Evaluasi Kinerja Jaringan Irigasi Tanjung Beringin Kecamatan Munte

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, indra. 2010. Penentuan Jenis Distribusi dan Uji Kesesuaian Semirno Kolmogrov Data Hujan Das Taratak Timbulun. Politeknik Negeri Padang. Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Standar Perencanaan Irigasi (KP-01).

Departemen Pekerjaan Umum, CV. Galang Persada: Bandung. Gari, Berlian Amrina.2013.Evaluasi Kebutuhan Air Irigasi Sebagai Rencana

Sistem Pembagian Air Irigasi Pada Jaringan Irigasi Jenggawah Kabupaten Jember.Malang: Universitas Brawijaya

Hadihardjaja, Joetata. 2005. Irigasi dan Bangunan Air. Gunadarma: Jakarta. Hariatama, Adean.2012. Analisa Optimalisasi Pola Tanam pada Daerah Irigasi

Namu Rambe Kabupaten Deli Serdang. Medan : USU

Hendayana, Rachmat. Kajian Efisiensi dan Efektivitas Operasional Jaringan Irigasi Mendukung Produktivitas Usaha Tani Padi Sawah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.

Hendayana, Rachmat. Kajian Efisiensi dan Efektivitas Operasional Jaringan Irigasi Mendukung Produktivitas Usaha Tani Padi Sawah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.

Hernawan, Bambang. 2003. Analisis Perhitungan Harga Air Irigasi di Daerah Irigasi Kedungdowo Kramat Kabupaten Batang. Master Theses Civil Engineering RTS 627. 52. Digital Library ITS.

Kusnadi Kalsim, dedi, dkk. 2006. Perencanaan Irigasi Drainasi Interaktif Berbasis Teknologi Informasi. Bogor : IPB

Novitasari, Dina. Analisa Efisiensi Dan Optimalisasi Pola Tanam Pada Daerah Irigasi Timbang Deli Kabupaten Deli Serdang. Medan: USU

Raju, K.R., 1986. Aliran Melalui Saluran Terbuka. Erlangga, Jakarta. Soemarto, C.D., 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga, Jakarta.

Soewarno, 2001. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai. Nova, Bandung.

Sosrodarsono, Suyono. 1993. Hidrologi Untuk Pengairan, Pradnya Paramita, Jakarta.

Sri Harto, 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia, Jakarta.


(2)

Suryadi, Abdi.2011. Studi Pengembangan Jaringan Irigasi di Daerah Irigasi Bandar Sidoras.Medan: USU

Triatmodjo, Bambang. 1993. Hidraulika II. BETA OFFSET. Yogyakarta.


(3)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Deskripsi Daerah Studi 3.1.1 Kondisi Umum

Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Irigasi Tanjung Beringin yang terletak di Kabupaten Karo tepatnya Kecamatan Munte. Luas areal irigasi Tanjung Beringin adalah 840 ha dengan luas areal. Daerah Irigasi Tanjung Beringin merupakan jaringan irigasi semi teknis dimana bangunan bagi/sadap telah permanen dan memiliki alat pengatur pembagian air dan alat ukur.

3.1.2. Kondisi Klimatologi

Suhu rata-rata bulanan di Kecamatan Munte berkisar antara 24,0°C – 31°C, suhu udara tertinggi mencapai 30,0°C - 31,0°C. Kelembaban udara berkisar dari 79% hingga 84%. Lokasi penelitian dapat dilihat di peta berikut ini (Gambar 3.1.)


(4)

3.2. Data Teknis di Lapangan

3.2.1 Jaringan Irigasi Tanjung Beringin

Jaringan irigasi pada daerah Tanjung Beringin terdiri atas: 1. Saluran Induk Tanjung Beringin

Sumber Daerah Irigasi Tanjung Beringin Berasal dari sungai Lau Tualah. Air di mulai dari bangunan intake mengalir ke saluran primer, sekunder, tersier, kuarter sampai kepetak-petak sawah.

Panjang saluran Induka dalah 1.000,00 m Saluran induk terdiri dari: a. Saluran dengan Tembok Pasangan 260,00 m

b. Saluran tanah 740,00 m

2. Saluran Sekunder Tanjung Beringin

Panjang saluran Sekunder Seluruhnya adalah 4.550,00 m

Di Daerah Irigasi Tanjung Beringin Saluran Sekunder terdiri dari : a. Saluran dengan Tembok Pasang 3510 m

b. Saluran Tanah 1040 m 3. Saluran tersier

Jaringan irigasi utama berakhir di bangunan sadap tersier, dari bangunan sadap tersier kehulu. Air mengalir kepetak-petak tersier melalui bangunan sadap tersier di petak initer dapat beberapa kelompok bangunan kecil yaitu boks bagi tersier, boks bagi kuarter, gorong-gorong.


(5)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam studi pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari buku, jurnal atau literatur lain yang berhubungan dengan judul yang dibahas dan mengumpulkan data data yang diperlukan untuk menjadi referensi. a. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengukuran

Inflow – Outflow untuk setiap saluran pegamatan . Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengukur debit inflow pada pangkal saluran dan debit outflow pada ujung saluran dan perhitung menggunakan persamaan Manning.

b. Data Sekunder. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengambilan data sekunder adalah mengumpulkan semua data yang digunakan dalam analisis data dari berbagai instansi di Kecamatan Munte.

3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data 3.4.1. Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi bertujuan untuk menyajikan data-data dalam analisis hidrologi.

3.4.2. Mengukur Debit Aliran

Debit aliran dihitung menggunakan rumus :

Q = V x A...3-1 Dengan demikian dalam pengukuran tersebut disamping harus mengukurkecepatan aliran, diukur pula luas penampangnya. Untuk mengukur kecepatan aliran menggunakan persamaan Manning.

V = ...3-2


(6)

di mana:

V = Kecepatan aliran

N = Koefisien kekasaran Manning R = Jari-jari hidrolik

I = Kemiringan dasar saluran

2.4.3 Analisis Tingkat Efisiensi

Efisiensi irigasi adalah angka perbandingan dari jumlah air irigasi nyata yang terpakai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang keluar dari pintu pengambilan (intake). Efisiensi irigasi terdiri atas efisiensi pengaliran yang pada umumnya terjadi di jaringan utama dan efisiensi di jaringan sekunder yaitu dari bangunan pembagi sampai petak sawah. Efisiensi irigasi didasarkan asumsi sebagian dari jumlah air yang diambil akan hilang baik di saluran maupun di petak sawah. Kehilangan air yang diperhitungkan untuk operasi irigasi meliputi kehilangan air di tingkat tersier, sekunder dan primer. Besarnya masing-masing kehilangan air tersebut dipengaruhi oleh panjang saluran, luas permukaan saluran, keliling basah saluran dan kedudukan air tanah.

Besarnya nilai efisiensi irigasi ini dipengaruhi oleh jumlah air yang hilang selama di perjalanan. Efisiensi kehilangan air pada saluran primer, sekunder dan tersier berbeda-beda pada daerah irigasi. Besarnya kehilangan air di tingkat saluran primer 80%, sekunder 90% dan tersier 90%. Sehingga efisiensi irigasi total = 90% x 90% x 80% = 65 %.

Rumus efisiensi irigasi dinyatakan sebagai berikut : Ec =

x 100 % ...3-3


(7)

Dimana :

Ec = Kehilangan Air

Debit pangkal = Jumlah air yang masuk Debit ujung = Jumlah air yang keluar

3.4.4 Analisis Tingkat Efektifitas

Tingkat efektifitas jaringan irigasi terutama pada jaringan irigasi induk dan jaringan irigasi sekunder diperoleh menggunakan persamaan berikut.

IA =

X 100 % ...3-4 Dimana semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektifitas pengolahan jaringan irigasi.


(8)

Gambar 3.2 Alur Pengerjaan dan Pengolahan Data

Mulai Tinjauan Pustaka PengumpulanData

Curah hujan Data Hidrolis Data Lokasi

Efektifitas Jaringan

Kebutuhan Air irigasi Efisiensi Jaringan Irigasi Debit Air

Analisa Pola Tanam

Kesimpulan dan saran Hasil

Selesai Evapotraspirasi

Klimatologi

F.J. Mock

Jenis Tanaman Debit Andalan

Pengukuran dilapangan Persamaan Manning V =

Q = V x A

Ec =

x 100 %

IA =

x 100 %


(9)

BAB IV

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Hidrologi

4.1.1 Perhitungan Curah Hujan Regional

Tujuan perhitungan curah hujan regional adalah untuk menghitung rata rata curah hujan yang terjadi di DAS Lau Tualah, untuk mengetahui curah hujan maksimum dan minimum di daerah aliran sungai Lau Tualah setiap bulannya. Data yang digunakan adalah dari stasiun penakaran yang berada di daerah Irigasi Tanjung Beringin, yaitu St.Pancar Jaya. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini ( Tabel 4.1).

.


(10)

Tabel 4.1. Curah Hujan Regional DAS Tanjung Beringin

Tahun Januari Febreuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

mm Mm Mm Mm mm Mm mm mm Mm mm mm mm

2007 0 0 0 244 246 83 87 108 98 171 236 115

2008 84 52 211 154 52 0 0 0 0 64 270 303

2009 108 52 170 120 79 0 79 79 141 239 318 236

2010 132 61 240 105 36 134 250 129 101 105 222 171

2011 110 176 220 166 80 82 0 125 99 140 230 242

2012 125 105 171 402 67 40 119 114 67 169 547 216

2013 279 301 73 145 191 44 94 162 126 279 381 473

Max 279 301 240 402 246 134 250 162 141 279 547 473

Rata-rata 119.714 106.714 155 190.857 107.285 54.714 89.857 102.428 90.285 166.714 314.857 250.851

Min 0 0 0 105 36 0 0 0 0 64 222 115

Sumber : Hasil perhitungan


(11)

Dari hasil perhitungan curah hujan regional di atas, terlihat bahwa curah hujan maksimum rata-rata terjadi di Bulan November sebesar 314.857 mm dan terendah terjadi di bulan Juni sebesar 54.714 mm.

4.1.2 Curah Hujan Efektif

Curah hujan efektif adalah bagian dari curah hujan total yang terjadi selama satu musim tanam yang dapat digunakan oleh tanaman selama masa pertumbuhan. Curah hujan efektif untuk irigasi tanaman padi diambil 80 % kemungkinan curah hujan terlewati. Curah hujan efektif diperoleh dengan cara mengurutkan data curah hujan bulanan dari yang terbesar hingga terkecil. Rekapitulasi dari perhitungan curah hujan efektif dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(12)

Tabel 4.2. Urutan Curah Hujan Regional

No Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

mm Mm Mm mm Mm Mm mm mm Mm mm mm mm

1 0 0 0 105 36 0 0 0 0 64 222 115

2 84 52 73 120 52 0 0 79 67 105 230 171

3 108 52 170 145 67 40 79 108 98 140 236 216

4 110 61 171 154 79 44 87 114 99 169 270 236

5 125 105 211 166 80 82 94 125 101 171 318 242

6 132 176 220 244 191 83 119 129 126 239 381 303

7 279 301 240 402 246 134 250 162 141 279 547 473

R80 93.6 52 111.8 130 58 44 31.6 90.6 79.4 119 232.4 189

R50 110 61 171 154 79 44 87 114 99 169 270 236

Sumber:Hasil Perhitungan


(13)

Curah hujan efektif tanaman padi diperoleh dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :

Contoh perhitungan curah hujan yang digunakan adalah data pada Bulan April. 1. R80 = 130 untuk bulan April ( Persamaan 2-32 )

Reff = R80

=

= 3.03 mm/hari

2. R80 = 90.6 untuk bulan Agustus , maka

Reff = R80

=

= 2.11 mm/hari

. Hasil perhitungan curah hujan efektif pada tanaman padi dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.1. Curah Hujan Efektif untuk Tanaman Padi

Bulan R80

Curah Hujan Efektif Untuk Tanaman Padi

Januari 93.6 2.18

Februari 52 1.21

Maret 111.8 2.61

April 130 3.03

Mei 58 1.35

Juni 16 0.37

Juli 31.6 0.74

Agustus 90.6 2.11

September 79.4 1.85

Oktober 119 2.78

November 232.4 5.42

Desember 189 4.41

Sumber : perhitungan curah hujan efektif tanaman padi


(14)

4.1.3 Daerah Aliran Sungai Lau Tualah

Daerah aliran sungai adalah air yang mengalir pada suatu daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam sungai. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian.

Luas DAS Lau Tualah yaitu 24.5 Km2. Sedangkan luas areal sawah Tanjung Beringin Kecamatan Munte adalah 840 Ha.

4.1.4 Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah terjadinya penguapan air dan penguapan melalui tanaman secara bersamaan. Evapotranspirasi harus dipenuhi oleh sistem irigasi yang bersangkutan untuk menjamin suatu tingkat produksi yang diharapkan. Evapotranspirasi sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim.

Menghitung besarnya evapotranspirasi, dibutuhkan data-data klimatologi yang meliputi :

1. Temperatur udara 2. Kelembaban udara,

3. Lama penyinaran matahari dan 4. Kecepatan angin.

Rekapitulasi perhitungan evapotranspirasi potensial (mm/hari) dapat dilihat pada tabel 4.4.


(15)

Tabel 4.4 Rekapitulasi Perhitungan Evapotranspirasi Potensial (mm/hari) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

2,53 2,35 3,06 2,41 2,48 2,25 2,52 2,58 2,79 2,63 2,59 2,31 Sumber: Hasil Analisis

4.1.5 Debit Andalan Lau Tualah dengan Metode F.J.Mock

Dalam menentukan besarnya ketersediaan air atau debit andalan pada DAS Lau Tualah, digunakan Metode F.J.Mock. Data yang menjadi parameter dalam menentukan debit andalan antara lain:

1. Data jumlah hari hujan

2. Data curah hujan bulanan rata rata 3. Data evapotranpirasi potensial

Langkah perhitungan ketersedian air atau debit andalan pada DAS Lau Tualah dengan Metode F.J.Mock dapat dilihat pada contoh perhitungan pada bulan April sebagai berikut:

Debit andalan untuk bulan April 1. Data Meteorologi

a. Curah hujan bulanan (R) = 130 mm/ bulan b. Jumlah hari hujan (n) = 12 hari

2. Evapotranspirasi aktual (Ea)

a. Evapotranspirasi potensial (Eto) = 2.41 x 12 = 28.92 mm/bulan b. Permukaan lahan terbuka (m) = 25%

c. Eto/Ea = (m/20) x (18-n) = (25/20) x (18-12) = 7,5 % d. Evapotranspirasi terbatas (Ee)

= Eto x (m/20) x (18-n)/100 = 28.92 x ( 25/20) x (18-12)/100


(16)

= 2,169 mm/bulan

e. Ea = Eto – Ee = 28,92 – 2,169 = 26,751 mm/bulan 3. Keseimbangan air

a. S = R – Ea = 130 – 26,751 = 103,249 mm/bulan

b. Limpasan Badai (PF =5%). Jika S 0; PF= 0, jika S 0; PF = R x 0,05 → S 0, maka PF = 0

c. Kandungan air tanah (SS). Jika R>Ea; SS = 0, jika R<Ea; SS = S – PF → R>Ea,maka SS = 0

d. Kapasitas kelembaban air tanah. Jika SS=0, maka kelembaban air tanah= 200, jika SS 0 maka kapasitas kelembaban air tanah= kandungan air tanah.

e. Kelebihan air (WS) = S – SS = 103,249 – 0 = 103,249 mm/bulan 4. Limpasan dan penyimpanan air

a. Faktor infiltrasi (i) diambil 0,4

b. Faktor resesi air tanah (k) diambil 0,6

c. Infiltrasi (I) = i x WS =0,40 x 103,249 = 41,300 mm/bulan

d. Volume air tanah (G) = 0,5 (1+k) I = 0,5(1+0,6)41,300 = 33.04 mm/bulan e. Penyimpanan volume air tanah (L) = k (Vn-1) = 0,6 x 100 = 60,0

f. Total volume penyimpanan air tanah (Vn) = G + L = 33.04 + 60 = 93.04

g. Perubahan volume aliran dalam tanah ( Vn),

Vn = Vn - Vn-1 = 93,04 – 100 = -6,96

h. Aliran dasar (BF)

BF = I - Vn = 41,300 – (- 6,96) = 48.28 mm/bulan

i. Limpasan langsung (DR)


(17)

DR = WS – I + PF = 103.249 – 41,300 + 0 = 61,949 mm/bulan j. Total limpasan (Tro)

Tro = BF + DR = 48.28 + 61,949 = 110,229 mm/bulan k. Debit sungai (Q)

Q = Tro x A

=

= 2,08 m 3

/dt

Dari perhitungan diatas maka dapat diperoleh rekapitulasi debit andalan dengan menggunakan metode F.J. Mock pada Tabel dibawah (Tabel 4.5).


(18)

Tabel 4.5 Perhitungan Debit Andalan Dengan Metode F.J. Mock

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember I

1 Hujan Bulanan mm/bulan Data 93.6 52 111.8 130 58 16 31.6 90.6 79.4 119 232.4 189

2 Hari Hujan (hh) Hari Data 15 11 15 12 11 6 8 17 9 16 14 12

II

3 Evapotranspirasi

potensial (Eto) mm/bulan Data 36.60 28.16 38.70 33.12 24.64 15.90 23.12 55.93 31.23 50.24 36.82 29.40 4 Permukaan Lahan

Yang Terbuka % Asumsi 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25

5 Eto/Ea % Hitung 3.75 8.75 3.75 7.5 8.75 15 12.5 1.25 11.25 2.5 5 7.5

6 Ee=Etox(m/20)x

(18-n) mm/bulan Hitung 1.37 2.46 1.45 2.48 2.16 2.39 2.89 0.70 3.51 1.26 1.84 2.21

7 Ea=Eto-Ee mm/bulan Hitung 35.23 25.70 37.25 30.64 22.48 13.52 20.23 55.23 27.72 48.98 34.98 27.20

III

8 ∆S=R-Ea mm/bulan Hitung 58.37 26.30 74.55 99.36 35.52 2.49 11.37 35.37 51.68 70.02 197.42 161.81

9 Limpasan Badai

(PF= 5%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 Kandungan Air

Tanah mm/bulan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

11 KapasitasKelembab

an Tanah mm/bulan 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200

12 Kelebihan Air mm/bulan 58.37 26.30 74.55 99.36 35.52 2.49 11.37 35.37 51.68 70.02 197.42 161.81

IV

13 Infiltrasi (I) mm/bulan 23.35 10.52 29.82 39.75 14.21 0.99 4.55 14.15 20.67 28.01 78.97 64.72

14 Vol.Air Tanah,

G=0.5(1+k)I 18.68 8.42 23.86 31.80 11.37 0.80 3.64 11.32 16.54 22.41 63.17 51.78

15 L=k(Vn-1) 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

16 Volume

Penyimpanan 78.68 68.42 83.86 91.80 71.37 60.80 63.64 71.32 76.54 82.41 123.17 111.78

17 ∆V=Vn-(Vn-1) -21.32 -31.58 -16.14 -8.20 -28.63 -39.20 -36.36 -28.68 -23.46 -17.59 23.17 11.78

18 Aliran Dasar (BF) mm/bulan 44.67 42.10 45.96 47.95 42.84 40.20 40.91 42.83 44.13 45.60 55.79 52.94

19 Limpasan Langsung mm/bulan 35.02 15.78 44.73 59.62 21.31 1.49 6.82 21.22 31.01 42.01 118.45 97.08

20 Total Limpasan

(Tro) mm/bulan 79.69 57.89 90.69 107.57 64.15 41.69 47.73 64.05 75.14 87.61 174.25 150.03

21 Debit Bulanan m3/s 1.506 1.094 1.714 2.033 1.212 0.788 0.902 1.211 1.420 1.656 3.293 2.836

31 28 31 30 31 30 31 31 30 31 30 31

Evaporasi Aktual (Ea)

Jumlah Hari

Limpasan dan Penyimpanan Air Tanah Data Meteorologi

Bulan

No Uraian Sat Ket

Keseimbangan Air


(19)

60

Grafik debit andalan metode F.J. Mock dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Debit Andalan Dengan Metode F.J. Mock

Gambar 4.1 diatas adalah grafik debit andalan dengan Metode F.J. Mock. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa debit andalan maksimum berada pada bulan November yaitu 3,29 m3/det dan debit andalan minimum terjadi pada bulan Juni yaitu 0,79 m3/det.

4.2 Analisa Kebutuhan Air 4.2.1 Pola Tanam

Untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman, pengaturan pola tanam merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Pengaturan pola tata tanam adalah kegiatan mengatur awal masa tanam, jenis tanaman dan varietas tanaman dalam suatu tabel perhitungan. Varietas pola tanam yang digunakan yaitu padi – padi – jagung. Fungsi utama dari pengaturan pola tanam adalah untuk mendapatkan

0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 D e b it A n d al an m 3 /s


(20)

61

besaran kebutuhan air irigasi. Pola tanam untuk masa awal Oktober dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Pola tanam untuk masa tanam awal Oktober

OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Lp Padi Lp Padi Palawija

Pada Tabel 4.6 diketahui masa tanam padi dimulai pada awal Oktober dan pertengahan Februari. Palawija dimulai pada awal Juli.

Pada tabel diatas masa tanam tidak serentak berpriode setengah bulanan dengan waktu bebas (Timelag) satu setengah bulanan namun, masa penyiapan lahan harus sudah selesai dalam 45 hari yang di mulai pada awal bulan Oktober. Selama jangka waktu penyiapan lahan (45 hari) air irigasi diberikan secara terus menerus dan merata untuk seluruh areal, tidak dibedakan antara areal yang sudah ditanami atau areal yang masih dalam tahap penyiapan.

4.2.2 Penyiapan Lahan dan Koefisien Tanaman

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan irigasi pada suatu daerah irigasi. Faktor-faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah :

1. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan penyiapan lahan.

2. Jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan.


(21)

62

Faktor-faktor penting yang menentukan lamanya jangka waktu penyiapan lahan adalah :

1. Tersedianya tenaga kerja dan ternak penghela atau traktor untuk menggarap tanah.

2. Perlu memperpendek jangka waktu tersebut agar tersedia cukup waktu untuk menanam padi sawah.

Masa prairigasi diperlukan guna menggarap lahan untuk ditanami dan untuk menciptakan kondisi lembab yang memadai untuk persemaian yang baru tumbuh, biasanya padi membutuhkan tanah dengan tingkat kejenuhan yang baik dan dalam keadaan tanah yang lunak dan gembur. Penyiapan lahan dan koefisien tanaman awal Oktober dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Penyiapan Lahan dan Koefisien Tanaman Awal Oktober Koefisien OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP Tanaman 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

C3 LP LP LP 1.10 1.10 1.05 1.05 0.95 - LP LP LP 1.10 1.10 1.05 1.05 0.95 - 0.50 0.75 1.00 1.00 0.82 0.45

C2 LP LP 1.10 1.10 1.05 1.05 0.95 - - LP LP 1.10 1.10 1.05 1.05 0.95 - 0.50 0.75 1.00 1.00 0.82 0.45

C1 LP 1.10 1.10 1.05 1.05 0.95 - - - LP 1.10 1.10 1.05 1.05 0.95 - 0.50 0.75 1.00 1.00 0.82 0.45

C LP LP LP 1.08 1.07 1.02 0.67 0.32 - LP LP LP 1.08 1.07 1.02 0.67 0.48 0.42 0.75 0.92 0.94 0.76 0.42 0.15

4.2.3 Pergantian Lapisan Air

Penggantian lapisan air dilakukan sebanyak 2 kali, masing masing setinggi 50 mm (3,3 mm/hari ) selama sebulan dan dua bulan setelah penanaman bibit. Pergantian lapisan air dilakukan untuk menggenangi lapisan tanah yang berfungsi sebagai cadangan air untuk perkolasi dan evapotranspirasi tanaman. Tujuan lain


(22)

63

dari adanya genangan tersebut, yaitu untuk menekan laju pertumbuhan gulma. Pergantian lapisan air masa tanam awal November dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Pergantian lapisan air masa tanam awal Oktober

OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

WLR- 3 3.30 3.30 3.30 3.30

WLR- 2 3.30 3.30 3.30 3.30

WLR- 1 3.30 3.30 3.30 3.30

WLR 1.10 1.10 2.20 1.10 1.10 1.10 1.10 2.20 1.10 1.10

4.2.4 Curah Hujan Efektif Bulanan Tanaman Palawija

Besarnya curah hujan efektif untuk tanaman palawija dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Curah Hujan Efektif Bulanan Tanaman Palawija Masa Tanam Awal Oktober

Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Keterangan R50 Rata-rata 110 61 171 154 79 44 87 114 99 169 270 236 mm

Eto 2.24 2.65 2.89 3.29 3.47 mm/hari

C1 1.02 0.48 0.75 0.94 0.42

C2 0.67 0.42 0.92 0.76 0.15

Etc=Eto*(C1+C2)*15 56.78 35.78 72.39 83.90 29.67 mm

Reff 1.84 1.03 2.03 2.66 2.31 mm/hari


(23)

64

4.3 Kebutuhan Air di D I Tanjung Beringin

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan memperhatikan jumlah air yang di berikan oleh alam melalui hujan dan kontribusi air tanah.

Kebutuhan air sawah untuk padi ditentukan oleh faktor – faktor berikut : 1. Penyiapan lahan

2. Penggunaan konsumtif 3. Perkolasi dan rembesan 4. Pergantian lapisan air 5. Curah hujan efektif.

Kebutuhan air irigasi di Tanjung Beringin dihitung berdasarkan pola tanam yang dilakukan pada masa tanam awal Oktober. Analisa kebutuhan air irigasi adalah sebagai berikut :

1. Direncanakan waktu penyiapan sawah ( T ) = 45 hari 2. Air yang dibutuhkan untuk penjenuhan ( S ) = 300 mm 3. Pola tanam: padi-padi-palawija

4. Awal musim tanam dimulai pada awal Oktober

a. Kebutuhan air untuk mengganti evaporasi dan perkolasi M = 1,1 x Eto + P

= 1,1 x 3,14 + 2,00 = 5,45 mm/hari b. Menghitung konstanta

K =


(24)

65

=

= 0,8175

c. Kebutuhan air untuk pengolahan lahan NFR = LP-Re

NFR = M.

- Re

=

6,98 mm/hari

DR =

lt/dt/ha

Menghitung kebutuhan air pada pertengahan Oktober, awal bulan November, pertengahan bulan Februari, dan pada bulan Maret dilakukan dengan cara seperti diatas.

Untuk menghitung kebutuhan air selama penanaman yaitu, mulai dari bulan November sampai akhir Januari. Dihitung berdasarkan koefisien tanaman.

Perhitungan kebutuhan air pada masa tanam awal bulan April dihitung sebagai berikut :

1. Kebutuhan air pada masa tanam

= = 1,08


(25)

66

2. Etc = Eto x C = 2,76 x 1,08 =2,98 mm/hari

3. Kebutuhan air di sawah untuk padi: NFR = Etc + P – Re + WLR

= 2,98 + 2,00 – 3,03 + 1,10 = 3.05 mm/hari

DR =

=

= 0,54 lt/dt/ha

Dari perhitungan kebutuhan air pada masa tanam awal bulan Oktober diperoleh air maksimum 0,50 lt/dt/ha. Analisa kebutuhan air irigasi untuk masa tanam awal November pada Tabel 4.10.


(26)

67

Tabel 4.10. Analisa Kebutuhan Air Irigasi untuk masa tanam awal Oktober

1 3.47 2.00 2.31 0.45 0.82 0.42 1.46 1.15 0.13 0.20 1.77

2 3.47 2.00 2.31 0.45 0.15 0.52 0.21 0.02 0.03 0.27

1 3.14 2.00 2.78 LP LP LP LP 5.65 4.88 0.56 0.73 6.32

2 3.14 2.00 2.78 1.1 LP LP LP 5.65 4.88 0.56 0.73 6.32

1 2.63 2.00 5.42 1.1 1.1 LP LP 4.73 1.31 0.15 0.20 1.70

2 2.63 2.00 5.42 1.10 1.05 1.1 1.1 1.08 2.84 0.52 0.06 0.08 0.67

1 2.45 2.00 4.41 1.10 1.05 1.05 1.1 1.07 2.62 1.31 0.15 0.20 1.70

2 2.45 2.00 4.41 2.20 0.95 1.05 1.05 1.02 2.50 2.29 0.26 0.34 2.97

1 2.44 2.00 2.18 1.10 0.95 1.05 0.65 1.59 2.50 0.29 0.38 3.24

2 2.44 2.00 2.18 1.10 0.95 0.32 0.78 1.70 0.20 0.25 2.20

1 2.56 2.00 1.21

2 2.56 2.00 1.21 LP LP LP LP 1.69 2.48 0.29 0.37 3.21

1 2.58 2.00 2.61 1.1 LP LP LP 4.64 4.04 0.47 0.61 5.23

2 2.58 2.00 2.61 1.1 1.1 LP LP 4.64 4.04 0.47 0.61 5.23

1 2.76 2.00 3.03 1.10 1.05 1.1 1.1 1.08 2.98 3.05 0.35 0.46 3.95

2 2.76 2.00 3.03 1.10 1.05 1.05 1.1 1.07 2.95 3.02 0.35 0.45 3.91

1 2.24 2.00 1.35 2.20 0.95 1.05 1.05 1.02 2.28 5.13 0.59 0.77 6.65

2 2.24 2.00 1.35 1.10 0.95 1.03 0.67 1.50 3.25 0.38 0.49 4.21

1 2.65 2.00 1.03 1.10 0.5 0.95 0.48 1.27 3.35 0.39 0.50 4.34

2 2.65 2.00 1.03 0.78 0.5 0.42 1.11 2.09 0.24 0.31 2.70

1 2.89 2.00 2.03 1 0.75 0.5 0.75 2.17 2.14 0.25 0.32 2.77

2 2.89 2.00 2.03 1 1 0.75 0.92 2.66 2.63 0.30 0.39 3.41

1 3.29 2.00 2.66 0.82 1 1 0.94 3.09 2.43 0.28 0.36 3.15

2 3.29 2.00 2.66 0.45 0.82 1 0.76 2.50 1.84 0.21 0.28 2.39

NFR lt/det/ha C3 mm/hari C mm/hari Etc mm/hari NFR mm/hari p mm/hari Re mm/hari WLR mm/hari C1 mm/hari C2 mm/hari DR mm/hari Juni Juli Agustus Januari Februari Maret April Mei Periode September Oktober November Desember DR lt/det/ha Eto mm/hari


(27)

Kebutuhan air di sawah pada awal bulan April adalah 0,35 lt/det/ha dan pada pertengahan April adalah 0,35 lt/det/ha. Maka, untuk kebutuhan air di sawah untuk keseluruhan areal pada bulan April adalah

Kebutuhan Air bulan April = X Luas Areal Sawah = 0,35 lt/det/ha X 840 ha

= 294 lt/det

Pengambilan di pintu air = X Luas Areal sawah = 0,46 lt/det/ha X 840 ha = 386,4 lt/det

Dari hasil perhitungan diatas, maka kebutuhan air untuk mengairi persawahan tercukupi karena pengambilan air di bendungan mencapai 1 /det

Tabel 4.11. Analisa Perbandingan Kebutuhan Air Di Sawah Dengan Pengambilan Air Di Pintu Air

Sumber : Perhitungan

Dari table diatas dapat dilihat bahwa kebutuhan untuk mengairi areal persawahan tercukupi

1 BTB 1 40 0.35 14 88 Mencukupi

2 BTB 2 40 0.35 14 64 Mencukupi

3 BM 1 145 0.35 50.75 105 Mencukupi

4 BM 2 40 0.35 14 77 Mencukupi

5 BMTC 1 65 0.35 22.75 56 Mencukupi

6 BMTC 2 te 310 0.35 108.5 128 Mencukupi

7 BMTB 1 200 0.35 70 108 Mencukupi

No

ANALISA PERBANDINGAN KEBUTUHAN AIR DI SAWAH DENGAN PENGAMBILAN AIR DI PINTU AIR

Kebutuhan Air di Sawah (NFR X Luas Areal Sawah) (lt/det)

Pengambilan Air di Pintu Air (lt/det)

Pintu Air Luas Areal NFR Keterangan


(28)

4.4 Analisis Tingkat Efisiensi Saluran Irigasi

Tingkat efisiensi jaringan irigasi terutama pada jaringan irigasi sekunder diperoleh dengan cara menghitung kehilangan air yang terjadi pada saluran sekunder. Dalam menghitung kehilangan air, yang pertama dilakukan adalah pengukuran debit saluran dilapangan, sehingga dapat diketahui jumlah air yang masuk dan jumlah air yang keluar.

Pengukuran yang dilakukan dilapangan adalah dimensi saluran irigasi Tanjung Beringin yaitu, lebar saluran irigasi, tinggi saluran irigasi, dan tinggi permukaan air yang terdapat pada saluran irigasi Tanjung Beringin.

Dalam pengolahan data dilakukan dengan menggunakan persamaan manning untuk mengetahui kecepatan aliran yang terjadi, dan untuk mengukur debit air digunakan persamaan 3-1.

Untuk mengukur efisiensi pada jaringan irigasi sekunder digunakan persamaan 2-33. Sehingga dapat diketahui besarnya kehilangan air yang terjadi. Besarnya efisiensi pada tingkat saluran. Standarisasi tingkat efisiensi pada jaringan irigasi dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.12. Standarisasi Tingkat Efisiensi Pada Jaringan Irigasi

Jaringan Efisiensi

Saluran Primer 90 %

Saluran Sekunder 90 %

Saluran Tersier 80 %

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi ( KP-01)

Dari data pengukuran saluran irigasi sekunder di lapangan maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut :


(29)

1. Saluran Primer

a. Saluran Inflow Bendung – BTB1

Gambar 4.2 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow Bendung – BTB1

Gambar 4.2. Saluran Inflow Bendung - BTB1

Lebar Saluran (B) = 3,20 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,82 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 1000 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang Basah (A) A = B x h = 3,20 m x 0,82 m = 2,624 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + ( 2 x 0,82) = 4,84 m

H h

B


(30)

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,542 m

V =

x x =

x x = 0,495 m/s

Maka, Q = A x V

= 2,624 m2 x 0,495 m/s = 1.299 m3/s

b. Saluran Outflow Bendung – BTB1

Gambar 4.3 adalah sketsa penampang pada saluran Outflow Bendung – BTB1

Gambar 4.3. Saluran Outflow Bendung-BTB1

Lebar Saluran (B) = 3.2 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,78 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 1000 m

H

B h


(31)

n = 0,025 (Pasangan bata) a. Luas Tampang basah (A)

A = B x h = 3,20 m x 0,78 m = 2,496 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + 2 (0.78) = 4.76 m

c. Kecepatan Aliran (V) R =

=

= 0,524 m

V =

x x =

x x = 0,485 m/s

Maka , Q = A x V

= 2,496 m2 x 0,485 m/s = 1,211 m3/s

2. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BTB1 BTB2

Gambar 4.4 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BTB1 – BTB2


(32)

.

Gambar 4.4. Saluran Inflow BTB1 - BTB2

Lebar Saluran (B) = 3.20 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0.75 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 500 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang Basah (A) A = B x h = 3,20 m x 0,75 m = 2,40 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + ( 2 x 0,75) = 4,70 m

c. Kecepatan Aliran (V) R =

=

= 0,510 m

H h

B


(33)

V =

x x =

x x = 0,476 m/s

Maka,

Q = A x V = 2,40 m2 x 0,476 m/s = 1,142 m3/s

d. Saluran Outflow BTB1 – BTB2

Gambar 4.5 adalah sketsa penampang pada saluran Outflow BTB1 – BTB2

Gambar 4.5. Saluran Outflow BTB1-BTB2

Lebar Saluran (B) = 3.2 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0.72 m Kemiringan (I) = 0,00037

Panjang Saluran = 500 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A)

H

B h


(34)

A = B x h = 3,20 m x 0,72 m = 2,304 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + 2 (0,72) = 4,64 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,497 m

V =

x x =

x x = 0,468 m/s

Maka ,

Q = A x V = 2.304 m2 x 0,468 m/s = 1.078 m3/s

3. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BTB2 BM1

Gambar 4.6. adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BTB2-BM1

Gambar 4.6. Saluran Inflow BTB2 BM1

H B

h


(35)

Lebar Saluran (B) = 3,20 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,68 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 1500 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 3,20 m x 0,68 m = 2,176 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + 2 (0,68) = 4,56 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,477 m

V =

x x =

x x = 0,455 m/s

Maka,

Q = Ax v = 2,176 m2 x 0,455 m/s = 0,990 m3/s


(36)

b. Saluran Outflow BTB2 BM1

Gambar 4.7 adalah sketsa penampang pada saluran outflow BTB2 – BM1

Gambar 4.7. Saluran Outflow BTB2 – BM1

Lebar Saluran (B) = 3,20 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,63 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 1500 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 3,20 m x 0,63 m = 2,016 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + 2 ( 0,63) = 4,46 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

H

B h


(37)

= 0,452 m V =

x x =

x x = 0,439 m/s

Maka ,

Q = A x V = 2,016 m2 x 0,439 m/s = 0,885 m3/s

4. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BM1 – BM2

Gambar 4.8 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BM1 – BM2

Gambar 4.8. Saluran Inflow BM1 – BM2

Lebar Saluran (B) = 3,20 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,56 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 750 m

H

B h


(38)

n = 0,025 (Pasangan bata) a. Luas Tampang basah (A)

A = B x h = 3,20 m x 0,56 m = 1,792 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + 2 ( 0.56) = 4,32 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,415 m

V =

x x =

x x = 0,415 m/s

Maka ,

Q = Ax V = 1,792 m2 x 0,415 m/s = 0,744 m3/s


(39)

b. Saluran Outflow BM1 – BM2

Gambar 4.9 adalah sketsa penampang pada saluran Outflow BM1 – BM2

Gambar 4.9. Saluran Outflow BM1 – BM2

Lebar Saluran (B) = 3,20 m Tinggi Saluran (H) = 1,10 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,53 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 750 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 3,20 m x 0,53 m = 1,696 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 3,20 + 2 ( 0,53) = 4,26 m

c. Kecepatan Aliran (V) R =

=

H

B h


(40)

= 0,398 m V =

x x =

x x = 0,393 m/s

Maka ,

Q = A x V = 1,696 m2 x 0,393 m/s = 0,667 m3/s

5. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BM2 BB

Gambar 4.10 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BM2 – BB

Gambar 4.10. Saluran Inflow BM2 BB

Lebar Saluran (B) = 2,50 m Tinggi Saluran (H) = 1,00 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,61 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 300 m n = 0,025 (Pasangan bata)

H

B h


(41)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 2,50 m x 0,61 m = 1,525 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 2,50 + 2 (0,61) = 3,72 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,410 m

V =

x x =

x x = 0,392 m/s

Maka,

Q = Ax V = 1,525 m2 x 0,392 m/s = 0,598 m3/s


(42)

d. Saluran Outflow BM2 BB

Gambar 4.11 adalah sketsa penampang pada saluran Outflow BM2 – BB

Gambar 4.11. Saluran Outflow BM2 – BB

Lebar Saluran (B) = 2,5 m Tinggi Saluran (H) = 1,0 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,57 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 300 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 2,5 m x 0,57 m = 1,425 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 2,5 + 2 ( 0,57) = 3,64 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,392 m

H

B h


(43)

V =

x x =

x x = 0,380 m/s

Maka ,

Q = A x V = 1,425 m2 x 0,380 m/s = 0,542 m3/s

6. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BB BMTC1

Gambar 4.12 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BB – BMTC1

Gambar 4.12. Saluran Inflow BB BMTC1

Lebar Saluran (B) = 2,50 m Tinggi Saluran (H) = 1,00 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,36 m Kemiringan (I) = 0,00032

Panjang Saluran = 1500 m n = 0,025 (Pasangan bata)

H

B h


(44)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 2,50 m x 0,36 m = 0,90 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 2,50 + 2 (0,36) = 3,22 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,280 m

V =

x x =

x x = 0,303 m/s

Maka,

Q = Ax V = 0,90 m2 x 0,303 m/s = 0,273 m3/s

b. Saluran Outflow BB BMTC1

Gambar 4.13 adalah sketsa penampang pada saluran outflow BB– BTB1

Gambar 4.13. Saluran Outflow BB – BMTC1

H

B h


(45)

Lebar Saluran (B) = 2,5 m Tinggi Saluran (H) = 1,0 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,29 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = 1500 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 2,5 m x 0,29 m = 0,725 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 2,5 + 2 ( 0,29) = 3,08 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,235 m

V =

x x =

x x = 0,270 m/s

Maka ,

Q = A x V = 0,725 m2 x 0,270 m/s = 0,196 m3/s


(46)

7. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BMTC1 BMTC2

Gambar 4.14 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BMTC1 – BMTC2

Gambar 4.14. Saluran Inflow BM2 BB

Lebar Saluran (B) = 2,50 m Tinggi Saluran (H) = 1,00 m Tinggi Permukaan Air (h) = 0,22 m Kemiringan (I) = 0,00032

Panjang Saluran = 300 m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 2,50 m x 0,22 m = 0,55 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 2,50 + 2 (0,22) = 2,94 m

H

B h


(47)

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,187 m

V =

x x =

x x = 0,232 m/s

Maka,

Q = Ax V = 0,55 m2 x 0,232 m/s = 0,128 m3/s

8. Saluran Sekunder

a. Saluran Inflow BB – BMTB1

Gambar 4.15 adalah sketsa penampang pada saluran Inflow BB – BMTB1

Gambar 4.15. Saluran Inflow BB – BMTB1

Lebar Saluran (B) = 1,50 m Tinggi Saluran (H) = 0,70 m

H

B h


(48)

Tinggi Permukaan Air (h) = 0,29 m Kemiringan (I) = 0,00035

Panjang Saluran = m n = 0,025 (Pasangan bata)

a. Luas Tampang basah (A) A = B x h = 1,50 m x 0,29 m = 0,435 m2

b. Keliling Basah (P)

P = B + 2 h = 1,50 + 2 ( 0,29) = 2,08 m

c. Kecepatan Aliran (V) R = =

= 0,209 m

V =

x x =

x x = 0,249 m/s

Maka ,

Q = A x V = 0,435 m2 x 0,249 m/s = 0,108 m3/s

Dari perhitungan diatas, maka dapat kita bandingkan kecepatan aliran menurut manning dan pengukuran di lapangan. Perbandingan kecepatan aliran dapat dilihat pada table 4.13


(49)

Tabel 4.13. Perbandingan Pengukuran Di Lapangan Dan Perhitungan Menurut Manning

TITIK

PENGUKURAN DI LAPANGAN

RATA-RATA m/s KECEPATAN MENURUT MANNING m/s 1 m/s 2 m/s 3 m/s

BTB1 In Flow 0.519 0.521 0.518 0.519 0,485 Out Flow 0.493 0.508 0.509 0.503 0,476 BTB2 In Flow 0.482 0.501 0.485 0.489 0,468 Out Flow 0.488 0.491 0.489 0.489 0,455 BM1 In Flow 0.473 0.482 0.466 0.474 0,439 Out Flow 0.471 0.473 0.469 0.471 0,415 BM2 In Flow 0.451 0.469 0.459 0.460 0,393 Out Flow 0.472 0.475 0.472 0.473 0,392 BB In Flow 1 0.458 0.463 0.465 0.462 0,380 Out Flow 1 0.348 0.352 0.347 0.349 0,303 Out Flow 2 0.312 0.317 0.317 0.315 0,249 BMTC1 In Flow 0.362 0.362 0.362 0.362 0,270 Out Flow 0.310 0.307 0.307 0.308 0,232

Dari tabel 4.13 dapat kita lihat bahwa hasil dari perhitungan menurut manning lebih kecil daripada pengukuran kecepatan aliran di lapangan.dalam kasus ini, kecepatan yang aliran yang dipakai adalah kecepatan menurut manning.

Dari perhitungan di atas diperoleh efisiensi sebagai berikut : 1. Saluran sekunder Bendung – BTB1

Ec =

Ec =

x 100

Ec = 6,77 %

Untuk efisiensi pada saluran sekunder Bendung – BTB1 adalah : = 100 – 6,77


(50)

= 93,23 %

2. Saluran sekunder BTB1 – BTB2 Ec =

Ec =

x 100

Ec = 5,60 %

Untuk efisiensi pada saluran sekunder BTB1 – BTB2 = 100 – 5,60

= 94,40 %

3. Saluran sekunder BTB2 – BM1 Ec =

Ec =

x 100 %

Ec = 10,6 %

Untuk efisiensi pada saluran sekunder BTB2 – BM1 = 100 – 10,61

= 89,39 %

4. Saluran sekunder BM1 – BM2 Ec =

Ec =

x 100 %

Ec = 10,35 %

Untuk efisiensi pada saluran sekunder BM1 – BM2 = 100 – 10,35


(51)

= 89,65 %

5. Saluran sekunder BM2 – BB Ec =

Ec =

x 100 %

Ec = 9,36 %

Untuk efisiensi pada saluran sekunder BM2 – BB = 100 – 9,36

= 90,64 %

6. Saluran sekunder BB – BMTC1 Ec =

Ec =

x 100 %

Ec = 28,21 %

Untuk efisiensi pada saluran sekunder BM1 – BM2 = 100 – 28,21

= 71,79 %

Dari perhitungan diatas untuk efisiensi saluran sekunder pada irigasi Tanjung Beringin dapat dilihat pada Tabel 4.14.


(52)

Tabel 4.14. Efisiensi Saluran Sekunder Irigasi Tanjung Beringin

Saluran Debit Pangkal (m3/dtk)

Debit Ujung (m3/dtk)

KehilanganAir

(m3/dtk) Efisiensi

Bendung – BTB1 1,299 1,211 0,088 93,23

BTB1 – BTB2 1,142 1,078 0,064 94,40

BTB2 – BM1 0,990 0,885 0,105 89,35

BM1 – BM2 0,744 0,667 0,077 89,65

BM2 – BB 0,598 0,542 0,056 90,64

BB – BMTC1 0,273 0,196 0,077 71,79

Rata-Rata 88,177

Pada Tabel 4.14 diperoleh efisiensi penyaluran di saluran sekunder Tanjung Beringin sebesar 88,177 %. Kehilangan air di sepanjang saluran sekunder Tanjung Beringin adalah sebesar 1,823 % dari efisiensi pada saluran sekunder pada kondisi normal sebesar 90 %. Dari Hasil diatas dpat dikatakan bahwa saluran sekunder irigas Tanjung Beringin cukup efisien untuk mengairi lahan di Tanjung Beringin dan Desa Munte.

4.5. Perhitungan Efektifitas Saluran

Efektifitas pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh perbandingan antara luas areal terairi terhadap luas rancangan. Dalam hal ini semakin tinggi perbandingan tersebut semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi. Tingkat efektifitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut :

IA =

X 100 %

IA =

x 100 % IA = 70 %.


(53)

Perbandingan antara luas areal yang terairi dengan luas areal rencana adalah sebesar 70 %. Artinya dari seluruh target areal yang akan diairi terdapat 30 % yang tidak terairi, dengan kata lain lahan telah berubah fungsi menjadi pemukiman, kolam ikan dan areal peternakan.


(54)

BAB V

BAB V

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dari hasil perhitungan kebutuhan air pada pola tanam yang dimulai pada awal Oktober didapat kebutuhan air maksimum adalah sebesar 0,59 lt/dt/ha.

2. Menghitung debit andalan dengan menggunakan metode F.J. Mock didapat nilai debit andalan maksimum pada daerah aliran sungai ( DAS ) Lau Tualah adalah sebesar 3,293 m3/dt, terdapat pada bulan November.

3. Dari tabel 4.12, didapat efisiensi saluran sekunder di irigasi Tanjung Beringin Kecamatan Munte sebesar 88,177 %. Kehilangan air sepanjang saluran sekunder sebesar 1,823%. Dari efisiensi pada keadaan normal di saluran sekunder sebesar 90 %.

4. Dari hasil perhitungan efektifitas sebesar 70 %, jumlah lahan yang tidak terairi sekitar 30 %. Lahan yang tidak terairi dialihfungsikan menjadi pemukiman, kolam ikan, dan area pemeliharaan ternak

5.2. Saran

1. Perlu diadakan perbaikan pada saluran irigasi Tanjung Beringin sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas untuk mengoptimalkan produktifitas hasil tanaman.


(55)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukaan bumi dari suatu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya. Air naik ke udara dari permukaan laut atau dari daratan melalui evaporasi. Air di atmosfer dalam bentuk uap air atau awan bergerak dalam massa yang besar di atas benua dan dipanaskan oleh radiasi tanah. Panas membuat uap air lebih naik lagi sehingga cukup tinggi dan dingin untuk terjadi kondensasi. Uap air berubah jadi embun dan seterusnya jadi hujan atau salju. Curahan (precipitation) turun ke bawah, ke daratan atau langsung ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian mengalir di atas permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut.

Sebagian dari air hujan yang turun dari awan menguap sebelum tiba di permukaan bumi, sebagian lagi jatuh di atas daun tumbuh-tumbuhan (intercception) dan menguap dari permukaan daun-daun. Air yang tiba di tanah dapat mengalir terus ke laut, namun ada juga yang meresap dulu ke dalam tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan sebagai air tanah. Sebagian dari air tanah dihisap oleh tumbuh-tumbuhan melalui daun-daunan lalu menguapkan airnya ke udara (transpiration). Air yang mengalir di atas permukaan menuju sungai kemungkinan tertahan di kolam, selokan, dan sebagainya (surface detention), ada juga yang sementara tersimpan di danau, tetapi kemudian menguap atau sebaliknya, sebagian air mengalir di atas permukaan tanah melalui parit, sungai, hingga menuju ke laut (surface run off), sebagian lagi infiltrasi ke


(56)

dasar danau dan bergabung di dalam tanah sebagai air tanah yang pada akhirnya ke luar sebagai mata air. Siklus hidrologi dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu: 1. Siklus Pendek : Air laut menguap kemudian melalui proses kondensasi

berubah menjadi butir-butir air yang halus atau awan dan selanjutnya hujan langsung jatuh ke laut dan akan kembali berulang

2. Siklus Sedang : Air laut menguap lalu dibawa oleh angin menuju daratan dan melalui proses kondensasi berubah menjadi awan lalu jatuh sebagai hujan di daratan dan selanjutnya meresap ke dalam tanah lalu kembali ke laut melalui sungai-sungai atau saluran-saluran air

3. Siklus Panjang : Air laut menguap, setelah menjadi awan melalui proses kondensasi, lalu terbawa oleh angin ke tempat yang lebih tinggi di daratan dan terjadilah hujan salju atau es di pegunungan-pegunungan yang tinggi. Bongkah-bongkah es mengendap di puncak gunung dan karena gaya beratnya meluncur ke tempat yang lebih rendah, mencair terbentuk gletser lalu mengalir melalui sungai-sungai kembali ke laut.

2.2 Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak – anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas didarat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.

Air pada DAS merupakan aliran air yang mengalami siklus hidrologi secara alamiah. Selama berlangsungnya daur hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke


(57)

laut yang tidak pernah berhenti tersebut, air tersebut akan tertahan sementara di sungai, danau, dan dalam tanah.Pembagian daerah aliran sungai berdasarkan fungsi hulu, tengah dan hilir yaitu :

1. Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelolah untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air, dan curah hujan.

2. Bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelolah untuk memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengolahan sungai, waduk, dan danau.

3. Bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelolah untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengolahan air limbah.

Bentuk dae adaah aliran sungai terbagi atas tiga jenis, yaitu :

1. Daerah aliran sungai (DAS) dengan pola bulu burung, di daerah aliran sungai ini selain terdapat sungai utama, tidak jauh dari sungai utama tersebut, di sebelah kirinya dan kanan terdapat pola-pola sungai kecil atau anak-anak sungai.

2. Daerah aliran sungai (DAS) dengan pola radial atau melebar, di daerah aliran sungai ini pun terdapat sungai utama (besar dengan beberapa anak


(58)

sungainya), hanya anak-anak sungainya melingkar dan akan bertemu pada satu titik daerah.

3. Daerah aliran sungai (DAS) dengan pola paralel atau sejajar, daerah aliran sungai ini memiliki 2 jalur daerah aliran, yang memang paralel, yang di bagian hilir keduanya bersatu membentuk sungai besar.

2.3 Jaringan Irigasi

Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya.

Secara hirarki jaringan irigasi dibagi menjadi jaringan utama dan jaringan tersier. Jaringan utama meliputi bangunan, saluran primer dan saluran sekunder.Sedangkan jaringan tersier terdiri dari bangunan dan saluran yang berada dalam petak tersier. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jarigan irigasi disebut dengan daerah irigasi.

2.3.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi

Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran, serta kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Jaringan irigasi sederhana. 2. Jaringan irigasi semi teknis. 3. Jaringan irigasi teknis.


(59)

Tabel 2.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi Klasifikasi Jaringan Irigasi

Teknis Semi Teknis Sederhana

Bangunan Utama Bangunan Permanen

Bangunan Permanen atau semi

Permanen Bangunan Sementara Kemampuan dalam mengukur dan mengatur debit

Baik Sedang Tidak mampu

mengatur/mengukur

Jaringan saluran Saluran pemberi dan pembuang terpisah

Saluran pemberi dan pembuang tidak sepenuhnya terpisah

Saluran pemberi dan pembuang menjadi satu

Petak tersier Dikembangkan sepenuhnya

Belum

dikembangkan dentitas bangunan tersier jarang

Belum ada jaringan terpisah yang dikembangkan

Efisiensi secara keseluruhan

50-60% 40-50% <40%

Ukuran Tak ada

batasan

<2000 hektar <500 hektar

Sumber :Standar Perencanaan Irigasi KP-01

2.3.1.1. Jaringan Irigasi Sederhana


(60)

Jaringan irigasi sederhana biasanya diusahakan secara mandiri oleh suatu kelompok petani pemakai air, sehingga kelengkapan maupun kemampuan dalam mengukur dan mengatur masih sangat terbatas. Ketersediaan air biasanya melimpah dan mempunyai kemiringan yang sedang sampai curam, sehingga mudah untuk mengalirkan dan membagi air. Jaringan irigasi sederhana mudah diorganisasikan karena menyangkutpemakai air dari latar belakang sosial yang sama namun jaringan ini masih memiliki beberapa kelemahan antara lain:

1. Terjadi pemborosan air karena banyak air yang terbuang.

2. Air yang terbuang tidak selalu mencapai lahan di sebelah bawah yang lebih subur.

3. Bangunan penyadap bersifat sementara, sehingga tidak mampu bertahan lama.

2.3.1.2.Jaringan Irigasi Semi Teknis

Jaringan irigasi semi teknis memiliki bangunan sadap yang permanen atau pun semi permanen. Bangunan sadap pada umumnya sudah dilengkapi dengan bangunan pengambil dan pengukur. Jaringan saluran sudah terdapat beberapa bangunan permanen, namun sistem pembagiannya belum sepenuhnya mampu mengatur dan mengukur. Karena belum mampu mengatur dan mengukur dengan baik, sistem pengorganisasian biasanya lebih rumit.

2.3.1.3. Jaringan Irigasi Teknis

Jaringan irigasi teknis mempunyai bangunan sadap yang permanen. Bangunan sadap serta bangunan bagi mampu mengatur dan mengukur. Disamping


(61)

itu terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan pembuang. Pengaturan dan pengukuran dilakukan dari bangunan penyadap sampai ke petak tersier.

Untuk memudahkan sistem pelayanan irigasi kepada lahan pertanian, disusun suatu organisasi petak yang terdiri dari petak primer, petak sekunder, petak tersier, petak kuarter dan petak sawah sebagai satuan terkecil. Gambar 2.7. memberikan ilustrasi jaringan irigasi teknis sebagai pengembangan dari jaringan irigasi semi teknis.

2.3.2. Petak Tersier

Petak tersier terdiri dari beberapa petak kuarter masing-masing seluas kuranglebih 8 sampai dengan 15 hektar. Pembagian air, eksploitasi dan perneliharaan di petak tersier menjadi tanggung jawab para petani yang mempunyai lahan di petak yang bersangkutan dibawah bimbing pemerintah. Petak tersier sebaiknya mempunyai batas--batas yang jelas, misalnya jalan, parit, batas desa dan batas-batas lainnya. Ukuran petak tersier berpengaruh terhadap efisiensi pemberian air. Beberapa faktor lainnya yang berpengaruh dalam penentuan luas petak tersier antara lain jumlah petani, topografi dan jenis tanaman. Apabila kondisi topografi memungkinkan, petak tersier sebaiknya berbentuk bujur sangkar atau segi empat. Hal ini akan memudahkan dalam pengaturan tata letak dan pembagian air yang efisien.

Petak tersier sebaiknya berbatasan langsung dengan saluran sekunder atau saluran primer. Sedapat mungkin dihindari petak tersier yang terletak tidak secara langsung di sepanjang jaringan saluran irigasi utama, karena akan memerlukan saluran muka tersier yang mebatasi petak-petak tersier lainnya.


(62)

2.3.3. Petak Sekunder

Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang kesemuanya dilayani oleh satu saluran sekunder. Biasanya petak sekunder menerima air dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau sekunder. Batas-batas petak sekunder pada urnumnya berupa tanda topografi yang jelas misalnya saluran drainase. Luas petak sukunder dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi topografi daerah yang bersangkutan.

Saluran sekunder pada umumnya terletak pada punggung mengairi daerah di sisi kanan dan kiri saluran tersebut sampai saluran drainase yang membatasinya. Saluran sekunder juga dapat direncanakan sebagai saluran garis tinggi yang mengairi lereng lereng medan yang lebih rendah.

2.3.4. Petak Primer

Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder yang mengambil langsung airdari saluran primer. Petak primer dilayani oleh satu saluran primer yang mengambil air langsung dari bangunan penyadap. Daerah di sepanjang saluran primer sering tidak dapat dilayani dengan mudah dengan cara menyadap air dari saluran sekunder. Apabila saluran primer melewati sepanjang garis tinggi daerah saluran primer yang berdekatan harus dilayani langsung dari saluran primer.

2.4. Bangunan irigasi


(63)

Keberadaan bangunan ingasi diperlukan untuk menunjang pengambilan dan pengaturan air irigasi Beberapa jenis bangunan irigasi yang sering dijumpai dalam praktek irigasi antara lain :

1. Bangunan utama 2. Bangunan pembawa 3. Bangunan bagi dan sadap 4. Bangunan pengatur muka air 5. Bangunan pernbuangdan penguras 6. Bangunan pelengkap.

2.4.1. Bangunan Utama

Bangunan utama dimaksudkan sebagai penyadap dari suatu sumber air untuk dialirkan ke seluruh daerah irigasi yang dilayani. Berdasarkan sumber airnya, bangunan utarna dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu:

1. Bendung

2. Pengambilan bebas 3. Pengambilan dari waduk 4. Stasiun pompa.

2.4.1.1.Bendung

Bendung adalah adalah bangunan air dengan kelengkapannya yang dibangun melintang dengan sungai yang sengaja dibuat dengan maksud untuk meninggikan elevasi muka air sungai. Apabila muka air di bendung mencapai


(64)

elevasi tertentu yang dibutuhkan, maka air sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat-ternpat yang mernerlukannya. Terdapat beberapa jenis bendung, diantaranya adalah:

1. Bendung tetap (weir) 2. Bendung gerak (barrage)

3. Bendung karet (inflamble weir).

Pada bangunan bendung biasanya dilengkapi dengan bangunan pengelak, peredam energi, bangunan pengambilan, bangunan pembilas , kantong lumpur dan tanggul banjir.

2.4.1.2. Pengambilan Bebas

Pengambilan bebas adalah bangunan yang dibuat ditepi sungai menyadap air sungai untuk dialirkan ke daerah irigasi yang dilayani. Perbedaan dengan bendung adalah pada bangunan pengambilan bebas tidak dilakukan pengaturan tinggi muka air di sungai. Untuk dapat mengalirkan air secara, gravitasi muka air di sungai harus lebih tinggi dari daerah irigasi yang dilayani.

2.4.1.3. Pengambilan dari Waduk

Salah satu fungsi waduk adalah menampung air pada saat terjadi kelebihan air dan mengalirkannya pada saat diperlukan. Dilihat dari kegunaannya, waduk dapat bersifat multi guna. Pada urnumnya waduk dibangun memiliki banyak kegunaan seperti untuk irigasi, pernbangkit listrik, peredam banjir, pariwisata, dan perikanan. Apabila salah satu kegunaan waduk untuk irigasi, maka


(65)

pada bangunan outlet dilengkapi dengan bangunan sadap untuk irigasi. Alokasi pernberian air sebagai fungsi luas daerah irigasi yang dilayani serta karakteristik waduk.

2.4.1.4. Stasiun Pompa

Bangunan pengambilan air dengan pompa menjadi pilihan apabila upaya-upaya penyadapan air secara gravitasi tidak memungkinkan untuk dilakukan, baik dari segi teknik maupun ekonomis. Salah satu karakteristik pengambilan irigasi dengan pompa adalah investasi awal yang tidak begitu besar namun biaya operasi dan eksploitasi yang sangat besar.

2.4.2. Bangunan Pembawa

Bangunan pernbawa mempunyai fungsi mernbawa/mengalirkan air dari surnbemya menuju petak irigasi. Bangunan pernbawa meliputi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier dan saluran kwarter. Termasuk dalam bangunan pernbawa adalah talang, gorong-gorong, siphon, tedunan dan got miring. Saluran primer biasanya dinamakan sesuai dengan daerah irigasi yang dilayaninya. Sedangkan saluran sekunder sering dinamakan sesuai dengan nama desa yang terletak pada petak sekunder tersebut.Berikut ini penjelasan berbagai saluran yang ada dalam suatu sistern irigasi yaitu:

1. Saluran primer membawa air dari bangunan sadap menuju saluran sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir.


(66)

2. Saluran sekunder membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran primer menuju petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan sadap terakhir. 3. Saluran tersier membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran

sekunder menuju petak-petak kuarter yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan boks tersier terkahir.

4. Saluran kuarter mernbawa air dari bangunan yang menyadap dari boks tersier menuju petak-petak sawah yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan boks kuarter terkahir

2.4.3. Bangunan Bagi dan Sadap

Bangunan bagi merupakan bangunan yang terletak pada saluran primer, sekunder dan tersier yang berfungsi untuk membagi air yang dibawa oleh saluran yang bersangkutan. Khusus untuk saluran tersier dan kuarter bangunan bagi ini masing masing disebut boks tersier dan boks kuarter. Bangunan sadap tersier mengalirkan air dari saluran primer atau sekunder menuju saluran tersier penerima. Dalam rangka penghematan bangunan bagi dan sadap dapat digabung menjadi satu rangkaian bangunan.Bangunan bagi pada saluran-saluran besar pada umumnya mempunyai 3 (tiga) bagian utama, yaitu:

1. Alat pembendung, bermaksud untuk mengatur elevasi muka air sesuai dengan tinggi pelayanan yang direncanakan.


(67)

2. Perlengkapan jalan air melintasi tanggul, jalan atau bangunan lain menuju saluran cabang. Konstruksinya dapat berupa saluran terbuka ataupun gorong-gorong.Bangunan ini dilengkapi dengan pintu pengatur agar debit yang masuk saluran dapat diatur.

3. Bangunan ukur debit, yaitu suatu bangunan yang dimaksudkan untuk mengukur besarnya debit yang mengalir.

2.4.4. Bangunan Pengatur dan Pengukur

Agar pemberian air irigasi sesuai dengan yang direncanakan, perlu dilakukan pengaturan dan pengukuran aliran di bangunan sadap (awal saluran primer), cabang saluran jaringan primer serta bangunan sadap primer dan sekunder. Bangunan pengatur muka air dimaksudkan untuk dapat mengatur muka air sampai batas-batas yang diperlukan untuk dapat memberikan debit yang konstan dan sesuai dengan yang dibutuhkan. Sedangkan bangunan pengukur dimaksudkan untuk dapat memberi informasi mengenai besar aliran yang dialirkan. Kadangkala, bangunan pengukur dapat juga berfungsi sebagai bangunan pangatur.

2.4.5. Bangunan Drainase

Bangunan drainase dimaksudkan untuk membuang kelebihan air di petak sawah maupun saluran. Kelebihan air di petak sawah dibuang melalui saluran pernbuang, sedangkan kelebihan air disaluran dibuang melalui bengunan pelimpah. Terdapat beberapa jenis saluran pembuang, yaitu saluran pembuang


(68)

kuerter, saluran pernbuang tersier, saluran pernbuang sekunder dan saluran pernbuang primer. Jaringan pembuang tersier dimaksudkan untuk :

1. Mengeringkan sawah.

2. Mernbuang kelebihan air hujan. 3. Membuang kelebihan air irigasi

Saluran pembuang kuarter menampung air langsung dari sawah di daerah atasnya ataudari saluran pernbuang di daerah bawah. Saluran pembuang tersier menampung air buangan dari saluran pembuang kuarter. Saluran pembuang primer menampung dari saluran pembuang tersier dan membawanya untuk dialirkan kembali ke sungai.

2.4.6. Bangunan Pelengkap

Sebagaimana namanya, bangunan pelengkap berfungsi sebagai pelengkap bangunan-bangunan irigasi yang telah disebutkan sebelumnya. Bangunan pelengkap berfungsi sebagai untuk memperlancar para petugas dalam eksploitasi dan pemeliharaan. Bangunan pelengkap dapat juga dimanfaatkan untuk pelayanan umum. Jenis-jenis bangunan pelengkap antara lain jalan inspeksi, tanggul, jembatan penyebrangan, tangga mandi manusia, sarana mandi hewan, serta bangunan lainnya.

2.5. Analisa Hidrologi 2.5.1. Curah Hujan Regional

Curah hujan wilayah yang terdapat pada suatu daerah aliran sungai (DAS) sangat diperlukan untuk mengetahui mengenai informasi tentang pengaturan air


(69)

irigasi, mengetahui neraca air dalam suatu lahan dan untuk mengetahui besarnya aliran permukaan (run off).

Curah hujan regional di dapat melalui penakaran curah hujan yang terdapat pada setiap wilayah/daerah. Semakin banyak penakar dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata-rata CH yang menunjukkan besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi CH di suatu titik pengamatan. Ada tiga cara untuk menghitung hujan rata-rata daearah aliran yang bisa dilakukan, yaitu :

1. Metode Arithmetic Mean

Metode ini adalah metode yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah berada di dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila

a. Stasiun hujan tersebut tersebar secara merata di DAS b. Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS

Persamaan rerata aljabar

R=n1

(R1 + R2 + ...+ Rn ) ...2-1

di mana:

R = area rainfall (mm)

n = jumlah stasiun pengamat R1 ,R2 , ..., Rn = point rainfall stasiun ke-i (mm).

2. Metode Thiessen


(70)

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan disekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan didaerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun. Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut :

a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau termasuk stasiun hujan diluar DAS yang berdekatan.

b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira-kira sama.

c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga.

d. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada didekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon.

e. Luas tiap poligon di ukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada didalam poligon.

f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut yang dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini :


(71)

P =

...2-2

di mana:

P = curah hujan wilayah P1,P2,...Pn = hujan di stasiun 1,2,3...n

A1,A2,...An = luas daerah yang mewakilistasiun 1,2,3....n

3. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan dengan prosedur berikut ini :

a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah yang ditinjau.

b. Dari kedua nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan.

c. Dibuat kurva yang meenghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Ketelitian tergantungpada pembuatan garis isohyet dan intervalnya.

d. Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian dikalikan dengan nilai rata-rata dari nilai kedua garis isohyet.


(72)

e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis.

P =

...2-3

di mana :

P = curah hujan wilayah I1,I2,...In = garis isohyet ke 1,2, dan 3

A1,A2,...An = luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke

1,2 dan 3.

2.5.2. Kesetimbangan Air 2.5.2.1.Metode F.J. Mock

Metode ini ditemukan oleh Dr. F.J. Mock. Metode ini dikembangkan untuk menghitung debit bulanan rata-rata. Dengan metode ini, besarnya aliran dari data curah hujan, karakteristik hidrologi daerah pengaliran dan evapotranspirasi dapat dihitung. Pada dasarnya metode ini adalah hujan yang jatuh pada catchment area sebagian akan hilang sebagai evapotranspirasi, sebagian akan langsung menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian lagi akan masuk kedalam tanah (infiltrasi), di mana infiltrasi pertama-tama akan menjenuhkan top soil, kemudian menjadi perkolasi membentuk air bawah tanah (ground water) yang nantinya akan keluar ke sungai sebagai aliran dasar (base flow).Prinsip Metode F.J.Mock adalah :

1. Memperhitungkan volume air yang masuk (hujan), keluar (infiltrasi, perkolasi, dan evapotranspirasi) dan yang disimpan dalam tanah (soil storage).


(73)

2. Dalam sistem mengacu pada waterbalance, volume air total yang berada di bumi tetap, hanya sirkulasi dan distribusi yang bervariasi.

Adapun ketentuan dari metode ini adalah sebagai berikut : 1. Data meteorologi

Data meterologi yang digunakan mencakup :

a. Data presipitasi dalam hal ini adalah curah hujan bulanan dan data curah hujan harian.

b. Data klimatologi berupa data kecepatan angin, kelembapan udara, tempratur udara dan penyinaran matahari untuk menentukan evapotranspirasi potensial (Eto) yang dihitung berdasarkan metode “Penman Modifikasi“

2. Evapotranspirasi aktual ( Ea)

Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi air yang terbatas, dipengaruhi oleh proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau ( exposed surface ) pada musim kemarau.

Untuk menentukan hargaevapotranspirasi aktual dapat dirumuskan sebagai berikut :

E = Eto x(

)x m ...2-4 E = Eto x (

) x (18-n)...2-5 Ea = Eto – E ...2-6 di mana:

Ea = evapotranspirasi aktual (mm) Eto = evapotranspirasi potensial (mm) d = 27 – (3/2) x n


(74)

n = jumlah hari hujan dalam sebulan

m = Perbandingan permukaan tanah tanah yang tidak tertutup dengan tumbuh-tumbuhan penahan hujan koefisien yang tergantung jenis areal dan musiman dalam %.

3. Keseimbangan air dipermukaan tanah (ΔS)

a. Air hujan yang mencapai permukaan tanah dapat dirumuskan sebagai berikut:

ΔS = R – Ea ...2- 7 di mana:

ΔS = keseimbangan air dipermukaan tanah R = hujan bulanan

Ea = evapotranspirasi aktual.

Bila harga positif (R>Ea) maka air akan masuk ke dalam tanah bila kapasitas kelembapan tanah belum terpenuhi. Sebaliknya bila kondisi kelembapan tanah sudah tercapai maka akan terjadi limpasan permukaan (surface runoff).

Bila harga tanah ΔS negatif (R>Ea), air hujan tidak dapat masuk kedalam tanah (infiltrasi) tetapi air tanah akan keluar dan tanah akan kekurangan air (defisit).

b. Perubahan kandungan air tanah (soil storage) tergantung dari harga ΔS. Bila ΔS negatif maka kapasitas kelembapan tanah akan kekurangan dan bila harga ΔS positif akan menambah kekurangan kapasitas kelembapan tanah bulan sebelumnya.

c. Kapasitas kelembapan tanah (soil moisture capacity). Didalam memperkirakan kapasitas kelembapan tanah awal diperlukan pada saat


(75)

dimulainya perhitungan dan besarnya tergantung dari kondisi porositas lapisan tanah atas dari daerah pengaliran. Biasanya diambil 50 s/d 250 mm, yaitu kapasitas kandungan air didalam tanah per m3. Semakin besar porositas tanah maka kelembapan tanah akan besar pula.

d. Kelebihan Air (water surplus)

Water surplus adalah air hujan yang telah mengalami evapotranspirasi dan mengisi tampungan tanah ( soil stroge, ss)

Water surplus ( Ws) diformulasikan dengan

Ws = ( P – Ea ) + ss... 2-8 Water surplus merupakan air limpasan permukaan ditambah air yang mengalami infiltrasi.

e. Besarnya air lebih dapat mengikuti formula sbb :

WS = ΔS - Tampungan tanah ... 2- 9 di mana:

WS = water surplus

S = R-Ea

tampungan tanah = perbedaan kelembapan tanah.

4. Limpasan dan penyimpanan air tanah (Run off dan Ground Water storage). a. Infiltrasi (i)

Infiltrasi ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Daya infiltrasi ditentukan oleh permukaan lapisan atas dari tanah. Misalnya kerikil mempuyai daya infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah liat yang kedap air. Untuk lahan yang terjal dimana air sangat cepat menipis diatas permukaan tanah sehingga air tidak


(76)

dapat sempat berinfltrasi yang menyebabkan daya infiltrasi lebih kecil. Formula dari infiltrasi ini adalah sebagai berikut:

i = Koefisien Infiltrasi x WS ...2-10 di mana:

i = infiltrasi (koefisien infiltrasi (i) = 0 s/d 1,0 ) WS = kelebihan air.

b. Penyimpanan air tanah (ground water storage).

Pada permulaan perhitungan yang telah ditentukan penyimpanan air awal yang besarnya tergantung dari kondisi geologi setempat dan waktu. Persamaan yang digunakan adalah:

Vn = k. (Vn-1) + ½ (1 + k ) in ... 2-11

di mana:

Vn = volume simpanan ait tanah periode n ( m3) Vn-1 = volume simpanan air tanah periode n – 1 (m3)

k = qt/qo = faktor resesi aliran air tanah (catchment are recessionfactor). Faktor resesi aliran tanah (k) berkisar antara 0 s/d 1,

qt = aliran tanah pada waktu t (bulan ke t) qo = aliran tanah pada awal (bulan ke 0) in = Infiltrasi bulan ke n (mm).

Untuk mendapatkan perubahan volume aliran air dalam tanah mengikuti persamaan :

ΔVn = Vn – Vn-1...2- 12

c. Limpasan (Run off )

Air hujan atau presipitasi akan menempuh tiga jalur menuju kesungai. Satu bagian akan mengalir sebagai limpasan permukaan dan masuk kedalam tanah lalu mengalir ke kiri dan kananya membentuk aliran antara.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

1.4. Metode dan Tahapan Penelitian ... 3

1.5. Pembatasan Masalah ... 6

1.6. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Siklus Hidrologi ... 8

2.2. Daerah Alisan Sungai ... 9

2.3. Jaringan Irigasi ... 11

2.3.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi ... 11

2.3.2. Petak Tersier ... 13

2.3.3. Petak Sekunder ... 14

2.3.4. Petak Primer ... 15

2.4. Bangunan Irigasi ... 15


(2)

2.4.2. Bangunan Pembawa ... 18

2.4.3. Bangunan Bagi dan Sadap ... 19

2.4.4. Bangunan Pengatur dan Pengukur ... 19

2.4.5. Bangunan Drainase ... 20

2.4.6. Bangunan Pelengkap ... 20

2.5. Analisa Hidrologi ... 21

2.5.1. Curah Hujan Regional ... 21

2.5.2. Kesetimbangan Air ... 24

2.5.3. Debit ... 30

2.5.4. Debit Andalan ... 36

2.6. Analisa Kebutuhan Air untuk Irigasi ... 36

2.7. Kebutuhan Air Padi di Sawah ... 38

2.7.1. Kebutuhan air untuk Pengolahan Lahan Padi ... 39

2.7.2. Penggunaan Konsumtif ... 40

2.7.3. Perkolasi ... 41

2.7.4. Penggantian Lapiran Air ... 42

2.7.5. Curah Hujan Efektif ... 42

2.7.6. Efisiensi Irigasi ... 43

2.7.7. Efektifitas Irigasi ... 44

2.7.8. Kebutuhan Air Sawah ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1. Deskripsi Daerah Studi ... 46

3.1.1. Kondisi Umum ... 46


(3)

3.2. Data Teknis di Lapangan ... 47

3.2.1. Jaringan Irigasi Tanjung Beringin ... 47

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 48

3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 48

3.4.1. Analisis Hidrologi ... 48

3.4.2. Mengukur Debit Aliran ... 48

3.4.3. Analisis Tingkat Efisiensi ... 49

3.4.4. Analisis Tingkat Efektifitas ... 50

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1. Analisa Hidrologi ... 52

4.1.1. Perhitungan Curah Hujan Regional ... 52

4.1.2. Curah Hujan Efektif ... 54

4.1.3. Daerah Aliran Sungai Lau Tualah ... 57

4.1.4. Evapotranspirasi ... 57

4.1.5. Debit Andalan Lau Tualah dengan F.J. Mock ... 58

4.2. Analisa Kebutuhan Air ... 62

4.2.1. Pola Tanam ... 62

4.2.2. Penyiapan Lahan dan Koefisien Tanaman... 63

4.2.3. Pergantian Lapisan Air ... 64

4.2.4. Curah Hujan Efektif Bulanan Tanaman Palawija . 65 4.3. Kebutuhan Air di D I Tanjung Beringin ... 66

4.4. Analisis Tingkat Efisiensi Saluran Irigasi ... 71

4.5. Perhitungan Efektifitas Saluran ... 96


(4)

5.1. Kesimpulan ... 98 5.2. Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi ... 12

Tabel 4.1. Curah Hujan Regional DAS Tanjung Beringin ... 53

Tabel 4.2. Ranking Curah Hujan Regional ... 55

Tabel 4.3. Curah Hujan Efektif untuk Tanaman Padi ... 56

Tabel 4.4. Rekapitulasi Perhitungan Evapotranspirasi Potensial (mm/hari) 58 Tabel 4.5. Perhitungan Debit Andalan Metode F.J. Mock ... 61

Tabel 4.6. Pola Tanam Untuk Masa Tanam Awal Oktober ... 63

Tabel 4.7. Penyiapan Lahan dan Koefisien Tanaman Awal Oktober ... 64

Tabel 4.8. Pergantian Lapisan Air Masa Tanam Awal Oktober ... 65

Tabel 4.9. Curah Hujan Efektif Bulanan Tanaman Palawija Masa Tanam Awal Oktober ... 65

Tabel 4.10. Analisa Kebutuhan Air Irigasi untuk masa tanam awal Oktober 69 Tabel 4.11. Standarisasi Tingkat Efisiensi pada Jaringan Irigasi ... 71

Tabel 4.12. Perbandingan Pengukuran di Lapangan dan Perhitungan... 93

Tabel 4.13. Perbandingan Pengukuran di Lapangan dan Perhitungan Menurut Manning ... 96


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Diagram Alir Metode Penelitian……… 5

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian……… 47

Gambar 3.2. Alur Pengerjaan dan Pengolahan Data……….. 51

Gambar 4.1. Grafik Debit Andalan Metode F.J.Mock……… 62

Gambar 4.2. Saluran Inflow Bendung – BTB1………...……… 72

Gambar 4.3. Saluran Outflow Bendung –BTB1……… 73

Gambar 4.4. Saluran Inflow BTB1 – BTB2………...……… 75

Gambar 4.5. Saluran Outflow BTB1 –BTB2………. 76

Gambar 4.6. Saluran Inflow BTB2 – BM1………. 77

Gambar 4.7. Saluran Outflow BTB2 - BM1……….………. 79

Gambar 4.8. Saluran Inflow BM1 –BM2………..… 80

Gambar 4.9. Saluran Outflow BM1 – BM2……… 82

Gambar 4.10. Saluran Inflow BM2 - BB………. 83

Gambar 4.11. Saluran Outflow BM2 –BB……….. 85

Gambar 412. Saluran Inflow BB – BMTC1……… 86

Gambar 4.13. Saluran Outflow BB –BMTC1………. 87

Gambar 4.14. Saluran Inflow BMTC1 – BMTC2……… 89