Fortification of Calcium and Tocopherol to Improve Nutritional Quality of Beef Emulsion Product

FORTIFIKASI KALSIUM DAN TOKOFEROL UNTUK
MENINGKATKAN MUTU GIZI PRODUK
EMULSI DAGING SAPI STERIL

NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fortifikasi Kalsium dan
Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Ni Nyoman Susi Ratna Dewanti
NIM F25110027

RINGKASAN
NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI. Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol
Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril. Dibimbing
oleh MADE ASTAWAN dan JOKO HERMANIANTO.
Cara untuk meningkatkan konsumsi daging sapi adalah dengan
meningkatkan kualitas produk olahan daging sapi terutama dari segi gizinya.
Daging sapi dapat dikembangkan menjadi produk olahan yang dapat memberikan
satu atau lebih efek fisiologis di luar fungsinya sebagai sumber protein (Murwani
2011). Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan ingredient fungsional, yaitu
melalui fortifikasi zat gizi penting ke dalam produk olahan daging sapi (Toldra
dan Reig 2011). Rendahnya kandungan kalsium dan tokoferol pada daging sapi
dan produk olahannya memicu penelitian untuk melakukan fortifikasi kalsium dan
tokoferol pada produk olahan daging sapi.
Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah formulasi
dasar produk emulsi daging sapi steril non-fortifikasi (PEDSNF) dan formulasi

produk emulsi daging sapi steril fortifikasi (PEDSF). Penentuan PEDSF terbaik
dilakukan melalui uji hedonik. Analisis yang dilakukan antara lain adalah sifat
fisik (warna dan tingkat kekerasan) dan komposisi kimia (kadar air, lemak,
protein, karbohidrat, kalsium, tokoferol total). Tahap kedua adalah uji in vivo
produk untuk menganalisis nilai biologis protein, daya serap dan retensi kalsium
serta kadar MDA organ hati.
Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa penambahan fortifikan kalsium sitrat
dan dl-a-tokoferol asetat tidak mempengaruhi kualitas sensori produk emulsi
daging sapi steril. Panelis tetap menyukai produk emulsi daging sapi steril yang
ditambahkan fortifikan kalsium dan tokoferol. PEDSF yang terbaik adalah produk
emulsi daging sapi steril dengan penambahan Calcium citrate 3250 ppm dan dl-αtocopheryl acetate 300 ppm. Hasil analisis warna menunjukkan bahwa PEDSF
mempunyai mempunyai nilai L (tingkat kecerahan) dan nilai a (derajat
kemerahan) yang lebih tinggi dibandingkan PEDSNF. Hasil analisis tingkat
kekerasan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan PEDSF lebih rendah
dibandingkan PEDSNF. Hasil analisis kadar kalsium menunjukkan bahwa kadar
kalsium produk emulsi daging sapi steril setelah ditambahkan kalsium meningkat
sebesar 70%. Hasil analisis kadar tokoferol total menunjukkan bahwa kadar
tokoferol total produk emulsi daging sapi steril setelah ditambahkan tokoferol
meningkat sebesar 36%. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa PEDSF
mempunyai kadar air, lemak, dan protein rendah sedangkan kadar karbohidratnya

tinggi.
Hasil uji in vivo menunjukkan bahwa nilai True Digestibility (TD) dan Net
Protein Utilization (NPU) PEDSF tinggi yaitu sebesar 93.0% dan 87.2. Hal ini
menandakan bahwa nilai biologis protein PEDSF tinggi. Hasil analisis daya serap
dan retensi kalsium menunjukkan bahwa asupan kalsium dari ransum PEDSF
meningkatkan daya serap (66.8%) dan retensi kalsium (66.6%) di dalam tubuh.
Kadar MDA kelompok tikus yang diberi ransum perlakuan PEDSF (67056.6
mmol/L) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (19164.1 mmol/L). Hal ini
mengartikan bahwa asupan tokoferol dari ransum PEDSF belum mampu
menurunkan stress oksidatif tubuh.
Kata kunci: fortifikasi, kalsium, tokoferol, produk emulsi daging sapi steril

SUMMARY
NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI. Fortification of Calcium and
Tocopherol to Improve Nutritional Quality of Beef Emulsion Product. Supervised
by MADE ASTAWAN and JOKO HERMANIANTO.
Way to increase the consumption of beef is by improving the quality of beef
products, especially in terms of nutrition. Beef can be developed into processed
beef products that can provide one or more physiological effects beyond its
function as a protein source (Murwani 2011). This can be done by adding

functional ingredients, that is through the fortification of essential nutrients in
processed beef products (Toldra and Reig 2011). The low calcium and tocopherol
content in beef and its processed products motivate to conduct on calcium and
tocopherol fortification in processed beef products.
The study was conducted in two stages. The first stage was the basic
formulation of processed beef product (PEDSNF) and formulation of fortified
processed beef product (PEDSF). Determination the best PEDSF was done by
hedonic test. The analysis which was conducted were physical properties (color
and hardness) and chemical composition (moisture, fat, protein, carbohydrates,
calcium, total tocopherol content). The second stage was in vivo test to analyze the
protein biological value, calcium absorption and retention and liver MDA levels.
The results of hedonic test showed that the addition of calcium and
tocopherol did not affect the sensory quality of the product. Panelists still liked
fortified processed beef product. The best PEDSF was beef emulsion product with
the addition of 3250 ppm of Calcium citrate and 300 ppm of dl-α-Tocopheryl
acetate. The results of color analysis indicated that PEDSF have L value
(brightness) and a value (redness) higher than PEDSNF. Results of the texture
analysis showed that the hardness of PEDSF was lower than PEDSNF. The level
of calcium in beef emulsion product after adding calcium was increased by 70%
and the level of total tocopherol of beef emulsion product after adding tocopherol

was increased by 36%. The results of proximate analysis showed that the water,
fat, protein contents of PEDSF were lower than PEDSNF while the carbohydrate
level of PEDSF was higher than PEDSNF.
The results of in vivo test showed that True Digestibility (TD) and Net
Protein Utilization (NPU) of PEDSF were 93.0% and 87.2% respectively. This
indicated that the high protein biological value of PEDSF. The results of analysis
of calcium absorption and retention showed that intake of PEDSF enhanced
calcium absorption (66.8%) and retention (66.6%). MDA level of mice group of
PEDSF (67056.6 mmol / L) was higher than control group (19164.1 mmol / L).
This meant that the tocopherol intake from diet PEDSF did not sufficient to
reduce body oxidative stress.
Keywords: fortification, calcium, tocopherol, beef emulsion product

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FORTIFIKASI KALSIUM DAN TOKOFEROL UNTUK
MENINGKATKAN MUTU GIZI PRODUK
EMULSI DAGING SAPI STERIL

NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Deddy Muchtadi, MS

F

ludul Tesis
Nama
NIM

: Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu
Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril
: Ni Nyoman Susi Ratna Dewanti
: F251100271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

セM
Dr Ir loko Hennanianto
Anggota


Prof Dr Ir Made Astawan, MS
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Tanggal Ujian: 30 luli 2013

Tanggal Lulus:

0 7 0CT 2013

Judul Tesis
Nama
NIM

: Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu
Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril

: Ni Nyoman Susi Ratna Dewanti
: F251100271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Made Astawan, MS
Ketua

Dr Ir Joko Hermanianto
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 sampai Maret 2013
ini ialah fortifikasi, dengan judul Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk
Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril.
Terima kasih penulis ucapkan kepada PT. So Good Food Indonesia yang
telah memberikan beasiswa S2 kepada saya, Bapak Prof Dr Ir Made Astawan, MS
dan Bapak Dr Ir Joko Hermanianto, MSc selaku komisi pembimbing, serta Bapak
Prof Dr Ir Deddy Muchtadi, MS selaku penguji yang telah banyak memberi saran.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Denny Gumulya, ayah,
ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungan moralnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Ni Nyoman Susi Ratna Dewanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
2 TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Penyusun Produk Emulsi Daging Sapi Steril
Fortifikasi
Fortifikasi Kalsium
Fortifikasi Tokoferol
Penyerapan, Metabolisme, dan Ekskresi Kalsium
Penyerapan, Metabolisme, dan Ekskresi Tokoferol
Interaksi Kalsium dan Tokoferol
Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein
3 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Tahapan Penelitian
Perlakuan dan Rancangan Percobaan
Analisis Data
Metode Analisis
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kualitas Sensori Produk Emulsi Daging Sapi Steril Fortifikasi
(PEDSF)
Penentuan Formula Produk Emulsi Daging Sapi Steril Fortifikasi
(PEDSF) Terbaik
Analisis Sifat Fisik Produk
Analisis Komposisi Kimia Produk
Evaluasi Nilai Biologis Produk
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
3
3
3
3
3
4
4
5
5
6
6
6
6
6
7
10
10
11
16
16
18
18
20
21
31
31
31
31
36
65

DAFTAR TABEL
1 Kelompok perlakuan tikus percobaan
2 Formula dasar produk emulsi daging sapi steril (PEDSNF)
3 Hasil analisis warna produk emulsi daging sapi steril
4 Hasil analisis tingkat kekerasan produk emulsi daging sapi steril
5 Hasil analisis kadar kalsium produk emulsi daging sapi steril
6 Hasil analisis kadar tokoferol total produk emulsi daging sapi steril
7 Hasil analisis proksimat (% berat kering) produk emulsi daging sapi
steril
8 Hasil analisis proksimat bahan penyusun ransum tikus percobaan
9 Komposisi ransum (1 kg ransum) tikus percobaan
10 Hasil analisis proksimat ransum perlakuan tikus percobaan
11 Perbandingan nilai FCE PEDSNF dan PEDSF pada tikus percobaan
12 Kadar MDA hati tikus percobaan yang diberi ransum PEDSNF dan
PEDSF

9
16
19
19
20
21
21
22
22
23
24
30

DAFTAR GAMBAR
1 Nilai rataan ranking penerimaan produk emulsi daging sapi steril
keseluruhan
2 Perbandingan nilai daya cerna protein PEDSNF dan PEDSF
3 Perbandingan nilai NPU PEDSNF dan PEDSF
4 Hasil analisis daya serap kalsium PEDSNF dan PEDSF
5 Hasil analisis retensi kalsium PEDSNF dan PEDSF

17
26
26
28
29

DAFTAR LAMPIRAN
1a Hasil analisis uji rating hedonic
1b Hasil analisis uji ranking hedonic
1c Hasil analisis Principal Component Analysis (PCA)
2a Rekapitulasi data analisis warna
2b Hasil uji t-test warna
3a Rekapitulasi data analisis tekstur
3b Hasil uji t-test tekstur
4a Rekapitulasi data analisis kadar kalsium
4b Hasil uji t-test kadar kalsium
5a Rekapitulasi data analisis kadar tokoferol total
5b Hasil uji t-test kadar tokoferol total
6a Rekapitulasi data analisis proksimat PEDSNF dan PEDSF
6b Hasil uji t-test kadar proksimat PEDSNF dan PEDSF
7a Perhitungan formulasi ransum PEDSF
7b Perhitungan formulasi ransum PEDSNF
7c Perhitungan formulasi ransum kasein
7d Perhitungan formulasi ransum non-protein
8 Rekapitulasi data analisis proksimat ransum tikus percobaan (%bk)
9 Rekapitulasi data rataan berat badan tikus percobaan
10 Rekapitulasi data FCE

36
36
37
38
38
39
39
40
40
41
41
42
42
43
44
45
46
47
48
49

DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
11 Hasil analisis sidik ragam FCE
12 Rekapitulasi data PER
13 Hasil analisis sidik ragam PER
14 Rekapitulasi data NPR
15 Hasil analisis sidik ragam NPR
16 Rekapitulasi data TD, BV, dan NPU
17 Hasil analisis sidik ragam TD, BV, dan NPU
18 Hasil analisis kadar kalsium feses tikus percobaan
19 Hasil analisis kadar kalsium urin tikus percobaan
20 Hasil analisis kadar kalsium ransum tikus percobaan
21 Rekapitulasi daya serap dan retensi kalsium
22 Hasil analisis sidik ragam daya serap kalsium
23 Hasil analisis sidik ragam retensi kalsium
24 Hasil analisis kadar MDA organ hati tikus percobaan
25 Hasil analisis sidik ragam kadar MDA

50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Daging sapi mempunyai kandungan protein kasar sebesar 68.7% (USDA
2010). Daging sapi kaya akan asam amino dan vitamin B (tiamin, riboflavin,
niasin, piridoksin, dan kobalamin). Daging sapi juga merupakan bahan pangan
yang mengandung mineral besi dan fosfor. Namun, kandungan mineral kalsium
dalam daging sapi relatif rendah (Linder 2006). Penelitian yang dilakukan
Gebhardt dan Thomas (2002), menunjukkan kandungan kalsium produk olahan
daging sapi seperti kornet (11 mg/100 g) dan sosis (12 mg/100 g) cenderung lebih
rendah dibandingkan kandungan kalsium dairy product seperti keju (64 mg/100 g)
dan susu (46 mg/100 g). Menurut USDA (2011), kandungan kalsium produk
olahan daging sapi relatif rendah seperti kandungan kalsium pada beef steak
hanya sebesar 4.8 mg/100 g dan beef roast hanya sebesar 6.8 mg/100 g.
Beberapa tahun terakhir produksi dan konsumsi daging sapi mengalami
tantangan berkaitan dengan citranya yang kurang baik dalam hubungannya
dengan kesehatan. Data U. S Census Bureau (2011) menyebutkan bahwa produksi
daging sapi di dunia menurun dari 58 juta ton pada 2008 menjadi 57 juta ton pada
2009. Di Indonesia, produksi daging sapi meningkat dari 409 308 ton pada tahun
2009 menjadi 435 299 ton pada tahun 2010 (BPS 2011). Konsumsi daging sapi di
Indonesia dari tahun 2008 hingga 2012 sangat rendah yaitu hanya 0.365
kg/kapita/tahun pada 2008, 0.313 kg/kapita/tahun pada 2009, 0.365
kg/kapita/tahun pada 2010, 0.417 kg/kapita/tahun pada 2011 serta pada tahun
2012 mengalami penurunan menjadi 0.365 kg/kapita/tahun (Deptan 2013).
Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi daging sapi adalah dengan
meningkatkan kualitas produk daging sapi terutama dari segi gizinya. Daging sapi
dapat dikembangkan menjadi produk olahan yang dapat memberikan satu atau
lebih efek fisiologis di luar fungsinya sebagai sumber protein (Murwani 2011).
Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan ingredient fungsional, misalnya
fortifikasi zat gizi penting ke dalam produk olahan daging sapi (Toldra dan Reig
2011). Fortifikasi pada produk olahan daging sapi dapat menjadi cara untuk
mengatasi defisiensi zat gizi yang kemungkinan dapat disebabkan rusaknya
vitamin dan mineral pada saat pengolahan.
Mengingat rendahnya kandungan kalsium pada produk olahan daging sapi,
maka diperlukan fortifikasi kalsium pada produk olahan daging sapi. Pada orang
dewasa dan usia lanjut, defisiensi kalsium dapat menyebabkan terganggunya
pembentukan tulang sehingga berpotensi menyebabkan risiko osteoporosis. Pada
anak-anak, defisiensi kalsium dapat menurunkan mineralisasi tulang sehingga
dapat menghambat pertumbuhan (Ottaway 2008). Vitamin yang kandungannya
relatif rendah pada daging sapi adalah vitamin E (tokoferol). Kandungan tokoferol
pada daging sapi hanya sebesar1.0 mg/100 gram (Gropper et al. 2009). Oleh
karena itu fortifikasi tokoferol juga diperlukan untuk meningkatkan efek fisiologis
daging sapi dan produk olahannya. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan di

2

dalam tubuh. Tokoferol bertindak sebagai penangkap radikal bebas yang masuk
ke dalam tubuh (Gropper et al. 2009).
Beberapa penelitian terkait yang melandasi fortifikasi kalsium pada
penelitian ini antara lain adalah penelitian yang dilakukan Daengprok et al. (2002)
tentang fortifikasi kalsium laktat komersial pada produk sosis fermentasi. Tingkat
konsentrasi kalsium laktat komersial yang ditambahkan adalah 1500 ppm, 3000
ppm, dan 4500 ppm. Penelitian juga dilakukan oleh Caceres et al. (2006) tentang
fortifikasi kalsium sitrat pada produk sosis sapi masak. Tingkat konsentrasi
kalsium sitrat yang ditambahkan adalah 11500 ppm dan 14250 ppm. Penelitian
Daengprok et al. (2002) menunjukkan hasil bahwa penambahan kalsium 1500
hingga 4500 ppm ke dalam produk olahan daging sapi tidak menurunkan kualitas
sensori produk. Penelitian yang dilakukan Caceres et al. (2006) juga menunjukkan
bahwa penambahan kalsium hingga 14000 ppm ke dalam produk olahan daging
sapi tidak menurunkan kualitas sensori produk. Mengacu pada penelitian yang
dilakukan oleh Daengprok et al. (2002) dan Caceres et al. (2006), pada penelitian
ini dilakukan penambahan kalsium dalam bentuk kalsium sitrat ke dalam produk
olahan daging sapi dengan tingkat konsentrasi kalsium sitrat yang ditambahkan
adalah sebesar 2650 ppm dan 3250 ppm.
Penelitian tentang fortifikasi tokoferol yang melandasi penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Channon dan Trout (2002) tentang penambahan
beberapa tingkat konsentrasi mixed tocopherol pada produk sosis daging babi.
Tingkat konsentrasi tokoferol yang ditambahkan adalah 0 ppm, 100 ppm, 200
ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. Mengacu pada penelitian tersebut, pada penelitian
ini dilakukan fortifikasi tokoferol dalam bentuk dl-a-tokoferol asetat ke dalam
produk olahan daging sapi dengan tingkat konsentrasi tokoferol yang
ditambahkan adalah 300 ppm dan 1000 ppm.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menemukan formula produk emulsi
daging sapi steril yang bermutu gizi tinggi.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan formula yang tepat untuk produk emulsi daging sapi steril yang
difortifikasi kalsium dan tokoferol.
2. Mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk emulsi daging sapi steril
yang difortifikasi kalsium dan tokoferol.
3. Mengetahui sifat fisik (tekstur dan warna) dan komposisi kimia (kadar air,
lemak, protein, karbohidrat, kalsium, dan tokoferol) produk emulsi daging sapi
steril yang difortifikasi kalsium dan tokoferol.
4. Mengetahui efek fortifikasi kalsium terhadap bioavailabilitas kalsium.
5. Mengetahui efek fortifikasi tokoferol terhadap kadar MDA organ hati.
6. Mengetahui nilai gizi protein secara in vivo produk emulsi daging sapi steril
yang difortifikasi kalsium dan tokoferol.

3

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah terciptanya produk emulsi daging sapi steril
yang sehat melalui fortifikasi kalsium dan tokoferol.

Hipotesis
1. Fortifikasi kalsium pada produk emulsi daging sapi steril dapat meningkatkan
daya serap dan retensi kalsium.
2. Fortifikasi tokoferol ke dalam produk emulsi daging sapi steril dapat
meningkatkan status antioksidatif tubuh.
3. Fortifikasi kalsium dan tokoferol tidak menurunkan nilai gizi protein secara in
vivo produk emulsi daging sapi steril.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Penyusun Produk Emulsi Daging Sapi Steril
Bahan utama penyusun produk emulsi daging sapi steril adalah daging.
Selain itu, terdapat juga bahan penyusun lainnya antara lain adalah lemak nabati,
bahan pengikat dan pengisi, bumbu-bumbu, garam, Sodium Tripoliphospate
(STPP), karagenan, isolat protein kedelai, dan air es. Lemak nabati berperan
dalam pembentukan emulsi bersama dengan air. Bahan pengisi adalah bahan yang
ditambahkan untuk membentuk tekstur yang padat dan dapat mengikat air. Bahan
pengisi yang biasa digunakan adalah tepung (Anjarsari 2010).
Isolat protein kedelai adalah salah satu jenis bahan pengikat yang biasa
digunakan dalam pembuatan produk olahan daging sapi. Selain untuk
memperkaya kandungan protein (Cengiz dan Gokoglu 2005), isolat protein
kedelai sering digunakan untuk beberapa tujuan yaitu meningkatkan penampakan,
tekstur, dan juiceness produk olahan daging sapi.
Bumbu-bumbu yang digunakan berperan dalam meningkatkan flavor produk
olahan daging sapi (Essien 2003). Fosfat berperan untuk meningkatkan water
holding capacity (Kuo-Wei Lin dan Shu-Ni Lin 2002). Karagenan berperan
sebagai penstabil, bahan pengikat, dan pembentuk gel (Sinurat et al. 2007).
Penelitian yang dilakukan Ruusunen et al. (2003) menunjukkan bahwa
penambahan karagenan dan garam dapat menurunkan kekerasan tekstur produk
olahan daging sapi. Menurut Pietrasik dan Jarmolouk (2003), penambahan
karagenan dapat meningkatkan kekompakan matriks gel dan mengurangi struktur
berongga.

Fortifikasi
Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat gizi tertentu ke dalam
makanan dengan alasan ketidakadaan zat gizi tersebut atau kandungan zat gizi

4

tersebut yang sedikit dalam makanan (Buzina 1988). Menurut Lotfi et al. (1996),
ada dua jenis fortifikasi, yaitu: single fortification (penambahan satu jenis zat gizi
mikro ke dalam bahan pangan) dan multiple fortification (penambahan dua atau
lebih zat gizi mikro ke dalam bahan pangan).
Beberapa pertimbangan dalam memilih zat gizi fortifikan, yaitu:
bioavalabilitas zat gizi fortifikan, reaktivitas fortifikan (kemampuan dalam
mengubah warna, flavor, penampakan, dan katalisator bagi reaksi lain yang tidak
diinginkan), harga fortifikan, dan toksisitas fortifikan dalam tubuh manusia.
Bioavailabilitas menunjukkan seberapa besar suatu zat gizi mampu diserap.
Kriteria bioavailabilitas suatu zat gizi adalah: (1) zat gizi harus ada dalam bentuk
yang mudah ditransportasi melalui mukosa usus atau dapat dicerna menjadi
bentuk yang mudah ditransportasi melalui mukosa usus; (2) Bentuk yang terserap
harus dapat terlibat dalam proses metabolisme (Lotfi et al. 1996)

Fortifikasi Kalsium
Bentuk sediaan kalsium yang biasa ditambahkan ke dalam makanan adalah
kalsium laktat, kalsium sitrat, kalsium klorida, kalsium fosfat, dan kalsium
glukonat. Penggunaan bentuk-bentuk kalsium tersebut sebagai fortifikan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah bioavailabilitas, kelarutan,
pengaruhnya terhadap flavor, interaksinya dengan ingredien lain dalam bahan
pangan (Caceres et al. 2006).
Kalsium laktat dan kalsium sitrat mempunyai daya serap yang cukup tinggi,
yaitu sekitar 30%. Selain itu, bentuk garam kalsium sitrat dan kalsium laktat
mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi sehingga dapat menyatu dengan bahan
pangan. Daengprok et al. (2002) melakukan penelitian tentang fortifikasi kalsium
laktat komersial dan kalsium laktat dari cangkang telur pada sosis fermentasi
daging babi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan kalsium laktat
cenderung meningkatkan pH sosis dan meningkatkan tingkat kecerahan warna
sosis. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa sosis yang difortifikasi
dengan kalsium laktat dapat diterima dengan baik oleh panelis.
Caceres et al. (2006) melakukan penelitian tentang fortifikasi kalsium pada
sosis sapi masak. Fortifikan kalsium yang digunakan adalah kalsium sitrat,
kalsium laktat, dan kalsium glukonat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
fortifikasi kalsium tidak berpengaruh pada warna, aroma, dan flavor sosis.
Namun, penambahan garam kalsium cenderung mempengaruhi tekstur sosis
karena garam kalsium dapat menurunkan WHC (Water Holding Capacity).

Fortifikasi Tokoferol
Peningkatan kualitas produk olahan daging sapi dapat dilakukan dengan
menambahkan antioksidan, seperti tokoferol (Weiss et al. 2010). Tokoferol
sintetik yang biasa digunakan dalam fortifikasi pangan adalah tokoferol bentuk
ester, yaitu α-tokoferol asetat dan α-tokoferol suksinat (Linder 2006). Tokoferol
dalam bentuk α-tocopheryl acetate adalah bentuk tokoferol yang efektif
digunakan sebagai fortifikan karena kelompok asetat pada tokoferol dapat

5

melindungi molekul dari oksidasi (Decker dan Park 2010). Beberapa penelitian
yang terkait dengan penambahan tokoferol antara lain adalah penelitian yang
dilakukan Sullivan et al. (2002) tentang suplementasi tokoferol pada pakan babi
yang kemudian dilakukan uji sensori terhadap warna daging babi segar. Penelitian
yang dilakukan Fang Liu et al. (2010) adalah penambahan tokoferol pada produk
beef patties.

Penyerapan, Metabolisme, dan Ekskresi Kalsium
Jumlah kalsium yang diserap dari makanan tergantung pada : 1) proporsi
relatif dari zat pengkelasi; 2) tingkat stimulasi vitamin D aktif terhadap alat-alat
penyerap dalam mukosa intestin yang menentukan jumlah kalsium yang akan
diambil. Hanya 30-50% kalsium dari makanan biasa diserap. Jumlah kalsium
yang diekskresi dalam urin merupakan refleksi sejumlah kalsium yang berasal
dari diet bukan menunjukkan total kalsium. Kalsium yang keluar dan masuk ke
dalam saluran pencernaan diperkirakan sama dan hanya sedikit yang dapat diserap
kembali (Linder 2006).
Kalsium dapat dapat berasal dari bahan pangan maupun dari dietary
supplement. Absorpsi kalsium diawali dengan adanya ikatan kalsium dengan
protein calbindin 9K. Protein tersebut berperan dalam transpor kalsium menuju
sel tubuh. Penyerapan kalsium melalui sitoplasma usus, dimana di tempat tersebut
kalsium berikatan dengan calbindin 9K. Kalsium juga berikatan dengan protein
lain, yaitu calmodulin. Baik calbindin maupun calmodulin membantu transportasi
kalsium melewati sitosol menuju membran. Kemudian ATPase memompa
kalsium melewati membran menuju peredaran darah. Proses absorpsi kalsium ini
adalah proses yang membutuhkan energi. Absorpsi kalsium yang lain adalah
proses pasif yang tidak membutuhkan energi. Proses ini terjadi di jejunum dan
ileum. Dalam proses pasif ini, konsentrasi kalsium di lumen usus lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi kalsium intraseluler sehingga terjadi perbedaan gradient
(Gropper et al. 2009).

Penyerapan, Penyimpanan, dan Ekskresi Tokoferol
Di lumen usus, enzim pancreatic esterase dan duodenal mucosal esterase
menghidrolisis tokotrienol dan α-tokoferol untuk kemudian diabsorpsi. Tokoferol
diabsorpsi di jejunum secara difusi pasif. Garam-garam empedu diperlukan untuk
membentuk emulsifikasi dan meningkatkan kelarutan sehingga memudahkan
tokoferol untuk berdifusi melewati membran enterocyte.
Di enterocyte, tokoferol berikatan dengan kilomikron untuk kemudian
diangkut melalui sistem limfa. Kemudian kilomikron mengirim tokoferol ke liver
untuk berikatan dengan VLDL. Setelah itu, VLDL mengangkut tokoferol ke
sitoplasma. Di sitoplasma, tokoferol berikatan dengan protein spesifik. Sebagian
besar tokoferol (90%) disimpan dalam bentuk droplet-droplet lemak di jaringan
adiposa dan sisanya disimpan di liver, jantung, hati, otot, kelenjar adrenal, dan
otak (Gropper et al. 2009).

6

Interaksi Kalsium dan Tokoferol
Defisiensi kalsium dapat menurunkan Bone Mineral Density (BMD). Bone
Mineral Density adalah jumlah (kandungan) mineral dalam tulang. Asupan
tokoferol sebagai antioksidan juga dapat menyebabkan peningkatan BMD.
Aktivitas tokoferol sebagai penangkal radikal bebas dapat mengurangi stres
oksidatif sehingga dapat mencegah penurunan massa tulang (Wolf et al. 2005).
Tokoferol dapat melawan peroksidasi lipid seluler di sel tulang. Suatu studi
menunjukkan bahwa pada wanita yang menderita osteoporosis, konsentrasi
tokoferol dalam plasma darahnya rendah (Maggio et al. 2003). Menurut penelitian
Melhus et al. (1999), asupan tokoferol yang rendah cenderung menyebabkan
patah pada bagian pinggang.

Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein
Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk
dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein
tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu daya
cerna dan kandungan asam amino esensialnya. Daya cerna menentukan
ketersediaan asam-asam amino secara biologis atau dapat/tidaknya zat gizi
tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi 2010).
Terdapat dua macam metode evaluasi nilai gizi protein, yaitu metode in
vitro (secara kimia, enzimatis, mikrobiologis) dan metode in vivo (secara biologis
menggunakan hewan percobaan atau manusia). Metode biologis untuk evaluasi
nilai gizi protein pada umumnya menggunakan tikus putih, mencit, hewan lain
(kera ekor panjang) atau bahkan manusia. Parameter yang ditetapkan dalam
evaluasi nilai gizi protein secara biologis antara lain PER (protein efficiency
ratio), DC (daya cerna), BV (biological value), dan NPU (net protein utilization).

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai Maret 2013.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan,
Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Hewan Percobaan SEAFAST
Center, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap pertama yaitu daging
sapi beku dari Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan IPB, kemasan
retort pouch, bumbu-bumbu, STPP, bahan pengisi (tepung tapioka), bahan

7

pengikat (isolat protein kedelai), karagenan, air es, lemak nabati (minyak sawit),
fortifikan calcium citrate, fortifikan dl-α-tocopheryl acetate serta bahan-bahan
kimia untuk keperluan analisa kimia. Alat-alat yang digunakan pada penelitian
tahap pertama adalah alat penggiling (food processor), penggiling daging, alat
vakum, sealer, autoklaf, termometer, timbangan, wadah plastik (baskom), neraca
analitik, spektrofotometer, chromameter, texture analyzer, oven, buret, dan
peralatan gelas untuk analisis kimia.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian tahap kedua antara lain
adalah hewan percobaan dan bahan penyusun ransum. Hewan percobaan yang
digunakan adalah tikus strain Sprague-Dawley berjenis kelamin jantan dan
berusia 21-28 hari. Bahan penyusun ransum standar terdiri dari selulosa sebagai
sumber serat, minyak jagung sebagai sumber lemak, kasein sebagai sumber
protein, campuran mineral, campuran vitamin, dan pati jagung sebagai sumber
pati. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian tahap kedua adalah timbangan
analitik, drum dryer, ayakan 60 mesh, cawan aluminium, cawan porselen, mortar,
oven, tanur, desikator, alat untuk membuat ransum, alat pemeliharaan tikus
(kandang metabolik, wadah ransum, botol air minum, timbangan), peralatan
bedah, spektrofotometer, AAS (spektrofotometer absorpsi atom), alat-alat gelas
untuk keperluan analisis kimia.

Tahapan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah
formulasi produk emulsi daging sapi steril untuk menemukan formula produk
emulsi daging sapi steril non-fortifikasi (PEDSNF) dan formula produk emulsi
daging sapi steril fortifikasi (PEDSF) yang terbaik. Tahap kedua adalah uji
biovailabilitas kalsium, MDA, dan nilai biologis protein secara in vivo.
Tahap Pertama
Tahap pertama adalah formulasi produk emulsi daging sapi steril yang
difortifikasi kalsium dan tokoferol. Pembuatan PEDSF diawali dengan
mempersiapkan daging sapi yang akan digunakan. Daging sapi dibersihkan dan
kemudian dilakukan thawing. Daging sapi selanjutnya digiling menggunakan
penggiling daging (meat grinder) untuk memotong serat-serat daging sapi. Setelah
itu, dilakukan proses mixing dan chopping. Daging sapi yang telah digiling
kemudian dicampur dengan STPP, MSG, garam, fortifikan kalsium sitrat serta
diaduk menggunakan food proccessor. Proses pencampuran yang kedua adalah
penambahan isolat protein kedelai, lemak nabati, dan air es yang kemudian diaduk
menggunakan food proccessor. Proses ini dilakukan sampai suhu mencapai 110C
untuk mencegah pecahnya sistem emulsi. Kemudian dimasukkan bumbu-bumbu,
gula, karagenan, fortifikan tokoferol asetat, asam askorbat ke dalam adonan serta
diaduk menggunakan food proccessor. Proses terakhir adalah pencampuran
tepung tapioka ke dalam adonan dan kemudian diaduk menggunakan food
proccessor.
Setelah proses pencampuran dan pengadukan adonan selesai, adonan
kemudian dimasukkan ke dalam kemasan retort pouch kemudian divakum dan
diseal. Adonan yang telah dimasukkan ke dalam kemasan kemudian dimasak

8

dalam autoklaf pada suhu 1210C selama ± 15 menit (Cengiz dan Gokoglu 2005;
Essien 2003; Hoogenkamp 2005 yang telah dimodifikasi).
Penentuan formula PEDSF terbaik dilakukan dengan uji organoleptik yaitu
uji rating dan ranking hedonik. Pengujian selanjutnya yang dilakukan terhadap
PEDSF terbaik yaitu meliputi uji sifat fisik (tekstur dan warna), uji kimia (kadar
air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, dan tokoferol), dan uji in vivo.

Tahap Kedua

Persiapan sampel
Sampel yang digunakan dalam uji in vivo ini meliputi sampel standar dan
sampel uji. Sampel standar berupa kasein, sedangkan sampel uji berupa PEDSNF
dan PEDSF. Agar sampel dapat dijadikan bahan penyusun ransum tikus
percobaan, maka sampel-sampel tersebut harus dalam bentuk tepung. Dari
sampel-sampel tersebut, terdapat dua sampel yang masih dalam bentuk selain
tepung, yaitu PEDSNF dan PEDSF.
Kedua sampel tersebut, pertama-tama direduksi ukurannya menggunakan
food processor. Setelah direduksi ukurannya, kemudian sampel dibuat tepung
dengan cara dikeringkan menggunakan drum dryer pada suhu ±700C. Setelah
diperoleh bentuk lembaran tipis, kemudian digiling menggunakan disc mill
sehingga diperoleh sampel dalam bentuk tepung.
Sampel penyusun ransum tersebut dianalisis proksimat terlebih dahulu
untuk kepentingan perhitungan komposisi ransum. Selama menunggu waktu
analisis dan pemakaian sampel untuk pembuatan ransum, semua sampel dikemas
dengan baik dalam kantong plastik polietilen, kemudian disimpan di dalam
refrigerator. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan secara kimia, fisik,
atau mikrobiologis.

Persiapan ransum
Kebutuhan gizi tikus dapat menggambarkan kebutuhan gizi manusia yang
meliputi karbohidrat, minyak/lemak, protein/asam-asam amino esensial, vitamin,
mineral, dan air. Komposisi ransum dihitung berdasarkan standar AOAC. Ransum
yang telah tersusun selanjutnya dianalisis proksimat untuk mencocokkan
kesesuaian dengan komposisi standar AOAC. Ransum standar kasein serta
ransum uji PEDSNF dan PEDSF juga dianalisis kadar kalsium untuk perhitungan
daya serap dan retensi kalsium. Berikut ini adalah rumus perhitungan komposisi
ransum (AOAC 1995).
- 10% protein dalam ransum (a) = (1.6 x 100)/ kadar N sampel
- Lemak (b)
= 8 – ((a x kadar lemak)/ 100)
- Mineral (c)
= 5 – ((a x kadar abu)/ 100)
- Vitamin (d)
= 1%
- Serat (e)
= 1 – ((a x kadar serat)/ 100)
- Air (f)
= 5 – ((a x kadar air)/ 100)
- Karbohidrat
= 100-a-b-c-d-e-f

9

Pengelolaan tikus percobaan
Selama percobaan, tikus ditempatkan di dalam kandang metabolik yang
terbuat dari stainless steel berlubang-lubang. Kandang berlokasi pada ruangan
dengan suhu optimum 22-240C, kelembaban udara 50-60%, ventilasi yang cukup,
serta bebas dari kebisingan, asap industri, dan polutan lainnya (Muchtadi 2010).
Pemeliharaan tikus percobaan diawali dengan proses adaptasi. Masa
adaptasi tikus dilakukan selama lima hari. Selama masa adaptasi, semua tikus
percobaan diberikan ransum protein kasein secara ad libitum. Semua tikus
diberikan ransum sebanyak 10 gram pada hari pertama dan kedua masa adaptasi,
sebanyak 15 gram pada hari ketiga dan keempat masa adaptasi serta sebanyak 20
gram pada hari kelima masa adaptasi.

Seleksi dan klasifikasi
Setelah melewati masa adaptasi, seleksi terhadap tikus percobaan
dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan tikus percobaan. Sekaligus
dilakukan klasifikasi terhadap sejumlah 16 ekor tikus percobaan tersebut ke dalam
empat kelompok perlakuan berdasarkan berat badan tikus. Klasifikasi tersebut
dibedakan dengan perlakuan pemberian ransum protein (Tabel 1). Variasi berat
badan antar tikus dalam satu kelompok tidak melebihi 10 gram dan variasi rataan
berat badan antar kelompok tikus tidak melebihi 5 gram (Muchtadi 2010).
Tabel 1 Kelompok perlakuan tikus percobaan
Kelompok Tikus (4 ekor)
Kelompok A

Ransum Perlakuan
Ransum PEDSF

Kelompok B

Ransum PEDSNF

Kelompok E

Ransum protein kasein (standar)

Kelompok F

Ransum non-protein

Masa percobaan
Percobaan dilakukan selama 28 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi
perhitungan jumlah ransum yang dikonsumsi per hari dan penimbangan berat
badan per dua hari. Ransum diberikan secara ad libitum, begitu juga keperluan
minumnya. Selama masa percobaan, jumlah ransum yang diberikan ditingkatkan
menjadi 20 gram pada hari ke-1 sampai hari ke-17 masa percobaan. Kemudian
dinaikkan lagi menjadi 22 gram dari hari ke-18 hingga hari ke-28 masa percobaan
dikarenakan nafsu makan tikus yang agak meningkat.

Pengumpulan feses dan urin
Pengumpulan feses dan urin untuk keperluan perhitungan nilai biologis
protein dilakukan selama 10 hari terakhir dan dilakukan setiap hari. Urin

10

ditampung di dalam botol yang diberi ± 1 ml larutan H2SO4 5 % untuk mencegah
penguapan amoniak. Urin dan feses dikumpulkan terpisah untuk masing-masing
tikus kemudian disimpan dalam refrigerator sambil menunggu akhir percobaan.
Pengumpulan feses dan urin untuk keperluan perhitungan daya serap dan retensi
kalsium dilakukan selama tujuh hari terakhir dan dilakukan setiap hari.
Pada akhir percobaan, dilakukan analisis kadar nitrogen menggunakan
metode Kjeldahl serta analisis kadar kalsium dalam urin dan feses. Sejumlah feses
yang akan dianalisis dikeringkan dalam oven dan digerus terlebih dahulu.
Sementara itu, sejumlah urin yang akan dianalisis tidak dilakukan perlakuan
sebelumnya. Untuk memperoleh jumlah nitrogen dari feses dan urin,maka perlu
diketahui bobot feses kering dan volume urin sebelum analisis dilakukan. Jumlah
nitrogen feses dan urin diperoleh dengan mengalikan angka kadar nitrogen feses
dan urin dengan bobot feses dan volume urin.

Perlakuan dan Rancangan Percobaan
Penelitian tahap pertama terdiri dari 2 perlakuan, yaitu PEDSNF dan
PEDSF. Masing-masing perlakuan dilakukan dua ulangan. Penelitian tahap kedua
terdiri dari empat perlakuan, yaitu :
1. Kelompok ransum PEDSF, 4 ulangan
2. Kelompok ransum PEDSNF, 4 ulangan
3. Kelompok ransum kasein, 4 ulangan
4. Kelompok ransum non-protein, 4 ulangan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap pertama adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan yang
digunakan pada penelitian tahap kedua adalah Rancangan Acak Lengkap dengan
empat ulangan. Adapun model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut.
Yij = µ + πi+ ∑ij
Yij = nilai parameter pengamatan dari perlakuan ke-i, ulangan ke-j
µ
= nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)
πi
= pengaruh perlakuan ke-i
∑ij = pengaruh kesalahan percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dari masing-masing parameter yang diukur, diolah
menggunakan program SPSS 17.0. Data tersebut dianalisa dengan analisa
keragaman (ANOVA) dan uji t-test. Hasil yang signifikan berdasarkan analisa
keragaman (ANOVA) dilakukan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%
untuk mengetahui perlakuan-perlakuan mana yang berbeda nyata. Khusus untuk
data uji ranking hedonik dianalisa menggunakan friedman rank test dan untuk
mengetahui perlakuan-perlakuan mana yang berbeda nyata, dilakukan uji lanjut
Duncan pada selang kepercayaan 95%.

11

Metode Analisis

Uji Fisik

Tekstur
Pengukuran tekstur dilakukan menggunakan Texture Analyzer. Alat ini
menggunakan probe 35 mm, pre test speed 2 mm/s, test speed 2 mm/s, post test 2
mm/s, dan strain 75%. Sampel diletakkan di bawah probe, pena bergerak
membawa probe dan memasuki sampel. Selama proses penusukan tersebut pada
chart paper akan menghasilkan grafik dengan ketinggian peak tertentu.

Warna
Pengukuran dilakukan menggunakan Chromameter type CR-300. Sampel
diukur pada dua titik yang berbeda. Pengukuran warna dilakukan untuk
mendapatkan nilai kecerahan (L) dan kemerahan atau kebiruan (a). Nilai L
menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (hitam)-100 (putih). Nilai a menyatakan
warna kromatik campuran merah dan hijau dengan 0-100 untuk merah dan 0-(-80)
untuk warna hijau.

Uji Kimia

Kadar air (AOAC 1995)
Kadar air ditentukan secara langsung menggunakan oven bersuhu 1000C.
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam
desikator selama 10 menit, dan selanjutnya ditimbang. Sejumlah sampel disimpan
pada cawan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam.
Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh bobot yang konstan. Berikut
rumus menghitung kadar air:
Kadar air (%) = a-b x 100 %
c
dimana: a = berat cawan dan sampel awal (g)
b = berat cawan dan sampel kering (g)
c = berat sampel awal (g)

Kadar protein (AOAC 1995)
Sampel sebanyak 100-250 mg dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl,
ditambah dengan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO dan 3.8±0.1 ml H2SO4 pekat
serta tambahkan batu didih. Sampel didestruksi sampai berwarna jernih. Setelah
dingin, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air
destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60%
NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan
kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yaitu labu Erlenmeyer 125

12

ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume
destilat sebanyak 15 ml. Destilat dalam labu Erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02
N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi biru. Indikator yang
digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam
etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl
terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein.
NaOH sebelumnya distandardisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat
(KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan
persamaan:
Total Nitrogen (%) = (ml HCl contoh–ml HCl blanko)x[HCl]x0.014 x 100 %
gram sampel

Kadar protein (%) = Total Nitrogen (%) x Faktor konversi (6.25)

Kadar Lemak (AOAC 1995)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-1100C selama 15 menit. Kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g
sampel dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wol yang
bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat
ekstraksi Soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor diatasnya dan labu lemak di
bawahnya.
Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan
ukuran yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai
pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di
dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi
hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C. Selanjutnya didinginkan
dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap.
Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100 %
Berat sampel (g)

Kadar Abu (AOAC 1995)
Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam
oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sejumlah
sampel dengan bobot tertentu dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar
dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan
pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-6000C selama 4-6 jam sampai
terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu contoh dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
Kadar abu (%) = berat abu
x 100 %
berat sampel
Kadar Karbohidrat by difference (Apriyantono et al. 1989)
Kandungan karbohidrat dihitung berdasarkan rumus berikut.
Kadar karbohidrat (%) = 100% - % air - % lemak - % protein - % abu

13

Kadar Serat Kasar (AOAC 1995)
Sampel yang telah bebas lemak dengan metode Soxhlet sebanyak ±2 gram
ditempatkan dalam labu Erlenmeyer 600 ml lalu ditambahkan 0.5 g asbes yang
telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan
H2SO4 mendidih kemudian direfluks selama 30 menit. Suspensi yang diperoleh
disaring menggunakan kertas saring dan residunya dicuci sampai tidak bersifat
asam lagi. Residu kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu
Erlenmeyer lalu ditambah 200 ml NaOH dan direfluks kembali selama 30 menit
sambil sesekali digoyang-goyangkan. Suspensi yang diperoleh disaring
menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan
K2SO4 10%, residunya dicuci dengan air mendidih dan alkohol 95% sebanyak
±15 ml. Kertas saring beserta isinya dikeringkan dalam oven 1100C sampai
bobotnya konstan (1-2 jam), didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar
serat kasar dapat diperoleh dengan persamaan berikut:
Kadar serat kasar (%) = bobot residu x 100 %
bobot sampel awal

Kadar Kalsium (Apriyantono et al. 1989)
Penetapan kadar kalsium dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
metode AAS. Pereaksi yang digunakan adalah H2SO4 pekat, HNO3 pekat, dan
HClO4, air demineralisasi, larutan stock standar (1000 mg/L) kalsium yang
diencerkan menggunakan air demineralisasi.
Persiapan sampel dilakukan dengan pengabuan basah menggunakan H2SO4
pekat, HNO3 pekat, dan HClO4. Pertama-tama sampel ditimbang tepat dan
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 4 ml asam perklorat,
beberapa butir batu didih, dan HNO3 secukupnya. Ditambahkan juga H2SO4
sambil diaduk perlahan. Dipanaskan perlahan-lahan dengan api kecil selama 5-10
menit sampai timbul asap tebal. Hentikan pemanasan dan biarkan larutan menjadi
dingin. Larutan kemudian dipanaskan lagi dengan api kecil selama 5-10 menit
sampai timbul asap putih tebal. Besarkan api dan lanjutkan pemanasan selama 1-2
menit. Kemudian tambahkan 1-2 ml HNO3 dan panaskan. Kemudian larutan
didinginkan dan disaring menggunakan kertas saring Whatman. Kemudian
diencerkan sampai volume 100 ml dengan menggunakan air demineralisasi. Hasil
pengabuan basah ini selanjutnya siap dianalisis menggunakan AAS.

Kadar Tokoferol Total (Apriyantono et al. 1989)
Pereaksi yang digunakan dalam pengukuran kadar tokoferol total adalah
larutan 2,2 bipiridin, pelarut toluen, larutan FeCl3.6H2O 0.2% dalam etanol 95%,
larutan 2,2 bipiridin 0.7% (b/v) dalam etanol 95%, dan larutan standar tokoferol.
Pembuatan kurva standar tokoferol. Sebanyak 50 mg tokoferol standar
ditimbang dalam 50 ml larutan toluen. Kemudian dipipet 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, 5.0
ml larutan tokoferol standar 40µg/ml ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian
ditambahkan 3.5 ml larutan 2,2 bipiridin 0.7% (b/v) dan 0.5 larutan FeCl3.6H2O
0.2% (b/v) ke dalam masing-masing labu takar. Tepatkan dengan etanol 95%
sampai volume total 10 ml. Digoyang-goyang hingga homogen dan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.

14

Analisis larutan sampel. Sebanyak 210 mg sampel ditimbang kemudian
ditambahkan 5 ml toluena. Ditambahkan 3.5 ml larutan 2,2 bipiridin 0.7% (b/v)
dan 0.5 larutan FeCl3.6H2O 0.2% (b/v). Tepatkan dengan etanol 95% sampai
volume total 10 ml. Diamkan 1 menit dalam ruang gelap. Kemudian diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.
Total tokoferol (µg/g) = Konsentrasi tokoferol dari kurva standar (µg)
Berat sampel (g)

Uji Organoleptik (Meilgaard et al. 1999)
Uji organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji rating
ranking hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap warna, rasa, aroma,
tekstur, juiceness serta uji ranking hedonik untuk mengetahui penerimaan panelis
terhadap penampakan produk secara umum (overall). Panelis yang digunakan
sebanyak 30 panelis semi terlatih. Uji rating hedonik dilakukan menggunakan
skala penilaian hedonik 1-7, dimana 1 = amat sangat tidak suka, 2 = sangat tidak
suka, 3 = tidak suka, 4 = agak suka, 5 = suka, 6 = sangat suka, 7 = amat sangat
suka. Uji ranking hedonik menggunakan skala penilaian 1-5, yaitu dari mutu
tertinggi (paling disukai) sampai mutu terendah (paling tidak disukai).

Uji Nilai Biologis

Daya Serap dan Retensi Kalsium (Haiyan Gao et al. 2008)
Urin dan feses yang dikumpulkan selama 7 hari terakhir percobaan
dianalisis kadar kalsiumnya menggunakan metode AAS. Ransum perlakuan uji
(PODNF dan PODF) dan ransum perlakuan standar (kasein) juga dianalisis kadar
kalsiumnya menggunakan metode AAS. Kadar kalsium yang diperoleh kemudian
dimasukkan ke dalam rumus perhitungan berikut.
Daya serap kalsium
Retensi kalsium =

=

Kalsiumintake – Kalsiumfeses
X 100 %
Kalsiumintake
Kalsiumintake – Kalsiumfeses - Kalsiumurin
Kalsiumintake

X 100 %

Pengukuran Kadar MDA (Singh et al. 2002)
Pengambilan dan preparasi organ hati. Tikus yang telah dimatikan
selanjutnya dibedah. Pada proses pembedahan, diambil organ hati untuk
digunakan dalam analisis MDA dan SOD. Selanjutnya dilakukan preparasi sampel
dari organ hati mengikuti metode Singh et al. (2002). Sebanyak 1.25 g hati
dicacah dalam kondisi dingin dalam 5 ml larutan PBS (phosphate buffer saline)
yang mengandung 11.5 g/L KCl. Homogenat yang dihasilkan kemudian
disentrifugasi pada 1074 g (4000 rpm) hingga diperoleh supernatan jernih.
Sebanyak 0.5 ml supernatan hati ditambah 2.0 ml HCl dingin (0.25 N) yang
mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran dipanaskan 800C

15

selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifugasi pada 822 g (3500 rpm)
selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada 532 nm. Sebagai larutan
standar digunakan TEP (tetraetoksipropana).

Penentuan Mutu Protein (Muchtadi 2010)
Beberapa parameter yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah Feed
Conversion Efficiency (FCE), Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio
(NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein
Utilization (NPU).
Feed Conversion Efficiency
Penentuan nilai FCE yaitu dengan pengujian selama 28 hari. Nilai