Additive vector autoregressive exogenous model for forecasting rainfall in Indramayu

MODEL ADITIF VECTOR AUTOREGRESSIVE EXOGENOUS
UNTUK PERAMALAN CURAH HUJAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU

DEWI RETNO SARI SAPUTRO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Aditif Vector
Autoregressive Exogenous untuk Peramalan Curah Hujan di Kabupaten
Indramayu” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.


Bogor, Januari 2012

Dewi Retno Sari Saputro
NRP G161050011

i

ii

ABSTRACT

DEWI RETNO SARI SAPUTRO. Additive Vector Autoregressive Exogenous
Model for Forecasting Rainfall in Indramayu. Dibimbing oleh AHMAD
ANSORI MATTJIK. RIZALDI BOER, AJI HAMIM WIGENA, dan ANIK
DJURAIDAH.
Problems in developing a model to forecast rainfall in Indramayu are the
existence of missing data, outliers, high variability between rainfall stations.
Zoning is a way to accommodate the variability of rainfall stations. Zoning
resulted in three regions, i.e. region 1 consists of stations Anjatan, Bugel, Tulung

Kacang, Karang Asem, Lawang Semut, Wanguk, Gabus Wetan, Cikedung,
Kroya, Sukadana, Sumur Watu, Tugu, Bondan; region 2 consists of stations
Salamdarma and Gantar; and region 3 consists of stations Cidempet, Losarang,
Bangkir, Indramayu, Jatibarang, Juntinyuat, Kedokan Bunder, Lohbener, Sudi
Mampir, Krangkeng, and SudiKampiran. Vector Autoregressive Exogenous
(VARX) Additive models were developed for each region. This model is based
on VARX lag 1 or VARX (1) model, smoothing spline, and the rainfall indicator
variable. VARX (1) model was developed from the VAR (1) model by adding
the exogenous factors that affect rainfall such as Sea Surface Temperature (SST)
Nino 3.4, Southern Oscillation Index (SOI), and Dipole Mode Index (DMI). The
reliability of VARX additive model especially for region 2 is evaluated by
Relative Operating Characteristics (ROC) curve. The model is reliable only in
January, February, March, April, November, and December.

Keywords : smoothing spline, indicator variable, VAR, VARX,
additive VARX, ROC

iii

iv


RINGKASAN
DEWI RETNO SARI SAPUTRO. Model Aditif-VARX untuk peramalan Curah
Hujan di Kabupaten Indramayu (Additive-Vector Autoregressive Exogenous
Model for Forecasting Rainfall at Indramayu). Dibimbing oleh AHMAD
ANSORI MATTJIK. RIZALDI BOER, AJI HAMIM WIGENA, dan ANIK
DJURAIDAH.
Kabupaten Indramayu dipilih sebagai lokasi penelitian model curah
hujan karena merupakan salah satu kabupaten yang sangat sensitif terhadap
kejadian iklim ekstrim. Luas lahan yang terkena kekeringan pada tahun El Nino
selalu melonjak tinggi dibanding tahun normal. Berdasarkan hasil eksplorasi
data curah hujan di kabupaten tersebut, diperoleh beberapa data hilang dan
beberapa data pencilan. Rata-rata data hilang tersebar di semua bulan, mencapai
3.7% dengan persentase tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 5.46%
(musim hujan). Pencilan terbesar terjadi di bulan Agustus dan September dengan
persentase 8.29% (musim kemarau). Data yang lengkap diperlukan dalam suatu
pemodelan, oleh karena itu pendugaan data diperlukan untuk melengkapi data
yang hilang. Selain itu, pengamatan yang merupakan pencilan dalam data deret
waktu tidak dapat dihilangkan karena eratnya hubungan antar amatan dalam
deret waktu. Adanya pencilan akan berpengaruh terhadap beberapa pengamatan

sesudahnya. Penelitian ini bertujuan melakukan pendugaan data hilang,
melakukan pewilayahan curah hujan, menentukan model Vector Autoregressive
(VAR) dan Vector Autoregressive Exogenous (VARX), mengembangkan model
VARX dengan model aditif-VARX.
Selain terdapat data hilang, terdapat keragaman curah hujan yang tinggi.
Hal tersebut menyebabkan diperlukan pembentukan wilayah curah hujan.
Pewilayahan curah hujan dilakukan dengan metode pautan lengkap. Sementara
itu, untuk mereduksi dimensi data dipergunakan analisis komponen utama.
Berdasarkan metode ini diperoleh 5 komponen utama dengan total keragaman
yang dapat dijelaskan melalui lima komponen utama tersebut sebesar 84.99%.
Pewilayahan tersebut terdiri atas wilayah 1 yakni Anjatan, Bugel, Tulung
Kacang, Karang.Asem, Lawang Semut, Wanguk, Gabus Wetan, Cikedung,
Kroya, Sukadana, Sumur Watu, Tugu, Bondan, Tamiyang ; wilayah 2 yakni
Salam darma dan Gantar ; wilayah 3 yakni Cidempet, Losarang, Bangkir,
Indramayu, Jatibarang, Juntinyuat, Kedokan Bunder, Lohbener, Sudi Mampir,
Krangkeng, dan SudiKampiran. Selain itu, pewilayahan ini juga
mempertimbangkan arah angin.
Perkembangan model stokastik begitu pesat, dari yang berbasis temporal,
spatial hingga spatio temporal termasuk untuk model curah hujan. Curah hujan
merupakan salah satu karakteristik fisik dinamis, dimana datanya diambil dalam

selang waktu tertentu sehingga analisis deret waktu sangat diperlukan. Pada
penelitian-penelitian sebelumnya, model curah hujan belum memanfaatkan
model deret waktu ganda. Di antara model yang berbasiskan deret waktu ganda
yakni model Vector Autoregressive (VAR) yang memanfaatkan peubah endogen
dalam penyusunan modelnya. Model lainnya, Vector Autoregressive Exogenous

v

(VARX) yang memanfaatkan selain peubah endogen juga peubah eksogen.
Model VAR dan VARX banyak diterapkan dalam bidang ekonomi, namun
belum dipergunakan dan dikembangkan dalam model curah hujan. Dalam
penelitian ini, model VARX dikembangkan dengan memanfaatkan fungsi
pemulus dan secara simultan menambahkan unsur kategorik curah hujan (musim
hujan, bulan lembab dan musim kemarau). Pengembangan model tersebut
disebut sebagai model aditif-VARX.
Model VAR merupakan perluasan dari model Autoregressive (AR) pada
model deret waktu tunggal, diterapkan jika struktur model yang ada membuat
setiap peubah berfungsi sebagai peubah endogen yang merupakan fungsi dari
nilai-nilai lag seluruh peubah endogen yang ada pada sistem. Dalam penelitian
ini sebagai peubah endogen yakni curah hujan. Model VAR berlaku jika pada

saat nilai setiap peubah dalam sebuah sistem tidak hanya tergantung pada lagnya
sendiri, namun juga pada nilai lag peubah lain. Hal ini berarti curah hujan di
stasiun curah hujan tertentu tergantung pada lagnya sendiri dan lag stasiun curah
hujan lainnya dalam satu wilayah yang sama. Model VAR telah telah dapat
ditentukan dengan nilai Root Mean Squared Error Prediction (RMSEP) untuk
wilayah 1, wilayah 2 dan wilayah 3, dengan sebesar 14.19; 20.48; dan 8.33.
Model VARX merupakan pengembangan dari model VAR dengan
menambahkan peubah eksogen yang berpengaruh terhadap peubah endogen.
Dalam penelitian ini sebagai peubah endogen yakni curah hujan, sedangkan
peubah eksogennya anomali Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4, Dipole
Mode Index (DMI), dan Southern Oscilation Index (SOI). Nilai RMSEP sebesar
23.26; 20.94; 47.97 untuk masing-masing wilayah 1,2 dan 3 serta nilai rata-rata
korelasi sebesar 0.67; 0.61; 0.6.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditentukan model curah hujan
VAR dan VARX dan model aditif VARX. Model VARX menghasilkan faktorfaktor dominan yang berpengaruh terhadap curah hujan di tiga pewilayahan
curah hujan di Indramayu untuk wilayah 1 didominasi oleh pengaruh DMI dan
SST Nino3.4, untuk wilayah 2 dipengaruhi oleh SST Nino3.4 dan wilayah 3
dipengaruhi oleh SST Nino 3.4 dan DMI. Anomali SST 3.4 tidak berpengaruh
terhadap semua wilayah. Wilayah 1 dipengaruhi oleh DMI dan SOI, wilayah 3
dipengaruhi oleh SOI dan wilayah 2 dipengaruhi oleh DMI. Dalam kasus ini,

didiskusikan model di wilayah 2. Kebaikkan model diukur dari nilai korelasi dan
RMSEP. Nilai korelasi model aditif-VARX untuk masing-masing stasiun Salam
Darma dan Gantar yakni 0.72 dan 0.73, sedangkan nilai RMSEP 14.04 dan
16.04. Model aditif VARX memberikan nilai korelasi yang lebih tinggi dan galat
yang lebih rendah daripada model VARX.
Relative Operating Characteristics (ROC) digunakan dalam penelitian
ini untuk mengetahui skill prediksi model VARX dan aditif VARX. Hasil ROC
menunjukkan bahwa model memiliki nilai skill hanya pada bulan-bulan tertentu.
Kedua model, baik model VARX maupun model aditif-VARX pada stasiun
Salam Darma dan Gantar memiliki nilai skill pada bulan Januari, Pebruari,
Maret, April, November, Desember untuk atas normal.
Kata kunci : endogen, eksogen, VARX, aditif VARX, korelasi, peubah indikator,
RMSEP, ROC

vi

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjuan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

vii

viii

MODEL ADITIF VECTOR AUTOREGRESSIVE EXOGENOUS
UNTUK PERAMALAN CURAH HUJAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU

DEWI RETNO SARI SAPUTRO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada

Departemen Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ix

Penguji Luar Komisi:

Sidang Tertutup : Prof. Dr. Ir. Aunuddin, M.Sc
(Departemen Statistika FMIPA IPB)
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.
(Departemen Geofisika dan Metereologi FMIPA IPB)
Sidang Terbuka : Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS.
(BALIT KLIMAT Departemen Pertanian)
Dr. Ir. Agus Buono, M.Kom
(Departemen Ilmu Komputer FMIPA IPB)

x


xi

xii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala petunjuk,
karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah disertasi ini dapat diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun
2009 ini adalah model curah hujan, dengan judul Model Aditif Vector
Autoregressive Exogenous untuk Peramalan Curah Hujan di Kabupaten
Indramayu.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua
Komisi Pembimbing disertasi, bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Ansori Mattjik, M.Sc ;
anggota komisi pembimbing, bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, bapak Dr.
Ir Aji Hamim Wigena, M.Sc dan ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS atas motivasi,
bimbingan, arahan, saran dan kritiknya selama penelitian berlangsung hingga
disertasi ini dapat diselesaikan. Di samping itu, penulis juga menyampaikan
terimakasih kepada :

1 Pimpinan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin untuk
melanjutkan studi lanjut pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
2 Pimpinan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk
mendapatkan beasiswa BPPS guna melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor dan memberikan kesempatan untuk mengikuti
Hibah Penelitian Disertasi Doktor.
3 Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Ketua Departemen Statistika, Ketua
Program Studi Statistika, serta staf administrasi yang telah memberikan
layanan pendidikan/pengajaran dan layanan administrasi dengan baik.
4 Pimpinan BMKG stasiun Darmaga Bogor dan jajarannya atas ijin pemakaian
data yang dipergunakan dalam penelitian ini.
5 Prof. Dr. Ir. Aunuddin, M.Sc dan seluruh pengajar di Departemen Statistika
yang telah memberikan ilmu dan filosofi keilmuan, serta memberikan
kesempatan untuk selalu belajar.
6 Seluruh penguji, baik pada saat ujian preliminasi lisan dan tulisan, maupun
sidang tertutup dan sidang terbuka.
7 Rekan-rekan staf pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNS atas motivasi
dan kehadirannya pada sidang terbuka.
8 Dr. Faqih, Departemen Geofisika dan Metereologi FMIPA IPB atas data Sea
Surface Temperature (SST) yang diberikan.
9 Muh. Khoiruddin, Fransiskus Rendratmojo, Riski Amriansyah atas diskusi
dan bantuan pengolahan data.
10 Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Statistika Sekolah Pascasarjana IPB
atas diskusi, bantuan dan pemberian semangat hingga selesainya disertasi ini.
11 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu yang telah membantu
hingga selesainya disertasi ini.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada
ayahanda (almarhum) Soehardi dan ibunda Sri Surati serta keluarga besar kakak
Joko Triyono TB, Hanifah Ekayani, Bambang TW, Umma Syai’dah serta adik
Mimbar Ari S dan Debra Muniati. atas dukungan, doa serta kasih saying yang

xiii

senantiasa mengiringi dalam setiap langkah penulis. Secara khusus pula penulis
sampaikan rasa hormat dan penghargaan tertinggi kepada yang terhormat Prof.
Dr. Ir. Ahmad Ansori Mattjik, M.Sc atas kesempatan dan waktu yang senantiasa
beliau berikan kepada penulis serta memberikan arahan bagaimana konsep
berpikir statistika. Dengan fondasi konsep berpikir dan arahan dari beliau,
semoga dalam waktu mendatang konsep berpikir statistika penulis menjadi lebih
kokoh..
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 17 Pebruari 2012
Penulis

Dewi Retno Sari Saputro

xiv

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 20 Juli 1970, sebagai anak ketiga
dari 4 bersaudara pasangan Soehardi (almarhum) dan Sri Surati. Pendidikan
sarjana (jenjang S1) ditempuh pada program studi Matematika, Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret di Solo (yang sekarang telah menjadi Jurusan
Matematika FMIPA UNS sejak tahun 1996), lulus pada tahun 1994. Pada tahun
1998, penulis melanjutkan jenjang pendidikan S2 pada Program Pascasarjana
Ilmu Komputer, Universitas Gadjah Mada Jogjakarta dengan bea siswa DUEUNS dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2005,
penulis berkesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan S3 pada Program
Studi Statistika Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan
pascasarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Sejak tahun 1997
hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Matematika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret.
Penulis menjadi anggota Himpunan Matematika Indonesia (Indonesian
Mathematical Society, IndoMS). Selama mengikuti program S3, beberapa karya
ilmiah telah dipublikasikan baik melalui seminar nasional; prosiding; maupun
jurnal ilmiah, karya ilmiah tersebut,
1 Saputro DRS, Notodiputro KA. 2006. Best Linear Unbiased Predictor
(BLUP), Emperical Best Linear Unbiased Predictor (EBLUP) and Norm
Euclidean in Small Area Estimation. The First International Conference
on Mathematics and Statistics (IcoMS-1), June 19-21 2006, Bandung,
Indonesia.
2 Saputro DRS, Pratiwi H. 2007. Memprediksi Harga Emas dengan
Backpropagation Seminar Nasional Statistika, Jurusan Statistika FMIPA
UNISBA, Bandung 24 Mei 2007.
3 Saputro DRS, Sulistijowati S. 2008. Fungsi Ragam Terbaik pada
Sebaran Poisson-Gamma sebagai Pendekatan Penyelesaian Kejadian
Overdispersi Model Regresi Poisson. Math-Info (Jurnal Ilmiah Bidang
Matematika, Informatika & Terapannya). 2008
4 Saputro DRS. 2008. Quasi Likelihood sebagai Pendekatan Penyelesaian
Kejadian Overdispersi Model Poisson. Math-Info (Jurnal Ilmiah Bidang
Matematika, Informatika & Terapannya). 1(12).
5 Saputro DRS, Sulandari W. 2009. Model Thin Plate Spline (TPSpline)
dan Perbandingannya dengan Model Alternating Conditional
Expectations (ACE) untuk Menduga Fungsi Respon Pergerakan Nilai
Tukar Dollar, Publikasi di Universitas Negeri Jember.
6 Saputro DRS. Mengoptimalkan Korelasi pada Model Pergerakan Nilai
Tukar Dollar dengan Algoritma ACE (Alternating Conditional
Expectations), Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA pada tgl 16 Mei 2009 di Univ Negeri Yogyakarta
7 Saputro DRS. Memprediksi Curah Hujan (Data Spatio-Temporal)
dengan Metode Bayesian Networks, Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA pada tgl 16 Mei 2009 di Universitas
Negeri Yogyakarta.
xv

8

9

10

11

12

13

Tinggi
Saputro DRS. Counter Example: Tidak Selalu Berlaku Jika
dan Koefisien Regresi Tidak Signifikan, maka Terdapat
Multikolinearitas. Math-Info (Jurnal Ilmiah Bidang Matematika,
Informatika & Terapannya). 2(2).
Saputro DRS, Mattjik AA, Boer R, Wigena AH, & Djuraidah A. 2011.
Metode Agglomerative Hierarchical untuk Pewilayahan Curah Hujan
Berdasarkan Data Median Tahun 1980-2000 di Kabupaten Indramayu,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan & Penerapan MIPA di
Universitas Negeri Jogjakarta, 14 Mei 2011.
Saputro DRS, Mattjik AA, Boer R, Wigena AH, & Djuraidah A. 2011.
Pendugaan Data hilang Curah Hujan di Kabupaten Indramayu dengan
Kriging dan Rata-rata Bergerak (Berdasarkan Data tahun 1980-2000),
Seminar Nasional Statistika 2011 di Universitas Diponegoro, 21 Mei
2011.
Saputro DRS, Djuraidah A. 2011. Analisis Profil Pewilayahan Curah
Hujan, Konferensi Nasional Sains & Aplikasinya di UNISBA, Bandung, 27
Juni 2011.
Saputro DRS, Wigena AH, & Djuraidah A. 2012. Model Vector
Autoregressive (VAR) untuk Peramalan Curah Hujan di Indramayu,
Jurnal Forum Komputasi dan Statistika [proses penerbitan].
Saputro DRS, Wigena AH & Djuraidah A. 2012. Sea Surface
Temperature Nino 3.4 pada Model Vector Autoregressive Exogenous
untuk Peramalan Curah Hujan di Indramayu, Jurnal Math Info (Jurnal
Ilmiah Bidang Matematika, Informatika & Terapannya) [proses
penerbitan].

xvi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................

xix

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................

xxi

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………...

xxiii

1 PENDAHULUAN ......................................................................
Latar Belakang ........................................................................
Tujuan .....................................................................................
Kerangka Penelitian ................................................................
Novelty (Kebaruan) .................................................................

1
1
4
4
5

2 DESKRIPSI DATA PENELITIAN …..........................................
Deskripsi Umum Kabupaten Indramayu ..................................
Pola dan Karakteristik Curah Hujan …...................................
Faktor-faktor Eksogen Curah Hujan …………………………
1 Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4 ......................
2 Anomali Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4 ……..
3 Southern Oscillation Index/SOI) ..................................
4 Indian Ocean Dipole Mode (IODM) ………………....
Metode Eksplorasi Data …………………................................
Hasil Eksplorasi Data Curah Hujan di Indramayu …...……….
1 Pendugaan Data Hilang ………………………………..
2 Pola Sebaran Curah Hujan …………………………….
3 Plot Autokorelasi dan Plot Autokorelasi Parsial ………
Hasil Eksplorasi Data Eksogen ………………………………
Hubungan Curah Hujan dengan Faktor Eksogen ……………
Hubungan Spasial antara Stasiun Curah Hujan ……………...
Simpulan ……………………………………………………

7
7
8
10
10
11
11
12
12
13
13
17
19
21
24
27
29

3 PEWILAYAHAN CURAH HUJAN ……………………………
Pendahuluan …………………………………………………
Analisis Gerombol …………………………………………..
Analisis profil …………….….……………………………….
1 Uji Kesejajaran ………………………………………...
2 Uji Keberhimpitan ……………………………………..
3 Uji Kesamaan ………………………………………….
Metode ………………...……………………………………..
Hasil dan Pembahasan ……………………………………….
Simpulan …………………………………………………….

31
31
32
32
33
33
34
34
35
39

xvii

4 MODEL VECTOR AUTOREGRESSIVE EXOGENOUS (VARX)
Pendahuluan ………………………………………………...
Model Vector Autoregressive (VAR) dan Vector
Autoregressive Exogenous (VARX) ……………………...
Metode …..…………..………………………………………
Hasil dan Pembahasan ……………………………………...
1 Model VAR ……………………………………
2 Model VARX dengan SST Nino 3.4 , SOI dan DMI
3 Model VARX dengan anomali SST Nino 3.4, SOI dan
DMI …………………………………………………..
Simpulan …………………………………………………....

41
41
42
43
45
45
47
49
51

MODEL ADITIF VECTOR AUTOREGRESSIVE
EXOGENOUS (VARX) …………………………………………
Pendahuluan ………………………………………………...
Model Aditif ………………………………………………..
Pemulusan Spline ……………………….……………………...
Metode ……………………………………………………...
Hasil dan Pembahasan ……………………………………...
Simpulan ……………………………………………………

53
53
53
55
57
58
63

EVALUASI SKILL MODEL ……………………………………
Pendahuluan ………………………………………………..
Metode ……………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan ……………………………………...
Simpulan ……………………………………………………

65
65
65
67
70

………………………………………

71

8 SIMPULAN DAN SARAN ……………........................................
Simpulan ……………………………………………………
Saran …………………………………………………….....

73
73
74

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

75

LAMPIRAN ........................................................................................

81

5

6

7 PEMBAHASAN UMUM

xviii

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai curah hujan minimum, maksimum, rata-rata dan
simpangan baku ……………………………………………….

16

masing-masing stasiun curah hujan ……………………

19

3 Nilai SST Nino 3.4 minimum, maksimum, rata-rata,
dan simpangan baku …………………………………………...

21

4 Anomali SST Nino 3.4 minimum, maksimum, rata-rata, dan
simpangan baku ……………………………………………….

22

5 Nilai SOI minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

23

6 Nilai DMI minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan
baku……………………………………………………………..

24

7 Pewilayahan curah hujan ……………………………………...

36

8 Uji profil untuk wilayah 1 dan 2 ………………………………

37

9 Uji profil untuk wilayah 1 dan 3 ………………………………

38

10 Uji profil untuk wilayah 2 dan 3 ………………………………

38

11 Model VAR (1) untuk wilayah 1, 2 dan 3 ……………………

45

12 Korelasi dan RMSEP model VAR (1) ……...…………………

46

13 Model VARX (1) untuk setiap dengan peubah eksogen SST
3.4, SOI, dan DMI ……………………………………………..

47

14 Korelasi dan RMSEP untuk model curah hujan VARX (1)
dengan peubah eksogen ……………………………………...

49

15 Model VARX (1) untuk setiap wilayah 3 dengan peubah
eksogen anomali SST 3.4, SOI, dan DMI ……………………

49

16 Korelasi dan RMSEP untuk model curah hujan VARX (1)
dengan peubah eksogen anomali SST Nino 3.4, SOI dan IDM
…………………………………………………………………..

51

17 Peubah kategorik musim hujan, kemarau dan lembab ………..

57

18 Penduga parameter model aditif-VARX curah hujan di stasiun
Salam Darma …………………………………………………

59

2 Nilai

xix

19 Penduga parameter model aditif-VARX curah hujan
di stasiun Gantar ………………………………………………

60

20 Penduga parameter peubah indicator …………………………

61

21 Tabel kontingensi ……………………………………………..

66

22 Peramalan skill model VARX dan aditif-VARX curah hujan
(atas normal) …………………………………………………..

68

23 Peramalan skill model VARX dan aditif-VARX curah hujan
(bawah normal) ………………………………………………..

69

xx

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka penelitian pemodelan curah hujan ………………

5

2 Pola curah hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003) …

10

3 Peta stasiun curah hujan di Kabupaten Indramayu (Sumber :
BMKG) ………………………………………………………

14

4 Persentase data hilang ………………………………………

15

5 Persentase nilai Mean absolute deviation (MAD) pada setiap
bulan …………………………………………………………

16

6 Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah
hujan dari bulan Januari 1980 sampai dengan bulan Juni 2000
.........

17

7 Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah
hujan dari bulan Juli 1980 sampai dengan bulan Desember
2000 ..........................................................................................

18

8 Plot ACF dan PACF curah hujan untuk stasiun Anjatan, Sumur
Watu, SalamDarma, Gantar, Kedokan Bunder dan
SudiMampir ...............................................................................

20

9 Tebaran data SST Nino 3.4 …………………………………..

21

10 Tebaran data anomali SST Nino3.4 ………………………….

22

11 Tebaran data SOI …………………………………………….

23

12 Tebaran data indeks dipole mode ……………………………

24

13 (a)-(f) Plot CCF antara curah hujan dan SST Nino 3.4, (g)-(l)
plot CCF antara curah hujan dengan anomali SST Nino 3.4
………………………………………………………………….
14 (a)-(f) Plot CCF antara curah hujan dan DMI, (g)-(l) plot CCF
antara curah hujan dengan SOI ………………………………

25

26

15 Plot CCF curah hujan antar stasiun curah hujan ……………..

28

16 Plot antara CCF dengan jarak antar stasiun curah hujan
dan persamaan garisnya ……………………………………...

29

17 Diagram alir proses pewilayahan …………………………….

35

xxi

18 Scree plot ……………………………………………………

35

19 Pola curah hujan (a) wilayah 1, (b) wilayah2, (c) wilayah 3 …

36

20 Pola curah hujan (a) wilayah 1 dan 2, (b) wilayah 1 dan 3, (c)
wilayah 2 dan 3 ………………………………………………

37

21 Pewilayahan curah hujan, pola masing-masing wilayah dan
deliniasinya …………………………………………………..

39

22 Diagram alir metodologi pemodelan dengan VAR …………

44

23 Tebaran galat model curah hujan (a) stasiun Salam Darma
(b) stasiun Gantar ……………………………………………

61

24 Tebaran data aktual curah hujan dengan data pendugaan
(a) Salam Darma (b) Gantar …………………………………

62

25 Tebaran galat model curah hujan (a) stasiun Salam Darma dan
(b) stasiun Gantar ……………………………………………

62

26 Tebaran data aktual curah hujan dengan data pendugaan
(a) stasiun Salam Darma (b) Stasiun Gantar …………………

62

27 Kurva ROC atas normal dan bawah normal bulan Januari
untuk stasiun Salam Darma …………………………………

67

28 Kurva ROC atas normal dan bawah normal bulan Januari
untuk stasiun Salam Darma …………………………………

68

29 Perbandingan data observasi dan pendugaan curah hujan
di Stasiun Gantar …………………………………………….

70

xxii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Posisi Lintang dan Bujur Stasiun Indramayu ………………

83

2 Diagram Batang curah hujan bulanan di masing-masing
wilayah…………………………………………………………

85

3 Matriks model VAR ………………………………………….

89

4 Matriks model VARX dengan peubah eksogen SST Nino 3.4,
DMI dan SOI …………………………………………………

91

5 Matriks model VARX dengan peubah eksogen anomali SST
Nino 3.4, DMI dan SOI ………………………………………

93

6 Penduga parameter model VAR ……………………………..

95

7 Penduga parameter model VARX (anomali SST 3.4) ……….

103

8 Grafik Skill Peramalan Model Aditif VARX untuk
Stasiun Salamdarma……………………………………………

111

9 Grafik Skill Peramalan Model VARX untuk
Stasiun Salam Darma…………………………………………..

115

10 Grafik Skill Peramalan Model Aditif VARX untuk
Stasiun Gantar ………………………………………………

119

11 Grafik Skill Peramalan Model VARX untuk Stasiun Gantar

123

xxiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang
sangat beragam, dilewati garis katulistiwa, diapit dua benua dan dua samudera.
Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional
(Utara-Selatan) yang dikenal sebagai sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal
(Timur-Barat) yang dikenal sebagai sirkulasi Walker (Swarinoto 2004; Las
2008). Dua sirkulasi ini sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia.
Posisi semu matahari yang berpindah dari 23.50 LU ke 23.50 LS sepanjang
tahun dan gangguan siklon tropis juga ikut mempengaruhi keragaman iklim
dan perubahan musim Indonesia. Semua aktivitas dan sistim ini berlangsung
secara bersamaan sepanjang tahun dan menyebabkan sistim golakan lokal
cukup dominan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara tropis memiliki
pola hujan dengan variasi yang besar dibandingkan unsur cuaca dan iklim di
wilayah lainnya (BMKG 2011). Variasi yang besar ini terlihat pada suatu saat
terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan
pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat
menimbulkan banjir (Allan 2000).
Salah satu wilayah yang mengalami perubahan musim yang nyata yakni
Kabupaten Indramayu. Wilayah ini juga rentan terhadap perubahan iklim
regional terutama El-Nino Southern Oscillation (ENSO) (Septicorini 2009).
Kabupaten ini merupakan wilayah pusat produksi padi utama di Jawa Barat
dengan kontribusi produksi sebesar 35% dari produksi total provinsi
(Suciantini 2004). Salah satu kerugian akibat pergeseran musim yakni
kehilangan investasi untuk kegiatan penanaman, serta kerugian ekonomi akibat
kegagalan panen. Pada tahun El Nino 1991, 1994, dan 1997, kerugian ekonomi
akibat kegagalan panen di daerah ini mencapai Rp 571 miliar, sedangkan
kehilangan investasi yang dialami petani mencapai Rp 228 miliar (BMG 2003).
Resiko kegagalan panen tersebut dapat diminimalkan jika petani
mampu beradaptasi dengan perubahan musim. Adaptasi dapat terjadi jika
petani memiliki pemahaman yang cukup terhadap informasi peramalan cuaca.

2

Pengetahuan tentang peramalan cuaca dan iklim menjadi sangat penting di
bidang pertanian, karena cuaca dan iklim yang ini sulit diramalkan
kejadiannya. Salah satu di antara model peramalan yang diperlukan dalam
bidang pertanian yakni model peramalan curah hujan.
Model curah hujan yang banyak berkembang pada umumnya bersifat
stokastik. Teknik analisis yg digunakan di antaranya analisis deret waktu
(Dupe 1999, Haryanto 1999, Boer et al. 1999 yang diacu dalam Boer 2006).
Analisis dengan deret waktu tunggal dapat dilakukan dengan model ARIMA
(Autoregressive Integrated Moving Average). Beberapa penelitian model curah
hujan dengan ARIMA di antaranya Mauludiyanto (2008, 2009), Kalfarosi
(2009), Naill (2009).
Model ARIMA hanya digunakan untuk satu lokasi curah hujan. Model
ini dapat dikembangkan untuk beberapa lokasi curah hujan yang disebut
sebagai model Vector Autoregressive (VAR). Model VAR dapat digunakan
untuk menentukan model curah hujan karena adanya korelasi curah hujan antar
lokasi stasiun curah hujan dalam suatu wilayah.

Model ini banyak

dikembangkan dan dipergunakan dalam bidang ekonomi (Hamilton 1994;
MacKinlay 1997; Tsay 2001), namun belum dikembangkan pada bidang
klimatologi utamanya model curah hujan.
Pengembangan model VAR dapat dilakukan dengan menambahkan
suatu peubah eksogen. Pengembangan ini

disebut sebagai model Vector

Autoregressive Exogenous (VARX) (Sims 1980). Tidak seperti model VAR,
model VARX membedakan bahwa suatu peubah itu endogen dan eksogen.
Peubah eksogen merupakan peubah yang berpengaruh terhadap peubah
endogen dalam suatu sistem. Dalam hal ini, jika peubah endogennya
merupakan curah hujan dari suatu lokasi tertentu, maka peubah eksogennya
merupakan peubah yang mempengaruhi curah hujan.
Pengembangan model VARX dapat dilakukan dengan menambahkan
peubah indikator yang mengindikasikan sebagai musim hujan, musim kemarau
dan bulan lembab (perubahan dari musim kemarau ke musim hujan dan
sebaliknya) dan secara simultan menambahkan fungsi pemulus spline pada

3

model tersebut. Pengembangan ini diharapkan akan meningkatkan ketepatan
model.
Model curah hujan lainnya yakni model curah hujan yang berbasis spasial
dan temporal (spatio-temporal), di antaranya model aditif dan model aditif
terampat (generalized aditif model/GAM). Lebih lanjut tentang model berbasis
GAM ini dapat dibaca di Zoppou et al. (2000) dan Smith & Kolenikov (2004).
Model lain yang juga dikembangkan yakni model aditif untuk data spasial
(model geoaditif) oleh Kamman & Wand (2003), model yang berbasis struktur
hierarki (Banerjee et al. 2004). Model yang dikembangkan di Indonesia, di
antaranya

model generalized space time autoregressive-kriging (GSTAR-

Kriging) (Ruchjana 2005) dan model aditif spatio-temporal (Djuraidah 2007).
Beberapa penelitian pemodelan curah hujan di Indramayu telah
dilakukan di antaranya oleh Suciantini (2004) yang memodelkan curah hujan
dengan Multivariate Adaptive Regression Spline (MARS) dan metode Iterative
Time Series MARS (ItsMARS). Sutikno (2008) menyusun model Statistical
Downscaling (SD), yakni model hybrid antara regresi splines adaptif berganda
(RSAB) dan adaptive splines threshold autoregression (ASTAR). Apriyatna
(2010) menyusun model peramalan curah hujan dengan jaringan syaraf
tiruan/Artificial NeuralNetwork (ANN). Model tersebut tidak berbasis deret
waktu ganda.
Faktor eksogen yang mempengaruhi curah hujan di Indonesia antara
lain, El Nino-Southern Oscillation (ENSO) (Apriyatna 2010). Selain El Nino di
Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi lautan atmosfer lainnya
yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD) (Saji et al. 1999; Webster et
al. 1999; Hendon 2003). ENSO dan IOD mempunyai dampak yang kuat
terhadap curah hujan daerah tropis termasuk keragaman curah hujan di
Indonesia (Naylor et al. 2007; Saji et al. 2003). Kedua fenomena tersebut
semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi
yang semakin panjang sehingga secara signifikan dapat menyebabkan
penurunan curah hujan terutama di musim peralihan saat memasuki musim
hujan (IPCC 2007; Koesmaryono 2009). Sebagai indikator untuk memantau
kejadian ENSO, biasanya digunakan data Sea Surface Temperature (SST).

4

Indikator ENSO lainnya yakni SOI (Southern Oscillation Index) yang mengacu
pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur Pasifik bagian
ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Kawasan Nino 3.4 merupakan
kawasan yang representatif mendefinisikan EL Nino (Dupe & Tjasyono 1998).
Model curah hujan dengan beberapa lokasi belum dikembangkan, bahkan jika
menambahkan faktor eksogen pada model tersebut.
Penentuan model curah hujan memerlukan kelengkapan data, namun
data curah hujan pada umumnya tidak memiliki data lengkap atau data hilang,
sehingga diperlukan pendugaan. Selain itu, ada keragaman data curah hujan
antar lokasi curah hujan sehingga diperlukan pewilayahan.

Tujuan
Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian ini yakni
1

melakukan pendugaan data hilang,

2

melakukan pewilayahan pola curah hujan,

3

menentukan model curah hujan dengan VAR dan model VARX,

4

mengembangkan model VARX dengan model aditif VARX.

Kerangka Penelitian
Permasalahan utama yang menjadi fokus penelitian yakni pemodelan
curah hujan di Indramayu dengan model aditif-VARX. Langkah penelitian
diawali dengan melakukan eksplorasi data curah hujan dan faktor yang
mempengaruhinya. Jika data curah hujan tidak lengkap, maka dilakukan
pendugaan terhadap data hilang tersebut. Dalam penelitian ini metode yang
digunakan untuk pendugaan dilakukan dengan rata-rata bergerak (Moving
Average).

Langkah

berikutnya

dilakukan

pewilayahan

curah

hujan.

Berdasarkan hasil pewilayahan tersebut, dilakukan pemodelan dengan VAR
untuk setiap wilayah.
Pemodelan dengan VARX dilakukan dengan menambahkan faktor yang
mempengaruhi curah hujan, sehingga diperoleh faktor dominan yang
berpengaruh terhadap curah hujan pada setiap wilayah. Pada pemodelan
selanjutnya, dilakukan penambahan peubah indikator dan pemulusan spline.

5

Hasil pemodelan tersebut dievaluasi. Langkah penelitian ditunjukkan pada
Gambar 1.

Data curah
hujan

Data lengkap ?

Tidak

Pendugaan data tidak
lengkap

Ya

Pewilayahan curah hujan

Data curah
hujan lengkap

Peubah penjelas : anomali SST/SST di
kawasan Nino 3.4, DMI, SOI
Model Vector Autoregressive
(VAR)

Model Vector Autoregressive Exogenous (VARX)

Peubah indikator : bulan basah, bulan
kering, dan bulan transisi

Model Aditif-VARX

Evaluasi kebaikan model

Gambar 1 Kerangka penelitian pemodelan curah hujan

Novelty (Kebaruan)
Beberapa penelitian pemodelan curah hujan di Indramayu telah
dilakukan di antaranya oleh Suciantini (2004) yang memodelkan curah hujan
dengan Multivariate Adaptive Regression Spline (MARS) dan metode Iterative
Time Series MARS (ItsMARS). Sutikno (2008) menyusun model Statistical
Downscaling (SD), yakni model hybrid antara regresi splines adaptif berganda
(RSAB) dan adaptive splines threshold autoregression (ASTAR). Apriyatna
(2010) menyusun model peramalan curah hujan dengan jaringan syaraf
tiruan/Artificial NeuralNetwork (ANN). Model tersebut tidak berbasis deret
waktu ganda. Model dengan deret waktu ganda dapat ditentukan dengan model
Vector Autoregressive Regressive (VAR). Model VAR hanya menggunakan

6

peubah endogen yakni peubah curah hujan di setiap lokasi stasiun curah hujan
dalam satu wilayah. Model VAR belum pernah digunakan di bidang
klimatologi. Selain itu, curah hujan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara
lain SST/anomali SST di kawasan Nino 3.4, SOI, dan IDM. Faktor ini
dianggap sebagai peubah eksogen. Penambahan peubah eksogen pada model
VAR disebut model Vector Autoregressive Exogenous (VARX). Dalam
penelitian ini, model VARX dapat dikembangkan mengingat adanya indikasi
pola data curah hujan yang nonlinier dan juga adanya indikasi bahwa pada
musim lembab terjadi kenaikan atau penurunan curah hujan yang tinggi.
Pengembangan menggunakan peubah indikator musim (musim hujan, musim
kemarau dan musim lembab) dan fungsi spline. Model ini disebut model aditifVARX yang merupakan keterbaruan dalam penelitian ini.

2 DESKRIPSI DATA PENELITIAN
Deskripsi Umum Kabupaten Indramayu
ada umumnya secara geologis, wilayah Jawa Barat bagian utara terdiri
dari dataran aluvial (alluvial plain). Berdasarkan pada peta Physiographic
Regions dataran ini memanjang dari Kabupaten Subang, Kabupaten
Indramayu, hingga Kabupaten Cirebon. Di sebelah selatan dataran aluvial,
dalam arah timur barat terdapat zona lipatan utara (Northern Folded Zone). Di
sebelah selatannya lagi, terdapat zona pegunungan tengah (Central Volcano
Zone). Sementara itu, di pantai selatan Jawa Barat, sepanjang timur-barat
terdapat Zona Plato Selatan (Southern Plateau Zone). Kondisi pantai pada
umumnya relatif datar di sebelah utara. Semakin ke arah tengah, ketinggian
tempat semakin meningkat. Berdasarkan pada peta Digital Elevation Model
(DEM) dengan skala 1:25.000, ketinggian tempat di Jawa Barat bagian utara
berkisar 1 sampai dengan lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut
(Swarinoto 2004).
Secara garis besar, morfologi wilayah Kabupaten Indramayu dibagi
menjadi daerah perbukitan rendah bergelombang dan dataran rendah.
Perbukitan rendah bergelombang menempati daerah sempit di bagian barat
daya membentuk perbukitan yang memanjang dengan arah barat laut-tenggara
sedangkan dataran rendah menempati bagian tengah sampai ke utara.
Ketinggian wilayah Kabupaten Indramayu berada antara 0-18 m dpl, dimana
wilayah dataran rendah menempati bagian terluas dari wilayah Kabupaten
Indramayu yakni ± 90% (Haryoko 2004).
Kabupaten Indramayu berbatasan dengan Laut Jawa di utara,
Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten
Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat. Terdapat 24 kecamatan di
Kabupaten Indramayu sejak tahun 2002, yang terdiri dari sejumlah desa dan
kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir
Laut Jawa. Indramayu dilintasi jalur pan
terpadat di Pulau Jawa.

tura,

yakni

salah

satu

jalur

8

Wilayah Kabupaten Indramayu meliputi luas 204.011 Ha dan secara
georafis terletak diantara 107º 52´-108º 36´ BT dan 6º 15´-6º 40´ LS. Pada
umumnya keadaan topografi merupakan daerah landai dengan kemiringan
tanahnya rata-rata 0%–2%. Jenis tanah di Kabupaten Indramayu meliputi
Alluvial (63%), Clay Grumosol (24%) dan Podsolik (12%). Musim hujannya
berlangsung pada Oktober sampai dengan Maret dan kemarau pada April
sampai dengan September. Kabupaten Indramayu menurut klasifikasi Scmid &
Ferguson mempunyai tipe iklim D (iklim sedang) dengan karakteristik :
temperatur berkisar 180–28ºC. Curah hujan rata-rata per tahun berkisar 1.418
mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 75 hari, curah hujan yang tertinggi
pada bulan Januari dengan curah hujan 364 mm, sedangkan curah hujan
terendah

pada

bulan

Agustus

dengan

curah

hujan

10

mm

(http://www.indramayu.go.id/1profil/geografis.php). Keadaan ini berpengaruh
terhadap drainase. Jika curah hujan tinggi maka akan terjadi genangan air
pada daerah-daerah tertentu (Anonim 2010).
Pada umumnya, curah hujan tahunan meningkat mengikuti ketinggian
di Jawa Barat bagian utara. Dari pesisir utara, curah hujan meningkat ke arah
pedalaman di selatan (Swarinoto 2004). Dari Kabupaten Indramayu di utara ke
arah selatan, puncak curah hujan semakin tinggi di Kabupaten Sumedang dan
Kabupaten Majalengka. Curah hujan tahunan semakin berkurang ke arah timur.
Kabupaten Indramayu memiliki karakteristik wilayah yang hampir datar
dengan ketinggian antara 1-12 meter dari permukaan laut (BMG 2003).
Kabupaten Indramayu dipilih sebagai lokasi penelitian karena
merupakan salah satu kabupaten yang sangat sensitif terhadap kejadian iklim
ekstrim. Luas lahan yang terkena kekeringan pada tahun El Nino selalu
melonjak tinggi dibanding tahun normal. Kerugian yang dialami dapat berupa
kehilangan investasi yang sudah digunakan untuk kegiatan penanaman, dan
kerugian ekonomi akibat gagalnya panen.
Pola dan Karakteristik Curah Hujan
Salah satu proses alam yang termasuk dalam siklus hidrologi yakni
curah hujan. Dengan adanya curah hujan, pergerakan air dari hilir dapat

9

terangkut kembali menuju hulu. Hal ini akan tetap berlangsung selama
komponen-komponen siklus hidrologi dapat terpenuhi. Curah hujan merupakan
air yang jatuh pada permukaan tanah selama jangka waktu tertentu. Jumlah hari
hujan dapat dinyatakan per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode
tanam (tahap pertumbuhan tanaman). Intensitas hujan adalah jumlah curah
hujan dibagi dengan selang waktu terjadinya hujan. Salah satu proses alam
yang termasuk dalam siklus hidrologi adalah curah hujan. Satu hari hujan
merupakan periode 24 jam dan terkumpul hujan setinggi 0.5 mm atau lebih.
Jika curah hujan kurang dari ketentuan tersebut, maka hari hujan dianggap nol
(WMO 1971). Dengan adanya curah hujan, pergerakan air dari hilir dapat
terangkut kembali menuju hulu. Hal ini akan tetap berlangsung selama
komponen-komponen siklus hidrologi dapat terpenuhi. Curah hujan dapat
dikategorikan berdasarkan intensitas curah hujan dengan satuan tinggi curah
hujan per satuan waktu dan karakteristik lingkungan saat terjadinya hujan.
Curah hujan memiliki keragaman yang besar dalam ruang dan waktu.
Keragaman curah hujan menurut ruang sangat dipengaruhi oleh letak geografi
(letak terhadap daratan dan lautan), topografi, ketinggian tempat, arah angin
dan letak lintang (Bruce & Clark 1966). Keragaman curah hujan terjadi juga
secara lokal di suatu tempat yang menyebabkan penyebaran hujan tidak merata.
Secara klimatologis pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga
yakni pola monsun, pola equatorial dan pola lokal. Pola monsun dicirikan oleh
bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan). Menurut
Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan Indonesia dibagi menjadi tiga
daerah utama dan satu daerah peralihan (pada Gambar 2) :
1

Daerah A merupakan pola yang dominan di Indonesia karena melingkupi
hampir seluruh wilayah indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak
pada bulan November-Maret yang dipengaruhi oleh monsun barat laut yang
basah dan satu palung pada bulan Mei-September yang dipengaruhi oleh
monsun tenggara yang kering. Hal ini menunjukkan perbedaan yang jelas
antara musim kemarau dan musim hujan. Selain itu, daerah A berkorelasi
kuat dengan perubahan suhu permukaan laut.

10

2

Daerah B mempunyai dua puncak yakni pada bulan Oktober-November
dan bulan Maret-Mei. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke utara dan
selatan dari Intertropical Convergence Zone (ITCZ).

3

Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli dan satu palung
pada bulan November-Februari. Pola daerah ini merupakan kebalikan dari
pola daerah A.

Gambar 2 Pola curah hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)

Faktor eksogen curah hujan
Secara fisik curah hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
SST/anomali Nino 3.4, DMI dan SOI. Berikut merupakan uraian faktor-faktor
yang mempengaruhi curah hujan.
1 Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4
Variabilitas iklim Samudra Pasifik memiliki fenomena khas. Fenomena
internal dari variabilitas iklim tersebut merupakan sirkulasi zonal (sejajar
lintang) arah Timur Barat yang terjadi di Pasifik Timur menuju Pasifik Barat
(dekat kepulauan Indonesia) yang disebut sebgai sirkulasi Walker. Gangguan
yang terjadi pada sirkulasi Walker dikenal sebagai fenomena ENSO (EL-Nino
Southern Oscillation). EL Nino merepresentasikan fase panas (dingin) dari
siklus ENSO (Wiratmo 1998). Kondisi SST di Pasifik Ekuator sangat

11

berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari
Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika SST Pasifik Equator
Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya, kondisi tersebut disebut
sebagai El-Nino. Gejala ENSO membawa implikasi laut Indonesia lebih dingin
pada kejadian El Nino, hal ini mengakibatkan penurunan curah hujan pada
tahun El-Nino (Gutman et al. 2000). Sebagai indikator untuk memantau
kejadian ENSO, biasanya dipergunakan data SST. Dupe dan Tjasyono (1998)
telah melakukan analisis terhadap grafik data SST dan anomali SST untuk
seluruh daerah pengamatan El Nino, hasil visual menunjukkan bahwa daerah
Nino 3.4 (1700BB-1200BB, 50LS-50LU) memperlihatkan sebaran yang lebih
berpola sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3.4 merupakan
kawasan yang representatif berperan membangkitkan El-Nino.
2 Anomali Sea Surface Temperature (SST) Nino 3.4
Nilai positif pada anomali SST Nino3.4 mengindikasikan bahwa SST
Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya yang
berimplikasi bahwa laut Indonesia lebih dingin. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan hujan di wilayah Indonesia (Gutman et al. 2000).
Sebaliknya, nilai negatif mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah
dan Timur terjadi lebih rendah dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut
Indonesia lebih panas.
3

Southern Oscillation Index (SOI)
Southern Oscillation adalah osilasi tekanan di atmosfir kawasan laut

Pasitik dan atmosfir kawasan laut Indonesia-Australia. SOI dibuat untuk
memonitor osilasi selatan dengan menggunakan nilal perbedaan antara tekanan
atmosfer di atas permukaan laut di Darwin (Australia) dan Tahiti (Pasifik
Selatan) (Boer 1999).
Pada saat tekanan di Tahiti lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara
di Darwin, nilai SOI akan tinggi (positif). Bersamaan itu suhu muka laut di
Pasifik Timur lebih dingin dan sebagai pusat tekanan tinggi dan di Pasifik
Barat lebih panas dan menjadi pusat tekanan rendah. Dengan keadaan tersebut
terjadi angin pasat yang menguat dan bergesernya pusat konvergensi sirkulasi
Walker ke arah Pasifik Barat yang menyebabkan penguapan di wilayah Pasifik

12

Barat bertambah dan sebagai dampaknya jumlah hujan di Indonesia meningkat
yang umumnya sebagai indikasi munculnya La Nina.
Jika tekanan udara di Tahiti lebih rendah dibanding dengan tekanan
udara di Darwin, maka nilai SOI rendah (negatif). Permukaan air laut yang
panas dan pemanasan daratan oleh radiasi matahari di Pasifik Timur
mengakibatkan suhu permukaan lautnya meningkat dan menciptakan pusat
tekanan rendah. Sebaliknya, pada wilayah Pasifik Barat yang suhu permukaan
lautnya lebih dingin menciptakan pusat tekanan tinggi, angin pasat menjadi
melemah seiring dengan bergesernya pusat konvergensi sirkulasi Walker ke
Pasifik Tengah dan Timur. Hal ini mengakibatkan penguapan bergeser kearah
Pasifik Tengah dan Timur sehingga Pasifik Barat mengalami kekurangan
ketersediaan uap air yang ada di udara dan ini merupakan indikasi munculnya
El Nino.
4 Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
IODM merupakan sebuah fenomena samudra dan atmosfer di samudra
Hindia yang ditandai dengan anomali negatif suhu permukaan laut di Sumatera
dan anomali suhu positif di bagian barat samudra Hindia (Saji et al. 1999).
IODM diasosiasikan dengan perubahan angin tenggara di samudra Hindia
sehingga akan mempengaruhi daerah konvektif di ekuator, Sirkulasi Walker,
dan presipitasi.
Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM yakni
Dipole Mo