Dilanjutkan dengan pernyataan dari Jaggar dan Rothenberg 1984 yang menyatakan teori feminis terdiri dari empat kategori yaitu Feminis liberal,
Feminis Marxis, Feminis Sosial dan Feminis Radikal. Beberapa kategori tersebut yang cocok untuk di adopsi Negara Indonesia adalah Feminis Liberal
karena Asumsi dasar pemikiran aliran ini adalah faham liberalisme, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan serasi dan seimbang, karena itu
tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Penindasan itu terjadi karena rendahnya intelektual perempuan akibat kurangnya kualiatas
pendidikan dan tidak meratanya kesempatan. Karena itu aliran ini beranggapan tidak mesti dilakukan perubahan structural secara menyeluruh,
tapi cukup dengan melibatkan perempuan dalam berbagai peran, seperti peran sosial, ekonomi, dan politik; organ reproduksi perempuan bukan merupakan
penghalang peran-peran tersebut Munandar S. dan Siti Homzah, 2010: 2-8
20
.
E. 9 Patriarki
Budaya patriaki budaya bersifat phallo-cebtris, maskulinitas berperan sebagai norma sentral sekaligus pertanda bagi tatanan simbolis masyarakat,
yaitu memberikan privillage pada jenis kelamin laki-laki untuk mengakses material basic of power daripada mereka yang berjenis kelamin perempuan
Mc.Donald, 1980. Kritik terhadap konsep patriarki terletak pada penjelasannya tentang
kategori perempuan sebgai kategor yang seragam. Jadi, semua perempuan dipandang memiliki kesamaan mendasar yang bertentangan dengan semua
20
Siswi Arizona, Anggun. 2013. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM FILM Analisis Isi pada Film Sang Martir Karya Helfi Kardit. Skripsi. Hlm 29.
26
laki-laki. Ini adalah asumsi yang terus-meneus ditentang oleh feminis kuit hitam, yang menytakan bahwa gerakan ini telah mendefiniskan perempuan
sebagai orang berkulit putih dan menyepelekan perbedaan antara pengalaman perempuan kulit hitam dan kulit putih. Penekanan terhadap perbedaan ini juga
dilakukan oleh feminis pasca strukturalis dan pasca modern yang menyatakan bahwa seks dan ender adalah konstruksi sosial dan kltural yang tidak dapat
dijelaskan secara biologis maupun direduksi menjadi fungsi kapitalisme
21
.
E. 10 Analisis Wacana
Istilah wacana berasal dari terjemahan bahasa inggris discourse. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian-kemari
yang diturunkan dari dis-dari, dalam arah yang berbeda , dan currere lari
22
. Kata wacana banyak sekali dipakai dalam berbagai disiplin ilmu dan banyak
ahli memberikan definisi dan batasan yang berbeda mengenai wacana. Seperti dikutip oleh Eriyanto, definisi wacana menurut beberapa ahli adalah sebagai
berikut: Collins Concise English Dictionary, 1988. Wacana: 1. Komunikasi verbal,
percakapan; 2. Sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; 3. sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis
satuan lebih dari kalimat.
21
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies Teori Praktik. Bantul. Kreasi Wacana. Hlm 27
22
Sobur, Alex. 2009. ANALISIS TEKS MEDIA Suatu Pengatar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 9.
27
Crystal, 1987. Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam
wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan. Definisi wacana menurut Roger Fowler, 1997. Wacana adalah komunikasi
lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan disini mewakili pandangan
dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. Faucault, 1972. Menyebutkan wacana kadang kala sebagai bidang dari
semua pernyataan statement, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat
dari sejumlah pernyataan
23
. Wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada
publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas lull, 1998:225 dalam Sobur, 2009:11.
Tarigan dalam Sobur, 2009:48 Analisis Wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi telaah mengenai aneka
fungsi pragmatik bahasa. Dari keanekaragaman definisi di atas dapat ditarik satu benang merah, apa
yang sebenarnya ada dalam wacana yaitu berhubungan dengan bahasa atau pemakain bahasa. Perbedaan paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa
23
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Hlm. 2
. 28
menurut Mohammad A.S Hikam dalam Eriyanto. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama adalah
positivisme-empiris. Oleh penganut aliran ini bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. pengalaman-pengalaman manusia
dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ini dinyatakan dengan memaknai
pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara pikiran
dengan realitas. Kedua konstruktivisme, pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran
fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirismepositivisme yang memisahkan subjek dengan objek bahasa. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai
alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek
sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. A.S Hikam menyatakan subjek memiliki kemampuan melakukan
kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-
pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati
diri dari sang pembicara. Oleh karena itu analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna
29
tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pernyataan.
Pandangan ketiga, adalah pandangan kritis, pandangan ini mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan
reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Dalam pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.
Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaranketidakbenaran struktur tata bahasa proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Dalam
paradigma ini hal yang ditekankan adalah konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai
subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial
yang ada dalam masyarakat. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri pembicara. Bahasa dalam paradigma kritis dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema- tema wacana tertentu, maupun strategi-setrategi didalamnya. Oleh karena itu,
analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana,
perspektif yang mesti dipakai, topik yang dibicarakan. Pandangan semacam ini menjadikan wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan
30
kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat Eryanto 2001:4-6.
E. 11 Analisis Wacana Kritis