Idul Adha dan Pendidikan Multikultural

Idul Adha dan Pendidikan Multikultural
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kontinuitas “jalan kesalehan
sosial spiritual” dari Idul Fitri. Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas
nafsu, egoisitas, dan individualitas, maka Idul Adha merupakan manifestasi dari
ketulusan berkorban, kerendah-hatian untuk melakukan refleksi historis dalam rangka
mengenang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim As dan putranya, Ismail As,
sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji.
Kedua hari raya tersebut bermuara kepada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan
kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, etos berbagi (zakat fitrah dan daging
kurban), dan signifikansi silaturrahim. Keduanya berangkat dari panggilan iman dan
berbuah kemanusiaan universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti
diteladankan Nabi Muhammad SAW dalam khutbah Wada’nya di saat wukuf di Arafah
maupun mabit (bermalam) di Mina.
Ketika kita merayakan Idul Adha, para tamu Allah (dhuyuf ar-Rahman) itu
sedang menapaktilasi aneka ritualitas haji di tanah suci. Mereka merengkuh jalan
ketaatan dan ketakwaan dalam rangka meraih prediket haji mabrur, karena dimotivasi
oleh spirit bahwa balasan haji mabrur tidak lain adalah surga (HR. Muslim). Garansi
kebahagiaan spiritual (surgawi) inilah yang memotivasi umat Islam untuk memenuhi
panggilan Ilahi (berhaji), meninggalkan kampung halaman menuju tanah suci, dan

meninggalkan sanak saudara menuju persaudaraan dan kemanusiaan universal.
Menarik dikritisi, bahwa jumlah jamaah haji Indonesia adalah yang paling besar
di dunia. Namun demikian, para hujjaj itu sering dikritisi: "Mengapa jumlah jamaah haji
Indonesia yang terus meningkat setiap tahun, bahkan harus rela “mengantri sesuai daftar
tunggu”, tidak berbanding lurus dengan penurunan kuantitas dan kualitas korupsi?”
Multinilai Haji
Haji itu ibadah multidimensi sekaligus multinilai. Manasik haji bukan sekedar
ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Prosesi manasik haji adalah sebuah "drama
kehidupan" yang sarat filosofi, simbol, nilai dan makna, terutama makna sosial kultural.
Haji dimulai dengan niat ihram di miqat (garis start haji).
Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir
batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter, emansipatoris, dan siap memenuhi
panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya. Menjadi tamu
Allah haruslah menunjukkan kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen
untuk tidak memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan
dalam berpakaian.
Makna Thawaf bukan sekedar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf mendidik
jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Konsistensi dalam bertauhid memacu
gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang berthawaf adalah orang
yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai mobilitas

dan progresivitas sosial. Thawaf merupakan titik tolak menuju transformasi sosial-

kultural yang berkeadaban. Thawaf juga merupakan gerakan “tasbih universal” dengan
menjadikan tauhidullah sebagai orbit kehidupan.
Sa'i (berusaha, berlari-lari kecil) antara shafa dan marwa melambangkan etos dan
disiplin kerja yang tinggi. Hajar, ibunda Ismail, memberikan keteladanan sebagai seorang
ibu yang sangat tulus dan pantang menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya.
Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan
pikiran). Sa’i harus maksimal agar mencapai marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau
prestasi tinggi). Sa’i diperankan oleh seorang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang
terhadap anaknya. Sa’i mendidik kita untuk mendahulukan cinta sesama, dengan
memperlihatkan berbagai upaya maksimal “menyelamatkan masa depan” anak bangsa.
Wuquf di Arafah merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya "berhenti seraya
berefleksi untuk makrifat diri” (introspeksi dan evaluasi diri) dan merasakan kehadiran
Allah SWT. Sebagai lambang miniatur padang "makhsyar" di akhirat kelak, wukuf
memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan
"pengadilan terhadap diri sendiri". Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang
lain, atau tidak pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk
mengambil keputusan yang arif: apakah selama ini jama’ah haji yang berwukuf sudah
benar-benar menjadi hamba-Nya, ataukah masih menjadi hamba selain-Nya: hamba

kekuasaan, hamba kebendaan, hamba kesenangan duniawi? Apakah yang berwukuf itu
sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafsu dan setan?
Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di
Muzdalifah (mendekatkan diri), untuk bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil
menyiapkan "amunisi jihad" di tempat pelemparan (jamarat) di Mina. Mina adalah
simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada dan karena Allah semata,
Nabi Ibrahim rela "mengorbankan" anak tercinta, Ismail. Berjuang melawan setan dan
hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta
karena-Nya, Ibrahim AS akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi
"dikorbankan", karena manusia memang tidak pantas dikorbankan, terutama korban hawa
nafsu dan keserakahan, baik serakah harta maupun kekuasaan.
Pendidikan Multikultural
Haji adalah ibadah yang paling sarat nilai multikultural karena diikuti oleh
jama’ah dari berbagai suku bangsa, bahasa, negara, adat-istiadat, watak, karakter, latar
belakang sosial, ekonomi dan budaya. Melalui ibadah haji ini, Allah menitipkan pesanpesan moral-kultural agar sesama hamba Allah saling mengenal, berdialog, berempati,
toleransi, menghargai, cinta damai, disiplin dan etos kerja tinggi, dan menjunjung tinggi
hak-hak asasi manusia.
Karena itu, di antara indikator kemabruran haji adalah seberapa jauh tamu Allah itu
pulang dengan memberikan keteladanan multikultural. Keteladanan itu, antara lain,
seperti sabda Nabi Saw berikut: “Tebarkan salam, Berilah makan (kepada yang lapar),

sambungkan tali silaturrahim, biasakan qiyamul lail (salat malam) ketika orang lain
tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan damai.” (HR Bukhari dan Muslim).
Aktualisasinya, salam berarti perdamaian: tegur sapa, murah senyum, ramah,
bersikap dialogis, semangat memberi pelayanan yang prima, tidak sinis, tidak emosional,
mudah mengulurkan tangan, empati, tidak mudah menyelesaikan persoalan dengan caracara kekerasan, dan sebagainya. “Memberi makan” berarti menunjukkan solidaritas

sosial, mau meringankan penderitaan orang lain, dan berusaha mencari solusi.
“Menyambung tali silaturrahim” dapat diaktualisasikan dalam sikap suka dan supel
bergaul, mau memberi advokasi, tidak bermusuhan, bersahabat, bekerjasama, saling
melindungi, dan sebagainya. Sedangkan “qiyamul lail” sebagai bentuk spiritualisasi diri
dimaknai selalu zikir kepada Allah, istiqamah (teguh pendirian) dalam beribadah,
berdoa, ikhlas beramal, sabar, optimis, dan sebagainya.
Jika pendidikan multikultural seperti itu dapat diaktualisasikan oleh para alumni
haji, maka haji bukan sekedar menunaikan kewajiban (agama), melainkan proses
transformasi sosial budaya yang bermuara kepada tegaknya sistem sosial cultural yang
mengedapankan keluhuran moral dan kedalaman spiritual. Haji adalah panggilan
ketuhanan sekaligus jihad kemanusiaan. Menjadi haji berarti berusaha menjadi manusia
yang peduli terhadap norma-norma agama, hukum, sosial kultural, dan siap melayani
orang lain dengan rela berkorban jiwa, raga, harta, ilmu, dan jasanya demi kesejahteraan
dan kemaslahatan umat manusia.

Pendidikan multikultural haji dapat diinternalisasikan dalam diri para tamu Allah
itu melalui tiga hal. Pertama, optimalisasi pendidikan nilai haji melalui pendidikan dan
pelatihan haji harus dikelola secara professional, tidak sekedar berorientasi bisnis. Kedua,
pemberian keteladanan yang baik dari para pemimpin, alim ulama, dan tokoh-tokoh
agama yang sudah berhaji. Ketiga, peningkatan kontrol sosial terhadap mereka yang
sudah berhaji.
Karena itu, jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, penyimpangan moral,
dan perbuatan tidak terpuji lainnya, maka sudah saatnya para alumni tanah suci itu
diberikan “hukuman” moral dan sosial yang tegas, sehinggam dapat memberikan efek
jera bagi yang bersangkutan maupun bagi yang lain. Jadi, nilai-nilai pendidikan
multikultural haji semakin bermakna jika para jama’ah haji memiliki kesadaran dan
keteladanan multikultural.
Kita yang tidak hadir (berhaji) di tanah suci, dan kini merayakan Idul Adha di
tanah air, idealnya tetap mewarisi pesan pentingnya berkurban: “menyembelih” egoisitas,
mengorbankan apa yang paling kita cintai demi meraih kedekatan (qurban) kepada Allah
SWT dan sesama, sehingga kita menjadi hamba-Nya yang kaya cinta kasih dan kaya
budaya (multikultural), seperti cinta kasih Ibrahim AS yang luar biasa tinggi kepada
Allah SWT, anaknya dan kepada kemanusiaan.
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam Opini Koran Republika, 1 Oktober 2014