Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional)

(1)

ABSTRACT

The dimension of Political Social Factor of Forming The National Ombudsman Commission (Analyse Formulation of President Decision Number 44/2000 about

Forming of The Ombudsman National Commission) By

Nur Amalia Zuhra

In new orde era, mal adminitrasion, corruption, collusion, and nepotism (KKN) happened for many times in Indonesia. High demand from society for the reform and repair system of governance and administration in Indonesia arised since 1998. In respond to that demand, Abdurahman Wahid at the tine, decided to stabilish Ombudsman National Comission to he industry is controlling state institution.

This reseach aim; 1) to described and analyse the social factor of the President decision Ni. 44/2000 the Formation of the Ombudsman National Commission formation process of National Ombudsman Commision. 2) to described and analysed the role of the social and politic factors in the formation of the Ombudsman National Commission (analysis of the Decision President No. 44/2000). This research used the descriptive method with the qualitative approach. In this research, the researcher used the technique of the data collection through the deep interview, and documentation study. Technically the analysis of the data that was used in this research was the interactive model that was developed by Miles and Huberman, that covered the reduction in the data, the presentation of the data, the concluding/the verification.

The inisiation of forming the Ombudsman National Commission declared by Abdurahman Wahid”s Indonesian President at that time. In December 16 th 1999 Abdurahman Wahid


(2)

Wahid to clarify about that president decision whether he still to recommend to form Ombudsman Institution. Finally, in march, 20 th 2000 president made president‟s decision number 44/2000 about Forming of The Ombudsman National Commission and appointed all member of Ombudsman National Commission.

There were five institutions which involved in the formulation of the policy for forming Ombudsman National Commission. There are the executive‟s and yudikatif, the interest groups, perss, the community‟s member and the attitude and the behaviour of the decision maker. The five institutions get involved as a part of social and political factor on forming Ombudsman National Commission. It was hoped that the formation of the Ombudsman National Commission, could reduce or even eliminated disadministrasion, and KKN that was done by it are instutions. This commission must stay independent in undertaking its task, although had an influence by the inwardly and outwardly group in the formation of this commission.

Keyword: Social Political Factors, Formulation of Policy, the Ombudsman National Commission.


(3)

ABSTRAK

Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional) Oleh

Nur Amalia Zuhra

Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi maladministrasi dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Sejak tahun 1998 banyak tuntutan dari masyarakat untuk mereformasi dan memperbaiki sistem pemerintahan dan administrasi di Indonesia. Oleh karena itu Presiden Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Ada dua tujuan dalam penelitian ini. Pertama, mendeskripsikan proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal. Kedua mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi reduksi data, penyajian data, penyimpulan/verifikasi.

Rencana awal pembentukan Komis Ombudsman Nasional pertama kali dicetuskan oleh Presiden Abdurahman Wahid saat mengadakan pertemuan dengan Marzuki


(4)

tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional.

Terdapat lima pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, yaitu badan eksekutif dan yudikatif, kelompok kepentingan, media massa, anggota masyarakat, sikap dan perilaku pembuat keputusan. Kelima pihak tersebut menjadi bagian dari factor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Diharapkan dengan terbentuknya Komisi Ombusman Nasional dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan maladministrasi, dan KKN yang dilakukan para penyelenggara negara. Komisi ini harus tetap independen dalam menjalankan tugasnya, walaupun terdapat pengaruh dari kelompok luar dalam pembentukan komisi ini.

Kata Kunci: Faktor sosial politik, Perumusan Kebijakan, Komisi Ombudsman Nasional


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Good Governance muncul sebagai kritikan atas dominasi lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (www. depdagri.go.id). Sedangkan Departemen Dalam Negeri menyatakan Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata „baik‟ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance (www. depdagri.go.id).

Salah satu tujuan pemberlakuan Good Governance adalah terciptanya pelayanan publik yang baik kepada masyarakat yang diberikan oleh pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu fungsi pemerintah selain fungsi distribusi, regulasi, dan proteksi. Pelayanan itu hendaknya ditafsikan dalam arti yang seluas-luasnya. Fakta dilapangan menunjukan bahwa banyak terjadi


(6)

penyalahgunaan dan penyelewengan yang berujung pada KKN (korupsi, kolusi nepotisme) di berbagai birokrasi pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Mengutip pendapat Komisaris PBB untuk Komisi Konpensasi, Roberto Mclean RM (Sujata, 2006:53) yang mengatakan bahwa “Di Jakarta, „keadilan‟ adalah milik pihak yang (berani) memberi tawaran tertinggi (“In Jakarta, ‘justice’

belongs to the party with largest bid”). Sedangkan Transparencyc International

(TI) setiap tahun mengklasifikasi Indonesia di kelompok negara-negara terkorup di dunia (Surachman, 2006:53). Hal ini mengindikasikan bahwa memang pengelolaan lembaga pemerintahan, belum menerapkan sistem pengelolaan yang baik (good governance) yang berorientasi pada maksimalisasi pelayanan publik. Untuk menjamin pemberian pelayanan publik yang baik oleh aparatur pemerintah, maka dibutuhkan suatu lembaga formal yang memiliki kekuatan hukum untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

Salah satu lembaga pengawasan eksternal milik pemerintah yang bertugas mengawasi pemberian pelayanan publik oleh aparatur negara adalah Ombudsman. Alasan pembentukan berbagai lembaga pengawas penyelenggara negara, tidak terkecuali Ombudsman, adalah untuk merespon desakan masyarakat yang menginginkan perubahan (reformasi) agar pemerintahan menjadi lebih transparan, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (dalam Laporan Tahunan Komsi Ombudsman Nasonal 2007). Dengan demikian alasan pembentukan Ombudsman adalah dapat membentuk lembaga yang independen dalam memberikan pengawasan terhadap instansi pemerintah. Sehingga masyarakat dari segala


(7)

kalangan tidak perlu takut untuk melaporkan adanya kasus maladministrasi di instansi pemerintahan. Akhirnya pelayanan publik dapat diberikan dengan baik.

Institusi Ombudsman pertama kali dibentuk pada tahun 1809 di Swedia, yang saat ini telah berkembang menjadi salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi dan negara hukum modern. Lebih dari 130 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman dengan nama yang bervariasi, bahkan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi (Sujata, 2006:11). Lembaga pengawas eksternal Ombudsman memberikan ruang yang memadai bagi pelibatan partisipasi masyarakat. Keberadaan Ombudsman sangat penting untuk mendorong jalannya demokratisasi dan transparansi publik. Transparansi dalam kinerja pemerintah dapat terlaksana, salah satunya dengan adanya partisipasi masyarakat. Karena masyarakat dapat mengawasi secara langsung kinerja pemerintah, sehingga pemerintah dapat bekerja dengan baik dalam memberikan pelayanan publik.

Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman memerlukan partisipasi masyarakat guna melaporkan maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Keterlibatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu syarat utama dalam sistem demokrasi. Demokrasi adalah sistem pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu sangat diperlukan partisipasi masyarakat dalam menjalankan pemerintahan (Budiyanto, 2000:39).


(8)

Di Indonesia wacana pembentukan Ombudsman sudah lama sekali berkembang, akan tetapi baru menjadi kenyataan pada tahun 2000. Pada saat itu sedang bergulir isu reformasi untuk menuju negara yang lebih demokratis. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 (Sujata, 2002:17). Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan memfokuskan diri pada pengawasan terhadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara guna mencegah dan mengatasi terjadinya maladministrasi. Objek pengawasannya meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Instansi Pemerintah (Departemen dan Non-Departemen), TNI, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perguruan Tinggi Negeri.

Sujata (2002:2) menjelaskan bahwa pada November 1999 Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Pada 17 November 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata, dan Gus Dur. Hasil dari diskusi tersebut Gus Dur menyepakati pembentukan lembaga pengawasan penyelenggara negara yaitu Ombudsman.

Pada tanggal 8 Desember 1999 diterbitkanlah Keppres No.155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari pembicaraan antara Gus Dur, Marzuki Darusman, dan Antonius Sujata. Keppres tersebut hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman tidak dibentuk. Oleh karena itu


(9)

Marzuki Darusman bersama Antonius Sujata kembali menemui Gus Dur untuk mengklarifikasi Keppres No.155 Tahun 1999, dan merekomendasikan pembentukan Ombudsman. Akhirnya Gus Dus mengeluarkan Keppres No.44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Kepres ini juga memberikan mandat kepada anggota Komisi Ombudsman Nasional untuk menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ombudsman, agar kedudukannya lebih kuat karena telah menjadi lembaga permanen dan anggotanya dilantik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada 9 September 2008 DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Sejak saat itu Komisi Ombudsman Nasional berubah nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia.

Sujata (2006: 25-26) menerangkan secara universal pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan secara moral. Pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding) dan menjadi penyeimbang (amicus curie) antara pemerintah dengan rakyatnya. Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana lembaga peradilan (Magistrature of Sanction) akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur (Magistrature of Influence). Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya pengawasan serta sanksi moral lebih mendasar dari pada pengawasan serta sanksi hukum.

Berdasarkan pemaparan di atas, penentuan faktor sosial politk dalam pembentukan Komisi Ombudsman Nasional menjadi menarik untuk diteliti terutama dalam perumusan kebijakan tentang pembentukan Komisi Ombudsman


(10)

Nasional. Sebagai sebuah lembaga yang pertama kali dibentuk oleh pemerintah, proses pembentukan Ombudsman juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Diantara faktor tersebut juga terdapat faktor sosial politik atau ada hubungan antara tuntutan masyarakat dengan unsur kekuasaan dalam pembentukan Ombudsman.

Faktor sosial dan politik dalam pembentukan Komisi Ombudsman Nasional menjadi penting untuk diteliti karena faktor sosial politik itu menggambarkan kondisi masyarakat dan pemerintahan. Hal ini menyebabkan dalam merumuskan kebijakan, para pembuat kebijakan selalu memperhatikan faktor sosial dan politik masyarakat setempat. Sehingga faktor sosial politik dalam pembentukan Komisi Ombusdman Nasional berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional).

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal?

2. Apa sajakah faktor sosial politik yang mendasari pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional)?


(11)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Medeskripsikan proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik yang mendasari pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional).

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis dapat memperkaya khasanah Ilmu Administrasi Negara tentang kajian perumusan kebijakan publik.

2. Secara praktis dapat digunakan untuk menggambarkan proses pembentukan lembaga pemerintah khususnya Komisi Ombudsman Nasional, dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk proses pembentukan lembaga pemerintah yang serupa.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara dan Pelayanan Publik

Soltau (budiardjo, 2004:39) menyatakan negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Sedangkan Laski menyatakan “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.” Menurut Max Weber, negara adalah sosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sitem hukum yang diselenggaakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberikan kekuasaan memaksa (Budiardjo, 2004:40). Dari definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara adalah suatu organisai masyarakat yang


(13)

memiliki kekuasaan dan wewenang yang bersifat memaksa dan sah di dalam masyarakat tersebut.

Suatu negara biasanya memiliki sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat tersebut bersifat mengikat bagi setiap warga negaranya, sehingga menjadikannya sebagai ciri atau idetitas dari negara tersebut. Sifat suatu negara dengan negara lain terkadang sering berbeda. Budiardjo (2004, 40-41) menyebutan beberapa sifat umum yang dimiliki oleh semua negara, yaitu: (a) Sifat Memaksa. Agar peraturan perundang-undangan dan penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. (b) Sifat Monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama masyarakat. Dalam rangka ini ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebar luaskan, oleh karena bertentangan dengan tujuan masyarakat. (c) Sifat Mencakup Semua. Semua peraturan perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Keadaan demikian memang perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal.

Suatu negara biasanya dipimpin oleh sekelompok orang yang biasa disebut pemerintah. Salah satu tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang baik kepada warganya. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Lijan Poltak Sinambera


(14)

(2006:14) mendefinisikan pelayanan publik sebagai pengadaan barang dan jasa, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah. Pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pada negara yang menganut sistem ekonomi liberal, sebagian besar pelayanan publik diberikan dan diatur oleh pasar atau pihak swasta. Pemerintah jarang ikut campur dalam pemberian pelayanan publik kepada masyarakat. Akibatnya hanya masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas yang mendapatkan pelayanan publik yang baik. Sedangkan masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah jarang mendapat pelayanan publik yang baik.

Hal tersebut akhirnya menyebabkan kegagalan pasar karena pasar tidak dapat menyediakan pelayanan publik yang baik kepada seluruh masyarakat. Adanya kegagalan pasar tersebut membuat pemerintah akhirnya ikut campur tangan dalam menyediakan pelayanan publik. Hal tersebut sesuai dengan paham Keyenesian yang menganggap pemerintah perlu campur tangan dalam kegiatan ekonomi dan

memberikan pelayanan publik kepada masayarakat

(http://id.wikipedia.org/wiki/Keynesianisme). Akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pasar dalam menyediakan pelayanan publik, membuat pemerintah semakin banyak menangani penyediaan pelayanan publik yang


(15)

dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pun akhirnya semakin tergantung kepada pemerintah dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.

Akibatnya pemerintah semakin sewenang-wenang dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Akhirnya terjadilah welfare state (kegagalan pemerintah) dalam penyediaan pelayanan publik yang baik. Masyarakat akhirnya menuntut pemerintah untuk melakukan reformasi di instansi pemerintah. Salah satu reformasi yang dilakukan adalah reformasi administrasi publik.

Pelayanan publik yang diberikan pemerintah, dilakukan oleh penyelenggara negara dalam birokrasi maupun di Badan Usaha milik Negara (BUMN). Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan di Indonesia termasuk pelaksanaan pelayanan publik bersifat sentralistik. Artinya sebagian besar kebijakan diambil oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya menjalankannya saja. Sistem sentralistik ini memberikan kekuasaan yang besar bagi pemerintah pusat untuk mengatur segala hal. Ini menyebabkan semakin besarnya kesempatan untuk terjadinya penyelewengan tugas pemerintah. Pemerintah akhirnya mulai melakukan berbagai tindakan maladministrasi yang menyebabkan buruknya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

B. Reformasi Administrasi Publik

Salah satu upaya untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, pemerintah melakukan reformasi administrasi publik. Miftah Thoha (Ibrahim, 2008:14) melihat reformasi administrasi negara (publik) meliputi reformasi kepemimpinan,


(16)

kelembagaan dan reformasi sistem administrasi publik itu sendiri, terutama untuk kasus Indonesia. Reformasi dapat ditempuh melalui rekrutmen yang demokratis, penyesuaian lembaga, penyesuaian sistem prosedur sesuai tuntutan pelayanan publik (yang makin demokratis dan meningkat).

Reformasi administrasi menurut Lee meliputi reformasi prosedur yang bertujuan menyempurnakan sistem atau tatanan; reformasi teknik untuk menyempurnakan metode dan reformasi program untuk menyempurnakan kinerja administrasi negara (Ibrahim, 2008:13). Sedangkan menurut Khan, reformasi administrasi adalah usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem birokrasi negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku, dan struktur yang telah ada sebelumnya. Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi. Sedangkan Quah (Nasucha, 2004) menyatakan bahwa reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah struktur ataupun prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional. (http://mrdewa.blogspot.com/Reformasi Administrasi, Definisi dan Tujuan). Jadi reformasi administrasi adalah perubahan dalam bidang administrasi dan sistem birokrasi negara dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.


(17)

Menurut Ibrahim (2008:13-14) reformasi administrasi negara terjadi karena perubahan modernisasi administrasi negara (Administrative change) tidak berjalan sebagaimana mestinya sesuai tuntutan keadaan, karenanya diperlukan usaha yang sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek kinerja), meningkat efektivitas organisasi (aspek program), sehingga dapat diciptakan administrasi negara yang sehat dan terciptanya tujuan pembangunan nasional. Tujuan reformasi administrasi negara secara internal adalah efisiensi administrasi negara itu sendiri, meminimalisasi kelemahan atau penyakitadministrasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme/pilih kasih, menggalakkan sistem merit (merit sistem). Tujuan eksternalnya adalah demokratisasi, menyesuaikan sistem kerja antara sistem administrasi negara dan politik (misalnya dalam kerangka otonomi daerah), dan menyelaraskan sistem administrasi negara tidak dapat dilepaskan dengan nilai budaya suatu negara atau wilayah dimana berlakunya reformasi tersebut.

Ada beberapa jebis reformasi administrasi negara (publik), terutama di negara-negara berkembang (Ibrahim, 2008:14), yaitu:

a. Reformasi sekedarnya dan lebih cenderung bersifat status quo. b. Reformasi fundamental atau menyeluruh

c. Reformasi yang mendapat pengaruh dominan dari luar

d. Sementara itu pakar-pakar administrasi negara lainnya (kelompok persadi) lebih menekankan tentang makna pengembangan administrasi negara (tersirat makna reformasi di dalamnya) meliputi:


(18)

2) Perubahan sistem manajemen; 3) Peningkatan profesionalisme SDM; 4) Peningkatan kualitaspelayanan publik; 5) Prinsip desentralisasi.

Di Indonesia reformasi administrasi publik dilakukan karena pelayanan publik yang diberikan pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik. Selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah rezim orde baru, peran kekuasaan pemerintah (eksekutif) sungguh amat dominan sehingga masyarakat lebih banyak menjadi objek yang diawasi dari pada subjek yang mengawasi (Sujata dan Surachman, 2002:4). Hal ini menyebabkan maraknya terjadi maladministrasi dan KKN (korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia. Tahun 1998 tuntutan reformasi sangat kuat dari masyarakat untuk memperbaiki system pemerintahan dan administrasi di Indonesia. Akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden pada tahun 1998. Guna menanggapi tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintahan yang transparan, bersih, dan bebas KKN, maka Presiden Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

C. Pembentukan Organisasi Ombudsman

Upaya nyata untuk melakukan reformasi pelayanan publik salah satunya melalui pembentukan lembaga independen yang berwenang melakukan pengawasan atas instansi pelayanan publik. Lembaga tersebut diantaranya adalah Ombudsman. Lembaga Ombudsman pertama kali berdiri di Swedia pada tahun 1718. Akan


(19)

tetapi sistem pengawasan seperti Ombudsman sudah ada di beberapa negara jauh sebelum lembaga Ombudsman di Swedia didirikan. Contohnya pada masa Khalifah Umar (634-644 SM), beliau menempatkan dirinya sebagai Muhtasib, yaitu orang yang menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan (antara masyarakat dan pejabat pemerintah). Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara. Selain itu di Cina pada masa Dinasti Tsin (22 SM) didirikan lembaga pengawasan bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan sebagai “perantara” bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada kaisar (Sumber: http://www.pemantaiperadilan.com). Hingga kini sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang keseluruh dunia. Saat ini lebih dari 130 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman dengan nama yang bervariasi, bahkan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi (Sujata, 2006:11). Diantaranya Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko (Sumber: http://www.pemantaiperadilan.com).

Salah satu alasan pembentukan berbagai lembaga pengawas penyelenggara negara, tidak terkecuali Ombudsman, adalah untuk merespon desakan masyarakat yang menginginkan perubahan (reformasi) agar pemerintahan menjadi lebih transparan, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasonal 2007, 2008:9). Antonius Sujata (2006:13-14) dalam tulisannya Peranan Ombudsman Dalam Pencegahan Korupsi dan


(20)

Penyelennggaraan Pemerintahan Yang Baik mengungkapan beberapa alasan mendasar negara-negara membentuk Ombudsman, diantaranya:

1. Secara institusional bersifat independent baik struktural, fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi efektifitasnya karena dalam bertindaknya akan bertindak secara objektif, adil, tidak memihak.

2. Sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan artinya dalam bertindak seharusnya aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlukan sebagai subjek pelayanan dan bukan objek/korban pelayan. Selama ini belum/tidak ada lembaga yang memfokuskan diri pada pengawasan atas pemberian pelayanan umum, padahal jika dicermati sebenarnya pelayanan inilah yang merupakan inti dari seluruh proses berpemerintahan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kepatutan, penghormatan hak-hak dasar, keadilan serta moralitas.

3. Keberhasilan suatu pengawasan sangat ditentukan oleh prosedur ataupun mekanisme yang digunakan, apabila proses pengawasan berbelit-belit melalui liku-liku yang panjang maka pelaksanaan pengawasan akan beralih dari masalah substansional ke masalah prosedural. Padahal inti persoalan pokok adalah penyimpangan dalam pelayanan umum. Jika akhirnya terjebak dalam pada prosedur yang panjang maka akan menghabiskan waktu penyelesaian yang lama sehingga penyimpangan akan terus berlangsung tanpa ada perbaikan dan jalan keluar. Bahkan mungkin sekali akan muncul problem baru yaitu tentang mekanisme itu sendiri. Sesungguhnya suatu prosedur penyelesaian yang singkat dan


(21)

sederhana di manapun akan lebih efisien. Termasuk dalam aspek ini adalah cara penyelesaian melalui mediasi di mana masing-masing pihak langsung bertemu dan membahas permasalahan sekaligus menentukan jalan keluar terbaik melalu prinsip saling memberi dan saling menerima (win-win solution).

4. Masalah pelayanan yang menjadi sasaran pengawasan Ombudsman dalam praktek lebih banyak menimpa masyarakat secara individual, meskipun juga tidak jarang berkaitan dengan suatu sistem atas kebijakan sehingga melibatkan (“mengorbankan”) kepentingan individu-individu dalam jumlah yang lebih banyak. Biasanya anggota masyarakat kurang peka terhadap pemberlakuan sistem/kebijakan yang merugikan karena merasa lemah berhadapan dengan kekuasaan. Dengan demikian ia membutuhkan bantuan, membutuhkan dukungan dan membutuhkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menanggung resiko munculnya masalah baru.

5. Berkenaan dengan substansi pengawasan yaitu pelayanan umum oleh penyelenggara negara meskipun nampaknya sederhana namum memiliki dampak yang amat mendasar. Pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat akan memberi nilai positif dalam menciptakan dukungan terhadap kinerja pemerintah. Apabila aparat pemerintah melalui bentuk-bentuk pelayanannya mampu menciptakan suasana yang kondusif dengan masyarakat maka kondisi semacam itu dapat dikategorikan sebagai keadaan yang mengarah pada terselenggaranya asas-asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Asas pemerintahan yang baik dalam


(22)

implementasinya diwujudkan melalui ketaatan hukum, tidak memihak, bersikap adil, keseimbangan bertindak, cermat, saling percaya dan lain-lain. Dengan demikian sesungguhnya pelayanan umum sebagai hakikat dasar dari asas pemerintahan yang baik menjadi harapan utama keberadaan lembaga Ombudsman.

6. Masyarakat kecil ataupun korban pelayanan secara mayoritas adalah kelompok ekonomi lemah karena itu mereka menjadi ragu untuk memperjuangkan keluhannya karena keterbatasan masalah keuangan. Institusi Ombudsman dengan tegas dan terbuka mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan ataupun laporan yang disampaikan kepada Ombudsman tidak dipungut biaya. Ketentuan bebas biaya ini merupakan salah satu prinsip Ombudsman yang bersifat universal yang sekaligus sebagai implementasi integritasnya. Ombudsman sangat menjunjung tinggi asas ini sehingga diharapkan sekali agar warga masyarakat tidak memberikan imbalan sekecil apapun kepada Ombudsman sebelum, pada waktu dan ataupun sesudah berurusan dengan Ombudsman. Berurusan dengan Ombudsman tanpa memberi imbalan kepadanya merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap eksistensi Ombudsman.

Dari penjelasan di atas, menurut penulis alasan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional adalah Ombudsman sebagai lembaga independen, dapat memberikan pengawasan terhadap lembaga pemerintah tanpa intervensi dari pemerintah sendiri. Proses pengawasan Ombudsman juga tidak berbelit-belit dan kerahasiaan identitas pelapor dapat dijaga. Sehingga masyarakat dari segala kalangan tidak perlu takut untuk melaporkan adanya kasus maladministrasi di instansi


(23)

pemerintahan. Dengan demikian diharapkan pelayanan publik dapat diberikan dengan baik.

D. Faktor Sosial Politik Perumusan Kebijakan.

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Dalam perumusan kebijakan tersebut terdapat faktor sosial politik baik dari lingkungan ekstern maupun intern pemerintah yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan tersebut. Faktor ekstern yang dimaksud adalah segala faktor yang mempengaruhi kebijakan yang berasal dari lingkungan di luar pemerintah, sedangkan faktor intern adalah segala faktor yang mempengaruhi kebijakan yang berasal dari lingkungan di dalam pemerintah.

Faktor adalah hal yang menyebabkan, pengaruh, pendukung atau latar belakang suatu tindakan, reaksi dari suatu ekologis kehidupan maupun suatu percobaan (Ishak; 1989). Sementara itu Arma Rosaldi memaparkan bahwa faktor adalah suatu ragam pendukung yang membentuk satu kesatuan dalam menghasilkan suatu tindakan (Rosaldi;1994). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), faktor ialah hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu. Sedangkan dalam KBBI pembentukan adalah proses, cara, pembuatan membentuk.

Istilah organisasi secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kesatuan orang-orang yang tersusun dengan teratur berdasarkan pembagian tugas tertentu


(24)

(Abdulsyani, 2002:115). Organisasi menurut Sutarto adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (Sutarto, 1993:40). Abdulsyani mengatakan terbentuknya suatu organisasi sosial, pada mulanya karena adanya desakan minat dan kepentingan individu-individu dalam masyarakat. Kepentingan-kepentingan itu tidak disalurkan melalui lembaga-lembaga sosial, melainkan disalurkan melalui bentuk persekutuan manusia yang relatif lebih teratur dan formal (Abdulsyani, 2002:115). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor pembentukan organisasi adalah hal yang menyebabkan, mempengaruhi, mendukung atau melatar belakangi pembentukan suatu organisasi guna mencapai tujuan tertentu.

Menurut Abdulsyani (2002:115) istilah sosial berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pergaulan manusia dalam masyarakat. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa definisi sosial sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan manusia dalam masyarakat termasuk sikap, sifat, dan hubungan interaksi antara manusia.

Max Weber (Djuhandar 2005:4) mendefinisikan politik sebagai sarana perjuangan untuk sama-sama melaksanakan politik atau perjuangan untuk mempengaruhi kekuasaan baik di antara negara-negara maupun di antara hukum dalam suatu negara. Sedangkan Maurice Duverger (Djuhandar, 2005:4) mendefinisikan politik sebagai kekuasaan, kekuasaan adalah seluruh jaringan lembaga-lembaga


(25)

(institusions) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana didominasi beberapa orang atas orang lain.

Dari berbagai upaya untuk menjelaskan esensi (pengertian) politik, tampak bahwa perhatian sentra dari politik adalah penyelesaian konflik antar manusia, proses pembuatan keputusan-keputusan ataupun pengembangan kebijakan-kebijakan, secara otoritas yang mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu, atau pelaksanaan kekuasaan dan pengaruhnya di dalam masyarakat (Maran, 2001:18). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu (Budiarjo, 2000:8).

Berdasarkan uraian di atas, maka definisi politik adalah sarana perjuangan atau kegiatan untuk mendapatkan kekuasaan baik di antara negara-negara maupun di antara hukum. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor sosial adalah pengaruh yang berasal dari hubungan pergaulan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan faktor politik adalah segala hal untuk mendapatkan kekuasaan.

1. Tinjauan Tentang Kebijakan Negara

Lijan Poltak Sinambela (2006:14) mengartikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan. Kebijakan (policy) sering juga disebut dengan kebijaksanaan. Menurut Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan (Islamy, 2003:15) mengartikan kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan


(26)

praktek-praktek yang terarah. James E. Anderson (Islamy, 2003:16) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Kebijaksanaan negara menurut Thomas R. Dye (Islamy, 2003:18) ialah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sedangkan George C. Edwards III dan Ira Sharkansky (Islamy, 2003:18) mendefinisikan kebijaksanaan negara sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh pemerintah. Kebijaksanaan negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah.

Irfan Islamy (2003:20) mengimplikasikan kebijaksanaan negara sebagai berikut: (a) Bahwa kebijaksanaan negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah. (b) Bahwa kebijaksanaan negara itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuknya yang nyata. (c) Bahwa kebijaksanaan negara baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. (d) Bahwa kebijaksanaan negara itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

Sedangkan W.I. Jenkins (dalam Wahab, 2004:4) merumuskan kebijaksanaan negara sebagai

“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within the power of these actors to achieve”


(27)

(Serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih berserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut). Berdasarkan beberapa defnisi di atas, dapat disimpulkan kebijakan negara adalah segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang.

2. Tinjauan Tentang Perumusan Kebijakan

Chief J.O. Udoji (Wahab, 2004:17) merumuskan pembuatan kebijaksanaan negara sebagai

The whole process of articulating and defening problems, formulating possible

solutions into political demands, chanelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the prefered course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.

(Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik)).

Menurut Anderson (Wahab, 2004:27-28) mengungkapkan nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokan menjadi lima kategori, yaitu:


(28)

1. Nilai-nilai Politik. Pembuatan keputusan mungkin melakukan penilaian atas alternatif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya alternatif-alternatif itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik, dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.

2. Nilai-nilai Organisasi. Para pembuat keputusan, khususnya birokrat (sipil dan militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya. Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak selaku pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk melihat organisasinya tetap lestari, untuk tetap maju atau untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.

3. Nilai-nilai Pribadi. Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejahteraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial, reputasi diri, atau posisi historis kemungkinan juga digunakan oleh para pembuat keputusan sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan. Para politisi yang menerima uang sogok untuk


(29)

membuat keputusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok, misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan atau panandatanganan kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan para wartawan bahwa ia akan menggebuk siapa saja yang bertindak inkonstitusional, jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya, misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis

4. Nilai-nilai Kebijaksanaan. Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik itu semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas persepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang memperjuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.

5. Nilai-nilai Ideoligis. Ideoligi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan


(30)

gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman bertindak bagi masyarakat yang meyakininya.

George A. Stemer dan John B. Miner (1997:45-46) menyatakan ada beberapa aspek gejala dalam lingkungan sosial politik dalam penyusunan dan penerapan kebijakan, yaitu perubahan nilai, kritik dunia usaha, pluralisme, lingkungan internal. Ibnu Syamsi (2000: 23-25) mengatakan pengambilan keputusan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor-faktor:

1. Keadaan Intern Organisasi

Keadaan intern organisasi akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Keadaan intern itu meliputi: dana yang tersedia, kemampuan karyawan, kelengkapan dari peralatan, struktur organisasinya, tersedianya informasi yang dibutuhkan pimpinan, dan lain sebagainya. Keputusan yang memerlukan biaya, tetapi keadaan keuangan tidak mendukungnya, akan mengurangi kualitas keputusan. Hal ini terpaksa diambil dengan mengingat dan menyesuaikan dengan dana yang tersedia untuk itu. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengerahan karyawan, terpaksa harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas karyawan yang ada. Begitu pula halnya dengan peralatan yang menurut keputusan yang seharusnya menggunakan peralatan yang canggih tetapi karena terbatasnya peralatan dan fasilitas terpaksa diambil keputusan yang tidak optimal.


(31)

Suatu keputusan diambil untuk mengatasi masalah dalam organisasi. Masalah dalam organisasi itu beraneka ragam. Kadang-kadang masalah yang sama tetapi situasi dan kondisinya berbeda, pemecahannya pun harus berbeda pula. Untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi organisasi, lebih dahulu harus diketahui apa yang menjadi penyebab dan apa akibatnya kalau masalah itu tidak segera dipecahkan. Untuk dapat mengetahui sebab dan akibat masalah tersebut, maka perlu pengumpulan data yang ada kaitannya langsung atau tidak langsung dengan masalah itu. Data-data tersebut kemudian diolah sehingga akhirnya merupakan informasi. Informasi yang diperlukan harus lengkap sesuai kebutuhan, terpercaya kebenarannya, dan masih aktual. Berdasarkan informasi inilah pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan baik.

3. Keadaan Ekstern Organisasi

Dalam sistem organisasi terbuka, kegiatan organisasi tidak dapat terlepas dari pengaruh luar. Antara organisasi dan lingkungan ekstern saling mempengaruhi. Oleh karena itu pengambilan keputusan harus mempertimbangkan lingkungan di luar organisasi. Keadaan atau lingkungan di luar organisasi itu dapat berupa keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan lain sebagainya. Keputusan yang diambil dalam organisasi harus memperhatikan situasi ekonomi, kalau keputusan itu berkaitan dengan bidang ekonomi. Keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku. Keputusan yang diambil apabila berkaitan langsung atau tidak langsung dengan politik, jangan sekali-kali bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah.


(32)

Tepat tidaknya keputusan yang diambil juga sangat tergantung kecakapan dan kepribadian pengambil keputusan. Hal ini meliputi: penilaiannya, kebutuhannya, tingkatan inteligensinya, kapasitasnya, kapabilitasnya, keterampilannya, dan sebagainya.

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan menurut G.R. Terry adalah sebagai berikut (Syamsi, 2000: 26) : (1) Hal-hal yang berwujud maupun tidak berwujud, yang emosional maupun rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. (2) Setiap keputusan nantinya harus dapat dijadikan bahan untuk mencapai tujuan organisasi. (3) Setiap keputusan janganlah berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi harus lebih mementingkan kepentingan organisasi. (4) Jangan sekali ada satu pilihan yang memuaskan (oleh karena itu selalu buatlah alternatif-alternatif tandingan). (5) Pengambilan keputusan itu merupakan tindakan mental. Dan tindakan mental ini kemudian harus diubah menjadi tindakan fisik. (6) Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan waktu yang cukup lama. (7) Diperlukan pengambilan keputusan yang praktis untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. (8) Setiap keputusan hendaknya dilembagakan, agar dapat diketahui apakah keputusan yang diambil itu betul (atau salah). (9) Setiap keputusan itu merupakan tindakan permulaan dari serangkaian mata rantai kegiatan berikutnya.

Menurut Irfan Islamy (2003:25) beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:


(33)

Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan dengan nama

rational comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan

harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian “rasional” semata, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar itu ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya.

b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme)

Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan stilah “sunk costs”) seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali dipergunakan untuk membiayai programa-programa tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang berkenaan dengan itu telah dikritik sebagai salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-lebih kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang memuaskan.

Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaan-kebasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya. Apalagi para administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirnya.


(34)

Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan keputusan. Seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang dalam, tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada di luar bidang pemerintahan.

e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggung jawabnya kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya.

Dari uraian-uraian di atas maka peneliti cenderung lebih setuju dengan defnisi menurut Irfan Islamy tentang faktor yang mempengaruhi pembuatan


(35)

kebijaksanaan dijadikan faktor sosial politik dalam perumusan kebijakan. Hal ini dikarenakan menurut penulis faktor yang diungkapkan oleh Irfan Islamy sesuai dengan definisi faktor sosial dan politik yang telah diterangkan sebelumnya. Yaitu pengaruh yang berasal dari hubungan pergaulan manusia di dalam masyarakat, dan segala hal untuk mendapatkan kekuasaan.

Faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan sering datang dari tekanan-tekanan dari luar. Keadaan masyarakat merupakan salah satu faktor sosial yang sering menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Hal ini menjadikan masyarakat memiliki kekuatan secara politik dalam perumusan kebijakan. Tekanan-tekanan dari luar bisa berasal dari masyarakat yang dapat berupa adat istiadat masyarakat setempat atau dari kelompok-kelompok di luar organisasi pemerintah.

Kebiasaan baik yang terdapat di dalam masyarakat maupun dalam diri pembuat kebijakan yang berupa sifat-sifat pribadi dari pembuat keputusan, bisa menjadi faktor dalam perumusan kebijakan. Kebiasaan dan sifat-sifat pribadi itu termasuk dalam faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan. Ini dikarenakan kedua hal tersebut berasal dari pengaruh pergaulan manusia di dalam masyarakat. Kebiasaan dan sifat pribadi juga mempengaruhi pandangan politik seseorang dalam mengambil kebijakan.

Sejarah atau pengalaman seseorang juga mempengaruhi dirinya dalam perumusan keputusan yang dibuat. Keadaan di masa lalu ini merupakan salah satu faktor sosial dalam perumusan kebijakan. Sejarah atau pengalaman ini merupakan hasil


(36)

interaksi manusia di dalam masyarakat. Pengalaman ini akhirnya mempengaruhi pola pikir pembuat kebijakan dalam perumusan kebijakan.

Perumusan kebijakan negara akan lebih mudah dipelajari apabila menggunakan suatu pendekatan atau model tertentu (Islamy, 2000:34). Ada beberapa model perumusan kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Diantaranya model institusional, model elit massa, model kelompok, dan model sistem politik.

a. Model Institusional

Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah – seperti misalnya lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif; pada pemerintahan pusat (nasional), regional dan lokal. Sehubungan dengan itu maka kebijaksanaan negara secara otomatis dirumuskan dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Terdapat hubungan yang kuat sekali antara kebijaksanaan negara dan lembaga-lembaga pemerintah, hal ini disebabkan karena sesuatu kebijaksanaan tidak dapat menjadi kebijaksanaan negara kalau ia tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah (Islamy, 2000:37).

b. Model Elit Massa

Kelompok elit yang bertugas membuat dan melaksanakan kebijaksanaan digambarkan dalam model ini sebagai mampu bertindak/berbuat dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis, kerancuan informasi, sehingga massa menjadi pasif. Kebijaksanaan negara mengalir dari atas ke bawah,


(37)

yaitu dari golongan elit ke golongan massa. Kelompok elit yang mempunyai kekuasaan dan nilai-nilai elit berbeda dengan massa. Dengan demikian kebijaksanaan negara adalah merupakan perwujudan keinginan- keinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang berkuasa (Islamy, 2000:39).

c. Model Kelompok

Model ini menganut paham teori kelompoknya David B. Truman yang menyatakan bahwa interaksi diantara kelompok-kelompok adalah merupakan kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik secara formal maupun informal ke dalam kelompok kepentingan (interst group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah. Kelompok kepentingan semakin mempunyai arti yang penting dalam proses dan kegiatan politik. Dan sebenarnya politik itu adalah merupakan perjuangan diantara kelompok-kelompok untuk mempengaruhi kebijakan negara. Menurut teori kelompok, kebijaksanaan negara itu adalah merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan sistem politik adalah menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut (Islamy, 2000:42).

d. Model Sistem Politik

Model sistem politik ini diangkat dari uraian David Easton dalam “The Political

System”. Model ini didasari pada konsep teori informasi (inputs, withinputs,


(38)

sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada di sekitarnya. Kebijakan negara dipandang oleh model ini sebagai hasil (output) dari sistem politik. Konsep sistem politik mempunyai arti sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (support) dan sumber-sumber (resources) – semuanya ini adalah masukan-masukan (inputs) – menjadi keputusan-keputusan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang otoratif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Dengan singkat dikatakan bahwa sistem politik berfungsi mengubah

inputs menjadi outputs. Sistem politik yang terdiri dari badan-badan legislatif,

eksekutif, yudikatif; kelompok kepentingan, media massa; anggota-anggota masyarakat; tokoh-tokoh masyarakat (golongan elit); sikap dan perilaku pembuat keputusan dan sebagainya semuanya berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah inputs menjadi outputs (Islamy, 2000:44-45).

Dari uraian tentang model perumusan kebijakan di atas, peneliti cenderung lebih setuju dengan model sistem politik yang diuraikan David Easton dalam menganalisis proses perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Ini dikarenakan model ini menganalisis perumusan kebijakan dari sudut pendekatan proses. Selain itu model ini juga mendeskripsikan dimensi sosial politik dalam perumusan kebijakan. Pihak-pihak yang terdapat dalam sistem politik seperti badan eksekutif; kelompok kepentingan, media massa; anggota-anggota masyarakat; tokoh-tokoh masyarakat (golongan elit); sikap dan perilaku pembuat keputusan. Dalam perumusan kebijakan dengan menggunakan model sistem politik, perumusan kebijakan


(39)

tersebut juga ditentukan faktor sosial politik yang dapat dilihat lingkungan eksternal dan internal. Yang dimaksud dengan lingkungan eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar negara Indonesia. Sedangkan lingkungan internal adalah segala hal yang terjadi di dalam negara Indonesia

E. Kerangka Pikir

Di Indonesia sering terjadi maladminstrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Masyarakat yang ingin melaporkan adanya maladministrasi biasanya melaporkan ke pihak pengadilan atau ke instansi tempat terjadinya maladminstrasi. Pengaduan melalui pengadilan biasanya memakan waktu dan biaya yang banyak. Sedangkan pengaduan laporan ke instansi tempat terjadinya maladministrasi biasanya sering tidak ditindak lanjuti oleh instansi tersebut. Masyarakat terutama dari golongan masyarakat miskin juga terkadang takut melaporkan terjadinya maladmnistrasi karena takut mendapat ancaman dari pihak yang merasa dirugikan oleh laporannya. Guna menanggapi tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintahan yang transparan, bersih, dan bebas KKN, maka Presiden Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Antonius Sujata (2006:7-8) dalam tulisannya Peranan Ombudsman Dalam Pencegahan Korupsi dan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik menyatakan tantangan terbesar yang dihadap Indonesia saat ini adalah bagaimana membangun kredibilitas agar mayoritas rakyat patuh serta mau bekerja sama dengan pemerintahnya. Kredibilitas dapat diproses serta dikembangkan melalui


(40)

program-program yang memberi kesejahteraan kepada banyak orang, ataupun dengan memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Agar para individu, terutama masyarakat golongan rendah dan miskin, secara terus menerus tidak menjadi korban penyalahgunaan wewenang maka masyarakat sendiri harus mendapatkan tempat untuk melakukan pengawasan. Institusi tersebut telah kita kenal dengan nama Ombudsman.

Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena penyelenggaraan pemerintah dan penyelenggaraan negara pada hakikatnya didasarkan atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan Ombudsman adalah pengawasan riel, yaitu pengawasan untuk memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah. Komisi Ombudsman Nasional berdiri sejak 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000.

Ide awal pembentukan Ombudsman di Indonesia tercetus saat diskusi antara Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman berserta Antonius Sujata. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk sebagai lembaga pengawasan terhadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara guna mencegah dan mengatasi terjadinya maladministrasi. Bentuk pengawasan dari Ombudsman adalah pengawasan secara moral dan berbentuk pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman terhadap aparatur negara.

George A. Stemer dan John B. Miner (1997:45-46) menyatakan ada beberapa aspek gejala dalam lingkungan sosial politik dalam penyusunan dan penerapan


(41)

kebijakan, yaitu perubahan nilai, kritik dunia usaha, pluralisme, lingkungan internal.

Menurut Irfan Islamy (2003:25) beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:

a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme) c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Terdapat faktor sosial politik dalam perumusan Keputusan Presden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan menurut Irfan Islamy di atas sudah mencakup faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan. Faktor sosial adalah pengaruh yang berasal dari hubungan pergaulan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan faktor politik adalah segala hal untuk mendapatkan kekuasaan.

Faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan sering datang dari tekanan-tekanan dari luar. Keadaan masyarakat merupakan salah satu faktor sosial yang sering menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Hal ini menjadikan masyarakat memiliki kekuatan secara politik dalam perumusan kebijakan. Tekanan-tekanan dari luar bisa berasal dari masyarakat yang dapat berupa adat


(42)

istiadat masyarakat setempat atau dari kelompok-kelompok di luar organisasi pemerintah.

Kebiasaan baik yang terdapat di dalam masyarakat maupun dalam diri pembuat kebijakan yang berupa sifat-sifat pribadi dari pembuat keputusan, bisa menjadi faktor dalam perumusan kebijakan. Kebiasaan dan sifat-sifat pribadi itu termasuk dalam faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan. Ini dikarenakan kedua hal tersebut berasal dari pengaruh pergaulan manusia di dalam masyarakat. Kebiasaan dan sifat pribadi juga mempengaruhi pandangan politik seseorang dalam mengambil kebijakan.

Sejarah atau pengalaman seseorang juga mempengaruhi dirinya dalam perumusan keputusan yang dibuat. Keadaan di masa lalu ini merupakan salah satu faktor sosial dalam perumusan kebijakan. Sejarah atau pengalaman ini merupakan hasil interaksi manusia di dalam masyarakat. Pengalaman ini akhirnya mempengaruhi pola pikir pembuat kebijakan dalam perumusan kebijakan.

Perumusan kebijakan negara akan lebih mudah dipelajari apabila menggunakan suatu pendekatan atau model tertentu (Islamy, 2000:34). Ada beberapa model perumusan kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Diantaranya model institusional, model elit massa, model kelompok, dan model sistem politik. Dari uraian tentang model perumusan kebijakan di atas, peneliti cenderung lebih setuju dengan model sistem politik yang diuraikan David Easton dalam menganalisis proses perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Ini dikarenakan model ini menganalisis perumusan kebijakan dari sudut pendekatan proses. Selain itu model


(43)

ini juga mendeskripsikan dimensi sosial politik dalam perumusan kebijakan. Pihak-pihak yang terdapat dalam sistem politik seperti badan eksekutif; kelompok kepentingan, media massa; anggota-anggota masyarakat; tokoh-tokoh masyarakat (golongan elit); sikap dan perilaku pembuat keputusan. Dalam perumusan kebijakan dengan menggunakan model sistem politik, perumusan kebijakan tersebut juga ditentukan faktor sosial politik yang dapat dilihat lingkungan eksternal dan internal.


(44)

Bagan Kerangka Pikir

Maraknya maladministrasi di Indonesia

Tuntutan masyarakat adanya reformasi administrasi

Faktor Sosial Politik dalam perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi

Ombudsman Nasional berdasarkan lingkungan eksternal dan internal

Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem politik menurut David Easton diantaranya:

a. badan eksekutif b. kelompok kepentingan c. media massa

d. anggota-anggota masyarakat

e. sikap dan perilaku pembuat keputusan. Proses Perumusan

Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Travers menyatakan metode deskriptif bertujuan menggambarkan sesuatu sifat, suatu yang tengah sedang berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa suatu gejala tertentu (Umar, 2004: 22). Menurut Moleong (2006: 6) penelitian kualitatif adalah penelitan yang bermaksud untuk memaham fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Bogdan dan Taylor (Moleong, 2006: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif berusaha untuk mengungkapkan fenomena secara menyeluruh dan sesuai dengan konteksnya (holistik-kontekstual), mendalam (in depth) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai


(46)

instrumen kunci. Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada realitas yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2006: 9-10).

Penelitian ini ditekankan pada metode kualitatif deskriptif yang menekankan proses penelitian dari pada hasil penelitian, sehingga bukan kebenaran mutlak yang dicari tetapi pemahaman mendalam tentang sesuatu. Dengan penelitian kualitatif, penelitian ini bermaksud memperoleh pemahaman menyeluruh dan mendalam mengenai faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional melalui proses wawancara mendalam (indepth interview) dan pengumpulan data dari pihak-pihak yang terkait.

B. Fokus Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian kualitatf disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum (Sugiyono, 2006:233). Fokus pada dasarnya adalah masalah pokok yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun kepustakaan lainnya (Moleong, 2006: 97). Fokus penelitian bermanfaat bagi suatu pembatasan mengenai obyek kajian yang diangkat. Manfaat lainnya adalah agar peneliti tidak terjebak pada banyaknya atau melimpahnya data yang diperoleh di lapangan, yakni data mana yang diperlukan dan mana yang tidak.


(47)

Penetapan fokus penelitan berfungsi dalam memenuhi kriteria-krteria, inklusi-inklusi atau memasukannya mengeluarkan suatu informasi yang diperoleh dilapangan. Perumusan masalah dan fokus penelitian saling terkait, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan penetapan fokus penelitian, meskipun fokus dapat berubah dan berkurang sesuai dengan data yang ditentukan di lapangan. Dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, akan membuat keputusan tepat tentang apa yang akan dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah ataupun mana yang akan dibuang.

Secara sederhananya fokus penelitian adalah hal-hal ataupun fenomena yang menjadi pusat penelitian dari seorang peneliti. Fokus pada penelitian ini dibagi menjadi dua, pertama adalah proses pembentukan Komisi Ombudsman Nasioonal, serta pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Kedua faktor sosial politik dalam perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Faktor sosial politik ini di lihat berdasarkan lingkungan eksternal dan internal.

C. Lokasi Penelitian

Penetapan lokasi dalam penelitian ini adalah ditentukan dengan sengaja (purposive). Moleong (2004:86) menyatakan bahwa cara yang terbaik ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori substanstif dalam mengajak lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Sementara itu, keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, dan tenaga perlu juga


(48)

dijadikan pertimbangan dalam penetuan lokasi penelitian. Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Komisi Ombudsman Nasional yang merupakan lembaga pemerintah yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat. Saat ini Komisi Ombudsman Nasional telah berganti nama menjadi Ombusman Republik Indonesia.

D. Jenis dan Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984) dalam Moleong (2006:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

1. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya (Hasan, 2002:82). Dalam Penelitian ini sumber data dapat diperoleh melalui wawancara tatap muka antara peneliti dengan informan. Ketika peneliti memasuki lokasi penelitian terlebih dahulu dicari dan ditentukan Key informan-nya (informan kunci). Dalam mengumpulkan data, peneliti menentukan informan secara purposive sampling yaitu pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006:54)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini seperti anggota dan asisten Ombudsman Republik Indonesia yang dalam hal ini adalah organisasi yang


(1)

paling korup di dunia dengan indeks 1,94, di bawah Cina (2,16) dan Pakistan (2,25). Berdasarkan laporan TI yang diumumkan pada 31 Juli 1997, dilaporkan Indonesia berada di peringkat ketujuh negara-negara paling korup di dunia.

3. Media Massa

Media massa merupakan pilar keempat dalam demokrasi. Fungsinya adalah sebagai kontrol sosial baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Peran media massa dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya memberitakan tentang beberapa kasus maladministrasi yang melibatkan aparatur negara terutama saat masa Orde Baru.

4. Anggota Masyarakat

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari luar pemerintah, yaitu dari masyarakat dan mahasiswa untuk

menyelesaikan berbagai

penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Masyarakat dan mahasiswa yang merasa dirugikan oleh perilaku penyelenggara negara, semenjak munculnya gerakan reformasi menjadi semakin sering dan berani menyampaikan rasa kekecewaan mereka kepada pemerintah. Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap penyelenggara negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.

5. Sikap dan perilaku pembuat keputusan

Dalam perumusan kebijakan, sifat pribadi dari pembuat kebijakan juga turut mempengaruhi hasil kebijakan. Sifat-sifat pribadi yang dimaksud adalah sifat pribadi pembuat kebijakan, yang dalam penelitian ini ialah Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pembuat Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Dari hasil wawancara Antonius Sujata dengan TVRI Sumatra Utara pada Februari dapat disimpulkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid memiliki sikap kepedulian akan penderitaan rakyat yang menjadi korban dan objek dari pelayanan, sedangkan aparat pengawasan kurang efektif. Beliau memiliki komitmen yang luar biasa terhadap pemerintahan yang bersih. Akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Kepututsan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Pada perumusan kebijakan yang menggunakan model sistem politik, faktor lingkungan juga mempengaruhi output atau hasil dari kebijakan tersebut. Lingkungan yang dimaksud dibagi menjadi dua yaitu lingkungan eksternal dan internal.

1. Lingkungan Eksternal

a. Tekanan Lembaga Donor Dana Internasional

Faktor lingkungan eksternal diantaranya berasal dari tuntutan lembaga pendonor dana internasional yang menginginkan pemerintah merubah tata kelola pemerintahan menjadi lebih baik dengan menggunakan prinsip Good


(2)

Governance. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang menimpa negara-negara di Asia, khususnya Asia Tenggara. Nilai tukar rupiah terhdap dolar merosot sangat drastis, utang luar luar negeri menjadi membengkak dalam tempo singkat (Sembel, 2001:11). Untuk bisa keluar dari krisis tersebut, negara-negara di Asia harus meminjam dana dari lembaga donor milik negara-negara liberal seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan World Bank.

Lembaga donor tersebut mengharuskan negara yang meminjam dana dari mereka untuk menerapkan prinsip Good Governance dalam pemerintahannya. Hal ini sebagai jaminan yang diberikan oleh pemerintah bagi mereka untuk dapat mengembalikan pinjaman yang diberikan. Pada awal 1900-an, diadakan pertemuan negara-negara donor yang dipromotori oleh Bank Dunia. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai “Konsensus Washington”. Dalam pertemuan ini terungkap banyak bantuan asing “bocor” akibat praktik bad governance (pemerintahan yang tiddak akuntabel, tidak transparan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dll). Oleh karena itu, kemudia disepakati bahwa penerima bantuan harus diberi persyaratan (conditionality), yaitu kesediaan untuk mempraktekan good governance (keterbukaan, demokrasi, cheks and balance, dan lain-lain). Maka sejak pertengahan 1900-an, bantuan asing disertai kondisionalitas untuk mengurangi kebocoran bantuan asing dan efektivitas pemerintahan negara berkembang (Santosa, 2008:130). Penerapan prinsip Good Governance pada pemerintahan Indonesia membuat pemerintah Indonesia harus menjamin adanya

pelayanan publik yang baik yang diberikan oleh penyelenggara negara. Salah satu upaya pemerintah adalah membentuk lembaga pengawasan pelaksanaan pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara negara. Lembaga tersebut adalah Komis Ombudsman Nasional.

b. Globalisasi Ekonomi

Indonesia ikut dalam globalisasi ekonomi ditandai dengan adanya hubungan dagang dan kerjasama ekonomi Indonesia dengan negara lain. Salah satu bentuk globalisasi perekonomian adalah terbentuknya pasar bebas dunia. Para pengusaha yang ada di pasar bebas menuntut pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Salah satu bentuk hambatan tersebut adalah adanya sistem birokrasi dan pelayanan publik yang buruk.

Globalisasi perekonomian yang terjadi saat ini menuntut pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik guna meningkatkan ivestasi atau modal asing yang masuk ke Indonesia. Perbaikan pelayanan publik ini juga untuk merespon permintaan investor asing untuk merubah sistem birokrasi. Akhirnya pemerintah masa reformasi membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan oleh pemeritah. Pembentukan komisi ini juga menandai kesungguhan tekad pemerintah untuk memperbaiki sistem birokrasi dan administrasi negara di Indonesia.

2. Lingkungan Internal

a. Tuntuan Demokratisasi Pelayanan Publik


(3)

Lingkungan internal dari negara Indonesia yang mempengaruhi perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya adanya desakan dari masyarakat Indonesia untuk memperbaiki pelayanan publik yang ada. Keadaan sosial masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru cenderung menganut budaya patologi birokrasi (Hariandja, 2003: 116). Budaya patologi ini menyebabkan adanya krisis kepercayaan rakyat Indonesia kepada pemerintah. Pemerintah masa Orde Baru lebih cenderung memberi kemudahan dalam pelayanan publik kepada pihak-pihak yang dekat atau mempunyai hubungan baik dengan pihak penguasa. Hal inilah yang membuat masyarakat kurang percaya kepada tokoh-tokoh yang menjalankan pemerintahan. Masyarakat Indonesia menuntut pemerintah masa reformasi untuk memperbaiki sistem birokrasi dan pelayanan publik yang ada di Indonesia.

Dengan latar belakang seperti itu, pemerintah ingin merubah citra sistem birokrasi dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan menjadi lebih baik. Hal ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Guna menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, maka pemerintah pada masa reformasi berusaha untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara negara. Salah satu caranya dengan membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik yang bernama Komisi Ombudsman Nasional. Hal ini penting dilakukan karena untuk membuat masyarakat percaya kepada pemerintah, sehingga akan kembali memilih mereka pada

pemilu. Dengan demikian tokoh-tokoh yang ada dalam pemerintahan Indonesia akan tetap bisa melanggengkan kekuasaan mereka di Indonesia.

b. Tuntutan Pemulihan Krisis Ekonomi

Pada tahun 1997 krisis moneter menimpa negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Krisis di Indonesia salah satu penyebabnya adalah sistem birokrasi di Indonesia pada masa Orde Baru yang memberi kemudahan bagi pemilik modal untuk mengusai sumber daya yang ada di Indonesia, termasuk yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Para pemilik modal ini diberikan kemudahan karena memiliki hubungan dekat dengan pemerintah. Saat krisis moneter berlangsung, banyak perusahaan-perusahaan besar yang diberikan kemudahan tersebut mengalami kebangkrutan. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha ini banyak yang dibawa lari ke luar negeri. Hutang Indonesia kepada luar negeri juga semakin meningkat. Akibatnya nilai tukar rupiah turun tehadap dolar, harga-harga kebutuhan pokok meningkat, dan banyak pengangguran.

Masyarakat yang merasa menderita akibat krisis yang menimpa Indonesia, meminta pemerintah masa reformasi segera mengatasi krisis tersebut. Tuntutan-tuntuan dari masyarakat tersebut sering disuarakan oleh mahasiswa melalui aksi unjuk rasa kepada pemerintah. Seiring dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie, tuntutan-tuntutan masih terus digulirkan sampai menyentuh wilayah-wilayah yang paling rawan dari kekuasaan Orde Baru.


(4)

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan keadaan dari krisis ekonomi ialah dengan merubah sistem birokrasi dan pelayanan publik yang ada di Indonesia menjadi lebih baik. Dengan merubah sistem birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia menjadi lebih baik dan bebas KKN, diharapkan dapat meningkatkan investasi ke Indonesia. Perbaikan pelayanan publik juga diharapkan dapat membuat pengusaha kecil semakin mengembangkan usahanya. Salah satu usaha untuk memperbaiki pelayanan publik adalah dengan mendirikan Komisi Ombudsman Nasional. Dengan adanya komisi ini diharapkan dapat mengurangi maladministrasi dan dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia. Dengan demikian Indonesia akan cepat melalui krisis moneter yang berlangsung.

KESIMPULAN

Selama pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan penyelewengan kekuasaan yang mengakibatkan krisis pada tahun 1997. Hal tersebut membuat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Mundurnya Soeharto dijadikan awal perubahan paradigma pelayanan publik, yang semula lebih mendahulukan kelompok tertentu terutama dari kelompok ekonomi ke atas, menjadi melayani semua masyarakat dari segala golongan. Guna memperbaiki kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara negara, Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Komisi ini

betugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara negara. Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya (1) Badan Eksekutif dan Yudikatif, (2) Kelompok kepentingan, (3) Media Massa, (4) Anggota Masyarakat, (5) Sikap dan perilaku pembuat keputusan.

Faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dilihat dari lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal tersebut berasal dari lembaga donor dana internasional dan inestor asing yang menginginkan pemerintah Indonesia menerapkan Good Governace. Serta adanya tntutan globalisasi perekonomian.

Sedangkan lingkungan internal yang menjadi faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional adalah adanya budaya patologi yang ada di Indonesia. Budaya tersebut menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Selain itu juga untuk mempercepat pemulihan krisis ekonomi di Indonesia. Untuk itu pemerintah membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk memberikan jaminan adanya pengawasan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara. Adijondro, George Jubus. 2006. Korupsi Kepresidenan. Yogyakarta. LkiS.

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Djajadi, M. Iqbal, dkk. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Djuhandar, Erom. 2005. Sosiologi Politik. Bandar Lampung. Penerbit Universitas Lampung. Fatah, Eep Saefulloh. 1999. Bangsa Saya Yang Menyebalkan. Bandung. PT Remaja

Rosdakarya.

Hariandja, Denny B.C. 2003. Birokrasi Nan Pongah. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Hikam, Muhammad A.S. 1999. Politik Kewarganegaraan Landasan Redemokrasi di

Indonesia. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Ibrahim, Amin. 2008. Pokok-Pokok Administrasi Publik & Implementasinya. Bandung. PT Refika Aditama.

Islamy, M. Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara.

Maran, Rafael Ragan. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. Moleong, Lexy J. 2006. Metodelogi Peneltian Kualitatif. Bandung. Penerbit PT Remaja

Rosdakarya.

Rodeo, Carlton Clymer dkk. 2008. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta. PT Rahagrafindo Persada. Santoso, Pandji. 2008. Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung.

PT Refika Aditama.

Sembel, Roy. 2001. Berpikir Ekonomis Di Masa Krisis. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Steiner, George A. dan John B. Miner. 1997. Kebijakan dan Strategi Manajemen. Jakarta.

Penerbit Erlangga.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Sujata, Antonius dan Surachman. 2002. Ombudsman Indonesia di Tengah Ombudsman Internasional. Jakarta. Komisi Ombudsman Nasional.

Sujata, Antonius. dkk. 2002. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Mendatang. Jakarta. Komisi Ombudsman Nasional.

Sujata, Antonius. dkk. 2006. Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi Serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik. Jakarta. Komisi Ombudsman Nasional.

Sutarto. 1993. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Syafiie, Inu Kencana, dan Azhari. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung. PR Refika

Aditama..

Syamsi, Ibnu. 2000. Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara.

Syamsi, Ibnu. 1994. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.

Untung, Bejo. dkk. Studi Perbandingan Komisi Informasi dan Ombusman RI. Jakarta. Yayasan SET.

Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara.

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Rineka Cipta.

Dokumen-Dokumen:


(6)

(http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=GoodGovernance&op=detail_artikel&id=4, diakses 6 April 2009).

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/03/05123652/doa.umat.lintas.agama.untuk.g us.dur,diakses 2 Februari 2010

http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurahman_Wahid, diakses 12 April 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_Publik, diakses 22 Maret 2010

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281968_1998%29. diakses 12 April 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29, diakses 12 April 2010

http://groups.yahoo.com/group/kunci-l/message/2261, diakses 9 Februari 2010 http://www.asiarisk.com, diakses 17 Desember 2009

http://mrdewa.blogspot.com/2008/03/reformasi-administrasi-definisi-dan.html, diakses 24 Agustus 2009

http://one.indoskripsi.com/node/7332, diakses 22 Maret 2010 http://www.pemantauperadilan.com

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Jakarta.

Laporan Tahunan 2002 Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2007 Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2008 Ombudsman Republik Indonesia. Majalah Sinar Nomor 32/Tagun III, 4 Mei 1996

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Jakarta.