Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI ( Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

LEGAL

STANDING
OLEH

PENGUJIAN

MAHKAMAH

UNDANG-UNDANG

KONSTITUSI RI

( Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)


Oleh:

Inggrit Ifani
NIM: 1111048000061

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
J A K A R T A
1436 H / 2015 M

ABSTRAK

INGGRIT IFANI. NIM 1111048000061. LEGAL STANDING PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI (Tinjauan Yuridis
dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M.
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan penemuan sebuah permohonan
Pengujian Undang-Undang tidak bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak
memiliki legal standing. Undang-undang atau lebih tepatnya pasal yang menjadi
objek permohonan a quo sangat krusial untuk diuji materiil. Namun berdasarkan
persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi hanya permohonan yang memiliki legal standing yang dapat
diujikan Mahkamah. Penelitian ini penting untuk melihat sejauh mana implikasi Pasal
51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan
menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Menggunakan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan putusan niet ontvankelijk verklaard pada kasus PUU untuk
membuktikan seberapa penting pasal a quo menentukan kedudukan hukum Pemohon
dalam PUU di Mahkamah Konstitusi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat yang ditentukan peraturan
perundang-undangan untuk memiliki legal standing beracara dalam PUU sangat
krusial. Lebih dari 50% putusan niet ontvankelijk verklaard yang tidak dapat
dipertimbangkan Mahkamah disebabkan oleh Pemohon tidak memiliki legal standing

seperti yang ditentukan ius constitutum. Akan menjadi suatu permasalahan ketika
undang-undang a quo membutuhkan pengujian konstitusionalitas.
Kata kunci: constitutional review, constitutional court, legal standing¸ doktrin
konstitusional.
Pembimbing

: Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag.
Nur Habibi, SH.I., M.H.

Daftar Pustaka: dari tahun 1998 s.d tahun 2013

iv

DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... .... v
DAFTAR ISI …………………………………………………………....... ..... ... vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………… ......... 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………… ............................. 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6
D. Kerangka Teori ..................................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………......... .. 8
F. Metode Penelitian …………………………………………………... . 9
G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ………… .... ………………….. 13
H. Sistematika Penulisan ……………………………………….... ....... 14

BAB II HAK K O N S T I T U S I O N A L W A R G A N E G A RA DALAM
KONSTITUSIONALISME

vi

A. Hak Konstitusional Warga Negara ……………………………... …. 16
B. Konstitusionalisme ……………………………………… .......... ….. 18
C. Proses Legislasi ………………………………………… ...... …....... 22
1. Proses Legislasi Formal ……………………………………........ 22
2. Proses Legislasi Politis ………………………………….......... .. 23

D. Pengujian Undang-Undang ……………………………… .......... …. 26
1. Alasan Hukum Pengujian Konstitusionalitas ………… ...... …… 26
2. Judicial Review …………………………………… ..... ……….. 27
3. Legal Standing …………………………………… . …………... 29

BAB III PUTUSAN NIET ONTVANKELIJK VERKLAARD PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ……… ... ……………… 32
B. Bentuk-Bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi ... …………………. 33
C. Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard …… ....... ……………………. 34
1. Sebab Hukum Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard ……… ... ... 34
2. Rekapitulasi putusan Niet Ontvankelijk Verklaard …… ..... …… 35
3. Eksplanasi Putusan ………………………………… ...... ……… 37
D. Contoh Putusan Tidak Memiliki Legal Standing .............. ………… 38
1. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 MK ……........... ……………. 38
2. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 MK ............. ………............ 41

vii

BAB IV LEGAL STANDING SEBAGAI IMPLIKASI BERLAKUNYA PASAL

51 UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI JUNCTO
UNDANG-UNDANG

NOMOR

8

TAHUN

2011

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
A. Permohonan Tidak Memiliki Legal Standing Namun Krusial Untuk Diuji
…………………………………………………… .......... ………….. 45
B. Tinjauan Yuridis Limitasi Permohonan Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi ……………………………… ..... ………….. 60
C. Mahkamah Konstitusi Dituntut Mengembangkan Doktrin Konstitusional

Menyikapi Permohonan Yang Tidak Memiliki Legal Standing … ... 64

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …….……………………………………………………. 68
B. Saran …………….………………………………………………....... 70

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………....... 72

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” mengatakan bahwa homo
homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).1 Pernyataan ini
dibenarkan oleh bukti-bukti pergesekan, konflik, ataupun perpecahan antar sesama
manusia. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam tataran lebih
kompleks yaitu kehidupan bernegara dibutuhkan aturan untuk menciptakan
keteraturan sosial. Di sinilah titik tolak yang membuktikan pentingnya eksistensi

hukum atau aturan.
Dewasa ini, tidak terbantahkan lagi melalui hukum kehidupan bernegara
diatur dengan dimanifestasikannya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum pada
setiap produk hukum yang ada. Dalam konteks Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
(lebih lanjut disebut DPR) bersama Presiden adalah lembaga yang memegang
peranan pembentukan undang-undang. Sesuai dengan teori Roscoue Pound bahwa
law is a tool of social engineering.2
Bersamaan dengan pemikiran Roscoue Pound, David M O’Brein dalam
bukunya Constitutional Law And Politics mengatakan “Most of the world’s 185
countries have written constitutions. Yet several do not, including Bosnia-

1

Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta,
2007, Cet. Pertama), h. 4.
2

Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, Rajagrafindo, 2012), h. 41.

1


2

Hergovenia, Libya, New Zealand, Oman, Qatar, Saudi Arabia, and Britain.”3
Menunjukkan mayoritas negara dunia bertendensi menuliskan konstitusinya,
membuktikan betapa penting konstitusi bagi suatu negara ataupun masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai konstitusi tertulis
yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (lebih
lanjut disebut UUD NRI 1945). Dalam tulisan ini jika berbicara tentang UUD NRI
1945 mempunyai substansi berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). UUD NRI 1945 adalah undang-undang dasar hasil amandemen sedangkan
UUD 1945 adalah undang-undang dasar 1945 sebelum diadakan perubahan.
Melalui sebuah konstitusi atau undang-undang dasar atau basic law sebagai
hukum tertinggi (valeur constitutionel), kita dapat melihat suatu negara mulai dari
bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan ataupun hak asasi
manusia. Hak Asasi Manusia (lebih lanjut disebut HAM) menjadi hak dasar yang
tidak pernah terlupakan eksistensinya, terlebih lagi setelah masa Orde Baru berakhir.
Ini dibuktikan dengan diaturnya HAM dalam suatu bab khusus UUD NRI 1945.
Pada perkembangan selanjutnya, tidak hanya HAM, namun hak yang diatur
dalam konstitusi ataupun undang-undang dasar atau basic law harus turut

direalisasikan. Hak ini dinamakan hak konstitusional. Yang diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang tidak boleh bertentangan

David M O’Brein, Constitutional Law And Politics Volume One “Struggles for Power and
Govermental Accountability, (New York: W.W Norton, 2003, Cet. Ketiga), h. 69.
3

3

dengan Undang-Undang Dasar. Untuk itu diadakan sebuah lembaga negara untuk
melakukan pengujian undang-undang yaitu Mahkamah Konstitusi.4
Mahkamah

Konstitusi sebagai guardian of constitution mempunyai

wewenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (konflik peraturan
Pasal 24C ayat (1)) UUD NRI 1945 atau constitutional review / judicial review. Sejak
berdiri tahun 2003 sampai akhir 2014 Mahkamah Konstitusi sudah melahirkan
sebanyak 665 Putusan Pengujian Undang-Undang terdiri dari 163 Putusan Kabul, 243
Putusan Tolak, 191 Putusan Tidak Dapat Diterima, dan 68 Putusan Tarik Kembali.5

Mengingat konstitusi adalah resultan dari keadaan politik, ekonomi, sosial dan
budaya ketika konstitusi itu dibuat. Konstitusi menggambarkan kebutuhan dan
jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Melihat perkembangan masyarakat
selalu berubah dan mengikuti tantangan yang senantiasa berubah pula, maka
konstitusi sebagai resultan politik, ekonomi, sosial, dan budaya tertentu harus
membuka kemungkinan untuk diubah.6 Atau dengan kata lain konstitusi selalu
menjadi produk pada zamannya.7

4

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook), h. 197.

5

Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id dan
dikonfirmasi dengan melakukan kunjungan pada Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Mahkamah Konstitusi RI pada 6 Mei 2015.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara “Pasca Amandemen Konstitusi”,
(Jakarta, Raja Grafindo, 2011, Cet. Kedua), h. 20.
6

Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction (Second Edition) “Hukum
Amerika” Sebuah Pengantar, (Jakarta, Tata Nusa, 2001, Cet. Pertama), h. 250.
7

4

Undang-undang juga merupakan resultan dari suatu keadaan politik, ekonomi,
sosial dan budaya pada saat itu, maka pengujian terhadap konstitusionalitas atau
kadar konstitusional sebuah undang-undang adalah hal yang harus dilakukan.
Pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD merupakan
cerminan prinsip konstitusionalisme dan negara hukum yang terkandung pada Pasal 1
ayat (3) UUD NRI 1945.
Pakar hukum Eropa Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa negara hukum
dalam arti formal mengandung unsur-unsur yang berupa:8
1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Pemisahan kekuasaan negara.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Dan peradilan administrasi.
Melalui undang-undang dasar Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara
hukum,

yang memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap

HAM,

memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara, menjalankan peradilan administrasi,
dan juga menjalankan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Namun apa jadinya jika sebuah negara hukum masih mempunyai produk legislasi
yang buruk dan cenderung bermuatan politis serta tidak memberi kemanfaatan pada
warga negara.

8

17.

A Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), h.

5

Berdasarkan fakta perkembangan hukum di banyak negara dunia, hanya
beberapa negara saja yang tidak mempunyai peradilan konstitusi ataupun mekanisme
constitutional review. Fakta ini membuktikan bahwa produk legislasi membutuhkan
pengawalan dalam rangka melindungi HAM ataupun hak konstitusional warga
negara. Lebih lanjut constitutional review diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011.9
Menimbang dalam promulgation ataupun pemberlakuan suatu undang-undang
berlaku asas fiktif, dimana setiap masyarakat dianggap mengetahui setiap undangundang yang disahkan. Padahal berdasarkan penelitian hanya 65 juta penduduk
Indonesia yang hidup diatas garis kemiskinan,10 tentu hal ini akan berpengaruh pada
pendidikan dan kesadaran kritis masyarakat dalam mengkritisi hukum. Maka menjadi
tugas mereka yang mengerti hukumlah untuk mengawasi produk legislasi, misalnya
undang-undang yang cacat yuridis, politis, ekonomis, kultural dan majerial.11

Dalam penelitian “Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard” Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI” ini pasal yang terkait langsung PUU adalah Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dengan menyisipkan Pasal 51 A untuk menambah persyaratan permohonan
PUU. Perubahan ini tidak merubah bunyi pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
9

10

Diakses 6 April 2015 pada http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/reducingextreme-poverty-in-indonesia.
11

Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2009, Cet. Ketiga), h. 145.

6

B. Identifikasi Masalah
Beberapa pertanyaan yang kompatibel dengan judul ini adalah:
1. Apa fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi?
2. Apa yang dimaksud dengan pengujian undang-undang?
3. Bagaimana pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi?
4. Bagaimana persyaratan dalam melakukan permohonan pengujian undangundang ke Mahkamah Konstitusi RI?
5. Apa yang dimaksud dengan kerugian konstitusional?
6. Seberapa penting legal standing diterapkan dalam pengujian undang-undang.
7. Apa implikasi hukum diterapkannya legal standing dalam proses pengujian
undang-undang di Indonesia.
8. Apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan amanat undang-undang
dasar dalam melakukan pengujian undang-undang.
9. Bagaimana dengan permohonan yang tidak memiliki legal standing.
10. Jika

kewenangan

Mahkamah

Konstitusi

melakukan

pengujian

konstitusionalitas, mengapa muncul kasus yang tidak dapat diuji (niet
ontvankelijk verklaard) oleh Mahkamah.

C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah

7

Membahas tentang pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang adalah
hal yang luas. Namun dalam penelitian ini hanya membahas putusan niet
ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian memaparkan
putusan layak uji yang tidak memiliki legal standing sebagai akibat implementasi
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi
juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003. Untuk dianalisa sebagai hasil penelitian.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah yang
diuraikan, pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan wewenang Pengujian
Undang-Undang sesuai dengan amanat UUD NRI 1945?
b. Bagaimana kasus-kasus layak uji yang tidak memiliki legal standing sebagai
akibat implementasi Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi?

D. Kerangka Teori
Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya “Constitutional Government and
Democracy”, konstitusionalisme ialah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan

8

yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah.12

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan
wewenang Pengujian Undang-Undang sesuai dengna amanat UUD NRI 1945.
b. Untuk mengetahui sejauh mana legal standing menjadi sebab hukum
permohonan PUU tidak dapat diterima.
2. Manfaat Penelitian
a.

Secara teoritis, penelitian ini akan menambah khasanah keilmuan di bidang
hukum, khususnya dalam hal legal standing PUU.

b.

Secara akademis, penelitian ini tergolong sebuah penelitian baru sebagai
referensi penunjang. Karena, belum ada karya ilmiah yang meneliti putusan
niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi.

c.

Secara praktis, penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai bahan
evaluasi dan masukan untuk menentukan legal standing PUU. Serta untuk
meningkatkan

penalaran,

membentuk

pola

pikir

dinamis

dan

mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press,
2008), h. 39.
12

9

F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang tidak menggunakan data primer yang diterapkan pada penelitian
kuantitatif namun hanya menggunakan data sekunder. Karena dalam penelitian
hukum, analisis yang lazim digunakan adalah analisis kualitatif bukan analisis
kuantitatif.13
Metode penelitian ini disistematisasikan dengan format sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris normatif. Penelitian
normatif adalah penelitian yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi
hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.14
Sedangkan penelitian empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum dan
penelitian terhadap efektifitas hukum.15
Penelitian normatif yaitu dilakukan melalui sinkronisasi peraturan perundangundangan terkait dengan PUU dan legal standing. Mulai dari UUD NRI 1945,
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Bahan ajar perkuliahan “Metode Penelitian Hukum I” dengan Atho Mudzhar dan Asrori
Karni, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13

14

15

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 41.

Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 153.

10

terkait aturan PUU dan legal standing. Sedangkan penelitian empiris yaitu dengan
mentabulasi 191 putusan niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi.
2. Pendekatan Masalah
Suatu penelitian hukum normatif harus menggunakan pendekatan perundangundangan,16 maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach). Bertolak dari hukum dasar yaitu UUD NRI 1945, kemudian
menggunakan peraturan organiknya yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, ditambah dengan Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011.
Dan juga menggunakan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengatur.
Penelitian hukum ini dalam rangka mempelajari penerapan norma-norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek,17 maka menggunakan pendekatan
kasus (case approach). Populasinya yaitu 191 putusan niet ontvankelijk verklaard
PUU oleh Mahkamah Konstitusi RI. Dikerucutkan dengan mengambil sampel
dari putusan niet ontvankelijk verklaard PUU yang disebabkan karena tidak
memiliki legal standing.
Selanjutnya dengan teknik acak mengambil tiga buah putusan untuk dianalisa
bahwa benar mempunyai kebutuhan hukum untuk dilakukan pengujian
konstitusionalitas. Dengan mewakili tiga ranting ilmu hukum yaitu hukum tata
16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008, Cet. Keempat), h. 302.
17

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 321.

11

negara diwakili oleh putusan nomor 151/PUU-VII/2009, hukum perdata yaitu
putusan nomor 58/PUU-XI/2013, dan hukum keuangan negara di bidang
perpajakan pada putusan nomor 3/PUU-VI/2008.
Sesuai dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki, yang paling penting dari
belajar hukum atau menulis karya tulis hukum itu adalah perbandingan hukum /
Rechtsvergelijking / comparative legal study.18 Maka

penelitian

ini

juga

menggunakan pendekatan komparasi untuk membuktikan penyebab putusan niet
ontvankelijk verklaard dinominasi oleh legal standing.
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan
berasal dari data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu berupa perundang-undangan.19 Diperoleh
dari Putusan-Putusan Mahkamah

Konstitusi,

UUD,

UU,

Keputusan

Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku hukum, dokumendokumen resmi yang terkait dengan penelitian.
c. Bahan hukum tersier
18

19

Peter Mahmud marzuki, Penelitian hukum, (Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Kedua), h. 1.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009,
Cet. Kelima), h. 142.

12

Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum

primer dan sekunder.

Seperti

kamus

dan

ensiklopedia.20
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan penelitian, relevan dengan jenis
penelitian yang bersifat empiris normatif, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library
research) yakni upaya memperoleh data dari literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, majalah, koran, artikel, putusan Mahkamah dan sumber lain
yang kompatibel.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, dan lainlainnya akan penulis sajikan, uraikan dan hubungkan sedemikian rupa. Bahwa
cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.21
6. Metode Penulisan

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1981, Cet. Pertama),

21

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 393.

h. 52.

13

Dalam penyusunan tulisan ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai
dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Skripsi
(Judul)

Tema

Objek

Distingsi

Afidatussolihat, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji
Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Asean Charter (Analisa
Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011)”, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Jakarta, Tahun 2013.
Arie Setio Nugroho, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Memutus Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Studi Kasus: Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah KotaWaringin Barat), Fakultas Hukum, Universitas Andalas
Tahun 2011.
Penelitian saya, Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI (Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Afidatussolihat: Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
undang-undang ratifikasi.
Arie Setio Nugroho: Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Menyelesaikan Sengketa Pemilu Kada.
Penelitian saya: Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi.
Afidatussolihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUUIX/2011.
Arie Setio Nugroho: Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat.
Penelitian saya: Putusan niet ontvantkelijk verklaard Mahkamah
Konstitusi RI.
Afidatussolihat: Skripsi ini meneliti kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian undang-undang
ratifikasi. Penulis mengambil objek penelitian

14

sebagai undang-undang ratifikasi yaitu Perjanjian
Asean Charter, yang telah dilakukan judicial review
oleh Mahkamah Konstitusi.
Arie Setio Nugroho: Skripsi ini meneliti kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilu
kada. Dan mengambil kasus penyelesaian sengketa
Pemilu Kada Kotawaringin Barat oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai bahan uji.
Penelitian saya: Skripsi ini meneliti putusan niet ontvankelijk
verklaard Mahkamah Konstitusi dalam rangka
menjaga konstitusionalisme. Munculnya putusan
yang tidak memiliki legal standing namun krusial
untuk diuji menjadi objek vital dari penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan yang akan dibahas
dengan membagi ke dalam beberapa bab. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab
akan membuat tulisan lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan
yang utuh, sebagai berikut:
BAB I

Pendahuluan terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

Hak konstitusional warga negara dalam konstitusionalisme, membahas
hak konstitusional warga negara, konstitusionalisme, proses legislasi,
dan pengujian undang-undang.

BAB III

Putusan niet ontvankelijk verklaard pengujian undang-undang oleh
mahkamah konstitusi, yaitu memuat Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, bentuk-bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan niet

15

ontvankelijk verklaard dan contoh putusan tidak memiliki legal
standing.
BAB IV

Legal standing sebagai implikasi berlakunya Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto UndangUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 membahas permohonan tidak
memiliki legal standing namun krusial untuk diuji, tinjauan yuridis
limitasi permohonan pengujian undang-undang oleh Mahkamah
Konstitusi RI berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dituntut
mengembangkan doktrin konstitusional menyikapi permohonan yang
tidak memiliki legal standing.

BAB V

Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.

BAB II
HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
DALAM KONSTITUSIONALISME

A.

Hak Konstitusional Warga Negara
Semenjak merdeka, Indonesia telah memasukkan Hak Asasi Manusia1 (HAM)
dalam konstitusi. Namun kemudian mengalami perkembangan ketika amandemen
UUD 1945 yang kedua mengatur HAM dalam suatu bab khusus. Perkembangan
selanjutnya, tidak hanya HAM namun setiap macam hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar harus terjamin dan terpenuhi. Hak hak yang diatur didalam undang
undang dasar inilah yang dinamakan dengan hak konstitusional.2
Adanya jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945 diikuti dengan
ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, serta pemenuhan menjadi tanggung
jawab negara, terutama pemerintah. Hal itu harus dilaksanakan, baik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan kebijakan, maupun tindakan penyelenggara

1 Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. (pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009
tentang Hak Asasi Manusia).
2 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Contitutional Complaint) “Upaya
Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 111.

16

17

negara. Dalam rangka melindungi, memajukan, menegakkan, serta memenuhi hak
konstitusional warga negara.3
Oleh sebab itu diadakanlah suatu hak uji yang dimiliki oleh subjek hukum
yaitu individu, masyarakat hukum adat, badan hukum privat atau publik, dan lembaga
negara.4 Setiap peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak sesuai dan
bertentangan dengan UUD NRI 1945 mempunyai kesempatan yang sama untuk diuji
konstitusionalitasnya. Pengujian kadar konstitusionalitas ini merupakan salah satu
bentuk dari hak konstitusional warga negara.
Selaras dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah
satu perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20. Dengan mengembangkan asas-asas demokrasi di mana hak politik rakyat dan
hak asasi adalah tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Hak dasar
tersebut dijamin secara konstitusional dan diwujudkan secara institusional yaitu oleh
sebuah Makmakah Konstitusi.5
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berperan menegakkan dan melindungi
hak-hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional

3 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 197.
4 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316).
5 Soimin, Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2013), h. 50.

18

rights) dan pelindung HAM (the protector of the human rights).6 Hal ini terbukti
dalam laporan Mahkamah Konstitusi menyampaikan telah menyeimbangkan
kepentingan negara yang berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara dan
menjaga agar tidak dikurangi, dibatasi, atau dilanggar.7
Didukung oleh pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Ahmad Sodiki
dalam sebuah simposium di Hotel Rixos, Ankara mengatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berperan memulihkan kembali hak konstitusional warga negara yang
dilanggar oleh berlakunya undang-undang melalui kewenangan menguji undangundang terhadap UUD.8 Maka kewenangan menguji konstitusionalitas undangundang mempunyai peranan penting terpenuhinya hak konstitusional warga negara.

B. Konstitusionalisme
Selama abad ke-16 dan ke-17 negara-negara bangsa (nation state) mendapat
bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan sangat berkuasa. Berbagai teori politik
berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem
kekuasaan yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini

6 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
2013, Cet. Pertama), h. 7.
7 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, h. 8.
8 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, h. 134.

19

mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in-parliament’ yang pada dasarnya
mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.9
Berawal dari kekuasaan yang liar dan tidak terkendali, maka harus ada
konstitusi baik itu dalam sebuah negara Republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk
membatasi

kekuasaan,10

paham

ini

kemudian

berkembang

menjadi

konstitusionalisme.11 Dengan tujuan utama pembatasan kekuasaan yang pada masa
sebelumnya tampak sangat luas dan seolah tanpa batas.12 Sehingga tidak ada lagi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Konstitusionalisme

pertama

kali

muncul

di

Eropa

Barat,

dengan

mengembangkan dua konsep pokok yaitu:13
1. Konsep negara hukum atau di negara-negara yang terpengaruh oleh sistem hukum
Anglo Saxon disebut (The Rule of Law) menyatakan bahwa kewibawaan hukum
secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum
akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya).
2. Konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan, bahwa kebebasan warga
negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh

9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook), h. 19.
10 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogyakarta: Kreasi Total Media
Yogyakarta, 2007, Cet. Pertama), h. 10.
11 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945”, h. 190.
12 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 15.
13 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 17.

20

konstitusi, dan kekuasaan itu pun mungkin memperoleh legitimasinya dari
konstitusi saja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konstitusionalisme diartikan sebagai
suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui
konstitusi,14 yang mengandung tiga esensi sebagai berikut:15
1. A state, or any system of government, must be founded upon law, while the power
exercised within the state should conform to definite legal rules and procedures
(the idea of constitution or fundamental law). (Sebuah negara atau sistem
pemerintahan apapun harus didirikan di atas undang-undang, sedangkan
kekuasaan yang dijalankan di dalam negara harus sejalan dengan peraturanperaturan dan prosedur hukum yang tegas (mengacu pada konstitusi atau undangundang dasar)).
2. The institutional structure of the government should ensure that power resides
with, or is divided among, different branches which mutually control their
exercise of power and which are obliged to co-operate (the ideas of mixed
government, separation of powers, check and balances). (Bangunan institusional
pemerintah harus memastikan bahwa kekuasaan berada ditangan, atau dibagi-bagi
diantara, cabang-cabang yang berbeda yang saling mengontrol pelaksanaan
kekuasaan mereka dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (gagasan mengenai
pemerintahan campuran, pemisahan kekuasaan, sistem check and balances) saling
periksa dan menjaga keseimbangan).
3. The relationship between the government and the individual member of society
should be regulated in such manner that it leaves the latter’s basic rights and
freedom unimpaired. (Hubungan antara pemerintah dengan anggota perseorangan
masyarakat sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut
menjamin hak-hak dan kebebasan dasar yang disebut belakangan, anggota
perseorangan masyarakat, tidak dilanggar).
Dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan paham konstitusionalisme dipakai
di berbagai negara dunia sampai pada saat ini. Bahkan semakin mengukuhkan
kedudukannya sebagai paham ideal dalam sebuah negara hukum (rechtstaat). Namun
14 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 16.
15 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 16.

21

belakangan muncul persoalan dari konstitusionalisme bahwa hukum dibuat dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hal ini muncul pertanyaan tentang bagaimana
pemerintah sebagai penguasa dapat beritikad baik untuk menaati hukum. Jawabnya16
“The fundamental problem with “constitutionalisme” is that laws are made and
enforced by governments so how can government under law be anything more than
a hope that our rulers will be benevolent? There are broadly four ways in which
constitutions have grappled with this. Ultimately though, all depend on political
good will.”
(1) By creating basic prinsiples of justice, and individual rights policed by courts
who are independent of the government.
(2) By splotting up power between different government bodies to ensure that no
one person has too much power (the separation of powers). This can be
achieved in various different ways, for example, division of function, division
between central and local powers.
(3) By adopting representative institutions of government that are chosen by the
people and can be removed by the people.
(4) And by providing for direct participation by the people in the process of
government decision making, for example, by holding referendum on important
issues and public enquiries into important proposal.
Bahwasanya masalah dasar dari konstitusionalisme adalah peraturanperaturan dibuat dan ditegakkan oleh pemerintah sekaligus. Maka harus ada empat
cara untuk menjaga konstitusionalisme, namun kesemuanya bergantung pada
kehendak politik yang baik. Empat cara itu adalah dengan menciptakan prinsipprinsip dasar keadilan dan penjaminan hak-hak individu, pemisahan kekuasaan agar
tidak terjadi pemusatan kekuasaan, pemerintahan yang dipilih dan diberhentikan oleh
rakyat, dan menyediakan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan
pemerintahan misalnya melalui referendum.

16 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 18.

22

C. Proses Legislasi
Dalam

rangka

mewujudkan

konstitusionalisme

dan

terpenuhi

hak

konstitusional warga negara maka prinsip-prinsip yang tertuang di dalam UUD
diturunkan kedalam peraturan organik yaitu undang-undang. Dalam pembentukannya
terdiri dari dua proses yaitu proses legislative yang bersifat formal dan proses
legislative yang bersifat politis. Di Indonesia proses legislatifnya adalah sebagai
berikut:
1. Proses Legislatif Formal
Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPR adalah lembaga
yang memegang kekuasaan membentuk UU. Selain DPR kewenangan
membentuk undang-undang juga dimiliki Presiden. Oleh karena itu, Pasal 5 ayat
(1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR”.17 Selain itu, pasal 21 UUD 1945 menyatakan:
“Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.18
Setelah diajukan maka diadakan pembahasan rancangan undang-undang, yang
terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam Rapat Komisi, Rapat
Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna

17 Dalam pengajuan rancangan undang-undang harus meliputi latar belakang dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan jangkauan dan arah pengaturan yang tertuang dalam
suatu Naskah Akademik (diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
18 Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD “Buku
Panduan Seri 2”, (Jakarta: Saint Communication, 2004), h. 8.

23

DPR.19 Pembicaraan tingkat I dilakukan untuk mendengarkan penjelasan dan
tanggapan pemerintah. Pembicaraan tingkat II adalah dilakukan oleh DPR yang
diakhiri dengan pengambilan keputusan.20 Kemudian RUU yang telah disetujui
bersama disahkan oleh Presiden.
2. Proses Legislatif Politis
Undang-undang dasar tatkala dirancang dan ditetapkan cenderung untuk
menggambarkan

kepentingan-kepentingan

dan

keyakinan-keyakinan

yang

dominan saat itu dan merupakan ciri atau karakter masyarakat saat itu.21 Hal
seperti ini juga berlaku dalam proses pembentukan undang-undang. Dimana
terjadi ritualisme adu kepentingan di antara para anggota dewan ketimbang
mewakili konstituen.22
Terjadi politisasi hukum di semua lini aktivitas hukum, baik proses
pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law
enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness

19 YLBHI, Panduuan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007, Cet. Kedua), h. 32.
20 Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD, h. 9.
21 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006), h. 97.
22 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen “Dari Politik Kampus Hingga Suksesi
Kepemimpinan Nasional, (Jakarta: IND HILL CO, 2008, Cet. Kedua), h. 358.

24

process).23 Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan menteri Koordinator
Perekonomian dalam sebuah acara “United in Diversity Forum” bahwa:
…Intervensi politik yang demikian kuat membuat segala sesuatu bisa dilakukan
sekalipun bertentangan dengan peraturan dan hukum yang ada… Hal ini juga
yang membuat semua upaya perbaikan yang ada boleh dikatakan sangat rentan
guncangan.24
Hakim Konstitusi Mahfud MD dalam sebuah pertemuan dengan Duta Besar
Singapura menjawab pertanyaan Anil Kumar Nayar di Gedung Mahkamah
Konstitusi mengenai tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia, yaitu mengenai
tingkah laku politik (political behavior). Menurut Mahfud, tingkah laku politik di
Indonesia memiliki masa euphoria yang terlalu panjang. Sekarang Indonesia lebih
fokus pada perilaku politik ke depan, yakni bagaimana mengatur hukum-hukum
politik secara luas, tapi tidak boleh ada transaksi politik.25
Atas dasar ini berprasangka terlalu baik pada hukum (teks-teks) adalah hal
naif. Hukum positif (in abstracto) maupun penerapannya (in concreto) tetaplah
sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, sangat sulit membayangkan dalam proses
itu segalanya lantas dikatakan final sebagai netral dan bebas dari “permainan”

23 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, (Yogyakarta, UII Press,
2005, Cet. Pertama), h. 34.
24 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, h. 27.
25 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, h. 144.

25

politik.26 Dikarenakan senantiasa ada kepentingan tersembunyi yang difasilitasi
oleh hukum.27
Oleh karena itu mempertanyakan hubungan kausalitas hukum dan politik, ada
tiga macam jawaban yang dapat menjelaskan. Pertama, hukum determinan atas
politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk
pada aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bahkan saling bersaingan.28
Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain,
karena meskipun hukum adalah keputusan politik namun begitu hukum ada maka
semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Jadi, aturan
hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling
bersaingan.29
Seperti itulah proses legislatif secara politis terjadi. Seperti kata H.M.
Koesnoe mentesiskan bahwa kadangkala substansi peraturan perundang-

26 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 11.
27 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, h. 32.
28 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998), h. 8.
29 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 8.

26

undangan membuat kejahatan hukum30 (misdalig recht),31 disinilah letak
pentingnya constitutional review. Sehingga produk legislatif yang buruk dapat
diuji kadar konstitusionalitasnya apakah telah bertentangan atau tidak sesuai
dengan konstitusi sebagai rechtsgulle (sumber hukum).

D.

Pengujian Undang-Undang
1. Alasan Hukum Pengujian Konstitusionalitas
Konstitusi atau UUD sebagai produk politik sekaligus produk hukum
oleh suatu generasi, manakala substansinya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman dan tuntutan reformasi generasi berikutnya, jawabannya
tiada lain harus dilakukan perubahan. Tujuan perubahan UUD adalah:32
a. Mengubah, menambah, mengurangi, atau memperbaharui redaksi dan
substansi konstitusi (sebagian atau seluruhnya) supaya sesuai dengan
kondisi idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta kondisi
pertahanan dan keamanan bangsa pada zamannya.

30 Contohnya adalah UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
substansi pasal tertentu membangun kekuatan sentralistik dan cenderung menumbuhkan figure
pejabat-pejabat yang tiranis sentralistik serta korup, (dalam buku Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica
Marzuki).
31 Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum “Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica
Marzuki”, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005, Cet. Pertama), h. 117.
32 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, h. 97.

27

b. Menjadikan UUD sebagai norma dasar perjuangan demokratisasi bangsa
yang terus bergulir untuk mengembalikan paham konstitusionalisme
sehingga jaminan dan perlindungan HAM dapat ditegakkan, anatomi
kekuasaan tunduk pada hukum atau tampilnya supremasi hukum, dan
terciptanya peradilan yang bebas.
c. Untuk menghindari terjadinya pembaruan hukum atau reformasi hukum
yang tambal sulam sehingga proses dan mekanisme perubahan atau
penciptaan peraturan

perundang-undangan yang baru sejalan dengan

hukum dasarnya, yaitu konstitusi.
Alasan dan tujuan revision / amandemen / perubahan pada undangundang dasar ini juga berlaku pada undang-undang. Saat substansi,
perkembangan zaman, dan semangat suatu undang-undang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan masyarakat, bertentangan dengan pelaksanaan HAM,
bertentangan dengan asas hukum dan teori hukum yang ada cukup untuk
menjadi alasan pengajuan judicial review suatu undang-undang.33
2. Judicial Review
Pengujian undang-undang acapkali dikaitkan dengan nomenklatur:
judicial review. Judicial review mempunyai cakupan makna lebih luas
daripada penamaan toetsingrecht atau hak menguji. Judicial review dalam
sistem hukum common law tidak hanya bermakna “the power of the court to
33 Draft RUU Mahkamah Konstitusi 2 Mei 2002 dan 11 Juni 2002, Pasal 84 ayat (2), 22;
bandingkan dengan draft RUU Mahkamah Konstitusi 15 Juli 2002, Pasal 78 ayat (2), 23; dan draft
Mahkamah Konstitusi 16 September 2002, Pasal 76 ayat (2), dalam (Mahkamah Konstitusi Lembaga).

28

declare laws unconstitutional” tetapi juga berpaut dengan kegiatan
examination of administration decisions by the court.34
Yudicial review adalah pengujian peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh lembaga yudikatif.35 Yaitu

dilakukan

oleh

Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusionalitas sedangkan Mahkamah Agung melakukan
pengujian legalitas.36 Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi menangani penyelesaian konflik atau pelanggaran norma yang
terdapat dalam UUD.37
Pada dasarnya hak menguji (judicial review) adalah hak bagi hakim
(atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Hak
menguji formal (atau formele toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian
terhadap

cara

pembentukan

(pembuatan)

serta

prosedural

peraturan

perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (atau materieele
toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi (materi)
peraturan perundang-undangan.38

34 Laica Marzuki, (Berjalan-Jalan di Ranah Hukum), h. 67.
35 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h. 3.
36 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005, Cet. Pertama), h. 6.
37 Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas UUD NRI 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.
Pertama), h. 95.
38 Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, h. 67.

29

3. Legal Standing
Untuk melakukan permohonan PUU di Mahkamah Konstitusi maka
pemohon harus memiliki legal standing (kedudukan hukum). Persyaratan
untuk memiliki legal standing atau kedudukan hukum mencakup syarat
formal sebagaimana ditentukan undang-undang dan persyaratan materil
berupa kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang
sedang dipersoalkan.39
Jika didefinisikan kedudukan hukum atau legal standing adalah
keadaan di mana seseorang atau suatu pihak di tentukan memenuhi syarat dan
oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian
perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.
Dengan ditentukannya legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak
mempunyai hak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja
yang boleh menjadi pemohon, sesuai dengan adagium “ada kepentingan
hukum, boleh mengajukan gugatan (point d’interet point d’action)”. Legal
standing pemohon sangat penting, karena permohonan yang diajukan oleh
pemohon yang tidak mempunyai legal standing akan berakhir dengan putusan

39 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, h. 69.

30

Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).40
Dengan menunjuk pada Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya
telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki legal
standing. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang atau suatu pihak
mempunyai legal standing:41
a. Pemohon harus salah satu dari subjek hukum:42
(1) Perorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama);
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam
undang-undang;
(3) Badan hukum publik atau privat;
(4) Lembaga Negara.
b. Anggapan Pemohon bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu ketentuan undang-undang:

40 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 41.
41 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstit

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Kekayaan Yayasan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

0 60 257

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

4 62 98

Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar 1945 (Study Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/Puu-V/2007)

0 25 93

Deregulasi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

0 5 23

Kajian Yuridis Ditolaknya Permohonan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (Studi Putusan Nomor 81/Puu-X/2012)

0 6 11

Analisis politik hukum Islam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

0 14 104

Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI ( Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

0 15 101

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992

0 0 32

Mahkamah Konstitusi Dan Pengujian Undang-Undang

0 0 6