Respon genotipe sorgum [Sorghum bicolor (L) Moench] terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan aluminium di tanah masam

RESPON GENOTIPE SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench]
TERHADAP PEMUPUKAN P PADA BERBAGAI TARAF
KEJENUHAN ALUMINIUM DI TANAH MASAM

RAHMANSYAH DERMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respon Genotipe Sorgum
[Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf
Kejenuhan Aluminium di Tanah Masam adalah karya saya dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011


Rahmansyah Dermawan
NIM. A252080101

ABSTRACT

RAHMANSYAH DERMAWAN. Response of Sorghum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] Genotypes to Phosphorus Fertilizer in Different Aluminum Saturation
Levels in Acid Soil. Supervised by Didy Sopandie and Trikoesoemaningtyas.
Sorghum is one of high value commodity for food and energy security. Sorghum
can solve food and energy crisis integratedly in one time and space. Sorghum
also can increase productivity of marginal land because sorghum is a drought
tolerant crop and suitable to be developed in Indonesia uplands. The major
problem of uplands in Indonesia is predominance of acid soil with Al toxicity.
The objective of this research was to obtain information about differential
response of sorghum genotype tolerant and sensitive aluminum to phosphorus
fertilizer in different aluminum saturation levels in acid soil. This research
consisted of two stages, i.e: (1) evaluation of differential response of sorghum
genotype tolerant and sensitive aluminum to phosphorus fertilizer in different
aluminum saturation levels in acid soil, (2) evaluation of growth and development

response of sorghum root to phosphorus fertilizer in different aluminum saturation
levels in rhizotrone. Evaluation of differential response of sorghum genotype
tolerant and sensitive aluminum to phosphorus fertilizer on different aluminum
saturation levels in acid soil was conducted in split plot design in Tenjo, Jasinga.
Rhizotrone research was conducted in split plot design in greenhouse at
University Farm, IPB, Bogor. Aluminum saturation level as a main plot was 2
levels: high level of aluminum saturation (74.78%) and low level of aluminum
saturation (25.51%). Four genotytpes were evaluated in this research as sub-plot:
Numbu (tolerant), Kawali (tolerant), B-69 (sensitive), and B-75 (sensitive).
Phosphorus fertilizer was given into 4 doses as main-plot : P-25%, P-50%, P75%, and P-100%. The results from stage one showed that there were different
response of each genotype to phosphorus fertilizer in different aluminum
saturation levels in acid soil. Numbu has highest value for each variable on this
research. On high level of aluminum saturation, P fertilizer didn’t effect to almost
variable on this research except sugar level of stem in B-69. On low level of
aluminum saturation, P fertilizer effect penicle weight, grain per penicle weight,
total weight, and stem weight in B-69. On rhizotrone research, P fertilizer effect
root dry weight and root wet weight in B-69 on low level aluminum saturation.
Key words: sorghum, acid soil, aluminum saturation level, P fertilizer

RINGKASAN

RAHMANSYAH DERMAWAN. Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor
(L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Aluminium
di Tanah Masam (Di bawah bimbingan Didy Sopandie dan Trikoesoemaningtyas).
Sorgum merupakan salah satu tanaman serelia unggul yang dapat
dikembangkan sebagai bahan pangan dan sumber energi alternatif. Biji sorgum
dapat dimanfaatkan untuk pangan dan bahan baku bioetanol untuk sumber energi
alternatif. Batang dan daun tanaman sorgum dapat dimanfaatkan sebagai hijauan
pakan ternak. Oleh karena itu, sorgum mampu mengatasi krisis pangan dan energi
dalam satu waktu dan tempat.
Sorgum juga toleran terhadap kekeringan sehingga sangat sesuai
dikembangkan di lahan kering Indonesia. Lahan marjinal berupa lahan kering
sangat luas di Indonesia mencapai 148 juta ha dan 102.8 juta ha dari lahan kering
tersebut bertanah masam. Pengembangan sorgum di lahan masam terkendala oleh
tingginya toksisitas aluminium (Al3+). Taraf kejenuhan Al tinggi mampu
menurunkan produktivitas tanaman karena bersifat racun dan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, aluminium juga membentuk
kompleks jerapan Al-P sehingga hara P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Hal
tersebut berdampak pada defisiensi P bagi tanaman. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai respon tanaman
sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam.

Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai perbedaan
respon tanaman sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al.
Penelitian ini terbagi menjadi 2 percobaan. Percobaan pertama dilakukan di
Lahan Percobaan UPTD Lahan Kering, Tenjo, Jasinga. Rancangan yang
digunakan adalah Split Plot RKLT dengan petak utama dosis pemupukan P yang
terdiri dari 4 dosis pemupukan yaitu P-25%, P-50%, P-75%, dan P-100%.
Penentuan dosis pemupukan P berdasarkan erapan P hasil uji tanah. Anak petak
terdiri dari 4 genotipe sorgum yaitu genotipe Numbu (toleran), Kawali (toleran),
B-69 (peka) dan B-75 (peka). Taraf kejenuhan Al terdiri dari 2 taraf yaitu Altinggi (74.78%) dan Al-rendah (25.51%).
Percobaan kedua menggunakan rhizotron yang bertujuan untuk mengetahui
respon pertumbuhan dan perkembangan akar genotipe sorgum terhadap
pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam. Percobaan kedua
ini dilaksanakan di rumah kaca University Farm IPB, Cikabayan, Darmaga,
Bogor. Rancangan yang digunakan adalah Split Plot RAL dengan petak utama
adalah 2 dosis pemupukan yaitu P-25% dan P-100% sedangkan anak petak berupa
4 genotipe sorgum seperti yang digunakan pada percobaan pertama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon setiap
genotipe terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah
masam. Pada taraf kejenuhan Al-tinggi, genotipe berpengaruh nyata terhadap
setiap peubah pengamatan. Dosis pemupukan P cenderung tidak berpengaruh

nyata terhadap setiap peubah pengamatan kecuali kadar kemanisan batang
genotipe B-69. Genotipe Numbu menghasilkan nilai yang tertinggi pada setiap
peubah yang diamati.

v

Pada taraf kejenuhan Al-rendah, genotipe Numbu juga menghasilkan nilai
yang tertinggi pada setiap peubah yang diamati kecuali panjang malai. Hal ini
menunjukkan bahwa genotipe Numbu memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam. Pada taraf kejenuhan Alrendah, pemupukan P berpengaruh nyata terhadap bobot malai, bobot biji per
malai, bobot total, dan bobot batang genotipe B-69. Dosis pemupukan P-25% (Pkurang) sudah cukup untuk menghasilkan bobot malai, bobot biji per malai, bobot
total, dan bobot batang B-69 yang tinggi. Pada percobaan pertama, genotipe
Kawali menunjukkan respon yang mendekati sifat genotipe peka baik pada taraf
kejenuhan Al-tinggi maupun Al-rendah. Nilai rata-rata yang dihasilkan gneotipe
Kawali pada setiap peubah yang diamati cenderung mendekati nilai rata-rata
genotipe peka B-69 dan B-75. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Kawali masih
tercekam Al pada taraf kejenuhan Al 25.51%.
Pada percobaan rhizotron, genotipe dan dosis pemupukan P cenderung tidak
berpengaruh nyata terhadap setiap peubah yang diamati kecuali pada bobot basah
akar dan bobot kering akar genotipe B-69. Pada peubah kadar P daun, genotipe

Numbu menunjukkan kadar P daun yang lebih rendah dibandingkan kadar P daun
genotipe peka. Hal ini menunjukkan bahwa gneotipe toleran memiliki mekanisme
adaptasi internal (tolerance) yaitu efisiensi penggunaan P yang baik pada saat
tercekam Al. Kadar P daun yang tinggi pada genotipe peka menunjukkan
mekanisme adaptasi eksternal (avoidance) yaitu efisiensi penyerapan P yang baik.
Kata kunci: sorgum, tanah masam, taraf kejenuhan Al, pemupukan P

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RESPON GENOTIPE SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench]

TERHADAP PEMUPUKAN P PADA BERBAGAI TARAF
KEJENUHAN ALUMINIUM DI TANAH MASAM
Response of Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] Genotypes to Phosphorus
Fertilizer in Different Aluminum Saturation Levels in Acid Soil

RAHMANSYAH DERMAWAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suwarto, MSi.


Judul Tesis

: Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf
Kejenuhan Aluminium di Tanah Masam

Nama Mahasiswa

: Rahmansyah Dermawan

NIM

: A252080101

Program Studi

: Agronomi dan Hortikultura (AGH)

Disetujui,
Komisi Pembimbing


Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr.
Ketua

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.
Anggota

Diketahui,
Ketua Mayor
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian : 10 Maret 2011

Tanggal Lulus : 6 Mei 2011


PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis dengan judul ―Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Aluminium di
Tanah Masam‖.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada :
1.

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr., selaku ketua komisi pembimbing kami
yang telah banyak memberikan bimbingan, pelajaran hidup, dan motivasi
kepada penulis mulai dari ide penelitian, perencanaan, pelaksanaan hingga
penyelesaian penulisan tesis ini.

2.

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc., selaku komisi pembimbing atas waktu
yang diberikan selama memberikan bimbingan, arahan, dan masukan mulai

dari penelitian hingga penulisan tesis ini.

3.

Dr. Ir. Suwarto, MSi., selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir
tesis atas kritik, koreksi, dan saran untuk perbaikan tesis ini.

4.

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., selaku penguji dari perwakilan Mayor
Agronomi dan Hortikultura atas saran untuk perbaikan tesis ini.

5.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjendikti Depdiknas) melalui
Program Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) 2009—2010 yang telah
memberikan bantuan biaya penelitian selama penulis melaksanakan
penelitian.

6.

Kepala dan staf UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor dan University Farm, Kebun Percobaan Cikabayan, IPB
atas bantuan selama pelaksanaan penelitian.

7.

Dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu dan
pengetahuan yang diberikan selama menempuh ilmu di IPB.

8.

Ayahanda dan Ibunda tercinta, Drs. H. Alimin Umar, MPd. dan Dra. Hj.
Nurbaya Kaco, MSi., atas limpahan doa, semangat, dan motivasi selama
penulis menempuh pendidikan di IPB.

xi

9.

Istri tercinta, Desy Saraswati SP., dan anak-anakku tercinta Ahmad Rais
Fardin dan Ahmad Tsaqiif atas cinta, dan kasih sayang yang diberikan
selama ini.

10. Bapak dan Ibu mertua, Ismet Janis dan Yohani Johan atas dukungan yang
diberikan selama menempuh pendidikan di IPB.
11. Adik-adikku tercinta, Alamsyah Kurniawan, ST. dan Nielma Auliah, SSi.,
Apt., atas dorongan semangat dan motivasi.
12. Sahabat dan rekan seperjuangan: Sungkono, Karlin Agustina, Sumiyati,
Arif, dan Siti Marwiyah, atas bantuan yang diberikan selama melaksanakan
penelitian.
13. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan pendidikan, penelitian,
dan penyusunan tesis ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemaslahatan hidup umat
manusia dan dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pertanian. Amin.

Bogor, Mei 2011

Rahmansyah Dermawan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Maret
1981. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Drs. H.
Alimin Umar, MPd dan ibu Dra. Hj. Nurbaya Kaco, MSi. Penulis telah menikah
dengan Desy Saraswati pada tahun 2007 dan telah dikaruniai dua orang putra
bernama Ahmad Rais Fardin (3 tahun) dan Ahmad Tsaqiif (2 bulan).
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri IKIP I Makassar,
Sulawesi Selatan dan sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 6
Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan sekolah
menengah atas di SMA Negeri 5 Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 2004 penulis
menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Program Studi Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tahun 2004—2006 penulis bekerja sebagai wartawan di Majalah Trubus,
Jakarta. Pada tahun 2006—2008 penulis bekerja di PT Sinar Mas sebagai Asisten
Divisi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Selatan. Pada tahun 2008 hingga
sekarang, penulis menjadi editor buku sekaligus penulis lepas pada PT Penebar
Swadaya, Jakarta.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................

xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan ................................................................................................
Hipotesis.............................................................................................

1
5
5

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] ................
6
3+
Toksisitas Aluminium (Al ) pada Lahan Kering Bertanah Masam ..
9
Peran Fosfor (P) pada Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman di
Lahan Masam ..................................................................................... 11
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
Bahan dan Alat ..................................................................................
Bagan Alir Penelitian ........................................................................

14
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap
Pemupukan P pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi di Lahan Masam
Hubungan Antar Peubah Pengamatan pada Taraf Kejenuhan AlTinggi ...............................................................................................
Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap
Pemupukan P pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah di Lahan
Masam ..............................................................................................
Hubungan Antar Peubah Pengamatan pada Taraf Kejenuhan AlRendah................................................................................................
Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Genotipe Sorgum
[Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada
Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Rhizotron ......................................
Hubungan Antar Peubah Pengamatan Pertumbuhan dan
Perkembangan Akar pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan AlRendah................................................................................................

24
37

42
53

57

67

xiv

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ........................................................................................
Saran .................................................................................................

71
72

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

73

LAMPIRAN ................................................................................................

81

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Rekapitulasi Sidik Ragam di Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi .....

25

2.

Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ...

26

3.

Rata-rata Bobot Malai (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ............

28

4.

Rata-rata Panjang Malai (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ......

29

5.

Rata-rata Bobot 100 Butir (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi .....

31

6.

Rata-rata Bobot Biji per Malai (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

32

7.

Rata-rata Bobot Batang (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ..........

33

8.

Rata-rata Bobot Total (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi .............

34

9.

Rata-rata Kadar Kemanisan Batang (% briks) pada Berbagai Dosis
Pemupukan P di Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ....................................

10.

Rata-rata Pertumbuhan dan Produksi Genotipe Sorgum [Sorghum
bicolor (L.) Moench] pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ....................

11.

36

39

Nilai Korelasi Hubungan Antar Peubah pada Taraf Kejenuhan
Al-Tinggi ...........................................................................................

40

12.

Rekapitulasi Sidik Ragam di Lahan Taraf Kejenuhan Al-Rendah ....

42

13.

Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah .

44

14.

Rata-rata Bobot Malai (g) pada Berbagai Dosis Pemupukan P di
Taraf Kejenuhan Al-Rendah ..............................................................

46

15.

Rata-rata Panjang Malai (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah .....

46

16.

Rata-rata Bobot 100 Butir (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah .....

47

17.

Rata-rata Bobot Biji per Malai (g) pada Berbagai Dosis Pemupukan
P di Taraf Kejenuhan Al-Rendah ......................................................

49

18.

Rata-rata Bobot Batang (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah .........

50

19.

Rata-rata Bobot Total (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ............

52

20.

Rata-rata Kadar Kemanisan Batang (% briks) pada Taraf
Kejenuhan Al-Rendah .......................................................................

21.

53

Rata-rata Pertumbuhan dan Produksi Genotipe Sorgum [Sorghum
bicolor (L.) Moench] pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ..................

55

xvi

22.

Nilai Korelasi Hubungan Antar Peubah pada Taraf Kejenuhan
Al-Rendah ..........................................................................................

23.

56

Hasil Sidik Ragam Panjang Akar, Sebaran Akar, Bobot Basah
Akar, Bobot Kering Akar, dan Kadar P Daun Genotipe Sorgum di
Rhizotron ............................................................................................

24.

Rata-rata Panjang Akar (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan
Al-Rendah ..........................................................................................

25.

58

60

Rata-rata Sebaran Akar (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan
Al-Rendah ..........................................................................................

62

26.

Rata-rata Bobot Basah Akar (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ...

63

27.

Rata-rata Bobot Basah Akar (g) pada Berbagai Dosis Pemupukan P
di Taraf Kejenuhan Al-Rendah ..........................................................

28.

Rata-rata Bobot Kering Akar (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi
dan Al-Rendah ...................................................................................

29.

65

Rata-rata Kadar P Daun (mg/100 mg) pada Taraf Kejenuhan
Al-Tinggi dan Al-Rendah ..................................................................

30.

63

66

Rata-rata Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Genotipe Sorgum
[Sorghum bicolor (L.) Moench] pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi
dan Al-Rendah ...................................................................................

31.

69

Nilai Korelasi Hubungan Antar Peubah Pengamatan Pertumbuhan
dan Perkembangan Akar pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan AlRendah di Rhizotron ..........................................................................

70

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Bagan alir penelitian Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor
(L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf
Kejenuhan Al di Tanah Masam .........................................................

15

2.

Kondisi Tanaman pada Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi (6 MST)

27

3.

Kondisi Tanaman pada Lahan Taraf Kejenuhan Al-Rendah
(6 MST) .............................................................................................

43

4.

Kondisi Tanaman Sorgum di Dalam Rhizotron (3 MST) .................

59

5.

Sebaran Akar Genotipe Sorgum pada Kondisi Kejenuhan Al Tinggi
dan Al-Rendah ...................................................................................

61

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Tabel Rekapitulasi Taraf Kejenuhan Al ............................................

2.

Pemeriksaan Curah Hujan Tahun 2010 (UPTD Pengembangan
Teknologi Lahan Kering Tenjo, 2010) ..............................................

3.

82

Hasil Analisis Contoh Tanah UPTD Lahan Kering Tenjo,
Kabupaten Bogor (Balai Penelitian Tanah 2010) ..............................

4.

81

83

Hasil Uji Tanah Berdasarkan P erapan untuk Penetapan Dosis
Pemupukan P (Balai Penelitian Tanah 2010).....................................

84

5.

Hasil Uji Kadar P di Dalam Pupuk (Balai Penelitian Tanah 2010) ...

85

6.

Deskripsi Sorgum Varietas Kawali dan Numbu ................................

86

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara-negara maju dan berkembang kini dihadapkan pada persoalan
krisis pangan dan energi. Indonesia sebagai negara berkembang tak luput dari
kedua persoalan tersebut. Kebutuhan beras sebagai pangan utama sumber
karbohidrat masyarakat Indonesia terus meningkat seiring laju pertambahan
penduduk. Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian (2005) pada tahun 2025
jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 316 juta jiwa dengan konsumsi beras
rata-rata 125 kg/kapita/tahun. Diprediksi bahwa pada saat itu kebutuhan beras
mencapai 39,5 juta ton (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2008).
Krisis pemenuhan kebutuhan pangan nasional kini menjadi masalah yang
serius. Kebutuhan beras yang tinggi seiring dengan penambahan penduduk yang
pesat tidak didukung oleh produksi beras nasional yang memadai. Sekitar 95%
produksi beras nasional dipenuhi oleh padi sawah (Suwarno et al., 2004) yang
telah mengalami leveling off (Sopandie, 2006). Kondisi tersebut diperparah oleh
penyusutan luasan penanaman akibat alih fungsi lahan selain pertanian.
Salah satu solusi untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan
adalah diversifikasi pangan. Mencari alternatif sumber pangan utama selain beras
menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Sorgum mampu menjawab tantangan
tersebut. Sebagai bahan pangan, kandungan gizi pada sorgum sangat bersaing
dengan beras dan jagung, bahkan kandungan protein dan kalsium lebih tinggi.
Kandungan protein dan kalsium pada sorgum mencapai 11,0 g dan 28,0 mg, pada
beras 6,8 g dan 6,0 mg, sedangkan pada jagung 8,7 g dan 9,0 mg per 100 gram
bagian dapat dimakan. Selain itu, sorgum juga mengandung zat besi, fosfor, dan
vitamin B1 yang lebih tinggi dibandingkan beras. Kandungan besi, fosfor, dan
vitamin B1 pada sorgum berturut-turut 4.4 mg, 287 mg, dan 0.38 mg sedangkan
pada beras kandungan ketiga zat tersebut hanya 0.8 mg, 140 mg, dan 0.12 mg
(Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1992). Sorgum berpeluang untuk
dikembangkan menjadi pangan premium dan diet food karena kandungan glutine
biji sorgum sangat rendah.

2

Selain krisis kebutuhan pangan, negara-negara maju dan berkembang
termasuk Indonesia juga mengalami krisis energi khususnya energi berbahan fosil.
Pada tahun 2004 produksi minyak bumi Indonesia berkisar 1,12 juta barrel/hari
sedangkan kebutuhannya mencapai 1,15 juta barrel/hari (Iman dan Nurcahyo,
2005). Peningkatan produksi minyak berbasis fosil sangat sulit dilakukan karena
bersifat takterbarukan.
Kelangkaan sumber energi memicu setiap negara untuk mencari dan
mengembangkan sumber energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif. Salah
satunya adalah mengembangkan sumber energi yang berasal dari tanaman
(bioenergi). Energi tersebut berupa bioetanol yang dapat diproduksi dari tanaman
penghasil gula melalui proses fermentasi (Grassi, 2005). Pemanfaatan bioetanol
sebagai sumber energi juga berdampak positif terhadap lingkungan. Bioetanol
ramah lingkungan karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca. Emisi gas
buang dari anhydrous etanol lebih bersih dibandingkan bahan bakar fosil
(Biomass Conversion Comitte of CAREL, 2006), sehingga dapat mengurangi
emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007).
Salah satu tanaman yang dikembangkan untuk menghasilkan bioetanol
adalah tanaman sorgum. Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah tanaman
serealia yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan energi. Biji sorgum dapat
dijadikan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat dan tidak berkompetisi
dengan tanaman pangan dan biaya produksinya juga rendah (Medco Energi,
2007).
Sorgum juga dapat dikonversi menjadi sumber energi dalam bentuk
bioetanol dari hasil fermentasi nira batang (stem juice) dan karbohidrat pada
bijinya (Grassi, 2005; Yudiarto, 2006; Reddy dan Dar 2007). Sorgum dipilih
karena produktivitas bioetanolnya lebih tinggi dibandingkan tanaman lain seperti
tebu dan ubi kayu. Bioetanol yang dihasilkan oleh sorgum dengan mengolah biji
dan nira batangnya dalam setahun diperoleh 8.419 l/ha. Tebu dan ubi kayu hanya
menghasilkan masing-masing 6.192 l/ha dan 3.835 l/ha (Global Petroleum Club,
2007).

3

Tanaman sorgum juga mampu meningkatkan nilai ekonomi lahan marjinal
khususnya lahan kering bertanah masam. Saat ini pemanfaatan lahan kering
bertanah masam untuk bercocok tanam terkendala pada tingkat kesuburan tanah
yang rendah dan kurangnya ketersediaan air. Tingginya kelarutan Al dan Mn,
kapasitas tukar kation yang rendah, pH rendah, dan ketersediaan P yang rendah
menjadikan produktivitas lahan masam sangat rendah (Hardjowigeno, 2003).
Komoditas pertanian yang cocok dikembangkan di lahan kering bertanah masam
pun menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan genotipe yang adaptif
terhadap lingkungan kering bertanah masam tetapi mampu berproduksi tinggi.
Tanaman sorgum mempunyai kesesuaian dan daya adaptasi yang tinggi di lahan
kering (FAO, 2002; Toure et al., 2004; Borrel et al., 2005; dan Hoeman, 2007).
Beberapa karakter penting yang terdapat pada tanaman sorgum menurut
SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih banyak dibandingkan
tanaman serealia lainnya, (2) daun memiliki lapisan lilin sehingga meningkatkan
efisiensi transpirasi, (3) dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali
ketika kondisi lingkungan sesuai untuk pertmbuhannya, (4) bagian tajuk tanaman
akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran berkembang dengan baik, (5) mampu
berkompetisi dengan berbagai jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis
yang lebih tinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya.
Sebagai tanaman yang toleran terhadap kekeringan, sorgum mempunyai
keunggulan untuk dikembangkan di Indonesia. Lahan kering mencapai 148 juta
ha di Indonesia dapat dimaksimalkan dengan budidaya tanaman sorgum. Lahan
kering di Indonesia didominasi oleh tanah masam yang diperkirakan mencapai
102.8 juta ha. Tanah masam tersebut tersebar 43.5% di Sumatera, 29.9% di
Kalimantan, 9.6% di Irian Jaya dan 8.0% di Sulawesi (Hidayat dan Mulyani,
2002). Kondisi ini menyebabkan budidaya sorgum terkendala pada tanah masam
yang dapat menjadi faktor pembatas utama produktivitas karena adanya toksisitas
Al (Kochian, 1995; Ryan et al., 1997; Anas dan Yoshida, 2000; Sungkono, 2010).
Cekaman Al menyebabkan gangguan pada pertumbuhan akar sehingga
penyerapan hara dan air menjadi terhambat (Marschner, 1995), dan tanaman dapat
mengalami defisiensi unsur hara terutama fosfor (George et al., 2001). Penurunan
produktivitas tanaman serealia akibat toksisitas Al di tanah masam dapat

4

mencapai 28—63% tergantung tingkat toksisitasnya (Sierra et al., 2005).
Aluminium membentuk kompleks jerapan Al-P sehingga ketersediaan dan
penggunaan P terbatas bagi tanaman. Akibatnya, tanaman mengalami stres
cekaman Al dan defisiensi P. Hal tersebut berdampak pada produksi biomassa dan
bioetanol yang tidak maksimal.
Selain mengembangkan varietas sorgum yang toleran terhadap cekaman
Al dan defisiensi hara P melalui program pemuliaan tanaman, perlu juga
dikembangkan teknik budidaya khusus tanaman sorgum di lahan kering bertanah
masam. Salah satunya adalah perbaikan kualitas tanah masam dengan mengatur
kondisi kejenuhan Al yang masih dapat ditolerir oleh tanaman sorgum.
Pengaturan kondisi kejenuhan Al tersebut dapat dilakukan dengan pengapuran.
Pengapuran masih merupakan teknik yang cock dilakukan untuk menurunkan
kondisi kejenuhan Al karena murah, mudah dilakukan dan ketersediaannya
banyak (Hardjowigeno, 2003). Kapur yang diaplikasikan di daerah perakaran
tanaman dapat meningkatkan pH tanah sekaligus menurunkan kondisi kejenuhan
Al. Ion Ca2+ yang berasal dari kapur tersebut dapat mendesak Fe dari senyawa
ferofosfat sehingga terbentuk kalsium fosfat (Ca3PO4) yang lebih mudah tersedia
bagi tanaman (Ispandi dan Munip, 2005). Namun, pemberian kapur yang
berlebihan sehingga pH > 7 mengakibatkan kadar Cu dan Zn tanah menurun, P
tidak tersedia karena terbentuk kompleks Ca-fosfat yang tidak larut dalam air, dan
mengganggu serapan dan penggunaan P oleh tanaman (Soepardi, 1983).
Selain pengaturan kondisi kejenuhan Al, peningkatan ketersediaan fosfor
melalui pemupukan P juga perlu diperhatikan dalam budidaya sorgum di lahan
masam. Fosfor dibutuhkan dalam jumlah banyak karena fungsi hara tersebut
dalam tanaman tidak dapat digantikan oleh hara yang lain. Kecukupan kebutuhan
unsur hara P mutlak diperlukan untuk pertumbuhan tanaman yang optimum.
Unsur P dibutuhkan dalam jumlah besar untuk pembentukan dan perkembangan
awal akar tanaman dan pada masa pembentukan buah atau biji (Hardjowigeno,
2003; Susila, 2004).
Pemupukan P dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan P di dalam
tanah. Pada lahan kering bertanah masam, tingkat ketersediaan P sangat rendah
karena fiksasi Al (Soepardi, 1983; Marschner 1995; Hardjowigeno, 2003;

5

Sopandie et al., 2006). Dengan penambahan P maka diharapkan ketersediaan P
bagi tanaman dapat terpenuhi meskipun terdapat P yang terjerap oleh aluminium.
Pemupukan P perlu dikaji efisiensi penggunaannya terutama di lahan
masam. Pemupukan P yang berlebihan di kondisi kejenuhan Al tinggi akan
menjadi sia-sia karena adanya fiksasi Al. Demikian pula sebaliknya, pemupukan P
yang rendah dapat menyebabkan tanaman mengalami defisiensi P. Oleh karena
itu, penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mendapatkan informasi
mengenai pengaruh pemupukan P pada berbagai tingkat kejenuhan Al di tanah
masam. Dengan demikian diharapkan budidaya sorgum di lahan masam lebih
efisien dalam penggunaan biaya produksi khususnya biaya pemupukan tetapi tetap
menghasilkan produksi sorgum yang maksimal.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1.

memperoleh informasi mengenai perbedaan respon genotipe sorgum
terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam.

2.

memperoleh informasi mengenai pengaruh pemupukan P terhadap
pertumbuhan dan perkembangan akar genotipe sorgum pada berbagai taraf
kejenuhan Al di tanah masam.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1.

terdapat perbedaan respon genotipe sorgum terhadap dosis pemupukan P
pada taraf kejenuhan Al-tinggi maupun Al-rendah di tanah masam.

2.

terdapat perbedaan respon pertumbuhan dan perkembangan akar genotipe
sorgum

terhadap dosis pemupukan P pada taraf kejenuhan Al-tinggi

maupun Al-rendah di tanah masam.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench]
Pemanfaatan tanaman sorgum sebagai sumber pangan alternatif belum
maksimal dilakukan masyarakat Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah
pengetahuan masyarakat mengenai tanaman sorgum yang belum memadai. Di
Indonesia, tanaman sorgum memiliki beberapa nama daerah. Masyarakat Jawa
Barat menyebutnya gandrung, gandrung kampay, gandrung trigu, degem, dan
jagung cantrik. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut jagung pari, jagung
cantel, dan jagung oncel. Di Sulawesi, orang-orang menyebut sorgum dengan
istilah bata; masyarakat Sumba mengenalnya dengan istilah wataru hamu. Selain
itu sorgum juga memiliki beragam nama asing seperti Sorgo, Zahina, dan Milulo
(Spanyol), Gierst (Belanda), Jowar (India), dan Kaoliang (China).
Tanaman sorgum merupakan tanaman pangan yang termasuk Famili
Gramineae atau rerumputan. Dalam sistem taksonomi tumbuhan, tanaman sorgum
diklasifikasikan dalam Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae dengan
sub-kelas Liliopsida, Ordo Poales, Famili Gramineae, Genus Sorghum. Tanaman
sorgum memiliki banyak spesies, tetapi yang populer dan menjadi tanaman
komersial di dunia adalah spesies Sorghum bicolor (L.) Moench (Sungkono,
2010). Spesies tersebut tersebar hampir ke seluruh dunia dan dimanfaatkan
sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri
termasuk industri biofuel (bioetanol).
Tanaman sorgum termasuk tanaman monokotil yang memiliki sistem
perakaran serabut. Keunggulan sistem perakaran serabut pada tanaman sorgum
yaitu mampu menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun (ratoon)
hingga dua atau tiga kali lebih dengan akar yang sama (House, 1985). Tanaman
sorgum tidak membentuk akar tunggang, hanya membentuk akar lateral yang
halus. Akar lateral tersebut mampu mencapai 1,3—1,8 m di bawah tanah. Dengan
adanya akar serabut yang banyak dan panjang, tanaman sorgum mampu menyerap
air tanah dengan efektif. Sistem perakaran yang halus dan pertumbuhan akar agak
dalam memungkinkan penyerapan air intensif (Rismunandar, 1989). Itulah
sebabnya tanaman sorgum relatif tahan terhadap kekeringan.

7

Tanaman sorgum mempunyai batang berbentuk silinder, beruas-ruas
(internodes) dan berbuku-buku (nodes) (ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki
alur yang berselang-seling. Diameter dan tinggi batang bervariasi. Ukuran
diameter pangkal batang berkisar 0,5—5,0 cm dan tingginya berkisar 0,5—4,0 m
tergantung varietasnya. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China
dapat mencapai 5 m sehingga sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak dan
penghasil gula (FAO, 2002).
Dari setiap buku pada batang akan keluar daun. Daun tanaman sorgum mirip
dengan daun jagung, berbentuk pita dengan struktur daun bendera di atas helai
daun dan tangkai daun. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak. Daun
bendera (leaf blades) muncul terakhir bersamaan dengan inisiasi malai. Daun
sorgum dilapisi oleh sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin
tersebut berfungsi mengurangi penguapan air dari dalam tanaman sehingga
mendukung resistensi tanaman sorgum terhadap kekeringan
Posisi daun berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel
pada buku. Daun sorgum rata-rata memiliki panjang 85—90 cm. Jumlah daun
pada tanaman sorgum berkisar 13—14 helai tergantung jenis dan varietas
(Gardner et al, 1991). Hasil penelitian Bullard dan York (1985) dan Sungkono
(2010) menunjukkan bahwa banyaknya daun tanaman sorgum berkorelasi tinggi
dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu
helai daun memerlukan waktu sekitar 3—4 hari.
Tanaman sorgum memiliki bunga yang berbentuk malai bertangkai
panjang, tegak lurus, dan berada pada pucuk batang. Setiap tangkai malai
memiliki bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga betina
sorgum memiliki 2 buah kepala putik berupa bulu halus yang bercabang. Setiap
malai terdapat sekitar 1500—4000 bunga. Bunga jantan terdiri 3 buah kotak sari
yang menggantung pada benang sari. Kotak sari mengandung tepung sari (polen)
yang akan berhamburan bila terkena angin. Angin membantu tanaman sorgum
dalam proses penyerbukan. Tanaman sorgum termasuk tanaman menyerbuk
sendiri (self-pollination).

8

Malai sorgum dapat dipanen saat tanaman berumur rata-rata 90—120 hari
(Rismunandar, 1989). Bentuk biji sorgum beraneka ragam, ada yang agak bulat
hingga pipih. Kulit biji sorgum warnanya putih abu-abu, merah hingga cokelat
tua, kuning atau kehitam-hitaman. Biji sorgum berbentuk kernel yaitu buah berbiji
tunggal dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji.
Berdasarkan bentuk bulir (tipe spikelet), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras
dasar, yaitu bicolor, kafir, guinea, caudatum, dan durra. Ras bicolor dicirikan
bentuk bulir yang panjang menyerupai bulir padi, bulir guinea bulat, bulir
caudatum tidak simetris, bentuk bulir kafir mendekati simetris, dan durra
memiliki bulir bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit.
Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis, dari
dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan
laut). Kondisi optimum untuk tanaman sorgum adalah pada daerah bersuhu 20—
300C dengan curah hujan 375—425 mm selama tanaman masih muda hingga
berumur 4—5 minggu (Rismunandar, 1989.
Tanaman sorgum termasuk tanaman C4. Tanaman C4 umumnya memiliki
sel mesofil dan sel seludang berkas (bundle sheath cell) yang keduanya bekerja
efektif dalam penambatan CO2. Kondisi ini menguntungkan dalam efisiensi
fotosintesis. Sel seludang berkas pada tanaman C4 memiliki lebih banyak
kloroplas, mitokondria, dan organel penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan
Zeiger, 2002). Dengan demikian, tanaman C4 seperti tanaman sorgum mampu
menghasilkan biomassa lebih banyak dibandingkan tanaman C3. Tanaman C4
lainnya seperti jagung juga mampu menghasilkan biomassa yang tinggi meskipun
pada kondisi penyinaran tinggi dan suhu tinggi (Salisbury dan Ross 1992;
Hoeman 2007).
Menurut Borrel et al. 2005 tanaman sorgum efisien dalam penggunaan
radiasi dan transpirasi karena memiliki gen pengendali stay-green sejak fase
pengisian biji. Gen pengendali tersebut berhubungan dengan kandungan nitrogen
daun spresifik. Kondisi tersebut mengakibatkan terhambatnya proses senescen
pada daun dan batang sorgum.

9

Toksisitas Aluminium (Al+3 ) pada Lahan Kering Bertanah Masam
Tanah masam didefinisikan sebagai tanah mineral yang mempunyai reaksi
tanah masam (pH < 5,5) dan nilai kejenuhan basa (KB) < 50%, dan khususnya
yang berada pada lahan kering (Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan
Tanah Masam, 2003). Tanah-tanah masam tersebut umumnya termasuk ordo
Ultisols, Oxisols, Spodosols dan sebagian Entisols dan Inceptisols yang
berkernbang di daerah beriklim basah dengan curah hujan tinggi.
Lahan-lahan bertanah masam umumnya mempunyai tingkat kesuburan
tanah dan produktivitas yang rendah. Hal tersebut diakibatkan oleh tingginya
konsentrasi aluminium khususnya bentuk ion Al3+ yang sangat beracun pada
tanaman (Marschner, 1995). Keracunan Al merupakan faktor pembatas utama
pada lahan kering bertanah masam karena menyebabkan terganggunya
pertumbuhan akar. Akar tanaman menjadi pendek dan tidak berkembang sehingga
tanaman mengalami hambatan dalam penyerapan air dan hara (Kochian et al.,
2004).
Menurut Sungkono (2010) kemasaman tanah akibat konsentrasi Al dapat
terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah,
curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca2+,
Mg2+, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan
tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al3+ yang menyebabkan tanah
menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di
daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Sedangkan proses
pemasaman tanah akibat budidaya tanaman terjadi karena pemupukan secara
intensif sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al., 2005).
Meningkatnya konsentrasi Al terlarut menyebabkan penyerapan hara oleh
akar berkurang sehingga lebih lanjut mengakibatkan defisiensi hara seperti Ca, P,
K, Mg, dan hara mikro seperti seng, tembaga, dan molybdenum. Konsentrasi ion
Al yang tinggi pada daerah rizosfir juga menyebabkan tanaman mengalami
defisiensi unsur hara terutama P karena diikat oleh ion Al3+ membentuk senyawa
khelat Al-fosfat yang tidak larut dalam air (Ae dan Shen, 2002). Selain itu,
mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar merupakan kompetitor utama
bagi beberapa kation polivalen seperti Mg2+, Ca2+, Zn2+, dan Mn2+ sehingga

10

kandungannya di dalam tanaman berkurang yang mengakibatkan tanaman
mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995).
Aluminium juga mengakibatkan kebocoran pada membran sel akar,
mengurangi K dalam jaringan akar, dan merusak viabilitas protoplasma
(Yamamoto et al. 1992). Kerusakan berupa penebalan (pembengkakan) juga
terjadi pada ujung akar dan cabang akar. Fenomena tersebut mengakibatkan
terganggunya proses penyerapan hara sehingga pertumbuhan tajuk tertekan akibat
kurangnya ketersediaan hara (Maschner, 1995), sehingga tanaman tumbuh kerdil
dan produktivitasnya menurun. Respon fisiologi yang ditunjukkan tanaman yang
tercekam aluminium antara lain pembentukan kompleks Al-asam organik. Asam
organik yang terbentuk pada batang ditransportasikan ke akar sehingga kandungan
asam organik pada akar tanaman meningkat (Matsumoto et al., 2003)
Selain cekaman Al, kendala produksi di lahan bertanah masam adalah
defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al. Fiksasi Al-P menyebabkan P tidak
tersedia bagi tanaman. Menurut Doumbia et al. (1993) penyebab utama rendahnya
produktivitas sorgum di tanah masam Afrika Barat lebih disebabkan oleh
defisiensi P dibandingkan oleh keracunan Al. Salah satu upaya untuk mengurangi
toksisitas Al di tanah masam yaitu dengan memasukkan bahan pembenah tanah
(ameliorasi) berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi.
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input
aproach). Namun, kelemahannya adalah berlangsung untuk jangka waktu singkat
dan memerlukan biaya yang tinggi sehingga sistem usahatani tidak sustainable
(Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).
Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman toleran Al
biasanya selalu diikuti dengan efisiensi yang tinggi dalam memanfaatkan unsur P
(Prasetiyono dan Tasliah, 2003) sehingga mampu tumbuh dan berproduksi lebih
baik dibandingkan tanaman yang kurang efisien dalam memanfaatkan unsur P.
Beberapa tanaman pangan yang telah dilaporkan mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap toksisitas Al dan defisiensi P melalui mekanisme interrelated adalah
jagung, sorgum, ubi jalar (Tanaka, 1980), padi sawah IR-55178 (Hu

et al.,

2001), Lupinus albus (Yan et al., 2002; Uhde-Stone et al., 2003), dan beberapa

11

varietas padi gogo seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah, dan Lembulut
(Sopandie, 2006).
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al yaitu
melalui pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach (Marschner,
1995). Salah satunya dengan menggunakan tanaman toleran Al sehingga dapat
berlangsung dalam jangka waktu lama dan tidak memerlukan biaya tinggi (Goni
et al., 1985; Sierra et al., 2005). Penggunaan tanaman toleran Al sangat
menguntungkan baik secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani
dapat sustainable (Zheng et al., 1998). Namun, upaya mendapatkan tanaman
toleran Al tidak mudah karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni
tanaman mempunyai rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150
µM tergantung jenis tanaman dan varietas (Marschner, 1995).
Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan oleh
tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman
dalam memanfaatkan unsur hara. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman
gandum, triticale, dan rye yang toleran Al mempunyai sistem perakaran yang
lebih baik daripada tanaman yang peka terhadap Al. Hasil penelitian Ma et al.
(2002) menunjukkan bahwa tanaman padi toleran Al mempunyai perakaran yang
lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah dibandingan tanaman
padi yang peka terhadap Al. Lebih lanjut, penelitian Sungkono (2010)
menunjukkan bahwa perakaran sorgum yang toleran Al lebih baik dibandingkan
perakaran sorgum yang peka. Selain itu pertumbuhan dan produktivitas tanaman
juga lebih baik meski ditanam di lahan kering bertanah masam.

Peran Fosfor (P) terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman
di Lahan Masam
Unsur fosfor berperan penting pada berbagai fungsi dasar metabolisme sel
tanaman. P inorganik berperan sebagai elemen struktur unit asam nukleat
diantaranya DNA yang bertanggung jawab pada informasi genetik, dan RNA yang
bertanggung jawab pada proses translasi informasi genetik. Unsur P merupakan
bagian struktur

phosphoprotein,

enzim,

phospholipid

(bagian penyusun

biomembran), dan sugar phosphatase/phosphate ester (merupakan senyawa

12

intermediet pada jalur biosintesis dan senyawa degradasi pada beberapa proses
metabolisme) (Salisbury and Ross, 1985).
Fosfor berperan penting pada sistem penyimpanan dan transfer energi.
Fosfor merupakan penyusun Adenosin Monophosphate (AMP), Adenosin
Disphosphate (ADP), dan Adenosin Triphosphate (ATP) yang merupakan sumber
energi. Energi yang berasal dari ATP digunakan oleh tanaman dalam melakukan
proses metabolisme seperti pengaturan fotosintesis, respirasi, penyimpanan dan
transfer energi, pembelahan dan perkembangan sel tanaman. Pada proses
fotosintesis, cahaya yang ditangkap oleh bagian klorofil tanaman digunakan untuk
pembentukan gula dari CO2 dan air dengan memanfaatkan energi dari ATP. Gula
atau fotosintat hasil fotosintesis akan digunakan oleh tanaman untuk pembentukan
organ-organ tanaman. Fosfor juga merupakan salah satu unsur pembentuk phytin
yaitu bentuk senyawa P utama yang disimpan dalam tanaman. Phytin terdapat
sekitar 50% pada tanaman legume dan 60—70% pada tanaman biji-bijian. Fosfor
disimpan dalam bentuk phytin di dalam tanaman (Maschner, 1995).
Energi bebas yang digunakan selama proses glikolisis, respirasi atau
proses metabolisme yang lain berasal dari fosforilasi ATP menjadi ADP
(ATP

ADP + Pi), dimana Pi baik sebagai subtrat dan/atau produk akhir

mengontrol beberapa reaksi enzim. Selain itu ATP juga dibutuhkan sebagai tenaga
penggerak berbagai reaksi kimia pada tanaman. Energi dari fosforilasi ATP juga
dibutuhkan pada proses transport aktif hara menembus membran sebagai aktivator
protein dan pada proses primary active transport dan secondary active transport
untuk pompa proton (H+ pump) (Maschner, 1995; Nagy et al., 2005)
Fosfor di dalam tanah berbentuk P organik dan P inorganik
(Hardjowigeno, 2003). P organik di dalam tanah terdapat sekitar 50% dari P total
tanah dan bervariasi sekitar 15—80% pada kebanyakan tanah. Kebanyakan
senyawa P organik adalah ester dari asam fosfat (H2PO4) dan telah diidentifikasi
terutama seperti inositol fosfat, fosfolipid dan asam nukleat. Diperkirakan
proporsi senyawa ini dalam total P organik adalah inositol fosfat 10—30%,
fosfolipid 1—5%, dan asam nukleat 0,2—2,5% (Havlin et al., 1999).

13

Senyawa P organik yang tertinggal di dalam tanah berasal dari
mikroorganisme, terutama berasal dari dinding sel bakteri yang diketahui
mengandung sejumlah ester yang sangat stabil. Fosfor organik dalam tanah juga
bersumber dari residu tanaman dan hewan, yang didegradasi oleh mikroorganisme
menghasilkan senyawa P organik dan melepaskan P inorganik. Proses perubahan P
organik dan P inorganik yang disebut dengan mineralisasi dan immobilisasi terjadi
secara terus menerus di dalam tanah, dan merupakan proses yang berhubungan
dengan mikroba (Havlin et al., 1999).
Fosfat inorganik dalam larutan yang tidak diserap oleh akar tanaman atau
diimmoblisasi oleh mikroorganisme dapat terjerap pada permukaan mineral (P
labil) atau diendapkan sebagai senyawa P sekunder. Kebanyakan fiksasi P
inorganik tergantung pada beberapa faktor, yang paling penting adalah pH tanah.
Pada tanah-tanah masam, P inorganik diendapkan sebagai mineral sekunder
Fe/Al-P dan atau terjerap di permukaan oksida hidroksida Fe/Al dan mineral fiat
(Willet et al., 1996; Tan, 1998).
Pada tanah-tanah masam, permukaan mineral mempunyai muatan positif,
dan segera menarik H2PO4 dan anion-anion lain. Ion-ion P terjerap pada
permukaan Fe/Al oksida oleh interaksi dengan kelompok OH- dan atau OH2+ pada
permukaan mineral (Wiliet et al., 1996; Havlin et al., 1999). Bila ion orthofosfat
terikat melalui satu ikatan Al-O-P, H2PO4 disebut labil dan dapat segera
dilepaskan dari permukaan mineral ke larutan tanah. Bila dua ikatan Al-O dengan
H2PO4 terjadi akan terbentuk ikatan stabil, akibatnya pelepasan menjadi lebih sulit
dan H2PO4 disebut non labil.
Tananan umumnya hanya menyerap P inorganik dalam bentuk ion H2PO4atau HPO42-. Kelarutan ion-ion tersebut sangat tergantung pada pH tanah, dimana
kelarutannya semakin meningkat dengan meningkatnya pH tanah. Ketersediaan
ion H2PO4- atau HPO42- maksimum pada pH 6-7.2, jika pH di atas 8.3 maka P akan
terikat oleh unsur Ca atau Mg. Pada tanah-tanah dengan pH rendah, unsur P tidak
tersedia

akibat

tingginya

kelarutan

unsur

aluminium

(Al)

dan

besi

(Fe(hydro)oxides) yang memfiksasi P sehingga tidak mampu diserap tanaman
(Cardoso dan Kuyper, 2006; Liu, 2007).

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitan
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Tenjo, Kabupaten Bogor. Pengujian laboratorium dan
rumah kaca dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Research Group on Crop
Improvement (RGCI), Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakulta