Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional)

(1)

ABSTRACT

The dimension of Political Social Factor of Forming The National Ombudsman Commission (Analyse Formulation of President Decision Number 44/2000 about

Forming of The Ombudsman National Commission) By

Nur Amalia Zuhra

In new orde era, mal adminitrasion, corruption, collusion, and nepotism (KKN) happened for many times in Indonesia. High demand from society for the reform and repair system of governance and administration in Indonesia arised since 1998. In respond to that demand, Abdurahman Wahid at the tine, decided to stabilish Ombudsman National Comission to he industry is controlling state institution.

This reseach aim; 1) to described and analyse the social factor of the President decision Ni. 44/2000 the Formation of the Ombudsman National Commission formation process of National Ombudsman Commision. 2) to described and analysed the role of the social and politic factors in the formation of the Ombudsman National Commission (analysis of the Decision President No. 44/2000). This research used the descriptive method with the qualitative approach. In this research, the researcher used the technique of the data collection through the deep interview, and documentation study. Technically the analysis of the data that was used in this research was the interactive model that was developed by Miles and Huberman, that covered the reduction in the data, the presentation of the data, the concluding/the verification.

The inisiation of forming the Ombudsman National Commission declared by Abdurahman Wahid”s Indonesian President at that time. In December 16 th 1999 Abdurahman Wahid


(2)

Wahid to clarify about that president decision whether he still to recommend to form Ombudsman Institution. Finally, in march, 20 th 2000 president made president’s decision number 44/2000 about Forming of The Ombudsman National Commission and appointed all member of Ombudsman National Commission.

There were five institutions which involved in the formulation of the policy for forming Ombudsman National Commission. There are the executive’s and yudikatif, the interest groups, perss, the community’s member and the attitude and the behaviour of the decision maker. The five institutions get involved as a part of social and political factor on forming Ombudsman National Commission. It was hoped that the formation of the Ombudsman National Commission, could reduce or even eliminated disadministrasion, and KKN that was done by it are instutions. This commission must stay independent in undertaking its task, although had an influence by the inwardly and outwardly group in the formation of this commission.

Keyword: Social Political Factors, Formulation of Policy, the Ombudsman National Commission.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Good Governance muncul sebagai kritikan atas dominasi lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (www. depdagri.go.id). Sedangkan Departemen Dalam Negeri menyatakan Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance (www. depdagri.go.id).

Salah satu tujuan pemberlakuan Good Governance adalah terciptanya pelayanan publik yang baik kepada masyarakat yang diberikan oleh pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu fungsi pemerintah selain fungsi distribusi, regulasi, dan proteksi. Pelayanan itu hendaknya ditafsikan dalam arti yang seluas-luasnya. Fakta dilapangan menunjukan bahwa banyak terjadi


(4)

penyalahgunaan dan penyelewengan yang berujung pada KKN (korupsi, kolusi nepotisme) di berbagai birokrasi pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Mengutip pendapat Komisaris PBB untuk Komisi Konpensasi, Roberto Mclean RM (Sujata, 2006:53) yang mengatakan bahwa “Di Jakarta, ‘keadilan’ adalah milik pihak yang (berani) memberi tawaran tertinggi (“In Jakarta, ‘justice’ belongs to the party with largest bid”). Sedangkan Transparencyc International (TI) setiap tahun mengklasifikasi Indonesia di kelompok negara-negara terkorup di dunia (Surachman, 2006:53). Hal ini mengindikasikan bahwa memang pengelolaan lembaga pemerintahan, belum menerapkan sistem pengelolaan yang baik (good governance) yang berorientasi pada maksimalisasi pelayanan publik. Untuk menjamin pemberian pelayanan publik yang baik oleh aparatur pemerintah, maka dibutuhkan suatu lembaga formal yang memiliki kekuatan hukum untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

Salah satu lembaga pengawasan eksternal milik pemerintah yang bertugas mengawasi pemberian pelayanan publik oleh aparatur negara adalah Ombudsman. Alasan pembentukan berbagai lembaga pengawas penyelenggara negara, tidak terkecuali Ombudsman, adalah untuk merespon desakan masyarakat yang menginginkan perubahan (reformasi) agar pemerintahan menjadi lebih transparan, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (dalam Laporan Tahunan Komsi Ombudsman Nasonal 2007). Dengan demikian alasan pembentukan Ombudsman adalah dapat membentuk lembaga yang independen dalam memberikan pengawasan terhadap instansi pemerintah. Sehingga masyarakat dari segala


(5)

3

kalangan tidak perlu takut untuk melaporkan adanya kasus maladministrasi di instansi pemerintahan. Akhirnya pelayanan publik dapat diberikan dengan baik. Institusi Ombudsman pertama kali dibentuk pada tahun 1809 di Swedia, yang saat ini telah berkembang menjadi salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi dan negara hukum modern. Lebih dari 130 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman dengan nama yang bervariasi, bahkan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi (Sujata, 2006:11). Lembaga pengawas eksternal Ombudsman memberikan ruang yang memadai bagi pelibatan partisipasi masyarakat. Keberadaan Ombudsman sangat penting untuk mendorong jalannya demokratisasi dan transparansi publik. Transparansi dalam kinerja pemerintah dapat terlaksana, salah satunya dengan adanya partisipasi masyarakat. Karena masyarakat dapat mengawasi secara langsung kinerja pemerintah, sehingga pemerintah dapat bekerja dengan baik dalam memberikan pelayanan publik.

Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman memerlukan partisipasi masyarakat guna melaporkan maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Keterlibatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu syarat utama dalam sistem demokrasi. Demokrasi adalah sistem pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu sangat diperlukan partisipasi masyarakat dalam menjalankan pemerintahan (Budiyanto, 2000:39).


(6)

Di Indonesia wacana pembentukan Ombudsman sudah lama sekali berkembang, akan tetapi baru menjadi kenyataan pada tahun 2000. Pada saat itu sedang bergulir isu reformasi untuk menuju negara yang lebih demokratis. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 (Sujata, 2002:17). Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan memfokuskan diri pada pengawasan terhadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara guna mencegah dan mengatasi terjadinya maladministrasi. Objek pengawasannya meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Instansi Pemerintah (Departemen dan Non-Departemen), TNI, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perguruan Tinggi Negeri.

Sujata (2002:2) menjelaskan bahwa pada November 1999 Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Pada 17 November 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata, dan Gus Dur. Hasil dari diskusi tersebut Gus Dur menyepakati pembentukan lembaga pengawasan penyelenggara negara yaitu Ombudsman.

Pada tanggal 8 Desember 1999 diterbitkanlah Keppres No.155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari pembicaraan antara Gus Dur, Marzuki Darusman, dan Antonius Sujata. Keppres tersebut hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman tidak dibentuk. Oleh karena itu


(7)

5

Marzuki Darusman bersama Antonius Sujata kembali menemui Gus Dur untuk mengklarifikasi Keppres No.155 Tahun 1999, dan merekomendasikan pembentukan Ombudsman. Akhirnya Gus Dus mengeluarkan Keppres No.44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Kepres ini juga memberikan mandat kepada anggota Komisi Ombudsman Nasional untuk menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ombudsman, agar kedudukannya lebih kuat karena telah menjadi lembaga permanen dan anggotanya dilantik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada 9 September 2008 DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Sejak saat itu Komisi Ombudsman Nasional berubah nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia.

Sujata (2006: 25-26) menerangkan secara universal pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan secara moral. Pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding) dan menjadi penyeimbang (amicus curie) antara pemerintah dengan rakyatnya. Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana lembaga peradilan (Magistrature of Sanction) akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur (Magistrature of Influence). Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya pengawasan serta sanksi moral lebih mendasar dari pada pengawasan serta sanksi hukum. Berdasarkan pemaparan di atas, penentuan faktor sosial politk dalam pembentukan Komisi Ombudsman Nasional menjadi menarik untuk diteliti terutama dalam perumusan kebijakan tentang pembentukan Komisi Ombudsman


(8)

Nasional. Sebagai sebuah lembaga yang pertama kali dibentuk oleh pemerintah, proses pembentukan Ombudsman juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Diantara faktor tersebut juga terdapat faktor sosial politik atau ada hubungan antara tuntutan masyarakat dengan unsur kekuasaan dalam pembentukan Ombudsman.

Faktor sosial dan politik dalam pembentukan Komisi Ombudsman Nasional menjadi penting untuk diteliti karena faktor sosial politik itu menggambarkan kondisi masyarakat dan pemerintahan. Hal ini menyebabkan dalam merumuskan kebijakan, para pembuat kebijakan selalu memperhatikan faktor sosial dan politik masyarakat setempat. Sehingga faktor sosial politik dalam pembentukan Komisi Ombusdman Nasional berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional).

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal?

2. Apa sajakah faktor sosial politik yang mendasari pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional)?


(9)

7

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Medeskripsikan proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik yang mendasari pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional).

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis dapat memperkaya khasanah Ilmu Administrasi Negara tentang kajian perumusan kebijakan publik.

2. Secara praktis dapat digunakan untuk menggambarkan proses pembentukan lembaga pemerintah khususnya Komisi Ombudsman Nasional, dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk proses pembentukan lembaga pemerintah yang serupa.


(10)

ABSTRAK

Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional) Oleh

Nur Amalia Zuhra

Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi maladministrasi dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Sejak tahun 1998 banyak tuntutan dari masyarakat untuk mereformasi dan memperbaiki sistem pemerintahan dan administrasi di Indonesia. Oleh karena itu Presiden Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Ada dua tujuan dalam penelitian ini. Pertama, mendeskripsikan proses

pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal. Kedua mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi reduksi data, penyajian data, penyimpulan/verifikasi. Rencana awal pembentukan Komis Ombudsman Nasional pertama kali dicetuskan


(11)

Darusman dan Antonius Sujata. Pada 16 Desember 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional.

Terdapat lima pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan

Komisi Ombudsman Nasional, yaitu badan eksekutif dan yudikatif, kelompok

kepentingan, media massa, anggota masyarakat, sikap dan perilaku pembuat keputusan. Kelima pihak tersebut menjadi bagian dari factor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Diharapkan dengan terbentuknya Komisi Ombusman Nasional dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan maladministrasi, dan KKN yang dilakukan para penyelenggara negara. Komisi ini harus tetap independen dalam menjalankan tugasnya, walaupun terdapat pengaruh dari kelompok luar dalam pembentukan komisi ini.

Kata Kunci: Faktor sosial politik, Perumusan Kebijakan, Komisi Ombudsman Nasional


(12)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1. Proses Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

Selama pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan penyelewengan kekuasaan yang mengakibatkan krisis pada tahun 1997. Keterpurukan Indonesia ini disebabkan oleh sistem oligarki yang diciptakan Presiden Soeharto dan para kroninya. Sistem ini terdiri dari tiga pihak yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, militer, dan Partai Golongan Karya (Golkar). Sistem ini menyebabkan banyak terjadi KKN dan maladministrasi yang merugikan masyarakat. Hal tersebut membuat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie. Mundurnya Soeharto dijadikan awal perubahan paradigma pelayanan publik, yang semula lebih mendahulukan kelompok tertentu terutama dari kelompok ekonomi ke atas, menjadi melayani semua masyarakat dari segala golongan.

Setelah penyelenggaraan pemilu 1999, pemerintahan Habibie digantikan oleh Presiden Abdurahman Wahid. Pada 17 November 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengadakan pertemuan dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan


(13)

89

Antonius Sujata. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya suatu lembaga pengawasan penyelenggaraan negara untuk mendukung pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada 16 Desember 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional. Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya:

a. Badan Eksekutif dan Yudikatif.

Badan eksekutif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan Sekretaris Kabinet beserta seluruh jajarannya. Sedangkan lembaga yudikatif yang dimaksud adalah lembaga Kejaksan Agung yang saat Keppres tersebut dibuat dipimpin oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dan juga dibantu oleh mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Antonius Sujata. Mereka besama-sama merumuskan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

b. Kelompok kepentingan.

Kelompok kepentingan yang mendorong pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya kelompok-kelompok riset yang menyatakan Indonesia masuk dalam negara-negara terkorup di dunia. Diantaranya Political and


(14)

Economic Risk Consultancy (PERC) dan Transparancy Internasional (TI). Hal ini membuat citra Indonesia buruk dan berdampak pada perekonomian di Indonesia. Untuk merubah citra tersebut pemerintah membentuk Komisi Ombudsman Nasional guna melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga penyelenggara negara tidak lagi melakukan KKN.

c. Media Massa.

Peran media massa dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya memberitakan tentang beberapa kasus maladministrasi yang melibatkan aparatur negara terutama saat masa Orde Baru. Pemberitaan itulah yang mendorong pemerintah masa reformasi terutama saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid untuk memperbaiki sistem pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Caranya dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara.

d. Anggota Masyarakat.

Pemerintah masa reformasi mendapat tekanan dari masyarakat dan mahasiswa yang mulai berani menuntut kepada pemerintah untuk menyelesaikan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Masyarakat juga menuntut kepada pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik. Akhirnya pemerintah membentuk Komisi Ombidsman Nasional untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pelayanan publik.

e. Sikap dan perilaku pembuat keputusan.

Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pembuat Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional memiliki sifat


(15)

91

kepedulian terhadap rakyat yang banyak menjadi korban dan objek dari pelayanan, sedangkan aparat pengawasan yang ada kurang efektif. Sebagai bentuk sifat kepedulian tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Komisi Ombudsman Nasional.

2. Faktor Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dilihat dari lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal tersebut berasal dari lembaga donor dana internasional dan inestor asing yang menginginkan pemerintah Indonesia menerapkan Good Governace. Serta adanya tntutan globalisasi perekonomian.

Sedangkan lingkungan internal yang menjadi faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional adalah adanya budaya patologi yang ada di Indonesia. Budaya tersebut menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Selain itu juga untuk mempercepat pemulihan krisis ekonomi di Indonesia. Untuk itu pemerintah membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk memberikan jaminan adanya pengawasan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

B. Saran.

c. Ombudsman Republik Indonesia harus tetap independen dalam melakukan tugasnya sebagai pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, walaupun terdapat beberapa pengaruh dari kelompok tertentu dalam pembentukannya. d. Ombudsman Republik Indonesia harus meningkatkan kinerjanya agar dapat


(1)

ABSTRAK

Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional) Oleh

Nur Amalia Zuhra

Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi maladministrasi dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Sejak tahun 1998 banyak tuntutan dari masyarakat untuk mereformasi dan memperbaiki sistem pemerintahan dan administrasi di Indonesia. Oleh karena itu Presiden Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Ada dua tujuan dalam penelitian ini. Pertama, mendeskripsikan proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal. Kedua mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi reduksi data, penyajian data, penyimpulan/verifikasi. Rencana awal pembentukan Komis Ombudsman Nasional pertama kali dicetuskan oleh Presiden Abdurahman Wahid saat mengadakan pertemuan dengan Marzuki


(2)

Darusman dan Antonius Sujata. Pada 16 Desember 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional.

Terdapat lima pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, yaitu badan eksekutif dan yudikatif, kelompok kepentingan, media massa, anggota masyarakat, sikap dan perilaku pembuat keputusan. Kelima pihak tersebut menjadi bagian dari factor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Diharapkan dengan terbentuknya Komisi Ombusman Nasional dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan maladministrasi, dan KKN yang dilakukan para penyelenggara negara. Komisi ini harus tetap independen dalam menjalankan tugasnya, walaupun terdapat pengaruh dari kelompok luar dalam pembentukan komisi ini.

Kata Kunci: Faktor sosial politik, Perumusan Kebijakan, Komisi Ombudsman Nasional


(3)

88

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1. Proses Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

Selama pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan penyelewengan kekuasaan yang mengakibatkan krisis pada tahun 1997. Keterpurukan Indonesia ini disebabkan oleh sistem oligarki yang diciptakan Presiden Soeharto dan para kroninya. Sistem ini terdiri dari tiga pihak yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, militer, dan Partai Golongan Karya (Golkar). Sistem ini menyebabkan banyak terjadi KKN dan maladministrasi yang merugikan masyarakat. Hal tersebut membuat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie. Mundurnya Soeharto dijadikan awal perubahan paradigma pelayanan publik, yang semula lebih mendahulukan kelompok tertentu terutama dari kelompok ekonomi ke atas, menjadi melayani semua masyarakat dari segala golongan.

Setelah penyelenggaraan pemilu 1999, pemerintahan Habibie digantikan oleh Presiden Abdurahman Wahid. Pada 17 November 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengadakan pertemuan dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan


(4)

89

Antonius Sujata. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya suatu lembaga pengawasan penyelenggaraan negara untuk mendukung pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada 16 Desember 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional. Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya:

a. Badan Eksekutif dan Yudikatif.

Badan eksekutif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan Sekretaris Kabinet beserta seluruh jajarannya. Sedangkan lembaga yudikatif yang dimaksud adalah lembaga Kejaksan Agung yang saat Keppres tersebut dibuat dipimpin oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dan juga dibantu oleh mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Antonius Sujata. Mereka besama-sama merumuskan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

b. Kelompok kepentingan.

Kelompok kepentingan yang mendorong pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya kelompok-kelompok riset yang menyatakan Indonesia masuk dalam negara-negara terkorup di dunia. Diantaranya Political and


(5)

90

Economic Risk Consultancy (PERC) dan Transparancy Internasional (TI). Hal ini membuat citra Indonesia buruk dan berdampak pada perekonomian di Indonesia. Untuk merubah citra tersebut pemerintah membentuk Komisi Ombudsman Nasional guna melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga penyelenggara negara tidak lagi melakukan KKN.

c. Media Massa.

Peran media massa dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya memberitakan tentang beberapa kasus maladministrasi yang melibatkan aparatur negara terutama saat masa Orde Baru. Pemberitaan itulah yang mendorong pemerintah masa reformasi terutama saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid untuk memperbaiki sistem pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Caranya dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara.

d. Anggota Masyarakat.

Pemerintah masa reformasi mendapat tekanan dari masyarakat dan mahasiswa yang mulai berani menuntut kepada pemerintah untuk menyelesaikan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Masyarakat juga menuntut kepada pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik. Akhirnya pemerintah membentuk Komisi Ombidsman Nasional untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pelayanan publik.

e. Sikap dan perilaku pembuat keputusan.

Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pembuat Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional memiliki sifat


(6)

91

kepedulian terhadap rakyat yang banyak menjadi korban dan objek dari pelayanan, sedangkan aparat pengawasan yang ada kurang efektif. Sebagai bentuk sifat kepedulian tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Komisi Ombudsman Nasional.

2. Faktor Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dilihat dari lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal tersebut berasal dari lembaga donor dana internasional dan inestor asing yang menginginkan pemerintah Indonesia menerapkan Good Governace. Serta adanya tntutan globalisasi perekonomian.

Sedangkan lingkungan internal yang menjadi faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional adalah adanya budaya patologi yang ada di Indonesia. Budaya tersebut menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Selain itu juga untuk mempercepat pemulihan krisis ekonomi di Indonesia. Untuk itu pemerintah membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk memberikan jaminan adanya pengawasan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

B. Saran.

c. Ombudsman Republik Indonesia harus tetap independen dalam melakukan tugasnya sebagai pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, walaupun terdapat beberapa pengaruh dari kelompok tertentu dalam pembentukannya. d. Ombudsman Republik Indonesia harus meningkatkan kinerjanya agar dapat