REPRODUKSI SEKSUAL SPONS Fragmentasi buatan dan reproduksi seksual spons Aaptos aaptos dalam upaya perbanyakan stok koloni di alam

65

IV. REPRODUKSI SEKSUAL SPONS

PENDAHULUAN Latar Belakang Morfologi spons sebagai phylum Porifera sangat sederhana. Sel epitel atau pinacosit terletak pada lapisan luar tubuh dan di seluruh permukaan tubuh tersebut terdapat ostia yang merupakan lubang masuknya air. Masuknya air dipompa oleh sel berflagella yang dinamakan choanosit, dan air yang masuk ini menyediakan partikel makanan dan oksigen. Setelah metabolisme dilakukan oleh spons sisa metabolisme di keluarkan melalui oskulum. Bagian terbesar dari tubuh spons adalah mesohyl yaitu matriks gelatin yang merupakan tempat menempelnya sel- sel yang ada di dalam tubuh spons seperti archaeosit, choanosit, dan amebosit. Mesohil juga merupakan tempat berkembangnya sel-sel reproduksi spons seperti oosit dan spematosit. Pada mesohyl juga terdapat elemen skeletal dari tubuh spons yang dinamakan spikul seperti struktur benang, terbuat dari silikon atau kalsium karbonat dan spongin fiber colagen. Kesederhanaan struktur spons ini menyebabkannya unik diantara hewan lain. Keunikan spons digambarkan dari adanya sistem aquiferous yang memungkinkan seluruh air yang melewatinya masuk ke dalam tubuh spons dan sel-sel yang ada di dalam tubuh spons bersifat totipoten yaitu dapat berubah sesuai dengan kebutuhan. Meskipun spons memiliki struktur morfologis yang sangat sederhana tetapi dapat melakukan aktivitas metabolisme secara sempurna termasuk aktivitas reproduksi. Aktivitas reproduksi pada spons ditunjukkan dari pemijahan pengeluaranrelease telur, sperma, zygot, atau larva yang dapat diamati secara langsung di lapangan in situ maupun melalui analisis secara histologis terhadap jaringan yang diamati. Hasil dari kedua pengamatan tersebut dapat menentukan seksualitas spons. Seksualitas pada spons dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu: hermaprodit, yaitu jenis spons yang menghasilkan baik gamet jantan maupun betina selama hidupnya, dan gonokhorik, yaitu spons yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya Kozloff, 1990; Ruppert dan Barnes, 1991. Cara reproduksi pada spons terbagi kedalam dua kategori, yaitu: 66 ovipar dan vivipar. Kebanyakan ordo Astrophorida, Spirophorida, Hadromerida, Axinellida dari sub kelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong ovipar Sara, 1992. Tipe reproduksi spons dari jenis yang sama bisa berbeda pada lokasi yang berbeda Witte dan Barthel, 1994, dan cara reproduksi ovipary dan vivipary umumnya ditentukan hanya berdasarkan gambaran konservatif. Pendapat pertama mengatakan bahwa cara reproduksi ovipar dan vivipar adalah konsistensi dari level taxa yang lebih tinggi sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa tipe reproduksi spons merupakan karakteristik dari sejarah hidup yang dipadukan dengan siklus hidup spons. Seksualitas pada spons Aaptos aaptos masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian yang mendalam karena seksualitas ini bisa berbeda tergantung lokasi tempat tumbuhnya. Tipe dan cara reproduksi spons Aa pertama kali diungkapkan oleh Sara 1961 dalam Sara 1992 dalam bentuk tabulasi untuk membuat klasif ikasi tipe dan cara reproduksi beberapa jenis spons dan sumber data berasal dari beberapa peneliti. Sumber data untuk spons Aa berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Sara 1961. Haris 2004 juga telah menentukan tipe dan cara reproduksi spons Aa di perairan Pulau Barrang Lompo, Sulsel, Indonesia. Akan tetapi kedua penentuan tersebut terbatas dari analisis histologis jaringan spons dan belum dari pengamatan pengeluaran atau pelepasan hasil pemijahan spons Aa secara langsung di alam in situ. Belum dilakukan penelitian tentang hasil pemijahan tersebut termasuk perkembangan hasil pemijahan apakah telur, zygot, atau embrio. Juga dari hasil analisis histologis pada penelitian sebelumnya hanya memastikan bahwa gamet yang ada di jaringan mesohyl spons Aa adalah telur atau sperma berdasarkan perkembangan gamet sebelum pemijahan terjadi. Sehingga belum diketahui apakah spons Aa melakukan fertilisasi secara internal atau eksternal walaupun cara reproduksinya adalah ovipar. Fell 1974 dalam Sara 1992, mengatakan bahwa sponge vivipar mengeluarkan larva parenchymella atau amphiblastula dan sponge ovipar mengeluarkan telur yang belum dibuahi unfertilized eggs atau zygot yang telah dibuahi fertilized eggs. Beberapa spons ovipar, contohnya adalah Cliona celata, fertilisasi terjadi secara internal, sehingga gamet yang dikeluarkan sudah 67 berbentuk zygot atau embrio. Walaupun pada spesies lain yang juga memiliki cara reproduksi ovipar, yaitu Tetilla serica, fertilisasi terjadi secara eksternal Watanabe, 1978; Sara, 1992. Berdasarkan uraian di atas, dianggap penting untuk melakukan penelitian tipe dan cara reproduksi spons Aa sebagai penentu seksualitas spons berdasarkan pengamatan histologisnya dan pengamatan pemijahan in situ serta mengamati perkembangan hasil pemijahan tersebut. Sehingga bisa ditentukan fertilisasinya apakah secara internal atau eksternal. Karena data yang dikemukakan oleh peneliti lain masih belum mengemukakan tentang fertilisasi spons Aa. Periode pemijahan spons Aa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ayling 1980 di pantai timur bagian barat east coast of northern New Zealand sangat singkat yaitu hanya satu bulan, dari September sampai Oktober. Hasil penelitian tersebut diperoleh dari analisis histologis selama 2 tahun 1976-1978 dan menunjukkan bahwa gamet yang ditemukan hanya sel telur atau oosit dan tidak ditemukan gamet jantan. Spons Aa dengan periode reproduksi yang singkat memijahkan oosit dan sperma secara simultan dan kondisi sebaliknya terjadi pada spons Polymastia sp dan P. Hirsuta yang memiliki periode reproduksi yang panjang, akan memijahkan oosit terlebih dahulu kemudian disusul oleh sperma pada akhir periode reproduksi. Selain itu penelitian tentang pemijahan spons Aa secara langsung di alam dan pengaruh parameter lingkungan pada saat proses tersebut berlangsung masih belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga belum diketahui faktor lingkungan yang menjadi pemicu terjadinya pemijahan tersebut. Proses pemijahan yang sudah sering diamati adalah yang dilakukan oleh karang Reiswig, 1973 dalam Sidri et al., 2005. Penelitian lain yang dilakukan di Laut Mediteranean menunjukkan bahwa perkembangan gamet dan pemijahan, murni dipengaruhi oleh perubahan suhu dan sangat sulit diramalkan terjadinya. Menurut Simpson 1984, sebagian besar hasil penelitian reproduksi spons yang telah dilakukan menunjukan bahwa tipe reproduksinya adalah vivipar dan masih sedikit yang diketahui bertipe ovipar Mariani et al., 2000. Tipe vivipar spons memudahkan dalam melakukan pengamatan untuk mengetahui siklus hidup spons melalui perkembangan dan 68 pengeluaran larvanya, karena yang di hasilkan adalah yang sudah berbentuk larva Gaino et al., 1987. Menurut Sidri et al., 2005, sulitnya mengidentifikasi tipe reproduksi spons vivipar atau ovipar karena tidak mudah untuk menemukan spons yang sedang melakukan reproduksi dan juga menemukan tempat dan waktu yang tepat pada saat spons melakukan pemijahan. Beberapa spesies spons lain seperti Chondrilla nucula di Mediteranean melakukan reproduksi secara seksual dan aseksual. Tipe reproduksi seksual spons ini adalah ovipar sedangkan reproduksi aseksualnya dilakukan dengan cara fragmentasi, yang memungkinkan spons dengan cepat dapat menyebar di substrat dan membentuk koloni yang lebih besar. Brummer et al., 2003; Sidri et al., 2005. Spesies ini memiliki tipe reproduksi gonokhoris, akan tetapi pengeluaran gamet dan perkembangan larvanya belum diteliti Boury- Esnault, 2002. Pada spons ovipar lain seperti Polymastia robusta menunjukkan bahwa yang dipijahkan ke kolom air adalah zigot dan embrio Simpson, 1984. Diantara beberapa faktor ekologis yang mempengaruhi reproduksi spons, suhu air sering diasumsikan merupakan faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons di wilayah temperate atau wilayah empat musim, dimana perubahan musim terjadi secara drastis Fell, 1983. Tiga penelitian yang dilakukan di Caribean tentang waktu reproduksi spons Reiswig 1976; Hoppe and Reichert, 1987; Hoppe; 1988 dalam Fromont dan Bergquist, 1994 menunjukkan bahwa terjadi sinkronisasi synchronous pada pelepasan gamet 4 jenis spons ovipar. Dan pelepasan gamet Neofibularia nolitangere sangat kuat berkorelasi dengan fase bulan Hoppe dan Reichert, 1988. Walaupun pada invertebrata perairan, suhu sangat tergantung pada kondisi setempat, namun pada spons laut selain suhu juga beberapa faktor eksternal lain diketahui mempengaruhi reproduksi seksual Witte et al., 1994 yaitu fase bulan dan cahaya. Wilayah tropis, termasuk Indonesia dimana perubahan suhu cenderung kecil atau tidak terjadi secara drastis, sangat sedikit penelitian yang mengkaji tentang reproduksi spons dan pengaruh faktor eksternal yaitu suhu, pasang surut, dan cahaya. Penting untuk melakukan penelitian tentang keterkaitan waktu pemijahan dan fase bulan atau fase bulan dan pengaruhnya terhadap tingkat kematangan oosit spons Aa di Indonesia. 69 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji waktu pemijahan dan pengaruh faktor eksternal terhadap pemijahan spons laut Aaptos aaptos Aa 2. Mengkaji seksualitas spons Aaptos aaptos melalui penentuan tipe, cara reproduksi, dan fertilisasinya 3. Mengkaji tahap perkembangan gamet spons Aaptos aaptos di alam berdasarkan fase bulan lunar periode 70 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2006 sampai dengan Juni 2007, di Gugusan Kepulauan Pari, dan Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Darmaga. Lokasi penelitian di Gugusan Pulau Pari terletak disebelah barat Pulau Burung ST1 05 52 ’ 05,5” LS dan 106 35 ’ 71,2’’ BT perairan gugusan Kepulauan Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Gambar 3. Penelitian untuk mengetahui struktur morfologis spons Aa dan tingkat kematangan dan ukuran oosit spons Aaptos aaptos dilakukan pada tanggal 6 Maret 2007 sampai 7 Juni 2007 secara histologis dan diawali dengan pengambilan sample di lapangan yang dilakukan pada tanggal 12 Mei 2006 sampai 11 Juli 2006 yaitu pada fase bulan selama 2 periode. Dilanjutkan dengan pengawetan dan proses histologis sample pada bulan Juli 2006 sampai dengan Maret 2007. Pengawetan, pembuatan preparat histologis dan pengamatan sampel Aaptos aaptos di lakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian untuk melihat dan mengamati waktu pemijahan spons Aa secara in situ di lapangan dilaksanakan pada tanggal 14 Juni 2006 -11 Juli 2006 dan dilanjutkan dengan pengamatan hasil pemijahan di laboratorium Biologi Laut dengan menggunakan mikroskop pada tanggal 15 Juli 2006 sampai 31 Juli 2006. Sebagai pendukung penelitian tentang pemijahan maka dilakukan juga pengukuran terhadap faktor eksternal yaitu: suhu, pasang surut, dan intensitas cahaya bulan. Prosedur Penelitian Struktur Morfologis Spons Pengambilan sampel untuk preparat histologi dilakukan pada kedalaman 6-7 meter dan diambil sebanyak 3 buah potongan sample dengan ukuran 2x2x2 cm 3 . Spons yang diambil dipotong dengan pisau stainless stell Gambar 20A dan dimasukkan ke dalam plastik sampel Gambar 20B. Sampel kemudian difiksasi dalam campuran formalin 40 dan air laut dengan perbandingan 1:9 dalam wadah plastik sampai sampel terendam. Kemudian contoh disimpan dalam keadaan dingin dengan menggunakan cool box. 71 Setelah difiksasi selama satu minggu, sampel spons tersebut kemudian didesilfikasi dengan menggunakan HF hydroflouric acid Ilan dan Loya, 1988 dalam larutan Formaldehid, hydroflouric acid, Asetic acid dan Aquades selama sekitar 24 jam dan selanjutnya disimpan dalam alkohol 70 untuk sementara waktu sebelum dilakukan pembuatan preparat histologik. Sumber: Koleksi Pribadi Gambar 20. Pengambilan contoh spons; A Pemotongan sampel spons, B Penyimpanan sampel spons ke dalam plastik Pembuatan preparat histologik dilakukan dengan metode parafin menurut Gunarso 1989 dan Kiernan 1990. Tahapan metode tersebut adalah mencakup : 1 Pengambilan jaringan disection menggunakan silet; 2 Fiksasi fixation; 3 Dehidrasi dehydration menggunakan alkohol bertingkat 70 – 100 ; 4 Penjernihan clearing menggunakan xylol; 5 Infiltrasi infiltration menggunakan parafin cair pada inkubator bersuhu 65 o C; 6 Penanaman embedding menggunakan parafin cair; 7 Penyayatan section menggunakan mikrotom 5µm; 8 Afiksing afixing; 9 Deparafinasi deparaffination menggunakan xylol; 10 Pewarnaan staining menggunakan pewarnaan Hematoxylin-Eosin HE, tahap akhir dari pewarnaan adalah mounting dengan menggunakan entelan. Waktu Pemijahan Spons Aaptos aaptos in situ Pengambilan data proses pemijahan spons dilakukan pada setiap perwakilan fase bulan. Pengamatan dimulai pada fase bulan tiga perempat yaitu tanggal 14, 15, 16 dan 18 Juni 2006, fase bulan matibaru pengamatan dilakukan tanggal 24, A B 3 Cm 3 Cm 72 26 dan 28 Juni 2006, fase bulan seperempat pengamatan dilakukan pada tanggal 30 Juni, 03 dan 04 Juli 2006 dan fase bulan purnama pengamatan dilakukan tanggal 07, 08, 09, 10 dan 11 Juli 2006. Pengambilan dan pengamatan sampel dilakukan pada pukul 16.00-20.00 WIB. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menangkap hasil pemijahan yang dikeluarkan pada saat proses pemijahan berlangsung dengan menggunakan plastik sampel. Sampel yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam botol sampel botol film, selanjutnya diawetkan dengan menggunakan lugol dan kemudian diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop. Identifikasi dilakukan untuk melihat hasil pemijahan tiap fase bulan. Selain itu juga dilakukan pengambilan sample yang tidak diawetkan dan secara langsung kurang dari satu jam diamati di bawah mikroskop untuk melihat perkembanannya. Sample hidup ini diambil dengan menggunakan pipet dan spat jarum suntik ukuran 50 ml. Sample yang diambil disuntikan secara perlahan ke atas objek gelas yang telah dibuat seperti sandwich dengan cover gelas dan memastikan bahwa sample masuk ke cekungan objek gelas yang digunakan. Selanjutnya sample diamati di bawah mikroskop untuk melihat perkembangannya. Keterkaitan Pemijahan dan Fase Bulan Keterkaitan pemijahan spons dengan fase bulan diketahui melalui pengukuran suhu, pasang surut, dan cahaya bulan. Suhu perairan diukur dengan menggunakan termometer Hg. Termometer dimasukkan kedalam air selama kurang lebih dua menit kemudian pembacaan nilai suhu dilakukan pada saat termometer masih berada didalam air agar nilai suhu yang terukur tidak dipengaruhi oleh suhu udara. Pasang surut diukur dengan menggunakan tiang penggaris setinggi 4 meter yang dipasang di dermaga LIPI, Pulau Pari. Pengukuran dilakukan setiap 15 menit dalam 24 jam selama 1 bulan dan kemudian data yang diperoleh ditabulasi sesuai dengan fase bulan yaitu mati, seperempat, purnama, tigaperempat. Sedangkan cahaya bulan diukur dengan 73 menggunakan underwater lux meter LUTRON LX 101A pada semua fase bulan kecuali bulan mati. Tingkat Kematangan dan Ukuran Oosit Spons Aaptos aaptos Tingkat kematangan dan ukuran oosit spons diketahui dengan melakukan penanganan terhadap sample yang sudah diambil di lapangan dengan membuatkan preparat histologis yang sama prosedurnya dengan pengamatan struktur morfologis spons dan sudah diuraikan di atas. Yang berbeda adalah pada pengamatan terhadap preparat yang dihasilkan yaitu pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap tingkat kematangan dan ukuran oosit spons pada setiap kantung atau saluran yang ditemukan. Pengaruh Fase bulan Terhadap Tingkat Kematangan Oosit Hasil pengamatan terhadap tingkat kematangan oosit yang sudah diperoleh ditabulasi sesuai dengan tanggal pengambilan sample di lapangan dan dikelompokkan berdasarkan fase bulan untuk dianalisis lebih lanjut keterkaitannya. Analisis Data Analisis hasil pemijahan Sampel yang telah diambil dari pengeluaran hasil pemijahan spons kemudian diawetkan dan diidentifikasi untuk dilihat hasilnya, apakah hasil pemijahan yang dikeluarkan berupa gamet jantan sperma, gamet betina telur, atau larva. Selain itu juga ada sample yang diambil tanpa diawetkan dan diamati di bawah mikroskop kurang dari 1 jam. Identifikasi sampel dengan menggunakan mikroskop cahaya dan photomicroskopik. Hasil identifikasi akan menjelaskan tipe reproduksi pada spons Aa apakah gonokhorik atau hermaprodit dan cara reproduksinya apakah ovipar atau vivipar. Analisis Keterkaitan Pemijahan dan Fase Bulan Data frekuensi pemijahan spons Aa secara in situ dan faktor eksternal ditabulasikan berdasarkan fase bulan selama satu periode dan selanjutnya 74 dijelaskan secara deskriptif. Data perbedaan pasang surut air laut kisaran yang terjadi pada setiap fase bulan dihitung selisihnya untuk mengetahui penambahan kolom air yang paling maksimal selama fase bulan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap terjadinya pemijahan spons Aa. Juga dicantumkan data suhu air dan intensitas cahaya bulan pada tabel yang disusun. Analisis data histologi Data histologis yang diperoleh terdiri dari data struktur morfologis, kematangan dan ukuran oosit. Struktur morfologis spons Aa didasarkan pada keberadaan jaringan, sel, maupun spikul pada preparat yang diperoleh dan selanjutnya pada foto hasil fotomikrografi dibuatkan tanda panah yang mengarah kepada jaringan, saluran, sel, atau spikul yang diperoleh. Tingkat kematangan oosit didasarkan pada keberadaan dan perkembangan oosit sampel histologik pada setiap fase bulan, yaitu pada fase bulan mati, bulan sperempat, bulan purnama dan bulan tigaperempat. Kematangan oosit spons Aaptos aaptos dianalisis secara desktriptif dengan cara mengamati karakter jaringan oosit tersebut secara histologik pada preparat dan gambar hasil fotomikrografi. Ukuran oosit diperoleh dari panjang diameter oosit yang terdapat pada preparat histologis. Densitas oosit spons dihitung dengan menggunakan rumus Abercombie 1941 seperti yang disarankan oleh Elvin 1976 dalam Corriero et al., 1996, yaitu ............................. 7 dimana: d = densitas N = jumlah gamet yang diobservasi di masing-masing potongan t = ketebalan potongan 5 µm D = nilai rata-rata diameter 10 gamet k = faktor konstan yang mengkonversi volume potongan 1 mm 3 k t D t N d + = 75 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur morfologis spons Aaptos aaptos Aaptos aaptos merupakan spons laut yang memiliki permukaan berwarna coklat sedangkan bagian dalam berwarna kuning kunyit. Spons ini pada habitat alaminya tampak seperti bongkahan-bongkahan berbentuk masif tidak beraturan. Lubang pelepasan utama oskulum terletak pada ujung spons dan dapat dilihat secara visual pada spons yang berukuran besar atau sudah memiliki diameter lebih dari 10 cm. Gambar struktur morfologis spons Aaptos aaptos dan sistem saluran air leuconoid dapat dilihat pada Gambar 21 sedangkan irisan melintang tubuh spons Aaptos aaptos berdasarkan preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 22. Irisan melintang jaringan spons memperlihatkan adanya lapisan mesohyl yang didalamnya terdapat spikula dan kantong gamet, serta sistem saluran air, sedangkan pada bagian luarnya menunjukkan adanya pinacoderm dengan lubang- lubang ostianya yang merupakan tempat masuknya air yang membawa makanan ke dalam tubuh spons. Gambar 21. Sketsa sistem saluran air leuconoid pada spons Brusca dan Brusca, 1990 76 Gambar 22. Irisan melintang tubuh spons; A lapisan pinacoderm, B saluran oskulum, C kantong gamet, D oosit, E mesohyl, F saluran air pewarnaan Hematoksilin-Eosin Spikula yang tampak pada permukaan tubuh spons dikokohkan oleh serat- serat kolagen dan lendir yang biasanya dikeluarkan melalui rongga yang terletak di antara serat-serat ‘spongin’ dan jalur-jalur spikula. Spikula tersebut menempel pada lapisan mesohyl spons yaitu suatu jaringan yang terletak diantara pinacoderm lapisan luar dan endoderm lapisan dalam spons. Irisan melintang jaringan spons juga menunjukkan adanya saluran air masuk yaitu ostia Gambar 23A, spikula Gambar 23B, jalur spikula Gambar 23C dan serat spongin Gambar 23D. Spons bisa berdiri secara vertikal karena ditunjang oleh spikula dan serat spongin yang membentuk kerangka, menopang tubuh spons sehingga berdiri vertikal dan mencegahnya rontok. Ilan et al., 2004. 77 Gambar 23. Morfologi spons Aa; A. Saluran air masuk ostia, B. Spikula, C. Jalur-jalur spikula, D. Serat Spongin pewarnaan Hematoxylin – Eosin Waktu Pemijahan Spons Aaptos aaptos in situ Penelitian terhadap waktu pemijahan spons dilakukan untuk mendukung hasil penelitian spons yang dilakukan dengan analisis secara histologis. Pemijahan spons Aa sebanyak 3 koloni diamati dua jam sebelum dan dua jam sesudah matahari terbenam yaitu sekitar pukul 16.00-20.00 WIB. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi pemijahan paling sering terjadi sesaat sebelum dan sesudah matahari terbenam yaitu pada pukul 17.00-19.00 WIB. Hasil pemijahan yang dikeluarkan pada spons Aa menyerupai lendir transparan dan dikeluarkan dengan cepat melalui oskulum yang tertutup dan kemudian terbuka untuk menyemprotkan hasil pemijahan Gambar 24. Oskulum yang menutup diduga A C D B 78 kuat sedang berkontraksi agar diperoleh tekanan yang dapat mendorong hasil pemijahan dan dapat berlangsung dengan cepat serta keluar dan melayang ke kolom perairan kemudian dibawa oleh arus. Sketsa pemijahan spons dapat dilihat pada Gambar 24. Sumber : Koleksi Pribadi Gambar 24. Sketsa pemijahan spons jenis Aa a-c; foto pemijahan spons d Hasil pemijahan spons Aa yang melayang di kolom air berlangsung sekitar 5-10 detik, kemudian tersebar dan tidak terlihat lagi dalam kolom air karena terbawa oleh arus. Pemijahan terjadi juga di oskulum lain pada sisi yang bersebelahan dari oskulum spons yang diamati. Hasil pengamatan pada pemijahan spons jenis Aa diduga bahwa gamet yang dikeluarkan adalah telur yang telah dibuahi zygot dan embrio, dugaan ini diperkuat dengan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap sample yang tidak diawetkan dan diamati langsung di bawah mikroskop kurang dari satu jam setelah sample diperoleh. Sample tersebut memperlihatkan bahwa hasil pemijahan sudah mengalami fertilisasi didalam tubuh spons yaitu terlihat dari zygot yang mulai c d b a Osk u lu m t e r t u t u p 79 robek dan beberapa embrio dengan tingkatan pembelahan yang berbeda. Pembelahan zygot dimulai dengan terlihat adanya zygot yang telah terfertilisasi 28a dan robeknya selaput pada satu sisi Gambar 25 b. Pembelahan selanjutnya adalah menghasilkan 2 sel Gambar 25 c dan setelah beberapa saat terlihat sel Gambar 25. Hasil pemijahan spons Aa; a-b zygot spons Aa hasil pemijahan, c-e embrio hasil pemijahan, f telur yang gagal dibuahi e d Embrio Embrio 20 µm b zygot 20 µm a zygot c Enbrio 20 µm f Telur 80 membelah menjadi 12 Gambar 25d. Selanjutnya adalah tahapan embrio spons mengalami invaginasi sebelum menjadi blastula Gambar 25f. Hasil pemijahan yang diperoleh juga memperlihatkan adanya telur yang gagal dibuahi Gambar 25f. Fenomena ini memperlihatkan bahwa fertilisasi spons jenis Aa ini terjadi secara internal yaitu telur yang dikeluarkan telah dibuahi oleh sperma menjadi zygot dan cara reproduksi seperti ini dinamakan ovipar. Cara reproduksi spons Aa yang ovipar juga dikemukakan oleh Sara 1992 dan didukung oleh Ilan et al., 2004 yang mengatakan bahwa pada spons yang ovipar oosit yang telah dibuahi di dalam tubuh spons oleh spermatozoa diletakkan dulu di lapisan mesohil selanjutnya dikeluarkan dari tubuh dan kemudian menetas. Kondisi yang sama terjadi juga pada spons ovipar Polymastia robusta yang menunjukkan bahwa yang dipijahkan ke kolom air adalah zygot dan embrio Simpson, 1984. Akan tetapi pada spons ovipar lain yaitu Chondrilla nucula walaupun sudah diketahui bahwa spons ini bertipe gonokhoris dan cara reproduksinya adalah ovipar namun belum dilakukan penelitian terhadap pengeluaran gamet dan perkembangan larvanya Boury- Esnault, 2002 sehingga belum diketahui pasti apakah fertilisasinya dilakukan secara internal atau eksternal. Pengamatan terhadap pemijahan spons secara in situ pada setiap fase bulan dilakukan pada H-3 sampai H+1 pada pukul 16.00-20.00 WIB. Pemilihan waktu pengamatan tersebut didasarkan pada pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya terhadap spons Aa pada pagi hari pukul 05.00-08.00 WIB. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terjadi pemijahan pada pagi hari. Berdasarkan hasil tersebut dilakukan penelitian terhadap pemijahan spons Aa pada sore menjelang malam hari dan ditemukan bahwa spons Aa melakukan pemijahan pada sore menjelang malam hari. Pelepasan gamet atau pemijahan pada karang terjadi pada saat matahari tenggelam Veron, 1986. Karang Acropora nobilis waktu 81 pemijahan berlangsung dari akhir sore hari hingga menjelang tengah malam Chair, 2004. Sebagai perbandingan, soft coral dan beberapa gorgonians melakukan pemijahan pada saat beberapa jam setelah matahari terbenam Benayahu et al., 1988; Zaslow dan Benayahu, 1996 dalam Fabricius dan Alderslade, 2001. Dan pada spons jenis Neofibularia nolitangere di pantai Curacao, pelepasan gamet pertama kali terjadi pada sore hari yaitu 3 hari sesudah bulan purnama. Pelepasan berlangsung mulai pukul 14.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 16.00 serta berakhir pada pukul 18.30 sesaat setelah matahari terbenam sunset Hoppe dan Reichert, 1987. Pengamatan pada saat fase bulan tiga perempat 18 Juni 2006 dilakukan pada tanggal 14, 15, 16, 18 Juni 2006, namun tidak memperlihatkan adanya pemijahan Lampiran 12. Pengamatan pada saat fase bulan matibaru akhir Juni 2006 dilakukan pada tanggal 24, 26, 28 Juni 2006. Pemijahan terjadi pada tanggal 28 Juni 2006 tepat sehari setelah fase bulan matibaru. Pemijahan mulai terlihat pada pukul 16.30-18.00 WIB, dan frekuensi pemijahan tertinggi terjadi pada pukul 16.30-17.00 WIB Gambar 26. Pengamatan fase bulan seperempat 3 Juli 2006 dilakukan pada tanggal 30 Juni, 3, 4 Juli 2006. Pemijahan terjadi pada semua tanggal pengamatan, pemijahan terjadi pada pukul 16.00-19.00 WIB, dan puncak pemijahan pada pukul 17.00- 19.00 WIB. Frekuensi pemijahan terbanyak terjadi pada tanggal 4 Juli 2006 tepat sehari setelah fase bulan seperempat Gambar 27. Diduga pemijahan terjadi pada fase bulan seperempat karena gamet spons mulai matang dan faktor eksternal lain seperti pengaruh cahaya bulan yang akan segera memasuki fase bulan purnama, sehingga frekuensi pemijahan mulai sering terlihat. 82 Fase bulan matibaru 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 2462006 2662006 matibaru 2862006 Waktu pemijahan Frekuensi kali Fase bulan purnama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 07072006 08072006 09072006 10072006 purnama 11072006 Waktu pemijahan Frekuensi kali Fase bulan seperempat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 16,00 16,30 17,00 17,30 18,00 18,30 19,00 19,30 3062006 03072006 seperempat 04072006 Waktu pemijahan Frekuensi kali Diolah berdasarkan Lampiran 12 Gambar 26. Pemijahan pada fase bulan matibaru. Diolah berdasarkan Lampiran 12 Gambar 27. Pemijahan pada fase bulan seperempat Diolah berdasarkan Lampiran 12 Gambar 28. Pemijahan pada fase bulan purnama 83 Pengamatan pada fase bulan purnama 10 Juli 2006 dilakukan pada tanggal 7, 8, 9, 10, 11 Juli 2006. Pada fase bulan purnama ini terlihat adanya peningkatan frekuensi pemijahan secara drastis dan dengan nilai frekuensi yang berbeda setiap tanggal pengamatannya. Pemijahan terjadi pada semua tanggal pengamatan, dan frekuensi pemijahan tertinggi terjadi pada tanggal 10 dam 11 Juli 2006. Terlihat bahwa puncak pemijahan terjadi pada pukul 17.00-19.00 WIB Gambar 28. Pemijahan spons pada fase bulan purnama diduga juga karena adanya pengaruh dari cahaya bulan yang bersinar paling terang. Waktu pemijahan Aa dominan terjadi pada pukul 17.00-19.00 WIB yaitu pada saat matahari akan segera terbenam. Periode waktu pada setiap spawning berkisar 4 - 41 menit, dan rata-rata periode pemijahan selama pengamatan adalah 5 - 6 menit. Selama penelitian tidak pernah terlihat spermatozoa atau gamet jantan yang dikeluarkan pada saat pemijahan. Hal ini diduga karena rendahnya proporsi antara jantan dan betina di dalam populasi, atau bisa juga disebabkan karena sangat cepatnya perkembangan sperma sehingga menyebabkan sulit untuk dideteksi keberadaannya pada saat sampling dilakukan. Kondisi seperti ini ditemukan juga pada spons Neofibularia nolitangere di Carribean Ilan et al., 2004. Karena fertilisasi dilakukan secara internal maka pengeluaran sperma untuk kemudian masuk ke individu betina melalui ostia terjadi sebelum pengeluaran zygot. Hasil penelitian pemijahan secara in situ ini ditemukan bahwa tipe reproduksi spons jenis Aa adalah bersifat gonokhorik yaitu individu spons hanya memproduksi gamet jantan atau betina saja selama hidupnya dan cara reproduksinya adalah ovipar dengan mengeluarkan telur yang telah terfertilisasi di dalam tubuh spons atau zygot dan dari pengamatan kurang dari satu jam ditemukan embrio yang telah berkembang menjadi 16 sel. 84 Keterkaitan Pemijahan dan Fase bulan Faktor eksternal yang mempengaruhi reproduksi spons sangat berkaitan dengan faktor pemicu terjadinya pemijahan pada spons. Kapan terjadinya pemijahan merupakan penentu terhadap kelangsungan hidup spons selanjutnya. Faktor eksternal yang mempengaruhi pemijahan spons adalah fase bulan dan fase bulan ini dihubungkan dengan fenomena yang menyertai saat terjadinya perubahan fase bulan yaitu suhu air, cahaya, dan kisaran pasang surut air laut atau tides rhytm. Hasil penelitian keterkaitan pemijahan dan fase bulan disajikan pada Tabel 7 yang juga menyajikan lama terjadinya pemijahan pada setiap fase bulan. Kisaran selisih muka laut pada saat pasang dan surut diperoleh dari pengukuran dalam 1 periode bulan dan dilakukan setiap 15 menit selama 24 jam. Tabel 7. Faktor eksternal yang mempengaruhi pemijahan spons Aa Fase bulan Jumlah pemijahan jam Suhu air C Cahaya Bulan lux Kisaran Pasut cm ¾ 30,0 – 30,5 0,01 39 Mati 4 29,0 – 29,5 0,002 85 ¼ 16 29,0 – 29,5 0,01 68 Purnama 33 28,0 – 28,5 1,00 95 Beberapa peneliti mengatakan bahwa pemijahan spons berkaitan dengan suhu air baik di wilayah musim empat temperate maupun tropis. Coriero et al, 1996; Ettinger-Epstein, 2007. Permulaan gametogenesis umumnya dipengaruhi oleh peningkatan Mercurio et al., 2007 atau maksimumnya suhu air Fromont, 1999. Akan tetapi menurut Ereskovsky, 2000 juga dipengaruhi oleh suhu minimum. Menurutnya, secara normal larva dikeluarkan pada saat suhu mencapai maksimum, atau dimulai pada saat suhu mencapai maksimum Mariani et al., 85 2005. Kondisi sebaliknya, beberapa spons melakukan reproduksi sepanjang tahun baik di wilayah tropis maupun temperate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat terjadinya pemijahan pada setiap fase bulan terdapat perbedaan suhu air, yaitu tertinggi terjadi pada fase bulan 34 30,0 C - 30,5 C dan terendah pada fase bulan purnama 28,0 C - 28,5 C. Perbedaan suhu air ini diduga merupakan salah satu pemicu terjadinya pemijahan dan kondisi ini didukung oleh hasil yang menunjukkan pemijahan paling sering terjadi pada saat fase bulan purnama H-33 hari sebelum pucak purnama sampai H+11 hari setelah puncak purnama tgl 9 Juli 2006 yaitu selama 33 jam. Kisaran pasut atau tinggi pasut hasil penelitian menunjukkan perbedaan tertinggi terjadi saat fase bulan purnama yaitu 95 cm, dibandingkan dengan fase bulan mati, seper empat, dan tiga perempat masing-masing 85 cm, 68 cm dan 39 cm. Penambahan kolom air ini diduga secara tidak langsung mempengaruhi pemijahan spons Aa melalui perubahan suhu air. Beberapa penelitian sebelumnya tidak mendeskripsikan secara rinci kaitan antara fase bulan dan pemijahan khususnya penambahan kolom air ini. Yang dikemukakan adalah perubahan suhu air saja dan dari hasil penelitian ini diduga bahwa perubahan suhu air sebagai akibat dari penambahan kolom air melalui selisih tinggi kolom air pada saat penelitian dilakukan. Hoope dan Reichert 1987 menjelaskan juga bahwa pemijahan spons jenis Neofibularia nolitangere di daerah tropis berhubungan erat dengan fase bulan. Dengan demikian fase bulan dan pasang surut serta interaksinya dapat menjadi faktor eksternal penting dalam menentukan waktu pemijahan. Kisaran pasut atau tinggi pasut yang diukur selama penelitian dengan selang waktu setiap 15 menit selama 24 jam disajikan pada Gambar 29. 86 Uraian di atas menunjukkan bahwa suhu berperan besar dalam mengontrol pemijahan spons dan suhu yang ideal untuk spons jenis Aaptos aaptos dalam reproduksi adalah 28 C. Sebagai perbandingan hubungan antara kisaran suhu dan reproduksi ditemukan pada Haliclona loosanoffi adalah kisaran suhu antara 20 C dan 27 C Sara, 1992. Tetapi pada umumnya spons reproduktif sepanjang tahun di daerah tropis, sebagai akibat kestabilan suhu perairan Sara, 1992. Sebagai referensi peningkatan suhu atau instensitas cahaya memberikan kontribusi pada pemilihan waktu gametogenesis pada spons perairan tropis di Great Barrier Reef. Tiga parameter iklim suhu laut, cahaya sinar matahari, dan curah hujan berhubungan dengan awal dan penghentian aktifitas reproduksi pada tiga jenis spons, yaitu: Haliclona amboinensis, Haliclona cymiformis, dan Niphates nitida Fromont, 1994. Menurut Fromont 1988 spons jenis Xestospongia testudinaria yang berbentuk lunak soft form memijah sehari setelah bulan baru new moon pada saat puncak pasang surut peak tidal range dan suhu rata-rata harian air laut sekitar 27.4 C pada tahun 1986. Pada tahun 1987, spons dengan bentuk lunak dari jenis ini, termasuk yang diamati pada tahun 1986, memijah 6-7 hari setelah bulan penuh full moon pada saat kisaran minimum pasang surut minimum tidal kisaran dan suhu rata-rata air laut sekitar 28 C. Pada bentuk yang keras hard form spons jenis Xestospongia testudinaria menunjukkan adanya hubungan antara pemijahan dan siklus bulan. Tahun 1986, bentuk keras dari spons jenis ini memijah sehari setelah bulan penuh full moon dan hanya setelah kisaran maksimum pasang-surut maximum tidal kisaran. Hasil penelitian Hoppe 1987 menunjukkan bahwa spons jenis Agelas clathrodes memijah secara sinkronis selama pertengahan Juli pada sore hari pada periode fase bulan antara bulan tigaperempat dan bulan baru. Spons jenis Chondrilla australiensis pemijahan 87 terjadi pada 4-5 hari setelah akhir musim panas dan musim gugur, pada saat pasang tinggi Usher et al., 2004. Diolah dari Lampiran 13 Gambar 29 . Pasang surut air laut di Pulau Pari selama 1 periode fase bulan Faktor eksternal lain yang juga berperan dalam pemijahan spons Aa adalah cahaya. Beberapa jenis invertebrata laut termasuk karang pencahayaan dapat menentukan awal pematangan gonad dan atau waktu pemijahan Babcock et al., 1994. Cahaya merupakan faktor pokok sebagai pemicu terjadinya pemijahan spons. Menurut Maldonado 2006 faktor lingkungan yang mempengaruhi pola reproduksi spons adalah suhu, fotoperiod, dan siklus bulan, dan suhu air merupakan faktor yang paling berperan mempengaruhi reproduksi Fell, 1993. Pelepasan gamet pada spons Neofibularia nolitangere terjadi setelah bulan purnama full moon dan berlangsung selama 3 hari Babock et al., 1986. Hoppe 88 dan Reichert 1987 memberikan pendapat yang sama mengenai faktor yang mempengaruhi pemijahan pada spons dan karang. Aktivitas pelepasan gamet pada spons dimulai pada pukul 14.00 sampai dengan sesaat sesudah matahari terbenam. Hasil penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa intensitas cahaya bulan terbesar terjadi pada fase bulan purnama dan jika dihubungkan dengan lama terjadinya pemijahan spons maka terlihat bahwa pada fase bulan purnama dimana cahaya bulan mencapai maksimum yaitu 1 lux adalah masa paling lama 33 jam spons Aa melakukan pemijahan jika dibandingkan dengan fase bulan mati, seperempat, dan tigaperempat. Hal ini menunjukkan bahwa cahaya merupakan pemicu terjadinya pemijahan pada spons dan kondisi ini juga terjadi pada spons jenis Chondrila australiensis Usher et al., 2001 yang melakukan pemijahan pada fase bulan purnama dimana cahaya bulan maksimum. Pengaruh cahaya terhadap pemijahan spons juga dikemukakan oleh Amano 1988 melalui penelitian yang dilakukannya secara eksperimen terhadap species Callyspongia ramosa. Hasilnya menunjukkan bahwa cahaya yang dipancarkan diterima oleh larva dan bukan oleh induk spons karena spons tidak memiliki ovary, larva yang terbungkus oleh folikel tertanam di mesohyl. Struktur folikel dan mesohyl sangat sederhana untuk dapat menerima stimulus cahaya dan membentuknya menjadi fungsi yang sangat rumit yang berasosiasi dengan pelepasan larva. Saat distimulasi oleh cahaya, larva yang sudah siap dilepaskan akan bermigrasi ke saluran keluar. Faktor lain yang juga diduga menjadi pemicu terjadinya pemijahan adalah keberadaan agen penanda. Tetapi dalam penelitian ini belum dilakukan dan menjadi sangat penting untuk dilakukan pada saat mendatang sebagai pelengkap dari hasil penelitian yang sudah diperoleh saat ini. Agen penanda ini dikemukakan oleh Hoppe dan Reichert 1987 yang melakukan penelitian terhadap spons Neofibularia nolitangere dan hasilnya menunjukkan bahwa agen penanda yaitu pheromone berasal dari spons betina yang memicu terjadinya spermatogenesis pada spons jantan. Tingkat Kematangan dan Ukuran Oosit Spons Aaptos aaptos Spons tidak memiliki ciri-ciri seksual sekunder yang dapat digunakan untuk membedakan seksualitasnya. Sehingga dibutuhkan analisis seksualitas 89 berdasarkan preparat histologisnya yang telah difoto secara mikro. Spermatogonia pada spons berasal dari choanocytes dan archaeocytes amoebocytes karena ada fakta yang menunjukkan bahwa choanocytes mengalami transformasi ke archaeocytes amoeboocytes atau sebaliknya Sara, 1992. Demikian juga dengan Oogonia pada spons yaitu berasal dari archaeocytes atau choanocytes Harrison dan de Vos, 1991. Berdasarkan pengamatan pada sekitar 50 preparat histologis yang berasal dari 9 koloni spons tidak ditemukan gamet jantan atau spermatosit baik bersama gamet betina atau oosit maupun sendiri, dan hanya ditemukan gamet betina yaitu oosit selama dua periode fase bulan Mei-Juli. Ketiadaan gamet jantan ini diduga disebabkan karena rendahnya proporsi jantan di dalam populasi spons Aa, atau juga dapat disebabkan karena cepatnya perkembangan spermatosit sehingga menyebabkan sulit untuk dideteksi keberadaannya pada saat sampling dilakukan. Kondisi seperti ini ditemukan pada spons Neofibularia nolitangere di Carribean Ilan et al., 2004 yaitu sperma spons berkembang dan dikeluarkan hanya dalam 7 hari Hoppe dan Reichert,1987; Ilan et al., 2004. Selain itu juga berdasarkan penelitian Hoppe dan Reichert 1987 pada jenis spons yang sama menunjukkan bahwa spons betina melakukan aktivitas lebih awal dan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan spons jantan. Fakta ini diduga disebabkan karena kesulitan untuk mengetahui pelepasan spema pada intensitas rendah. Kondisi ini juga didukung oleh hasil pengamatan pemijahan secara in situ terhadap spons Aa di Pulau Pari yang tidak menemukan pelepasan gamet jantan selama penelitian dilakukan dalam satu fase bulan pada H-3 sampai H+1 setiap fase bulan purnama, matibaru, tigaperempat, dan seperempat. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa tipe reproduksi pada spons Aa diduga adalah gonokhorik. Tipe gonokhorik pada Aaptos aaptos juga di temukan oleh Ayling 1980 di Lautan Pasifik, Selandia Baru, juga oleh Sara 1992 di Perairan Italia, dan oleh Haris 2005 di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Tipe reproduksi gonokhorik yang ditemukan pada Aaptos aaptos yang hidup di perairan Pulau Pari merupakan tipe reproduksi yang umum ditemukan pada spons Ordo Hadromerida, seperti pada jenis Tethya crypta, Tethya citrina Tethydae; 90 Chondrosia reniformis, Chondrilla nucula Chondrosiidae; Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos Polymastiidae Sara, 1992. Berdasarkan pengamatan secara langsung di alam dan hasil pengamatan preparat histologis, diduga bahwa cara reproduksi spons Aaptos aaptos di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah ovipar. Cara reproduksi ovipar pada Aaptos aaptos juga ditemukan oleh Sara 1961 dalam Sara 1992 di Perairan Italia. Jenis spons yang melakukan reproduksi dengan cara ovipar, oosit yang telah dibuahi diletakkan di lapisan mesohyl, selanjutnya dikeluarkan dari tubuh spons dan kemudian menetas Kozloff, 1990; Ilan et al., 2004. Salah satu bentuk ovipar pada beberapa spons dari kelas Demospongiae, oosit dan awal embrio tersimpan pada rangkaian gelatin yang melekat pada permukaan bagian luar induk betina spons, perkembangan tahap larva parenchymula terjadi pada pembungkus lendir ini Brusca dan Brusca, 1990. Spermatogonia pada spons berasal dari choanocytes dan archaeocytes amoebocytes karena ada fakta yang menunjukkan bahwa choanocytes mengalami transformasi ke archaeocytes amoeboocytes atau sebaliknya Sara, 1992, dan spermatogenesis terjadi pada spermatic cyst Sara, 1961 dalam Harrison dan de Vos, 1991. Spermatogenesis terjadi pada spermatic cyst kantong sperma yang merupakan tempat ketika semua sel dari ruang choanocyte diubah menjadi spermatogonia atau saat perubahan choanocyte berpindah ke mesohyl dan mengelompok di situ Brusca dan Brusca, 1990. Spermatogenesis dapat berkembang pada beberapa tempat, yaitu di dalam sel-sel dan di dalam Choanocytes chamber Harrison dan de Vos, 1991. Sperma yang sudah terbentuk kemudian dikeluarkan melalui oskulum mengikuti arus saluran pengeluaran excurrent canal. Beberapa spons tropik yang diobservasi mengeluarkan sperma secara tiba-tiba seperti awan susu yang besar, dan pengeluaran sperma secara tiba-tiba diduga merupakan ciri khas kebanyakan spons Ruppert dan Barnes, 1991. Penelitian ini belum dapat mengidentifikasi gonad jantan dengan jelas karena tidak ditemukan spermatosit di dalam jaringan histologis yang diamati, sehingga pembahasan lebih diarahkan pada perkembangan gamet betina. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kesulitan dalam mengidentifikasi 91 spermatosit atau spermatozoa spons disebabkan antara lain oleh ukurannya yang sangat kecil dan keberadaannya hanya terlihat pada saat akan memijah. Terjadinya proses spermatogenesis sebelum proses oogenesis dan pendeknya siklus spermatogenesis juga dapat menyulitkan dalam penentuan spons jantan. Selain itu juga proporsi antara jantan dan betina yang berada di dalam populasi sangat kecil. Hasil penelitian ini menunjukkan oosit ditemukan berada dalam suatu kantong pembesaran gamet dengan pola pengaturan oosit yang berada pada bagian pinggir dari saluran yang berlekuk- lekuk di dalam kantong tersebut Gambar 30D. Fungsi dari bagian yang berlekuk- lekuk ini belum diketahui dengan pasti tetapi kemungkinan merupakan sumber nutrisi bagi perkembangan oosit di dalam kantong tersebut. Ilan dan Loya 1990 melaporkan bahwa pada spons jenis Niphates sp dan Chalinula sp perkembangan organ betinanya terjadi dalam suatu kantong yang terisolasi yang disebut sebagai ’brood chamber’ atau ’nurseries’. Telur-telur yang teramati pada penelitian ini diduga sudah dibuahi oleh sperma sehingga telur yang dikeluarkan adalah telur yang sudah dibuahi zigot. Diantara spons yang berasal dari kelas Demospongiae, terdapat beberapa spesies yang mengeluarkan telur yang telah dibuahi oviparous melalui oskulum dan perkembangan selanjutnya terjadi di luar tubuh spons Rupert dan Barnes, 1991. Hasil penelitian sebelumnya mengenai reproduksi spons, menunjukkan bahwa proses perkembangan oosit umumnya terjadi pada lapisan mesohyl, seperti pada spons jenis Halisarca dujardini, Myxilla incrustans dan Iophon piceus Ereskovsky, 2000; Chondrilla nucula Sidri et al., 2005; Xestospongia bergquistia, X. testudinaria dan X. exigua Fromont dan Bergquist, 1994. Oosit ini menyebar luas di dalam mesohyl, dan mempunyai lapisan luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan sel lainnya yang ada pada lapisan mesohyl. Jadi pemisahan antara bagian yang reproduktif dan tidak reprodukitf dalam lapisan mesohyl terlihat jelas. Spons jenis Haliclona amboinensis dan Niphates nitida, oosit yang belum matang yang diamati menyebar luas dalam mesohyl sebelum terlihat dalam brood chamber Fromont, 1994. Brood chamber ini kemungkinan merupakan bentuk adaptasi untuk melindungi oosit dari predator, 92 Gambar 30. Struktur oosit spons Aa di alam, A Di luar kantong pembesaran gamet, inti oosit terlihat jelas Oosit I, B Di dalam kantong pembesaran gamet, anak inti belum terlihat Oosit II, C Dalam kantong pembesaran gamet, anak inti terlihat jelas Oosit III; D Dalam kantong pembesaran gamet, butiran oosit terpisah dengan yang lain Oosit IV; bl: Butiran lemak, in: Inti oosit, an: Anak Inti Pewarnaan Hematoksilin-Eosin 30 µm 50 µm an bl in D 10 µm 50 µm an in bl C 10 µm 50 µm in bl B 10 µm 30 µm in A 93 kerusakan akibat turbulensi ataupun melindungi oosit dari dehidrasi Fromont, 1994. Hasil pengamatan preparat histologis pada penelitian ini yang menunjukkan adanya kantong gamet yang berisi telur di dalamnya kemungkinan juga merupakan bentuk adaptasi dari spons jenis Aaptos aaptos ini untuk tujuan perlindungan. Tahap perkembangan gamet ditentukan berdasarkan karakter ukuran sel dan morfologisnya serta karakter warna yang dihasilkan dari pewarnaan HE Hemaktosilin- Eosin, tahapan perkembangan gamet betina pada spons Aaptos aaptos pada penelitian ini dikelompokan menjadi empat tahap perkembangan I- IV. Pengamatan secara histologis menunjukkan bahwa spons Aaptos aaptos pada oosit tahap I Gambar 30A, mempunyai ukuran yang masih sangat kecil, dengan inti sel yang belum terlihat jelas, begitu juga anak inti nukleolus. Ukuran oosit sekitar 10 µm dan terlihat menyebar dalam kelompok-kelompok kecil pada lapisan mesohyl Gambar 31. Jenis spons yang sama di Pulau Barrang Lompo Haris 2005 pada tahap ini ukuran oosit berkisar antara 20 – 45 µm, dengan inti sel dan anak inti yang belum nampak jelas. Menurut Fromont 1988 pada spons jenis Xestospongia testudinaria, tahap awal perkembangan oositnya, mempunyai inti dan anak inti yang terlihat jelas dengan ukuran diameter oosit awal sekitar 7 µm. Oosit mengandung butiran-butiran kuning oosit dekat dengan batas luarnya. Bagian luar dari oosit tidak selalu dibatasi oleh lapisan epitel dan beberapa aktiv itas seluler tampak terjadi antara oosit dengan jaringan induknya. Menurut Hoppe 1987 pada spons jenis Ircinia strobilina oosit tahap awal terlihat bebas di dalam mesohyl tanpa ada struktur yang menyertainya. 94 10 20 30 40 50 60 70 80 Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Purnama Juni Fase 34 Juni BaruMati Juli Fese Bulan Ukuran Mikrometer Oosit I Oosit II Oosit III Oosit IV Gambar 31. Ukuran rata-rata oosit Aa di alam Tahap oosit II, oosit tampak semakin besar dan ukurannya lebih besar dari oosit tahap I. Ukuran oosit sekitar 25 µm Gambar 31, dan inti yang sudah kelihatan demikian juga dengan butiran-butiran lemak dan karbohidrat yang berada disekelilingnya Gambar 30B. Terlihat bahwa proses perkembangan oosit terjadi di dalam suatu kantong pembesaran gamet dan kantong seperti ini tidak ditemukan pada preparat histologis jenis spons yang sama di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan Haris, 2005. Jadi terdapat kemungkinan bahwa oosit yang belum matang berada pada ujung saluran yang jauh dari oskulum dan menyebar luas dalam mesohyl dan kemudian bergerak ke arah saluran yang lebih dekat dengan oskulum seiring dengan meningkatnya tahap oosit. Kantong pembesaran gamet pada tahap ini mempunyai ukuran sekitar 150 µm dan sudah mempunyai batas luar yang jelas yang dapat membedakannya dari bagian lainnya dalam lapisan mesohyl. Bagian dalam kantong pembesaran pada tahap ini belum menunjukkan perkembangan yang berarti tetapi terlihat adanya interaksi antara oosit dengan bagian dalam tersebut yang kemungkinan merupakan sumber nutritif bagi perkembangan oosit didalamnya, walaupun fungsi dari bagian dalam ini belum diketahui dengan jelas. Tahap awal pertumbuhan oosit meliputi asimilasi 95 nutrien, kemungkinan dengan pinositosis dari mesohyl dan bermigrasi melalui sarung sel-sel folikel yang mengelilinginya dan mensintesa vitelline Harrrison dan de Vos, 1991. Menurut Fromont 1994, oosit yang belum matang pada spons jenis Haliclona amboinensis dan Niphates nitida diamati menyebar luas dalam mesohyl sebelum terlihat dalam brood chamber. Sebagaimana perkembangan reproduktif selanjutnya, oosit yang diamati dalam brood chamber dengan produk-produk dewasanya, diperkirakan melakukan migrasi ke dalam brood chamber. Ukuran oosit pada tahap II yang diidentifikasi oleh Haris 2005 berkisar 48 – 66 µm dengan inti yang sudah agak kelihatan, demikian juga dengan butiran-butiran lemak pada sitoplasma. Tahap oosit III, oosit sudah semakin besar dan ukurannya lebih besar daripada oosit II, ukuran oosit sekitar 50 µm Gambar 31. Tahap ini memiliki butiran-butiran lemak dan karbohidrat yang mulai memadat dan intinya semakin besar dan berwarna agak gelap Gambar 30C. Ukuran oosit pada tahap III yang diidentifikasi oleh Haris 2005 berukuran 67 - 83 µm dengan butiran-butiran lemak yang semakin memadat. Tahap oosit IV, oosit sudah mencapai ukuran maksimum dan oosit berubah menjadi ootid atau oosit yang siap dipijahkan. Ukuran ootid pada tahap ini sekitar 65 µm Gambar 31, dengan butiran-butiran lemak yang sudah semakin memadat dan inti yang bergeser ke pinggir Gambar 30D. Butiran-butiran lemak ini merupakan salah satu bahan yang mengisi kuning telur yolk. Kuning telur yolk biasanya terdiri dari tiga jenis bahan pokok yaitu; yolk vesicle gelembung kuning oosit yang mengandung glikoprotein, yolk globules yang mengandung lipoprotein dengan beberapa karbohidrat dan oil droplets yang mengandung gliserid dan kolesterol Hibiya, 1982. Ukuran kantong pembesaran pun mengalami perkembangan yang berarti yakni menjadi sekitar 450 – 550 µ m dengan struktur bagian dalam yang telah berkembang menjadi suatu saluran yang berlekuk- lekuk. Umumnya akhir dari vitellogenesis, oosit dipenuhi dengan 96 sebagian nurce cell atau kuning telur yang berbeda dalam ukuran dan komposisi. Kuning telur terbagi menjadi granular yang menutupi pusat ruang sekitar nukelus, termasuk bentuk seperti bola yang berlokasi disekeliling oosit Ereskovskii, 1999. Menurut Hoppe 1987, pada spons jenis Ircina strobilina perkembangan selanjutnya dari oosit matang dikelilingi oleh tiga sel folikel epitelium yang tebal. Sitoplasma oosit memperlihatkan butir granular kasar. Selama pematangan oosit, tropocytes dan sel-sel folikel membentuk pembungkus folikuller. Ketebalan dan banyaknya pelapisan dimulai pada pembungkus follikular, lapisan ini tumbuh lebih tebal secara progresif, mengelilingi oosit. Sitoplasma oosit secara bertahap dipenuhi dengan partikel-partikel kuning oosit. Pada akhir pembentukan oosit sitoplasma menyempurnakan pengambilan cadangan kuning oositnya Harrison dan de Vos, 1991 . Penelitian ini juga mengamati jaringan induk maternal tissue spons pada tingkat perkembangan reproduksi seksual yang berbeda. Terlihat pada tahap perkembangan oosit awal Gambar 30A, jaringan induk atau lapisan mesohyl dipadati oleh kumpulan sel-sel yang mengelompok yang nantinya akan berkembang menjadi sel oosit. Kumpulan sel-sel ini kemudian akan bermigrasi ke dalam kantong pembesaran gamet atau pada saluran yang mendekat ke oskulum yang terlihat jelas pada jaringan mesohyl yang juga mengalami perkembangan. Kantong pembesaran gamet ini mempunyai batas luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan jaringan induknya dan pada awal perkembangannya mempunyai struktur dalam yang belum terlalu jelas Gambar 30B. Seiring dengan perkembangan oosit oosit II, III dan IV yang berada dalam kantong gamet, struktur bagian dalamnya juga mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari adanya saluran yang berlekuk-lekuk kemungkinan merupakan saluran nutritif bagi perkembangan oosit di dalamnya, walaupun belum ada keterangan yang jelas mengenai fungsi dari saluran ini Gambar 30C dan 30D. 97 Spons jenis Chondrilla nucula menunjukkan adanya perbedaan yang cukup jelas pada lapisan mesohyl selama periode reproduksi, pada saat oosit terbentuk, choanosit chamber tidak berada pada keadaan normal di dalam choanosom tetapi hanya beberapa saluran keluar yang secara keseluruhan dikelilingi oleh oosit. Lapisan mesohylnya juga menunjukkan tipikal struktur saluran sistem air aquiferous system dengan sejumlah besar saluran keluar Sidri et.al., 2005. Menurut Ereskovsky 2000 dalam menganalisis mengenai reproduksi spons penting juga untuk mempertimbangkan bagian dari jaringan induk maternal tissue dan upaya reproduktif dari spesimen selama periode reproduksi. Ereskovsky 2000 menyatakan bahwa morfogenesis seksual dan somatik mempunyai hubungan yang erat dalam spons ontogenesis. Jadi, jaringan somatik penting juga dalam pencapaian perkembangan reproduksi seksual dalam tingkatan yang berbeda. Karakter dan tahap perkembangan gamet betina spons Aaptos aaptos yang diambil dari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu sedikit berbeda dengan yang diteliti oleh Haris 2005 di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Perbedaan yang paling jelas terlihat dari adanya kantong pembesaran gamet betina yang ditemukan pada lapisan mesohyl spons Aaptos aaptos. Kantong pembesaran gamet betina ini tidak ditemukan pada penelitian Haris 2005. Selain itu ukuran oosit untuk setiap tahapan perkembangan gamet betina juga agak berbeda untuk kedua lokasi diatas, yakni ukuran oosit spons yang diambil di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu lebih kecil dibanding di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan lokasi pengambilan sampel. Tabel 8 menyajikan karakteristik perkembangan oosit spons Neofibularia nolitangere berdasarkan Hoppe dan Reichert 1987. Tabel 9 adalah karakteristik perkembangan oosit spons Aaptos aaptos yang difragmentasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. 98 Tabel 8. Karakteristik tahap perkembangan gamet betina Neofibularia nolitangere Hoppe dan Reichert, 1987 Tahap Karakteristik I Hari pertama perkembangan oosit berbentuk telur dengan diameter 14 µm. Diameter nukleus atau inti adalah 7 µm II Hari ke 7 perkembangan oosit semakin besar dan memiliki diameter 25 µm. Diameter nukleus atau inti 14 µm. Pada tahap ini, nurse sel diameter 7 µm ditemukan berkembang dan menyebar pada mesohyl III Pada hari ke 23 baik oosit maupun nurse sel mengalami peningkatan diameter menjadi masing-masing 45 dan 9 µm. Pada tahap ini nurse sel memiliki diameter 12 µm dan cenderung berada disekitar oosit matang. Oosit dikelilingi oleh lapisan tipis follicle. Nukleus atau inti berukuran 14 µm dan memiliki nukleolus atau anak inti dengan diameter 4,5 µm IV Pada hari ke 30 sebelum pelepasan oosit-nurse sel, oosit atau telur menjadi kuat dan sangat matang Tabel 9. Karakteristik tahap perkembangan oosit spons Aaptos aaptos di P.Pari Tahap Karakteristik I Pada tahap ini dinding oosit belum terlihat jelas dan batas antara oosit belum jelas, mempunyai ukuran sekitar 10 µ m, inti dan anak inti belum terlihat. II Pada tahap ini terlihat bahwa oosit sudah bermigrasi ke dalam kantong pembesaran gamet. Kantong pembesaran masih berukuran kecil sekitar 150 µm dengan batas luar yang jelas yang dapat membedakannya dengan bagian lainnya yang terdapat dalam lapisan mesohyl. Ukuran oosit sekitar 25 µ m, dengan inti yang sudah kelihatan, demikian juga dengan butiran-butiran lemak yang berada disekelilingnya. III Oosit semakin besar dan berbentuk agak berlekuk, ukuran oosit sekitar 50 µm. Pada tahap ini butiran-butiran lemak mulai memadat. Inti semakin besar dan berwarna agak gelap. IV Pada tahap ini oosit semakin besar karena akumulasi kuning oosit dan bentuknya membulat. Ukuran oosit sekitar 65 µ m, inti dan anak inti yang bergeser ke pinggir. Ukuran kantong pembesaran gamet sekitar 450 – 550 µm. Pengaruh Fase bulan Terhadap Tingkat Kematangan Oosit Salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses gametogenesis pada kebanyakan hewan laut adalah siklus bulan. Pada hewan laut, siklus bulan menjadi pemicu waktu pematangan sperma dan oosit Norton, 1981; Philips et al. 1990 dalam Rani, 2004. Hoppe dan Reichert 1987 menjelaskan 99 bahwa pengeluaran gamet spons jenis Neofibularia nolitangere pada daerah tropik berhubungan erat dengan fase bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran oosit meningkat secara perlahan pada setiap fase bulan. Hasil pengamatan histologis pada fase bulan baru, menunjukkan bahwa ukuran oosit awal masih kecil sekitar 10 µm dengan bentuk yang belum beraturan Gambar 30A. Bagian luar dari oosit belum dibatasi oleh suatu lapisan epitel yang jelas, inti juga belum kelihatan. Terjadinya akumulasi kuning oosit yang disediakan oleh nurse cell menyebabkan ukuran oosit semakin meningkat dan mulai bermigrasi ke dalam kantong pembesaran gamet Gambar 30B. Proses migrasi oosit mendekati saluran keluar belum diketahui dengan pasti tetapi diduga terjadi melalui proses antara oosit dengan jaringan induknya. Pada fase bulan baru ini juga ukuran oosit mulai membesar dengan ukuran sekitar 25 µm dan inti mulai terlihat. Memasuki fase bulan purnama oosit yang telah berada dalam kantong pembesaran mengalami perubahan yang cukup berarti yakni mulai dikelilingi oleh butiran-butiran lemak, intinya semakin besar dan kelihatan lebih gelap Gambar 30C dan 30D. Perkembangan oosit selanjutnya pada kantong pembesaran ini menunjukkan bentuk dan ukuran oosit yang semakin besar yakni sekitar 50 µm pada tahap oosit III dan sekitar 65 µm pada tahap oosit IV matang, sedangkan bentuk oositnya menjadi agak membulat diperkirakan pada akhir fase bulan purnama ini spons akan melepaskan oosit-oositnya. Perkembangan ukuran oosit juga diikuti oleh perkembangan pada jaringan induknya mesohyl. Pengamatan terhadap awal keberadaan oosit terjadi pada fase bulan baru yakni pada akhir Juni dan awal Juli 2006, sehingga diduga bahwa awal oogenesis terjadi pada fase bulan ini. Grafik tingkat perkembangan gamet betina spons Aaptos aaptos berdasarkan fase bulan dapat dilihat pada Gambar 32. 100 Gambar 32. Densitas oosit berdasarkan tingkat kematangan gamet betina spons Aa di alam pada setiap fase bulan BP: bulan purnama, BB: bulan baru Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa pada sampel yang diamati pada periode bulan purnama Mei 2006 tidak terlihat adanya oosit sedangkan pada periode bulan purnama Juni 2006 menunjukkan adanya kehadiran oosit di dalam jaringan tubuh spons Aaptos aaptos yang diamati. Pendugaan atas fenomena ini mungkin saja bahwa pada periode Mei 2006 oosit telah dikeluarkan sedangkan pada medio Juni oosit sedang dalam proses perkembangan dan baru akan dikeluarkan. Pendugaan lainnya kemungkinan proses perkembangan oosit spons jenis ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut Haris 2005, berdasarkan penyebaran diameter oosit pada setiap fase bulan menunjukkan bahwa spons jenis Aaptos aaptos mengeluarkan atau menghasilkan oositnya beberapa kali dalam setahun. Spons yang bersifat oviparous seperti Axinella damicornis, A. verrucosa Fromont dan Bergquist, 1994 dan Suberitas massa Fromont dan Bergquist, 1994 perkembangan oositnya membutuhkan waktu sekitar dua bulan atau lebih. Menurut Fromont 1988 untuk spons jenis Xestospongia testudinaria ukuran oositnya meningkat seiring dengan pertambahan umur bulan yakni ukuran diameter oosit mengalami peningkatan rata-rata 6 – 14 µm setiap bulannya. 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Purnama Juni Fase 34 Juni BaruMati Juli Fase Bulan Densitas telurmm3 Oosit I Oosit II Oosit III Oosit IV 101 Penentuan awal oogenesis spons Xestospongia testudinaria belum dapat diketahui dengan pasti. Perkembangan oosit pada spons Xestospongia testudinaria memiliki periode yang panjang yaitu sekitar 5 – 6 bulan sedangkan pada Petrosia ficiformis perkembangan oositnya sekitar 8 bulan. Menurut Usher et al. 2004 untuk spons jenis Chondrilla australiensis perkembangan oositnya membutuhkan waktu sekitar 4 minggu dan sperma sekitar 2 minggu. Spons jenis Aaptos aaptos yang diamati di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, lama waktu pemijahan sekitar 3 fase bulan mati, seperempat, dan purnama atau sekitar 3 minggu dan awal oogenesis dimulai pada fase bulan mati atau baru. 102 KESIMPULAN Fase bulan mempengaruhi pemijahan spons Aaptos aaptos di P.Pari dan pemijahan tersebut terjadi pada fase bulan matibaru, seperempat dan purnama dengan frekuensi pemijahan tertinggi terjadi pada pada fase bulan purnama, dan pada bulan tigaperempat tidak terjadi pemijahan. Pemijahan spons Aaptos aaptos di P.Pari tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yaitu suhu air, pasang surut air laut, dan cahaya bulan yang merupakan pemicu terjadinya pemijahan. Suhu air merupakan faktor utama yang mempengaruhi pemijahan spons. Pemijahan tersebut terjadi pada saat menjelang dan setelah matahari terbenam pada sore hari yaitu dengan mengeluarkan zygot yang telah dibuahi secara internal dan beberapa saat setelah pengambilan sample terlihat embrio mengalami pembelahan. Seksualitas spons Aaptos aaptos di perairan pulau Pari, kepulauan Seribu mempunyai tipe gonokhorik dan cara reproduksinya adalah ovipar. Oosit yang telah matang berada dalam kantong yang merupakan kantong pembesaran gamet sedangkan oosit yang belum matang menyebar pada lapisan mesohyl. Oosit memperlihatkan perkembangan yang berbeda pada setiap fase bulan. Permulaan oogenesis terjadi pada fase bulan baru yaitu ditemukan oosit I dan II dan pada fase bulan purnama ditemukan oosit tahap III dan IV yang siap untuk dipijahkan. 103

V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP