley J. 1992. Paclobutrazol and reduced
humidity resistance to wilting of micropropagated grapevine. Hortsci. 27:
111-113.
Staba EJ, Chung AC. 1981. Quinine and quinidine production by Cinchon leaf,
root and unorganized cultures. Phytochem. 20(11): 2495-2481.
Sumaryono, Riyadi I. 2005. Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman
kina (Cinchona ledgeriana Moens). Menara Perkebunan. 73(1): 1-9.
Swedlund B, Locy RD. 1993. Sorbitol as the primary carbon source for the
growth of embryogenic callus of maize. Plant Physiol. 103: 1339-1346.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiologi3rd Edition. Sunderland (GB): Sinauer
Associates.
Villarreal ML, Arias C, Velasco AF, Ramirez OT, Quintero R. 1997. Cell
suspension culture of Solanum chrysotrichum (Schldl.). A plant producing
an antifungal spirostanol saponin. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 50:
39-44.
Wen ZZ, Lin Y, Liu YQ, Wang M, Wang YQ, Liu W. 2013. Effects of
paclobutrazol in vitro on transplanting efficiency and root tip development
of Dendrobium nobile. Biol Plant. 57(3): 576-580.
Williamson JD, Jennings DB, Guo WW, Pharr DM. 2002. Sugar alcohols, salt
stress, and fungal resistance: polyols-multifunctional plant protection?. J
Amer Soc Hort Sci. 127(4): 467-473.
Xiong L, Zhu JK. 2003. Regulation of abscisic acid biosynthesis. Plant Physiol.
133: 29-36.
Zakiah Z, Erly M, Arbayah HS. 2003. Peningkatan produksi Azadirahtin dalam
kultur suspensi sel Azadirachta indica A. Juss melalui penambahan skualen. J
Matematika dan Sains. 8(4): 141-146.

16

Lampiran 1 Rata-rata dan simpangan baku volume sel minggu 1 hingga 10
Perlakuan
A1k
A1m
A1s
A3m
A3s
P5k
P5m
P5s
P7m
P7m3
K

Minggu
1
1.1 ± 0.4
1.2 ± 0.3
1.2 ± 0.5
1.0 ± 0.3
1.0 ± 0.2
1.0 ± 0.3
0.9 ± 0.4
0.9 ± 0.2
1.2 ± 0.5
1.2 ± 0.5
1.0 ± 0.1

2
1.6 ± 0.7
2.1 ± 0.7
1.9 ± 0.7
1.5 ± 0.8
1.7 ± 0.8
1.3 ± 0.3
1.1 ± 0.4
1.2 ± 0.4
1.7 ± 0.7
1.6 ± 0.8
1.2 ± 0.3

3
2.3 ± 0.9
3.1 ± 1.1
3.3 ± 1.8
2.7 ± 1.8
2.6 ± 2.3
1.5 ± 0.2
1.5 ± 0.5
1.8 ± 0.8
2.1 ± 0.8
2.1 ± 0.7
1.5 ± 0.4

4
2.9 ± 1.3
4.7 ± 2.0
4.2 ± 2.9
4.1 ± 2.6
3.7 ± 3.6
1.8 ± 0.4
1.9 ± 0.7
2.0 ± 0.7
2.3 ± 1.0
2.4 ± 0.9
1.6 ± 0.3

5
4.2 ± 2.1
5.8 ± 2.4
3.6 ± 2.1
5.0 ± 3.1
4.2 ± 3.8
1.9 ± 0.7
1.9 ± 0.8
2.2 ± 1.1
2.4 ± 0.9
2.6 ± 1.4
1.7 ± 0.4

6
5.2 ± 2.6
6.1 ± 2.4
4.4 ± 2.1
5.3 ± 2.3
4.7 ± 3.7
2.2 ± 0.8
2.3 ± 1.1
2.4 ± 0.9
2.8 ± 1.0
2.7 ± 1.4
1.9 ± 0.3

7
5.7 ± 2.8
7.2 ± 2.8
4.9 ± 2.7
6.1 ± 2.5
4.9 ± 2.9
2.5 ± 0.7
2.5 ± 1.3
2.6 ± 1.3
2.9 ± 0.7
2.5 ± 1.2
2.4 ± 0.5

8
6.6 ± 3.2
7.5 ± 2.5
4.4 ± 2.3
7.1 ± 3.1
5.6 ± 2.9
2.3 ± 0.8
2.6 ± 1.5
2.6 ± 1.3
2.8 ± 0.8
2.7 ± 1.3
2.3 ± 0.3

9
7.5 ± 2.9
7.6 ± 2.4
5.2 ± 2.2
7.5 ± 2.5
6.3 ± 2.9
3.2 ± 1.1
3.0 ± 1.6
2.8 ± 1.0
3.2 ± 0.8
3.5 ± 1.2
2.5 ± 0.2

10
7.2 ± 2.6
7.3 ± 2.5
5.2 ± 2.2
7.8 ± 2.4
6.3 ± 2.9
3.1 ± 1.0
2.9 ± 1.4
2.6 ± 1.0
2.8 ± 0.6
3.1 ± 1.1
2.4 ± 0.4

17
Lampiran 2 Penampilan sel hasil perlakuan
a) Sel dengan perlakuan ABA

218
b) Sel dengan perlakuan PBZ

19
Lampiran 3 Komposisi media Woody Plant (Lloyd dan McCown 1981)
Kelompok
Senyawa
Kadar (mg/L)
A
NH4NO3
400,0
Ca(NO3)2.4H2O
556,0
B
MgSO4.7H2O
370,0

C
D1

D2
E
F1
F2
G

KH2PO4
K2SO4
CaCl2.2H2O
MnSO4.H2O

170,0
990,0
96,0
22,3

ZnSO4.7H2O
H3BO3
CuSO4.5H2O
Na2MoO4.2H2O
FeSO4.7H20
Na2-EDTA
Mio Inositol
Asam Askorbat
Asam Sitrat
Tiamin HCl

8,6
6,2
0,25
0,25
27,8
37,3
100,0
50,0
50,0
1,0

Asam Nikotinat
Piridoksin HCl

0,5
0,5

220

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Juni 1993 dari ayah Supono
dan ibu Ngatiyem. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2011
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cibinong dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan seleksi
masuk IPB dan diterima di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan Himpunan
Mahasiswa Biologi (Himabio) sebagai bendahara Divisi Pengembangan Sumber
Daya Mahasiswa (PSDM). Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata
kuliah Biologi Dasar dan Fisiologi Tumbuhan. Pada bulan Juli-Agustus penulis
melaksanakan Praktik Lapangan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kebun Raya
Bogor dengan judul “Perbanyakan Tanaman Anggrek Vanda Tricolor Melalui
Teknik Kultur Jaringan di Kebun Raya Bogor-LIPI.” Prestasi yang diperoleh
penulis adalah sebagai penerima beasiswa TANOTO FOUNDATION pada tahun
pertama hingga tahun keempat.