Arkeologi Membuktikan Bahwa Sulawesi Uta

Arkeologi Membuktikan Bahwa Sulawesi Utara adalah
Gerbang Asia Pasifik Sejak Prasejarah
2 Mei 2012
iaaipusat PIA 2011 Prasejarah, Santoso Soegondho Tinggalkan komentar
Santoso Soegondho
Saat ini sedang hangat dipermasalahkan bahwa daerah Sulawesi Utara adalah merupakan Pintu
Gerbang Asia-Pasifik. Banyak orang yang tidak tahu bahwa berdasarkan penelitian arkeologi
telah dibuktikan bahwa sebenarnya sejak masa prasejarah atau masa sebelum ada dokumen
tertulis, wilayah Sulawesi Utara sudah merupakan pintu gerbang bagi wilayah Asia-Pasifik.
Bahkan para sarjana menyebutnya sebagai jembatan darat yang menghubungkan wilayah Asia
dengan wilayah Pasifik. Para pakar memperkirakan sebenarnya Gajah Purba (Stegodon) pernah
bermigrasi dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia melalui Sulawesi Utara. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya fosil gading dan geraham binatang tersebut di Desa Pintareng Tabukan
Selatan di pulau Sangihe. Demikian juga ditemukan bukti bahwa budaya yang disebarkan dan
dibawa oleh suku bangsa penutur bahasa Austronesia, menyebar dari Daratan Asia lewat
Formosa dan Filipina masuk ke wilayah Pasifik melalui Sulawesi Utara. Dari Sulawesi Utara
budaya ini kemudian menyebar ke bagian Timur sampai di Pulau Paskah di Kepulauan Pasifik
dan ke bagian Barat sampai di Madagaskar.
FOSIL GAJAH PURBA
Pada saat terjadi peng-esan (zaman glacial) di muka bumi pada masa Plestosin, pernah terjadi
migrasi fauna dari daratan Asia ke Selatan melalui Filipina dan Sulawesi Utara. Oleh sebab itu di

Filipina dan di Sulawesi Utara terdapat peninggalan fosil-fosil binatang purba seperti gajah purba
(stegodon) dan fosil hewan lainnya. Di Desa Pintareng di Tabukan Selatan di Pulau Sangihe,
telah ditemukan adanya fosil-fosil gading dan geraham gajah purba tersebut. Menurut para ahli
dari Museum Geologi Bandung dan dari Pusat penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, fosil-fosil
tersebut dinyatakan sebagai bagian dari fosil Stegodon yang pernah hidup di Kepulauan
Nusantara pada masa Plestosin sekitar 2 juta tahun lalu. Gajah purba ini selain di Pintareng telah
ditemukan fosil-fosilnya di Sangiran, di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, di Lembah Cabenge di
Sulawesi Selatan dan di Lembah Besoa di Sulawesi Tengah. Stegodon di dunia diperkirakan
pernah hidup sejaman dengan binatang purba lainnya. Di Indonesia stegodon hidup dengan
binatang-binatang purba lainnya seperti Rinocheros (badak purba) serta kerbau purba dan lain
sebagainya. Dengan temuan fosil gajah purba di Pintareng, Tabukan Selatan Sangihe tersebut,
maka sebenarnya pada masa lalu gajah pernah hidup di Pulau Sulawesi dan terutama di Sulawesi
Utara.
Seperti diketahui pada masa plestosin sekitar 2.5 juta tahun yang lalu, iklim di bumi mengalami
perobahan total yaitu penurunan suhu yang sangat drastis. Masa itu dikenal dengan zaman glacial

(zaman es). Fenomena alam ini erat hubungannya dengan perubahan dari parameter astronomi
mengenai posisi bumi terhadap matahari. Kejadian ini berlangsung secara periodik, yang telah
mengakibatkan berubahnya jumlah total dan pembagian energy dari matahari yang diterima
bumi. Selama apa yang disebut zaman es (zaman glasial) itu berlangsung, air di bumi terkumpul

dalam bentuk es di daerah-daerah yang bergaris lintang tinggi. Hal ini berarti kandungan air di
samudra menjadi berkurang, akibatnya muka air laut menjadi turun. Sebagai contoh, pada
puncak zaman glacial terakhir yang terjadi sekitar 18.000 tahun yang lalu, muka air laut terletak
100 meter lebih rendah dari sekarang. Ternyata selama 1 juta tahun terakhir, muka air laut telah
mengalami lebih dari 10 kali pendangkalan yang mencapai sekurang-kurangnya 80 meter.
Perubahan tersebut di atas sangat mempengaruhi bentuk kepulauan nusantara. Laut Cina Selatan
dan Laut Jawa menjadi surut, sehingga mengakibatkan terbentuknya jembatan daratan yang luas
yang menghubungkan Benua Asia dengan Kepulauan Asia Tenggara. Jembatan daratan inilah
yang memungkinkan berlangsungnya proses migrasi dari daratan Asia ke Asia Tenggara bahkan
ke Pulau-pulau lain di sekitarnya. Beberapa jenis hewan seperti halnya Gajah yang mampu
menyeberangi lautan, tidak menyianyiakan kesempatan itu untuk bermigrasi mencari daerah
yang lebih memberikan jaminan untuk kelangsungan hidupnya. Oleh sebab itu tidak heran kalau
gajah purba dari jenis Stegodon ditemukan di Filipina dan beberapa daerah di Indonesia seperti
Pintareng, Besoa, Cabenge, Flores dan Sangiran. Para ahli memperkirakan bahwa Sulawesi
Utara menjadi pintu gerbang di dalam migrasi binatang purba ini.
SEJARAH PERADABAN DI SULAWESI UTARA
Sejarah peradaban manusia di daerah ini cukup panjang dan menarik. Daerah ini pada jaman es
melanda dunia pada masa plestosin jutaan tahun yang lalu, merupakan bagian daratan yang
menghubungkan pulau Sulawesi dengan daratan Filipina bahkan daratan Asia. Setelah jaman es
berakhir, Sulawesi Utara menjadi daratan yang membentuk jazirah Pulau Sulawesi dan

kepulauan di bagian Utaranya.
Selain daratan yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, Sulawesi Utara juga terdiri dari
pulau-pulau yang jumlahnya cukup banyak, lebih dari 150 pulau. Daerah ini mempunyai karakter
alam yang khas yaitu dataran tinggi lebih luas dari dataran rendahnya, memiliki banyak gunung
berapi dan sebagian besar masih aktif termasuk gunung api bawah laut, memiliki banyak
gugusan karang yang membentuk pulau-pulau, selain itu kerak bumi daerah ini berdekatan
bahkan sebagian berada tepat di daerah terjadinya proses subduksi (perbenturan) lempenglempeng (plates) tektonik antara lempeng Pasifik-Filipina-Australia dengan lempeng Sangihe
dan Halmahera. Bahkan terletak dekat dengan pertemuan lempeng-lempeng dunia seperti
lempeng Pasifik, Eurasia dan Australia.
Posisi di daerah subduksi inilah yang menyebabkan kemunculan gunung-gunung berapi dan
sering terjadinya berbagai gempa bumi di daerah ini sejak jaman dahulu kala. Gunung-gunung
berapi Sulawesi, Halmahera dan Sangihe, adalah merupakan hasil zona subduksi lempengan
Sangihe dan Halmahera.

Sebagian besar lempengan Maluku telah tertindih (tersubduksi) oleh zona subduksi Halmahera di
bagian Timur dan oleh zona subduksi Sangihe di bagian Barat. Gunung-gunung berapi di
Sulawesi, Sangihe dan Halmahera diberi pasokan magma yang dibangkitkan di mantle
asthenospherik yang termodifikasi oleh fluida yang dihasilkan dari lempengan Maluku yang
tertindih. Dalam beberapa juta tahun semua lempengan Laut Maluku akan tersubduksi dan
lempengan Sangihe serta Halmahera yang sudah saling menindih pada ujung-ujung

lempengannya akan bertabrakan hebat (Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadile, 2008:
hal. 12, 144-149).
Fenomena alam yang telah digambarkan tersebut, disatu sisi telah menyebabkan berbagai
bencana seperti bencana gempa bumi atau letusan gunung api yang mendatangkan kesulitan bagi
masyarakat. Akan tetapi d sisi lain telah menberi warisan yang berupa keindahan alam dan
kekayaan alam yang menguntungkan bagi masyarakat. Warisan yang menguntungkan itu
antaralain keindahan alam pegunungan maupun bahari termasuk keindahan terumbu karang
bahkan juga hasil rempah-rempah yang sudah terkenal di dunia sejak ratusan tahun lalu, adalah
merupakan warisan yang menguntungkan masyarakat. Demikian juga warisan alam yang berupa
logam bernilai ekonomis tinggi seperti emas, perak, timbal, seng dan tembaga. Semua itu telah
terekam di dalam dokumen-dokumen sejarah alam daerah ini.
Dari uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa Sulawesi Utara berdasarkan alamnya, terkenal
keseluruh dunia dengan kekhasan dan kekayaan alamnya yang indah dan subur, dengan adanya
taman-taman laut seperti Bunaken maupun adanya tambang-tambang emas, serta tanaman
cengkih-pala dan perkebunan kelapa yang sangat luas, demikian juga dengan fauna langkanya
seperti Anoa, Maleo, Tarsius dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian arkeologi diketahui bahwa tanda-tanda kehidupan manusia di Sulawesi
Utara sudah berlangsung sejak 30.000 tahun yang lalu seperti yang ditemukan buktinya di gua
Liang Sarru di Pulau Salibabu. Bukti yang lain menunjukkan adanya kehidupan sekitar 6.000
tahun lalu di Situs Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas dan 4.000 tahun yang lalu sampai

awal Masehi di gua Liang Tuo Mane’e di Arangkaa di Pulau Karakelang. Kemudian muncul
kebudayaan megalitik berupa kubur batu ‘waruga’, menhir ‘watutumotowa’, lumpang batu dan
lain-lain sejak 2.400 tahun yang lalu sampai abad 20 Masehi di Bumi Minahasa. Selain itu
Sulawesi Utara pada masa lalu merupakan wilayah penghasil rempah-rempah, beras, dan emas
yang potensial yang menjadi ajang pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi antara bangsa
Portugis, Spanyol, Belanda dan Kerajaan-kerajaan di sekitar daerah ini, yang akhirnya bermuara
pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962: 93-100). Pada masa lalu daerah ini
juga menjadi route perdagangan antara barat dan timur serta penyebaran agama Kristen, Islam
maupun kepercayaan atau agama yang di bawa oleh pedagang-pedagang Cina. Sulawesi Utara
juga berperan dalam perjuangan-perjuangan kemerdekaan dengan munculnya pahlawanpahlawan asli dari daerah ini.
Wilayah Indonesia Timur termasuk daratan Sulawesi Utara dan kepulauan Sangihe, Sitaro dan
Talaud, sejak dahulu adalah merupakan wilayah yang strategis di kawasan Pasifik, karena
merupakan jembatan penghubung antara kawasan Asia dengan Kepulauan Pasifik (Bellwood,
1996; Veth 1996). Pada masa lalu wilayah ini menjadi bagian dari route perjalanan migrasi fauna
dan manusia beserta kebudayaannya. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa di dalam migrasi

fauna prasejarah pernah melewati dan singgah di wilayah ini adalah ditandai dengan adanya fosil
gading gajah purba (stegodon) yang ditemukan di Pintareng, di Kabupaten Kepulauan Sangihe di
Sulawesi Utara (Husni, 1996/1997, 1999), dan geraham binatang purba di lembah Napu di
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, serta fosil-fosil binatang purba lainnya di Cabenge di

Sulawesi Selatan (Santoso, 2001, 2002, 2003).
PENINGGALAN BUDAYA AUSTRONESIA
Adapun migrasi manusia dari wilayah Asia ke Pasifik melalui route ini ditengarai dengan
menyebarnya kebudayaan Austronesia di pulau-pulau di sekitar Pasifik, seperti ditunjukkan oleh
penggunaan bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia, serta
ditemukannya sisa-sisa budaya yang mengenal pemakaian alat-alat batu muda (neolitik) yang
berupa beliung batu persegi di Liang Tuo Mane’e di Kabupaten Talaud dan di daerah lain di
Sulawesi Utara. Disamping itu ditemukan pula sisa-sisa budaya masa logam tua (paleometalik)
yang mengenal penggunaan tempayan kubur seperti yang ditemukan di Liang Buiduane di
Talaud dan di Bukit Kerang Passo di Minahasa, serta peninggalan budaya megalitik (kebudayaan
yang mengenal penggunaan batu-batu besar) tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi dan
kepulauan Maluku Utara (Bellwood, 1978). Sehubungan dengan hal itu wilayah ini menurut para
pakar diperkirakan menjadi daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas permasalahan daerah
asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian
mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai dengan Easter Island di
kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara (Solheim, 1966;
Shuttler, 1975, Bellwood, 2001).
Budaya yang dibawa oleh suku bangsa penutur bahasa Austronesia meninggalkan warisanwarisan budaya yang terdiri dari alat-alat batu neolitik beliung persegi, benda-benda yang terbuat
dari batu-batu besar (megalitik) dan penguburan dengan menggunakan tempayan tanah liat.
Warisan budaya semacam itu banyak ditemukan peninggalannya di Sulawesi Utara. Alat-alat

batu neolitik telah ditemukan di gua-gua di daerah Talaud, di Guaan Bolaang Mongondow dan
daerah Oluhuta yang sebelum pemekaran wilayah daerah itu termasuk ke dalam wilayah
Sulawesi Utara. Demikian juga benda-benda megalitik banyak ditemukan di Sulawesi Utara
dalam bentuk kubur batu waruga, batu bergores ‘watu pinabetengan’, menhir ‘watu tumotowa’,
kubur tebing batu Toraut dan lesung batu, yang umunnya ditemukan di Tanah Minahasa dan
Bolaang Mongondow. Sedangkan kubur tempayan tanah liat ditemukan di beberapa daerah
seperti di Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas Minahasa, di Liang Buiduane Salibabu, di
Tara-tara, Kombi dan di beberapa daerah lainnya.
Dengan uraian di atas jelas peranan Sulawesi Utara sebagai gerbang Asia-Pasifik sejak masa
prasejarah tidak perlu diragukan lagi. Fosil-fosil binatang purba yang ditemukan di daerah ini
adalah salah satu bukti nyata peranan tersebut. Demikian juga dengan bukti-bukti sejarah dan
budaya yang dimiliki oleh daerah ini adalah merupakan saksi-saksi bisu yang menjelaskan
bagaimana peranan Sulawesi Utara sebagai Gerbang Asia-Pasifik sejak masa prasejarah sampai
masa sejarah bahkan tentunya sampai masa sekarang seperti yang diperjuangkan Gubernur
Sulawesi Utara pada saat ini.

Dengan kenyataan-kenyataan tersebut, maka wilayah ini dapat digambarkan berdasarkan
fenomena-fenomena dasarnya sebagai berikut (Ambary 1998: 150):
1. Dari segi zoografi, wilayah ini merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna, yakni
Wallace dan Weber (Bellwood, 1978:37; Veth, 1996).

2. Dari segi geolinguistik, wilayah ini dianggap sebagai tanah asal dari suku-suku bangsa
pemakai bahasa Austronesia (Andili, 1980; Bellwood, 2001: 340-347).
3. Dari segi geokultural, wilayah ini merupakan daerah lintasan strategis dalam migrasimigrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia,
serta Oceania (Solheim, 1966; Duff, 1970; Shuttler, 1975: 8-10).
4. Dari segi ekonomi, wilayah ini merupakan wilayah penghasil rempah-rempah, emas dan
beras (Ulaen, 2003: 42-44), yang menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial
di dalam pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, yang akhirnya bermuara pada
pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962: 93-100). Selain itu dari segi
ekonomi pada saat ini Sulawesi Utara merupakan daerah yang relatif aman baik untuk
investasi dan pariwisata.
Dengan demikian jelas terbukti bahwa daerah Sulawesi Utara sngguh-sungguh berperan sebagai
pintu gerbang antara Asia dan Pasifik sejak masa yang telah lama lalu yaitu sejak masa
prasejarah, bahkan peran sebagai pintu gerbang Asia-Pasifik ini terus berlanjut sampai sekarang.