Keragaan Planlet Dendrobium Lasianthera (Jj. Smith) Hasil Iradiasi Sinar Gamma Generasi Mv1

KERAGAAN PLANLET Dendrobium lasianthera (JJ. Smith)
HASIL IRADIASI SINAR GAMMA GENERASI MV1

AHMAD ARIF

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaan Planlet
Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) Hasil Iradiasi Sinar Gamma Generasi MV1
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Ahmad Arif
NIM A24110138

ABSTRAK
AHMAD ARIF. Keragaan Planlet Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) Hasil
Iradiasi Sinar Gamma Generasi MV1. Dibimbing oleh DINY DINARTI dan
SYARIFAH IIS AISYAH.
Dendrobium merupakan salah satu genus anggrek yang paling banyak
diminati oleh konsumen. Dendrobium lebih disukai karena bentuk dan warna
bunganya lebih bervariasi, daya tahan kesegaran bunganya lebih lama,
produktivitasnya tinggi dan harganya terjangkau. Salah satu anggrek dendrobium
spesies yang ada di Indonesia dan dipergunakan dalam penelitian ini adalah
Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) yang berasal dari Papua Nugini dengan ciri
khasnya berpetal keriting. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
keragaman karakter kuantitatif dan keragaan planlet Dendrobium lasianthera (JJ.
Smith) setelah aklimatisasi yang sebelumnya telah diiradiasi sinar gamma pada
kondisi in vitro dengan dosis 0, 20, 40, 60 dan 80 Gy. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menginduksi keragaman dan
berpengaruh nyata terhadap karakter kuantitatif yaitu jumlah daun, panjang daun,
lebar daun, tinggi tanaman, jumlah akar, panjang akar, ukuran stomata, kerapatan
stomata dan pengurangan jumlah kromosom. Pada keragaan tanaman juga terdapat
perubahan berupa bentuk daun, bentuk ujung daun, tekstur permukaan daun, simetri
daun dan tanaman roset.
Kata kunci: anggrek, keragaman, kromosom, karakter kuantitatif, stomata

ABSTRACT
AHMAD ARIF. Morphology of Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) Planlets from
Gamma Iradiation on MV1 Generation. Supervised by DINY DINARTI and
SYARIFAH IIS AISYAH.
Dendrobium is one of the orchid genus which is most favorable among
consumer. It is widely favorable because of more variation in flower color and
shape, flower shelf-life, high productivity and affordable price. One of dendrobium
orchid species of Indonesia used in this research was Dendrobium lasianthera (JJ.
Smith) originated from Papua Nugini with the special characteristic of its curled
petal. The objective of this research was to identify quantitative character variation
and morphology of Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) planlets after
acclimatization that had been iradiated on in vitro culture with the dosage 0, 20, 40,

60 and 80 Gy. The results showed that gamma ray iradiation could induce variation
and affected significantly toward quantitative characters such as number of leaf,
leaf length, leaf width, plant height, number of root, root length, stomata size,
stomata density and deletion of chromosome number. The morphology of plants
also changed in the shape of leaf and tip, texture of leaf surface, leaf symmetry and
rosette plants.
Keywords: chromosome, orchid, quantitative character, stomata, variation

KERAGAAN PLANLET Dendrobium lasianthera (JJ. Smith)
HASIL IRADIASI SINAR GAMMA GENERASI MV1

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016ARIF
AHMAD

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
yang dilaksanakan sejak Bulan Januari 2015 hingga Juni 2015 yaitu berjudul
Keragaan Planlet Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Generasi MV1.
Pertama-tama terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Diny Dinarti,
MSi dan Ibu Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MScAgr selaku dosen pembimbing yang
telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis hingga karya tulis ini
selesai. Prof. Dr. Ir Sudirman Yahya selaku pembimbing akademik yang telah
mendampingi dari awal kuliah hingga karya tulis ini selesai juga saya sampaikan
terima kasih. Selanjutnya terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga atas segala doa, bantuan materi ataupun non-materi, dukungan, motivasi
dan kasih sayangnya. Kepada Beasiswa BidikMisi saya ucapkan terima kasih atas
bantuan biaya pendidikan dan juga bantuan dana penelitian. Terima kasih juga
diberikan kepada bapak Edi dari Rumah Angle (Anggrek dan Lele) serta bapak Joko

dari Laboratorium Micro Technique Departemen Agronomi dan Hortikultura yang
telah membantu pada penelitian ini baik itu berupa fasilitas maupun ilmunya
sehingga berjalan dengan baik serta kepada teman-teman seperjuangan yang telah
membantu dalam pelaksanaan mulai dari awal penelitian hingga terselesaikannya
karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya.

Bogor, Maret 2016

Ahmad Arif

DAFTAR ISI
Daftar tabel
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Anggrek Dendrobium lasianthera (JJ. Smith)

Mutasi Induksi Sinar Gamma
Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Mutasi Kromosom
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Aklimatisasi dan Repotting
Pemeliharaan
Pengamatan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Karakter Kuantitatif
Karakter Pertumbuhan Vegetatif
Stomata
Kromosom
Karakter Kualitatif
Warna daun
Keragaan

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
4
5
5
5

5
5
6
6
7
8
8
10
10
14
17
19
19
20
24
24
24
25
27


DAFTAR TABEL
1. Persentase hasil analisis uji t-student 5% pada karakter pertumbuhan
vegetatif planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
2. Jumlah dan frekuensi hasil analisis uji t-student 5% pada
planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi yang berbeda sangat
nyata atau nyata pada keenam karakter pertumbuhan vegetatif
3. Persentase hasil analisis uji t-student 5% peubah stomata pada
planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
4. Jumlah dan frekuensi hasil analisis uji t-student 5% pada planlet
anggrek D. lasianthera hasil iradiasi yang berbeda sangat
nyata atau nyata pada semua peubah stomata
5. Hasil pengamatan jumlah kromosom pada beberapa planlet
anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
6. Hasil pengamatanpersebaran dan frekuensi warna daun pada planlet
anggrek D. lasianthera hasil iradiasi menggunakan mini RHS Color
Chart
7. Persebaran dan frekuensi bentuk daun pada planlet anggrek
D. lasianthera hasil iradiasi yang berbeda dengan kontrol
8. Persebaran dan frekuensi bentuk ujung daun pada planlet anggrek
D. lasianthera hasil iradiasi yang berbeda dengan kontrol

9. Persebaran dan frekuensi tanaman roset pada planlet anggrek
D. lasianhera hasil iradiasi

13

13
15

16
17

19
21
22
23

DAFTAR GAMBAR
Morfologi anggrek Dendrobium lasianthera (J.J Smith)
Grafik persentase hidup planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
Kondisi planlet anggrek D. lasianthera pada media tanam

Hama dan penyakit pada planlet anggrek D. lasianthera
Grafik perbandingan nilai ragam keenam karakter pertumbuhan
vegetatif pada planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
6. Grafik perbandingan nilai ragam stomata pada planlet
anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
7. Stomata pada planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
dengan kerapatan tertinggi dan terendah
8. Kromosom pada beberapa planlet anggrek D. lasianthera
kontrol dan hasil iradiasi yang diduga mengalami pengurangan
jumlah
9. Bentuk daun dan ujung daun yang berubah pada planlet
D. lasianthera hasil iradiasi yang diduga kromosomnya berkurang
10. Tanaman nomor 40.31 pada planlet anggrek D. lasianthera
hasil iradiasi yang memiliki dua warna daun berbeda
11. Bentuk daun pada planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
12. Bentuk ujung daun pada planlet anggrek D. lasianthera
hasil iradiasi
1.
2.
3.
4.
5.

3
9
9
10
12
14
16

18
19
20
21
22

13. Daun keriput pada planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
tanaman nomor 60.26
14. Daun asimetri pada planlet anggrek D. lasianthera tanaman
nomor 20.28
15. Tanaman roset pada planlet anggrek D. lasianthera hasil
iradiasi pada tiap dosis
16. Bentuk daun awalnya melengkung pada planlet anggrek
D. lasianthera hasil iradiasi tanaman nomor 60.43

23
23
23
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dendrobium adalah salah satu genus anggrek epifit yang ada di dunia
dengan keragaman spesies mencapai kurang lebih 900. Dendrobium menyebar luas
di China, Asia Tenggara, Indonesia, Korea, Jepang, Papua Nugini dan juga Oceania
dengan adaptasi yang tinggi terhadap ketinggian dan iklim. Dendrobium
merupakan jenis anggrek simpodial (Llamas 2003). Indonesia sendiri memiliki
spesies Dendrobium berjumlah 275 spesies. Spesies anggrek terbaik banyak
terdapat di Indonesia bagian timur seperti Papua dan Maluku. Dendrobium lebih
disukai karena bentuk dan warna bunganya lebih bervariasi, tahan lama
kesegarannya, bertangkai lentur, produktivitasnya tinggi dan harganya terjangkau
(Widiastoety et al. 2010). Dendrobium lebih dominan disukai oleh konsumen
sebagai anggrek potong dibanding anggrek jenis lain yaitu sebesar 34% diikuti oleh
anggrek Oncidium 26%, Cattleya 20%, Vanda 17% dan anggrek jenis lainnya
sebesar 3% (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2013).
Spesies Dendrobium yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) yang merupakan salah satu anggrek spesies
asli Indonesia yang berasal dari hutan dataran rendah Papua Nugini. Habitatnya
berada di sekitar aliran sungai dan hidup pada pohon-pohon dengan ketinggian yang
rendah. Spesies ini merupakan spesies yang paling menarik dalam section spatulata
dan juga salah satu yang paling sulit tumbuh karena membutuhkan lingkungan yang
panas dan kelembaban tinggi sepanjang waktu (Wood 2006). Oleh karena itu
diperlukan variasi baru anggrek D. lasianthera yang memiliki daya adaptasi yang
lebih baik dan toleran terhadap kondisi yang kurang oprimum.
Volume ekspor anggrek dari tahun 2012 hingga 2014 mengalami penurunan
sedangkan volume impornya turun pada tahun 2013 dengan nilai volume impor
sebesar 7.07 ton di tahun 2012 menjadi 5.018 ton di tahun 2013 dan pada tahun
2014 naik kembali menjadi 7.783 ton. Produksi anggrek dalam bentuk tangkai sejak
tahun 2012 hingga 2014 terus mengalami penurunan yaitu dari 20,727,891 tangkai
di tahun 2012 dan menjadi 19,739,627 di tahun 2014 (Kementan 2015). Data impor
yang masih tinggi dan produksi anggrek yang terus mengalami penurunan ini
memperlihatkan bahwa produksi anggrek di Indonesia masih kurang sehingga perlu
ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Widiastoety et al. (2010) pengembangan anggrek khususnya dendrobium
di Indonesia memiliki beberapa kendala yang harus dihadapi seperti terbatasnya
ketersediaan bibit unggul, pemanfaatan teknologi yang belum merata. Selain itu
dendrobium juga belum dimanfaatkan optimal untuk menghasilkan variasi baru.
Keragaman pada tanaman dapat diperoleh dengan mutasi induksi. Mutasi
induksi adalah mutasi yang dilakukan dengan bantuan manusia untuk
meningkatkan peluang terjadinya mutasi. Mutasi sebenarnya terjadi secara alami di
alam namun peluang kejadiannya sangat kecil yaitu berkisar 10-7-10-6. Oleh karena
itu perlu dilakukan mutasi induksi baik dengan mutagen kimia, fisik ataupun
biologis. Mutagen fisik dengan sinar gamma lebih sering digunakan karena
memiliki daya tembus yang lebih tinggi dibandingkan mutagen lain sehingga
peluang terjadinya mutasi lebih besar (Aisyah 2013).

2
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cahyo (2015) pada
kultur in vitro Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) hasil iradiasi sinar gamma
menyatakan bahwa iradiasi dapat menurunkan pertumbuhan plb hidup dan
berkecambah, jumlah akar, serta jumlah daun. Berdasarkan pengamatan pada
planlet juga diperoleh perubahan ukuran dan bentuk daun. Bentuk daun ada yang
spiral dan melebar. Keragaman paling tinggi secara fenotip terlihat pada dosis 60
Gy dan 80 Gy sedangkan Lethal dose 30% (LD30) berada pada dosis 19.7697 Gy
dan LD50 berada pada dosis 67.3504 Gy.
Oleh karena itu penelitian lanjutan pada planlet anggrek Dendrobium
lasianthera hasil iradiasi sinar gamma ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi
pertumbuhan dan perkembangannya setelah aklimatisasi. Selain itu analisis lebih
lanjut seperti mengamati keragaan, kromosom dan stomata juga harus dilakukan
untuk melihat keragaman yang ditimbulkan sehingga dapat dilakukan evaluasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengidentifikasi keragaman
karakter kuantitatif dan keragaan planlet Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) yang
telah diiradiasi dengan sinar gamma pada tahap setelah aklimatisasi.
Hipotesis
Iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata dan menimbulkan keragaman pada
karakter kuantitatif planlet anggrek Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) dan
terdapat perubahan keragaan tanaman pada tahap setelah aklimatisasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Anggrek Dendrobium lasianthera (JJ. Smith)
Dendrobium merupakan salah satu suku terbesar dalam keluarga anggrek
dengan dua genera utama yaitu Dendrobium dengan 900 spesies dan Eria 400
spesies. Genus Dendrobium mempunyai distribusi dan sebaran yang luas dari mulai
Korea dan Jepang melewati daerah Indo-Malaya menuju daerah Papua Nugini,
Australia dan pulau-pulau di pasifik. Papua Nugini dianggap sebagai pusat
pengembangan Dendrobium dikarenakan terdapat banyak sekali spesies terbaik di
sana. Genus Dendrobium telah dibagi ke dalam 20 sections untuk memudahkan
pengelompokannya. Salah satu sectionnya adalah Spatulata atau Ceratobium yang
biasa disebut dendrobium bertanduk dan berantena karena bentuk petal dorsalnya.
Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) merupakan salah satu spesies dalam section
Spatulata yang merupakan spesies asli Papua Nugini. D. lasianthera bisa tumbuh
tinggi hingga 3 meter. Tangkai bunganya memiliki panjang 40 cm. Diameter
bunganya bisa mencapai 6.5 cm dengan petal menggulung keriting dan sempit.
Sepalnya menggulung dan menekuk satu kali ke arah belakang membentuk sisi

3
yang terlipat yang dapat dilihat pada Gambar 1. Warna umum bunganya adalah
coklat. Labelumnya besar dan berwarna ungu (Soon 2005).
D. lasianthera (JJ. Smith) memiliki sinonim D. ostrinoglossum yang
ditemukan kembali oleh Lawler dan Millar tahun 1976 yang sebelumnya ditemukan
oleh Feddes Report pada tahun 1932. D. lasianthera mungkin merupakan spesies
paling menarik dalam section spatulata dan juga salah satu yang paling sulit
tumbuh. Pseudobulb berukuran 110 cm x 5 mm dengan daun berukuran 8 x 2.5 cm.
Pembungaannya lateral dengan jumlah bunga sampai 30 bunga dalam satu tangkai.
Bunganya bertahan hingga 12 minggu dengan waktu perkembangan bunga yang
beragam. Pada habitat aslinya spesies ini tumbuh di lingkungan berawa dan basah
pada ketinggian hingga 100 m. Oleh karena itu dalam pemeliharaannya dibutuhkan
lingkungan yang sangat spesifik dengan kondisi panas, basah dan kelembaban
tinggi sepanjang waktu (Wood 2006).

Gambar 1 Morfologi anggrek Dendrobium lasianthera (J.J Smith)
Sumber foto : (a) Howard Page Wood - 2006, (b) Lembaga
Biologi Nasional LIPI - 1979

Mutasi Induksi Sinar Gamma
Sinar gamma dan sinar X merupakan mutagen yang umumnya paling
banyak digunakan di antara mutagen lain dalam pemuliaan mutasi. Sejak 40 tahun
lalu induksi mutasi menggunakan sinar gamma telah menjadi sangat lazim
digunakan sementara penggunaan sinar X sudah dikurangi secara signifikan.
Penggunaan sinar gamma lebih disukai karena ketersediaan dan fleksibilitas
penggunaannya luas seperti bidang medis, pemuliaan mutasi dan makanan (Mba
dan Shu 2011). Selain itu sinar gamma juga disukai karena kemudahan aplikasi,
keamanan, daya tembus tinggi, bisa diproduksi kembali dengan cepat, peluang
translokasi tinggi dan sedikit limbah zat radioaktif (Wang et al. 2011)
Sinar gamma saat ini adalah agen mutasi yang paling banyak disukai. Sinar
gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah radiasi alfa dan beta
yang ditemukan sebelumnya oleh E. Rutherford dan F. Soddy. Sinar gamma berasal
dari inti atom dan dapat dihasilkan oleh inti yang tidak stabil. Sinar gamma adalah

4
radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek. Sinar gamma bukan
partikel dan tidak memerlukan energi listrik. Kekuatan menembusnya yang besar
membuatnya berbahaya. Sinar gamma dapat digunakan untuk mengiradiasi bagian
tanaman dengan skala jangkauan lebar seperti benih, bunga, anther, polen,
protoplas dan tanaman utuh ataupun sebagian (Harten 1998).

Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cahyo (2015) pada
kultur in vitro Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) hasil iradiasi sinar gamma
menyatakan bahwa iradiasi dapat menurunkan pertumbuhan plb hidup dan
berkecambah, jumlah akar, serta jumlah daun. Berdasarkan pengamatan pada
planlet juga diperoleh perubahan ukuran dan bentuk daun. Bentuk daun ada yang
spiral dan melebar. Keragaman paling tinggi secara fenotip terlihat pada dosis 60
dan 80 Gy sedangkan LD30 berada pada dosis 19.7697 Gy dan LD50 berada pada
dosis 67.3504 Gy. Semakin besar dosis iradiasi sinar gamma maka kemampuan
tumbuh plb Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) semakin kecil.
Hasil yang serupa diperoleh dari penelitian Suwarno et al. (2013) pada
planlet anggrek Phalaeonopsis amabilis L. var. Jawa Candiochid. Semakin tinggi
dosis iradiasi yang diberikan maka jumlah akar dan daun menurun. Pada penelitian
radiasi pada anggrek Phalaenopsis amabilis yang dilakukan Widiarsih dan
Dwimahyani (2013) juga menunjukkan bahwa radiasi berpengaruh terhadap persen
hidup, pembentukan malformasi daun variegata dan pembungaan berumur genjah.
Mutan Phalaenopsis amabilis mampu berbunga 13 bulan setelah aklimatisasi
dengan warna dan bentuk bunga yang sama seperti tipe kontrol.

Mutasi Kromosom
Mutasi struktural terjadi sebagai akibat dari pematahan kromosom yang
terjadi secara spontan atau melalui induksi buatan. Empat tipe mutasi struktural
pada kromosom umumnya dibedakan menjadi delesi atau defisiensi, duplikasi,
inversi dan translokasi. Mutasi ini dikelompokkan menjadi chromosome
rearrangement atau biasa disebut aberasi kromosom. Mutasi struktural mayoritas
terjadi karena kehilangan sebagian kecil atau besar segmen kromosom. Delesi atau
defisiensi kromosom umumnya terjadi pada saat segmen kromosom dan informasi
genetik dalam segmen tersebut hilang. Diperkirakan sedikitnya 90% dari mutasi
induksi hasil radiasi mengarah ke delesi. Kata delesi umumnya dipakai pada
kehilangan segmen kromosom terminal dan internal. Perbedaan pematahan
terminal dan internal adalah delesi terminal terjadi hanya pada satu pematahan
kromosom sedangkan internal diperlukan dua pematahan kromosom. Delesi tidak
hanya menyebabkan kehilangan beberapa gen tapi juga bisa kehilangan lengan
kromosom lengkap yang membawa banyak gen. Mutasi gen bisa balik lagi ke gen
tipe liarnya sedangkan delesi kromosom tidak. Radiasi ionisasi seperti sinar X,
neutron dan gamma adalah cara efektif untuk menginduksi delesi. Delesi kadang
bersifat mematikan khususnya ketika pada generasi selanjutnya kedua kromosom
homolog membawa delesi yang sama (Harten 1998).

5

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Rumah Angle (Anggrek dan Lele) dan
laboratorium Micro Technique Departeman Agronomi dan Hortikultura, Institut
Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor yang berlangsung pada Bulan Januari 2015
hingga Juni 2015.

Bahan dan Alat
Planlet Dendrobium lasianthera (JJ. Smith) hasil iradiasi sinar gamma yang
plb-nya telah diiradiasi sebelumnya dan ditumbuhkan pada kondisi in vitro oleh
Cahyo (2014) hingga siap diaklimatisasi pada dosis 0, 20, 40, 60 dan 80 Gy dengan
jumlah planlet masing-masing dosis sebanyak 20, 70, 39,54 dan 21 planlet. Media
tanam yang digunakan adalah spaghnum moss dan akar pakis. Bahan yang
digunakan berupa pupuk daun dengan kandungan N:P:K 20:20:20, NaClO (clorox),
vitamin B1 starter, bakterisida streptomisin sulfat, fungisida mankozeb, insektisida
berbahan aktif lamda sihalotrin 25EC, HCl 1 % dan orcein 2 %.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah nampan semai 50 lubang,
pot individu, label, mini sprayer, mini RHS color chart, mikroskop cahaya, gelas
objek, kaca preparat, cover glass, pipet, selotip bening, kuteks bening, pensil
berpenghapus, pinset dan silet.

Prosedur Penelitian
Aklimatisasi dan Repotting
Aklimatisasi planlet anggrek dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
sterilisasi media tanam, pengeluaran planlet dari botol kultur, pembersihan planlet,
perendaman dan penanaman. Media tanam spaghnum moss direndam dalam larutan
NaClO konsentrasi 0.00525% selama 3 jam untuk sterilisasi setelah itu dibilas
dengan air. Selanjutnya planlet anggrek dikeluarkan dengan hati-hati menggunakan
pinset dan agar-agar yang tersisa pada akar dibersihkan dengan air sampai tidak ada
yang tersisa. Setelah itu planlet direndam dalam larutan bakterisida streptomisin
sulfat 0.2 g L-1, fungisida mankozeb 0.8 g L-1 dan vitamin B1 starter 2 ml L-1 selama
3 menit. Setelah itu planlet ditanam menggunakan spaghnum moss dalam nampan
semai dan diberi label. Pemberian label pada tiap individu tanaman dilakukan
dengan menyebutkan dosis terlebih dahulu baru setelah itu diikuti oleh urutan
tanaman misalnya tanaman pertama dosis 20 Gy diberi label 20.1, lalu tanaman
kedua diberi label 20.2 dan seterusnya. Pada saat mencapai usia 3 bulan dilakukan
repotting ke pot individu agar pertumbuhan optimum menggunakan media akar
pakis. Prosedur yang digunakan dalam repotting sama dengan saat aklimatisasi
yaitu sebelum ditanam planlet direndam dalam bakterisida, fungisida dan vitamin
B1 starter.

6
Pemeliharaan
Pemeliharaan anggrek di dalam greenhouse terdiri dari penyiraman,
pengendalian hama penyakit dan pemupukan. Penyiraman dilakukan bergantung
pada kondisi cuaca dan kelembaban media. Penyiraman dilakukan pada pagi atau
sore hari. Saat menggunakan spaghnum moss penyiraman diberikan 3 hari sekali
sedangkan pada media pakis diberikan setiap hari. Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan dengan menyemprotkan bakterisida streptomisin sulfat 0.2 g L-1 dan
fungisida mankozeb 0.8 g L-1 tiap minggu. Pada saat di media pakis diaplikasikan
tambahan pestisida berupa insektisida berbahan aktif lamda sihalotrin 25EC 2 ml
L-1 setiap 1 bulan. Pemupukan diberikan lewat daun tiap minggu menggunakan
pupuk daun dengan kandungan N:P:K 32:10:10 dengan dosis 2 g L-1 yang digabung
dengan vitamin B1 2 ml L-1.
Pengamatan
Data yang diamati pada penelitian terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif.
Data kuantitatif terdiri dari karakter pertumbuhan vegetatif, stomata dan kromosom
sedangkan data kualitatif terdiri dari morfologi daun dan warna daun. Pengamatan
dilakukan pada setiap individu tanaman.
A. Data kuantitatif :
1. Persentase hidup planlet : diamati setiap minggu dengan rumus

�ℎ � �
ℎ�
) x 100%
(




2. Jumlah daun : diamati setiap dua minggu pada daun yang telah membuka
sempurna
3. Panjang daun : diamati setiap dua minggu pada daun terpanjang dan diukur
dari duduk daun sampai ujung daun (cm)
4. Lebar daun : diamati setiap dua minggu pada daun yang sama dengan daun
terpanjang dan diukur pada bagian daun terlebar (cm)
5. Tinggi tanaman : diamati setiap dua minggu dan diukur dari permukaan
media sampai ujung daun tertinggi dengan meluruskan daun (cm)
6. Jumlah akar : diamati pada akhir penelitian
7. Panjang akar : diamati pada akhir penelitian pada akar terpanjang (cm)
8. Kerapatan dan ukuran stomata : diamati pada akhir penelitian
Pengamatan stomata menggunakan preparat kering yaitu menggunakan
metode kuteks. Sampel daun yang diambil yaitu daun yang berada di tengah
dan diamati pada bagian bawah daun. Kuteks diolesi pada daun tengah
bagian bawah lalu dibiarkan kering selama kurang lebih tiga menit. Setelah
itu solatip ditempelkan dengan ukuran lebih besar dari bidang olesan pada
bidang yang diolesi lalu solatip dicabut dan ditempelkan pada preparat yang
telah diberi label. Kemudian ukuran dan kerapatan dapat diamati pada
mikroskop.
Ukuran stomata berupa panjang dan lebar diukur dengan menggunakan
bantuan software komputer DP2-BSW. Kerapatan stomata dihitung secara
manual pada perbesaran 40x10 dengan tiga kali ulangan setelah itu dapat
dikonversikan menjadi jumlah stomata per mm2 dengan menggunakan
rumus yaitu:
Kerapatan stomata =

Jumlah stomata
luas bidang pandang

7

Keterangan:
Luas bidang pandang pada perbesaran 40x10 = 0.19625 mm2
9. Jumlah kromosom : diamati pada akhir penelitian
Tanaman yang diamati kromosomnya adalah tanaman yang
menunjukkan perbedaan besar pada karakter kuantitatif seperti karakter
pertumbuhan vegetatif, stomata, morfologi daun dan warna daun. Sampel
ujung akar hanya diambil pada tanaman yang memiliki perakaran yang
sehat, subur dan tidak boleh mengambil lebih dari dua ujung akar untuk
menghindari kematian tanaman. Pengamatan kromosom dilakukan dengan
metode Griesbach (1981) menggunakan bahan sampel dari ujung akar.
Ujung akar yang dijadikan sampel adalah ujung akar yang masih baru
dengan ciri berwarna hijau atau putih segar.
Prosedur pembuatan preparat yaitu sampel akar ujung akar diambil
sepanjang 0.5-1 cm. Setelah itu dimasukkan dalam tube yang berisi HCL
1 %. Ujung akar lalu dipanaskan dalam waterbath suhu 60o C selama 2
menit kemudian dipindahkan ke dalam gelas arloji dengan posisi ujung akar
di bagian dalam gelas arloji. Setelah itu ujung akar tersebut ditetesi orcein
2%. Ujung akar dibiarkan selama kurang lebih satu jam lalu ujungnya
dipotong dengan silet sebesar 1 mm setelah itu diletakkan pada kaca
preparat dan ditutupi cover glass lalu cover glass tersebut ditekan dengan
ujung pensil berpenghapus dan kromosom dapat segera diamati di
mikroskop. Gambar terbaik kemudian dapat difoto dan diperjelas
gambarnya dengan menggunakan aplikasi komputer adobe photoshop.
B. Data kualitatif
Data kualitatif morfologi daun diamati menurut Panduan Karakterisasi
Anggrek Balithi (2007) sedangkan warna daun diamati menggunakan mini RHS
Color Chart. Daun yang dijadikan sampel adalah daun ke-6 namun jika tidak
ada maka diamati pada daun ke-4 atau ke-5. Pengamatan pada daun diamati
pada akhir penyamatan yaitu bulan ke-6 meliputi:
1. Bentuk daun
2. Bentuk ujung daun
3. Bentuk tepi daun
4. Tekstur permukaan daun
5. Simetri daun
6. Warna daun
Analisis Data
Rancangan lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu dosis iradiasi sinar
gamma pada 0, 20, 40, 60 dan 80 Gy. Setiap individu tanaman merupakan satuan
amatan. Model linear aditif rancangan percobaan RAL menurut Mattjik dan
Sumertajaya (2013) adalah:
Yij = μ + αi + εij
Keterangan:
Yij
: Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
: Rataan umum

8
αi
εij

: Pengaruh perlakuan ke-i
: Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan menghitung nilai ragam
(σ2) pada masing-masing dosis menggunakan software microsoft excel lalu setelah
itu menggunakan uji t-student 5% dengan cara membandingkan nilai suatu individu
tanaman dengan nilai rata-rata kontrol dengan bantuan software STAR (Statistical
Tools for Agricultural Research). Data kualitatif disimpulkan secara deskriptif.
σ2 =
Keterangan:
:
σ2
Ragam
Xi
: Data ke-i

: Nilai rata-rata
N
: Jumlah populasi tanaman





�=

Xi – �

�−1

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Masa aklimatisasi adalah periode kritis dimana planlet harus beradaptasi
dengan lingkungan di luar botol agar dapat bertahan hidup. Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi bergantung pada suhu dan kelembaban
udara serta intensitas cahaya (Zulkarnain 2009). Gambar 2 menunjukkan semua
populasi planlet pada semua dosis iradiasi dapat hidup di minggu pertama hingga
ke-3 kecuali pada beberapa tanaman pada dosis 60 Gy. Pada minggu ke-4 mulai
terjadi penurunan persentase hidup yaitu pada dosis 20, 60 dan 80 Gy. Penurunan
tersebut juga terjadi pada semua dosis pada minggu ke-5 hingga minggu terakhir.
Pada minggu ke-24 persentase planlet hidup berturut dari yang tertinggi yaitu 0, 20,
60, 80 dan 40 Gy.
Pada umumnya semakin besar dosis iradiasi maka kerusakan fisiologis yang
terjadi pada sel dan jaringan tumbuhan semakin tinggi sehingga menyebabkan
kematian. Namun kematian pada saat di green house lebih banyak disebabkan oleh
faktor eksternal yaitu lingkungan tumbuh dibandingkan pengaruh iradiasi
(Widiarsih dan Dwimahyani 2013). Penurunan persentase hidup planlet pada media
pakis disebabkan karena media tersebut memiliki kekurangan yaitu kurang bisa
menjaga kelembaban seperti media spaghnum moss. Selain itu menurut Purwanto
dan Semiarti (2009) media pakis sangat disukai semut dan hewan-hewan kecil
lainnya bahkan juga mikroorganisme. Hewan kecil tersebut dapat merusak tanaman
dan membawa bibit penyakit seperti cendawan dan bakteri sehingga tanaman mati.
Namun media spaghnum moss juga memiliki kekurangan yaitu harganya
relatif mahal seiring dengan pertumbuhan tanaman yang semakin besar dan juga
jika tanaman terlalu lama pada media tersebut akan mengakibatkan akar busuk.
Oleh karena itu penggunaan media pakis harus diiringi dengan perlakuan yang

9
sesuai untuk menjaga kelembaban dan mengendalikan hama. Planlet pada media
spaghnum moss dan pakis dapat dilihat pada Gambar 3.
Kematian planlet disebabkan oleh bakteri, cendawan dan hama yang
menyerang pada akar, batang dan daun. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri
adalah penyakit busuk lunak, busuk pucuk batang dan bercak coklat. Penyakit
busuk lunak dan busuk pucuk batang disebabkan oleh Erwinia caratovora. Bakteri
ini mulai menyerang pada daun dan dengan cepat menyebar ke batang, pucuk dan
akar. Penyakit oleh bakteri Erwinia caratovora tersebut terjadi sepanjang penelitian
ini. Penyakit lain yang ditemukan adalah bercak coklat yang disebabkan
Pseudomonas sp. yang ditandai dengan bercak kecoklatan, lunak dan berair.
Penyakit yang disebabkan oleh cendawan yang ditemukan pada penelitian ini
adalah busuk akar dan busuk coklat. Busuk akar disebabkan oleh Rhizoctonia solani
dan juga oleh kelembaban media yang tinggi. Penyakit busuk coklat disebabkan
oleh Sclerotium rolfsii dengan gejala akar, pseudobulb dan pangkal daun akan
membusuk berwarna kuning kecoklatan.
Serangan hama yang ditemukan pada penelitian ini adalah kutu parlatoria
(Parlatoria proteus), kutu putih (Pseudococcus sp.) dan semut. Pada media
spaghnum moss ditemukan kutu parlatoria yang menyebabkan gugur daun
sedangkan kutu putih dan semut ditemukan pada media pakis yang menyerang akar,
bawah daun dan titik tumbuh. Beberapa hama dan penyakit dapat dilihat pada
Gambar 4.

Persentase hidup (%)

0 Gy

20 Gy

40 Gy

60 Gy

80 Gy

100
95
90
85
80
75
70
65
60
55
50
1 2

3 4

5 6 7

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Minggu ke-

Gambar 2 Grafik persentase hidup planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi

Gambar 3 Kondisi planlet anggrek D. lasianthera pada media tanam
(a) Spaghnum moss, (b) akar pakis

10

Gambar 4 Hama dan penyakit pada planlet anggrek D. lasianthera (a) kutu putih
Pseudococcus sp., (b) bercak cokelat Pseudomonas sp., (c) busuk lunak
bakteri Erwinia caratovora, (d) busuk coklat oleh Sclerotium rolfsii,
(e) bercak cokelat oleh Pseudomonas sp.

Karakter Kuantitatif
Karakter Pertumbuhan Vegetatif
Penghitungan nilai ragam dilakukan untuk melihat keragaman pada karakter
pertumbuhan vegetatif yaitu jumlah daun, panjang daun, lebar daun, tinggi
tanaman, jumlah akar dan panjang akar pada tiap dosis iradiasi dan kontrol.
Berdasarkan Gambar 5 yang memperlihatkan nilai ragam jumlah daun, panjang
daun, lebar daun, tinggi tanaman dan jumlah akar menunjukkan bahwa nilai ragam
kontrol yaitu dosis 0 Gy berada pada nilai terendah pada setiap pengamatan kecuali
pada panjang akar ragam dosis 0 Gy berada di tengah-tengah dibandingkan dosis
lain.
Pada karakter jumlah daun nilai ragam tertinggi berada pada dosis 80 Gy
diikuti oleh dosis 40 Gy. Nilai pada dosis 20 dan 60 Gy nilainya hampir sama dan
saling berpotongan namun pada pengamatan terakhir nilai dosis 60 Gy lebih tinggi
dari 20 Gy. Pada dosis 80 Gy jumlah daun bervariasi dari yang pertumbuhan jumlah
daunnya lambat hingga ada yang pertambahan jumlah daunnya cepat hingga normal
karena pengaruh iradiasi dosis tinggi (Gambar 5a). Karakter panjang daun nilai
ragamnya dari yang tertinggi hingga terendah yaitu pada dosis 60, 40, 20 dan 80
Gy (Gambar 5b). Selanjutnya karakter lebar daun nilai ragam tertinggi terjadi di
dosis 80 Gy diikuti dosis 20, 40 dan 60 Gy (Gambar 5c). Pada karakter tinggi
tanaman nilai ragam tertinggi juga berada pada dosis 60 Gy lalu diikuti 80, 40 dan
20 Gy (Gambar 5d). Pada karakter tinggi tanaman dosis 60 Gy ada yang terhambat

11
pertumbuhannya karena ada tanaman roset yang pertumbuhan tingginya terhambat
serta terdapat tanaman yang tumbuh tinggi dengan cepat ataupun lambat.
Nilai ragam pada karakter jumlah akar memperlihatkan bahwa pada dosis
40 Gy nilainya paling tinggi diikuti 60, 80 dan 20 Gy. Perbedaan nilai ragam jumlah
akar 40 Gy sangat besar dibandingkan dengan dosis iradiasi lainnya (Gambar 5e).
Selain itu pada karakter panjang akar juga terdapat perbedaan yang tinggi antara
dosis yang nilai ragamnya paling tinggi yaitu dosis 20 Gy diikuti, 40, 60, 0 dan 80
Gy (Gambar 5f).
Pada penelitian Cahyo (2015) pada D. Lasianthera kondisi in vitro dimana
nilai LD50 berada pada dosis 67.3504 yang berarti keragaman tertinggi dan potensi
mutan putatif terbanyak berada pada dosis sekitar LD50. Pada penelitian ini nilai
ragam tertinggi pada tiap karakter pertumbuhan vegetatif terjadi pada dosis 80, 60,
40 dan 20 Gy. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman tinggi dapat terjadi di luar
dosis LD50. Namun keragaman yang tinggi pada karakter pertumbuhan vegetatif
belum bisa dijadikan sebagai indikator terbentuknya mutan karena karakter tersebut
banyak dipengaruhi gen dan lingkungan. Selain itu keragaman karakter
pertumbuhan vegetatif tersebut dikarenakan efek radiasi langsung oleh sinar
gamma berupa reduksi pertumbuhan. Menurut Sobir dan Syukur (2015) keragaman
karakter kuantitatif merupakan hasil dari interaksi gen-gen minor dengan
lingkungan.
Iradiasi dapat menginduksi keragaman genetik yang disebabkan oleh
kerusakan DNA, protein dan enzim yang berpengaruh terhadap proses fisiologi dan
biokimia. Perubahan morfologi, fisiologi dan fungsional berkorelasi dengan
lamanya iradiasi. Efek biologis radiasi bisa muncul pada berbagai tahap
pertumbuhan seperti pembelahan sel yang abnormal, kematian sel, mutasi,
kegagalan pembentukan jaringan dan organ dan reduksi pertumbuhan tanaman
(Lagoda 2011).
Menurut Sulistianingsih et al. (2012) pada penelitiannya mengenai variasi
genetik Phalaenopsis amabilis hasil iradiasi menunjukkan bahwa keragaman
genetik yang besar dapat diperoleh dengan iradiasi sinar gamma. Keragaman
tersebut merupakan tanda bahwa iradiasi dapat mengubah tanaman dan juga
merupakan kunci sukses dari pemuliaan tanaman.
Berdasarkan hasil uji t-student pada Tabel 1 pada enam karakter
pertumbuhan vegetatif, tanaman umumnya menunjukan respon yang sangat nyata
lebih dari 50 % populasi pada semua dosis iradiasi, selain itu hasil yang nyata
berkisar antar 4 – 16%. Hal ini serupa dengan penelitian Faradilla (2008) pada
tanaman anthurium yang menunjukkan bahwa hasil iradiasi berpengaruh nyata
terhadap peubah jumlah daun, panjang daun, lebar daun dan tinggi tanaman. Pada
penelitian Romeida (2012) pada anggrek Spathoglottis plicata yang diiradiasi
menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang nyata
terhadap tinggi tanaman, panjang daun dan lebar daun.
Hasil uji t-student kemudian dipisahkan menjadi tanaman yang memiliki
hasil uji t-student sangat nyata atau nyata pada semua karakter. Hasilnya adalah
jumlah tanaman yang seluruh karakter pertumbuhan vegetatifnya berbeda nyata
ditemukan pada pada dosis 20 Gy diikuti 60, 40 dan 80 Gy. Semakin banyak jumlah
tanaman yang hidup maka semakin banyak jumlah tanaman yang berbeda sangat
nyata atau nyata pada karakter yang diuji. Namun berdasarkan frekuensi
keseluruhan jumlah tanaman dosis 80 Gy mempunyai nilai yang paling tinggi
diikuti 40, 60 dan 20 Gy (Tabel 2).

12

Gambar 5 Grafik perbandingan nilai ragam keenam karakter pertumbuhan
vegetatif pada planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
(a) Jumlah daun, (b) Panjang daun, (c) Lebar daun,
(d) Tinggi tanaman, (e) Jumlah akar, (f) Panjang akar.

13
Tabel 1 Persentase hasil analisis uji t-student 5% pada karakter pertumbuhan
vegetatif planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
Karakter
Dosis (Gy)
Rata-rata (cm)
**
*
tn
0
4.3
20
4.5
66.07%
0.00%
33.93%
Jumlah
40
4.7
92.00%
0.00%
8.00%
daun
60
4.6
66.67%
0.00%
33.33%
80
4.5
78.57%
0.00%
21.43%
0
3.9
20
3.2
62.50%
10.71%
26.79%
Panjang
40
3.2
64.00%
8.00%
28.00%
daun
60
3.7
65.91%
6.82%
27.27%
80
2.8
71.43%
0.00%
28.57%
0
1.6
20
1.4
66.07%
3.57%
30.36%
Lebar
40
1.3
64.00%
12.00%
24.00%
daun
60
1.5
52.38%
14.29%
33.33%
80
1.2
78.57%
7.14%
14.29%
0
5.1
20
4.1
66.07%
5.36%
28.57%
Tinggi
40
4.1
64.00%
8.00%
28.00%
tanaman
60
4.7
57.14%
16.67%
26.19%
80
3.5
78.57%
7.14%
14.29%
0
11.0
20
10.0
64.29%
0.00%
35.71%
Jumlah
40
12.4
80.00%
0.00%
20.00%
akar
60
13.6
71.43%
0.00%
28.57%
80
10.2
92.86%
0.00%
7.14%
0
4.0
20
3.6
69.64%
7.14%
23.21%
Panjang
40
3.2
68.00%
8.00%
24.00%
akar
60
3.4
61.90%
4.76%
33.33%
80
2.8
50.00%
7.14%
42.86%
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata uji t-student taraf 5%, * = berbeda nyata uji t-student taraf
5%, tn = tidak berbeda nyata uji t-student taraf 5%.

Tabel 2 Jumlah dan frekuensi hasil analisis uji t-student 5% pada planlet anggrek
D. lasianthera hasil iradiasi yang berbeda sangat nyata atau nyata pada
keenam karakter pertumbuhan vegetatif
Dosis (Gy)
Jumlah
Frekuensi
20
14
25.00%
40
8
32.00%
60
12
28.57%
80
5
35.71%

14
Stomata
Nilai ragam karakter stomata pada ukuran berupa panjang dan lebar
menunjukan pola yang sama dilihat dari dosis yang memiliki nilai ragam tertinggi
sampai terendah. Panjang dan lebar stomata memiliki ragam tertinggi pada dosis 40
Gy diikuti oleh 60, 20, 80 dan 0 Gy (Gambar 6a). Dosis 40 Gy mempunyai panjang
stomata terkecil 24129.41 nm dan terbesar 43050.53 nm jika dibandingkan dengan
rata-rata kontrol yang nilainya 35567.45 nm. Selanjutnya pada lebar stomata dosis
40 Gy nilai terendahnya 11892.69 nm dan tertinggi 33003.04 nm dengan rata-rata
kontrol sebesar 26154.72 nm. Nilainya yang cukup berbeda jauh dengan kontrol
bisa menimbulkan keragaman yang tinggi.
Pada kerapatan stomata dosis 80 Gy mempunyai nilai ragam paling tinggi
di atas nilai rata-rata dosis 0, 20, 40 dan 60 Gy (Gambar 6b). Kerapatan stomata
pada dosis 80 Gy rata-ratanya lebih tinggi dari dosis 0 Gy dan dosis lainnya. Selain
itu dapat dilihat pada Gambar 7 pada dosis 80 Gy juga terdapat tanaman dengan
nilai kerapatan yang paling tinggi pada tanaman 80.1 sebesar 95.5414 mm-2 dan
terendah pada tanaman 80.16 sebesar 22.42038 mm-2 dari semua dosis iradiasi
dengan nilai rata-rata kontrol sebesar 43.32409 mm-2. Pada tanaman 80.1
menunjukkan gejala terhambatnya pertumbuhan yaitu tanaman menjadi kerdil
sedangkan pada tanaman 80.16 tanaman menjadi roset, daun menebal dan
pertumbuhan terhambat yang dapat dilihat pada Gambar 7e dan 7f.
Stomata berperan dalam pertukaran CO2 dan penguapan air dari tanaman ke
lingkungan. Oleh karena itu stomata berperan penting pada saat pertukaran gas CO2
untuk fotosintesis dan kehilangan air melalui transpirasi. Hal ini berdampak pada
produktivitas fotosintesis dan rendemen hasilnya (Hopkins et al. 2008). Secara
tidak langsung kerapatan stomata yang sangat tinggi dan rendah juga membuat
pertumbuhan tanaman terhambat dan mati karena proses metabolismenya
terganggu. Keragaman tinggi pada kerapatan stomata diduga berpengaruh pada
karakter pertumbuhan vegetatif yang lain khususnya tinggi tanaman. Tinggi
tanaman memendek akibat tanaman menjadi roset, kerdil, daunnya menebal dan
pertumbuhannya terhambat seperti yang ditemukan pada dosis 80 Gy.

Gambar 6 Grafik perbandingan nilai ragam stomata pada planlet anggrek D.
lasianthera hasil iradiasi (a) Ukuran (panjang dan lebar), (b)
Kerapatan

15
Pada karakter stomata berupa panjang, lebar dan kerapatan di tiap-tiap dosis
umumnya memiliki persentase sangat nyata lebih dari 60% saat diuji dengan tstudent 5%. Panjang stomata terbanyak berbeda sangat nyata ada pada dosis 20 Gy
lalu setelah itu 40, 80 dan 60 Gy sedangkan pada lebar stomata dosis 80 Gy
memiliki persentase frekuensi yang sangat tinggi yaitu 87.50% diikuti oleh dosis
40, 20 dan 60 Gy (Tabel 3).
Pada kerapatan stomata diperoleh persentase tanaman yang berbeda sangat
nyata sebesar 60 hingga 72% dari total tanaman dengan frekuensi terbesar
ditemukan pada 20 Gy diikuti 40, 80 dan 60 Gy. Hasil ini menunjukkan bahwa
iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata terhadap panjang, lebar dan
kerapatan stomata. Pada karakter ukuran dan kerapatan stomata pengaruhnya
terjadi secara acak dikarenakan bisa terjadi penurunan dan peningkatan ukuran
maupun kerapatan pada berbagai dosis berdasarkan nilai rata-ratanya (Tabel 3).
Menurut hasil penelitian Lestari et.al. (2012) radiasi sinar X pada daun lili trumpet
dapat menurunkan panjang stomata, jumlah, indeks dan kerapatan stomata yang
terjadi secara acak. Penelitian Azmi (2015) pada tanaman anggrek bulan hasil
mutasi biologis dengan kolkisin pada tanaman yang diduga diploid memiliki
panjang dan lebar stomata yang berbeda nyata lebih besar dari kontrol sedangkan
kerapatannya nyata lebih kecil dari kontrol.
Hasil tersebut serupa dengan penelitian Celik et al (2014) pada tanaman
kedelai yang menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma pada dosis tinggi 300 Gy
berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata dan trikoma. Kerapatan stomata
dapat menurun karena iradiasi dosis tinggi tersebut. Menurut Qosim et al. (2011)
iradiasi sinar gamma dapat merubah anatomi dan struktur daun pada manggis salah
satunya merubah ukuran dan kerapatan stomata.
Tabel 3 Persentase hasil analisis uji t-student 5% peubah stomata pada planlet
anggrek D. lasianthera hasil iradiasi
Karakter

Panjang

Lebar

Kerapatan

Dosis (Gy)
0
20
40
60
80
0
20
40
60
80
0
20
40
60
80

Rata-rata
35567.45
36143.67
3544 7.91
35058.26
36007.64
26154.72
27056.24
25770.22
26407.20
26208.31
43.32409
46.34395
44.25376
42.61450
49.29618

**
77.59%
72.00%
61.90%
68.75%
65.52%
72.00%
54.76%
87.50%
72.41%
72.00%
61.90%
68.75%

*
8.62%
0.00%
14.29%
0.00%
6.90%
12.00%
14.29%
0.00%
8.62%
4.00%
11.90%
6.25%

tn
13.79%
28.00%
23.81%
31.25%
27.59%
16.00%
30.95%
12.50%
18.97%
24.00%
26.19%
25.00%

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata uji t-student taraf 5%, * = berbeda nyata uji t-student 5%,
tn = tidak berbeda nyata uji t-student taraf 5%. Panjang (nm), lebar (nm) dan kerapatan
(jumlah/mm2).

16
Penelitian Sutarto et al. (2004) pada bawang putih memperlihatkan bahwa
semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma dapat menurunkan jumlah stomata yang
diakibatkan terganggunya perkembangan sel protoderma yang berfungsi
menghasilkan sel stomata.
Dosis 20 Gy memiliki jumlah tanaman yang paling banyak berbeda sangat
nyata pada panjang, lebar dan kerapatan stomatanya dengan persentase frekuensi
55.36% dari total populasi dosis 20 Gy. Pada dosis 40, 60 dan 80 Gy jumlahnya
tidak berbeda jauh satu sama lain yaitu masing-masing 12, 15 dan 8 tanaman.
Namun frekuensinya berbeda dikarenakan jumlah total populasi pada tiap dosisnya
berbeda sehingga frekuensi tertinggi terjadi pada dosis 80 Gy (Tabel 4).
Tabel 4 Jumlah dan frekuensi hasil analisis uji t-student 5% pada planlet anggrek
D. lasianthera hasil iradiasi yang berbeda sangat nyata atau nyata pada
semua peubah stomata
Dosis (Gy)
Jumlah
Frekuensi
20
31
55.36%
40
12
48.00%
60
15
35.71%
80
8
57.14%

Gambar 7 Stomata pada planlet anggrek D. lasianthera hasil iradiasi dengan
kerapatan tertinggi dan terendah (a) stomata pada kontrol, (b) stomata
kerapatan tebesar pada 80.1, (c) stomata kerapatan terkecil pada 80.16,
(d) keragaan tanaman kontrol, (e) keragaan tanaman 80.1 dengan
kerapatan terbesar, (f) keragaan tanaman pada tanaman 80.16 berdaun
tebal dengan kerapatan terkecil.

17
Kromosom
Pada penelitian Hartati et al. (2014) tentang karakterisasi anggrek secara
sitologi, jumlah kromosom pada beberapa anggrek Dendrobium crumenantum dan
Dendrobium mutabile yang diuji berjumlah 2n=2x=38. Hasil pengamatan
kromosom pada kontrol Dendrobium lasianthera juga menunjukkan jumlah yang
sama yaitu 2n=2x=38. Data hasil pengamatan pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa
ada lima tanaman yang diduga jumlah kromosomnya berbeda dengan kontrol.
Kelima tanaman tersebut adalah 20.8, 20.14, 40.17, 40.25 dan 80.9. Jumlah
kromosom pada tanaman tersebut mengalami pengurangan jumlah kromosom
sehingga disebut mutan putatif yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aisyah (2006) mengenai iradiasi
sinar gamma pada tanaman anyelir menemukan hal serupa yang menunjukkan
bahwa iradiasi dapat menyebabkan perubahan jumlah, bentuk dan ukuran
kromosom pada tanaman anyelir. Perubahan jumlah yang terjadi yaitu monosomik
ganda, trisomik ganda dan monosomik. Menurut Wang et al. (2011) delesi terjadi
akibat iradiasi yang menyebabkan pematahan kromosom. Kromosom patah tersebut
bisa mengalami translokasi yang bisa menyatu kembali secara acak atau delesi.
Pematahan tersebut dapat merubah gen pada segmen kromosom.
Variasi jumlah kromosom merupakan sumber dari keragaman genetik.
Variasi jumlahnya dapat terjadi karena pengurangan atau penambahan set
kromosom atau kromosom utuh (Syukur 2013). Menurut Poespodarsono (1988)
mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi pada materi genetik tanaman baik
berupa gen tunggal, sejumlah gen ataupun terhadap susunan kromosom. Oleh
karena itu perubahan jumlah kromosom merupakan peubah penting yang
menunjukkan terjadinya mutasi pada penelitian ini.
Keragaan pada tanaman yang kromosomnya berkurang bisa berubah
ataupun tetap seperti kontrol. Pada tanaman 20.8, 40.17 dan 40.25 keragaan bentuk
daun, bentuk ujung daun, tepi daun, permukaan daun dan simetri daun tidak ada
perubahan sedangkan pada tanaman 20.14 dan 80.9 terjadi perubahan keragaan.
Tabel 5 Hasil pengamatan jumlah kromosom pada beberapa planlet anggrek D.
lasianthera hasil iradiasi
No
Tanaman
Jumlah kromosom
1
Kontrol
38
2
20.8
32
3
20.14
28
4
20.25
38
5
40.17
32
6
40.25
32
7
40.28
38
8
60.22
38
9
60.42
38
10
60.46
38
11
80.3
38
12
80.9
34
13
80.11
38

18
Tanaman 20.14 mengalami perubahan bentuk daun dari lanset menjadi
bujur telur dan bentuk ujung daun dari menajam ke ujung menjadi tumpul. Pada
tanaman 80.9 juga ditemukan hal yang sama yaitu bentuk daun menjadi bujur telur
dan ujung daun menjadi pepat/memotong (Gambar 9).
Jika dilihat dari peubah stomata pada tanaman yang diduga mengalami
pengurangan umlah kromosom ditemukan bahwa pada tanaman 20.8, 20.14 dan
40.17 semua peubah berupa panjang, lebar dan kerapatan stomata berpengaruh
sangat nyata berdasarkan uji t-student 5%. Oleh karena itu perubahan jumlah
kromosom yang terjadi diduga berpengaruh terhadap gen yang mengatur stomata.
Hal yang berbeda terjadi pada dua tanaman lain yaitu tanaman 40.25 dan 80.9. Pada
tanaman 40.25 peubah stomata yang berpengaruh nyata hanya pada kerapatannya
sedangkan pada tanaman 80.9 berpengaruh sangat nyata terhadap lebar dan
kerapatan namun tidak nyata pada panjang stomata. Perbedaan tersebut diduga
karena pengurangan jumlah kromosom berpengaruh pada sifat lain yang belum
teramati selama penelitian ini.
Menurut Harten (1998) pengaruh terjadinya delesi pada sel tanaman
ditentukan oleh sifat dominan dari gen tersebut. Pada kasus heterozigot pada gen
resesif dan dominan, kromosom homolog akan terekspresi dan dapat terjadi
perubahan fenotip sel atau tidak.

Gambar 8 Kromosom pada beberapa planlet anggrek D. lasianthera
kontrol dan hasil iradiasi yang diduga mengalami
pengurangan jumlah (a) kontrol 2n=2x=38, (b) 20.8
2n=2x=32, (c) 20.14 2n=2x=28, (d) 40.17 2n=2x=32,
(e) 40.25 2n=2x=32, (f) 80. 9 2n=2x= 34.

19

Gambar 9 Bentuk daun dan ujung daun yang berubah pada planlet D.
lasianthera hasil iradiasi yang diduga kromosomnya berkurang (a)
kontrol, (b) 20.14, (c) 80.9.
Karakter Kualitatif
Warna daun
Terdapat empat warna yang mendekati pada mini RHS Color chart dan pada
daun planlet yaitu 136A, 137A, 137C dan 144A. Pada dosis 0 Gy warna daun yang
paling dominan mendekati adalah warna 137C dan 137A dengan nilai masingmasing 35% dan 39%. Sementara itu warna 144A dan 137A hanya sebesar 13%
dari populasi kontrol. Pada dosis lainnya warna daun paling banyak ada pada warna
137C dan 136A.
Perubahan warna dari 137A ke 136A menunjukkan bahwa pada sebagian
tanaman hasil iradiasi warnanya menjadi lebih muda. Hal ini juga ditunjukkan
dengan bertambahnya frekuensi warna yang sesuai pada 144A yaitu pada dosis 20
dan 80 Gy (Tabel 6). Hal serupa ditemukan pada penelitian Wulan (2007) yang
menyatakan bahwa perubahan warna daun pada perlakuan iradiasi kembang sepatu
cenderung berubah menjadi lebih muda atau kekuningan.
Selain hasil analisis warna daun menggunakan mini RHS color chart, juga
ditemukan tanaman yang sangat berbeda warnanya dari tanaman manapun.
Tanaman tersebut memiliki dua warna daun yang berbeda yaitu tanaman 40.31 pada
usia 6 MST (Gambar 10). Perbedaan itu ternyata hanya bersifat sementara dan
tanaman kembali memiliki warna daun normal. Fenomena ini diduga karena
pengaruh lingkungan pada saat kondisi in vitro sehingga setelah diaklimatisasi
warna daun dan klorofil telah beradaptasi dan kembali normal.
Tabel 6 Hasil pengamatan persebaran dan f