Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu

STUDI NILAI DAN DISTRIBUSI BIODIVERSITAS
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

SRY WAHYUNI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Nilai dan
Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu adalah
benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Sry Wahyuni
NIM A44090059

ABSTRAK
SRY WAHYUNI. Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh SYARTINILIA.
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu batas ekologis yang
berperan penting terkait kestabilan lingkungan. DAS Ciliwung dikategorikan
sebagai DAS Super Prioritas di Indonesia. DAS Ciliwung menyediakan jasa
lanskap bagi daerah di sekitarnya, salah satu jasa lanskap tersebut berupa
biodiversitas. Penelitian ini dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Bogor
yang termasuk ke dalam DAS Ciliwung Hulu, yaitu Kecamatan Ciawi,
Megamendung, dan Cisarua. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai dan
distribusi biodiversitas dengan menggunakan indikator keberlanjutan
biodiversitas. Keenam indikator (keberadaan spesies terancam, perubahan
penutupan dan penggunaan lahan, intensitas penggunaan lahan pertanian organik,

jumlah penduduk, pekerjaan penduduk, dan infrastruktur) tersebut dianalisis
dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan
hasil penelitian, diketahui bahwa Kecamatan Cisarua dan Megamendung
merupakan wilayah terluas pertama dan kedua yang memiliki area nilai
biodiversitas tinggi, yaitu 4 022 ha dan 2 099 ha. Sementara itu, Kecamatan Ciawi
tidak memiliki area nilai biodiversitas tinggi. Beberapa rekomendasi pengelolaan
lanskap dihasilkan untuk mengelola biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu.
Kata kunci: DAS Ciliwung, jasa lanskap, nilai biodiversitas, pengelolaan lanskap,
SIG

ABSTRACT
SRY WAHYUNI. Study of Biodiversity Value and Distribution in The Upper
Stream of Ciliwung Watershed. Supervised by SYARTINILIA.
Watershed is one of the ecological boundary that has important role related
to landscape sustainability. Ciliwung Watershed is categorized as super-priority
watershed in Indonesia and provides landscape services particularly mentioned in
this study is biodiversity value. The study sites were located in three sub-districts
in the upper stream of Ciliwung Watershed (Ciawi, Megamendung, Cisarua),
Bogor District of West Java. The main objectives of this study were to analyze
value and distribution of biodiversity using six indicators of landscape

sustainability. The six indicators (presence of threatened species, land use and
land cover change, land use intensity of organic agricultural, population,
occupation, and infrastructure) were analyzed using geographical information
system (GIS). Based on the result, it can be shown that Cisarua and
Megamendung sub-district are the first and second largest area with high
biodiversity value (4 022 ha and 2 099 ha). Meanwhile, Ciawi sub-district has no
area with high biodiversity value. Finally, we propose six recomendations of
landscape management for biodiversity sustainability in the upper stream of
Ciliwung Watershed.
Key words: biodiversity value, Ciliwung Watershed, GIS, landscape services,
landscape management

STUDI NILAI DAN DISTRIBUSI BIODIVERSITAS
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

SRY WAHYUNI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciliwung Hulu
Nama
: Sry Wahyuni
NIM
: A44090059

Disetujui oleh

Dr Syartinilia, SP, MSi
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciliwung Hulu
Nama
: Sry Wahyuni
: A44090059
NIM

Disetujui oleh

Dr Syartinilia, SP, MSi
Pembimbing

MA r


Tanggal Lulus:

"D5 MAR

2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari
hingga Desember 2013 ini ialah Pengelolaan Lanskap, dengan judul “Studi Nilai
dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu” di
bawah bimbingan Dr Syartinilia, SP, MSi.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan,
motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa syukur penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr Syartinilia, SP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus
pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, masukan, dukungan, nasehat,

dan waktu serta ilmu yang sangat bermanfaat.
2. Bapak, Ibu, Kak Iis, Cia, dan Hani serta keluarga besar atas doa dan dukungan
baik moril maupun materil yang tidak tergantikan.
3. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
khususnya Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan pengalaman yang
bermanfaat.
4. Sahabat-sahabat (Gabriella Natalingrum Nugrahanto, Herawaty Pare, Damaria
Widasari, Amanda Fauziah, Mentari Ramadhan) atas bantuan, semangat,
dukungan, doa, dan kebersamaannya selama ini.
5. Teman-teman seperjuangan, Nindy Aslinda, Ramandhini Puspitasari,
Paraditio Bryan Prakoso, dan Muhammad Choiruddin Azis atas bantuan,
semangat, dan dukungannya.
6. Keluarga dan teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 46 atas bantuan,
semangat, dukungan, dan kebersamaannya.
7. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tentunya karya ilmiah ini masih memiliki banyak
kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat.


Bogor, Februari 2014
Sry Wahyuni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

Kerangka Pikir Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai

4

Jasa Lanskap


5

Biodiversitas

6

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian

7

Alat dan Data Penelitian

7

Metode Penelitian

9


HASIL
Gambaran Situasional

15

Indikator Keberlanjutan Biodiversitas

23

PEMBAHASAN
Indikator Keberlanjutan Biodiversitas

38

Rekomendasi Pengelolaan

49

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

51

Saran

51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

65

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data
Deskripsi kelas penutupan lahan
Luas desa yang tercakup dalam lokasi penelitian
Luas area nilai biodiversitas

8
12
16
36

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Bagan kerangka pikir
Lokasi penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua)
Bagan alur penelitian
Batas wilayah administrasi dan ekologis lokasi penelitian
Danau Telaga Warna
Bendungan Katulampa
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Puncak
Peta indikator keberadaan spesies terancam
Perbandingan luas area indikator keberadaan spesies terancam
Beberapa flora berstatus terancam di lokasi penelitian
Beberapa fauna berstatus terancam di lokasi penelitian
Peta indikator perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC)
Perbandingan luas area indikator perubahan penutupan dan penggunaan
lahan (LUCC)
Peta indikator penggunaan lahan pertanian organik
Perbandingan luas area indikator penggunaan lahan pertanian organik
Lahan pertanian organik di Kecamatan Megamendung
Lahan pertanian organik di Kecamatan Cisarua
Pengembangan lahan pertanian organik mengikuti kontur lahan
Peta indikator jumlah penduduk
Perbandingan luas area indikator jumlah penduduk
Peta indikator pekerjaan penduduk
Perbandingan luas area indikator pekerjaan penduduk
Peta indikator infrastruktur
Perbandingan luas area indikator infrastruktur
Infrastruktur di sepanjang jalan utama Kawasan Puncak
Peta nilai dan distribusi biodiversitas
Perbandingan luas area nilai biodiversitas
Area nilai biodiversitas tinggi
Area nilai biodiversitas sedang
Area nilai biodiversitas rendah
Fragmentasi lahan
Kehilangan habitat akibat fragmentasi

3
8
10
15
17
17
21
22
23
24
24
25
26
26
27
28
28
28
29
30
30
31
32
33
33
34
35
36
37
37
37
47
48

DAFTAR LAMPIRAN
1 Model maker fungsi penjumlahan dan perkalian peta biner keenam
indikator
2 Kualitas air Sungai Ciliwung bagian hulu (Stasiun Katulampa)
3 Debit rata-rata maksimum dan minimum Sungai Ciliwung di
Bendungan Katulampa
4 Objek wisata dan jumlah wisatawan di lokasi penelitian
5 Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian
6 Luas perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC) periode
2002-2009
7 Jumlah dan kepadatan penduduk di lokasi penelitian
8 Struktur ekonomi penduduk di lokasi penelitian

55
57
59
60
61
62
63
64

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu batas ekologi yang
terdapat di suatu wilayah. DAS memiliki fungsi yang sangat penting terkait
keseimbangan alam dan lingkungan. Ketika wilayah hulu mengalami gangguan
atau kerusakan, maka akan berpengaruh langsung terhadap wilayah hilir.
Peningkatan erosi dan sedimentasi, bencana banjir dan kekeringan, penurunan
produktivitas lahan, serta percepatan degradasi lahan merupakan contoh dampak
negatif yang terjadi akibat rusaknya wilayah hulu. Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) tahun 2010-2014, DAS Ciliwung termasuk ke dalam 108 DAS Prioritas
di Indonesia dan berada pada tingkat Prioritas I (Super Prioritas). DAS Ciliwung,
terutama bagian hulu, mengalami penurunan kualitas akibat konversi lahan yang
tidak terkendali. Meningkatnya konversi lahan terbuka hijau menjadi lahan
terbangun untuk berbagai kebutuhan seperti perumahan, industri, pariwisata, dan
infrastruktur lainnya dengan tidak berlandaskan pengetahuan tentang lingkungan
mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada ekosistem di DAS Ciliwung,
terutama wilayah hilir. Wilayah hilir DAS Ciliwung yang mencakup daerah
Jakarta yang merupakan Ibukota negara Indonesia, memiliki banyak aset nasional
dan juga sebagai pusat pemerintahan negara Indonesia. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pengelolaan yang berkelanjutan terkait pemanfaatan sumber
daya alam yang terdapat pada DAS tersebut untuk menjaga keberlanjutan dan
kelestarian ekosistemnya.
Lanskap merupakan suatu bagian ruang pada muka bumi dengan sistem
kompleks dalam bentuk aktivitas komponen biotik dan abiotik. Sementara
lingkungan merupakan kombinasi antara komponen biotik dan abiotik. Terdapat
persamaan antara lanskap dan lingkungan, yaitu adanya interaksi dan hubungan
timbal balik antara komponen biotik dan abiotik yang menghasilkan suatu jasa
dari proses ekologis komponen-komponen di dalamnya. Jasa lanskap belum
mendapat apresiasi secara luas sementara fungsi-fungsinya semakin terganggu
akibat perubahan penggunaan pada lanskap tersebut. DAS Ciliwung Hulu
merupakan suatu ekosistem yang memberikan jasa lanskap khususnya berupa
biodiversitas terhadap wilayah sekitarnya. Jasa lanskap yang diberikan berupa tata
air, keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, dan keindahan lanskap (RUPES
2009). Manfaat jasa lanskap ini dirasakan oleh masyarakat yang berada di DAS
tersebut, baik di wilayah hulu, tengah maupun hilir. Dalam hal ini wilayah hulu
bertindak sebagai penyedia jasa lanskap. Sedangkan wilayah hilir bertindak
sebagai penerima jasa lanskap. Menurut Mansfield (1971), seharusnya penyedia
jasa mendapatkan insentif dari penerima jasa.
Kawasan DAS Ciliwung Hulu memiliki biodiversitas yang cukup tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari beragamnya jenis ekosistem yang ada di kawasan
tersebut. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk pembangunan daerah dan
peningkatan kesejahteraan namun harus selalu memperhatikan kelestariannya.
Biodiversitas memiliki enam nilai penting, yaitu (1) eksistensi, (2) jasa lanskap,

2
(3) warisan, (4) pilihan, (5) konsumtif, dan (6) produktif (Bappenas 2004).
Biodiversitas merupakan salah satu sumber daya akses terbuka yang banyak
memberi manfaat kepada spesies lainnya terutama manusia (Mak 2004). Menurut
Turner et al. (1999) dalam Nunes et al. (2003), biodiversitas memiliki empat
level, yaitu gen, spesies, ekosistem, dan fungsi. Keanekaragaman genetik
merupakan berbagai macam informasi genetik (struktur DNA) yang terkandung di
dalam setiap makhluk hidup. Keanekaragaman spesies merupakan keragaman
spesies yang hidup di bumi. Keanekaragaman ekosistem merupakan keragaman
pada level komunitas, bioregion, lanskap, dan habitat. Keanekaragaman fungsi
berkaitan dengan keragaman fungsi suatu ekosistem serta jasa-jasa ekologis yang
dihasilkan melalui proses interaksi antara struktur (flora, fauna, air, udara, tanah,
dan lainnya) dan proses ekosistem tersebut (dinamika perubahan energi antara
makhluk hidup dengan sistem abiotik).
Keberadaan spesies yang terancam (threatened species) dapat digunakan
sebagai indikator untuk menilai biodiversitas karena mampu menggambarkan
kondisi biodiversitas secara keseluruhan yang terdapat pada suatu area tertentu
(Williams et al. 2000 dalam Curry dan Humphries 2007). Keberadaan spesies
terancam dijadikan sebagai indikator utama dalam menilai biodiversitas. Beberapa
spesies terancam berperan sebagai spesies kunci di dalam suatu wilayah. Apabila
terjadi kehilangan atau kepunahan spesies kunci tersebut, akan berdampak pada
perubahan struktur dalam suatu wilayah (Leksono 2011). Menurut Verburg et al.
(2011), indikator yang berpengaruh terhadap biodiversitas adalah penggunaan
lahan, intensitas penggunaan lahan pertanian, dan tingkat pembangunan
infrastruktur. Sedangkan menurut Nunes et al. (2003), indikator yang berpengaruh
terhadap keberlanjutan biodiversitas adalah aktivitas dan jumlah manusia.
Aktivitas manusia berpengaruh terhadap perubahan penutupan dan penggunaan
lahan. Hal ini dapat dilihat dari infrastruktur yang terdapat di suatu kawasan atau
wilayah dan penggunaan lahannya. Semakin banyak infrastruktur yang dibangun,
semakin banyak jumlah manusia, semakin besar pemanfaatan lahan untuk
memenuhi kebutuhan manusia, maka semakin mengancam keberlanjutan
biodiversitas yang ada di kawasan atau wilayah tertentu. Oleh karena itu,
diperlukan upaya pengelolaan yang berkelanjutan terhadap biodiversitas yang
terdapat di suatu kawasan atau wilayah tersebut.
Untuk merealisasikan hal tersebut perlu dilakukan suatu studi terhadap nilai
dan distribusi biodiversitas sebagai salah satu penyedia jasa lanskap. Hal ini dapat
dilakukan dengan melihat kondisi penutupan lahan dan distribusi ruang terbuka
hijau yang terdapat di DAS Ciliwung Hulu dengan memanfaatkan teknologi
Sistem Informasi Geografi (SIG). Melalui kemampuan SIG untuk meng-overlay
peta dalam studi biodiversitas, dapat diketahui nilai dan distribusi biodiversitas
yang terdapat di suatu kawasan atau wilayah. Data analisis yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pengelolaan biodiversitas di
DAS Ciliwung Hulu tersebut agar keberlanjutan dan kelestariannya tetap terjaga.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. menganalisis nilai biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu;
2. menganalisis distribusi biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu secara spasial; dan
3. menyusun rekomendasi pengelolaan biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai rekomendasi dan pertimbangan
bagi berbagai pihak khususnya pengelola Kabupaten Bogor dalam membuat
sistem pengelolaan biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu sehingga dapat terjaga
kelestarian dan keberlanjutannya.
Kerangka Pikir
Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung Hulu memberikan jasa lanskap
untuk lingkungan sekitarnya, salah satunya adalah biodiversitas. Terdapat enam
indikator yang digunakan untuk menilai keberlanjutan biodiversitas. Studi nilai
dan distribusi biodiversitas dapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi
pengelolaan biodiversitas yang berkelanjutan di DAS Ciliwung Hulu tersebut.
Berikut merupakan alur kerangka pikir pada penelitian ini (Gambar 1).
DAS Ciliwung Hulu

Jasa Lanskap

Carbon Stock

Biodiversity

Landscape
Beautification

Water Resource

Empat Level Biodiversitas

Gen

Spesies

Nilai Biodiversitas

Ekosistem

Fungsi

Distribusi
Biodiversitas

Rekomendasi Pengelolaan Biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu
Gambar 1 Bagan kerangka pikir

4

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas
buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut
memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (Suripin 2002). DAS dipandang sebagai
suatu sistem dimana semua komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama
lain khususnya hubungan antara hulu dengan hilir. Terjadinya gangguan atau
kerusakan salah satu komponen ekosistem, dapat menyebabkan gangguan pada
keseluruhan sistem yang ada (Sutopo 2001). Ekosistem DAS merupakan bagian
yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS.
Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh
faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi),
tanah, dan manusia. Apabila salah satu dari faktor-faktor tersebut mengalami
perubahan, maka akan berpengaruh terhadap ekosistem DAS tersebut (Suripin
2002).
DAS Ciliwung merupakan salah satu dari 108 DAS Prioritas di Indonesia
dan tergolong ke dalam DAS Prioritas I (Super Prioritas). Menurut Suripin
(2002), penetapan DAS prioritas ini berdasarkan pada beberapa kriteria sebagai
berikut.
1. DAS yang hidrologisnya kritis, ditandai oleh rendahnya persentase penutupan
lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya nisbah debit sungai maksimum
dan debit minimum serta kandungan lumpur yang berlebihan.
2. Urgensi perlindungan investasi yang telah, sedang, atau akan dibangun
bangunan vital dengan investasi besar di daerah hilirnya.
3. Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan.
4. Daerah perladangan berpindah dan/atau daerah dengan penggarapan tanah
yang merusak tanah dan lingkungan.
5. Daerah dimana tingkat pendapatan penduduk rendah, tingkat kesadaran
masyarakat terhadap pelestarian sumber daya alam masih rendah.
6. Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi.
Pengelolaan DAS merupakan suatu usaha yang terus berjalan, karena faktor
alam maupun faktor buatan (intervensi manusia) selalu ada dan berubah setiap
waktu (Sheng 1986 dan 1990 dalam Paimin et al. 2012). Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai, Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur
hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Pengelolaan DAS bertujuan untuk mencegah kerusakan (mempertahankan daya
dukung) dan memperbaiki yang telah rusak (pemulihan daya dukung) dimana
dalam pelaksanaanya melibatkan banyak pihak dan pengambil keputusan,
khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam dengan berbagai tujuan,
sehingga diperlukan pendekatan yang multidisiplin (Paimin et al. 2012).

5
Jasa Lanskap
Jasa lanskap merupakan hasil dan implikasi dari dinamika bentangan alam
yang diberi nilai oleh stakeholders dimana manfaatnya dapat dirasakan baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu memelihara dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta kehidupan masyarakat (Munawir 2010).
Terdapat empat jenis jasa lanskap yang dikenal masyarakat global, yaitu tata air,
keanekaragaman hayati (biodiversitas), penyerapan karbon, dan keindahan
lanskap. Penyedia jasa lanskap terdiri dari (1) perorangan, (2) kelompok
masyarakat, (3) perkumpulan, (4) badan usaha, (5) pemerintah daerah, dan (6)
pemerintah pusat, yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lanskap serta
memiliki izin atau hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang. Sementara itu,
pemanfaat jasa lanskap terdiri dari (1) perorangan, (2) kelompok masyarakat, (3)
perkumpulan, (4) badan usaha, (5) pemerintah daerah, dan (6) pemerintah pusat,
yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lanskap
dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya
(RUPES 2009). Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia No. 6 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Standardisasi Kompetensi
Personil dan Lembaga Jasa Lingkungan, terdapat suatu lembaga jasa lanskap yang
memiliki tugas atau pekerjaan pelayanan jasa di bidang pengelolaan hidup.
Di beberapa negara, instrumen ekonomi telah banyak diaplikasikan di
lapangan dan efektif dalam mengendalikan dampak lingkungan atas penggunaan
sumber daya alam yang ada (Panayotou 1994 dalam Sutopo 2001). Salah satu
instrumen ekonomi yang digunakan adalah pembayaran jasa lanskap (Payment for
Environmental Services/PES). PES merupakan suatu transaksi sukarela atau
mengikat secara hukum dimana sebuah jasa lanskap yang jelas dan dapat
teridentifikasi dimanfaatkan oleh para pemanfaat yang diperoleh dari para
penyedia jasa lanskap. Melalui PES, pemanfaat jasa lanskap dapat mencegah
kerugian ekonomi terkait dengan perubahan lingkungan dan mendukung
pelestarian lingkungan (ESCAP 2009). Hal ini dapat diterapkan di Indonesia,
namun diperlukan sistem yang dapat diterima oleh semua pihak, baik pemberi jasa
maupun penerima jasa. Selain itu, diperlukan juga peraturan perundang-undangan
sehingga sistem ini mempunyai kepastian hukum untuk dilaksanakan.
Lanskap dengan seluruh sumber daya yang dimilikinya mengandung nilai
dan manfaat yang berguna bagi manusia serta makhluk hidup lainnya. Nilai yang
dimiliki berupa nilai guna dan nilai bukan guna. Nilai guna dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai pilihan. Nilai
guna langsung merupakan nilai yang diperoleh dari pemanfaatan langsung sumber
daya dimana terdapat hubungan langsung dengan sumber daya alam dan
lingkungan (SDAL), seperti nilai potensi flora, wisata, dan pertanian. Nilai guna
tidak langsung merupakan nilai yang diperoleh secara tidak langsung dari barang
dan jasa yang dihasilkan oleh SDAL, seperti pengendali erosi dan pengendali
banjir. Nilai bukan guna dapat dibagi menjadi dua, yaitu nilai keberadaan dan
pengetahuan. Nilai keberadaan merupakan nilai yang diperoleh dari terpeliharanya
habitat dan keanekaragaman hayati (biodiversitas). Sedangkan nilai pengetahuan
diperoleh dari informasi yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati dan spesies
langka (Environment Department the World Bank dalam Rofiko 2003).

6
Biodiversitas
Biodiversitas (keanekaragaman hayati) memiliki manfaat langsung maupun
tidak langsung. Manfaat tidak langsung yang diperoleh berupa proses-proses
lingkungan dan jasa ekosistem, pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata
air, penjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari sisa flora maupun
fauna, pencegah erosi dan pengendali iklim mikro, serta nilai eksistensi
keanekaraman hayati itu sendiri. Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki
keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Bappenas 2004). Menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati,
keanekaragaman hayati (biodiversitas) memiliki nilai intrinsik (bawaan) dan nilai
ekologi, genetik, sosial, ekonomi, ilmiah, pendidikan, budaya, rekreasi, dan estetis
bersama komponen-komponennya.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumber
daya alam hayati (SDAH) adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Terdapat ketergantungan dan keterikatan antar
unsur-unsur SDAH dan ekosistemnya, sehingga jika terjadi kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur maka akan berakibat pada terganggunya ekosistem
tersebut. Konservasi SDAH dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban pemerintah serta masyarakat. Kegiatan konservasi ini meliputi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
vegetasi dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya tersebut. Upaya konservasi cenderung dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu konservasi in situ dan ex situ. Konservasi in situ merupakan upaya
konservasi suatu spesies di habitat aslinya, seperti taman nasional, cagar alam,
suaka margasatwa, taman wisata alam, dan hutan lindung. Konservasi in situ
memiliki beberapa beberapa kelemahan, yaitu (1) kebutuhan luasan yang cukup
luas menyulitkan pemerintah untuk mengalokasikan lahan yang memadai karena
berbenturan dengan kepentingan ekonomi masyarakat setempat, dan (2) jaminan
kelestarian populasi sulit dipertanggungjawabkan selama konflik masih terjadi.
Sementara itu, konservasi ex situ merupakan upaya konservasi suatu spesies di
luar habitat aslinya, seperti kebun binatang, kebun raya, kebun botani, bank
genetik, dan kebun plasma nutfah. Pada perkembangannya, konservasi ex situ
cenderung terspesialisasi menjadi suatu upaya konservasi yang dilakukan di luar
habitat asli dengan intervensi manusia yang cukup intensif. Konservasi ex situ
memiliki beberapa kekurangan, yaitu (1) keterbatasan jumlah jenis yang
dikonservasi, karena jenis yang dikonservasi hanya berfokus pada mamalia,
reptilia, dan aves, (2) membutuhkan pendanaan yang cukup besar, (3)
membutuhkan keahlian khusus, sehingga cenderung ekslusif karena tidak semua
orang mampu melakukannya, dan (4) etika yang berkaitan dengan kesejahteraan
hewan (animal welfare) (Leksono 2011).

7

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 2013 yang
meliputi tahap inventarisasi, analisis biodiversitas (nilai dan distribusi
biodiversitas), dan sintesis berupa penyusunan rekomendasi pengelolaan
biodiversitas. Studi biodiversitas ini dilaksanakan di tiga kecamatan yang terletak
pada DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor. Ketiga kecamatan tersebut adalah
Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua (Gambar 2). Pemilihan ketiga
kecamatan ini didasarkan atas alasan-alasan berikut:
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 tahun 1999 tentang
Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang telah menetapkan
Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua sebagai kecamatan yang
diprioritaskan di Daerah Kabupaten Bogor dalam usaha rehabilitasi fungsi
kawasan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional yang telah menetapkan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur
sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan
kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Provinsi Jawa Barat
dan wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3. Bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur untuk konservasi air dan
tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan
pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, sehingga pemanfaatan
ruangnya perlu ditertibkan kembali.
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati yang
menyebutkan bahwa keanekaragaman hayati berperan penting untuk
berlanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan
sistem kehidupan biosfer, tindakan konservasi in-situ ekosistem dan habitat
alami merupakan dasar untuk menjamin keberadaan dan keberlanjutannya.
Alat dan Data Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System) dan kamera digital, serta komputer dengan program ArcGIS 9.3
(Environmental Systems Research Institute 2001) dan ERDAS Imagine 9.1 (Leica
Geosystems Geospatial Imaging LLC 2006). Sementara itu, data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data spasial (raster dan vektor) dan non-spasial
(deskriptif) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

8

Gambar 2 Lokasi penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cisarua)
Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data
Jenis

Bentuk

Sumber

Kegunaan

Peta administrasi

Vektor

Bakosurtanal

Peta batas DAS

Vektor

BPDAS

Penentuan wilayah fokus
penelitian (Kecamatan Ciawi,
Megamendung, dan Cisarua)
Penentuan wilayah fokus
penelitian (DAS Ciliwung
Hulu)

Vektor

TNGGP

Vektor

TNGGP

Deskriptif

Studi pustaka

INDIKATOR 1
Peta batas kawasan
TNGGP
Peta distribusi florafauna (threatened
species)
Jenis dan status
flora-fauna
(threatened species)

Identifikasi keberadaan
spesies terancam
Identifikasi keberadaan
spesies terancam
Identifikasi keberadaan
spesies terancam

9
Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data (lanjutan)
Jenis
INDIKATOR 2
Peta perubahan
penutupan dan
penggunaan lahan
(AVNIR-2 19 Juli
2009)
INDIKATOR 3
Data desa yang
memiliki lahan
pertanian organik
Komoditas pertanian
organik
INDIKATOR 4
Data jumlah dan
kepadatan penduduk
INDIKATOR 5
Data struktur
ekonomi penduduk
INDIKATOR 6
Data infrastruktur
Peta infrastruktur
jalan
Keterangan:
Bakosurtanal
BPDAS
Indikator 1
Indikator 2
Indikator 3
Indikator 4
Indikator 5
Indikator 6
TNGGP

=
=
=
=
=
=
=
=
=

Bentuk

Sumber

Kegunaan

Raster,
Resolusi 10
m x 10 m

Ariyanty,
2011

Identifikasi perubahan
penutupan dan penggunaan
lahan

Deskriptif,
Vektor

Survei lapang

Identifikasi penggunaan lahan
pertanian organik

Deskriptif

Studi pustaka,
Survei lapang

Identifikasi penggunaan lahan
pertanian organik

Statistik

Studi pustaka

Identifikasi jumlah penduduk

Deskriptif,
Statistik

Studi pustaka,
Survei lapang

Identifikasi pekerjaan
penduduk

Deskriptif,
Vektor
Vektor

Studi pustaka,
Survei lapang
Binamarga

Identifikasi infrastruktur
Identifikasi infrastruktur

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai
Keberadaan spesies terancam
Perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC)
Penggunaan lahan pertanian organik
Jumlah penduduk
Pekerjaan penduduk
Infrastruktur
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan.
Bagan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

10
Pengumpulan Data
Spasial dan non-Spasial
Indikator Keberlanjutan Biodiversitas

Keberadaan
Spesies
Terancam

Perubahan
Penutupan
dan
Penggunaan
Lahan
(LUCC)

Penggunaan
Lahan
Pertanian
Organik

Jumlah
Penduduk

Pekerjaan
Penduduk

Infrastruktur

Studi
Pustaka

Studi
Pustaka dan
Survei
Lapang

Studi
Pustaka dan
Survei
Lapang

Studi
Pustaka

Studi
Pustaka

Studi
Pustaka

Peta Biner
0= Ada
1= Tidak
Ada

Peta Biner
0= Berubah
1= Tetap

Peta Biner
0= Ada
1= Tidak
Ada

Peta Biner
0= Padat
1= SedangJarang

Peta Biner
0= Tidak
Dominan
1= Dominan

Peta Biner
0= Ada
1= Tidak
Ada

Overlay
Peta Indikator
Overlay

Nilai Biodiversitas
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi

Distribusi Biodiversitas

Rekomendasi Pengelolaan Biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu
Gambar 3 Bagan alur penelitian

11
Inventarisasi
Pada tahap inventarisasi, dilakukan berbagai kegiatan, yaitu pengumpulan
data serta survei lapang. Data yang dikumpulkan berupa data spasial (raster dan
vektor) dan non-spasial (deskriptif dan statistik). Pada kegiatan survei lapang
dilakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian, ground check,
wawancara dengan pihak terkait dan melakukan dokumentasi keadaan lapang.
Selain itu, juga dilakukan studi pustaka yang terkait untuk mendukung tujuan
penelitian.
Analisis Biodiversitas
Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial dengan teknik
overlay. Analisis ini dilakukan terhadap indikator yang berpengaruh pada
keberlanjutan biodiversitas di suatu area atau wilayah. Keberadaan spesies yang
terancam (threatened species) digunakan sebagai indikator untuk menilai
biodiversitas. Keberadaan spesies terancam dijadikan sebagai indikator utama
dalam menilai biodiversitas. Beberapa spesies terancam berperan sebagai spesies
kunci di dalam suatu wilayah. Apabila terjadi kehilangan atau kepunahan spesies
kunci tersebut, akan berdampak pada perubahan struktur dalam suatu wilayah
(Leksono 2011). Menurut IUCN Red List Categories (2010), threatened species
terbagi menjadi tiga, yaitu critically endangered (CR), endangered (EN), dan
vulnarable (VU). Menurut Nunes et al. (2003) dan Verburg et al. (2011),
indikator yang berpengaruh terhadap keberlanjutan biodiversitas adalah aktivitas
dan jumlah penduduk yang berimplikasi pada perubahan penutupan dan
penggunaan lahan, penggunaan lahan khususnya pertanian, pekerjaan penduduk,
dan perkembangan pembangunan infrastruktur. Namun, pada indikator
penggunaan lahan pertanian, yang menjadi fokus penelitian adalah lahan pertanian
organik karena pertanian organik mampu meningkatkan biodiversitas di suatu
wilayah (Liu et al. 2013).
Keenam indikator tersebut dispasialkan dalam bentuk peta biner yang
terlebih dahulu dibagi menjadi grid-grid berukuran 100 m x 100 m. Dasar dari
pemilihan ukuran grid ini adalah berdasarkan luasan desa terkecil yang ada di
lokasi penelitian. Diperlukan klasifikasi ulang terhadap data spasial karena
terdapat perbedaan satuan data dan skala pengukuran (Pereira et al. 1993).
Langkah pertama dalam proses analisis biodiversitas ini adalah dengan melakukan
pengodean ulang (recode) terhadap semua kriteria ke dalam kode biner, yaitu 0
atau 1. Kode 1 mengindikasikan adanya kriteria yang terpenuhi dan kode 0
mengindikasikan tidak adanya kriteria yang terpenuhi. Seluruh proses recode
dilakukan dengan menggunakan program ERDAS Imagine 9.1.
1. Keberadaan Spesies Terancam (Threatened Species)
Terdapat tiga macam spesies terancam yang menjadi indikator
keberlanjutan biodiversitas, yaitu Critically Endangered (EN), Endangered
(EN), dan Vulnarable (VU). Dalam mendeteksi keberadaan spesies terancam
yang terdapat di lokasi penelitian, diperlukan data jenis flora maupun fauna
yang diperoleh melalui studi pustaka. Selain itu, diperlukan peta distribusi flora
maupun fauna serta peta batas kawasan konservasi yang ada di lokasi
penelitian. Selanjutnya dilakukan pengecekan keberadaan flora dan fauna yang
ada dengan status flora dan fauna berdasarkan IUCN Red List Categories dan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 57 tahun 2008 tentang Arahan Strategis

12
Konservasi Spesies Nasional. Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid
terdapat flora maupun fauna dengan status terancam, maka akan diberi nilai 1.
Sedangkan area yang tidak terdapat flora maupun fauna dengan status
terancam akan diberi nilai 0.
2. Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC)
Dalam mendeteksi perubahan lahan di lokasi penelitian, digunakan
metode Post Classification Comparison. Metode ini menggunakan fungsi
perkalian antara nilai kelas penutupan lahan tahun 2002 dan 2009 yang telah
di-recode terlebih dahulu. Proses tersebut menghasilkan image baru yang
mengandung informasi berupa penutupan lahan yang mengalami perubahan
ataupun yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut.
Peta Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC) periode
2002-2009 yang digunakan diperoleh dari penelitian Ariyanty (2011) dengan
ground check tahun 2013. Terdapat tujuh kelas penutupan lahan pada lokasi
penelitian, yaitu hutan, perkebunan, semak belukar, sawah, ladang,
permukiman, dan badan air. Deskripsi mengenai masing-masing kelas
penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Deskripsi kelas penutupan lahan
No.

Label kelas

Deskripsi

1

Hutan

2

Perkebunan

3

Semak Belukar

4

Sawah

5

Ladang

6

Permukiman

7

Badan Air

Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang
didominasi oleh pohon.
Seluruh kawasan kenampakan kebun dengan jenis
vegetasi teh.
Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara
vegetasi tinggi dan rendah yang tumbuh secara liar
serta belum termanfaatkan.
Seluruh kawasan berupa pertanian lahan basah yang
ditanami padi.
Seluruh kawasan berupa pertanian lahan kering yang
ditanami non-padi seperti singkong, umbi-umbian,
jagung, dan sayuran
Seluruh kawasan permukiman padat (perumahan) atau
bangunan lainnya.
Seluruh kawasan dengan kenampakan perairan,
termasuk sungai, danau, dan waduk.

Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid tidak terdapat perubahan
lahan menjadi lahan terbangun (tetap ruang terbuka hijau), maka akan diberi
nilai 1. Sedangkan area yang terdapat perubahan lahan menjadi lahan
terbangun akan diberi nilai 0.
3. Penggunaan Lahan Pertanian Organik
Lahan pertanian organik difokuskan menjadi indikator keberlanjutan
biodiversitas. Menurut Liu et al. (2013), lahan pertanian organik dapat
mendukung keberlanjutan biodiversitas dibandingkan lahan pertanian biasa
yang menggunakan berbagai macam bahan kimia. Dalam mendeteksi
penggunaan lahan pertanian organik di lokasi penelitian, dilakukan survei
lapang ke masing-masing desa yang memiliki lahan pertanian organik. Data

13
mengenai daftar desa yang memiliki lahan pertanian organik diperoleh melalui
wawancara dengan pihak Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) masingmasing kecamatan dan pihak UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pertanian. Jika di
suatu area yang dispasialkan dalam grid terdapat lahan pertanian organik, maka
akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang tidak terdapat lahan pertanian organik
akan diberi nilai 0.
4. Jumlah Penduduk
Dalam kaitannya dengan biodiversitas, jumlah penduduk memiliki peran
penting terhadap keberadaan dan keberlanjutan biodiversitas di suatu wilayah.
Peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah dengan luasan yang relatif
tetap dari waktu ke waktu, akan berimplikasi terhadap pemenuhan kebutuhan
penduduk tersebut. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia cenderung
memanfaatkan lingkungan semaksimal mungkin. Tekanan penduduk terhadap
suatu wilayah dicerminkan oleh parameter kepadatan penduduk. Standar
kepadatan penduduk di suatu wilayah mengacu pada formula tipologi
kerentanan penduduk terhadap lahan (Paimin et al. 2012), yaitu:
a. Wilayah padat, memiliki kepadatan penduduk > 400 jiwa/km2.
b. Wilayah sedang, memiliki kepadatan penduduk 250 - 400 jiwa/km2.
c. Wilayah jarang, memiliki kepadatan penduduk < 250 jiwa/km2.
Dalam mendeteksi kepadatan penduduk di lokasi penelitian, diperlukan
data jumlah penduduk yang diperoleh melalui studi pustaka. Jika di suatu area
yang dispasialkan dalam grid termasuk dalam kategori wilayah dengan tingkat
kepadatan penduduk sedang dan jarang, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan
area yang termasuk dalam kategori wilayah dengan tingkat kepadatan
penduduk padat akan diberi nilai 0.
5. Pekerjaan Penduduk
Dalam kaitannya dengan biodiversitas, pekerjaan penduduk memiliki
peran penting terhadap keberadaan dan keberlanjutan biodiversitas di suatu
wilayah. Menurut Paimin et al. (2012), jenis pekerjaan di bidang pertanian
memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya.
Dalam mendeteksi jenis pekerjaan penduduk di lokasi penelitian, diperlukan
data struktur ekonomi penduduk yang diperoleh melalui studi pustaka. Jika di
suatu area yang dispasialkan dalam grid dominan penduduknya memiliki
pekerjaan di sektor pertanian, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang
penduduknya tidak dominan atau bahkan tidak terdapat penduduk yang
memiliki pekerjaan di sektor pertanian akan diberi nilai 0.
6. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan fasilitas atau struktur dasar, peralatan, instalasi
yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan
ekonomi penduduk. Pembangunan infrastruktur dapat dilihat dari luasan lahan
terbangun yang terdapat di suatu wilayah. Dalam mendeteksi infrastruktur di
lokasi penelitian, diperlukan data infrastruktur yang diperoleh melalui studi
pustaka dan dilakukan survei lapang. Jika di suatu area yang dispasialkan
dalam grid tidak terdapat infrastruktur, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan
area yang terdapat infrastruktur akan diberi nilai 0.

14
Tahap selanjutnya adalah melakukan overlay peta biner yang dihasilkan dari
keenam indikator keberlanjutan biodiversitas. Kemudian dilakukan penjumlahan
nilai peta biner dengan menggunakan fungsi penjumlahan dan perkalian pada
model maker (Lampiran 1). Seluruh proses overlay dilakukan dengan
menggunakan program ERDAS Imagine 9.1. Dari hasil overlay keenam peta biner
tersebut, diketahui nilai kumulatif dari seluruh indikator. Nilai kumulatif tersebut
dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu (1) rendah (terdapat 1-2 kriteria), (2) sedang
(terdapat 3-4 kriteria), dan (3) tinggi (terdapat 5-6 kriteria). Metode ini pernah
digunakan untuk mengidentifikasi area yang berpotensi sebagai area perlindungan
di DAS Ciliwung Hulu oleh Syartinilia et al. pada tahun 2006. Namun, untuk
indikator keberadaan spesies terancam, dijadikan sebagai indikator utama dalam
menilai biodiversitas. Oleh karena itu, jika di suatu area yang dispasialkan dalam
grid terdapat flora maupun fauna dengan status terancam, maka akan
dikategorikan ke dalam nilai biodiversitas tinggi. Kategori nilai tersebut
digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pengelolaan biodiversitas
untuk jasa lanskap di DAS Ciliwung Hulu.
Sintesis
Dari tahap-tahap yang dilakukan, dihasilkan output berupa nilai dan
distribusi biodiversitas yang digunakan untuk menyusun rekomendasi pengelolaan
biodiversitas yang berkelanjutan di DAS Ciliwung Hulu. Rekomendasi
pengelolaan disusun dalam bentuk kebijakan dan strategi berupa pengaturan,
pembinaan serta pengawasan terhadap pengelola kawasan, yaitu pemerintah,
swasta, dan masyarakat.

15

HASIL
Gambaran Situasional
Aspek Bio-Fisik
1. Letak Geografis dan Administrasi
Lokasi penelitian terdiri dari tiga kecamatan yang terletak di DAS
Ciliwung Hulu, yaitu Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua,
Kabupaten Bogor. Lokasi ini berada pada koordinat 6o37’10”–6o46’15” LS dan
106o49’48”– 107o0’25” BT dengan luas wilayah adalah 14 324 ha (Tabel 3).
Luas dan batas wilayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah
ekologis dengan jumlah desa yang tercakup sebanyak 25 desa. Terdapat
perbedaan luas wilayah ekologis DAS Ciliwung Hulu dengan wilayah
administrasi ketiga kecamatan (Gambar 4).

Gambar 4 Batas wilayah administrasi dan ekologis lokasi penelitian
Selain itu, ketiga kecamatan ini terletak di kawasan Bopunjur (BogorPuncak-Cianjur) dan dibatasi oleh:
a. sebelah barat berbatasan dengan DAS Cisadane,
b. sebelah timur berbatasan dengan Sub DAS Cikeas,
c. sebelah utara berbatasan dengan DAS Ciliwung Tengah, dan
d. sebelah selatan berbatasan dengan DAS Cisadane Hulu

16
Tabel 3 Luas desa yang tercakup dalam lokasi penelitian
Kecamatan
Ciawi

Megamendung

Cisarua

Total

Desa

Luas wilayah
ekologi DAS (ha)

Luas wilayah
administrasi (ha)

Banjar Waru
Ciawi
Bendungan
Pandansari
Sukaresmi
Sukagalih
Kuta
Sukakarya
Sukamanah
Sukamaju
Sukamahi
Gadog
Cipayung Datar
Cipayung Girang
Megamendung
Citeko
Cibeureum
Tugu Selatan
Tugu Utara
Batu Layang
Cisarua
Kopo
Leuwimalang
Jogjogan
Cilember

14
46
183
365
106
696
808
329
294
323
212
249
626
250
1 418
758
2 800
1 054
1 456
271
295
764
245
431
331

128
72
133
186
249
247
180
399
181
210
196
191
775
235
1 200
461
1 129
1 712
1 702
226
200
453
135
454
200

25 desa

14 324

11 254

2. Iklim
Berdasarkan data 3 tahun terakhir dari stasiun pengukur iklim Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dramaga Bogor, kondisi
iklim untuk wilayah Ciawi diwakili oleh Stasiun Dramaga dan untuk wilayah
Cisarua serta Megamendung diwakili oleh Stasiun Citeko. Di Kecamatan
Ciawi, curah hujan rata-rata yang tercatat sebesar 121.3–438.7 mm/tahun
dengan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni dan curah hujan
maksimum terjadi pada bulan Mei. Selain itu, jumlah hari hujan rata-rata
sebesar 162 hari/tahun. Di Kecamatan Megamendung dan Cisarua, kelembaban
udara rata-rata yang tercatat sebesar 78.3–89.7% dengan kelembaban minimum
terjadi pada bulan Agustus dan kelembaban maksimum terjadi pada bulan
Januari. Data temperatur menunjukkan bahwa suhu rata-rata yang tercatat
sebesar 20.5–22.3 oC dengan suhu minimum terjadi pada bulan Januari dan
suhu maksimum terjadi pada bulan Maret. Lama penyinaran matahari rata-rata
yang tercatat sebesar 1.2–6.4 jam/bulan dengan lama penyinaran minimum
terjadi pada bulan Januari dan lama penyinaran maksimum terjadi pada bulan
Agustus. Curah hujan rata-rata tercatat sebesar 50.3–520.3 mm/tahun dengan
curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus dan curah hujan maksimum

17
terjadi pada bulan Januari. Selain itu, jumlah hari hujan rata-rata sebesar 232
hari/tahun.
3. Hidrologi
Lokasi penelitian ini berada pada DAS Ciliwung Hulu dengan sungai
utama adalah Sungai Ciliwung yang mengalir dari arah selatan ke utara.
Sumber mata air sungai ini berasal dari Danau Telaga Warna yang terletak
pada ketinggian 1 433 m dpl dengan luas danau 1 ha dan area penyangga 5 ha.
Kawasan Telaga Warna dijadikan sebagai objek wisata (Taman Wisata Alam)
dan sebagai area penyangga (Cagar Alam). Kawasan ini dimiliki oleh negara
dan dikelola oleh Kementerian Kehutanan.

Gambar 5 Danau Telaga Warna
Bagian hulu DAS Ciliwung memiliki enam Sub DAS, yaitu Cibogo,
Ciesek, Cisarua, Cisukabirus, Ciseuseupan, dan Katulampa. Kondisi bagian
hulu dapat dicirikan dengan adanya sungai pegunungan yang berarus deras dan
variasi kelerengan yang tinggi. Sungai-sungai yang terdapat pada DAS
Ciliwung Hulu umumnya dimanfaatkan untuk irigasi, industri, air baku
domestik, dan penggelontoran. Kualitas air Sungai Ciliwung di bagian hulu
yang diukur dari Stasiun Katulampa diketahui telah mengalami pencemaran.
Berdasarkan Standar Baku Mutu Badan Air menurut SK Gubernur Jawa Barat
Nomor 38 tahun 1991 Golongan B–C–D, dari 36 parameter (fisika, kimia, dan
mikrobiologi), ditemukan sebanyak 19 parameter yang melebihi standar. Dan
berdasarkan Standar Baku Mutu Badan Air menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 82 tahun 2001 Kelas III, dari 36 parameter (fisika, kimia, dan
mikrobiologi), ditemukan sebanyak 22 parameter yang melebihi standar
(Lampiran 2).

Gambar 6 Bendungan Katulampa

18
Intensitas curah hujan memiliki korelasi positif terhadap terjadinya
peningkatan aliran limpasan (run off), yang dapat meningkatkan volume serta
fluktuasi debit sungai. Debit rata-rata minimum dan maksimum Sungai
Ciliwung bagian hulu diukur dari Bendungan Katulampa. Debit rata-rata
terendah dan tertinggi yang terukur sebesar 1 265 liter/detik pada tahun 2006
dan 198 856 liter/detik pada tahun 2012 (Lampiran 3).
4. Kemiringan Lahan, Tanah, dan Geologi
Berdasarkan bentuk lerengnya, kemiringan lahan di lokasi penelitian
memiliki variasi bentuk, yaitu datar, landai, agak curam, curam sampai dengan
sangat curam dengan ketinggian antara 362–3 000 m dpl. Pada kawasan DAS
Ciliwung Hulu dijumpai 4 ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan
Andisol. Keempat ordo tanah ini dijabarkan menjadi lima jenis tanah, yaitu (1)
Andosol Coklat Kekuningan, (2) Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan
Latosol Coklat, (3) Komplek Regosol Kelabu dan Litosol, (4) Latosol Coklat,
dan (5) Latosol Coklat Kemerahan. Jenis tanah yang mendominasi adalah
Latosol, Andosol, dan Regosol. Jenis tanah Latosol pada umumnya berbahan
induk batuan vulkanik baik berupa tufa maupun beku. Jenis tanah ini
merupakan hasil pelapukan lanjut, kandungan mineral primer (mudah lapuk)
dan unsur hara rendah, pH rendah (4.5–5.5), kandungan bahan organik rendah,
konsistensi gembur, struktur remah sampai gumpal, stabilitas agregat tinggi,
tekstur liat tinggi. Jenis tanah Andosol berbahan induk vulkanik, kandungan
bahan organik tinggi, pH 4.5–6.0, struktur remah, licin bila dipirid, dan tekstur
sedang. Jenis tanah Regosol berbahan induk abu vulkan, tekstur kasar,
kandungan bahan organik tinggi dan memiliki kadar fraksi pasir 60% atau
lebih pada kedalaman 25–100 cm dari permukaan tanah mineral.
5. Penutupan Lahan
Secara umum, penutupan lahan di lokasi penelitian terbagi ke dalam
tujuh kelas penutupan lahan, yaitu hutan, perkebunan, semak belukar, sawah,
ladang, permukiman, dan badan air. Hutan yang terdapat di lokasi penelitian
terbagi menjadi dua, yaitu hutan lindung yang berstatus milik negara dan hutan
produksi yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Lahan perkebunan yang
terdapat di lokasi penelitian didominasi oleh perkebunan teh yang dijadikan
objek wisata. Semak belukar yang terdapat di lokasi penelitian merupakan
bagian sebelum punggung bukit yang belum ditanami sehingga ditumbuhi
tumbuhan liar seperti rumput-rumputan dan alang-alang. Lahan sawah banyak
dijumpai bercampur dengan area permukiman. Ladang yang terdapat di lokasi
penelitian umumnya menempati daerah yang agak tinggi. Tanaman yang
umum diusahakan adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, singkong,
dan sayur-sayuran seperti wortel, bayam, selada, caisim, bawang daun, terung,
dan kembang kol. Wilayah permukiman umumnya bergabung dengan sistem
pertanian atau perkebunan. Pola permukiman penduduk cenderung menyebar
dan memusat. Selain sebagai hunian, permukiman di kawasan ini juga
berfungsi sebagai tempat peristirahatan berupa villa yang hanya dihuni pada
saat tertentu saja. Lokasi penelitian ini terletak di DAS Ciliwung Hulu dengan
sungai utama adalah Sungai Ciliwung. Mata air sungai ini ber