IDUL ADHA DAN PENEGAKAN HAM

IDUL ADHA DAN PENEGAKAN HAM
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ibadah haji dan Idul Adha yang dilaksanakan umat Islam setiap tahun sesungguhnya sarat dengan
pelajaran nilai-nilai Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Konsep kamanusiaan universal Islam mengajarkan
bahwa umat manusia itu pada asal mulanya itu sama. Dalam orasi haji wadak Nabi Muhammad SAW
menegaskan: "Kalian semua adalah keturunan Adam. Sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Karena
itu, kalian semua adalah sama; tidak ada perbedaan (keistimewaan) antara orang Arab dengan nonArab, yang berkulit putih dengan yang hitam, kecuali karena takwanya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Konflik, permusuhan, dan peperangan sering terjadi karena adanya vested interest di antara
masing-masing kelompok manusia. Meskipun asal usul manusia itu sama, namun kehidupan manusia itu
mengikuti sunnatullah kemajemukan: ras, suku, warna kulit, bangsa, agama, budaya, adat-istiadat, dan
sebagainya. Perbedaan itu idealnya tidak menjadi pemicu perselisihan dan permusuhan, melainkan
menjadi pangkal tolak bagi kompetisi menuju kebaikan yang ideal (Nurcholish Madjid, 2000:43).
Semua manusia semestinya diperlakukan sama depan hukum, tanpa ada diskriminasi, karena di
mata Allah semua manusia itu dipandang dan dinilai sama. Yang membedakan hanyalah derajat
keimanan dan ketaqwaannya (QS al-Hujurat [49]: 13). Ajaran egalitarianisme ini ditegaskan oleh Nabi
saw berulangkali dalam orasi Wadaknya di Arafah, Multazam Kakbah, dan Mina. Namun demikian, HAM
bukanlah esensi kemanusiaannya itu sendiri, melainkan lebih merupakan rahmat Allah yang perlu
disyukuri dengan berkompetesi berbuat yang terbaik, ber-fastabiqul khairat (QS al-Baqarah [2]: 148).
Penegakan HAM yang dideklarasikan oleh Nabi SAW saat orasi Idul Adha, antara lain, adalah
"Sesungguhnya, darah dan harta kalian itu suci, haram dinodai, di hari yang suci ini dan di tempat yang

suci ini. Tidak ada keunggulan orang Arab dan non-Arab (dan sebaliknya) dan juga orang yang berkulit
putih atas orang yang berkulit hitam, kecuali karena taqwanya" (HR. al-Bukhari dan Muslim). Darah
haram ditumpahkan, berarti manusia mempunyai hak untuk hidup. Harta haram dirampas, berarti
manusia mempunyai hak kepemilikan harta, dan kehormatan haram dinodai, karena manusia memiliki
kebebasan dan hak untuk dihormati, dimuliakan, dan diperlakukan adil di depan hukum.
Orasi wadak yang disampaikan dalam momentum Idul Adha dan hari tasyrik tersebut
mengandung pelajaran HAM yang paling mendasar dan penting ditegakkan, yaitu: hak hidup (manusia
tidak boleh menumpahkan darah orang lain, membunuh, menyakiti, meneror, melakukan kekerasan,
perang, dan sebagainya); hak kepemilikan (manusia bebas memperoleh harta, asal dilakukan dengan
cara yang halal dan legal); hak persamaan dan keadilan (tidak ada diskriminasi, rasialisme, tirani, dan
monopoli kebenaran dan kekuasaan); hak bersatu, bersaudara, bekerja sama dan sebagainya karena
asal kita semua adalah sama, yaitu keturunan Adam; dan Tuhan yang Mahaesa.
Nilai-nilai HAM tersebut sesungguhnya telah menginspirasi Barat untuk merumuskan HAM.
Dala Deklarasi Ke erdekaa A erika 1
, isal ya, di yataka : "…. that all men are created equal,
that they are endowed by their Creator by certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty
a d pursuit of Happi ess…". Demikian pula, hak-hak yang hampir serupa juga dicantumkan dalam
Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l'homme at du Citoyen) yang
diprakarsai oleh Parlemen Nasional Perancis pada 26 Agustus 1789, dengan slogan yang sangat popular,
yaitu: liberté (kebebasan), egalité (persamaan), dan fraternité (persaudaraan).

Nilai-nilai HAM yang menjadi pesan penting Idul Adha tersebut dapat diaktualisasikan dan
ditegakkan jika dilandasi sekurang-kurangnya tiga prinsip. Pertama, prinsip keadilan. Keadilan
merupakan tujuan utama pembumian nilai-nilai Islam bagi manusia. Keadilan merupakan ruh dan elan
vital norma-norma hukum. Penegakan keadilan hukum bertujuan untuk merealisasikan persamaan
(egalitarianisme, emansipasi) di antara manusia. Dengan prinsip keadilan, hak-hak dan kewajiban

manusia dapat diperoleh dan dipenuhi secara proporsional. Dengan keadilan pula, manusia akan
bersedia menghormati orang lain, sebab jika ingin dihormati, maka ia harus mau menghormati orang
lain. Dengan keadilan, ia akan memegang teguh komitmen, menepati janji, berlaku fair dan jujur, tidak
curang dan licik dalam berinteraksi dan bertransaksi dengan sesama. Singkatnya, keadilan adalah esensi
dan spirit kemanusiaan yang melahirkan hukum, sehingga keadilan HAM dapat ditegakkan dalam
kehidupan individu maupun kehidupan berbangsa, bernegara, bahwa menjadi warga dunia.
Keadilan dalam Islam setidaknya mengandung empat makna. Pertama, adil dalam arti sama,
memberikan perlakuan yang sama di depan hukum (QS. al-Nisa' [4]: 58). Kedua, adil dalam arti
seimbang, proporsional; dalam pengertian ini adil tidak harus sama, melainkan harus proporsional,
sesuai kebutuhan dan kepentingan, karena segala sesuatu diciptakan oleh Allah menurut ukurannya
masing-masing (QS al-Qamar [54]: 49). Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada yang berhak atau si pemiliknya; adil dalam hal ini adalah lawan zalim;
keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial. Keempat, keadilan yang dinisbahkan kepada Ilahi;
semua keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi

bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. (Quraisy
Shihab, 1996:114-6). Jadi, keadilan itu merupakan nilai dan prinsip dasar yang melandasi berlaku dan
tegaknya HAM dalam kehidupan manusia.
Kedua, prinsip maslahat (kedamaian dan kebaikan). Semua hukum dan ajaran Islam berkaitan
erat dengan prinsip maslahat, dalam arti bertujuan mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan bagi umat
manusia, sebaliknya menolak dan menghilangkan kemudaratan (bahaya dan malapetaka) yang dapat
menimpanya. Abdul Wahab Khalaf menegaskan bahwa tujuan Allah membumikan syari'at tidak lain
adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik itu mendatangkan kemanfaatan maupun menolak
malapetaka dan bahaya. Orang yang sakit boleh (berhak) untuk tidak berpuasa Ramadan, karena alasan
kemaslahatan kesehatannya.
Dalam kitabnya, al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan, "Sesungguhnya tujuan pembumian
syariah Islam itu ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Karena itu,
setiap yang menjamin terpeliharanya kelima hal itu merupakan kemaslahatan. Sebaliknya setiap yang
mengabaikan kelima hal tersebut adalah mafsadat (kerusakan, kehancuran). Menolak kehancuran
adalah sebuah kemaslahatan." Prinsip maslahat ini sangat terkait dengan konsep HAM. Misalnya saja,
memelihara jiwa mengandung arti bahwa manusia mempunyai hak untuk hidup, dan karena itu,
manusia dilarang membunuh orang lain, termasuk menggugurkan kandungan tanpa alasan yang dapat
dibenarkan. Dalam hal ini Allah berfirman: "Janganlah kalian membunuh jiwa manusia kecuali dengan
cara yang hak dapat dibe arka aga a …" QS al-Isra' [17]: 178). "Bahwa siapa yang membunuh
seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat

kerusakan di muka bumi, maka seakan-aka dia telah e bu uh a usia seluruh ya…" (QS al-Ma'idah
[5]: 32).
Ketiga, prinsip kebebasan. Manusia menjadi tak bernilai jika ia tidak memiliki kebebasan.
Kebebasan memang merupakan salah satu prinsip yang mendasari penegakan HAM. Manusia bebas
berkehendak dan memilih perbuatan yang dikehendakinya, karena ia telah dibekali Allah swt. akal yang
dapat memberinya pertimbangan-pertimbangan. Manusia menurut Islam bebas menyatakan pendapat
dan pikirannya. Ia juga bebas mengikuti suatu pendapat dan menganut suatu agama (Abdel Elsalam,
2002: 44). Kebebasan yang dimiliki manusia mengharuskannya untuk menghargai kebebasan orang lain.
Dengan kata lain, kebebasan manusia "dibatasi" oleh kebebasan serupa yang dimiliki orang lain. Karena
itu, ia harus mempedulikan hak-hak dan kewajibannya. Dari sinilah diperlukan adanya pemberlakuan
HAM secara adil agar kepentingan satu sama lain tidak saling berbenturan, sehingga menyebabkan
disharmini, konflik kepentingan, kekerasan, kezaliman, dan disintegrasi.
Pesan-pesan penegakan HAM tersebut idealnya memberi makna perayaan Idul Adha, sehingga
ibadah kurban yang dijalankan tidak sebatas ritualitas menyembelih hewan, melainkan spirit berbagi,

memberi, dan menyantuni warga bangsa yang tidak berdaya di tengah himpitan ekonomi yang semakin
sulit itu dapat diaktualisasikan. Spirit berkurban adalah spirit penegakan HAM, terutama hak hidup, hak
memperoleh kesamaan dan perlakuan yang adil di depan hukum. Dengan spirit orasi Nabi SAW dalam
Idul Adha, sudah semestinya kita belajar mengaktulisasikan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sifat
kebinatangan yang buas dan rakus, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara

damai, harmoni, beradab, adil, dan bermartabat. Semoga!
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI Media Indonesia, 22 September 2015