43 pemukiman warga sipil serta menggunakan senjata roket yang tidak terarah juga
merupakan pelanggaran dari prinsip hukum humaniter yaitu prinsip pembeda antara kombatan dan nonkombatan.
2. Kedudukan Pihak-Pihak yang Berkonflik Hizbullah dan Israel dalam Hukum Internasional
Hizbullah didirikan pada tanggal 16 Februari 1982 sebagai organisasi perlawanan
terhadap pendudukan Israel di Libanon Selatan.
62
Setelah Perang Saudara Libanon berakhir, Hizbullah menjadi partai politik yang mempunyai kedudukan di Parlemen
Libanon, namun Hizbullah masih merupakan organisasi perlawanan terhadap pendudukan Israel di Libanon Selatan karena dataran tinggi Golan dan wilayah
Sheeba Farms masih dikuasai Israel. Pasal 13 Konvensi Jenewa 1949 dinyatakan organisasi perlawanan atau organized
resistance movements harus memenuhi syarat-syarat yaitu : 1 dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas bawahannya, 2 memakai tanda pembeda yang dapat
dilihat dari jauh, 3 membawa senjata secara terang-terangan, 4 beroperasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. Beberapa syarat tersebut telah dimiliki oleh
Hizbullah, yaitu : Hizbullah dipimpin oleh Hassan Nasrallah sebagai orang yang bertanggungjawab atas tindakan milisinya. Milisi-milisi Hizbullah membawa senjata
berupa roket-roket, rifle, RPG, dan melakukan serangan secara terang-terangan. Syarat-syarat yang lain seperti memakai tanda pembeda yang dapat dilihat dari jauh
dan beroperasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang tidak dilakukan Hizbullah
62
Perang Hizbullah Israel. Op.cit. hlm 56
44 karena sebagian besar milisi Hizbullah tidak memakai seragam yang dapat dibedakan
dari jauh sehingga sebagian besar milisi Hizbullah berbaur dengan warga sipil, dan menyerang struktur dan warga sipil Israel yang merupakan pelanggaran dari hukum
perang. Dari syarat-syarat tersebut, Hizbullah dapat dikategorikan sebagai organisasi yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah Israel atau belligerent
walaupun masih ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi, namun syarat-syarat yang tidak dipenuhi tersebut sering dijadikan alasan politis beberapa negara untuk tidak
mengakui suatu organisasi sebagai subyek hukum internasional. Amerika Serikat dan Israel menyebut Hizbullah sebagai kelompok teroris, namun negara-negara Arab
melegitimasi Hizbullah sebagai gerakan perlawanan resmi legitimate resistance movements.
63
Dilihat dari hukum internasional khususnya hukum humaniter, bahwa belligerent
merupakan subjek hukum internasional karena merupakan pihak yang sedang berperang melawan pemerintah yang sah.
64
Belligerent atau pihak pemberontak mempunyai hak-hak yang diatur dalam hukum internasional sekaligus mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum internasional, karena menurut Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 tentang Ketentuan yang Bersamaan
mewajibkan pihak peserta konvensi untuk melindungi hak-hak asasi manusia pihak yang berperang seperti memperlakukan dengan baik tawanan perang, tidak menyiksa,
tidak diskriminasi dan memberikan peradilan yang adil. Ketentuan-ketentuan lain seperti prinsip pembeda, asas kemanusian, asas kepentingan militer dan asas
63
Perang Hizbullah Israel.op.cit. hlm 59
64
J.G Starke. Op.cit., hlm 87.
45 keksatriaan juga berlaku pada belligerent. Jadi pihak pemberontak atau belligerent ini
merupakan subjek hukum internasional karena merupakan pendukung hak dan kewajiban hukum internasional. Hizbullah merupakan kelompok bersenjata yang
bertujuan mengusir Israel dari daerah yang diklaimnya sebagai bagian dari negara Libanon. Konflik yang terjadi antara Hizbullah dan Israel membuat Hizbullah
mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam hukum humaniter seperti membedakan antara kombatan dengan nonkombatan, tidak menyerang
bangunan dan penduduk sipil, tidak menyiksa tawanan serta ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam hukum humaniter, sehingga Hizbullah termasuk belligerent yang
merupakan subjek hukum internasional. Israel merupakan suatu negara yang telah memenuhi syarat-syarat Pasal 1 Konvensi
Montevideo 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban negara-negara. Negara Israel sebagai pribadi hukum internasional mempunyai penduduk tetap, wilayah yang
tertentu, pemerintah, dan kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain sehingga kedudukannya sebagai subyek hukum internasional tidak diragukan lagi.
Berdasarkan uraian di atas PBB mempunyai kewenangan untuk ikut serta
menyelesaikan konflik Hizbullah-Israel. Berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB bahwa Dewan Keamanan dapat menyatakan suatu sengketa atau situasi yang mengancam
perdamaian dan keamanan internasional serta melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan Pasal 41 dan 42 Piagam PBB sehingga Dewan Keamanan PBB berwenang
melakukan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan konflik Hizbullah-Israel.
46
B. PBB dalam Penyelesaian Konflik Hizbullah-Israel