BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permukiman Kumuh 2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Permukiman Kumuh

2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh

Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh. sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem strukturnya (Sobirin, 2001:41).

Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman. Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut


(2)

Teknologi Sepuluh November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9), untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :

1. Kondisi bangunan atau rumah,

2. Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan, 3. Kerentanan status penduduk, dan

4. Berdasarkan aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama swadaya maupun non swadaya oleh masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut maka studi tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak kumuh, kumuh dan sangat kumuh.

Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitek tersebut, Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya (Rudiyantono, 2000:8), hanya menentukan dua standart permukiman kumuh, yaitu :

1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan dan tatanan bangunan.

2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.


(3)

Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999:8), menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menentukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standrat; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya adalah permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land

settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan

pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia

(human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang

tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih,2007).

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan


(4)

kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).

Menurut UU No. 4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.

Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan.


(5)

Khomarudin (1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha), 2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah,

3. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar,

4. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, 5. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur

perundang undangan yang berlaku.

Gambaran lingkungan kumuh, (Khomarudin,1997) adalah sebagai berikut :

1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan,

2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni,

3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan,

4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni, 5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan,

6. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan), 7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan),

8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal, 9. Pendidikan masyarakat rendah.


(6)

Menurut Sinulingga (2005) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari :

1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.

2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.

3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah. 5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur

dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat.

7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.


(7)

Menurut UNCHS ( 1982; dalam Sochi, 1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain :

1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota ( semula didirikan dengan ijin),

2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa,

3. Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik yang sekaligus menyewakan beberapa rumah kumuh,

4. Kepadatan rumahnya tinggi,

5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan

6. Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk menampung migran ekonomi lemah yang datang dari desa.

Permukiman kumuh dipilah atas tiga macam berdasarkan asal atau proses terjadinya, yaitu (Sutanto, 1995):

A.Kumuh bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi lemah dengan ciri fisik :

1. Bangunan mudah dipindah,

2. Dibangun dengan bahan seadanya,

3. Sebagian besar dibangun sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal).

B.Kumuh turunan (generated);

1. Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin, pada bagian kota yang lama, kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh,


(8)

3. Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya pemeliharaan.

C.Kumuh dalam proyek perumahan (in project housing);

1. Kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh badan pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah,

2. Rumah – rumah diperluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

2.1.2 Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Menurut Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut :

1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,

2. Sulit mencari pekerjaan,

3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,

4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,

5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah,

6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab adanya permukiman kumuh adalah:

1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat,


(9)

2. Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.

Menurut mereka keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, budaya para penghuni permukiman tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat tercermin dari :

1. Penampilan fisik bangunannya yang makin kontruksi, yaitu banyaknya bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak tak terurus maupun tanpa perawatan,

2. Pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi mereka, biasanya masyarakat kawasan kumuh berpenghasilan rendah,

3. Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antara bangunan maupun siteplan yang tidak terencana,

4. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang heterogen, 5. Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik,

6. Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya tindakan kejahatan maupun kriminal,

7. Banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal dengan menyewah rumah.


(10)

2.1.3 Karakteristik Permukiman Kumuh

Karakteristik permukiman kumuh, (Silas,1996) adalah sebagai berikut :

1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.

2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.

3. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.

2.1.4 Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh

Dalam perkembangannya pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

- Growth of density (pertambahan penduduk)

Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman.


(11)

- Urbanization (Urbanisasi)

Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota.

2.2 Urbanisasi 2.2.1 Pengertian

Pengertian urbanisasi ini sangatlah sulit untuk mendefinisikannya. Yaitu harus dengan pertimbangan-pertimbangan karena sangat multisektoral dan kompleks. Menurut Bintarto (1983:9-10) pengertiannya dapat dilihat dari beberapa sektor, misalnya :

1. Dari segi Demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam satu wilayah.

2. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja yang sifatnya non-agraris di kota.


(12)

3. Dari sudut pandang seseorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist)

urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi maupun dengan adanya perkembangan baru dalam kehidupan.

2.2.2 Perkembangan Kota dan Urbanisasi

Secara teoritis pembangunan berarti menciptakan perbaikan dan meningkatkan kualitas, baik infrastruktur fisik maupun kehidupan sosial. Namun dalam proses dan implementasinya, pembangunan di perkotaan seringkali melahirkan dampak ikutan baru yang menimbulkan problema, antara lain masalah migrasi terutama urbanisasi. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab migrasi khususnya urbanisasi. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih banyak daripada desa (Darrundono, 2007). Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di tempat tujuan (kota) dibandingkan dengan yang diterima di tempat asal yakni desa (Todaro dan Smith, 2004).

Lebih lanjut, Douglass dalam Darrundono (2007) berpendapat bahwa perbedaan yang mencolok antara upah buruh di desa dengan di kota merupakan salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota. Sedangkan De Soto dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa tidak menjadi soal benar atau salah, penduduk membuat keputusan untuk bermigrasi karena mereka yakin bahwa migrasi akan memberi manfaat pada mereka.


(13)

Menurut Anharudin (2004), migrasi merupakan salah satu yang mewarnai dinamika kependudukan dan berdasarkan arah persebarannya proses migrasi dapat terjadi secara terpaksa, spontan dan terencana. Mobilitas penduduk karena terpaksa (migran terpaksa) terjadi karena beberapa faktor, antara lain akibat bencana alam dan atau tragedi sosial seperti konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan lainnya. Sedangkan mobilitas penduduk secara spontan (migran spontan) terjadi secara alamiah atas inisiatif pelakunya dengan dorongan (motif) perbaikan ekonomi, namun apabila terjadi secara tidak terkendali dapat menimbulkan masalah-masalah baru seperti okupasi (pendudukan) lahan yang melahirkan permukiman liar (tidak sesuai dengan peruntukannya).

Reverstain, pelopor teori migrasi (Sinulingga, 2005) mengatakan bahwa migrasi terdiri dari dua jenis, yaitu migrasi permanen dan migrasi sementara. Migrasi permanen adalah perpindahan penduduk yang berakhir pada menetapnya migran pada tempat tujuannya, sedangkan migrasi non permanen/sementara adalah perpindahan penduduk yang tidak menetap pada tempat tujuan migran, tetapi kembali ke tempat asal atau berpindah ke lain tempat. Migran non-permanen hanya tinggal untuk sementara waktu di kota (bisa dalam hitungan minggu atau bulan) tetapi datang dan pergi dalam jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara dan masih berorientasi ke desa/daerah asalnya (dalam arti pendapatan yang diperoleh di kota dibawa pulang ke desa), pada umumnya migran non-permanen kurang memperhatikan kondisi lingkungan tempat tinggalnya selama berada di kota (Haning dan Mita, 2005).


(14)

Bilsborrow dalam Sinulingga (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor kontekstual atau kemasyarakatan perlu diperhitungkan dalam menjelaskan fenomena niat bermigrasi. Faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik daerah asal dan tujuan, kesempatan kerja, tingkat upah, tanah dan sistem pemilikannya, ikatan keluarga, sistem warisan, jaringan transportasi dan komunikasi, akses terhadap berbagai fasilitas dan pelayanan, faktor iklim, program pemerintah, dan lain-lain.

Tekanan arus urbanisasi yang melonjak begitu cepat menimbulkan akibat terhadap pengaturan tata ruang kota, yang pada umumnya kurang menguntungkan kelompok masyarakat miskin. Pola pengembangan kota yang konsentrik dan memusat, bukan hanya menyebabkan kelompok masyarakat miskin makin terdesak ke daerah pinggiran kota, tetapi seringkali mereka juga harus berpuas diri dengan minimnya berbagai fasilitas publik, jauh berbeda dengan warga kota yang ekonominya lebih maju. Luas tanah yang terbatas di perkotaan umumnya dikuasai oleh orang kaya dan pemerintah kota setempat.

Salah satu yang merupakan masalah terbesar kota-kota di Negara Dunia Ketiga saat ini adalah peruntukan ruang untuk permukiman kelompok masyarakat miskin, dimana kesempatan kelompok ini untuk memperoleh akses tanah di perkotaan makin terbatas bahkan nyaris tidak ada. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal (seperti real estate, perumahan swasta/pemerintah) hanya menyentuh golongan menegah ke atas, sedangkan golongan berpendapatan rendah belum tersentuh dan dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Menurut penelitian Dinas Perumahan DKI, karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi,


(15)

orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri (Darrundono, 2007). Oleh karena rumah merupakan kebutuhan utama, maka pilihan kelompok masyarakat miskin perkotaan adalah melakukan penyerobotan tanah untuk membangun tempat tinggal di tanah-tanah kosong milik pemerintah atau swasta tanpa status yang jelas, yang diistilahkan sebagai permukiman liar.

2.2.3 Faktor Yang Mendorong Proses Urbanisasi

Adapun faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Hammond (1979:70) umunya berjumlah delapan dengan urutan sebagai berikut :

1. Kemajuan dalam bidang pertanian. Adanya mekanisme di bidang pertanian yang mendorong dual hal: tersedotnya sebagian tenaga kerja agraris ke kota untuk menjadi buruh industri, bertambahnya hasil pertanian untuk menjamin kebutuhan penduduk yang hidupnya dari pertanian.

2. Industrialisasi, karena industri-industri tergantung kepada bahan mentah dan sumber tenaga, maka pabrik-pabrik didirikan di lokasi sekitar bahan mentah demi murahnya pengolahan.

3. Potensi pasaran, dengan berkembangnya industri ringan melahirkan kota-kota yang menawarkan diri sebagai pasaran hasil diteruskan kepada kawasan pedesaan. Kota-kota perdagangan tersebut lalu menarik pekerja-pekerja baru dari pedesaan dan dengan begitu kota bertambah besar.

4. Peningkatan kegiatan pelayanan, dimana industri tersier dan kuarter tumbuh dan meningkatkan perdagangan, taraf hidup dan memacu munculnya organisasi ekonomi dan sosial.


(16)

5. Kemajuan transportasi, bersama kemajuan komunikasi ini didorong majunya mobilitas penduduk, khususnya dari pedesaan ke kota-kota di dekatnya.

6. Tarikan sosial dan kultural, dimana di kota banyak hal yang menarik dalam hal hiburan.

7. Kemajuan pendidikan, tak hanya sekolah-sekolah yang menarik kaum muda untuk pindah ke kota, juga media massa yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendididkan sebagai sarana untuk sukses dalam usaha.

8. Pertumbuhan penduduk alami, disamping penduduk kota bertambah oleh masuknya urbanisasi, angka kelahiran di kota lebih tinggi dibanding di desa, ini akibat kemajuan di bidang kesehatan.

2.2.4 Dampak Proses Urbanisasi

Kecepatan urbanisasi merupakan akibat dari lajunya pembangunan kota dan sekitarnya anatra lain perluasan daerah industri maupun perdagangan di kota, sehingga kesempatan kerja pun meningkat dan menarik tenaga kerja dari daerah di sekitar kota tersebut. Menurut Bintarto (1983:35) jika diinventarisasi masalah-masalah tersebut adalah :

1. Urbanisasi ini menyebabkan beberapa masalah dan problema-problema bagi kota-kota yang jumlahnya tidak sedikit.

2. Kepadatan penduduk kota menimbulkan masalah kesehatan lingkungan, masalah perumahan,


(17)

3. Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran dan gelandangan,

4. Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena banyaknya orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran, kegiatan industri dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus membanjiri kota-kota di negara berkembang,

5. Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat kelancaran kota,

6. Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan polusi kebisingan.

Urbanisasi juga membawa dampak terhadap berbagai sektor kehidupan menurut Bintarto (1983:36-37) dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Dalam sektor ekonomi, strutur ekonomi menjadi lebih bervariasa dari yang bermodal kecil hingga besar.

2. Perkembangan dibidang pariwisata juga nampak meluas,

3. Dalam bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan kejuruan atau adanya program non gelar yang biasa dicapai dalam waktu yang singkat tetapi sudah dapat mendatangkan penghasilan.

4. Selain itu juga adanya perluasan fisik kota kearah pinggiran kota yang menimbulkan masalah baru mengenai batas administratif pertahanan dan pemerintahan.


(18)

5. Harga tenaga baik di kota maupun di daerah tepian kota cenderung naik. 6. Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut diperhatikan.

Banyak daerah hijau (green belts) telah menjai daerah industri atau daerah permukiman. Hal ini akan menyebabkan adanya pencemaran udara, tanah maupun air.

2.3 Permukiman Kumuh dan Liar

Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang bertindak sebagai kekuatan pembangkit dan menentukan kualitas serta ukuran sebuah permukiman termasuk permukiman kumuh dan liar (Srinivas, 2007), yaitu :

1. Faktor Internal (Alami), berkaitan dengan kekuatan dan tekanan yang disebabkan dari dalam permukiman dan dari pemukim itu sendiri seperti: Agama/Etnik, Tempat/Lokasi Kerja, Tempat Asal, Bahasa, Lama Menetap di permukiman, Modal dalam Perumahan (buruh, material lokal yang tersedia, dll), Aktivitas Pembangunan atau Kehadiran penyewa.

2. Faktor Eksternal (yang disebabkan), dapat berasal dari luar permukiman seperti Pemilik lahan, Keamanan tetap, Kebijakan Pemerintah kota atau Lama menetap di kota.

Kedua faktor tersebut berperan bersama-sama dalam pertumbuhan permukiman kumuh dan liar, melalui rangkaian tahap pembangunan yang menyatu. Tahap-tahap ini menentukan hasil akhir, dalam pengertian bahwa dapat berupa sebuah rangkaian kesatuan dengan satu tahap/proses yang tumpang tindih, atau sebagai tahap yang berjalan paralel. Efek yang ditimbulkan dari tahap-tahap ini bersifat kumulatif dan


(19)

tidak berdiri sendiri. Di negara-negara di dunia, definisi dari permukiman kumuh dan liar (slum and squatter settlement) memiliki variasi yang luas bergantung pada keberagaman parameternya.

Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak memenuhi standar suatu permukiman pada umumnya. Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota (yang disebut dengan kampung kota). Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (illegal) apabila berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.

Apabila ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, permukiman kumuh memiliki ciri-ciri khas (Suparlan, 2007) sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:


(20)

a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.

b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau RW. c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW

atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.

5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Sedangkan permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).


(21)

Abrams (1964) dalam Srinivas (2007) menggambarkan proses dari keliaran sebagai suatu penaklukan daerah kota untuk tujuan perlindungan, yang didefinisikan oleh 2 (dua) hal yaitu kekuatan hukum dan hukum kekuatan. Sedangkan Turner (1969) dalam Srinivas (2007) memandang positif dengan menggambarkan permukiman liar sebagai keberhasilan yang tinggi menyelesaikan masalah perumahan di daerah kota di negara berkembang.

Begitu juga Payne (1977) dalam Srinivas (2007) menyatakan permukiman liar dalam pandangan menyeluruh dari pertumbuhan kota di negara ketiga dengan sifat yang tidak dapat dihindarkan. Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004) menyatakan sebutan permukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang permukiman liar adalah seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah, atau sebuah bangunan tanpa kekuatan hukum. UN Habitat (2003) dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa permukiman liar merupakan produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi, sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah. Pada dasarnya ada 3 (tiga) karakteristik yang dapat menolong dalam mendefinisikan permukiman liar (Srinivas, 2007) yaitu :


(22)

1. Karakteristik Fisik :

Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka infrastruktur dan pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada tidak memadai atau berada pada tingkat minimum, seperti penyediaan air, sanitasi, listrik, jalan dan drainase, sekolah, pusat kesehatan, tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk setiap rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia sedikit, sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa tangan sendiri bahkan menyediakan jaringan informal untuk menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku untuk jaringan listrik, drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya ketergantungan pada saluran formal pemerintah.

2. Karakteristik Sosial :

Kebanyakan rumah tangga permukiman liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji maupun dalam usaha-usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi seperti penghasilan pekerjaan bergaji atau pekerjaan paruh waktu. Permukiman liar umumnya didominasi oleh migran, baik desa-kota atau kota-kota. Namun banyak juga dari generasi kedua atau generasi ketiga pemukim liar tersebut.

3. Karakteristik Legal :

Ini merupakan karakteristik kunci yang menggambarkan suatu permukiman liar yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah. Hal ini dapat terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di


(23)

sebidang tanah seperti bantaran rel kereta api, atau tanah rawa-rawa. Kemudian ketika lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar untuk membangun rumah.

2.3.1 Karakteristik Pemukim Kumuh dan Liar

Menurut Anharudin (2005), Permukiman Liar adalah penduduk yang memiliki masalah illegal karena bermukim di areal-areal yang ditetapkan sebagai zona bebas okupasi seperti bantaran sungai atau rel kereta api, cagar alam (budaya), lahan konservasi (jalur hijau dan atau zona penyangga). Sedangkan Kelompok Marginal Kota yakni kelompok urban kota yang mendiami wilayah-wilayah kumuh dan miskin dan kelompok lain yang rentan dan malang (vulnarable and disadvantage

people), yang sewaktu-waktu harus mengalami dampak permukiman kembali akibat

proyek pembangunan infrastruktur perkotaan. Proyek-proyek pembangunan prasarana fisik (jalan raya, waduk, saluran irigasi, dermaga, dll) karena menggunakan lahan besar menyebabkan pemerintah mengadakan perubahan penggunaan tanah, air dan sumber daya alam lainnya. Asian Development Bank (ADB) menyebut kelompok ini sebagai Orang-orang yang Terkena Dampak (OTD) (Anharudin, 2005). Secara umum, penduduk menjadi liar dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor (Srinivas, 2007), yaitu :

a. Faktor Internal, meliputi : 1. Kurangnya asset jaminan,


(24)

3. Pekerjaan dengan gaji harian/penghasilan rendah, (yang dalam beberapa kasus merupakan semi permanen atau sementara).

b. Faktor Eksternal, meliputi :

1. Harga lahan dan pelayanan perumahan yang tinggi,

2. Ketidakperdulian dan antisipasi sebagian pemerintah dalam membantu mereka,

3. Tingginya standar bangunan yang ‘pantas’ dan peraturan penguasa,

4. Undang-undang perencanaan dan penzoningan yang berat sebelah.

Sebab-sebab di atas mengakibatkan tidak adanya pilihan terhadap rumah tangga berpenghasilan rendah sehingga menjadi liar di lahan kosong. Keliaran dilakukan baik oleh “penguasa kumuh” atau benar-benar berawal dari suatu kelompok kecil/inti permukiman liar. “Penguasa kumuh” mengambil sebidang lahan kosong, membaginya lagi dan menjualnya kepada beberapa rumah tangga untuk membangun rumah. Pelayanan seperti penyediaan air atau listrik disediakan oleh yang bersangkutan atau oleh kelompok permukiman liar tersebut dan biasanya dilakukan bersama-sama.

Kelompok inti permukiman liar merupakan jumlah kecil keluarga yang mendiami sebidang lahan kemudian membangun tempat perlindungan darurat dan sementara. Bangunan dapat ditingkatkan menjadi permanen atau tambahan keluarga


(25)

dapat bergabung pada kelompok ini, bergantung pada tingkat ancaman pengusiran (Srinivas, 2007).

Sedangkan menurut Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam:

1. Massa permukiman liar yang diorganisir,

2. Keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka,

3. Permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun. Berbekal sedikit sumber finansial, keterampilan dan akses lain, serta adanya kebebasan nyata untuk mendiami lahan kosong illegal telah memberi kemungkinan bagi mereka untuk membangun tempat-tempat perlindungan darurat (Srinivas, 2007).

Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang kumuh, permukiman pada umumnya terkonsentrasi pada berbagai jenis pekerjaan di sektor informal, cenderung mendominasi pekerjaan-pekerjaan sebagai penjual makanan dan minuman (baik diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka menjual dagangannya secara berkeliling atau menggunakan 'lapak' sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lain yang cukup


(26)

banyak dilakukan adalah pekerjaan sebagai pemulung, kuli bangunan dan pekerja kasar lainnya.

Terkonsentrasinya mereka pada pekerjaan-pekerjaan di sektor informal ini adalah karena sektor ini sangat mudah dimasuki, meski oleh mereka yang tidak memiliki keterampilan atau pendidikan formal. Sektor informal menyediakan berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik un tuk kebutuhan pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal (Suparlan, 2007).

Suko Bandiyono (2007) menyatakan, meskipun tinggal di permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Walaupun merupakan sumberdaya manusia asal pedesaan berkualitas rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, yang terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan.

Menurut Oscar Lewis (Wan, 2006) permasalahan yang terdapat di permukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada permukiman tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya budaya kemelaratan seperti


(27)

apatisme, serba curiga, perasaan yang didominasi angan-angan tinggi tanpa kenyataan, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada hari ini, yang kesemuanya ini disosialisasikan dari generasi ke generasi.

2.4 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Secara umum rumah tangga permukiman kumuh dan liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, walaupun terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi. Karakteristik masyarakat berpenghasilan rendah ini memberi pengaruh yang signifikan terhadap preferensi bermukim mereka.

2.4.1 Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR)

Pengertian kemiskinan tidak dapat dinyatakan secara tepat karena merupakan satu istilah yang subjektif. Namun biasanya kemiskinan dikaitkan dengan kekurangan pendapatan, kesusahan dan ketidakmampuan individu dan isi rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Poerwadarminta (1976) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak berharta-benda”. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut Nasikun (1995) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan adalah sebuah fenomena multiaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan pangan, sandang dan papan.


(28)

Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap.

Hal senada juga dinyatakan oleh Oscar Lewis dalam Simanihuruk (2003), bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi saja, tetapi juga kekurangan dalam ukuran budaya dan kejiwaan dimana di dalamnya terkandung proses sosialisasi corak kebudayaan dari generasi tua ke generasi berikutnya, yang mana ini disebut juga budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan. 2. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga

tidak terampil.

3. Rendahnya upah buruh.

4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.


(29)

6. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya sikap hemat serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.

Kondisi kemiskinan tercermin dari distribusi pendapatan golongan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti makanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, ibadah, dan sebagainya. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan sebuah rumah tangga. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih besar mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yaitu sebesar 73,5%, sedangkan pengeluaran untuk perumahan 8,43%, transportasi 2,48%, pendidikan 2,4% dan pengeluaran untuk listrik 3,3% (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2010).

Charles Booth dalam Mohammad, KA (2000) juga menyatakan bahwa konsep kekurangan, kemiskinan dan peminggiran sosial sangat berkaitan erat. Ini disebabkan


(30)

karena dalam kemiskinan bukan hanya mengalami kekurangan dari aspek pendapatan, peluang-peluang dalam ekonomi, dan sebagainya tetapi juga harus mengalami peminggiran dari aspek sosial. Kemiskinan dapat menyebabkan tekanan dalam jiwa, disebabkan tekanan terhadap masalah harian seperti kehidupan yang terus menerus tidak nyaman, masalah kekurangan kebutuhan dasar, dan sebagainya. Tekanan ini terkadang mengakibatkan terjadinya keruntuhan moral yang melahirkan masalah-masalah sosial yang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, diisyaratkan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, melainkan bersifat kompleks karena mempunyai berbagai dimensi yang berbeda serta memiliki kontribusi banyak faktor, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian.

Namun, Koenraad Verhagen (1996) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), mengatakan bahwa kita cenderung melebih-lebihkan kemiskinan dan melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” ( have-little) tetapi di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Gunawan dan Sugiyanto (2007) mengemukakan, bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan


(31)

dalam Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni:

A. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Tinjauan tentang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek:

1. Pengeluaran keluarga,

2. Kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan (human capital).

3. Kemampuan menjangkau perlindungan dasar (security capital).

B. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial. Tinjauan tentang kemampuan peran sosial akan dilihat dari:

1. Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama dalam mencari nafkah).

2. Peran dalam bidang pendidikan (pelaksanaan ibadah atau membimbing keluarga, menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga, mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan, mengasuh anak dan mendampingi anak belajar).

3. Peran dalam bidang perlindungan (melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga dan turut serta memelihara kesehatan keluarga).


(32)

4. Peran dalam bidang kemasyarakatan (kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan).

C. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan.

Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi. Dari hasil penelitian yang dilakukan (Gunawan dan Sugiyanto, 2007) menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin lebih banyak bersifat intern, artinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan keluarga. Kepala keluarga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk mencari nafkah, pendidikan dan perlindungan keluarga. Pelaksanaan peran sosial kemasyarakatan kurang terintegrasi dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak begitu aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan. Namun, terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya, antara lain:

1. Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan, termasuk mengerahkan anak yang masih duduk di bangku sekolah. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi.


(33)

Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

2. Penekanan/pengetatan pengeluaran.

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah.

3. Pemanfaatan jaringan.

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat


(34)

jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Relasi mereka tidak hanya sebatas bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif untuk memperoleh dukungan emosional.

2.4.2 Preferensi Bermukim

Turner (1969) dalam Yunus (2000) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yaitu :

1. Dimensi Lokasi, mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupan, sehingga lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja.

2. Dimensi Perumahan, dikaitkan dengan aspirasi terhadap macam/tipe perumahan. Turner membatasi aspek perumahan ini pada aspek ”penguasaan”, yang juga selalu dikaitkan dengan penghasilan dan siklus kehidupan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah akan memilih menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memiliki rumah, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilannya.

3. Dimensi Siklus Kehidupan, membahas tahap-tahap peningkatan kemandirian dalam kehidupan, dimana semua kebutuhan hidup ditopang oleh penghasilan sendiri. Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupan maka makin tinggi


(35)

penghasilan, sehingga kaitannya dengan dimensi lokasi dan dimensi perumahan menjadi semakin jelas.

4. Dimensi Penghasilan, menekankan pembahasan pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh persatuan waktu, dengan asumsi bahwa makin lama menetap di kota maka makin mantap pekerjaannya sehingga makin tinggi pula penghasilan yang diperoleh persatuan waktu tertentu.

Lebih lanjut Turner (1968) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu :

1. Faktor jarak menjadi prioritas utama,

2. Faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua, dan 3. Faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga.

Menurut Panudju (1999), dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah, masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya.


(36)

Begitu juga Jo Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah :

1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal.

2. Kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat menyelenggarakan kehidupan.

3. Hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas.

Menurut Urban Poor Consortium (2007), rakyat bergerak mencari nafkah dan tempat bermukim yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk bekerja mencari nafkah. Gerakan semut yang mencari sumber-sumber gula seperti ini, seharusnya diterima sebagai kenyataan sosial yang tak terelakkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suparlan (2007) bahwa permukiman kumuh dan liar yang umumnya merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah, memiliki beraneka ragam mata pencaharian dimana sebagian besar di sektor informal.

Hal ini telah memungkinkan bagi mereka untuk dapat hidup sebagai sebuah komunitas yang mandiri karena telah memungkinkan untuk dapat saling menghidupi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan-kegiatan mereka di sektor informal telah menyebabkan bahwa rumah bukan hanya sebagai tempat untuk beristirahat, sebagai ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan tempat bekerja. Bahkan bukan hanya rumah saja, tetapi juga ruang-ruang terbuka


(37)

(halaman rumah atau lapangan terbuka) dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja, mempersiapkan produk-produk kerja atau sebagai tempat penyimpanan/ gudang.

2.5. Tekanan Lingkungan

Tekanan lingkungan (environment pressures) adalah suatu kondisi lingkungan yang menerima beban yang terlalu besar, yang disebabkan fisik, sosial, ekonomi, akibatnya menimbulkan persoalan-persoalan lingkungan, baik secara fisik, sosial maupun psikologis (Setiawan, 1995). Kota (lingkungan) yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya (Supriatna, 2005).

Tekanan lingkungan sangat berkaitan dengan daya dukung lingkungan

(carrying capacity). Menurut Sumarwoto (1989) daya dukung adalah kemampuan

sebidang lahan untuk mendukung kehidupan. Dari konsep tersebut bahwa daya dukung berkenaan dengan kemampuan suatu lingkungan untuk mendukung kehidupan. Kedua pengertian tersebut sangat bersifat fisikalis, yaitu berkenaan dengan ukuran kemampuan lingkungan mendukung sejumlah populasi. Permukiman sebagai suatu lingkungan, dengan manusia sebagai penghuni rumah dan berbagai kebutuhan yang melekat padanya. Oleh sebab itu daya dukung lingkungan tidak matematis sifatnya. Meskipun demikian lingkungan memiliki keterbatasan, jika pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan telah melewati batas kemapuannya, akan terjadi berbagai ketimpangan. Indikator terjadinya tekanan


(38)

lingkungan adalah timbulnya perasaan tidak enak, tidak nyaman, kehilangan orientasi atau kehilangan keterikatan dengan suatu tempat tertentu.

2.5.1.Penyebab Terjadinya Tekanan Lingkungan

Tekanan lingkungan (environment pressures) yang disebabkan oleh faktor ekonomi meliputi kemampuan seseorang untuk memperoleh hunian yang memenuhi syarat. Kemampuan tersebut berupa pendapatan atau penghasilan yang diperlukan untuk menentukan jenis hunian yang diinginkan. Maksudnya semakin baik ekonomi seseorang maka semakin baik pula kualitas hunian yang dapat dibeli atau disewa. Faktor sosial adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal dengan latar belakang sosial yang ada sehingga pendidikan yang diperoleh, status sosial yang dipakai untuk menempatkan diri di lingkungannya, norma, kultur, serta adat istiadat. Faktor fisik terutama menyangkut dimensi tempat, kepadatan, serta suasana suatu ruanagan atau tempat (warna, susunan perabot), serta unsur lingkungan ruangan diantaranya suara, temperature dan pencahayaan (Setiawan, 1995).

2.5.2. Akibat Tekanan Lingkungan

Tekanan lingkungan bila dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan munculnya stress pada manusia (Setiawan, 1995). Persoalan-persoalan lingkungan fisik yang timbul berupa menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh kepadatan, sarana dan prasarana yang tidak ada/memadai, dan menurut teori stress lingkungan, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkah laku


(39)

terhadap lingkungan. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri sendiri.

Sehingga apabila secara individual mengalami gangguan, akibat tekanan lingkungan yang terlalu besar maka menyebabkan interaksi antar manusia dan lingkungan tidak berjalan secara baik dan optimal yang menimbulkan perilaku yang tidak wajar atau patologi sosial (Sarwono, 1995). Para sosiologi mendefinisikan patologi sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola ketinggalan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal (Kartono, 1999).

Dengan situasi lingkungan urban Indonesia perkembangan dan perubahan yang begitu cepat, diperkirakan bahwa lingkungan-lingkungan perumahan di daerah urban (permukiman kumuh) di Indonesia berada dalam situasi tekanan lingkungan. Keadaan ini perlu mendapat perhatian serius. Studi-studi yang komprehensif mengenai tekanan lingkungan di daerah perkotaan Indonesia perlu dilakukan, untuk memberikan masukan bagi upaya-upaya perbaikan dan revitalisasi lingkungan perkotaan (Setiawan, 1996).


(40)

2.6 Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan

2.6.1 Fenomena Kekumuhan Lingkungan Permukiman

Seiring dengan pertumbuhan kehidupan manusia baik ekonomi, sosial maupun budaya maka manusia berkeinginan untuk memiliki kehidupan dan status yang lebih baik yaitu dengan mengadakan perubahan-perubahan, seperti gaya hidup dan bentuk hunian yang mereka tinggali.

Pertumbuhan berarti pula berubah baik bentuk dan ukurannya. Tidak dimungkinkan pertumbuhan ukuran dengan tidak menyebabkan perubahan bentuk fisiknya (Doxiadis, Constantinos A., 1981 : 26).

Dengan bertambahnya jumlah penghuni rumah dan dengan bertambahnya penghasilan mereka membuat ruang-ruang baru. Perubahan hunian ini akan merubah wajah suatu hunian. Hal ini akan berpengaruh pada penyediaan fasilitas sarana prasarana lingkungan yang harus bertambah juga jika jumlah permukiman bertambah. Selain hal tersebut di atas, faktor kemiskinan juga sangat berpengaruh pada kualitas lingkungan fisik permukiman. Karena dana yang terbatas dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, maka masyarakat kurang mampu tidak dapat memperbaiki maupun memelihara bangunan rumah hunian mereka. Yang akan berakibat pada kekumuhan lingkungan permukiman.

Menurut Constantinos A. Doxiadis dalam bukunya An Introduction To The

Science Of Humman Settlements (1969: 25) menyebutkan bahwa mempelajari tentang


(41)

terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya dalam mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita juga harus mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar di luar kawasan tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut dengan kawasan lainnya. Karena aktifitas disekitar kawasan permukiman juga sangat mempengaruhi fungsi dari permukiman.

2.6.2 Bentuk Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan

Ada dua pendekatan dalam menangani lingkungan kumuh ini menurut Drs. Komarudin, MA (1997: 85) yaitu:

1. Penggunaan/pemindahan teknologi (technological transfer) dan 2. Penangannan sendiri (self reliant technology)

Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut diatas ada sebelas hal sulitnya menangani masalah lingkungan permukiman ini:

1. High rise building (bangunan tinggi) yang akan ditangani oleh penghuni yang tergusur, memerlukan biaya yang besar karena biaya yang digunakan bukan hanya untuk membangun kamar tidur saja.

2. Peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large

project). Jadi harga dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan

masak-masak karena menyangkut banyak orang yang akan digusur atau dimukimkan kembali,


(42)

3. Adanya dualisme antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan. Penghuni rumah kumuh biasanya masih lebih senang tinggal di rumah kumuhnya daripada di rumah sewa bertingkat (rusunawa).

4. Banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak melalui survey sosial

(social survey) tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur.

5. Banyak peremajaan lingkungan kumuh yang kurang memperhatikan kelengkapan lingkungan seperti taman, tempat terbuka, tempat rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal tersebut memerlukan biaya besar.

6. Tenaga yang bergerak di dalam program peremajaan lingkungan kumuh tidak profesional.

7. Penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal pemerintah berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke lingkungan yang lebih baik.

8. Keterbatasan lahan (land shortage). Dalam melaksanakan peremajaan lingkungan kumuh harus memilih lokasi yang tepat dan disesuaikan dengan tujuannya dan konsumen yang akan menempati.

9. Belum kuatnya dana pembangunan perumahan (no housing finance). 10. Perlu lingkungan hidup yang baik (the nice environment).


(43)

2.6.3 Strategi Penanganan Permukiman Kumuh

Bentuk-bentuk penanganan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan ada beberapa bentuk antara lain:

1. Perbaikan Permukiman

Kondisi perumahan kampung digolongkan sebagai perumahan marginal, tidak memenuhi standar yang berlaku. Namun penghuninya, sesungguhnya tidak bersifat pasif terhadap lingkungan perumahannya, Moris (1977: 4). Secara sadar atau tidak, penghuni memberi tanggapan terhadap tempat tinggalnya dengan mengerahkan segenap sumber daya (fisik, sosial, ekonomi) guna memenuhi kebutuhan rumah yang sesuai norma. Ada usaha yang dapat dilakukan penghuni terhadap rumahnya, yaitu:

1. Usaha memenuhi kebutuhan ketika penghuni merasakan kekurangan pada rumahnya. Bentuk tindakan dapat berupa pindah rumah juga dapat berupa perubahan atau penambahan terhadap rumahnya. Jadi penghuni secara aktif menimbulkan perubahan terhadap keadaan rumahnya atau diistilahkan sebagai housing adjustment (Moris, 1977: 80).

2. Usaha penghuni sebagai tanggapan atas tekanan akibat berbagai kekurangan pada rumah, dengan cara melakukan perubahan pada dirinya tanpa merubah rumahnya. Dalam hal ini penghuni bersifat pasif atau diistilahkan sebagai housing adaptation.


(44)

Menurut UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, peningkatan kualitas permukiman dapat berupa kegiatan-kegiatan, perbaikan atau pemugaran, peremajaan dan pengelolaan/pemeliharaan yang berkelanjutan. Program peningkatan kualitas perumahan dan permukiman yang selama ini menjadi perhatian pemerintah adalah kawasan perumahan dan permukiman yang termasuk kategori kawasan kumuh, yang ditandai antara lain dengan kondisi prasarana dan sarana yang tidak memadai baik secara kualitas dan kuantitas, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah, kondisi sosial budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan yang rawan bencana, penyakit dan keamanan (Dirjen Cipta Karya, 1999).

Dalam UU Nomor 4 tahun 1992 tentang “Perumahan dan Permukiman” ditegaskan bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil, dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, ketergantungan, dan kelestarian lingkungan hidup. Penataan perumahan dan permukiman bertujuan:

1. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat,

2. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan sehat, aman, serasi, dan teratur,

3. Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional.

4. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lain.


(45)

Bentuk-bentuk perbaikan lingkungan permukiman berdasarkan PU. Cipta Karya, terdapat beberapa bentuk usaha pelaksanaan perbaikan permukiman, yaitu sebagai berikut :

1. Pemugaran rumah, diartikan pengembalian keadaan fisik seperti semula, 2. Program Perbaikan Kampung (KIP); KIP merupakan program yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghijauan masyarakat melalui perbaikan lingkungan secara fisik. Tujuan utamanya adalah perbaikan kesehatan lingkungan kampung. Komponen dasarnya adalah perbaikan infrastruktur kawasan seperti jalan kendaraan, jalan setapak, saluran drainase, MCK dan sebagainya,

3. Perbaikan lingkungan kawasan pasar (MIP); perbaikan lingkungan kawasan pasar adalah perbaikan permukiman disekitar pasar, yang dilakukan sebagai akibat dari tambahan beban yang diterima masyarakat sekitar pasar karena tidak memiliki sarana pendukung seperti saluran drainase, tempat parkir, tempat sampah, los-los yang tidak teratur serta tidak memenuhi syarat/kurang berfungsi. Pasar dan masyarakat pasar adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan baik yang positif maupun negatif,

4. Pembangunan perumahan; merupakan salah atau bentuk peremajaan kota dengan cara membangun perumahan melalui penataan kampung kumuh secara fisik agar dapat menampung lebih banyak penghuni atau pihak lain yang membutuhkan. Keuntungan dari program ini adalah relatif cepat dan segera terlihat hasilnya,


(46)

5. Konsolidasi lahan; merupakan kegiatan terpadu untuk menata kembali pola kepemilikan tanah di suatu wilayah yang kurang/tidak teratur,

6. Pengembangan lahan terkendali; merupakan upaya penataan lanjut dalam rangka pengembangan tata ruang kota, khususnya bagian wilayah kota secara lebih implementatif, bila perlu melalui pemindahan/pengembangan daerah pinggir kota. Secara umum pengembangan lahan terkendali bertujuan untuk mendorong iklim partisipasif dalam pembangunan dengan melibatkan potensi dan keinginan masyarakat terutama swasta, pengusaha kecil dan konsumen, 7. Pembangunan rumah susun; membangun lingkungan hunian secara

keseluruhan dengan tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya.

2.7. Lingkup Penanganan Permukiman Kumuh

Sesuai dengan UU No. 4/1992 pasal 27, lingkup penanganan lingkungan permukiman kumuh mencakup hal-hal sebagi berikut :

1. Perbaikan dan pemugaran

Secara konseptual, implementasi prinsip perbaikan dan pemugaran meliputi :

1. Revitalisasi adalah upaya menghidupkan kembali suatu kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki oleh sebua kota,

2. Rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan kondisi komponen fisik lingkungan permukiman yang mengalami degradasi,


(47)

3. Renovasi adalah melakukan perubahan sebagian atau beberapa bagian dari komponen pembentukan lingkungan permukiman,

4. Rekontruksi merupakan upaya mengembalikan suatu lingkungan permukiman sedakat mungkin dari asalnya yang diketahui, dengan menggunakan komponen-komponen baru maupun lama,

5. Preservasi merupakan upaya mempertahankan suatu lingkungan pemukiman dari penurunan kualitas atau kerusakan. Penanganan ini bertujuan untuk memelihara komponen yang berfungsi baik dan mencegah dari proses penyusutan dini (kerusakan), misalnya dengan menggunakan instrument : ijin mendirikan bangunan (IMB). Ketentuan atau pengaturan tentang : Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Dasar Bangunan, Garis Sempadan Bangunan, Garis Sempadan Jalan dan Garis Sempadan Sungai . 2. Peremajaan

Peremajaan adalah upaya pembongkaran sebagian atau keseluruhan lingkungan perumahan dan pemukiman dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan sarana lingkungan perumahan dan pemukiman baru yang lebih layak dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan potensi lahannya.

3. Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan

Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan adalah upaya-upaya untuk mencengah, mengendalikan atau mengurangi dampak negatif yang timbul, serta meningkatkan dampak positif yang timbul terhadap lingkungan hunian.


(48)

2.8 Program-program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh

Untuk menata permukiman kota menjadi lebih teratur, rapi dan indah, dan sehat telah diupayakan berbagai program penataan lingkungan dan permukiman kumuh diberbagai kota di indonesia. Berbagai program dengan bernagai istilah telah diimplementasikan di permukiman dengan tujuan yang sama untuk membuat permukiman menjadi semakin tertata dan dilengkapi sarana prasarana dasar kota. Program perbaikan lingkungan perkampungan atau yang sering dikenal dengan

kampung improvement program (KIP) telah lama diupayakan. Hingga saat ini

program tersebut masih tetap dilakukan dengan berbagai penyesuaian seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan permukimannya.

Program perbaikan kampung di indonesia, pertama kali dilakukan pada tahun 1923 di Kota Surabaya. Dengan demikian, KIP sudah dilakukan pada waktu zaman pemerintahan Belanda di Indonesia. Namun demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara KIP pada zaman pemerintahan Belanda dan KIP pada saat setelah kemerdekaan. Pada zaman Belanda, KIP dilaksanakan untuk menangani politik etis yang dilakukan oleh kaum oposisi di Parlemen Belanda. Tujuan lain adalah untuk melindungi penduduk warga eropa yang umumnya tinggal didekat kampung dari bahaya epidemi.

Jadi pada dasarnya, program ini hanya menangani aspek sanitasi kampung. Sedangkan program perbaikan perbaikan lingkungan yang saat sekarang ini dilaksanakan lebih menekankan pada pembangunan yang menyeluruh bagi penduduk,


(49)

khususnya penduduk miskin. pembangunan dalam hal ini mempunyai arti membangun lingkungan fisik dan sakaligus manusianya (Silas, 1996: 8-9).

2.8.1 Kebijakan Umum Penyediaan Perumahan dan Permukiman di Kota Sebagai Pengantar Pengembangan Kebijakan Permukiman

Untuk memahami dan merumuskan kebijakan masa depan, perlu lebih dahulu memahami berbagai upaya pengembangan perumahan dan permukiman yang selama ini telah dilaksanakan dengan memberikan evaluasi singkat. Akan nampak pula bahwa kebijakan di bidang perumahan dan permukiman yang lalu dirumuskan dengan mengedepankan kepentingan politik dari pada sektoral.

Pola Pembangunan Perumahan Berimbang (1:3:6)

Gagasan ini muncul akibat maraknya pembangunan perumahan mewah dan super mewah. Di samping itu ada desakan agar fisik swasta yang menikmati laba besar ikut bertanggung jawab atas kesenjangan yang dirasakan masyarakat kecil. Namun dalam kenyataan, kebijakan ini mudah diselewengkan dan lebih banyak memberi untung pada pengembangan dari pada rakyat yang hendak dilayani.

Taperum PNS

Untuk mendukung dan mempercepat pemenuhan permintaan perumahan bagi masyarakat golongan bawah, PNS hendak ditangani secara tersendiri melalui penggalangan sumberdana solidaritas mandiri, yaitu sesama PNS. Gagasan ini sebenarnya baik, namun dalam pelaksanaannya belum efisien sehingga masih cukup banyak PNS golongan bawah yang belum terlayani


(50)

Kredit Triguna

Pola kredit ini hanya varian dari KPR biasa. Dalam pelaksanaannya pola kredit ini sulit terralisasi sebab ada beberapa persyaratan dasar yang sebelumnya harus dipenuhi seperti adanya serrtipikat tanah, izin mendirikan bangunan, jumlah yang cukup besar, dukungan Pemda setempat.

Pola Rumah Inti

Ini merupakan pola umum yang dikembangkan akhir tahun limapuluhan. Saat pengadaan perumahan oleh rakyat sendiri diakui, agar pembangunan dapat lebih tertib dan persyaratan dasar dipenuhi seperti air bersih, saluran pembuangan. Dimina pemerintah diminta mengambil inisiatif dengan pembangunan dasar dari rumah yang berupa inti untuk selanjutnya dikembangkan sendiri oleh pemilik penghuninya.

Griya Pemula (Starter Housing)

Pada awalnya griya pemula dimasukkan untuk sekaligus memperbaiki kesalahan rumah inti dan membantu pembangunan rumah oleh pelaku real-estate wong cilik

yang banyak dijumpai di kampung. Ketika skema perumahan ini diminta dukungan kredit pemilikan rumah yang bersubsidi, oleh kalangan Bappenas gagasan ini dianggap tidak jelas sehingga tidak mungkin didukung.

Rumah Massal (mass housing)

Bentuk perumahan ini gencar dilakukan pada akhir tahun tujuhpuluhan saat ada pendapatan tiban akibat embargo minyak bumi saat terjadi perang Arab-Israel. Dalam pengadaan rumah, rumah massal merupakan alternatif yang tujuannya dapat


(51)

menghasilkan rumah dalam jumlah banyak,waktu singkat, biaya rendah dan mutu terjaga. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah rumah yang tidak memenuhi kebutuhan siapapun sehingga banyak yang dibongkar kembali atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.

2.8.2 Pemberdayaan Perumahan (KIP, P2BPK)

Permukiman yang menuju ke ciri kekotaan perlu menumbuhkan tiga kekuatan yaitu Sumberdaya Manusia, Wadah dan Kesempatan. Yang termasuk dalam sumberdaya manusia adalah kemampuan dalam kesatuan yang bertanggung jawab. Wadah (facility) harus berarti berbagai saran untuk melaksanakan kehidupan dan penghidupan. Ruang (space) mengandung pengertian tempat hunian yang produktif, artinya yang mendukung dan merangsang proses pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi keluarga dalam lingkungan yang bermutu. Program perumahan seperti KIP, P2BPK dan sejenisnya merupakan upaya untuk mendukung apa yang sudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dari berbagai program perumahn yang dilaksanakan Indonesia, hingga kini KIP yang paling terkenal.

Penyediaan perumahan dan perbaikan lingkungan perumahan lewat berbagai proyek yang telah dilaksanakan.

1. KIP dan KIP Komprehensif 2. P3KT

3. Peremajaan dengan subsidi silang. 4. Rumah Susun.


(1)

5. Konsolidasi lahan; merupakan kegiatan terpadu untuk menata kembali pola kepemilikan tanah di suatu wilayah yang kurang/tidak teratur,

6. Pengembangan lahan terkendali; merupakan upaya penataan lanjut dalam rangka pengembangan tata ruang kota, khususnya bagian wilayah kota secara lebih implementatif, bila perlu melalui pemindahan/pengembangan daerah pinggir kota. Secara umum pengembangan lahan terkendali bertujuan untuk mendorong iklim partisipasif dalam pembangunan dengan melibatkan potensi dan keinginan masyarakat terutama swasta, pengusaha kecil dan konsumen, 7. Pembangunan rumah susun; membangun lingkungan hunian secara

keseluruhan dengan tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya.

2.7. Lingkup Penanganan Permukiman Kumuh

Sesuai dengan UU No. 4/1992 pasal 27, lingkup penanganan lingkungan permukiman kumuh mencakup hal-hal sebagi berikut :

1. Perbaikan dan pemugaran

Secara konseptual, implementasi prinsip perbaikan dan pemugaran meliputi :

1. Revitalisasi adalah upaya menghidupkan kembali suatu kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki oleh sebua kota,

2. Rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan kondisi komponen fisik lingkungan permukiman yang mengalami degradasi,


(2)

3. Renovasi adalah melakukan perubahan sebagian atau beberapa bagian dari komponen pembentukan lingkungan permukiman,

4. Rekontruksi merupakan upaya mengembalikan suatu lingkungan permukiman sedakat mungkin dari asalnya yang diketahui, dengan menggunakan komponen-komponen baru maupun lama,

5. Preservasi merupakan upaya mempertahankan suatu lingkungan pemukiman dari penurunan kualitas atau kerusakan. Penanganan ini bertujuan untuk memelihara komponen yang berfungsi baik dan mencegah dari proses penyusutan dini (kerusakan), misalnya dengan menggunakan instrument : ijin mendirikan bangunan (IMB). Ketentuan atau pengaturan tentang : Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Dasar Bangunan, Garis Sempadan Bangunan, Garis Sempadan Jalan dan Garis Sempadan Sungai . 2. Peremajaan

Peremajaan adalah upaya pembongkaran sebagian atau keseluruhan lingkungan perumahan dan pemukiman dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan sarana lingkungan perumahan dan pemukiman baru yang lebih layak dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan potensi lahannya.

3. Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan

Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan adalah upaya-upaya untuk mencengah, mengendalikan atau mengurangi dampak negatif yang timbul, serta


(3)

2.8 Program-program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh

Untuk menata permukiman kota menjadi lebih teratur, rapi dan indah, dan sehat telah diupayakan berbagai program penataan lingkungan dan permukiman kumuh diberbagai kota di indonesia. Berbagai program dengan bernagai istilah telah diimplementasikan di permukiman dengan tujuan yang sama untuk membuat permukiman menjadi semakin tertata dan dilengkapi sarana prasarana dasar kota. Program perbaikan lingkungan perkampungan atau yang sering dikenal dengan kampung improvement program (KIP) telah lama diupayakan. Hingga saat ini program tersebut masih tetap dilakukan dengan berbagai penyesuaian seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan permukimannya.

Program perbaikan kampung di indonesia, pertama kali dilakukan pada tahun 1923 di Kota Surabaya. Dengan demikian, KIP sudah dilakukan pada waktu zaman pemerintahan Belanda di Indonesia. Namun demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara KIP pada zaman pemerintahan Belanda dan KIP pada saat setelah kemerdekaan. Pada zaman Belanda, KIP dilaksanakan untuk menangani politik etis yang dilakukan oleh kaum oposisi di Parlemen Belanda. Tujuan lain adalah untuk melindungi penduduk warga eropa yang umumnya tinggal didekat kampung dari bahaya epidemi.

Jadi pada dasarnya, program ini hanya menangani aspek sanitasi kampung. Sedangkan program perbaikan perbaikan lingkungan yang saat sekarang ini dilaksanakan lebih menekankan pada pembangunan yang menyeluruh bagi penduduk,


(4)

khususnya penduduk miskin. pembangunan dalam hal ini mempunyai arti membangun lingkungan fisik dan sakaligus manusianya (Silas, 1996: 8-9).

2.8.1 Kebijakan Umum Penyediaan Perumahan dan Permukiman di Kota Sebagai Pengantar Pengembangan Kebijakan Permukiman

Untuk memahami dan merumuskan kebijakan masa depan, perlu lebih dahulu memahami berbagai upaya pengembangan perumahan dan permukiman yang selama ini telah dilaksanakan dengan memberikan evaluasi singkat. Akan nampak pula bahwa kebijakan di bidang perumahan dan permukiman yang lalu dirumuskan dengan mengedepankan kepentingan politik dari pada sektoral.

Pola Pembangunan Perumahan Berimbang (1:3:6)

Gagasan ini muncul akibat maraknya pembangunan perumahan mewah dan super mewah. Di samping itu ada desakan agar fisik swasta yang menikmati laba besar ikut bertanggung jawab atas kesenjangan yang dirasakan masyarakat kecil. Namun dalam kenyataan, kebijakan ini mudah diselewengkan dan lebih banyak memberi untung pada pengembangan dari pada rakyat yang hendak dilayani.

Taperum PNS

Untuk mendukung dan mempercepat pemenuhan permintaan perumahan bagi masyarakat golongan bawah, PNS hendak ditangani secara tersendiri melalui penggalangan sumberdana solidaritas mandiri, yaitu sesama PNS. Gagasan ini sebenarnya baik, namun dalam pelaksanaannya belum efisien sehingga masih cukup banyak PNS golongan bawah yang belum terlayani


(5)

Kredit Triguna

Pola kredit ini hanya varian dari KPR biasa. Dalam pelaksanaannya pola kredit ini sulit terralisasi sebab ada beberapa persyaratan dasar yang sebelumnya harus dipenuhi seperti adanya serrtipikat tanah, izin mendirikan bangunan, jumlah yang cukup besar, dukungan Pemda setempat.

Pola Rumah Inti

Ini merupakan pola umum yang dikembangkan akhir tahun limapuluhan. Saat pengadaan perumahan oleh rakyat sendiri diakui, agar pembangunan dapat lebih tertib dan persyaratan dasar dipenuhi seperti air bersih, saluran pembuangan. Dimina pemerintah diminta mengambil inisiatif dengan pembangunan dasar dari rumah yang berupa inti untuk selanjutnya dikembangkan sendiri oleh pemilik penghuninya.

Griya Pemula (Starter Housing)

Pada awalnya griya pemula dimasukkan untuk sekaligus memperbaiki kesalahan rumah inti dan membantu pembangunan rumah oleh pelaku real-estate wong cilik yang banyak dijumpai di kampung. Ketika skema perumahan ini diminta dukungan kredit pemilikan rumah yang bersubsidi, oleh kalangan Bappenas gagasan ini dianggap tidak jelas sehingga tidak mungkin didukung.

Rumah Massal (mass housing)

Bentuk perumahan ini gencar dilakukan pada akhir tahun tujuhpuluhan saat ada pendapatan tiban akibat embargo minyak bumi saat terjadi perang Arab-Israel. Dalam pengadaan rumah, rumah massal merupakan alternatif yang tujuannya dapat


(6)

menghasilkan rumah dalam jumlah banyak,waktu singkat, biaya rendah dan mutu terjaga. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah rumah yang tidak memenuhi kebutuhan siapapun sehingga banyak yang dibongkar kembali atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.

2.8.2 Pemberdayaan Perumahan (KIP, P2BPK)

Permukiman yang menuju ke ciri kekotaan perlu menumbuhkan tiga kekuatan yaitu Sumberdaya Manusia, Wadah dan Kesempatan. Yang termasuk dalam sumberdaya manusia adalah kemampuan dalam kesatuan yang bertanggung jawab. Wadah (facility) harus berarti berbagai saran untuk melaksanakan kehidupan dan penghidupan. Ruang (space) mengandung pengertian tempat hunian yang produktif, artinya yang mendukung dan merangsang proses pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi keluarga dalam lingkungan yang bermutu. Program perumahan seperti KIP, P2BPK dan sejenisnya merupakan upaya untuk mendukung apa yang sudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dari berbagai program perumahn yang dilaksanakan Indonesia, hingga kini KIP yang paling terkenal.

Penyediaan perumahan dan perbaikan lingkungan perumahan lewat berbagai proyek yang telah dilaksanakan.

1. KIP dan KIP Komprehensif 2. P3KT

3. Peremajaan dengan subsidi silang. 4. Rumah Susun.