KAJIAN YURIDIS RATIO DECIDENDI PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR

(1)

KAJIAN YURIDISRATIO DECIDENDI PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK DI BAWAH UMUR DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR

(Studi Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar)

S K R I P S I

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelah Maret Surakarta

Oleh :

DIGGER HANIROM E 1106111

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah yang merambah di lingkungan masyarakat sekarang ini yaitu penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Penyalahgunaan psikotropika oleh anak dibawah umur berdampak negatif bagi kesehatan anak tersebut di masa yang akan datang. Akan terjadi suatu efek samping terhadap pemakaian psikotropika yang terus menerus, tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pencegahan dan pengobatan maka menimbulkan efek ketergantungan baik secara fisik maupun psikis yang kuat terhadap pemakainya.

Penyalahgunaan psikotropika oleh anak dibawah umur dapat berwujud dengan secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika. Lebih jelasnya dalam Undang-Undang Psikotropika (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997) tentang kebijakan kriminalisasi, telah ditentukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana antara lain :

1) Perbuatan menggunakan, memproduksi, mengedarkan, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, mengekspor, mencantumkan label dan mengiklankan psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan undang–

undang (Pasal 59 sampai dengan Pasal 63).

2) Perbuatan menghalangi upaya pengobatan atau perawatan penderita dan menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin (Pasal 64).

3) Perbuatan tidak melapor dengan adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika secara tidak sah (Pasal 65).

4) Mengungkakan identitas pelapor dalam perkara psikotropika (Pasal 66) 5) Percobaan/pembantuan (Pasal 69) dan pemufakatan jahat melakukan tindak

pidana psikotropika (Pasal 71).

6) Menggunakan anak belum 18 tahun dalam melakukan tindak pidana psikotropika (Pasal 72) (Barda Nawawi Arief, 2001 : 194).

Ancaman bahaya penyalahgunaan maupun peredaran gelap psikotropika dan zat aditif lainya dapat menjadi kerikil tajam bagi kelancaran pembangunan sumber daya manusia. Dalam era pembangunan jangka panjang tahap kedua yang telah disepakati bangsa Indonesia, pembangunan sumber daya manusia menjadi masalah utama yang harus di garap. Kualitas manusia Indonesia harus ditingkatkan bila hendak berkompetisi dengan negara-negara


(3)

lain yang sudah berubah kearah budaya global. Kompetisi dapat dimenangkan bila kualitas manusia dilandasi kekhasan perkembangan budaya nasional dan menunjukan keunggulan nilai-nilai pembenaran yang diterima oleh umat manusia. Kenyataan tersebut merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia dalam abad kini dan mendatang. Oleh karena itu ancaman bahaya penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu ditanggulangi secara dini baik oleh pemerintah maupun masyarakat (Jeanne Mandagi dan M. Wresniwiro, 2000 : 1).

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi

ketentuan universal. Ia menjadi ciri pula suatu negara hukum. The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 mengatakan :

“everyone is entitled in full equality to affair and public hearing by an independent and impartial in the determination of his rights and obligation and of any criminal charge against him”.

Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusanya hakim harus memihak kepada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaianya. Lebih tepatnya terdapat dalam perumusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 5 ayat (1) :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”

(Andi Hamzah, 1996 : 105).

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkanya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu baru hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.


(4)

Dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks saat ini dituntut adanya penegakan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusan-putusanya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu (Nanda Agung Dewantara, 1987 : 25).

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak boleh menolak, memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor35 Tahun 1999 yang berbunyi : “Pengadilan tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa

dan mengadilinya”. Dalam menemukan hukumnya, seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin kepada yurispudensi atau pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum (Andi Hamzah, 1996 : 103).

Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada undang-undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor35 Tahun 1999 yaitu : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat”. Oleh karena itu dalam memberikan putusan, hakim

harus berdasarkan penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat juga faktor lain yang mempengaruhinya seperti faktor budaya, sosial, politik dan lain-lain.

Dengan demikian, seorang hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak dibawah umur dapat berbeda-beda dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan karena antara hakim yang satu dengan yang lainya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda juga.


(5)

Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya kedalam penulisan hukum dengan judul :

“KAJIAN YURIDIS RATIO DECIDENDI PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR TERHADAP TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI PUTUSAN NOMOR : 141/PID.B/2009/PN.KRAY DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR)”.

B. Perumusan Masalah

Untuk dapat memperjelas tentang permasalahan yang ada agar pembahasannya lebih terarah dan sesuai dengan tujuan serta sasaran yang diharapkan, maka penting sekali adanya perumusan masalah yang akan dibahas.

Perumusan masalah juga akan memudahkan penulis dalam pengumpulan data, menyusun data dan menganalisisnya sehingga penelitian dapat dilakukan secara mendalam dan sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan. Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah yang menjadiRatio Decicendi hakim dalam menilai fakta peristiwa dan fakta yuridis dalam putusan Nomor : 141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar ?

2. Hambatan-hambatan secara teoritis apakah yang dialami hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah :


(6)

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui ratio decidendi hakim dalam menilai fakta peristiwa dan fakta yuridis dalam putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar.

b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan secara teoritis yang dialami hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diperoleh penulis khususnya mata kuliah hukum pidana serta sinkronisasinya dengan pelaksanaan teori-teori tersebut dalam prakteknya.

b. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Peneliti selain mempunyai tujuan yang jelas juga diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan awal dalam mengadakan penelitian yang sejenis, serta sebagai pedoman peneliti lain.


(7)

2. Manfaat Praktis

a. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.

b. Memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu jenis penelitian yang bertumpu pada sumber data sekunder sebagai data rujukan utama yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup :

a) Penelitian terhadap asas-asas hukum b) Penelitian terhadap sistematik hukum c) Perbandingan hukum

d) Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990 : 15).

Dari keempat jenis penelitian hukum tersebut, jenis penelitian yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah penelitian terhadap asas-asas hukum.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau


(8)

gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). b. Pendekatan kasus (Case Approach).

c. Pendekatan historis (Historical Approach).

d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93-94).

Kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case Approach).

4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, terdiri dari literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yaitu berupa :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Penelitian Hukum ini menggunakan bahan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar Nomor : 141/Pid.B/2009/PN.Kray.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum


(9)

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan. Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnal hukum dari dalam dan luar negeri, hasil-hasil penelitian hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141).

c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya :

1) Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini. 2) Kamus Hukum (Soerjono Soekanto, 2001 : 13).

5. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach) dengan mengumpulkan putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi yakni Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar Nomor : 141/Pid.B/2009/PN.Kray dalam tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis deduksi. Metode deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47).

Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum aturan hukum, sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johny brahim, mengutip pendapat Bernand Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi hal yang bersifat khusus dan bersifat individual (Johny Ibrahim, 2008 : 249).


(10)

E. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada awal bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal tentang penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum mengenai apa yang menjadi Ratio Decicendihakim dalam menilai fakta peristiwa dan fakta yuridis dalam putusan Nomor : 141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar dan untuk mengetahui hambatan-hambatan secara teoritis yang dialami hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan mengenai apa yang menjadi Ratio Decicendi hakim dalam menilai fakta peristiwa dan fakta yuridis dalam putusan Nomor : 141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar dan untuk mengetahui hambatan-hambatan secara teoritis yang dialami hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur.


(11)

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Ratio Decicendi

Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi dalam menjatuhkan putusan menurut Rusli Muhammad dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a. Pertimbangan yang bersifat yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara lain : 1) Dakwaan jaksa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

a) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.

b) Keterangan saksi

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, alami sendiri dan harus


(14)

disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya.

c) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi :

1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana.

2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan.

3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

4) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung tindak pidana yang dilakukan.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti. Sebab Undang-Undang menetapkan lima macam alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Adanya barang bukti yang terungkap pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa ataupun saksi-saksi.

d) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana.


(15)

b. Pertimbangan yang bersifat non yuridis 1) Latar belakang terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

2) Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

3) Kondisi diri terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa : tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat.

4) Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila

sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan

harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan (Rusli Muhammad, 2007 : 212-220).

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Ada dua istilah yang dipakai dalam bahasa Belanda, yaitustrafbaar feit dan istilah delict yang mempunyai makna yang sama. Delict

diterjemahkan dengan delik (tindak pidana) saja, sedangkan strafbaar feit

dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti dan belum diperoleh kata sepakat diantara para sarjana Indonesia mengenai alih bahasa. Ada


(16)

yang menggunakan terjemahan: perbuatan pidana (Moeljatno dan Roeslan Saleh), peristiwa pidana (Konstitusi RIS, UUDS 1950, Tresna serta Utrecht), tindak pidana (Wiryono Prodjodikoro), delik (Satochid Kartanegara, A.Z Abidin dan Andi Hamzah), perbuatan yang boleh dihukum (karni dan Van Schravendijk) dan pelanggaran pidana (Tirtaamidjaja). Namun dari berbagai salinan ke bahasa Indonesia tersebut yang dimaksud dengan berbagai istilah tersebut ialah strafbaar feit

(Martiman Prodjohamidjojo, 1997 : 15).

Beberapa pakar hukum pidana memberikan definisi mengenai

strafbaar feit,antara lain : 1) Simons

Mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang berdifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Martiman Prodjohamidjojo, 1997 : 15).

2) Jonkers

Memberikan definisistrafbaar feitdalam dua pengertian, yakni : a) Definisi pendek memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu

kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.

b) Definisi panjang, maka strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Martiman Prodjohamidjojo, 1997 : 16).

3) Pompe

Membedakan pengertianstrafbaar feitantara :

a) Strafbaar feit yaitu suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum (definisi menurut teori).

b) Strafbaar feit adalah suatu feit (kejadian) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum (definisi menurut hukum positif) (Martiman Prodjohamidjojo, 1997 : 16).

4) Moeljatno

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2000: 54).

Berdasarkan pengertianstrafbaar feityang telah dikemukakan oleh pakar hukum pidana diatas, maka diperoleh makna bahwa strafbaar feit


(17)

salinannya. Namun dari segi materi strafbaar feit terdapat 2 (dua) aliran, yaitu :

1) Aliran Monisme

Menurut aliran ini unsurstrafbaar feitmeliputi unsur-unsur perbuatan (unsur obyektif) yaitu unsur yang melawan hukum dan unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (unsur subyektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesengajaan dan/atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Dapat ditarik kesimpulan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadistrafbaar feit

maka pasti pelakunya dapat dipidana. 2) Aliran Dualisme

Menurut aliran ini, perbuatan pidana menurut wujudnya dan sifatnya adalah melawan hukum dan perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan yang meliputi unsur melawan hukum, tidak ada alasan pembenar dan dari si pelaku (lazim disebut golongan subyektif) meliputi unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan antara lain sengaja atau alpa dan unsur tidak ada alasan pemaaf (Martiman Prodjohamidjojo, 1997 : 18).

b. Unsur Tindak Pidana dalam KUHP

Unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain :

1) Kesengajan atau kealpaan (dollus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud atauoogmerk.

4) Merencanakan terlebih dahulu atauvoordebuchte raad. 5) Perasaan takut atauvrees.

Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yang di dalam keadaan mana tindakan dari pelaku harus dilakukan. Unsur ini antara lain:


(18)

2) Kausalitas dari perilaku.

Kausalitas yaitu hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 1997: 194).

3. Tinjauan Umum Tentang Psikotropika

a. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Pertama kali psikotropika diatur dalam Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerendegeneesmiddelen Ordonantieyang kemudian diterjemahkan dengan Ordonansi Obat Keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur sendiri tetapi masih disatukan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras (Daftar G). Pada tanggal 2 April 1985 keluar Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 213/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Obat Keras Tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mencabut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 983/A/SK/1971 dan Keputusan Menteri RI Nomor 10381/A/SK/1972. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1993 dikeluarkan lagi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/Men.Kes/Per/II.1993 tentang Obat Keras Tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan Peraturan Menteri Kesehatan RI terdahulu, dalam peraturan tersebut juga dilampiri Lampiran I dan Lampiran II, tetapi belum mencantumkan ketentuan pidana. Baru kemudian pada tanggal 11 Maret 1997, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diundangkan. Sebelum kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika.

b. Pengertian Psikotropika

Pengertian menurut Badan WHO pada 1966, psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Obat psikotropika adalah obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat (SSP) yang memperlihatkan efek yang sangat luas. Dalam


(19)

Substancedisebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan yang memiliki kapasitas yang menyebabkan :

1) keadaan ketergantungan.

2) depresi dan stimulan susunan syaraf pusat (SSP). 3) menyebabkan halusinasi.

4) menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood. Dari ketentuan diatas maka pembagian psikotropika adalah :

1) stimulansia 2) depresia 3) halusinogen

Pengertian psikotropika terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sehingga dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan psikotropika adalah :

1) zat atau obat baik alamiah maupun sintetis yang bukan termasuk narkotika.

2) berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat.

3) menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. c. Penggolongan Psikotropika

Penggolongan psikotropika didasarkan pada sindroma ketergantungan, untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 ini. Penggolongan psikotropika adalah sebagai berikut :

1) Psikotropika Golongan I

Psikoropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam


(20)

terapi. Psikotropika golongan I ini mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

2) Psikotropika Golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan II ini mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

3) Psikotropika Golongan III

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan III ini mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

4) Psikotropika Golongan IV

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan IV mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

5) Psikotropika Golongan V

Psikotropika golongan V ini adalah psikotropika yang tidak termasuk golongan I, II, III dan IV, yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, dan digolongkan sebagai obat keras. Psikotropika ini tunduk pada perundangan obat keras.

Ada ketentuan khusus mengenai psikotropika golongan I, mengingat sangat berbahaya karena mengakibatkan sindroma ketergantungan yang amat kuat, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 diatur dengan sangat ketat, antara lain :

a) hanya dapat digunakan untuk ilmu pengetahuan (Pasal 4 ayat (2)). b) selain penggunaan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dinyatakan


(21)

c) dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi (Pasal 6).

d) hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga ilmu penelitian, dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 12 ayat (3)). e) hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau di impor secara langsung oleh lembaga yang bersangkutan tersebut (Pasal 13).

f) surat persetujuan impor hanya dapat diberikan untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 17 ayat (3)).

g) pemusnahan terhadap Psikotropika golongan I wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan (Pasal 53 ayat (2) huruf b).

h) ketentuan pidana bagi tindak pidana psikotropika golongan I adalah lebih berat (Pasal 59 ayat (1).

4. Tinjauan Tentang Anak di Bawah Umur

a. Pengertian anak

Menurut pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin. Batas umur ditetapkan 21 (dua puluh satu) ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tidak pula mengurangi anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku (Pasal 1 butir 2 UU Nomor 4 Tahun 1979).


(22)

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Kondisi fisik dan psikologi anak yang mempunyai kedudukan tertentu, dalam rangka pengembangan manusia seutuhnya memerlukan usaha yang menjamin perlakuan adil dan mengakibatkan kesejahteraan anak. Oleh karena itu perlu diberikan penjelasan tentang apa arti dan pengertian anak menurut proporsi yang sebenarnya. Perumusan dalam berbagai undang-undang tentang anak tidak memberikan pengertian akan konsepsi anak, melainkan perumusan tersebut merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, kepentingan tertentu dan tujuan tertentu (Agung Wahyono, 1993 : 19).

b. Batasan Usia Anak

Karena adanya pluralisme hukum dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, maka usia anak memiliki batasan yang berbeda-beda antara satu perundang-undangan dengan perundang-undangan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam uraian di bawah ini : 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menurut ketentuan yang ada di dalam undang-undang ini, secara tidak langsung mengatur masalah penggolongan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam pasal-pasal sebagai berikut :

a) Pasal 6 ayat (2)

Memuat tentang ketentuan syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua. b) Pasal 7 ayat (1)

Memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita adalah 16 tahun.

c) Pasal 47 ayat (1)

Menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya.


(23)

d) Pasal 50 ayat (1)

Berarti anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.

e) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Menurut ketentuan yang ada dalam undang-undang ini memberikan batasan umur bagi anak sebagai berikut :

(1) Pasal 283 angka 1 KUHP

Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

(2) Pasal 287 angka 1 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(3) Pasal 290 angka 2 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.

(4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.


(24)

Menurut pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979, bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin. Batas umur ditetapkan 21 (dua puluh satu) ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurang ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tidak pula mengurangi anak melakukan perbuata sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. (Pasal 1 butir 2 UU Nomor 4 Tahun 1979).

(5) Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Ayat (1) : Memuat batas antara belum dewasa (Minderjeringed) dengan telah dewasa (Merderjeringed) yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun yang berlaku bagi bangsa Timur Asing kecuali Tionghoa.

Ayat (2) : Menyebutkan bahwa pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang yang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap status kedewasaannya. Ayat (3) : Menyebutkan bahwa seseorang yang belum dewasa di bawah kekuasaan orang tua akan berada di bawah perwalian.

(6) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (1)

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Ketentuan ini hanya membatasi diri khususnya hanya dalam perkara anak


(25)

nakal saja, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan dengan umur dibatasi secara minimal dan maksimal, dengan kekecualian anak belum pernah kawin. Pasal 4 ayat (1)

Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

B. Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana Psikotropika

Dilakukan oleh anak dibawah umur

Pemeriksaan di Persidangan

Ratio Decidendi Hakim Pengadilan Negeri

Karanganyar

Pengadilan Negeri Karanganyar

VonisTerhadap Terdakwa Anak di Bawah Umur Putusan Hakim Pengadilan


(26)

Keterangan Bagan :

Penyalahgunaan psikotropika tidak hanya terjadi dikalangan orang dewasa, anak yang masih dibawah umur telah ikut-ikutan menyalahgunaan psikotropika. Hal ini sangat mengkhawatirkan dan dapat berdampak negatif pada si anak dibawah umur tersebut karena dimasa yang masih kecil anak tersebut sudah menggunakan narkoba, hal ini juga berakibat untuk masa depannya dikemudian hari dan juga dapat mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat, bangsa dan negara.

Untuk menanggulangi itu semua diperlukan peran dan tanggung jawab hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantasnya. Dalam hal ini Hakim berwenang mengadili terhadap pelaku tindak pidana di pengadilan. Hakim dituntut untuk berlaku adil terhadap siapapun dalam menegakkan hukum. Hakim melalui putusannya diharapkan dapat memberikan rasa keadilan kepada terdakwa dan masyarakat disekitarnya.

Dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana psikotropika dengan terdakwa anak dibawah umur, hakim berpedoman pada hukum yang berlaku dan juga mempertimbangkan faktor-faktor terjadinya tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak dibawah umur serta pembuktian yang ada di dalam persidangan. Semua itu menjadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak dibawah umur.


(27)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Ratio DecicendiHakim Dalam Menilai Fakta Peristiwa dan Fakta Yuridis Dalam Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri

Karanganyar. 1. Hasil Penelitian

Pada bab ini peneliti akan menyajikan data yang diperoleh selama melakukan penelitian. Data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan analisa kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara yang dipelajari disini adalah berkas perkara yang telah diputus pada pengadilan tingkat pertama, yaitu Putusan Perkara Nomor : 141/Pid.B/2009.PN.KRAY di Pengadilan Negeri Karanganyar. Untuk ini peneliti telah menganalisa suatu kasus yang diperkirakan mempunyai daya dukung teoritis terhadap tema skripsi. Kasus atau berkas perkara diperoleh dengan cara pengambilan data langsung dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Pengadilan Negeri Karanganyar.

Pada dasarnya yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam hal menjatuhkan berat ringannya pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika adalah apabila pelaku melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang telah disebutkan sebagai tindak pidana psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.

Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur yang dilarang dalam undang-undang. Apabila unsur-unsur yang terdapat dalam pasal yang bersangkutan tidak dipenuhi, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa.

Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor yang ada dalam diri terdakwa, yaitu apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkannya, apakah terdakwa mengetahui


(28)

perbuatannya tersebut melanggar hukum sehingga dilakukan dengan adanya perasaan takut dan bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan dianggap sanggup bertanggung jawab atau tidak. Selain hal tersebut, hakim harus memberikan putusan sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Untuk mengetahui secara lebih rinci dan mendalam tentang berkas perkara kasus putusan perkara Nomor : 141/Pid.B/2009.PN.Kray, maka berikut ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian yang telah diperoleh :

a) Identitas Terdakwa

Nama lengkap : FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO.

Tempat lahir : Surakarta.

Umur/tanggal lahir : 17 Tahun/ 24 Oktober 1991. Jenis kelamin : Perempuan.

Kebangsaan : Indonesia.

Tempat tinggal : Kp. Jati Teken, Kel. Krajan, Kec. Mojolaban. Kab Sukoharjo.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Pengangguran Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

b) Kasus Posisi

Bahwa dalam sidang perkara psikotropika ini telah diajukan Terdakwa, FEMMY OKTAVIANA yang didampingi oleh penasehat hukumnya.

Terdakwa FEMMY OKTAVIANA yang perkaranya telah diajukan ke Pengadilan Negeri Karanganyar dan telah diputus pada tanggal 7 September 2009 dengan nomor 141/Pid.B/2009.PN.Kray. Pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB atau


(29)

setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Juni tahun 2009 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2009, bertempat di jalan raya Palur tepatnya di pertigaan lampu trafic light menuju terminal Palur, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Karanganyar, secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan atau membawa Psikotropika.

Di dalam persidangan terdakwa mengakui bahwa apabila 1 (satu) paket sabu-sabu tersebut diperoleh terdakwa membeli dari teman terdakwa yang bernama ADI dengan harga Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang rencananya akan terdakwa jual kembali kepada teman terdakwa yang bernama ROBBY dengan harga Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setelah sabu-sabu tersebut telah laku dibeli oleh ROBBY terdakwa FEMMY OKTAVIANA oleh ADI dijanjikan akan diberi bonus berupa uang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).

Berdasarkan dari fakta persidangan riwayat hukum terdakwa, ternyata terdakwa berada dalam keluarga yang kurang harmonis dan keadaan kehidupan ekonomi terdakwa kurang memberikan jaminan sehingga terdakwa termotifasi melakukan perbuatanya. Selain itu terdakwa masih termasuk dalam usia muda, emosi dan jiwa cukup labil dan belum dapat mengetahui dampak dari perbuatanya tersebut. Hal ini bersesuaian dengan hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Permasyarakatan Surakarta.

c) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

DAKWAAN KESATU

Bahwa terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Juni tahun 2009 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2009, bertempat di jalan raya Palur tepatnya di pertigaan lampu trafic light menuju terminal Palur, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar atau setidak-tidaknya


(30)

pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Karanganyar, secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan atau membawa Psikotropika, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB pada saat terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO berada di jalan raya Palur tepatnya di pertigaan lampu trafic light menuju terminal Palur Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar telah ditangkap petugas Polisi Polwil Surakarta dan pada saat dilakukan penggledahan telah ditemukan 1 (satu) bungkus kecil/paket sabu-sabu yang disimpan di dalam saku celana yang dipakai terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY, dan setelah ditanya petugas Polisi terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY mengakui kalo 1 (satu) paket sabu-sabu tersebut diperoleh terdakwa FEMMY OKTAVIANA membeli dari teman terdakwa yang bernama ADI (DPO) dengan harga Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang rencananya akan terdakwa jual kembali kepada teman terdakwa yang bernama ROBBY dengan harga Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setelah sabu-sabu tersebut telah laku dibeli oleh ROBBY terdakwa FEMMY OKTAVIANA oleh ADI (DPO) dijanjikan akan diberi bonus berupa uang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah), namun belum sempat terjadi transaksi terdakwa FEMMY OKTAVIANA ditangkap polisi selanjutnya beserta barang bukti 1 (satu) paket kecil sabu-sabu sebesar 0,059 gram dan 1 (satu) buah handphone merk Nokia dibawa ke Polwil Surakarta untuk diproses lebih lanjut.

2) Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No.LAB.716/KNF/VII/2009 tanggal 13 Juli 2009 barang bukti serbuk kristal dengan berat 0,059 gram tersebut telah mengandung METAMFETAMINA terdaftar dalam golongan II (dua) Nomor


(31)

urut 09 lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dalam pasal 62 UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

DAKWAAN KEDUA

Bahwa terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Juni tahun 2009 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2009, bertempat di jalan raya Palur tepatnya di pertigaan lampu trafic light arah terminal Palur, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Karanganyar, telah menerima penyerahan Psikotropika selain yang ditetapkan dalam pasal 14 ayat (3), pasal 14 ayat (4) UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB pada saat terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO berada di jalan raya Palur tepatnya di pertigaan lampu traffic light menuju terminal Palur Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar telah ditangkap petugas Polisi Polwil Surakarta dan pada saat dilakukan penggledahan telah ditemukan 1 (satu) bungkus kecil/paket sabu-sabu yang disimpan di dalam saku celana yang dipakai terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY, dan setelah ditanya petugas Polisi terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY mengakui kalo 1 (satu) paket sabu-sabu tersebut diperoleh terdakwa FEMMY OKTAVIANA membeli dari teman terdakwa yang bernama ADI (DPO) dengan harga Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang rencananya akan terdakwa jual kembali kepada teman terdakwa yang bernama ROBBY dengan harga Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setelah


(32)

sabu-sabu tersebut telah laku dibeli oleh ROBBY terdakwa FEMMY OKTAVIANA oleh ADI (DPO) dijanjikan akan diberi bonus berupa uang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah), namun belum sempat terjadi transaksi terdakwa FEMMY OKTAVIANA ditangkap polisi selanjutnya beserta barang bukti 1 (satu) paket kecil sabu-sabu sebesar 0,059 gram dan 1 (satu) buah handphone merk Nokia dibawa ke Polwil Surakarta untuk diproses lebih lanjut.

2) Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No.LAB.716/KNF/VII/2009 tanggal 13 Juli 2009 barang bukti serbuk kristal dengan berat 0,059 gram tersebut telah mengandung METAMFETAMINA terdaftar dalam golongan II (dua) Nomor urut 09 lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dalam pasal 60 UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

d) Eksepsi Terdakwa

Menimbang, bahwa atas surat dakwaan penuntut umum tersebut Penasihat Hukum terdakwa telah mengajukan keberatan/eksepsi secara tertulis tertanggal 12 Agustus 2009, yang pokoknya mohon kepada majelis hakim memberikan putusan sela yang amarnya berbunyi :

1) Menerima keberatan dari penasehat hukum terdakwa.

2) Menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya surat dakwaan harus dibatalkan.

e) Jawaban Eksepsi Jaksa Penuntut Umum

Menimbang, bahwa atas keberatan penasehat hukum terdakwa tersebut, penuntut umum telah mengajukan pendapatnya secara tertulis juga tertanggal 14 Agustus 2009 dan untuk lengkapnya sebagaimana termuat dalam berita acara persidangan ini.


(33)

f) Putusan Sela Majelis Hakim

Menimbang, bahwa atas keberatan penasehat hukum terdakwa maupun terhadap pendapat penuntut umum, majelis hakim telah memutuskan dengan putusan sela tertanggal 19 Agustus 2009, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

1) Menolak eksepsi penasihat hukum terdakwa.

2) Menyatakan sah surat dakwaan penuntut umum No. Reg.Perkara : PDM-38/KNYAR/Ep.2/0709 tertanggal 31 Juli 2009 adalah sah menurut hukum.

3) Memerintahkan pemeriksaan perkara Nomor 141/Pid.B/2009/PN.Kray. atas nama terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO untuk dilanjutkan.

4) Menetapkan menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir.

g) Tuntutan Penuntut Umum

Selanjutnya Penuntut Umum menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri memutuskan sebagai berikut :

1) Menyatakan terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika”

sebagaimana diatur dalam pasal 62 UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Jo UU No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak ; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa FEMMY OKTAVIANA

Alias FEMMY Binti SUDARSONO dengan pidana penjara selama 7 (Tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 300.000,00 (Tiga Ratus Ribu Rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan ;

3) Menyatakan barang bukti berupa :

(a) 1 (satu) bungkus plastik/paket sabu-sabu.

(b) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna hitam. Dirampas untuk dimusnahkan.


(34)

4) Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah).

h) Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar MENGADILI

1) Menyatakan terdakwa FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki dan membawa psikotropika”;

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari dan denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan ; 3) Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 4) menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan ; 5) Memerintahkan agar barang bukti berupa :

(a) 1 (satu) bungkus plastik/paket sabu-sabu.

(b) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna hitam Dirampas untuk dimusnahkan.

6) Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

Demikian diputuskan dalam rapat Permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar pada hari Senin, tanggal 7 September 2009 oleh kami Demon Sembiring, SH. Sebagai Hakim Ketua, Nurhayati Nasution, SH. dan Dony Dortmund, SH. masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim tersebut diatas dengan bantuan oleh Merry Nurcahya A, SH. sebagai Penitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Karanganyar serta dihadiri oleh Bambang Tejo, SH. Sebagai Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Karanganyar dan Terdakwa/Penasihat Hukum terdakwa.


(35)

2. Pembahasan

Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar Dalam Tindak Pidana Psikotropika Yang Di Lakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Pada Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Kray

Setiap pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, mengharuskan penuntut umum melimpahkan berkas dengan surat dakwaan. Fungsi utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan ”menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara”. Pemeriksaan perkara di sidang

pengadilan harus didasarkan dari isi surat dakwaan. Atas landasan surat dakwaan inilah hakim ketua sidang memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan, baik yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun yang berkenaan dengan barang bukti. Agar hakim ketua sidang dapat menguasai jalan pemeriksaan yang sesuai dengan surat dakwaan, harus lebih dahulu memahami secara tepat segala sesuatu unsur-unsur konstitutif yang terkandung dalam pasal tindak pidana yang didakwakan serta trampil mengartikan dan menafsirkan pasal tindak pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebelum hakim memulai pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, lebih dahulu memahami secara mantap semua unsur tindak pidana yang didakwakan.

Hakim dalam menjatuhkan putusannya mempertimbangkan alat bukti yang ada dalam persidangan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP yaitu

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia (hakim) memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Makna dari Pasal 183

KUHAP ini menunjukkan bahwa yang dianut dalam sistem pembuktian adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) dengan menyebut adanya dua alat bukti yang sah serta adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang


(36)

paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum karena dalam sistem pembuktian ini terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction in-time dengan sistem “pembuktian menurut undang-undang secara

positif” (positief wettelijk stelsel).

Penyebutan dua alat bukti merupakan limitatif suatu pembuktian yang minimum yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu dalam Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, hakim tidak diijinkan untuk menyimpang dalam menjatuhkan putusannya.

Sehubungan dengan itu, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat bukti yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Dalam menjatuhkan putusan pidana harus ada keyakinan hakim yang bukan diartikan perasaan hakim pribadi sebagai manusia akan tetapi keyakinan hakim yang didukung oleh alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Pada perkara tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dengan terdakwa yang bernama FEMMY OKTAVIANA Alias FEMMY Binti SUDARSONO, alat bukti yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan adalah :

a) Keterangan Saksi

1) WAHYU RIYANTO ;

a) Bahwa saksi pernah bertatapan dengan terdakwa sebelum terdakwa tertangkap ;


(37)

b) Bahwa pada hari senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB di pertigaan lampu merah arah terminal Palur, Desa Ngringo, Kec. Jaten, Karanganyar, saksi menemukan 1 (satu) bungkus kecil sabu-sabu disaku celana yang dipakai terdakwa ;

c) Bahwa orang yang ditangkap saksi adalah seorang perempuan yang bernama FEMMY OKTAVIANA umur 17 tahun, pengangguran dan mengaku beralamat di Kp. Jati Teken, Kl. Krajan, Kec. Mojolaban, Kab. Sukoharjo ;

d) Bahwa adapun alasan saksi menangkap terdakwa karena kedapatan telah memiliki, menyimpan, membawa dan menggunakan psikotropika jenis sabu-sabu ;

e) Bahwa saksi pada tanggal 29 Juni sekitar jam 11.00 WIB mendapat informasi dari masyarakat ada transaksi sabu-sabu, kemudian saksi kelokasi dan mengamatinya ;

f) Bahwa setelah saksi menanyakan kepada terdakwa ia mengaku akan diberikan kepada seseorang yang bernama Robby dan terdakwa juga mengaku bahwa sabu-sabu tersebut diperoleh dengan cara membeli dari seseorang yang bernama Edi yang beralamat di Danyung Sukoharjo dengan cara terlebih dahulu mentransfer uang sebanyak Rp. 1.000.000 ; g) bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa

bersama dengan saksi Wahyono dan Nur Dian Pratama yang di pimpin oleh AIPTU TUGIMIN ;

h) Bahwa pada waktu penangkapan, selain menemukan sabu-sabu tersebut saksi juga telah menyita sebuah HP merk Nokia warna hitam dari terdakwa ;

i) Bahwa atas keterangan saksi tersebut terdakwa telah membenarkan.


(38)

2) Saksi NUR DIAN PRATAMA

a) Bahwa benar melakukan penangkapan terhadap terdakwa sekitar pukul 18.30 WIB dipertigaan lampu merah Palur dan terdakwa membawa sabu-sabu ;

b) Bahwa setahu saksi satu bungkus plastik kecil yang berisi sabu-sabu seberat setengah gram dan juga saksi menemukan sebuah HP merk Nokia warna hitam ;

c) Bahwa setelah saksi melakukan penggledahan, saksi menemukan sabu-sabu tersebut di dalam saku celana sebelah kanan yang dipakai terdakwa ;

d) Bahwa setahu saksi terdakwa mendapatkan sabu-sabu tersebut dari seseorang yang bernama Edi setelah terdakwa mentransfer uang ;

e) Bahwa setahu saksi terdakwa membawa sabu-sabu tersebut tidak disertai ijin dari pihak yang berwenang ;

f) Menimbang bahwa atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan

b) Keterangan Terdakwa

Bahwa terdakwa dipersidangan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut :

1) Bahwa benar terdakwa ditangkap pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 WIB Karanganyar di jalan raya Palur tepatnya di pertigaan lampu trafic light menuju terminal Palur Karanganyar karena menyimpan dan menggunakan sabu-sabu ; 2) Bahwa terdakwa berjalan dekat pertigaan lampu merah Palur

dengan rencana akan menyerahkan sabu-sabu pesanan teman terdakwa bernama Robby ;

3) Bahwa adapun barang yang disita dari terdakwa adalah 1 (satu) bungkus kecil sabu-sabu yang ditemukan disaku celana dan sebuah HP merk Nokia warna hitam milik terdakwa ;


(39)

4) Bahwa benar sabu-sabu tersebut diperoleh dengan cara membeli dari seseorang yang bernama Edi yang beralamat di Danyung Sukoharjo dengan cara mentransfer uang sebanyakRp. 1.000.000 kepada Edi ;

5) Bahwa pada tanggal 29 Juni 2009, sekira pukul 14.30 WIB terdakwa mengambil sabu-sabu tersebut di bawah Gapura dekat Danyung Sukoharjo yang telah diberitahu Edi terlebih dahulu ; 6) Bahwa benar terdakwa pernah mengkomsumsi, yaitu pada tanggal

20 Juni 2009 sekira pukul 18.00 WIB di Hotel Persada dekat Jurug, Kec Jebres Surakarta bersama seseorang dengan panggilan Eyang ; 7) Bahwa adapun yang digunakan untuk mengkomsumsi sabu-sabu

tersebut adalah Bong (alat penghisap sabu-sabu), korek api gas, pipet kaca dan sedotan plastik.

c) Barang Bukti

Bahwa di persidangan telah diajukan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) bungkus plastik/paket sabu-sabu.

2) 1 (satu) buah Hand Phone merk Nokia warna Hitam.

Bahwa barang bukti tersebut diatas, telah dibenarkan oleh saksi-saksi maupun terdakwa dan telah dilakukan penyitaan atas persetujuan Ketua Pengadilan Negeri Karanganyar, maka hal ini telah memenuhi ketentuan Pasal 38 KUHAP sehingga telah dipertimbangkan sebagai barang bukti dalam perkara ini.

Terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif yaitu : kesatu melanggar Pasal 62 UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika atau kedua melanggar Pasal 60 ayat (5) UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika dan untuk menentukan bersalah tidaknya terdakwa maka haruslah dipertautkan antara perbuatan terdakwa dengan rumusan unsur-unsur delik/tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum dan karena surat dakwaan penuntut umum berbentuk alternatif, maka majelis hakim sesuai dengan


(40)

kewenanganya dapat memilih langsung salah satu dakwaan penuntut umum tersebut untuk dipertimbangkan sesuai dengan realita (fakta) yang terungkap dalam persidangan. Berdasarkan argumentasi tersebut maka majelis hakim akan mempertimbangkan dakwaan kesatu yaitu melanggar Pasal 62 UU RI. Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a) Barang siapa b) Tanpa hak

c) Memiliki, menyimpan dan/membawa d) Psikotropika

Dalam proses pemeriksaan terdapat fakta-fakta persidangan setelah menghubungkan alat-alat bukti yang ada. Dengan demikian Unsur-unsur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 antara lain : a) Barang siapa

Peristilahan barang siapa dalam doktrin pengetahuan hukum diartikan sebagai siapa saja sebagai subyek hukum yang dalam hal ini adalah manusia, dimana secara formil telah memenuhi kwalitas/kriteria sebagai pelaku delik yang dapat bertanggung jawab atas perbuatanya, sedangkan secara materiil adalah pelaku perbuatan.

Dengan merujuk fakta terungkap di persidangan, majelis hakim menemukan melalui keterangan saksi-saksi : Wahyu Riyanto, Nur Dian Pratama, bahwa pada hari Senin tanggal 29 Juni 2009 sekira pukul 18.30 Wib di jalan raya Palur tepatnya dipertigaan lampu trafic light arah terminal Palur Kec. Jaten, Karanganyar telah menemukan satu bungkus kecil paket sabu-sabu yang didalam saku celana yang dipakai terdakwa FEMMY OKTAVIANA.

Dalam persidangan terdakwa mengakui perbuatanya dan membenarkan pula segala identitas yang ditanyakan majelis kepada dirinya sehingga tidak ada keraguan pada majelis hakim bahwa tterdakwalah pelakunya lagipula terdakwa dengan kooperatif telah


(41)

menaggapi dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya yang tentunya terdakwa telah bertanggung jawab atas perbuatanya dan terhindar dari kesalahan orang (error person) dalam memutus perkara ini.

Dengan segala alasan pertimbangan diatas, majelis hakim menyimpulkan bahwa unsur barang siapa dalam hal ini telah terpenuhi. b) Tanpa Hak

Yang dimaksud tanpa hak adalah tidak berhak, tidak mempunyai hak atau bertentangan dengan hukum sehingga dengan demikian konotasi yang dapat diambil dari unsur ini adalah tidak berhak atau secara melawan hukum dan lebih khusus lagi adalah tanpa izin Menteri Kesehatan.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi : Wahyu Riyanto, Nur Dian Pratama serta barang bukti, diperoleh fakta bahwa ketika terdakwa FEMMY OKTAVIANA di jalan raya Palur tepatnya dipertigaan lampu trafic light arah terminal Palur Kec. Jaten, Karanganyar, saksi Wahyu Riyanto menemukan satu buah plastik kecil sabu-sabu di dalam saku celana yang dipakai oleh terdakwa dengan tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang. Dan dari keterangan terdakwa diperoleh pula fakta bahwa sejak ia mengambil satu bungkus kecil paket sabu-sabu dibawah gapura didekat Danyung sukoharjo selanjutnya membawa ke pertigaan lampu trafic light jalan raya palur benar tidak disertai ijin. Digunakan bukan untuk kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan fakta diatas, majelis hakim berpendapat oleh karena terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang yaitu dari menteri kesehatan dalam mewujudkan perbuatanya dan digunakan bukan untuk kepentingan kesehatan maupun ilmu pengetahuan, maka unsur tanpa hak telah terpenuhi dalam perkara ini.


(42)

c) Memiliki, menyimpan dan atau membawa

Sifat dari unsur ini adalah alternatif apabila salah satunya telah terbukti, maka alternatif lainya tidak perlu dibuktikan. Dari keterangan saksi Wahyu Riyanto, Nur Dian Pratama dan terdakwa serta barang bukti dihubungkan satu dengan yang lainya dan bersesuaian dan diperoleh fakta bahwa terdakwa FEMMY OKTAVIANA pada hari Senin, tanggal 29 Juni 2009, sekira pukul 18.30 Wib telah membawa satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal ke jalan raya Palur tepatnya dipertigaan lampu trafic light arah terminal Palur Kec. Jaten, Karanganyar yang diambil oleh terdakwa dibawah gapura dekat danyung Sukoharjo dengan tujuan akan diserahkan kepada seorang laki-laki yang bernama Robby. Dan berdasarkan keterangan terdakwa bahwa satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal tersebut diperolehnya dari seseorang yang bernama ADI yang beralamat di Danyung Sukoharjo.

Dari keterangan saksi/petugas diperoleh pula fakta bahwa pada waktu dilakukan penggledahan pada diri terdakwa didalam saku celana yang dipakai terdakwa ditemukan satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal dan pada waktu percakapan antara saksi/petugas dengan terdakwa diakui bahwa satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal tersebut adalah milik terdakwa.

Merujuk kepada fakta tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa dengan adanya tindakan terdakwa telah memindahkan satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal dari suatu tempat kedalam penguasaanya dan membawa ketempat lain, maka unsur memiliki dan membawa telah terpenuhi dan terbukti pula. d) Psikotropika

Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, menyatakan bahwa psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui


(43)

pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi : Wahyu Riyanto, Nur Dian Pratama, bahwa pada waktu dilakukan penggeledahan terhadap terdakwa ditemukan satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal pada saku celana yang dipakai oleh terdakwa dan diakui oleh terdakwa adalah sabu-sabu.

Dari berita acara hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik cabang Semarang tertanggal 13 Juli 2009 bahwa satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal yang disita dari terdakwa yang telah dijadikan barang bukti dalam perkara ini adalah psikotropika yang mengandung METAMFETAMINA.

Berdasarkan berita acara penimbangan barang bukti tertanggal 2 Juli 2009 yang dilakukan oleh Reskrim Polwil Surakarta, satu bungkus plastik kecil yang berisi serbuk kristal warna putih yang diduga psikotropika jenis sabu-sabu adalah seberat 0,059 gram.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka majelis berkesimpulan bahwa barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastik kecil yang didalamnya diduga berisi Psikotropika jenis sabu-sabu seberat 0,059 gram yang disita dari terdakwa terbukti secara sah dan menurut hukum dan meyakinkan adalah psikotropika. Sehingga dengan demikian unsur psikotropika dalam perkara ini telah terpenuhi.

Karena putusan ini memberikan pencerahan terhadap siapa saja termasuk kepada penuntut umum sesuai dengan identitas terdakwa yang berumur 17 tahun, telah dibenarkan oleh terdakwa, maka demi kepentingan hukum terdakwa, dakwaan penuntut umum harus di junctokan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak akan tetapi hal tersebut bukanlah dijadikan alasan tuntutan pidana penuntut umum batal demi hukum karena


(44)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanyalah mengatur proses persidangan, penahanan dan pemidanaan dalam perkara anak, sebagaimana dalam berita acara persidangan perkara aquo bukan tentang unsur-unsur delik sebagaimana dalam pasal yang didakwakan sehingga dengan demikian majelis hakim tidak sependapat dengan penasehat hukum terdakwa.

Berdasarkan segala pertimbangan majelis hakim tersebut diatas, ternyatalah bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam perumusan pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.

Hakim juga telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa. Pemeriksaan di persidangan pengadilan berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum akan dipertimbangkan tiap-tiap bagiannya. Hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa dapat merusak mental atau perilaku terdakwa dan teman-temannya karena sindroma ketergantungan psikotropika. Sedangkan hal-hal yang meringankan terdakwa antara lain :

a) Terdakwa mengakui perbuatannya.

b) Terdakwa merasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

c) Terdakwa belum pernah dihukum.

d) Terdakwa masih anak-anak dan masih cukup waktu memperbaiki perilakunya.

Apabila seluruh tahapan proses pemeriksaan telah selesai dan

hakim ketua telah menyatakan ”pemeriksaan dinyatakan tertutup”, maka

majelis hakim akan mengadakan musyawarah untuk menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan. Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.


(45)

Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan harus tetap memperhatikan dan mendahulukan kepentingan para terdakwa yang masih tergolong anak-anak. Berdasarkan teori pemidanaan, yaitu teori gabungan, yaitu penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat dan kejahatan tersebut tidak terulang lagi, jadi bersifat prevensi. Sifat prevensi ini ada dua yaitu :

1) Prevensi umum, agar orang lain tidak melakukan kejahatan. 2) Prevensi khusus, agar pelaku tidak mengulang kejahatan lagi.

B. Hambatan-Hambatan Secara Teoritis Yang Dialami Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar Dalam Menjatruhkan Putusan No.

141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar.

Hakim setelah menyatakan pemeriksaan persidangan ditutup, maka tahap selanjutnya adalah membuat putusan. Putusan pemidanaan dapat dikatakan menempati posisi yang sentral dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana. Hal ini di sebabkan karena pemidanaan mempunyai konsekuensi yang berdimensi luas tidak hanya kepada pelaku, korban atau keluarga korban akan tetapi juga kepada masyarakat luas sehingga apabila putusan pemidanaan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan maka dapat menimbulkan kontroversi dalam masyarakat dan berakibat munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi badan–badan peradilan. Sebagai salah satu pilar penegak hukum, hakim mempunyai tanggung jawab yang besar karena ia tidak saja harus menerima perkara yang di ajukan kepadanya walaupun sering kali perkara itu tidak jelas, tidak lengkap bahkan tidak ada peraturannya sama sekali tetapi juga ia harus dapat memutuskan perkara yang ditangani secara adil dan memuaskan semua pihak yang berperkara di persidangan apalagi pada saat ini dimana dalam era keterbukaan setiap putusan yang dijatuhkan diawasi dan dinilai secara langsung oleh masyarakat . Oleh sebab itu hakim seharusnya berperan aktif untuk menggali


(46)

hukum baik yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yaitu hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat agar setiap putusan yang diambil dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

Pada kasus tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dengan Terdakwa Femmy Oktaviana tersebut di atas, hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam memberikan putusan sebenarnya mengalami dilema, hal ini disebabkan karena usia Terdakwa masih di bawah umur sehingga hakim perlu mempertimbangkan akibat dari putusan yang ia jatuhkan kepada terdakwa, namun di samping itu hakim harus tetap memberikan pidana kepadanya karena Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta di dalam persidangan dan Terdakwa telah melakukan tindak pidana psikotropika yaitu membawa dan menggunakan psikotropika bukan dalam rangka pengobatan. Oleh karena itu hakim pengadilan Negeri Surakarta menjatuhkan suatu putusan yang adil berupa pidana penjara selama 3 (Tiga) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 300.000,00 (Tiga Ratus Ribu Rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan. Tuntutan ini lebih ringan tiga bulan dari tuntutan pidana penuntut umum. Putusan ini menurut hakim di anggap adil karena berdasarkan dari fakta persidangan riwayat hidup terdakwa, ternyata terdakwa berada dalam keluarga yang kurang harmonis dan keadaan kehidupan ekonomi terdakwa kurang memberikan jaminan sehingga terdakwa termotifasi untuk melakukan perbuatanya. Selain itu terdakwa masih termasuk dalam anak di bawah umur, emosi dan jiwa cukup labil dan belum dapat mengetahui dampak dari perbuatanya tersebut. Hal ini bersesuaian dari hasil penelitian dari Balai Pemasyarakatan Surakarta.

Hambatan lain adalah adanya opini masyarakat umum bahwa semua pelaku tindak pidana psikotropika harus dihukum seberat-beratnya dan apabila perlu dihukum dengan hukuman mati. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sangat jelas telah diatur mengenai sanksi pidana yang berbeda bagi pelaku tindak pidana psikotropika baik yang


(1)

Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan harus tetap memperhatikan dan mendahulukan kepentingan para terdakwa yang masih tergolong anak-anak. Berdasarkan teori pemidanaan, yaitu teori gabungan, yaitu penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat dan kejahatan tersebut tidak terulang lagi, jadi bersifat prevensi. Sifat prevensi ini ada dua yaitu :

1) Prevensi umum, agar orang lain tidak melakukan kejahatan. 2) Prevensi khusus, agar pelaku tidak mengulang kejahatan lagi.

B. Hambatan-Hambatan Secara Teoritis Yang Dialami Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar Dalam Menjatruhkan Putusan No.

141/Pid.B/2009/PN.Kray di Pengadilan Negeri Karanganyar.

Hakim setelah menyatakan pemeriksaan persidangan ditutup, maka tahap selanjutnya adalah membuat putusan. Putusan pemidanaan dapat dikatakan menempati posisi yang sentral dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana. Hal ini di sebabkan karena pemidanaan mempunyai konsekuensi yang berdimensi luas tidak hanya kepada pelaku, korban atau keluarga korban akan tetapi juga kepada masyarakat luas sehingga apabila putusan pemidanaan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan maka dapat menimbulkan kontroversi dalam masyarakat dan berakibat munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi badan–badan peradilan. Sebagai salah satu pilar penegak hukum, hakim mempunyai tanggung jawab yang besar karena ia tidak saja harus menerima perkara yang di ajukan kepadanya walaupun sering kali perkara itu tidak jelas, tidak lengkap bahkan tidak ada peraturannya sama sekali tetapi juga ia harus dapat memutuskan perkara yang ditangani secara adil dan memuaskan semua pihak yang berperkara di persidangan apalagi pada saat ini dimana dalam era keterbukaan setiap putusan yang dijatuhkan diawasi dan dinilai secara langsung oleh masyarakat . Oleh sebab itu hakim seharusnya berperan aktif untuk menggali


(2)

hukum baik yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yaitu hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat agar setiap putusan yang diambil dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

Pada kasus tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dengan Terdakwa Femmy Oktaviana tersebut di atas, hakim Pengadilan Negeri Karanganyar dalam memberikan putusan sebenarnya mengalami dilema, hal ini disebabkan karena usia Terdakwa masih di bawah umur sehingga hakim perlu mempertimbangkan akibat dari putusan yang ia jatuhkan kepada terdakwa, namun di samping itu hakim harus tetap memberikan pidana kepadanya karena Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta di dalam persidangan dan Terdakwa telah melakukan tindak pidana psikotropika yaitu membawa dan menggunakan psikotropika bukan dalam rangka pengobatan. Oleh karena itu hakim pengadilan Negeri Surakarta menjatuhkan suatu putusan yang adil berupa pidana penjara selama 3 (Tiga) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 300.000,00 (Tiga Ratus Ribu Rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan. Tuntutan ini lebih ringan tiga bulan dari tuntutan pidana penuntut umum. Putusan ini menurut hakim di anggap adil karena berdasarkan dari fakta persidangan riwayat hidup terdakwa, ternyata terdakwa berada dalam keluarga yang kurang harmonis dan keadaan kehidupan ekonomi terdakwa kurang memberikan jaminan sehingga terdakwa termotifasi untuk melakukan perbuatanya. Selain itu terdakwa masih termasuk dalam anak di bawah umur, emosi dan jiwa cukup labil dan belum dapat mengetahui dampak dari perbuatanya tersebut. Hal ini bersesuaian dari hasil penelitian dari Balai Pemasyarakatan Surakarta.

Hambatan lain adalah adanya opini masyarakat umum bahwa semua pelaku tindak pidana psikotropika harus dihukum seberat-beratnya dan apabila perlu dihukum dengan hukuman mati. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sangat jelas telah diatur mengenai sanksi pidana yang berbeda bagi pelaku tindak pidana psikotropika baik yang


(3)

mengedarkan ataupun yang kedapatan membawa tanpa izin. Untuk mengatasi hal ini seharusnya sering diadakan sosialisasi yang jelas dan benar kepada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tersebut sehingga masyarakat umum tidak beranggapan bahwa hakim dalam memutus perkara ini adalah tidak adil.

Selain itu adanya kendala bahwa hingga saat ini peradilan terhadap anak masih menjadi satu kesatuan dengan pengadilan umum atau merupakan bagian dari pengadilan umum dan belum menjadi suatu lembaga yang berdiri sendiri, sehingga belum banyak menunjukkan adanya kondisi yang berbeda dari proses pengadilan bagi orang dewasa. Bila pengadilan anak dapat berdiri sendiri dan bukan lagi bagian dari pengadilan umum, maka dalam proses persidangan anak terdapat perbedaan yang sangat jelas, mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap pemeriksaan persidangan, dimana tidak perlu lagi dilakukan penahanan bagi anak. Selama ini yang membedakan persidangan anak dengan orang dewasa adalah pejabat yang memeriksa tidak mengenakan toga, disidangkan hakim tunggal, ditangani oleh pejabat khusus, diperiksa dalam suasana kekeluargaan dan persidangan dilakukan secara tertutup.

Walaupun mengalami hambatan-hambatan tersebut di atas, hakim Pengadilan Negeri Karanganyar tetap memberikan putusan sesuai dengan keyakinanya namun tetap berdasarkan fakta-fakta dan pembuktian di dalam persidangan sehingga dapat dicapai kebenaran materiil.


(4)

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis pada bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menarik simpulan yang berhubungan dengan penulisan hukum ini, sebagai berikut :

1. Pada dasarnya yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam hal menjatuhkan berat ringannya pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika adalah apabila pelaku melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang telah disebutkan sebagai tindak pidana psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur yang dilarang dalam undang-undang. Apabila unsur-unsur yang terdapat dalam pasal yang bersangkutan tidak dipenuhi, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa. Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor yang ada dalam diri terdakwa, yaitu apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkannya, apakah terdakwa mengetahui perbuatannya tersebut melanggar hukum sehingga dilakukan dengan adanya perasaan takut dan bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan dianggap sanggup bertanggung jawab atau tidak. Selain hal tersebut, hakim harus memberikan putusan sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

2. Hambatan secara teoritis yang dialami hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu usia Terdakwa yang masih di bawah umur sehingga hakim harus mempertimbangkan akibat yang diterima oleh Terdakwa akibat putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut. Hambatan lain adalah adanya opini masyarakat umum bahwa semua pelaku tindak pidana psikotropika harus


(5)

dihukum seberat-beratnya dan apabila perlu dihukum dengan hukuman mati. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sangat jelas telah diatur mengenai sanksi pidana yang berbeda bagi pelaku tindak pidana psikotropika baik yang pengedar ataupun yang kedapatan membawa tanpa izin. Solusi untuk mengatasi hambatan ini adalah pemerintah harus sering mengadakan sosialisasi yang jelas dan benar kepada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sehingga masyarakat umum tidak beranggapan bahwa hakim dalam memutus perkara ini adalah tidak adil. Selain itu adanya kendala bahwa hingga saat ini peradilan terhadap anak masih menjadi satu kesatuan dengan pengadilan umum atau merupakan bagian dari pengadilan umum dan belum menjadi suatu lembaga yang berdiri sendiri, sehingga belum banyak menunjukkan adanya kondisi yang berbeda dari proses pengadilan bagi orang dewasa.

B. Saran

1. Apabila putusan hakim yang berkaitan dengan pemerintah kurang ditindaklanjuti, sebaiknya hakim melakukan pendekatan ataupun klarifikasi langsung kepada pemerintah agar segera ditindak lanjuti sehingga hakim merasa bahwa putusanya dapat bermanfaat dan dapat dilaksanakan secara efektif.

2. Dalam memberikan putusan sebaiknya hakim mempertimbangkan latar belakang pendidikan, sosial, kultural dan ekonomi.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sapta Artha Jaya. Hari Sasangka. 2003.Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana.Bandung

: Mandar Maju.

Ibrahim Johny. 2006.Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang. Bayu Media Publising.

Lexy J Maleaong. 2002.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Mandagi dan M. Wresnowiro. Masalah Narkotika dan Zat Aditif Lainya Serta Penanggulanganya. Jakarta : Pramuka Saka Bhayangkara.

Martiman Prodjohamidjojo. 1996. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2. Jakarta. PT. Pradnya Paramita.

Nawawi Arief. 2001. Masalah Pebegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Romli Atmasasmita. 1997. Tindak Pidana Narkotika Trans Nasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Sholeh Soeaidy & Zulkhair. 2001. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta. Novindo Pustaka Mandiri.

Soerjono Soekanto & Sri Mahmuji. 2004.Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Wagiati Soetodjo. 2008.Hukum Pidana Anak. PT Refika Aditama.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KUHP dan KUHAP

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.