Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

(1)

PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

(STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJIAN

UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR 1945)

TESIS

Oleh

NOVI MERI SUSANTI

077011050/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

(STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJIAN

UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR 1945)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVI MERI SUSANTI

077011050/M.Kn

 

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAIPENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Nama Mahasiswa : Novi Meri Susanti Nomor Pokok : 077011050

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.M.Hum) (Notaris Syahril Sofyan, SH.M.Kn)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN) (Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 09 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.M.Hum

2. Notaris Syahril Sofyan, SH.M.Kn 3. Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN 4. Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH. CN. M.H


(5)

ABSTRAK

Tanah Pertanian yang dimiliki setiap masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisah dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah Pertanian. Undang–undang ini telah dilakukan pengujiannya oleh Yusri Adrisoma sebagai pemohon penguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Pasal 10 Ayat (3) dan (4) terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945, dimana kewenangan MK untuk menguji undang-undang diatur di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian diakibatkan oleh peristiwa hukum yang dialami orang tua Pemohon yang memiliki tanah seluas 277.645 Ha dan tanah tersebut telah diambil oleh negara tanpa ganti kerugian apapun yang disebabkan karena orang tua Pemohon melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Undang–undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang wajib lapor 3 bulan dan larangan memindahkan hak milik.

Atas permohonan Yusri Adrisoma terhadap Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 10 Ayat (3) dan (4) MK menolak permohonan tersebut, serta atas kasus tersebut Pemerintah akan menganalisisnya terhadap Putusan MK atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Penelitihan ini bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk mengumpulkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat sehigga ditemukan gambaran yang jelas mengenai Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi kasus: Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960). Metode pendekatannya adalah yuridis normatif. Sumber bahan hukum yaitu data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab MK menolak permohonan Pemohon karena tanah yang dipermasalahkan Pemohon adalah tanah orangtuanya yang statusnya telah menjadi tanah negaramaka jelas tidak relevan lagi kepentingan Pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi, jadi tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dilanggar dan atau Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dengan keberlakuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kecuali apabila status tanah tersebut telah beralih kepada Pemohon sebelum status tanahnya menjadi tanah negara sehingga akibat hukum nya adalah pembatalan pemilikan tanah karena tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian dan tanah tersebut akan direstribusikan kepada petani tuna kisma. Berdasarkan pertimbangan maka MK menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian, menolak permohonan pengujian Pemohon, menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan, menyatakan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan RI. Pemerintah menyatakan bahwa Undang-undang tersebut masih relevan dan efektif, tetapi melihat kondisi masyarakat saat ini maka


(6)

undang-undang tersebut dinilai tidak relevan dan tidak efektif karena itu sudah saatnya Pemerintah mengubah undang-undang ini.


(7)

ABSTRACT

Agricultural land owned by the community is an inseparable part of law No 56 1960 on agricultural land area regulation. Yusri Adrisoma has applied to the Court of Constitution (CC) to test article 10 (3) and (4) of lawNo 56 Prp 1960 toward Article 28D (1), Article 28H (4), Article 28I (2) of the 1945 Constitution because the authority of the Court of Constitution to test the law is regulated in Article 24C (1) of the 1945 Constitution in connection with Article 10 (1) and (2) of law No 24/2003. This test was initiated by a legal event experienced by the applican’t parents who owned a plot of 277,645 hectares and the land was occupied by the state government without any compensation because the applicant’s parents broke Article 3 and Article 4 of Law No 56 Prp 1960 on the obligation to report for 3 months and the prohibition of proprietary right transfer.Yet, the Court of Constitution refused Yusri Adrisoma application to test the Article 10 (3) and (4) of law No 56Prp 1960 and the government will analyze the decision of the Court of Constitution to refuse the application.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach is collect and analyze the factual ad accurate data systematically obtained to get the clear description about the agricultural land area regulation (case study: Decision of MK No 11/PUU-V/2007 on testing law No 56 Prp 1960). The data for this study were secondary data in the farm of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through library research. The data obtained were then qualitatively analyzed.

The result of this study reveals that the Court of Constitution (MK) refused the applicant’s application because the existing status of the land belonged to the applicant’s parent has changed into state-owned land so it was the issuance of Law No 56 Prp 1960, the constitusional right of the applicant was not violatd except if the status of land was transfered back ton the applicant before the status of the land became state-owned that the legal consequence is the ownership of the land was cancelled because the land belonged to the state and the applicant had no right to demand for compentation and the land would be distributed to the farmers without land. Based on this consideration, MK declared that the applicant did not have any legal position to apply for the judicial review. MK refused the applicant’s application, received the government’s explanation as a whole, declared that Law No 56 Prp 1960 still has its legal power and be effective in all Republic of Indonesia the government stated that the Law is still relevant and effective but considering the current community’s condition this Law is regarded ed being irrelevant and ineffective so it is the time for the government to amend this law.

Key words : Agricultural Land Area Regulation, Court of Constitution, Judicial Review.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih, karena berkatNya dan kasihNya, Penulis diberi kesehatan, kekuatan, dan kesabaran serta hikmat dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul “PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H, M.S, CN selaku Ketua Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah menjadi teman diskusi dan bertanya, ketika kesulitan dalam penyelesaian tesis ini;


(9)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah memberi masukan kepada penulis;

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing utama yang selalu memberi perhatian, dorongan dan arahan kepada penulis;

6. Bapak Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH, MS, selaku komisi pembimbing yang selalu memberi perhatian, dorongan dan arahan kepada penulis sehingga Penulis lebih giat lagi belajar;

7. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn selaku dosen pembimbing yang telah memberikan, perhatian, dorongan serta masukan serta kritik yang membangun kepada penulis;

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Kepada yang terhormat dan terkasih Bapak D. Pasaribu dan Mamak R.M. Sibagariang sebagai orang tua terbaik yang selalu tulus, sabar dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya menjadi bagian dalam hidup penulis;

10.Kepada kakakku Oka wati Pasaribu, S.Kep, Ners, abangku Dariaman S.S.Pasaribu terimakasih yang tulus buat doa, semangat serta motivasi yang tiada hentinya kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan. I Love U Al l...


(10)

11.Buat Ompung boru ku H. Simatupang, thanks atas perhatihan serta motivasi yang diberikan kepada Penulis, dan buat keluarga besar Sibagariang serta sepupu-sepupuku yang telah menjadi penyemangat dan selalu perhatian pada Penulis. 12.Buat orang yang ku sayang Ronald. D. F. Tambunan, SSi yang selalu

mengingatkan Penulis untuk mengerjakan tesis dan selalu memberikan perhatian yang tulus kepada Penulis.

13.Teman-teman mahasiswa Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2007. To my best friends K’Lisbet, Lisa, K’Artha, Juliana, K’ Lenny, Afni, B’Juni, Debora, Maria dan B’Hotma thanks for your kindness. Juga untuk teman-teman ku di kelas A, kelas B, dan kelas C angkatan 2007 thanks atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memotivasi serta memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

14.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2009

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Novi Meri Susanti Pasaribu Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 08 November 1985

Alamat : Perumahan Bekala Asri Blok G Nomor 15 Agama : Kristen Protestan

Telepon / HP : (061) 4146050 / (0812) 63 31 551

II. ORANG TUA

Nama Ayah : D.O.Pasaribu Nama Ibu : R.M.Sibagariang

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

o 1990 – 1991 : Pra Taman Kanak–Kanak Ananda, PT.Padasa Enam Utama

Kalianta,Riau;

o 1991 - 1997 : Sekolah Dasar Negeri 030, PT.Padasa Enam Utama Kalianta,

Riau;

o 1997 - 2000 : Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri 2 Bangkinang,

Riau;

o 2000 - 2003 : Sekolah Menengah Umum Khatolik Cahaya , Medan;

o 2003 - 2007 : Fakultas Hukum Jurusan BW Universitas Sumatera Utara ,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Keaslian Penelitian ... 5

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON... 9

A. PenyelenggaraanKewenanganMahkamah Konstitusi... 9

B. Wewenang Mahkamah Konstitusi... 10

C. Alasan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Yang Diajukan Oleh Pemohon... 11

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN TANAH YANG DIMILIKI OLEH PEMOHON... 13

A. Ketentuan Tentang Landreform ... 13

B. Pengaturan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian ... 16

C. Akibat Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Yang Dimiliki oleh Pemohon... 21

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAHKONSTITUS ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 56 PRP TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN... 23


(13)

B. Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Tentang Penetapan LuasTanah Pertanian... 24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

A. Kesimpulan ... 27

B. Saran ... 28


(14)

DAFTAR SINGKATAN

1. BPN : Badan Pertanahan Nasional 2. HTN : Hukum Tanah Nasional 3. Kejari : Kejaksaan Negeri 4. Keppres : Keputusan Presiden 5. KPU : Komisi Pemilihan Umum

6. KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana 7. MA : Mahkamah Agung

8. MK : Mahkamah Konstitusi 9. PN : Pengadilan Negeri 10. PP : Peraturan Pemerintah

11. Prp : Peraturan Pengganti Undang-undang 12. PUU : Pengujian Undang-Undang

13. RI : Republik Indonesia

14. STP : Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Rugi

15. UUD : Undang-Undang Dasar

16. UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria 17. UU : Undang-Undang


(15)

ABSTRAK

Tanah Pertanian yang dimiliki setiap masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisah dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah Pertanian. Undang–undang ini telah dilakukan pengujiannya oleh Yusri Adrisoma sebagai pemohon penguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Pasal 10 Ayat (3) dan (4) terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945, dimana kewenangan MK untuk menguji undang-undang diatur di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian diakibatkan oleh peristiwa hukum yang dialami orang tua Pemohon yang memiliki tanah seluas 277.645 Ha dan tanah tersebut telah diambil oleh negara tanpa ganti kerugian apapun yang disebabkan karena orang tua Pemohon melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Undang–undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang wajib lapor 3 bulan dan larangan memindahkan hak milik.

Atas permohonan Yusri Adrisoma terhadap Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 10 Ayat (3) dan (4) MK menolak permohonan tersebut, serta atas kasus tersebut Pemerintah akan menganalisisnya terhadap Putusan MK atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Penelitihan ini bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk mengumpulkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat sehigga ditemukan gambaran yang jelas mengenai Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi kasus: Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960). Metode pendekatannya adalah yuridis normatif. Sumber bahan hukum yaitu data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab MK menolak permohonan Pemohon karena tanah yang dipermasalahkan Pemohon adalah tanah orangtuanya yang statusnya telah menjadi tanah negaramaka jelas tidak relevan lagi kepentingan Pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi, jadi tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dilanggar dan atau Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dengan keberlakuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kecuali apabila status tanah tersebut telah beralih kepada Pemohon sebelum status tanahnya menjadi tanah negara sehingga akibat hukum nya adalah pembatalan pemilikan tanah karena tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian dan tanah tersebut akan direstribusikan kepada petani tuna kisma. Berdasarkan pertimbangan maka MK menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian, menolak permohonan pengujian Pemohon, menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan, menyatakan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan RI. Pemerintah menyatakan bahwa Undang-undang tersebut masih relevan dan efektif, tetapi melihat kondisi masyarakat saat ini maka


(16)

undang-undang tersebut dinilai tidak relevan dan tidak efektif karena itu sudah saatnya Pemerintah mengubah undang-undang ini.


(17)

ABSTRACT

Agricultural land owned by the community is an inseparable part of law No 56 1960 on agricultural land area regulation. Yusri Adrisoma has applied to the Court of Constitution (CC) to test article 10 (3) and (4) of lawNo 56 Prp 1960 toward Article 28D (1), Article 28H (4), Article 28I (2) of the 1945 Constitution because the authority of the Court of Constitution to test the law is regulated in Article 24C (1) of the 1945 Constitution in connection with Article 10 (1) and (2) of law No 24/2003. This test was initiated by a legal event experienced by the applican’t parents who owned a plot of 277,645 hectares and the land was occupied by the state government without any compensation because the applicant’s parents broke Article 3 and Article 4 of Law No 56 Prp 1960 on the obligation to report for 3 months and the prohibition of proprietary right transfer.Yet, the Court of Constitution refused Yusri Adrisoma application to test the Article 10 (3) and (4) of law No 56Prp 1960 and the government will analyze the decision of the Court of Constitution to refuse the application.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach is collect and analyze the factual ad accurate data systematically obtained to get the clear description about the agricultural land area regulation (case study: Decision of MK No 11/PUU-V/2007 on testing law No 56 Prp 1960). The data for this study were secondary data in the farm of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through library research. The data obtained were then qualitatively analyzed.

The result of this study reveals that the Court of Constitution (MK) refused the applicant’s application because the existing status of the land belonged to the applicant’s parent has changed into state-owned land so it was the issuance of Law No 56 Prp 1960, the constitusional right of the applicant was not violatd except if the status of land was transfered back ton the applicant before the status of the land became state-owned that the legal consequence is the ownership of the land was cancelled because the land belonged to the state and the applicant had no right to demand for compentation and the land would be distributed to the farmers without land. Based on this consideration, MK declared that the applicant did not have any legal position to apply for the judicial review. MK refused the applicant’s application, received the government’s explanation as a whole, declared that Law No 56 Prp 1960 still has its legal power and be effective in all Republic of Indonesia the government stated that the Law is still relevant and effective but considering the current community’s condition this Law is regarded ed being irrelevant and ineffective so it is the time for the government to amend this law.

Key words : Agricultural Land Area Regulation, Court of Constitution, Judicial Review.


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional.1

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata.2

Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian

1 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:Universitas Trisakti, 2003), halaman 3.

2


(19)

alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.3

Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah. karena tidak ada aktivitas orang ataupun badan hukum apalagi yang disebut kegiatan pembangunan yang tidak membutuhkan tanah.4 Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup dari tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.5

Sekitar lima juta petani di Indonesia yang belum memiliki lahan pertanian atau mengandalkan dirinya menjadi buruh tani. Besarnya jumlah buruh tani tersebut sangat memprihatinkan karena bagaimana bisa sejahtera seorang petani tidak memiliki lahan. Banyaknya petani yang belum memiliki lahan tersebut terjadi karena masih rendahnya pendidikan formal, minimnya regenerasi petani, biasanya petani adalah seoarang pekerja keras namun sangat rendah pengetahuannya. Sementara itu petani pemilik lahan juga masih sulit untuk hidup sejahtera, karena tidak sedikit dari mereka terjerat rentenir untuk membiayai pengelolahan tanahnya.

Menyangkut mengenai hal pemilikan dan penguasahan tanah, dalam hal penguasahan tanah pertanian ada batasan maksimum dan minimumnya hal tersebut

3

A.P.Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Land reform (Bagian III),

(Bandung: CV.Mandar Maju, 1994), halaman 11. 4

Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik, 2005), halaman 2.

5

G.Kartasapoetra,R.G.Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah Jaminan


(20)

diatur di dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Tanah Pertanian yang dimiliki setiap masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisah dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang ketentuan land reform mengatur tentang batas maksimun dan minimun penguasaan tanah khusus ditujukan kepada tanah pertanian saja sedangkan untuk tanah bangunan tidak ada disebutkan. Namun mengingat semakin banyaknya tanah-tanah yang dikuasai oleh badan-badan hukum atau sekelompok badan hukum terutama berdasarkan lokasi yang tidak dimanfaatkan dengan baik maka dirasa perlu membatasi penguasaan tersebut.6 Menyangkut mengenai tanah diatur di dalam UUPA dimana disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional berdasarkan atas Hukum Adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum tanah. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional yaitu asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanahn secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.7

Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum selanjutnya. Namun demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpang dari asas tersebut.guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenaran. Sistem atau tata susunan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional, dimulai dengan:

1. Hak bangsa indonesia sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, yang beraspek hukum keperdataan dan hukm publik. Semua hak-hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang bersifat abadi artinya hubungannya akan terus menerus tiada terputus untuk selama-lamanya.

6

Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006), halaman 100.

7


(21)

2. Hak menguasai dari negara, yang bersumber dari hak bangsa yang hanya beraspek hukum publik semata. Pelaksanaan dari hak menguasai negara ini kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain atau pihak ketiga dalam bentuk Hak Pengelolaan. Kewenangan Hak Menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam Pasal 2 Ayat 2 UUPA. Hak menguasai dari negara tidak akan hapus selama negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

3. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

4. Hak-hak penguasaan individual terdiri atas: a. Hak-hak atas tanah meliputi:

Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh negara.

Sekunder: Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak sewa dan lain-lain.

b. Hak Wakaf, hak individual yan g berasal dari hak milik yang sudah diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional.

c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan.8

Dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dirumuskan suatu asas yang dewasa ini sedang menjadi dasar dari pada perusahaan-perusahaan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang telah/ sedang menyelenggarakan apa yang disebut ”land reform” atau ”agraria reform” yaitu bahwa ”Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemilik sendiri”. Artinya keberadaan hukum agraria tersebut tidak akan menjamin keterbukaan, sehingga tidak tercapai keadilan yang substansif. Pada akhirnya fungsi hukum agraria itu tidak dapat digunakan sebagai alat penyelesaian sengketa pertanahan.9

8

Ibid, halaman 42.

9

Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, (Medan: USU Press, 2005), halaman 105.


(22)

Akibat adanya tanah dikuasai oleh pihak tertentu untuk kepentingan sendiri maka menimbulkan sengketa dalam pertanahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sengketa adalah pertengkaran, perbantahan, pertikaian atau perkara di pengadilan yang disebabkan oleh uang dan perebutan wilayah/ daerah, sedangkan yang dimaksudkan dengan tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.10

Undang–undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 telah dilakukan pengujiannya yaitu Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hukum acara untuk perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda jika dibandingkan dengan peradilan biasa karena hal yang banyak dipertimbangkan dan diperiksa adalah opini dan tafsiran, dan bukan pada fakta, sehingga analisis terhadap data menjadi hal yang penting dan utama untuk disajikan.11

Permohonan pengujian tersebut secara administrasi diajukan kepada bagian kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang dimintanya untuk diputus.

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, halaman 946.

11

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tatanegara, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), halaman 20.


(23)

Dalam mengajukan permohonan tersebut, Pemohon wajib menguraikan dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan karena adanya pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji haruslah memenihi syarat-syarat yang bersifat kumulatif.

Pemohon yang dianggap memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan hak atau kewenangan konstitusionalnya terhadap Mahkamah Konstitusi oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

(a) Perorangan warga negara Indonesia.

(b) Kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

(c) Badan hukum publik dan privat. (d) Lembaga negara.12

Hal ini secara rinci diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Khususnya setelah amandemen Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tertanggal 19 Oktober 1999.13

Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan secara formal

12

Hadi Setia Tunggal, Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Harvindo, 2007), halaman 1. 13


(24)

dan materiil. Dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau norm control mechanism yaitu :

1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan ( Regeling )

2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan ( Beschikking )

3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman ( Judgement ) yang biasa disebut vonis.14

Pada hakekatnya evaluasi pelaksanaan suatu undang-undang tergantung kepada beberapa hal antara lain substansi undang-undang, perkembangan masyarakat dimana undang-undang tersebut diterapkan, strategi dan kebijakan pembangunan, keberadaan undang-undang tersebut dalam konteks peraturan perundangan lainnya, motivasi, dedikasi dan kemampuan aparat pelaksanaan undang-undang tersebut.15 Di dalam kehidupan masyarakat sering terjadi ketidak setujuan terhadap isi dan pembuatan undang-undang maka Pemerintah dalam hal ini memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengajukan permohonan kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.

Salah satu contoh ketidakpuasan atas undang-undang tersebut yakni adanya Perkara yang diajukan oleh Yusri Adrisoma, tempat/tanggal lahir Subang 15 Oktober 1950, agama Islam, pekerjaan seorang tani, kewargenegaraan Indonesia, alamat Dusun Parapatan RT 05 RW 03 Desa Tegalurung Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

14

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), halaman 1.

15


(25)

Menurut Yusri Adrisoma Pasal 10 Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Jika terjadi tindak pidana yang dimaksud Ayat (1) huruf a pasal ini maka pemindahan hak itu batal karena hukum sedangkan tanah yang bersangkutan jatuh pada negara, tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian apapun” dan Ayat (4) menyatakan bahwa “Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam Ayat (1) huruf b pasal ini maka kecuali didalam hal termaksud dalam Pasal 7 Ayat (1), tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan atau anggota keluarganya dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk mengemukakan keinginannya mengenai tanah yang jatuh kepada negara itu ia tidak berhak atas ganti kerugian berupa apapun” bertentangan terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 28H Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun berarti negarapun tidak boleh mengambil alih secara sewenang-wenang jaditidak ada tanah yang jatuh kepada negara terkecuali ada kesepakatan antara pemilik dengan negara dengan bentuk ada penggantian sesuai dengan Pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, dan Pasal 28IAyat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuanyang bersifat diskriminatif itu.


(26)

Pemohon mengajukan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian kepada Mahkamah Konstitusi karena Pemohon merasa dirugikan dengan adanya penyitaan tanah waris dari orang tuanya yang bernama Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Subang seluas 277.645 Ha pada tanggal 13 September 1979.

Pada tahun 1979 Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta telah terbukti dan meyakinkan terang bersalah telah melakukan memiliki tanah pertanian seluas 277.645 Ha melebihi batas maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon ternyata telah melanggar ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan bahwa: "orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya mempunyai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan di dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini, Kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria"dan juga melanggar Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang meyatakan bahwa, ”Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak-miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika tanah yang haknya dipindahkan itu tidak melebihi luas


(27)

maksimum dan dengan memperhatikan pula ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2)”.

Akibat dari pelanggaran hukum tersebut diatas, oleh karena itu Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon dijatuhi sanksi pidana yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap dimana menurut ketentuan Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, karena telah terjadi pelanggaran atas ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 maka mengakibatkan pemilikan tanah Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon seluas 277.645 Ha menjadi hilang hak kepemilikan atas tanah yang selebihnya dari Iuas maksimum dan sekaligus hilang hak untuk menuntut ganti kerugian dari negara, sedangkan status tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan untuk diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah atau tuna kisma atau petani gurem. Oleh karena itu setelah menjalani persidangan maka Pengadilan Negeri Subang memutuskannya dengan perkara Pidana Nomor 38/1979/Pidana/PN.Sbg pada tanggal 24 Maret 1981.

Dengan adanya putusan tersebut, maka tanah hak milik Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta telah dilakukan penyitaan oleh Kejaksaan Negeri Subang pada tanggal 13 September 1979 dari Desa Pamanukan Hilir, Bobos, Tegalurung dan Pangarengan seluas 277.645 Ha dikurangi tanah milik Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta asal dari warisan orang tuanya sesuai dengan batas maksimal menurut ketentuan yang berlaku, kemudian menghukum Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta dari sebab itu dengan pidana penjara kurungan 3 (tiga) bulan, serta


(28)

Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500,-.

Akibat dari pada putusan Pengadilan Negeri tersebut maka Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta langsung stressdan terserang stroke sehingga pada tanggal 6 Mei 1981 meninggal dunia. Pemohon sebagai ahli waris tidak menerima begitu saja. Pada tahun 1981 keluarlah peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pemohon sebagai ahli waris dari mendiang Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI atas Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor 38/Pidana/1979/PN.Sbg dan diputus dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16/PK/Pid/1983, tetapi Putusan Permohonan Peninjauan Kembali ditolak oleh Mahkamah Agung RI. Setelah itu maka tanah yang telah di eksekusi oleh kejaksaan Negeri Subang dalam Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor 38/Pidana/1979/PN.Sbg diserahkan kepada Kantor Agraria Subang pada tanggal 8 Mei 1981.

Pemohon sebagai ahli waris dari mendiang Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon telah menandatangani Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Rugi (STP3) atas tanah kelebihan dari batas maksimal pada tanggal 1 Juli 1986 Nomor A/VIII/53A/574/1986, sampai sekarang belum mendapatkan ganti rugi sekalipun sudah diusulkan oleh Kepala Kantor Agraria Subang pada tanggal 16 Oktober 1986 Nomor 592/Kad.1125/1986, perihal permohonan ganti rugi atas tanah kelebihan maksimum bekas penguasaan/pemilikan saudara Dukrim bin Suta.


(29)

Dalam pengajuan permohonan ini, Pemohon tidak menyampaikan dalil-dalil hukum yang rumit atau teori-teori hukum sulit dan canggih, karena menurut hemat Pemohon, apapun yang menjadi alasan Pemohon ini sudah sangat jelas dan kuat serta sulit dibantah.

Adapun alasan-alasan pemohonan melakukan permohonan pengujian Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar yang diajukan Pemohon adalah bahwa Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang 56 Prp Tahun 1960 menyatakan bahwa pengertian anak kalimat, ”jika terjadi tindak pidana" adalah mengandung pengertian tidak adanya kepastian hukum dan tidak adanya keadilan serta diskriminatif karena bagi orang-orang yang memiliki tanah melebihi batas maksimal saja lah yang terkena tindak pidana dan ini hanya berlaku bagi orang yang terkena tindak pidana meskipun memiliki tanah melebihi batas maksimum dibiarkan sekalipun sudah melanggar Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.16

Selain itu juga pengertian anak kalimat yang menyatakan bahwa ”tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apapun" ini jelas merupakan sanksi yang sangat berat padahal ini hanya bersifat pelanggaran dan bukan kejahatan, yang seharusnya kita setujui bersama dengan penetapan luas tanah pertanian maka batas maksimal diambil olehPemerintah dengan ganti kerugian sesuai Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria.

16


(30)

Pemohon juga mendalilkan mengenai hak milik. Dimana hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUP pasal ini disebutkan sifat-sifat dari hak milik, dan yang membedakannya dengan hak-hak lainnya.

Dalam hal ini menurut Pemohon bahwa hak milik itu harus dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 shingga tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapunberarti negarapun tidak boleh mengambil alih secara sewenang-wenang jadi tidak ada tanah yang jatuh kepada negara terkecuali ada kesepakatan antara pemilik dengan negara dengan bentuk ada penggantian sesuai dengan Pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria.

Setelah Pemohon menguraikan alasan-alasannya mengajukan pengujian Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4), maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 menolak permohonan dari pada Pemohon dengan alasan Tidak terdapat hubungan hukum antara Pemohon dengan tanah, karena status tanahnya adalah tanah Negara, dan Sanksi di dalam Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dikenakan terhadap Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon secara pribadi bukan kepada Pemohon.


(31)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka ada terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Mengapa Mahkamah Konstitusi menolak Permohonan yang diajukan oleh Pemohon?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap penguasaan tanah yang dimiliki oleh Pemohon?

3. Bagaimana Analisis hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah melaksanakan penelitian mengenai Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 11/PUU-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945), maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui alasan Mahkamah Konstitusi menolak Permohonan yang diajukan oleh Pemohon.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penguasaan tanah yang dimiliki oleh Pemohon .


(32)

3. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan ada 2 (dua) manfaat yang dapat dihasilkan yaitu : yang bersifat teoritis dan bersifat praktis.

1. Secara teoritis

Yakni hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang dapat memberikan andil bagi peningkatan pengetahuan.

2. Secara Praktis

Yakni hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pengetahuan bagi pemerintah yang berwenang untuk membuat undang-undang agar sudah saatnya untuk segera memperbaharui atau merevisi Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Sebagai informasi kepada masyarakat tentang upaya hukum yang berlaku jika terjadi Permohonan kepada Mahkamah Konstitusi.


(33)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No : 11/PUU-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945), belum pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya “ sehingga tesis ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan ini,karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan yang bersifat ilmiah ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata ”theori” dalam bahasa latin berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata ”thea”dalam bahasa yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas .17

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,18 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

17

Otje Salman, Anthon F.Susanto, Teori Hukum, (Bandng: Refika Aditama, 2007), halaman 21.


(34)

Selain itu teori dapat juga didefenisikan adalah suatu konstruksi dialam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman .19

Teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina sturktur konsep dan memperkembangkan defenisi, suatu ikhtisar hal yang diketahui, kemungkinan prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan.20

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.21

Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.22

18

J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), halaman 203.

19

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum:Paradigma,Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002), halaman 184.

20

http://staf . ui.edu/intenal.

21 M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan penelitihan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman 80. 22

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), halaman 37.


(35)

Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.23

Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina, struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti.

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.24

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam ”Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No. 11/PUU/-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terhadap UUD 1945 adalah dengan menggunakan pendekatan teori pemerataan, pembatasan dan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah yang tersedia.

23

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan

Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni),

(Yogyakarta: Paradigma, 2005), halaman 239. 24

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), halaman 121.


(36)

Aturan yang menetapkan sebagai tindak pidana pemilikan tanah yang melampaui batas maksimum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 juncto Pasal 10 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, dengan kualifikasi pelanggaran dan bukan kejahatan, maka karena sifat hakikatnya dalam sejarah kemanusiaan, perbuatan itu menjadi tindak pidana bukan karena kualitas perbuatannya, melainkan hanya akibat dibentuk dan diterapkannya peraturan perundangundangan oleh penguasa. Perbuatan itu sendiri bukan sesuatu perbuatan yang dalam kesadaran hukum masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang jahat.

Oleh karenanya, penataan kembali struktur penguasaan dan pemilikan tanah melalui hukum dan perundang-undangan demikian, yang harus konsisten berpedoman pada asas dalam UUD 1945 dan UUPA, yang menggariskan kelebihan tanah dari maksimum luas yang diperkenankan dimiliki, tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dan harus dengan ganti rugi.

Aturan perampasan kelebihan tanah tanpa ganti rugi sebagai akibat kelalaian melaporkan kelebihan, yang oleh Pemerintah dipandang adil menjadi alat pemaksa sebagai konsekuensi pelanggaran yang dilakukan untuk mengefektifkan pelaksanaan

land reform dan agrarian reform, dianggap tidak rasional dan proporsional.

Teori proporsionalitas merupakan wujud dari keadilan yang telah menjadi salah satu asas-asas hukum umum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,

dengan mana pengambil kebijakan dapat mengukur sebelum mengambil keputusan, apakah perampasan tanpa ganti rugi akan diperlakukan (i) jika tujuan land reform


(37)

dicapai lebih baik atau lebih efektif melalui tindakan itu atas dasar kriteria efisiensi yang lebih baik, dan (iii) jika persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan lebih efektif melalui kewenangan demikian.

Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih -lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu syarat yang mutlak atau syarat yang absolut.25

Untuk cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara. Rencana umum yang meliputi seluruh wilayah indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya perencana-rencanaan tersebut, penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat.26

Selain dari pada teori yang telah disebutkan diatas dalam kasus ini juga dapat menggunakan teori yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman yaitu teori sistem hukum yaitu bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu : Structure ; Substance; dan Culture. Struktur dalam suatu sistem

25

Arie Sukanti Hutagalang, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008), halaman 2.

26


(38)

hukum, misalnya mengenai kedudukan dari peradilan, eksekutif, yudikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah, mengenai norma, peraturan maupun undang-undang, tetapi lebih menarik dari ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan, maupun prilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat. 27 Struktur dari peradilan yakni Mahkamah Konstitusi merupakan konsep kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai lembaga negara yang independen dan hanya dibedakan dari segi fungsi dan wewenang, sedangkan dalam pengujian undang-undang maka Mahkamah Konstitusi menguji undang terhadap UUD 1945 termasuk dalam kasus ini Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.

Mahkamah Konstitusi merupakan norma hukum pada badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan merupakan badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk mengadili perkara pengujian undang-undang termasuk dalam hal ini Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Budaya hukum yang diharapkan dari Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian yakni

27


(39)

Persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi.

Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas dari pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan negara, dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat dan cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara.28

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.29 Pentingnya definisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dua bius) dari suatu istilah yang dipakai untuk ditemukan suatu kebenaran dengan substansi yang diperlukan“30. Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan gejala-gejala tertentu. Kerangka konsepsional

28

Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2003), halaman 27.

29

Soerjono soekanto, Pengantar Penelitihan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia -Press, 1986), halaman 133.

30

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambahkan, (Bandung: Alumni, 2006), halaman 31.


(40)

merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.31

Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah– istilah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penetapan Luas Tanah Pertanian dilakukan dengan peraturan perundang-undangan sedangkan tanah yang kelebihan dari batas maksimun dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah; 2. Pengujian undang-undang adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan

kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu;

3. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945; 4. Konstitusi adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan

dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.32 Didalamnya terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga negara, cita-cita dan ideologi negara, masalah ekonomi, dan sebagainya.

31

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 20.

32


(41)

Namun mengenai unsur ketetapannya tidak ada kesepakatan di kalangan para ahli;33

5. Hak menguji material adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, Jadi hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya;34

6. Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar1945;

7. Land reform adalah perombakan mengenai pemilikan dan menguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah;35

8. Tanah Absentee adalah tanah yang dimiliki seseorang (pemilik), dimana orang tersebut bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letaknya tanah tersebut;36

33

H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), halaman 49.

34

Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), halaman 11. lihat bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, H.M. Laica Marzuki, dkk, Menjaga Denyut Konstitusi Reflkesi

Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), halaman 4. menyatakan bahwa

ide pembentukan Mahkamah Konstitusi berkaitan erat dengan ide untuk mengembangkan fungsi pengujian Undang-undang yang dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam sejarah awal pembentukan negara kita.

35

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I, Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2005), halaman 364.

36

Tampil Ansahari Siregar, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, (Medan: FH USU, 2006), halaman 77.


(42)

9. Latifundia adalah larangan penguasaan tanah yang luas kali sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian ( ceiling ) atas kepemilikan tanah;37

10. Ceiling adalah maksimunisasi pemilikan tanah pertanian yang boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada Pemerintah untuk dibagikan kepada petani tanpa tanah atau petani gurem;

11. Petani adalah orang baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai sawah sendiri, yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian;

12. Redistribusi adalah pembagian tanah yang melebihi batas maksimum, tanah yang dikuasai secara absentee, tanah swapraja atau bekas swapraja dan tanah negara lainnya kepada para petani yang belum mempunyai tanah pertanian yang diambl oleh Pemerintah.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.38 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,

37

A.P Parlindungan. Op.Cit, halaman 72. 38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), halaman 1.


(43)

sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.39

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.40 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

Sehubungan dengan itu dalam kegiatan penelitian yang akan dilakukan sehubungan dengan permasalahan tersebut sebelumnya dapat dikemukakan beberapa hal diantaranya:

1. Spesifikasi Penelitian

Istilah metode berasal dari bahasa yunani dengan asal kata methods yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan penelitian yang menyangkut tentang cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.41

Dari judul dan masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan, dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang

39

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), halaman 6.

40

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia-Hill Co, 1990), halaman 106.

41 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyaraka, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), halaman 16.


(44)

terjadi.42 Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskriptif atau gambaran yang seteliti mungkin tentang kajian hukum mengenai masalah Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No; 11/PUU–V/2007 yakni : Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945) yang dikaitkan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kemudian melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No; 11/PUU–V/2007 yakni : Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945) merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maupun hukum dalam bentuk putusan-putusan pengadilan. Selain itu dipergunakan juga dokumen-dokumen dan teori-teori berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini.

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan studi dokumen maka data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari pada data primer.

Data skunder yang diteliti terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari :

42


(45)

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.

3) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah pertanian.

4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 5) Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan masalah pertanahan. 6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007.

7) Keputusan-keputusan Menteri Agraria serta peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan topik.

8) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer yang terdiri dari :

1) Tulisan atau pendapat pakar hukum dan pakar hukum tentang hak atas tanah. 2) Hasil penelitian yang merupakan data dari studi dokumen.

3) Karya-karya ilmiah

4) Makalah dan simposium di bidang pertanahan.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu penjelasan sebagai informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari :

1) Kamus Umum Bahasa Indonesia.

2) Kamus Sosiologi dan tulisan serta pendapat pakar yang berkaitan dengan sosiologi hukum.


(46)

4) Berbagai majalah Hukum pertanahan, notaris dan kliping dari media massa dan internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang mendukung penelitian, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan penelitian kepustakaan (Library research) yang dilakukan dibeberapa perpustakaan di Perguruan Tinggi dan Instansi Pemerintah. Penelitian kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik bahan hukum primer maupun bahan sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Alat Pengumpulan Data

Agar dapat memperoleh data yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka alat pengumpulan data yang digunakan didalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya.


(47)

Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif Artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, holistik, dan komprehensif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif43 dan deduktif.44 Dengan metode ini kemudian diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan kajian hukum terhadap Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No. 11/PUU–V/2007 yakni : Pengujian Undang-undang No : 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945.

43

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10. Prosedur Induktif yaitu Proses berasal dari proporsi-proporsi khusus (sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Dalam Prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar untuk proposisi ini yang diperoleh dari hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang kebenaran empiris.

44

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Seseungguhnya Penelitian Itu Kertas Kerja, (Surabaya: Universitas Erlangga, 2000), halaman 2. Prosedur deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang lebih bersifat aksiomatif (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.


(48)

BAB II

MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON

A. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Secara etimologis antara kata “konstitusi”, konstitusional”, dan “konstitusionalisme” ini segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah situasi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.45

Konstitusi memiliki dua pengertian yaitu Konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan Konstitusi tidak tertulis (Konvensi). Negara Inggris merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis.46 Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (Konstitusionalisme) terdiri dari :

1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum. 2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

3. Peradilan yang bebas dan mandiri.

4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (Akuntabilitas Publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.47

45

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1991), halaman 521.

46

M.Solly Lubis, Asas- Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978), halaman 45. 47

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 2.


(49)

Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan ”maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.48 Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Groundwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan ground berarti tanah atau dasar.49

Mencermati dikotomi antara istilah Constitution dengan Grondwet (Undang Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau Grondwet (Undang Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan Constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M., dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang Undang Dasar.50 Penyamanan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia .

Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana

48

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1995), halaman 16.

49

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Op.Cit, halaman 8. 50

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), halaman 1.


(50)

kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara.

Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi.51 Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.52

Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu

cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti ”bersama dengan ....” sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti ”membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal

51

Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam

Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993),

halaman 29. 52


(51)

(Constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (Constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.53

Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh kemerdekaannya.54 Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshididiqie, guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia diperinci sebagai berikut:55

1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. 2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.

3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara. 4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun

kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.

5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.

6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation), serta sebagai center of ceremony.

7. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.

8. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social engineering

atau social reform).

Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja

constituer” dalam bahasa Perancis, yang berarti ”membentuk”, dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala

53 Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya ProJustina, 0.2 V, 1987, halaman 28.

54

Taufiqurrohman Syahruni, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan

Undang-Undang Dasar di Indonesia 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), halaman 28.

55

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), halaman 33.


(52)

macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama negara.56

Istilah konstitusi sebenarnya tidak dipergunakan untuk menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia, selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah Undang-Undang Dasar. Demikian juga di Belanda, di samping dikenal istilah ”groundwet” (Undang-Undang Dasar), dikenal pula istilah ”constitutie”.57

Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas dari pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan negara, dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat dan cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara.58

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu bentuk pengujian materi dari undang-undang yang diajukan permohonan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan karenanya merugikan hak konstitusional yang dimiliki sebagai warga negara. Hasil rekapitulasi perkara pengajuan undang-undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tahun

56

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), halaman 10.

57

C.A.J.M Kortmann, Constitutionalrecht, Kluwer, Deventer, 1960, halaman 9. 58

Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum


(53)

2003 sampai dengan 10 Agustus 2009 adalah 272 perkara, putusan yang diterima adalah 62 perkara, yang ditolak adalah 62 perkara, yang tidak diterima adalah 48 perkara, yang ditarik kembali adalah 21 perkara,sehingga jumlah keseluruhan putusan adalah 181 perkara dan sisanya masih sedang berjalan.

Ada dua jenis metode penyelesaiannya yang dilakukan untuk perkara-perkara ini, yakni dalam bentuk ketetapandan keputusan. Ketetapan merupakan suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan yang isinya di luar dari substansi permohonan, misalnya, ketetapan tentang ketidakwenangan untuk memeriksa permohonan perkara atau tentang penerimaan permohonan pembatalan perkara.

Keputusan merupakan suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan yang isinya tentang pengabulan atau penolakan permohonan suatu perkara. Sedangkan jenis lainnya adalah kewenangan mengenai perselisihan hasil pemilihan umum, baik untuk calon anggota legislator maupun eksekutif.

Perselisihan hasil pemilu merupakan perkara yang diajukan Pemohon karena ia mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan hasil perhitungan yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum dan memberikan hasil perhitungan yang benar menurut permohonan pada suatu tahapan pemilihan umum. Perselisihan hasil pemilu ini untuk pemilu legislatif maupun pemilu presiden putaran pertama dan kedua.

Satu tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu 2004 terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dari Pemilu Legislatif (5 April


(1)

penyimpangan terhadap tanah maka Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan harus aktif untuk membela petani supaya kelebihan tanah dikembalikan kepada masyarakat tempat tanah tersebut serta digunakan secara baik. Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang khususnya menangani tanah harus proaktif untuk memperjuangkan tanah untuk kepentingan rakyat serta membela petani jika ditemukan adanya pihak- pihak yang memiliki tanah melebihi ketentuan serta Pemerintah mendorong Pemerintah Daerah mendata tanah yang ada didaerahnya agar masyarakat di tempat tanah tersebut dapat memiliki tanah serta menggunakan secara optimal.

3. Agar masyarakat lebih memahami maksud dan tujuan serta melaksanakan ketentuan didalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sehingga tidak lagi terjadi hal yang dialami oleh Yusri Adrisoma dimana telah merasakan kerugian yang besar akibat adanya pemilikan tanah yang melebihi batas maksimum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan segera untuk merevisi isi dari pasal yang kira-kira sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU-BUKU

Asshiddiqie, Jimly Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005).

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002).

Brahmana Adhie, Reformasi Pertanahan, (Bandung: Mandar Maju, 2002).

Dalimunthe,Chadidjah, Pelaksanaan Land reform Di Indonsia Dan Permasalahannya, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005).

Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).

Harman, Benny K, Konfigurasi Politik dan Kerkuasan Kerhakiman di Indonesia, (Jakarta: Elsam, 1997).

Harsono, Boedi Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2000).

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I, Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2005).

Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas (Jakarta: Trisakti, 2003).

Harun, Refly, Z.A.M. Husein dan Bisariyadi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004).

Hsiao, Tseng, The Theory and Practise of land reform in Republic of China, China Research Institutu of Land Economic, Taipei, (Taiwan: ROC, 1968).

Hustiati, Agrarian Reform di Fhilipina dan Perbandingannya dengan Land Reform di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990).


(3)

Hutagalang, Arie Sukanti, Gunawan, Markus, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008).

Kartasapoetra,G, Kartasapoetra,,R.G,Kartasapoetra, A.G, Setiady,A, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: PT.Bina Aksara, 1985).

Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005).

Kalo, Syafruddin, Kapita Selekta Hukum Pertanahan, (Medan: USU Press, 2005). .

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambahkan, (Bandung: Alumni, 2006).

Kortmann,C.A.J.M, Constitutionalrecht, (Kluwer: Deventer, 1960).

Latif, Abdul, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007).

Lev, Daniel S, Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum : Sebuah Sketsa Politik”, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, 1990.

Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitan, (Bandung: Mandar Maju, 1994). Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1989).

Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1991).

Nasution, Adnan Buyung , Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1995).

Notonegoro, Politik hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1984).

Parlindungan, A.P, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Land reform(Bagian III), (Bandung: CV.Mandar Maju, 1994).

Parlindungan, A.P., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1994).


(4)

Parlindungan, A.P Land reform di Indonesia Suatu Perbandingan, (Bandung: Alumni, 2002).

Prodjodikoro,Wirjono, Asas-asas Hukum Tatanegara, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977). Salman, Otje, F.Susanto, Anthon, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007). Sauni, Herawan, M.Yamani Komar, Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran dan

gagasan Prof.Dr.A.P.Parlindungan,SH), (Bengkulu: USU Press, 1998).

Siregar,Tampil Anshari, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik, 2005).

Siregar, Tampil Anshari, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, (Medan: FH USU, 2006).

Sitepu, Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Berastagi , Disertasi, (Medan: Program Pascasarjana USU, 2002).

Suardi, Hukum Agraria, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005).

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitihan Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).

---, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia-Hill Co, 1990).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Soemantri, Sri, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997).

Soetoprawiro, Koerniatmanto, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, ProJustina, 0.2 V, 1987.

Strong, C.F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nusa Media, 2008). Sukarna, Sistim Politik Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990).

Sunggono, Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).


(5)

Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Syahruni, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan Undang-Undang Dasar di Indonesia 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004).

Tarigan, Pendasteran Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendali Dengan Delegasi Pengaturan Dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008).

Thaib, Dahlan, J. Hamidi dan N. Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001).

Tunggal, Hadi Setia, Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Harvindo, 2007). Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996). Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Seseungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja,

(Surabaya: Universitas Erlangga, 2000).

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum:Paradigma,Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002).

Wuisman J.J.J M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996). Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka

Bangsa Press, 2003).

Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006).

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 56/PRP/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertania

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.


(6)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasioanal No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah di Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

3. MAKALAH

Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agrarian,“ Ketetapan MPR RI Tentang Pembaharuan Agraria sebagai KomItmen Negara Menggerakkan

Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih baik” disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.

Pidato Menteri Agraria dalam makalah tentang Rencana Undang-Undang Pokok Agraria di hadapan sidang Pleno-DPR-GR tanggal 12 September, 1960. Makalah pada diskusi dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya UUPA XXVI di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 23 September 1986.

4. ARTIKEL OUTLINE