UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN VCD PORNO DI BANDAR LAMPUNG (Studi Kasus Pada Polresta Bandar Lampung)

ABSTRAK
UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN
VCD PORNO DI BANDAR LAMPUNG
(Studi Kasus Pada Polresta Bandar Lampung)
OLEH
ANGGA AKBAR MULYADI

Pornografi terbentuk dari kata pornos yang berarti melanggar kesusilaan atau
cabul dan grafi yang berarti tulisan dan selanjutnya sekarang meliputi gambar dan
patung. Masalah peredaran VCD porno awalnya meresahkan orang tua yang
memiliki anak remaja. Keresahan yang dialami oleh para orangtua yang memiliki
anak remaja tersebut merupakan masalah privat, namun dalam perkembangannya,
peredaran VCD porno tidak hanya meresahkan orang tua yang anaknya sudah
remaja, tetapi juga meresahkan orang tua yang anaknya belum remaja adapun
yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : bagaimanakah upaya
kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar Lampung
(Studi kasus polresta Bandar Lampung), dan apakah faktor-faktor penghambat
upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar
Lampung (Studi kasus polresta Bandar Lampung).
Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris.
Pendekatan Yuridis Normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis

asas-asas hukum, sedangkan pendekatan Yuridis empiris yaitu dilakukan untuk
mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku, pendapat
dan sikap, yang berkaitan dengan upaya kepolisian dalam penangulangan
peredaran VCD porno di Bandar. Adapun sumber data dalam penelitian ini
menggunakan data primer, sekunder dan tersier. Data primer diperoleh langsung
dari objek penelitian lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan
Data tersier diperoleh dari kamus yang relevan dengan penelitian ini.

Angga Akbar Mulyadi
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:
upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno menggunakan
upaya preventif dilakukan dengan cara pertama razia ponsel di counter-counter hp
dan penjual VCD, kedua pengembangan software tanpa harus membatasi aktifitas
masyarakat dalam mengakses informasi, ketiga mengintensifkan peran warung
internet (jasa layanan internet) berkenaan pencegahan dan penanggulangan
penyebaran VCD porno. Keempat Kerjasama Kepolisian dengan instansi-instansi
dan lembaga pendidikan, dan yang terakhir kampanye anti pornografi, kemudian
upaya Represif yakni dengan cara melakukan penangkapan terhadap tersangka,
melalukan penyitaan terhadap barang bukti yakni terhadap VCD porno tersebut
dan setelah bukti tersebut disita maka terhadap tersangka tersebut dilakukan

penahanan guna mengamankan tersangka dan barang bukti untuk pemeriksaan
lebih lanjut dan dirasa cukup setelah itu tersangka berserta barang bukti
diserahkan kepada kejaksaan untuk segera didakwa, dan Faktor penghambat yang

dihadapi oleh Kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD Porno tersebut
pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor hukumnya sendiri meliputi Praktik
penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan, faktor mentalitas penegak hukum meliputi
karena banyak oknum kepolisian itu sendiri tidak secara maksimal dalam
penanganan tersebut bisa diakibatkan mentalitas penegak hukum yang masih
strick/kaku dalam penanganan peredaran VCD porno, faktor sarana atau fasilitas
meliputi terbatasnya personel kepolisian dalam melakukan razia terhadap semua
tempat di Bandar Lampung, faktor masyarakat terhadap hal ini masyarakat yang
masih tidak sadar hukum dan para pedagang yang tidak mau mematuhi hukum
agar tidak menjual dan mengedarkan VCD porno tersebut, dan faktor kebudayaan
masuknya budaya negatif asing sehingga tidak terkendalinya peredaran VCD
porno dan juga masyarakat tidak mempunyai kontrol sosial terhadap hal tersebut.

Berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah: :
Sebaiknya kepada pihak kepolisian agar meningkatkan lagi pengawasan dan razia

yang tadinya dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun agar menjadi tiga kali
dalam setahun, dan sebaiknya pemerintah segera merealisasikan pemblokiran
permanen situs-situs porno di Indonesia sehingga tidak dapat diakses oleh
siapapun.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Komunikasi (IPTEK) dan pemanfaatannya dalam
berbagai bidang kehidupan menandai perubahan peradaban manusia menuju masyarakat
informasi. Internet adalah produk TIK yang memudahkan setiap orang memperoleh dan
menyebarkan informasi dengan cepat, murah dan menjangkau wilayah yang sangat luas.
Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga dampak negatif. Salah satu
dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah penyebaran informasi bermuatan pornografi
yang menjadi perhatian serius dari Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia.
Pemerintah Cina pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan memberantas
penyebarluasan pornografi di Internet. Pemerintah Cina mengganggap masalah Pornografi
merupakan masalah sosial yang perlu ditangani secara serius karena memicu berbagai tindak
kriminal yang marak terjadi. Sikap Pemerintah Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar 44.000
situs porno berhasil ditutup, menahan sekitar 868 orang dan memproses 524 kasus krimimal

berkaitan pornografi di Internet.1 Dengan dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor
isi situs di internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri. Pemerintah Singapura yang
tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi dengan keras menindak para pelaku
penyebaran pornografi terutama foto-foto bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan,

1

http//www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9907/28/opini/porn.htm

produk pornografi dalam kemasan VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan dijumpai pada
toko-toko di Singapura.
Peraturan Perundang-Undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Peraturan perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi
kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif.
Memasuki tahun 2006 telah dibahas Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi
(RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. dalam perjalanannya, RUU APP
berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU
Pornografi melalui Sidang Paripurna.

Kata pornografi ini terbentuk dari kata pornos yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan
grafi yang berarti tulisan dan selanjutnya sekarang meliputi gambar dan patung. Pornografi
berarti tulisan, gambar atau patung, atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan
sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya.2
Tindak pidana mengenai pornografi ini termuat dalam Pasal 282 ayat (1) KUHP: Barang siapa
yang:
a. Menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum, menempelkan, atau
b. Untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, membuat, memasukkan ke
dalam negeri, mengirim terus ke dalam negeri, mengeluarkan dari negeri atau menyimpan,
atau
2

Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT.Reflika Aditama. Bandung.,
hlm 113

c. Terang-terangan atau, dengan menyiarkan tulisan dan tanpa permintaan, menawarkan atau
menunjukkan bahwa boleh didapat: Tulisan yang diketahui isinya, atau gambar atau barang
yang dikenalnya: melanggar kesusilaan (aanstootelijk voor de eerbaarheid), dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya
tiga ribu rupiah.

Peredaran VCD porno pada awalnya meresahkan orang tua yang memiliki anak remaja.
Keresahan yang dialami oleh para orangtua yang memiliki anak remaja tersebut merupakan
masalah privat. Namun dalam perkembangannya, peredaran VCD porno tidak hanya meresahkan
orang tua yang anaknya sudah remaja, tetapi juga meresahkan orang tua yang anaknya belum
remaja,

Apabila masih ingat berbagai tindak kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti pemerkosaan
dan pelecehan seksual dimana si pelaku terdorong melakukannya setelah menonton film porno di
internet, kasus maraknya penyebaran foto bugil di internet dari hasil rekayasa foto, kasus jualbeli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak, dan masih banyak kasus
lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan untuk segera mencegah berkembangnya
pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, dan memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Kasus pemerkosaan berjamaah siswa SMP di Way Kanan, Lampung, terhadap teman sekolahnya
dipicu pengaruh negatif internet dan peredaran VCD porno. Anak-anak jadi ingin meniru apa
yang mereka lihat. Dengan 4.000 Rupiah, anak-anak dapat menjelajah dunia maya dan dengan
bebas melihat gambar porno di internet," Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Ariest
Merdeka Sirait menegaskan. peredaran VCD porno, juga memicu kejahatan seksual oleh anak.
Dengan mudahnya mendapatkan film-film tersebut menyebabkan anak ingin meniru apa yang
mereka lihat. "Anak selalu ingin meniru apa yang mereka lihat pemerintah seharusnya


memberantas peredaran VCD porno yang saat ini sangat mudah didapatkan, bahkan oleh anakanak.3
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki kewenangan
untuk mencegah dan memberantas penyebaran produk pornografi. Berbagai upaya dapat
dilakukan diantaranya melakukan razia (sweeping) di berbagai tempat termasuk pengguna
komputer untuk memeriksa keberadaan produk pornografi, menindak para pembuat website
pornografi, melakukan penyuluhan tentang bahaya pornografi dan sanksi pidana.
Berdasarkan contoh kasus diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang
berjudul “Upaya Kepolisian Dalam Menanggulangi Peredaran VCD Porno di Bandar Lampung
(Studi Kasus Polresta Bandar Lampung).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
a. Bagaimanakah upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar
Lampung (Studi kasus polresta Bandar Lampung) ?

b. Apakah faktor-faktor penghambat upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD
porno di Bandar Lampung (Studi kasus polresta Bandar Lampung)?


3

http://news.detik.com/read/2007/10/23/100307/843839/10/internet-vcd-porno-picu-pemerkosaan-siswi-smplampung?nd992203605 Minggu, 11 November 2012

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana dan hukum acara
pidana, Penelitian juga mengkaji Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi, serta yurisprudensi dan teori-teori yang berhubungan dengan penegakan
hukum pidana, terutama pada upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di
Bandar Lampung (Studi kasus polresta Bandar Lampung) dan faktor-faktor penghambat upaya
kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar Lampung (Studi kasus
polresta Bandar Lampung) penelitian ini mengambil di wilayah hukum Polresta, Bandar
Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar
Lampung (Studi kasus polresta Bandar Lampung).

b. Untuk mengetahui factor penghambat upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran
VCD porno di Bandar Lampung (Studi kasus polresta Bandar Lampung).

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan kemampuan daya nalar
dan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk dapat
mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap
permasalahan yang ada, khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek hukum pidana
terhadap upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar Lampung.

b. Secara praktis, sebagai sumber informasi atau bahan pembaca pembanding seperti hakim,
advokat, jaksa, terdakwa, mahasiswa, dan pihak yang membutuhkan dalam melakukan
penelitian yang berkaitan dengan upaya kepolisian dalam menanggulangi peredaran VCD
porno di Bandar Lampung.


D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi
terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.4

1) Teori Penanggulangan Kejahatan
Menurut Barda Nawawi Arief.5 Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan
penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan

4

Soekanto, Soerjono.. Pengantar Penelitian Hukum Indonesia. UI press,
Jakarta, 1986, hlm 125
5
BardaNawawiArief,BeberapaAspekKebijakanPenegakandanPengembanganHukumPidana, Citra Aditya
Bhakti, Bandumg, 2005, hlm 78


kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (social
policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social

policy).

Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan hukum (penal policy),
khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus
memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa social
welfare,dan social defence.
Kebijakan yang dilakukan oleh dalam penanggulangan kejahatan peredaran VCD porno
dilakukan dengan sarana penal yaitu upaya penanggulangan kejahatan lebih menitik beratkan
kepada sifat repressive (penindasan/penangkalan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi dan
sarana non penaladalah upaya menitik beratkan pada sifatpreventife (pencegahan/pengadilan)
sebelum kejahatan terjadi.
Pelaksanaan penegakan hukum dengan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
1.
2.
3.

Bersifat Represif adalah meliputi serangkaian kegiatan yang berupa penindakan yang
dijatukan untuk pengungkapan terhadap kasus kejahatan;
Bersifat Preventif adalah meliputi serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencegah
secara langsung kasus kejahatan;
Bersifat Pre-emtif adalah berupa serangkain kegiatan yang ditujukan untuk menangkal
atau menghilangkan faktor-faktor kriminogen pada tahap sedini mungkin.6

Menurut G. P. Hoefnagels.7 tentang usaha penanggulangan tindak pidana atau dikenal dengan
istilah “Politik Kriminal” (Criminal Policy). Selanjutnya G. P. Hoefnagels menyatakan bahwa
criminal policy meliputi:

6

Romli Atmasasmita, SistemPeradilanPidanaPerspektifEksistensialismedan
Abolisionisme, Bina Cipta,Bandung,1996, hlm 24
7
BardaNawawiAriefKapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan PidanaTerpadu, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm 79

1.

Penerapan Hukum Pidana (criminal law application)

2.

Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

3.

Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media
masa (influencing views of society on crime and punishment).

Pada

butir

(2)

dan

(3)

menitik

beratkan

pada

sifat

peventif

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum tindak pidana terjadi dikelompokan dalam
sarana non penal. Sedangan pada butir (1) menitik beratkan pada sifat refrensif
(penindakan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi termasuk dalam sarana
penal.
Upaya penanggulangan tindak pidana hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan integral dari
upaya perlindungan masyrakat. Upaya penanggulangan tindak pidana diperlukan adanya
keterpaduan antara penanggulangan tindak pidana dengan sarana penal dan non penal, oleh karna
itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat
untuk kesejahtaraan masyarakat.
2) Faktor Penegakan Hukum
Menurut M. Friedman aparatur penegak hukum terdapat (3) tiga elemen penting yang
mempengaruhi yaitu:
1.
2.
3.

Institusi penegak hukum serta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya;
Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.
Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun
hukum acaranya.8

8

Sudarto. Hukum dan HukumPidana.Alumni.Bandung, 1986, hlm 33

Upaya hukum penegakan hukum secara sistematika haruslah memerhatikan ketiga aspek itu
secara konkrit, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat
diwujudkan secara nyata. Penegakan hukum bukanlah semata-mata pelaksanaan perundangundangan saja, melainkan terdapat faktor-faktor penghambat yang dapat mempengaruhinya,
yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Faktor hukumnya itu sendiri;
Faktor penegakan hukum;
Faktor sarana atau fasilitas;
Faktor masyarakat;
Faktor kebudayaan.

2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.9
Kerangka konseptual yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Upaya
Sebuah tindakan yang diperlukan untuk mendapatkan suatu yang dicapai dengan cara
mengadakan segala usaha, dan kerja keras untuk mencapai suatu hasil yang maksimal.10

b. Kepolisian
Segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
Perundang-Undangan.11

9

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985.
10
Kamus Bahasa Indonesia
11
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

c. Menanggulangi
adalah suatu upaya-upaya atau metode yang diperlukan atau digunakan oleh pihak kepolisisan
dalam menyelesaikan mengenai suatu tindak pidana, antara lain seperti tindak represif, preventif,
pre-emitif.12

d. VCD Porno
Tayangan yang mempertontonkan/menyiarkan kecabulan serta memuat hal yang bertentangan
dengan kesusilaan masyarakat yang dapat membangkitkan hasrat sexual seseorang bagi yang
menontonnya.13

E. Sistematika Penulisan
Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan skripsi ini dan dapat
mencapai tujuan yang diharapkan, maka skripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan
sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik
suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan,
kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
12

Romli Atmasasmita, SistemPeradilanPidanaPerspektifEksistensialismedan
Abolisionisme, Bina Cipta,Bandung,1996.
13
Undang-Undang No 48 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Merupakan bab tinjauan pustaka yang merupakan bab pengantar dalam pemahaman pada
pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis
yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan
kenyataan yang berlaku dalam praktek. Bab ini menguraikan tentang pengertian dari teori
penanggulangan dan penegakan hukum oleh kepolisian serta pengertian dari pornografi.

III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab metode penelitian yang dimulai dari kegiatan pendekatan masalah, sumber
dan jenis dara, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data,
dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan bab yang memuat hasil penelitian dan pembahasan serta jawaban dari pokok
permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai upaya kepolisian dalam menanggulangi
peredaran VCD porno di Bandar Lampung.

V. PENUTUP
Merupakan bab yang berisikan hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa
kesimpulan dan saran dari penulis terhadap permasalahan yang telah dibahas.

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tugas Dan Fungsi Kepolisian

1. Definisi Kepolisian
Istilah “polisi” berasal dari bahasa latin, yaitu “politia”, artinya tata negara, kehidupan politik,
kemudian menjadi “police” (Inggris), “polite” (Belanda), “polizei” (Jerman) dan menjadi
“polisi” (Indonesia), yaitu suatu badan yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan
menjadi penyidik perkara kriminal.AdapunKepolisian menurut Undang-undang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 pasal (1)dan Undang-Undang Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pasal (1)ialah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang
bertanggung jawab langsung di bawah Presiden.2 Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di
seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri).Pada awal mulanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah bagian
dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, status
Kepolisian Republik Indonesia sudah tidak lagi menjadi bagian dari ABRI. Hal ini dikarenakan
adanya perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan

1

Wirjono. Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia. Ttp. : Dian Rakjat. 1983.
Sunardjono. Hukum Kepolisian, Buku II , Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara.

2

kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

2. Fungsi Kepolisian
Kata ‘fungsi’ berasal dari bahasa inggris “function”. Menurut kamus webster,function berarti
performance; the special work done by an structure. Selain itu menurut Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 79 Tahun 1969 (lampiran 3), fungsi adalah sekelompok pekerjaan
kegiatan-kegiatan dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan
segi-segi tugas pokok. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa fungsi adalah merupakan
segala kegiatan dan usaha yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas sebaik-baiknya
untuk mencapai tujuan.3

Fungsi kepolisian adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum,perlindungan,

pengayoman

dan

pelayanan

kepada

masyarakat

dalam

rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri. Fungsi kepolisian yang ada di masyarakat menjadi aman,
tentram, tertib, damai dan sejahtera. Fungsi kepolisian (POLRI) terkait erat dengan Good
Governance, yakni sebagai alat Negara yang menjaga kamtibmas (keamanan dan ketertiban
masyarakat) yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan
hukum yaitu sebagai salah satu fungsi pemerintahan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyrakat yang diperoleh secara atributif melalui ketentuan Undang-Undang
(pasal 30 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI).

3. Tugas dan Wewenang Kepolisian

3

Cristine Kansil, S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II, cetakan kesebelas. Jakarta;
PT Balai Pustaka. 2003.

a. Tugas Kepolisian
Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan tugas preventif.
Tugas represif ini adalah mirip dengan tugas kekuasaan executive, yaitu menjalankan peraturan
atau perintah dari yang berkuasa apabila telah terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Sedangkan
tugas preventif dari kepolisian ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum tidak
dilanggar oleh siapapun.4
Tugas utama dari kepolisian adalah memelihara keamanan di dalam negeri. Dengan ini nampak
perbedaan dari tugas tentara yang terutama menjaga pertahanan Negara yang pada hakikatnya
menunjuk pada kemungkinan ada serangan dari luar Negeri. Sementara itu, dalam UndangUndang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13 dijelaskan bahwasannya
tugas pokok kepolisian adalah:5
a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b) menegakkan hukum; dan
c) memberikanperlindungan, pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakatSelanjutnya pada
pasal 14 dijelaskan bahwasannya dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
1) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan;
3) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
d) turut serta dalam pembinaan hukum nasional;memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum;
e) melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
f) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Mengenai ketentuan-ketentuan
penyelidikan dan penyidikan ini, lebih jelasnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
4

Ibid, Wirjono. Prodjodikoro
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

5

g)
h)

i)
j)

k)

Hukum Acara Pidana (KUHP) yang diantaranya menguraikan pengertian penyidikan,
penyelidikan, penyidik danpenyelidik serta tugas dan wewenangnya.
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi
dan/atau pihak yang berwenang;
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup
tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Melaksanakantugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Wewenang Kepolisian

Pasal15

Undang-Undang

Kepolisian

Republik

Indonesia

Nomor

2

Tahun

2002

menyatakanbahwasannya Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: 6
a) menerima laporan dan/atau pengaduan;
b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum;
c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa;
e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i) mencari keterangan dan barang bukti;
j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

B. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum Pidana pada hakekatnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum Pidana). Oleh karena itu
6

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

sering pula dikatakan, bahwa politik/kebijakan hukum Pidana merupakan bagian pula dari
kebijakan penegakan hukum (LawEnforecement Policy). Kebijakan atas penanggulangan
kejahatan pada

hakekatnya

merupakan

bagian

dari

integral dari upaya perlindungan

masyarakat (social defence)dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).7

Penegakan hukum Pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum Pidana itu dapat
berfungsi, beroperasi atau bekerjanya dan terwujud secara konkrit.8 Oleh karena itu
upayakepolisian dalam penanggulangan terhadap peredaran VCD porno yang dilakukan oleh
Kepolisian Polres Kota Bandar Lampung adalah:

1. Menggunakan Hukum Pidana (Penal)
Menurut Sudarto (1986: 118), yang dimaksud dengan upaya refresif adalah segala tindakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan atau tindak Pidana, termasuk
upaya refresif adalah penyelidikan, penuntutan sampai dilakukannya Pidana.

Menurut G. P. Hoefnagel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief.9upaya penanggulangan
kejahatan lewatjalur penal lebih menitik beratkan kepada sifat refresif (penindasan/
pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.

Menurut Gene Kaseebaum dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi.10 penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan hukum Pidana merupakan cara yang paling tua, petua peradaban manusia

7

Barda Nawawi Arief, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan”, PT. Citra Aditya Bakti, Semarang, 1997, hlm 48
8
MuladidanBardaNawawiArief,Teori-TeoridanKebijakanHukumPidana,
PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm 157
9
Ibid, Barda Nawawi Arief, hlm 59
10
Ibid, Barda Nawawi Arief, hlm 142

itu sendiri disebut sebagai older philosophy of crime control.11 Menurut Roeslan saleh, dikutip
oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief.12 tiga alasan mengenai perlunya Pidana dalam hukum
Pidana, adapun intinya sebagai berikut:
a. Perlu tidaknya hukum Pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh
menggunakan paksaan, persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai tetapi dalam
pertimbangan antara dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masingmasing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai bentuk sekali bagi yang
terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atau pelanggaran-pelanggaran
norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat diberikan begitu saja.

c. Pengaruh Pidana atau hukum Pidana bukan semata-mata ditunjukan kepada
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat
yang mentaati norma-norma pada masyarakat.13
Menurut Soedarto apabila hukum Pidana hendak digunakan dapat dilihat dalam hubungan
keseluruhan politik kriminal atau social defence planning yang ini harus merupakan bagian
integral dari rencana pembangunan nasional.14 Politik kriminal menurut Marc Ancel yang dikutip
oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief adalah peraturan atau penyusunan secara nasional usahausaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Tujuan akhir dari kebijakankriminal adalah dari
perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai
istilah misalnya kebahagiaan warga masyarakat; kehidupan kultural yang sehat dan
menyegarkan; kesejahteraan masyarakat; mencapai keseimbangan.

2. Menggunakan Upaya (Non Penal)

11

Ibid, Barda Nawawi Arief, hlm 142
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,
PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm 147
13
Barda NawawiArief, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan”, PT. Citra
Aditya Bakti, Semarang, 1996, hlm 147
14
Sudarto.. Perbandingan Hukum Pidana. Alumni. Bandung, 1983
12

Sarana non penal biasa disebut sebagai upaya prefentif yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan, merupakan upaya pencegahan, penangkalan,
dan pengendalian sebelum kejahatan terjadi, maka sasaran utamanya adalah mengenai faktorfaktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi secara Iangsung atau tidak langsung menimbulkan
kejahatan.

Usaha-usaha non penal misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka
pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa
masyarakat melalui pendidikan moral, agama peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan
remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat
keamanan lainnya. Usaha-usaha non penal memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. dengan
demikian, dilihat dari politik kriminal secara keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu
sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci diintensifkan
dan diefektifkan.

Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha
penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal

harus

dapat

mengintegrasikan danmengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non penal itu ke
dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur.Tujuan utama dari sarana non penal adalah
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Penggunaan sarana non penal adalah merupakan
upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor
kebijakan sosial.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat diidentifikasikan bahwa upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan sebagai benikut:
a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), kesejahteraan
masyarakat (social welfare), dan perlindungan masyarakat (social defence).
b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral yaitu
ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan
yang paling strategis melalui sarana non penal karena bersifat preventif dan kebijakan penal
mempunyai kelemahan karena bersifat refresif serta harus didukung dengan biaya tinggi.
c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan “penal policy”
atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasil operasionalisasinya melalui
beberapa tahap:
1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif).
2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif).
3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif).

Sudarto sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief mengemukakan tiga arti penting mengenai
kebijakan/politik kriminal, yaitu:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa Pidana:
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di
dalamnya cara dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam anti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangUundangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral
dimasyarakat.15

Dengan demikian, dapat diinterpretasikan upaya kepolisian dalam penanggulangan peedaran
VCD porno di Bandar Lampung menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaidah serta
perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku serta tindakan yang dianggap pantas dan seharusnyayang bertujuan untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kehidupan yang damai, selaras, serasi dan seimbang.
C. Pengertian Umum Tentang VCD Porno Dan Undang-Undang Yang Mengaturnya
1. Pengertian Pornografi
Dewasa ini video mesum (pornografi) bukan merupakan hal baru di masyarakat. Hal tersebut
mudah ditemukan di tengah masyarakat saat ini, baik media elektronik berupa televisi,
handphone Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnyamelalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di mukaumum,yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaandalam masyarakat sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 1 huruf (1)Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang
dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
15

Ibid, Barda Nawawi Arief, hlm 1

Tindak pidana pornografi diatur pada Pasal 282 dan Pasal 283 KUHP untuk kejahatan. dalam
Bab XIV buku II tentang, “Kesusilaan” dan Pasal 532 KUHP Bab VI buku III untuk
pelanggaran. Terminologi kesusilaan mempunyai pengertian yang luas . Pasal 282, Pasal 283 dan
Pasal 532 KUHP lebih pada “exhibitionisme”. Unsur pernyataan pornografi disampaikan lewat
tulisan, lisan, gambaran atau benda, termasuk pula peredarannya. Delik-delik tersebut termasuk
dalam pengertian “sex related oriented” terdiri dari dua perbuatan yakni mengeluarkan
pernyataan secara lisan ataupun secara tulisan atau dengan mempergunakan sebuah benda.
Beberapa pengertian mengenai pornografi diatas maka dapat disimpulkan bahwa pornografi
tersebut dapat diartikan sebagai berikut, yaitu:
a. tulisan, gambar/rekaman tentang seksualitas yang tidak bermoral,
b. bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara eksplisit terang-terangan dengan maksud
utama membangkitkan gairah seksual,
c. tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu birahi orang yang melihat
atau membaca,
d. tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran, dan
e. penggambaran hal-hal cabul melalui tulisan, gambar atau tontonan yang bertujuan
mengeksploitasi seksualitas.

2. Pengertian Pornoaksi
Definisi pornoaksi menurut Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi pada
tahun 2006 adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika dimuka
umum.
3. Undang-Undang Yang Mengatur Tentang Pornografi

Peraturan Perundang-Undangan

yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Peraturan perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi
kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif.
Memasuki tahun 2006 telah dibahas Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi
(RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. dalam perjalanannya, RUU APP
berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU
Pornografi melalui Sidang Paripurna. Tindak pidana mengenai pornografi ini termuat dalam
Pasal 282 ayat 1 KUHP dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008:
Pasal 282 ayat 1 KUHP
a. Menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum, menempelkan, atau
b. Untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, membuat, memasukkan ke
dalam negeri, mengirim terus ke dalam negeri, mengeluarkan dari negeri atau menyimpan,
atau
c. Terang-terangan atau, dengan menyiarkan tulisan dan tanpa permintaan, menawarkan atau
menunjukkan bahwa boleh didapat: Tulisan yang diketahui isinya, atau gambar atau barang
yang dikenalnya: melanggar kesusilaan (aanstootelijk voor de eerbaarheid), dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya
tiga ribu rupiah.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 menjelaskan bahwa :
(1) Setiap

orang

dilarang

memproduksi,

membuat,

memperbanyak,

menggandakan,

menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengeskpor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau, menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. Persengamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan Seksual;
c. Mastrubasi atau onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 menjelaskan bahwa :
“Setiap

orang

menyebarluaskan,

yang

memproduksi,
menyiarkan,

membuat,

memperbanyak,

menggandakan,

mengimpor,

mengekspor,

menawarkan,

memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat (enam) bulan dan
paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00
(dua ratus juta lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah)”.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social

engineering) memelihara dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup
(Soerjono Soekanto, 1983: 5).16

Satjipto Raharjo dalam bukunya “Masalah Penegakan Hukum” menyatakan bahwa penegakan
hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkanide-ide tentang kepastian hukum, kemanfaatan
sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan
hakikat dari penegakan hukum.17

Secara konsepsional, maka intidariinti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan-hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.18 Konsepsi yang
mempunyai dasar filosofi tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak
lebih konknit.

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi.19Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan, bahwa
gangguan terhadap penegak hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara nilainilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola
perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

16

Soerjono Seokamto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1983,

hlm 5
17

Satipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 1996, hlm 13
IbidSoerjono Soekanto, hlm 7
19
Ibid, Soerjono Soekanto, hlm 7
18

Faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas pembangunan dan penegakan hukum,
dapat berupa kualitas individual Sumber Daya Manusia (SDM), kualitas institusional atau
struktur hukum (tennasuk mekanisme tata kerja Dan manajemen), kualitas sarana dan prasarana,
kualitas perundang-Undangan (substansi hukum), dan kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial,
ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat. 20
Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu sebagai
berikut:
a.
b.
c.
d.

Faktor hukumnya sendiri;
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan diimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan karsa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.21

Kelima faktor diatas dapat dijadikan sebagai pedoman terhadapupaya kepolisian dalam masalah
penegakan hukum, dan akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sering kali terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu dilcarenakan konsepsi keadilan merupakan
suatu rumusan yang bersifat abstrak, Sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang
telah ditentukan secara normatif.Suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakekatnya penyelenggaraan

20
21

Ibid, Barda Nawawi Arief, hlm 16
Ibid, Soerjono Soekanto

hukum

bukan

hanya

mencakup

“Law

Enforcement”

saja,

akan

tetapi

juga

“peacemaintenance”, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses
penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk
kedamaian.
b. Kepribadian atau Mentalitas Penegak Hukum
Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian
hukum. Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi hukum, bahwa penegakan hukum
tanpa keadilan adalah kebejatan.Mentalitas petugas yang menegaskan seperti, kepolisian,
kejaksaan, dan hakim adalah hal yang sangat penting, karena sebaik apapun hukumnya kalau
mentalitas aparat penegak hukumnya kurang baik, maka akan terjadi gangguan pada sistem
penegakan hukum.22
c. Fasilitas Pendukung
Fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Salah satu perangkat
lunak adaiah pendidikan ditambah minimnya penghasilan dan anggaran terhadap aparat
penegak hukum, maka sering terjadi penyalah gunaan wewenang.
d. Taraf Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Masyarakat
Setiap warga masyarakat atau kelompok, pasti mempunyai permasalahan hukum, seperti taraf
kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah.Sebagaimana diketahui, kesadaran hukum
merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukumdan perilaku
hukum.
e. Faktor Budaya dan Masyarakat

22

Ibid, Soerjono Soekanto

Budaya adalah hasil karya, cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup. Variasi-variasi kebudayaan yang sedemikian banyaknya dapat menimbulkan
persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum, oleh karena itu penegakan hukum
harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Budaya tertib hukum dalam kehidupan sehari-hari
akan sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dan merupakan inti dari sistem penegakan hukum.
Jika kelima faktor tersebut ditelaah akan dapat terungkapkan hal yang berpengaruh terhadap
sistem penegakan hukum yang dapat berdiri sendiri atau saling berhubungan satu sama lain
sehingga kebijakan yang

di lakukan oleh aparat penegak hukum dan kesadaran dari

masyarakat tentang hukum dapat berjalan efektif.

I.

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang
didasarkan kepada metode sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya.1
Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam tentang fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis
empiris:
a. Pendekatan yuridis normatif dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan
literature peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai
penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis.
Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar
hukum dan konsep-konsep hukum.
b. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan penelitian
di lapangan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui permasalahan yang
berhubungan dengan penelitian.
B. Sumber dan Jenis Data

1

Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI-Press Jakarta, 1984

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua sumber yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan yang
berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Dalam hal ini data diperoleh
dengan melakukan wawancara terhadap kepolisian terkait dengan upaya kepolisian dalam
menanggulangi peredaran VCD porno di Bandar Lampung.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca,
mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel
dan literature hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang
terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini
bahan hukum primer terdiri dari:
1. Undang-Undang No 1 Tahun 1946 Tentang KUHP;
2. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP;
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
b. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan
norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah dibahas dalam skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar
Bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga. Populasi
dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berhubungan langsung dengan masalah dalam
penelitan skripsi ini.

Penentuan responden pada penulisan ini menggunakan metode pengambilan sampel secara
purposive sampling yang berarti bahwa dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang
hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang akan diteliti. Sesuai
dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti secara hierarki sebagaimana
tersebut diatas maka responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Dik Krimsus Polresta Bandar Lampung

: 1 orang

2) Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

: 1 orang +

Jumlah

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

2 orang

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Studi kepustakaan digunakan untuk memperoleh data sekunder, dilakukan melalui
serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip literatur-literatur,
perundang-undangan, dokumen, dan pendapat para sarjana dan ahli hukum yang berkaitan
dengan masalah yang akan dibahas dalam penulis