Land use planning for sustainable agriculture in krueng peutoe river stream area of north aceh district

(1)

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

BERBASIS PERTANIAN BERKELANJUTAN

DI DAS KRUENG PEUTOE KABUPATEN ACEH UTARA

HALIM AKBAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

BERBASIS PERTANIAN BERKELANJUTAN

DI DAS KRUENG PEUTOE KABUPATEN ACEH UTARA

HALIM AKBAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara” adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya untuk kepentingan lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2006

Halim Akbar


(4)

ABSTRACT

HALIM AKBAR. Land Use Planning for Sustainable Agriculture in Krueng

Peutoe River Stream Area of North Aceh District. (under academic supervision of

KUKUH MURTILAKSONO, as chairman and ISKANDAR as member of

supervisiory committee).

The Krueng Peutoe is a sub watershed of the Jambo Aye watershed in North Aceh District of Nanggroe Aceh Darussalam Province. The aims of this research was to 1) evaluate the appropriateness of land use and land capability on Krue ng Peutoe watershed, especially in the agricultural land, 2) plan of sustainable agriculture land use on Krueng Peutoe watershed.

The survey method was applied in this research and consist of 1) map

overlay, 2) field survey, 3) evaluation and land capability classificatio n, 4) evaluation of cropping pattern and agrotechnology, 5) erosion prediction using

USLE method, 6) social economic analysis and 7) recommendation of cropping pattern agrotechnology.

The result of land use appropriateness obtained the land capability classification (KKL) II with slope limitation factor on Homogenous Land Unit (SLH) 15 and 10, KKL III with slope limitation factor and erosion on SLH 16, slope limitation factor on SLH 1, 5, 9,12, the KKL VI with slope limitation factor on SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14 and KKL VII with slope limitation factor on SLH 17.

The prediction of erosion in mixed garden was obtained 14,56 – 403,82 ton/ha/year and its value was larger than Tolerable Soil Loss (ETol) value (23,03 – 39,60 ton/ha/year). Its decreased land productivity and affected to the low income of farmer (Rp 754.000 – Rp 7.434.000/HH/year). After the reconstruction of cropping pattern, agrotechnology and addition of other side job. Based on calculation, its expected obtain the erosion value 1,09 – 30,28 ton/ha/year and income increasing become Rp10.267.200 – Rp12.441.060/ HH/year to fulfill the basic living standard (> Rp 9.600.000/HH/year).

The recommendation on this research were : KKL II and III with land use for mixed garden and plantation need a reconstruction of cropping pattern and agrotechnology. KKL VI with land use for mixed garden and plantation needed application of agrotechnology that was added with terrace strengthener plants and planting based on contour. Land use for forest at the same class was recommended as a forest, and land use for underbrush at the same class was recommended to be shep herding savannah /shepherding field. KKL VII for mixed garden was recommended to be agroforestry.


(5)

ABSTRAK

HALIM AKBAR. Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian

Berkelanjutan Di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara. Dibimbing oleh

KUKUH MURTILAKSONO dan ISKANDAR.

DAS Krueng Peutoe merupakan bagian dari DAS Jambo Aye yang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan dari penelitian adalah 1) mengevaluasi kesesuaian antara penggunaan lahan dan kemampuan lahannya pada DAS Krueng Peutoe,

khususnya pada lahan pertanian, 2) menyusun rencana penggunaan lahan

pertanian yang berkelanjutan di DAS Krueng Peutoe.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode surva i, terdiri atas 1) overley peta, 2) survai lapangan, 3) evaluasi dan klasifikasi kemampuan lahan, 4) evaluasi pola tanam dan agroteknologi, 5) prediksi erosi dengan metode USLE, 6) analisis sosial ekonomi, dan 7) rekomendasi pola tanam dan agroteknologi.

Hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan, didapat kelas kemampuan lahan (KKL) II dengan faktor pembatas lereng pada Satuan Lahan Homogen (SLH) 15 dan 10, KKL III dengan faktor pembatas lereng dan erosi pada SLH 16, faktor pembatas lereng pada SLH 1, 5, 9 dan 12, KKL VI dengan faktor pembatas lereng pada SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14, dan KKL VII dengan faktor pembatas lereng pada SLH 17.

Hasil prediksi erosi pada kebun campuran didapat 14,56 – 403,82 ton/ha/tahun dan lebih besar dari ETol (23,03 – 39,60 ton/ha/tahun). Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas lahan dan dampaknya kepada rendahnya pendapatan petani (Rp 754.000 – Rp 7.434.000 /kk/tahun). Setelah dilakukan perbaikan pola tanam, agroteknologi dan penambahan usaha sampingan lainnya berdasarkan perhitungan didapat nilai erosi 1,09-30,28 ton/ha/tahun dan terjadi peningkatan pendapatan menjadi sebesar Rp 10.267.200- Rp12.441.060/ kk/tahun sehingga dapat memenuhi standar hidup layak (>Rp 9.600.000 / kk/tahun).

Adapun hasil rekomendasi sebagai berikut : KKL II dan III penggunaan lahan kebun campuran dan perkebunan perlu dilakukan perbaikan pola tanam dan agroteknologi. KKL VI penggunaan lahan kebun campuran dan perkebunan perlu dilakukan penerapan agroteknologi yang diikut i dengan penanaman tanaman penguat teras dan penanaman menurut kontur. Penggunaan lahan untuk hutan pada kelas yang sama direkomendasikan tetap sebagai hutan, sedangkan penggunaan lahan untuk semak belukar pada kelas yang sama direkomendasikan untuk padang penggembalaan. KKL VII untuk kebun campuran direkomendasikan penggunaan lahannya untuk agroforestry.


(6)

© Hak cipta milik Halim Akbar, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(7)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan Di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara.

Nama : Halim Akbar NIM : A252030031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Dr. Ir. Iskandar

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan DAS

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 6 Juni 1967 dari ayah H. Abubakar Siddik, BA dan ibu Hj. Halimah, BA. Penulis merupakan putra ke dua dari lima bersaudara.

Pendidikan dasar penulis selesaikan pada tahun 1980 di SD Negeri 1 Meulaboh - Aceh Barat, pendidikan menengah pertama pada tahun 1983 di SMP Negeri 1 Meulaboh - Aceh Barat dan pendidikan menengah atas penulis selesaikan pada tahun 1986 di SMA Negeri 2 Banda Aceh. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, lulus pada tahun 1993.

Penulis pernah bekerja pada perkebunan dan pengolahan kelapa sawit PT. Woyla Raya Abadi, kebun Alue Gani Aceh Barat mulai tahun 1994 – 2000 sebagai staf lapangan.

Pada tahun 2001 penulis diterima menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, dan tahun 2002 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS dengan beasiswa dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui jalur Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS).


(9)

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjud ul ”Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan Di Daerah Aliran Sungai Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Iskandar selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan arahan dan bimbingan serta saran dalam penulisan tesis.

Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, atas bimbingan, arahan, dorongan semangat dan bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan.

3. Bapak Rektor Universitas Malikussaleh yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar.

4. Teman-teman kuliah, Aidamel Takalapeta, M.Si, Dahlan, M.Si, M.Rusdi, M.Si, Bukhari, SP atas kerjasama dan bantuannya.

5. Ayahanda H. Abubakar Siddik, BA, Ibunda Hj. Halimah, BA, Mertuaku

Ibunda Henny Djuned dan Kakanda : Ir. Hadimusnamar, Adinda Halizarman, ST, Halimuddin, A.Md, Arief Hidayat, A.Md atas segala bantuan, dorongan dan do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 di IPB.

6. Istri dan Ananda tercinta : Isra Maisarra, A.Md, Muhammad Alif Rachman dan Muhammad Fabyan Akbar atas izin dan pengorbanan yang tulus selama penulis mengikuti pendidikan.

Akhir kata semoga tesis ini dapat berguna bagi penulis dan pihak lain.

Bogor, Desember 2006


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Tujuan Penelitian ………... 3

Kegunaan Penelitian ………... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ………... 4

Penggunaan Lahan ………... 5

Evaluasi dan Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 7

Erosi dan Prediksi erosi ………... 12

Pembangunan dan Pertanian Berkelanjutan ………... 17

Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak ... 19

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Metode Penelitian ... 21

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis... 31

Penggunaan Lahan... 31

Topografi ... 32

Jenis Tanah... 32

Iklim ... 33

Kependudukan dan Mata Pencaharian... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan... 39

Klasifikasi Kemampuan dan Evaluasi Penggunaan Lahan ... 43

Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi ... 46

Prediksi Erosi ... ... 49

Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Tani Pilihan ... 52


(11)

Halaman KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 60

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 25 2 Luas Wilayah Bagian DAS Krueng Peutoe pada Masing - masing

Kecamatan ... 31

3 Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Penggunaan Lahan 31 4 Keadaan Topografi dan Luas Penyebarannya di DAS Krueng Peutoe 32 5 Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Jenis Tanah ... 33 6 Rata-rata Curah Hujan, Hari Hujan, Bulan Kering dan Bulan Basah

di DAS Krueng Peutoe Periode 1993 – 2002... 34 7 Rata - rata Temperatur Maksimum dan Minimum di Kabupaten

Aceh Utara ... 35 8 Rata - rata Tekanan Udara dan Kelembaban Nisbi di Kabupaten

Aceh Utara ... 36 9 Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Di DAS Krueng Peutoe ... 36 10 Jumlah KK Miskin Di Lokasi Penelitian ... 37 11 Jumlah Penduduk di DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Mata

Pencaharian ... 38 12 Jenis Penutupan Lahan dan Jenis Tanaman pada Lokasi

Pengamatan di DAS Krueng Peutoe ... 42 13 Luas Satuan Lahan Homogen pada Masing – masing Penggunaan

Lahan yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif di DAS

Krueng Peutoe ... 42 14 Hasil Evaluasi Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran,

Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan ... 45 15 Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran dan Perkebunan

pada Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng Peutoe ... 48 16 Perbandingan Hasil Prediksi Erosi dan ETol pada Berbagai


(13)

17 Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Pola Tanam Aktual pada

Kebun Campuran di DAS Krueng Peutoe... 53 18 Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Berbagai Pola Tanam

Alternatif pada Kebun Campuran di DAS Krueng Peutoe... 55 19 Rekomendasi Alternatif Pola Tanam dan Agroteknologi Di Lokasi

DAS Krueng Peutoe ... 57


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema Hubungan Antara Kelas Kemampuan Laha n dengan

Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan ... 9

2 Skematis Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 12

3 Diagram Alir Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 22

4 Batasan nilai D, De, dan Dmin ... 29


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Peutoe ... 66 2 Peta Penggunaan Lahan di DAS Krueng Peutoe ... 67

3 Peta Kelas Lereng di DAS Krueng Peutoe ... 68 4 Peta Jenis Tanah di DAS Krueng Peutoe ... 69 5 Peta Satuan Lahan Homogen di DAS Krueng Peutoe ... 70 6 Kelas dan Kode Struktur Tanah, Kelas dan Kode Permeabilitas

Profil Tanah, Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah ... 71 7 Nomograf untuk Menentukan Nilai K ... 72 8. Nilai Faktor C dari Berbagai Tanaman dan Pengelolaan atau

Penggunaan Lahan ... 73 9 Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Pengelolaan

Tanaman CP... 75 10 Nilai Faktor Kedalaman 30 Sub Order Tanah ... 76 11 Kedalaman Tanah Minimum yang Dapat Diterima dan Nilai Faktor

Penggunaan Lahan Berbagai Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan .... 77 12 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir (1993 – 2002) di DAS

Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara ... 78 13 Intensitas Faktor-Faktor Penghambat untuk Klasifikasi Kemampuan

Lahan ... 79 14 Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran,

Perkebunan, Hutan dan Semak Belukar ... 81

15 Data Curah Hujan Bulanan 10 Tahun Terakhir (1993 – 2002)

di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara ... 82 16 Nilai Erodibilitas Tanah (K) pada Kebun Campuran, Perkebunan,


(16)

17 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter Fisik di DAS

Krue ng Peutoe... 84 18 Nilai Faktor LS pada Kebun Campuran, Perkebunan, Semak

belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe ... 85 19 Nilai Faktor C dan P pada Satuan Lahan Homogen yang

Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng

Peutoe ... 86 20 Hasil Prediksi Erosi pada Lokasi Pengamatan Intensif pada

Kebun Campuran, Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan ... 87 21 Nilai ETol pada Lokasi Pengamatan Intensif Kebun Campuran,

Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan di DAS Krueng Peuto... 88 22 Komposisi Aktual Beberapa Pola Tanam pada Kebun Campuran

dengan Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng

Peutoe ... 89 23 Contoh perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran 90 24 Analisis Usaha Ternak Ayam yang dilakukan oleh Petani Di DAS

Krueng Peutoe (Perhitungan selama 1 Tahun) ... 92 25 Komposisi Alternatif beberapa pola tanam pada Kebun Campuran

dengan Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng

Peutoe ... 93 26 Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran untuk

Pola Tanam dan Agroteknologi Alternatif pada SLH 14 untuk

Luas 1 Ha ... 94 27 Analisis Usaha Ternak Ayam (Perhitungan Selama 1 Tahun)... 96 28 Analisis Usaha Ternak Kambing (Perhitungan Selama 1 Tahun) . 96 29 Peta Rekomendasi Penggunaan Lahan Di DAS Krueng Peutoe .. 97 30 Nilai Faktor C dan P Alternatif pada Satuan Lahan Homogen

yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanfaatan sumberdaya alam hutan, tanah dan air merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang harus dilaksanakan berdasarkan asas kelestarian dan manfaat secara nasional. Setiap pembangunan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam perlu direncanakan secara tepat dan terarah dalam satuan daerah aliran sungai (DAS).

Saat ini di Indonesia hampir di seluruh bagian DAS pemanfaatannya diperuntukkan untuk lahan pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, irigasi dan eksploitasi hasil hutan, sebagian dari pemanfaatan tersebut kurang bahkan tidak bijaksana sehingga menimbulkan kerusakan lahan (degradasi lahan).

Bila pengelolaan yang tidak sesuai tersebut tidak dibenahi, maka peningkatan luas lahan kritis akan terus bertambah. Menurut Baharsja (1994

dalam Sinukaban 2001), saat ini luas lahan tidak produktif diperkirakan sudah mencapai 38 juta hektar atau 20% dari luas daratan Indonesia. Soenarno (2000) dan Ditjen RRL (1999 dalam Nugroho et al. 2004) mengemukakan bahwa tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas lahan kritis sebesar 12.517.632 ha dan tahun 2000 jumlah DAS kritis meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas lahan kritis sekitar 23.714.000 ha. Hal ini akibat kondisi DAS di berbagai daerah cenderung memburuk dan tatanan keseimbangan-nya dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Selanjutkeseimbangan-nya menurut Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan1) bahwa saat ini 59,3 juta ha dari total luas hutan 120 juta ha dalam kondisi rusak (degradasi), akibat illegal logging, okupasi lahan dan perambahan hutan.

Pertanian berkelanjutan merupakan sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan (Salikin 2003). Selanjutnya Hadisuparto (1998) mengatakan pengelolaan DAS yang berhasil secara hidro-pedologis dapat dicirikan dengan terpeliharanya kesuburan tanah, ketersediaan sumber air dan debit sungai yang cukup pada musim kemarau dan aliran sungai yang tidak berlebihan (banjir) pada musim hujan.

1)


(18)

DAS Krueng Peutoe dengan luasan 30.258 ha yang berada di Kecamatan Lhoksukon, Cot Girek dan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara memiliki panjang sungai 53 km dengan debit maksimum 7,74 m3/det dan debit rata-rata 0,77 m3/det (Dinas Sumber Daya Air NAD 2004).

Penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe terdiri dari pemukiman 729 ha, kebun campuran 11.620 ha, perkebunan 4.294 ha, hutan primer 11.628 ha dan semak belukar 1.987 ha (Forum Remote Sensing dan GIS 2005).

Luas lahan kritis di DAS Krueng Peutoe saat ini seluas 2.500 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh Utara 2000). Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat setempat yang masih menggunakan lahannya tidak sesuai dengan kemampuannya, yaitu masih menggunakan tanah secara terus menerus (tanpa bera), perladangan berpindah, membiarkan tanah terbuka tanpa vegetasi atau tanpa menanami tanaman apapun di atasnya dan melakukan penebangan hutan di daerah hulu. Hal inilah merupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan (pembentukan lahan kritis).

Berdasarkan hasil rekapitulasi keluarga miskin yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara, penduduk di Kabupaten Aceh Utara memiliki persentase keluarga miskin 44,75 %. (Dinas Infokom Aceh Utara 2005), sedangkan di lokasi DAS Krueng Peutoe jumlah KK miskin 1.815 KK (27,9%) (BPS Kabupaten Aceh Utara 2003).

Kemiskinan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang relatif, yang dikaitkan dengan tingkat pendapatan yang rendah atau tingkat pemenuhan kebutuhan dasar bagi kehidupan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan antara lain disebabkan oleh produktivitas lahan yang rendah, lahan pertanian sempit, harga hasil pertanian rendah dan kesempatan kerja diluar usaha tani atau pendapatan di luar usaha tani sangat terbatas (Sinukaban 2001).

Penanggulangan kemiskinan di daerah hulu daerah aliran sungai, dapat dilakukan dengan beberapa upaya, diantaranya : (1) rehabilitasi lahan yang tidak produktif agar menjadi lebih produktif, (2) pengembangan kemampuan organisasi masyarakat agar lebih mampu mengatasi masalah pemeliharaan produktivitas lahan, (3) pengembangan modal di daerah pedesaan melalui penggunaan bahan dan tenaga lokal dalam pembangunan sarana penanggulangan erosi dan (4)


(19)

peningkatan kemampuan manusia pedesaan melalui penyuluhan dan latihan (Haeruman 1996).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu disusun perencanaan penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan yang berwawasan lingkungan dan pemerataan pendapatan, agar nantinya sumberdaya alam di DAS Krueng Peutoe dapat terpelihara secara berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi kesesuaian antara penggunaan lahan dan kemampuan

lahannya pada DAS Krueng Peutoe, khususnya pada lahan pertanian.

2. Menyusun rencana penggunaan lahan pertanian yang berkelanjutan di DAS

Krueng Peutoe.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengguna lahan dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan lahan, khususnya di wilayah DAS Krueng Peutoe.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi berupa punggung-punggung bukit atau gunung yang menampung air hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian mengalirkannya

melalui sungai utama (outlet) ke laut atau ke danau (Sinukaban 1995).

Selanjutnya Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling berhubungan erat membentuk keseimbangan.

Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 1995).

Adapun tujuan pengelolaan daerah aliran sungai : (1) mengkonservasi tanah pada lahan pertanian, (2) memanen/menyimpan kelebihan air pada musim hujan dan me manfaatkannya pada musim kemarau, (3) memacu usahatani berkelanjutan dan menstabilkan hasil panen melalui perbaikan pengelolaan sistem pertanian dan (4) memperbaiki keseimbangan ekologi (hubungan tata air hulu dengan hilir, kualitas air, kualitas dan kemampuan lahan dan keanekaragaman hayati) (ICRAF 2005).

Menurut Nugroho, Priyono dan Cahyono (2004) pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

Terdapat tiga aspek yang selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS, yaitu jumlah air (water yield), waktu penyediaan air (water regime) dan sedimen. Ketiga aspek tersebut dapat memberikan gambaran tentang kualitas sistem DAS (Sing 1992).


(21)

Untuk mengetahui kemampuan DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di atasnya adalah dengan mengamati perubahan koefisien alirannya. Besar kecilnya perubahan koefisien aliran (run off coefficient) menunjukkan perubahan kemampuan DAS dalam menerima dan melepaskan air sehingga dapat menjadi gambaran keadaan vegetasi di atasnya. Berdasarkan selang waktu, dikenal tiga macam koefisien aliran yaitu (1) koefisien aliran tahunan (annual yield coefficient), (2) koefisien aliran sesaat (stromflow response) dan (3) koefisien laju aliran (Todd 1980 dalam Baco 1997).

Menurut Sinukaban (1995) suatu pengelolaan DAS yang lestari memiliki minimal tiga indikator utama, yaitu (1) pendapatan dan produktifitas masyarakat di dalam DAS yang relatif tinggi, sehingga dapat mendisain kehidupan keluarganya dengan “layak”, (2) erosi yang terjadi harus lebih kecil dari erosi yang dapat ditolerir, serta (3) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh petani dengan sumberdaya lokal yang tersedia. Selain itu juga, kelestarian suatu ekosistem DAS dicirikan oleh kemapuan DAS untuk mempertahankan produktivitasnya dari berbagai macam gangguan dan tekanan yang masuk ke dalam ekosistem DAS tersebut baik secara alami ataupun dibuat oleh manusia.

Secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS, yaitu (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, (2) perlindungan terhadap lahan- lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor dan (3) peningkatan atau pengembangan sumber daya air dengan cara manipulasi satu atau lebih komponen penyusun sistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses hidrologi atau kualitas air (Asdak 1995).

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik sementara maupun terus menerus terhadap lingkungannya untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan suatu wilayah bersifat dinamis,

mengikuti waktu dan jumlah serta profesi penduduk dalam wilayah tersebut (Arsyad 2000).


(22)

Dengan adanya teknologi tepat guna dan makin langkanya lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, maka beberapa faktor penghambat seperti kekedapan air dan drainase, kemasaman dan keracunan alumunium dan ketidak suburan mulai kurang diperha tikan. Pada saat ini orang lebih memperhatikan masalah kemiringan yang erat hubungannya dengan bahaya erosi yang dapat menurunkan kelestarian lahan tersebut (Soepardi 1983). Selanjutnya (Diwiryo et al. 1977

dalam Soepardi 1983) mengemukakan bahwa hal lain yang menjadi perhatian orang adalah eksesibilitas lahan yaitu apakah pengusahaan lahan dapat menciptakan tumbuhnya perkembangan ekonomi yang sifatnya timbal balik.

Secara umum tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila persyaratan tumbuhnya seperti faktor tanah, iklim dan pengelolaan yang memadai dipenuhi. Tidak terpenuhinya satu atau lebih persyaratan tersebut secara optimal menyebabkan tanaman tidak mampu memberikan hasil sesuai dengan kemampuan genetisnya.

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) tipe penggunaan lahan (land utilization type) adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya dibedakan atas 2 macam, yaitu : (1) multiple land utilization type yaitu tipe penggunaan lahan terdiri dari lebih satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama pada sebidang lahan dan (2) compound land utilization type yaitu tipe penggunaan terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang lahan yang untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal.

Pengetahuan tentang penggunaan lahan sangat penting untuk melakukan suatu perencanaan dan pengelolaan DAS. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kapasitas atau kemampuannya dapat menimbulkan masalah, diantaranya exploitasi sumberdaya alam yang tidak efisien, perusakan sumberdaya alam, kemiskinan dan berbagai problem sosial lainnya dan bahkan terjadi destruksi peradaban.

Perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap hasil air yang keluar melalui outlet DAS, dimana hubungan antara perubahan penggunaan lahan


(23)

dan hasil air dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan lahan di dalam DAS tersebut.

Pola penggunaan lahan mencerminkan jenis kegiatan manusia yang ada di atasnya, lahan pertanian menunjukkan adanya usaha dibidang pertanian. Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, makin tinggi pula kebutuhan manusia akan lahan.

Agar penggunaan lahan dapat dilakukan sesuai dengan potensi yang ada, maka sebelumnya harus dilakukan evaluasi lahan, yaitu suatu proses yang berhubungan dengan penilaian kualitas lahan untuk suatu penggunaan tertentu, termasuk interpretasi dan pelaksanaan survai dasar mengenai iklim, tanah, vegetasi dan aspek-aspek lahan lainnya.

Evaluasi dan Klasifikasi Kemampuan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan adalah evaluasi potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu atau tindakan-tindakan pengelolaannya. Lahan dengan kemampuan yang tinggi diharapkan nantinya berpotensi yang tinggi dalam berbagai penggunaan (Sitorus 1985).

Evaluasi kemampuan lahan merupakan bagian dari proses evaluasi lahan, yang pada dasarnya merupakan evaluasi potensi lahan bagi penggunaan sistem pertanian secara luas, oleh karena itu sifatnya lebih umum dibandingkan dengan evaluasi kesesuaian lahan .

Sistem evaluasi kemampuan lahan mengelompokkan lahan ke dalam sejumlah kecil kategori yang diurut menurut faktor penghambat permanen. Sistem ini dilakukan dengan cara menguji nilai- nilai dari sifat tanah dan lokasi melalui proses penyaringan. Nilai yang pertama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan yang terbaik, dan jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, lahan tersebut secara otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah hingga kelasnya ditemukan dan semua kriteria dipenuhi.

Klasifikasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampun tanah, karena bila suatu penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan. Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan


(24)

tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan erosi pada lahan pertanian tersebut (Kahirun 2000).

Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land capability) yang dikembangkan

oleh USDA (Klingebiel dan Montgomery 1973 dalam Arsyad 2000) me mbagi

lahan ke dalam sejumlah kategori-kategori menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman. Selanjutnya Dent dan Young (1981) mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan merupakan proses pengelompokkan lahan ke dalam kelas-kelas tertentu, terutama didasarkan atas faktor- faktor pembatas permanen. Ada tiga kategori yang digunakan, yaitu kelas, sub kelas dan unit. Penggolongan ke dalam tiga katagori tersebut berdasarkan atas kemampuan lahannya untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Arsyad 2000).

Pengelompokan lahan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat dari kekas I sampai dengan kelas VIII, dimana resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah semakin tinggi kelasnya (Hardjowigeno 2003). Tanah kelas I – IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman semusim dan tanaman tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2000).

Kelas

Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan


(25)

lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukan untuk usaha pertanian diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya.

Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah disajikan pada Gambar 1.

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat

Penggembalaan Garapan

Cagar

Alam Hutan Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif I II III IV V VI VII Hambatan meningkat, kesesuaian dan pilihan penggunaan lahan berkurang VIII

Gambar 1. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan (Klingebiel dan Montgomery 1973 dalam Arsyad 2000).

Kelas I

Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Terletak pada lereng yang datar (0 – 3%), tanahnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak memerlukan tindakan konservasi khusus, namun upaya memelihara kesuburan tanah seperti pemupukan dan penambahan bahan organik ke dalam tanah secara teratur diperlukan.

Kelas II

Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Terletak pada lereng yang landai sampai berombak (3 – 8%) dan atau telah mengalami erosi ringan (<25 % lapisan atas telah hilang), kedalaman sedang ( > 50 cm – 90 cm), agak peka terhadap erosi dan bertekstur halus sampai agak kasar. Tanah kelas II sesuai untuk berbagai macam keperluan manusia, termasuk untuk tanaman semusim, tanaman tahunan,


(26)

padang rumput, hutan produksi dan sebagainya Bila digarap untuk usaha pertanian semusim diperlukan tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau atau guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan seperti pada kelas I.

Kelas III

Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II, sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring atau bergelombang (8 – 15%) berdrainase buruk, kedalaman sedang, atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup tanah disamping tindakan-tindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah.

Kelas IV

Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari kelas III, sehingga memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring atau berbukit (15 – 30%), berdrainase buruk atau kedalaman tanah yang dangkal (< 50 – 25 cm).

Kelas V

Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan. Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya, atau terdapat liat masam di dekat atau pada daerah perakarannya.

Kelas VI

Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, dikarenakan terletak pada lereng agak curam (30 – 45%). Tanah ini lebih sesuai


(27)

untuk padang rumput atau dihutankan. Jika profil tanahnya dalam dapat digunakan untuk produksi pertanian (tanaman semusim atau tahunan) dengan metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.

Kelas VII

Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Tanah ini terletak pada lereng yang curam (45 – 65%) dan tanahnya dangkal, atau telah mengalami erosi yang sangat berat. Namun dapat digunakan untuk padang pengembalaan (rumput) terbatas, hutan produksi dengan upaya pencegahan erosi, dan terbaik adalah untuk hutan lindung/suaka alam.

Kelas VIII

Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, terletak pada lereng sangat curam (> 65 %) sebaiknya Tanah kelas VIII dibiarkan pada keadaan alami, dan diperuntukkan sebagai hutan lindung atau suaka alam atau areal rekreasi.

Sub Kelas

Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor penghambat. Terdapat delapan jenis faktor penghambat, yaitu (1) tekstur tanah, (2) permeabilitas, (3) kedalaman efektif (4) lereng, (5) drainase, (6) erosi, (7) bahaya banjir/genangan dan (8) batu-batuan.

Satuan Kemampuan (Capability Unit)

Pengelompokkan di dalam satuan kemampuan lahan memberi keterangan yang lebih spesifik dan terinci untuk setiap bidang lahan dari pada sub kelas (Arsyad 2000). Satuan kemampuan merupakan pengelompokkan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama. Lahan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal (a) kemampuan memproduksi tanaman pertanian atau tanaman rumput untuk makanan ternak, (b) memerlukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan (c) untuk jenis tanaman yang sama akan memberi hasil


(28)

kurang lebih sama (produksi rata-rata dengan sistem pengelolaan yang sama tidak akan berbeda lebih dari 25 %) (Suripin 2001).

Secara skematis klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Kelas

Gambar 2. Skematis Klasifikasi Kemampuan Lahan Erosi dan Prediksi erosi

Istilah erosi tanah umumnya diartikan sebagai kerusakan tanah oleh perbuatan air atau angin. Menurut Arsyad (2000), erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Menurut media pengangkutannya dikenal dua jenis erosi, yaitu erosi air dan erosi angin.

Pada dasarnya erosi terjadi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Pada sebagian besar daerah tropika basah seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran permukaan (Sinukaban 1989).

Selanjutnya Ellison (1947 dalam Sinukaban 1989) menyatakan bahwa erosi merupakan proses pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi, dimana peristiwa pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) merupakan komponen-komponen erosi tanah yang penting, dimana di dalam proses terjadinya erosi, peristiwa pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan merupakan variabel yang penting yang berdiri sendiri, tetapi pengangkutan tergantung dari pelepasan.

I II III IV V VI VII VIII

e w s c g

IVs1 IVs2 IVs3 IVs4

Sub Kelas


(29)

Menurut Arsyad (2000), besarnya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor-faktor tersebut bila dinyatakan dengan persamaan deskripsi sebagai berikut :

A = f ( C, T, V, S, H)

dimana :

C = iklim T = topografi V = vegetasi S = tanah H = manusia.

Prediksi erosi dari sebidang tanah merupakan cara untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu.

Erosi sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pengelolaan lahan. Oleh karena itu erosi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaannya, dimana salah satu alat bantu yang dapat digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan adalah model prediksi erosi (Arsyad 2000).

Perkembangan persamaan untuk menghitung kehilangan tanah di lapangan dimulai sejak tahun 1936 oleh Cook yang me ngembangkan tiga faktor yang tidak saling berkaitan, tetapi mempengaruhi erosi yaitu erodibilitas, erosivitas dan tanaman penutup tanah.

Sementara itu Wischmeier dan Smith (1978) telah merangkum data dari ribuan plot dan daerah aliran sungai dengan mempertimbangkan persamaan kehilangan tanah karena hujan. Untuk itu mereka sepakat mengemukakan bentuk akhir persamaan kehilangan tanah dengan menggunakan persamaan USLE (universal soil loss equation) yang mengkombinasikan faktor-faktor utama penyebab erosi dan hubungan kuantitatifnya untuk memprediksi besarnya erosi lembar dan alur akibat air hujan dan aliran permukaan pada suatu daerah tertentu.


(30)

Model persamaan yang digunakan adalah :

A = R x K xL x S x C x P dimana :

A = besarnya erosi (ton/ ha/tahun) R = indeks erosivitas hujan K = faktor erodibilitas tanah

L = faktor panjang lereng S = faktor kemiringan lereng C = faktor pengelolaan tanaman P = faktor tindakan konservasi

Penggunaan USLE tidak dibatasi oleh batas-batas geografi tetapi dalam menggunakannya dibutuhkan pengetahuan tentang nilai lokal dari setiap faktor erosi (Sinukaban 1989).

Menurut Vadari, Subagyono dan Sutrisno (2004), model erosi tanah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) model empiris, (2) model fisik dan (3) model konseptual.

Model empiris didasarkan pada variabel- variabel penting yang didapat dari penelitian dan pengamatan selama proses erosi terjadi. Salah satu contoh model empiris adalah USLE (universal soil loss equation). Model ini sangat luas penggunaannya untuk memprediksi erosi lembar dan alur.

Model fisik merupakan suatu model yang berhubungan dengan hukum kekekalan massa dan energi. Model ini dikenal juga sebagai model input-output

dalam kondisi yang homogen, dan tidak berlaku bila kondisinya tidak homogen (Rose et al. 1983 dalam Vadari et al. 2004).

Model konseptual merupakan suatu model yang dirancang untuk mengetahui proses internal dalam sistem dan mekanisme fisik yang selalu berkaitan dengan hukum fisika dalam bentuk sederhana. Umumnya model ini tidak linier, bervariasi dalam waktu dan parameternya mutlak diukur. Menurut Vadari et al. (2004), meskipun model ini mengabaikan aspek spasial dalam proses hujan dan aliran permukaan, tetapi kaitannya dengan proses yang tidak linier menyebabkan model ini layak untuk dipertimbangkan.

Beberapa model erosi yang telah dikembangkan dimulai dengan USLE dan beberapa model empiris lainnya, diantaranya RUSLE (revised universal soil loss equation), MUSLE (modified universal soil loss equation) yang dikembangkan


(31)

tetap berpatokan pada USLE (Vadari et al. 2004). Sedangkan model fisik lain

yang dikembangkan setelah generasi USLE adalah model GUEST (griffith

university erosion system template) (Rose et al. 1997). Selanjutnya Sinukaban (1997) mengemukakan bahwa beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan dengan hidrologi dan juga berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWERS (areal non-point sources watershed environment response simulation) yang

diperbaiki dengan model AGNPS (agricultural non-point source pollution

model).

Adapun kelebihan dari model USLE adalah : sederhana, nilai- nilai parameter sudah tersedia pada beberapa tempat (Sinukaban 1997). Selanjutnya Schmidtz dan Tameling (2000) mengemuk akan kelebihan dari model USLE adalah mudah dikelola, relatif sederhana dan jumlah masukan atau parameter yang dibutuhkan relatif sedikit. USLE juga berguna untuk menentukan kelayakan tindakan konservasi tanah dalam perencanaan lahan dan untuk memprediksi non-point sediment losses dalam hubungannya dengan program pengendalian polusi (Lal 1994 dalam Vadari et al. 2004). Pada tingkat lapangan (field scale) USLE sangat berguna untuk merumuskan rekomendasi atau perencanaan yang berkaitan dengan bidang agronomi karena dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan land use dan tindakan konservasi tanah yang ditujukan untuk menurunkan on-site effect dari erosi (ICRAF 2001).

Sedangkan kekurangan dari model USLE adalah (a) tidak akurat untuk prediksi per kejadian hujan (single storm event) karena nilai R merupakan rata-rata tahunan, (b) model erosi untuk agriculture field-scale kurang mengakomodasi

deposisi dan produksi sedimen untuk catchment scale, dan (c) tidak

memperhitungkan erosi dari hot spots seperti erosi parit, channel erosion, longsor dll (Sinukaban 1997). Adaptasi model tersebut pada lingkungan yang baru

memerlukan investasi sumber daya dan waktu untuk mengembangkan database

yang dibutuhkan untuk menjalankannya (Nearing et al. 1994 dalam Vadari et al. 2004). Over estimasi yang bisa terjadi dengan penggunaan USLE dapat mencapai 2000%, penyebabnya adalah adanya subjektivitas penggunaan data atau karena penggunaan peta skala kecil (Van der Poel dan Subagyono 1998).


(32)

Hasil prediksi erosi di atas akan dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) berdasarkan pendekatan (Hammer 1981

dalam Arsyad 2000) dalam jangka waktu yang lama untuk menentukan apakah tanah yang digunakan tersebut lestari atau tidak. Dalam pendekatan ini turut diperhitungkan ketebalan tanah minimum dan jangka waktu penggunaan tanah yang diinginkan (resource life). Konsep ini menggunakan kedalaman tanah ekivalen dan umur guna tanah untuk menetapkan erosi yang dapat ditoleransikan.

Erosi yang dapat ditoleransikan bukan saja ditujukan untuk mempertahankan produktivitas tanah, tetapi juga bertujuan untuk mengendalikan laju pendangkalan waduk, ataupun untuk mengantisipasi pencemaran kualitas air sungai yang sering digunakan sebagai bahan baku air minum. Besaran erosi yang dapat ditoleransikan untuk keperluan ke dua hal di atas lebih ketat dibandingkan untuk memperbaiki produktivitas tanah pertanian (Vadari et al. 2004).

Selanjutnya Vadari et al. (2004) mengemukakan di Indonesia ada beberapa cara penetapan batas laju erosi yang dapat ditoleransikan yang umum digunakan, diantaranya Thompson (1957), Wood dan Dent (1983) dan Hammer (1981). Thompson (1957) menyarankan agar laju erosi yang dapat ditoleransikan didasarkan pada kedalaman solum tanah, permeabilitas tanah lapisan bawah dan

kondisi substratum. Sedangkan Hammer (1981) dan Hammer dalam Wood dan

Dent (1983) mengatakan turut memperhitungkan ketebalan tanah minimum dan jangka waktu penggunaan tanah yang diinginkan (resource life), dimana konsep ini menggunakan kedalaman tanah ekivalen dan umur guna tanah untuk menetapkan erosi yang dapat ditoleransikan.

Adapun persamaan yang digunakan Hammer (1981) untuk penentuan erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) adalah :

DE - Dmin

ETol = + LPT


(33)

dimana :

ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)

DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd De = kedalaman efektif tanah (mm)

fd = faktor kedalaman tanah menurut Sub Ordo Tanah

Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm) UGT = umur guna tanah (tahun)

LPT = laju pembentukan tanah (mm/thn) Pembangunan dan Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan strategi pembangunan pertanian jangka panjang yang dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang menjadi daya dukung proses produksi pertanian sekaligus mempertahankan kapasitas produksi/daya dukung dari sumberdaya itu sendiri (Pakpahan et al. 1992).

Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan

implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani secara luas, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Salikin 2003).

Selanjutnya Salikin (2003) mengatakan sistem pertanian berkelanjutan juga berisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya alam dengan mempertimbangkan 3 (tiga) aspek berikut :

(1) Kesadaran lingkungan

Sistem budi daya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. Misalnya, perburuan ular sawah untuk diambil kulitnya akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ketegangan ekologis berupa timbulnya ledakan populasi tikus sawah, sehingga berubah menjadi hama yang sangat merugikan.


(34)

(2) Bernilai ekonomis

Sistem budi daya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pendek dan jangka panjang serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi.

Misalnya, kasus penyewaan lahan dataran tinggi oleh para petani berdasi yang datang dari luar daerah untuk bercocok tanam kentang dengan teknik yang menyimpang dari kaidah ekologis yaitu memotong kontur gunung. Dalam jangka pendek, teknik tersebut memang mampu mendongkrak produktivitas kentang sehingga secara ekonomis sangat menguntungkan. Namun dalam jangka panjang dampak ekonomis dan ekologis yang ditimbulkan sangat merugikan terutama bagi generasi yang akan datang, yaitu proses pemiskinan hara tanah, tingkat erosi yang relatif tinggi dan pendangkalan sungai serta waduk menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sistem usaha pertanian dimasa depan.

(3) Berwatak sosial atau kemasyarakatan

Sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya.

Misalnya, seorang petani akan mengusahakan peternakan ayam dipekarangan milik sendiri. Mungkin secara ekonomis dan ekologis menjanjikan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan dampak yang kurang baik seperti pencemaran udara. Kajian tentang pertanian berkelanjutan di Indonesia lebih banyak berkonsentrasi pada masalah- masalah spesifik kajian, yaitu pada sistem pertanian dataran tinggi yang rawan terhadap perusakan sumber daya lingkungan, misalnya daerah aliran sungai (DAS), daerah tangkapan air dan kawasan usaha tani di dataran tinggi. Untuk itu dimasa mendatang kajian tersebut perlu diperluas dan diperdalam. Secara umum pertanian berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan (quality of life) (Manguiat 1995).


(35)

Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak

Menurut Soekartawi (2002), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial usahatani dan standar hidup layak, yaitu (1) penerimaan usahatani, (2) biaya usahatani dan (3) pendapatan usahatani.

• Penerimaan Usahatani, merupakan perkalian antara produksi yang

diperoleh dengan harga jual, persamaannya sebagai berikut : TR = Yi.Pyi

dimana : TR = total penerimaan ; Yi = produksi yang diperoleh dalam satu musim tanam ke- i (kg) ; Pyi = harga komoditas ke i (Rp)

• Biaya Usahatani, merupakan nilai semua masukan atau keluaran yang

dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi, baik langsung maupun tidak, dengan persamaan sebagai berikut :

TC = S Xi.Pxi

dimana : TC = biaya tetap ; Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap ; Pxi = harga input ke- i (Rp) dan i = macam komoditas yang dikembangkan dalam suatu usaha tani

• Pendapatan Usahatani, merupakan selisih dari total penerimaan terhadap total pengeluaran.

PU= TR – TC

dimana : PU = pendapatan usahatani ; TR = total penerimaan ; dan TC = total biaya

Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per kepala keluarga (KK) dan harga beras yang berlaku disuatu daerah. Menurut Sajogyo dan Sajogyo (1990), nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 – 320 kg/orang/tahun. Sedangkan untuk di perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun.

Adapun perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :


(36)

1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan beras satu rumah tangga x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras.

2. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = pendidikan dan sosial + kesehatan dan rekreasi + asuransi dan tabungan.

- Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial = 50% KFM; - Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi = 50% KFM; dan - Kebutuhan untuk asuransi dan tabungan = 50% KFM.

3. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen

beras satu rumah tangga x 250% x jumlah anggota keluarga x harga beras.

Jika setiap rumah tangga diasumsikan terdiri dari 5 orang, dengan harga beras Rp 2.400/kg (harga di lokasi), maka kebutuhan hidup layak (KHL) = 320 kg/orang/tahun x 250% x 5 orang/kk x Rp 2.400 = Rp 9.600.000/kk/tahun. Agar usahatani tersebut dapat berlangsung terus, maka pendapatan bersih petani harus > Rp 9.600.000/kk/thn.


(37)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di DAS Krueng Peutoe, Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang secara geografis terletak pada 96o52’00” – 97o31’00” Bujur Timur dan 04o46’00” – 05o00’40” Lintang Utara. Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2005 sampai Februari 2006. Lebih jelasnya gambar lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data fisik hasil pengukuran di lapangan dan data sosial ekonomi. Data sekunder yang digunakan adalah data curah hujan 10 tahunan dari stasiun Meteorologi Malikussaleh, data kabupaten Aceh Utara dalam angka, peta rupa bumi skala 1 : 50.000 lembar 0521-31, 0521-32, 0520-63, 0520-64 (Bakosurtanal 1978), peta jenis tanah (Ditjen RLPS - Departemen Kehutanan 2003), peta Land Use-Landsat 7 (Forum Remote Sensing dan GIS 2005).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kerja (peta hasil overlay), bor tanah, Abney level, kompas, ring sampel, pisau, cangkul, meteran, kantong plastik, alat tulis menulis, kertas label, alat dokumentasi, GPS dan seperangkat komputer PC.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai yang terdiri atas empat tahap (Gambar 3), yaitu : (1) tahap persiapan yang meliputi pengumpulan data sekunder dan pembuatan peta satuan lahan homogen, (2) tahap survai pendahuluan, yaitu melakukan pengecekan lapanga n untuk mengetahui keadaan lokasi penelitian, khususnya dalam penentuan plot pengamatan pada satuan lahan homogen pewakil, (3) tahap survai utama meliputi pengumpulan data biofisik dan data sosial ekonomi, dan (4) tahap analisis data dan penyajian hasil.


(38)

---

---

Gambar 3. Diagram Alir Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Perubahan Pola Tanam dan Agroteknologi Ya

Sesuai

Alternatif Agroteknologi Evaluasi Pola Tanam

Tidak

Analisis Data

Prediksi Erosi

Analisis Sosial Ekonomi

Rekomendasi Penggunaan Lahan

Ya

Ya

Tidak

A<ETol

Pendapatan bersih>standar hidup layak

Pengamatan , Pengukuran dan Pengambilan Data Bio Fisik

Data Skunder Sosial Ekonomi (Wawancara)

Klas Kemampuan Lahan

Evaluasi Penggunanan Lahan

Alternatif Penggunaan Lahan Tidak

Peta Jenis Tanah Peta Topografi / Kelas Lereng Peta Penggunaan Tanah

Overlay Peta

Peta Satuan Lahan Homogen

Penentuan Plot Pengamatan Intensif pada Satuan Lahan Homogen Pewakil

Survai Pendahuluan

Survai Utama

Tahap persiapan


(39)

Tahap Persiapan.

Tahap ini merupakan tahap studi kepustakaan, yaitu meneliti dan mengkaji pustaka yang telah ada tentang keadaan lahan di lokasi penelitian serta data sekunder lainnya.

Salah satu sarana yang sangat penting untuk tahap ini adalah peta dasar, yaitu peta hasil tumpang tindih (overlay) dari peta penggunaan lahan (Lampiran 2) peta topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4). Peta ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan pengamatan di lapangan, dan penetapan faktor K, LS, C dan P.

Survai Pendahuluan

Survai pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan pelaksanaan survai utama yang akan dilakukan kemudian. Sela in menyiapkan urusan administrasi, survai pendahuluan juga bertujuan untuk melakukan orientasi didaerah penelitian untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan dan mengidentifikasikan permasalahan yang mungkin didapat di lapangan.

Dalam survai ini juga perlu dilakukan beberapa pengamatan pendahuluan tentang jenis tanah, penggunaan tanah serta keadaan penduduk dan lingkungan serta pencocokan peta satuan lahan homogen.

Peta Satuan Lahan Homogen

Penentuan peta satuan lahan homogen adalah hasil tumpang tindih (overlay) dari peta topografi (kelas lereng), peta jenis tanah dan peta penggunaan tanah, sehingga didapat 17 satuan lahan homogen (Lampiran 5). Peta ini digunakan sebagai peta dasar (peta kerja) untuk melakukan pengamatan di lapangan pada plot pengamatan intensif pada satuan lahan homogen pewakil yang berjumlah 14 satuan lahan homogen.

Survai Utama

Survai utama merupakan kegiatan utama di lapangan. Dalam survai ini dilakukan pengamatan langsung di lapangan seperti pengukuran kemiringan lereng dengan alat abney level, pengamatan tekstur tanah, struktur tanah, keadaan


(40)

batuan, kedalaman efektif, kejadian erosi, melakukan pengamatan vegetasi yang ada dan agroteknologi yang ada pada plot pengamatan intensif.

Pengambilan sampel tanah di lapangan dilakukan setelah penentuan plot sampel pada peta kerja untuk tiap luasan satuan lahan homogen pewakil. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul/skop untuk tanah sub soil yang kemudian dimasukkan ke dalam plastik untuk dianalisis di laboratorium. Sedangkan pengambilan sampel tanah untuk penetapan permeabilitas tanah digunakan ring sampel.

Penentuan jenis tanah didasarkan atas pengamatan profil tanah di lapangan dibantu dengan hasil analisis tanah di laboratorium. Batas-batas penyebaran jenis tanah ditentukan dengan pemboran secara taktis dengan mempelajari faktor-faktor pembentuk tanah.

Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan secara purposif berdasarkan titik contoh pengambilan data fisik, dimana petani yang lahannya dijadikan titik contoh merupakan petani responden yang selanjutnya dilakukan wawancara dengan menggunakan kuisioner.

Analisis Data dan Penyajian Hasil

Data fisik lahan yang telah diperoleh digunakan untuk menentukan kelas kemampuan lahan dan prediksi erosi. Sedangkan data sosial ekonomi digunakan untuk analisis biaya dan pendapatan petani, dan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan alternatif agroteknologi dan usahatani di DAS Krueng Peutoe.

Tahapan analisis untuk menyusun perencanaan penggunaan lahan dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut : (1) evaluasi kemampuan lahan berdasarkan potensi lahan, (2) prediksi erosi dan penentuan ETol, (3) analisis usaha tani dan (4) perencanaan penggunaan lahan alternatif.

Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan.

Evalua si kesesuaian penggunaan lahan dilakukan berdasarkan kriteria klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973) yang dimodifikasikan oleh Arsyad (2000) (Tabel 1), dimana pada penelitian ini hanya ditekankan pada 4 (empat) faktor penghambat, yaitu : (1) lereng permukaan, (2) tingkat erosi, (3) kedalaman tanah dan (4) drainase.


(41)

Penentuan klas kemampuan lahan ditentukan dengan memasukkan ke empat faktor penghambat di atas yang didapat dari hasil pengamatan di lapangan yang selanjutnya dicocokkan ke dalam kriteria klasifikasi kemampuan lahan dengan berpedoman kepada skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Gambar 1) untuk didapat kelas kemampuan lahan yang sesuai.

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kelas Kemampuan Lahan

No Faktor Penghambat

I II III IV V VI VII VIII 1 Lereng permukaan (l) A B C D A E F G 2 Kepekaan erosi (ke) 1-2 3 4-5 6 (*) (*) (*) (*) 3 Tingkat Erosi (e) 0 1 2 3 (**) 4 5 (*) 4 Kedalaman tanah (k) 0 1 2 2 (*) 3 (*) (*) 5 Tekstur lapisan atas (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5 6 Tekstur lapisan bawah (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5 7 Permeabilitas (p) 2-3 2-3 2-4 2-4 1 (*) (*) 5 8 Drainase (d) 1 2 3 4 5 (**) (**) 0 9 Kerikil/batuan (b) 0 0 1 2 3 (*) (*) 4 10 Ancaman banjir (0) 0 1 2 3 4 (**) (**) (*) 11 Salinitas (g) (***) 0 1 2 3 (**) 3 (*) (*) Keterangan : (A-G) : intensitas faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan

(*) : dapat mempunyai sebaran sifat faktor penghambat (**) : tidak berlaku

(***) : umumnya terdapat di daerah beriklim kering

Prediksi Erosi dan Penentuan ETol.

Prediksi erosi dilakukan pada satuan lahan homogen pewakil di lokasi penelitian pada lahan pertanian (kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan hutan) untuk menentukan kelayakan setiap jenis pengelolaan pertanian pada masing- masing unit kemampuan lahannya.

Prediksi erosi dihitung dengan persamaan USLE (universal soil loss equation) menurut Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut :


(42)

A = R x K x L x S x C x P dimana :

A = Besarnya erosi (ton/ha/tahun) R = Indeks erosivitas hujan K = Faktor erodibilitas tanah

L = Faktor panjang lereng (m) S = Faktor kemiringan lereng (%) C = Faktor pengelolaan tanaman P = Faktor tindakan konservasi

Penentuan Nilai Erosivitas Hujan (R)

Erosivitas hujan adalah kemampuan hujan untuk mengerosi tanah yang dicerminkan oleh kombinasi energi kinetik hujan denga n intensitas hujan maksimum 30 menit yang dihitung selama 1 tahun.

Dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penangkar otomatik, maka nilai erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan persamaan Lenvain (1975 dalam

Asdak 1995) :

EI30 = 2,21 (CHm)1,36

dimana :

EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit (CHm) = Curah hujan bulanan

sehingga besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai indeks erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut :

12

R = S (EI30) i

i=1

dimana : R = faktor erosivitas hujan

Penentuan Nilai Erodibilitas Tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah merupakan daya tahan tanah baik terhadap penglepasan maupun pengangkutan. Kepekaan erosi tanah ini sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Komponen-komponen yang ditentukan adalah tekstur tanah (persen pasir halus dan kasar, persen debu dan liat). Kode struktur tanah ditentukan mengacu pada ukuran diameter dan kelas struktur tanah (Lampiran 6a). Kode permeabilitas tanah ditentukan berdasarkan kecepatan atau laju permeabilitas (Lampiran 6b).


(43)

Nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dengan menggunakan nomograf Wischmeier dalam sistem metrik (Lampiran 7) atau dengan menggunakan persamaan Wischmeier dan Smith(1978):

100K = 1,292 {2,1 M1,14 (10 –4) (12 – a) + 3,25 (b – 2) + 2,5 (c – 3)} dimana :

K = erodibilitas tanah

M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + debu)(100 - % liat)

a = % bahan organik

b = kode struktur tanah

c = kode permeabilitas profil tanah

Penentuan Nilai Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Faktor LS didefinisikan sebagai nisbah antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng dan kemiringan lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari sebidang tanah yang terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 m dan kecuraman 9 %.

Faktor LS dihitung dengan menggunakan rumus:

2 00138 , 0 00965 , 0 0138 , 0

( S S

X

LS = + +

dimana :

X = panjang lereng (m) dan S = kecuraman lereng (%)

Penentuan Nilai Pengelolaan Lahan dan Tanaman (C)

Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) merupakan nisbah antara tanah yang hilang pada pengelolaan tanaman tertentu dengan tanah yang hilang tanpa tanaman. Nilai C ditentukan berdasarkan pengamatan lapangan dan wawancara yang meliputi : sistem pertanaman, pemupukan, pemanfaatan sisa tanaman, cara penanaman dan teknik perlakuan terhadap tanah serta penggunaan mulsa dan kompos dengan mengacu pada nilai C hasil- hasil penelitian terdahulu. Daftar nilai C tersebut disajikan pada Lampiran 8.


(44)

Penentuan Nilai Teknik Konservasi Tanah (P)

Nilai P merupakan nisbah besarnya erosi dari petak lahan dengan tindakan konservasi tertentu (misalnya teras) terhadap besarnya erosi dari petak standar tanpa penerapan tindakan konservasi. Nilai faktor P ditentukan berdasarkan kondisi lapang dimana tidak saja tindakan konservasi tanah secara mekanik tetapi juga berbagai usaha yang bertujuan mengurangi erosi tanah. Indeks konservasi tanah ditentukan berdasarkan Lampiran 9.

Erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss)

Erosi yang dapat ditoleransikan dihitung berdasarkan pendekatan Hammer (1981, dalam Arsyad, 2000) dengan menggunakan konsep kedalaman ekuivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life). Erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) dihitung dengan rumus :

DE - Dmin

ETol = + LPT

UGT

dimana :

ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)

DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd De = kedalaman efektif tanah (mm)

fd = faktor kedalaman tanah menurut sub ordo tanah

Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm) UGT = umur guna tanah (tahun)

LPT = laju pembentukan tanah (mm/thn) (Hammer 1981)

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah sampai suatu lapisan yang menghambat pertumbuhan akar tanaman. Kedalaman ekivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktivitasnya berkurang dengan 60% dari produktivitas tanah yang tidak tererosi (Hammer 1981).

Nilai faktor kedalaman beberapa sub order tanah disajikan pada Lampian 10. Kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk beberapa jenis tanaman dan pola tanam disajikan pada Lampiran 11. Adapun hubungan antara kedalaman efektif tanah (D), kedalaman ekivalen (De) dan kedalaman minimum tanah yang sesuai (Dmin) disajikan pada Gambar 4.


(45)

Batas pertumbuhan akar

Gambar 4. Batasan nilai D, De, dan Dmin (Sinukaban 1999) Analisis Usahatani

Pada analisis usahatani, data tentang penerimaan, biaya dan pendapatan usaha tani perlu diketahui. Cara analisis terhadap tiga variabel ini disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) (Soekartawi 1986).

Ketiga variabel analisis usahatani tersebut adalah penerimaan usahatani, biaya usahatani dan pendapatan usahatani

Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per kepala keluarga (KK) dan harga beras yang berlaku disuatu daerah. Nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 – 320 kg/orang/tahun. Sedangkan untuk di perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun (Sajogyo dan Sajogyo, 1990). Perencanaan Penggunaan Lahan Alternatif

Perencanaan penggunaan lahan ditentukan untuk setiap unit kemampuan lahan dengan menggunakan dasar nilai CP (faktor tanaman dan pengelolaan tanah) yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis pengelolaan lahan melalui simulasi.

Kriteria untuk menetapkan CP maksimum yang akan direkomendasikan dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :

A < ETol à RKLSCP < ETol ETol

RKLS CP < CPrek < CP max Dmin

DE D


(46)

Dalam hal ini ditentukan nilai CP untuk setiap jenis penggunaan dan unit kemampuan lahan, nilai RKLS pada setiap satuan lahan homogen dianggap konstan, maka besarnya prediksi erosi selanjutnya sebanding dengan nilai CP yang dipilih selama simulasi.

Jika nilai CP yang diperoleh telah maksimal tetapi belum memenuhi syarat untuk standar hidup layak, maka harus ada penyempurnaan usahatani, seperti usaha ternak ataupun usaha keterampilan/kerajinan lainnya untuk memanfaatkan hasil pertanian, sehingga kebutuhan hidup petani dan keluarganya dapat terpenuhi atau standar hidup layak dapat tercapai.


(47)

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis

DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha merupakan bagian dari DAS Jambo Aye. DAS ini berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terletak pada96o52’00” – 97o31’00” Bujur Timur dan 04o46’00” – 05o00’40” Lintang Utara dan secara administrasi pemerintahan meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Lhoksukon, Kecamatan Cot Girek dan Kecamatan Matang Kuli. Luas masing- masing kecamatan disajikan pada Tabel 2 dan Peta Lampiran 1.

Tabel 2. Luas Wilayah Bagian DAS Krueng Peutoe pada Masing- masing Kecamatan

L u a s No. Kecamatan

Ha %

1. Lhoksukon 8.808 29,1

2. Cot Girek 20.954 69,3

3. Matang Kuli 496 1,6

J u m l a h 30.258 100,0 Sumber : Hasil Analisis Peta

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada DAS Krueng Peutoe meliputi : pemukiman 729 ha, kebun campuran 11.620 ha, perkebunan 4.294 ha, semak belukar 1.987 ha dan hutan primer 11.628 ha (Tabel 3 dan Peta Lampiran 2).

Tabel 3. Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Penggunaan Lahan.

L u a s

No. Jenis Penggunaan

Ha %

1. Pemukiman 729 2,4 2. Kebun campuran 11.620 38,4 3. Perkebunan 4.294 14,2 4. Semak belukar 1.987 6,6 5. Hutan primer 11.628 38,4 J u m l a h 30.258 100,0 Sumber : Hasil Analisis Peta


(48)

Topografi

Bentuk wilayah pada dasarnya ada yang landai, berombak, bergelombang, berbukit, bergunung dan curam. Perbedaan dalam bentuk wilayah suatu daerah akan menyebabkan perbedaan dalam gerak air tanah bebas dan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh di permukaan tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda dalam proses pembentukan tanah.

Selanjutnya Hakim et al. (1986) mengatakan topografi mempengaruhi

perkembangan dan pembentukan profil tanah atas 3 hal yaitu : (1) mempengaruhi jumlah curah hujan teradsorbsi dan penyimpanannya di dalam tanah, (2) mempengaruhi tingkat perpindahan tanah atas oleh erosi dan (3) mempengaruhi arah gerakan bahan dalam suspensi atau larutan dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Keadaan topografi di lokasi penelitian sangat bervariasi, yaitu datar sampai sangat curam. Untuk lebih jelasnya keadaan topografi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 dan Peta Lampiran 3.

Tabel 4. Keadaan Topografi dan Luas Penyebarannya Di DAS Krueng Peutoe.

L u a s

Kelas Le reng Kemiringan (%)

Ha %

Datar 0 - 8 6.304 20,8

Landai 8 - 15 7.369 24,4

Curam 25 - 45 6.325 20,9

Sangat Curam > 45 10.260 33,9

J u m l a h 30.258 100,0 Sumber : Departemen Kehutanan (RLPS), 2006

Jenis Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah, di lokasi penelitian dijumpai 5 (lima) jenis tanah, yaitu Dystropepts, Paleudults, Rendolls, Tropaquepts dan Tropudults. Jenis tanah Dystropepts dengan luasan 4.338 hektar (14,3%) terletak di tengah-tengah dari DAS Krueng Peutoe dengan kemiringan 25-45% dan membentang dari Timur ke Barat, jenis tanah Paleudults dengan luasan 1.691 hektar (5,6%) terletak di bagian Timur dan sebagian lagi di bagian barat dari DAS Krueng Peutoe, jenis tanah Rendolls terletak pada bagian hulu dari DAS Krueng Peutoe


(49)

dengan luasan 647 hektar (2,1%), jenis tanah Tropaquepts terletak pada bagian Utara dengan luasan 6.304 hektar (20,9%) dan jenis tanah Tropudults dengan luasan 17.277 hektar (57,1%) terletak pada bagian Selatan dan sebagian lagi di bagian Utara. Lebih jelasnya jenis tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5 dan Peta Lampiran 4.

Tabel 5. Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Jenis Tanah.

L u a s

No. Jenis Tanah

Ha %

1. Dystropepts 4.338 14,3 2. Paleudults 1.691 5,6 3. Rendolls 647 2,1

4. Tropaquepts 6.304 20,9

5. Tropudults 17.277 57,1 J u m l a h 30.258 100,0 Sumber : Departemen Kehutanan (RLPS), 2006

Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses pembentukan tanah disamping menentukan pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Unsur iklim yang paling penting adalah suhu, curah hujan, kelembaban udara, kecapatan angin, penyinaran matahari dan tekanan udara.

Kondisi iklim di lokasi penelitian didekati dari hasil pencatatan data iklim selama 10 tahun (1993-2002) dari pantauan stasiun Meteorologi dan Geofisika Malikussaleh, Kabupaten Aceh Utara (Lampiran 12). Analisis data klimatologi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya erosi dan potensi lahan dalam pengembangan tanaman. Rata-rata curah hujan, hari hujan, bulan kering dan bulan basah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan tahunan selama 10 tahun di lokasi penelitian adalah sebesar 1.354,9 mm/tahun, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada Tahun 1993, yaitu 1.713 mm/tahun dan curah hujan terendah terjadi pada Tahun 2002 yaitu, 853 mm/tahun.


(50)

Tabel 6. Rata-rata Curah Hujan, Hari Hujan, Bulan Kering dan Bulan Basah Di DAS Krueng Peutoe Periode 1993 - 2002.

Tahun Curah Hujan Hari Hujan Bulan Kering Bulan Basah (mm) (hari) (bulan) (bulan)

1993 1.713 111 - 8

1994 1.534 74 3 6

1995 1.527 95 5 4

1996 1.328 80 1 8

1997 1.102 75 3 3

1998 1.389 82 4 6

1999 1.149 95 3 6

2000 1.380 99 4 5

2001 1.574 113 4 5

2002 853 102 9 3

Jumlah 13.549 926 39 54 Rata-rata 1.355 93 4 5 Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofisika Malikussaleh Kab. Aceh Utara, 2006 (diolah)

Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson (1951 dalam

Handoko 1993) yang merupakan modifikasi dari sistem Mohr, maka untuk mengetahui tipe iklim di lokasi penelitian adalah dengan menentukan nilai Q, yaitu perbandingan rata-rata bulan kering (BK) dengan rata-rata bulan basah (BB) dikalikan 100%. Bulan kering (BK) adalah bulan dengan hujan lebih kecil 60 mm, bulan lembab (BL) adalah bulan dengan hujan antara 60 – 100 mm dan bulan basah (BB) adalah bulan dengan hujan lebih besar dari 100 mm. Dari hasil perhitungan didapat nilai Q = 80,0 % (tipe iklim D), yaitu daerah sedang dengan vegetasi hutan musim.

Suhu Udara

Suhu rata-rata di lokasi penelitian adalah 32,7oC, bulan dengan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 34oC dan suhu udara terendah terjadi pada bulan Januari dan Oktober sebesar 32oC. Dengan demikian suhu udara di lokasi penelitian relatif sama pada setiap bulannya. Hasil analisis suhu udara harian di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.


(51)

Tabel 7. Rata-rata Temperatur Maksimum dan Minimum Di Kabupaten Aceh Utara

Temperatur (oC) No. B u l a n

07.00 13.00 18.00 Max Min

1. Januari 23,5 30,1 28,2 32,0 21,2 2. Februari 22,9 29,2 27,6 32,8 20,1 3. Maret 23,9 30,3 28,2 32,6 22,0 4. April 23,7 31,2 28,8 33,0 21,2 5. Mei 23,9 31,1 29,0 34,0 21,6 6. Juni 23,6 31,7 29,9 33,2 21,0 7. Juli 23,6 30,0 26,4 32,4 22,0 8. Agustus 23,4 31,6 29,2 33,8 21,8 9. September 23,5 29,9 28,2 32,2 22,0 10. Oktober 23,4 29,9 28,6 32,0 21,6 11. Nopember 23,3 29,6 27,9 32,2 21,0 12. Desember 22,8 29,4 27,7 32,2 21,0 Rata-rata 23,5 30,3 28,3 32,7 21,4 Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofosika Malikussaleh Kab. Aceh Utara, 2006

Kecepatan Angin

Kecepatan angin rata-rata di lokasi penelitian berdasarkan pengamatan tahun 2004 adalah 6,9 km/jam. Bulan dengan rata-rata kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Mei, sebesar 7,9 km/jam, dan terendah bulan Agustus sebesar 6,0 km/jam. Dengan demikian kecepatan angin di lokasi penelitian relatif tidak berbeda pada tiap bulan.

Kelembaban Udara

Kelembaban nisbi udara rata-rata di lokasi penelitian adalah 73,7 %. Bulan dengan kelembaban udara terendah adalah bulan Juni, yaitu sebesar 69 % dan tertinggi bulan Nopember, sebesar 78 %. Dengan melihat kelembaban udara tertinggi dan terendah dapat diketahui bahwa di lokasi penelitian memiliki kelembaban udara relatif sama pada tiap bulannya. Hasil analisis kelembaban udara harian di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8.


(1)

Lampiran 26. Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran Untuk Pola

Tanam dan Agroteknologi Alternatif pada SLH 14 untuk Luas 1 Ha

No. Uraian Perhitungan Jumlah (Rp) 1 2 3 4 1. Biaya

a. Tenaga Kerja (7 jam/hari)

- Persiapan lahan 10 HK; laki - laki (6/7x10x2)+(6/7x10x1)

dewasa 2 orang, perempuan dewasa = 25,71 HK 308.520 1 orang.

- Pengolahan tanah 14 HK; laki - laki (6/7x14x2)+(6/7x14x1)

dewasa 2 orang, perempuan dewasa 1 = 41,14 HK 493.680 orang

- Penanaman dan penyulaman 7 HK (6/7x7x2)+(6/7x7x1)

laki-laki dewasa 2 orang perempuan = 18 HK 216.000 dewasa 1 orang

- Pemeliharaan tanaman 10 HK ; laki- (6/7x10x2)+(6/7x10x1)

laki dewasa 2 orang, perempuan = 36 HK 432.000 dewasa 1 orang

- Panen 6 HK; laki - laki dewasa 2 (6/7x6x2)+(6/7x6x1)

orang, perempuan dewasa 1 orang = 15,43 HK 185.160 - Pasca panen 6 Hk; laki-laki dewasa (6/7x6x2)+(6/7x6x1)

2 orang, perempuan dewasa 1 orang = 15,43 HK 185.160

Ket : 1 HK = Rp 12.000

Total (a) 1.820.520 b. Pelaksanaan Konservasi

- Pembuatan teras gulud, 6 HK; Laki (6/7x6x3)

laki dewasa 3 orang = 15,43 HK 185.160 - Pemberian Mulsa 4 HK; laki - laki (6/7x4x3)

dewasa 3 orang = 10,29 HK 123.480 - Mulsa jerami 2 ton/ha = 2000 x Rp 1000 2.000.000

Total (b) 2.308.640

c. Sarana Produksi - Bibit / Benih

1. Kacang kedelai 5 kg x 3 x 5000/kg 75.000 2. Cabe 6 x 12.500/kemasan 75.000 3. Pinang 220 x 1000/btng 220.000 4. Kacang Tanah 5 kg x 3 x 5000/kg 75.000 5. Jagung 10kg x 3 x 4500/kg 135.000

- Pupuk 750.000

- Pestisida 125.000

- Peralatan usahatani (cangkul, parang,

arit, hand sprayer) 225.000


(2)

Lampiran 26. Lanjutan

1 2 3 4

Total (c) 1.780.000

Total I (a + b + c) 4.130.940

2. Pendapatan

1. Kacang kedelai Rp 2.500/kg x 150kg x 3 1.125.000

2. Cabe Rp 100.000/kg x 2 x 3 600.000

3. Pinang Rp 2.500/kg x 1400 kg 3.500.000 4. Kacang Tanah Rp 4.500/kg x 350 kg x 3 4.725.000

5. Jagung Rp 1.500/kg x 700 x 3 3.150.000

Kios Rp 115.000/bln x 12 1.380.000

Total 2 14.480.000

Pendapatan bersih (Total 2 – Total 1) 10.349.060


(3)

Lampiran 27. Analisis Usaha Ternak Ayam yang Dilakukan Oleh Petani pada DAS

Krueng Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)

No. Uraian Perhitungan Total (Rp)

1. Biaya

Bibit 20 ekor Rp. 2.500 x 20 ekor 50.000

Pakan (dedak) 300.000

Biaya Kandang 45.000

Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000 995.000 2. Pendapatan

Ayam dewasa Rp. 35.000/ekor x 55 ekor 1.925.000 Telur ayam (95%x20 ekor)x(25%x365hari)x Rp800 1.387.000 3.312.000 3. Pendapatan bersih


(4)

Lampiran 28. Analisis Usaha Ternak Kambing yang Dilakukan Oleh Petani pada DAS

Krueng Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)

No. Uraian Perhitungan Total (Rp)

1. Biaya

Bibit 4 ekor Rp. 200.000 x 4 ekor 800.000 Pakan Rp. 250.000 250.000

Biaya Kandang 75.000

Tali Rp. 2.500 x 40 m. 100.000 Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000 1.825.000 2. Pendapatan

Produksi Rp. 800.000/ekor x 6 ekor 4.800.000

3. Pendapatan bersih


(5)

MOHON MAAF,

PADA HALAMAN INI SESUAI DENGAN ASLINYA TIDAK ADA.


(6)

Lampiran 30. Nilai Faktor C dan P Alternatif pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS

Krueng Peutoe

SLH Pola Tanam dan

CP RKLS

A ETo l Pendapatan Bersih Keterangan

Penutupan Lahan Alternatif (ton/ha/tahun) (ton/ha/tahun) (Rp/KK/Thn) A vs ETol

Kebun Campuran

14 PN

+

Kedela i - KT

+

JG/Cabe

+

M

+

TG

0,012 310,79

3,73 28,28

12.441.060

<

15 KK

+

KH - Kedelai

+

Cabe

+

JG

+

M

+

TG

0,015 72,78 1,09

39,60

13.060.200

<

16 PG

+

JG - JG

+

TR

+

Kedelai/Cabe

+

M

+

TG

0,021 499,41 10,48

36,31

10.267.200

<

17 PN

+

KK

+

Kedelai

+

KH

+

M

+

TG

+

PMK

0,015 2.019,11 30,28

23,03

12.264.720

>

Perkebunan

8 PN

+

KK

+

NG

+

KLP

+

M

+

TG

0,015 630,74 9,46

26,26

tidak dianalisis

<

9 KK

+

KP

+

NG

+

KLP

+

M

+

TG

0,015 346,88 5,20

26,40

tidak dianalisis

<

10 KS

+

M

+

TB

0,13 29,05

3,78

38,15

tidak dianalisis

<

12 KK

+

M

+

TB

0,08 265,55 21,24

29,60

tidak dianalisis

<

Semak Belukar

6 Padang Pengembalaan

0,0025 602,52 1,51

43,63

tidak dianalisis

<

7 Padang Pengembalaan

0,0025 458,78 1,15

29,38

tidak dianalisis

<

Hutan

1 Agroforestry

+

TG

0,0021 171,59 0,36

13,87

tidak dianalisis

<

3 Hutan dengan kerapatan tinggi

0,0012 1.466,89 1,76

22,64

tidak dianalisis

<

4 Hutan atau Padang Penggembalaan

0,0023 537,46 1,24

32,00

tidak diana lisis

<

5 Agroforestry

+

TG

0,0021 138,45 0,29

17,14

tidak dianalisis

<

Keterangan : PN = Pinang, KK = Kakao, NG = Nangka, KLP = Kelapa, KP = Kopi , KT = Kc.Tanah, JG = Jagung, KH = Kc.Hijau,

TR = Terong, PG = Padi Gogo, KS = Kelapa sawit, M = Mulsa, TG = Teras Gulud, TB, Teras bangku,

PMK = Penanaman menurut kontur, (+) :Tumpang sari, (-) : Tumpang gilir, (/) : Tumpang sisip, SLH = Satuan Lahan

Homogen