Degradasi Dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove Di Binalatung Kota Tarakan

DEGRADASI DAN ALTERNATIF REMEDIASI EKOSISTEM
MANGROVE DI BINALATUNG KOTA TARAKAN

DORI RACHMAWANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Degradasi dan
Alternatif Remediasi ekosistem mangrove di Binalatung Kota Tarakan adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016
Dori Rachmawani
NIM C262110021

RINGKASAN
DORI RACHMAWANI. Degradasi dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove
di Binalatung Kota Tarakan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP
KUSMANA, MENNOFATRIA BOER dan ETY PARWATI
Ekosistem mangrove di Kota Tarakan mencapai 1,224.80 ha yang tersebar
pada beberapa wilayah, termasuk di kawasan Binalatung. Ekosistem mangrove
Binalatung saat ini mengalami tekanan akibat pencemaran, baik yang bersumber
dari limbah domestik maupun limbah yang bersumber dari kegiatan industri dan
pertambangan, seperti batu bara dan minyak bumi. Berbagai upaya dilakukan untuk
tetap menjaga kelestarian ekosistem mangrove di Kota Tarakan dan kawasan
Binalatung khususnya, seperti program rehabilitasi ekosistem mangrove MCRMP
(Marine and Coastal Resources Management Project) berupa penanaman 75,000
bibit mangrove. Namun demikian, belum memberikan hasil yang maksimal dalam
upaya pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013, di kawasan mangrove
Binalatung, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan. Tujuan penelitian adalah 1)

Mengidentifikasi faktor penyebab kematian massal individu mangrove di
Binalatung yang bersumber dari bahan pencemar yang terkandung dalam sedimen
dan akar berupa hidrokarbon aromatik; 2) Merumuskan alternatif rehabilitasi
ekosistem mangrove di Binalatung dengan pendekatan nilai manfaat mangrove
sebagai fitoremediasi. Metode penelitian meliputi: 1) analisis indeks nilai penting
(INP), 2) analisis parameter lingkungan (tekstur sedimen, pH tanah, pasang surut
dan kandungan C-Organik), 3) analisis kandungan senyawa BTEX dan PAH di
sedimen dan akar, dan 4) analisis nilai manfaat fitoremediasi mangrove.
Karakteristik ekosistem mangrove didominasi oleh jenis Avicennia sp
(INP=157.79%) dan jenis Sonneratia sp (INP=142.21%). Jenis sedimen bertekstur
halus didominasi silty loam (SiL) atau lempung berdebu dan silty clay loam (SiCL)
atau lempung liat berdebu. Nilai pH berkisar antara 6.4-7.4 yang menunjukkan pH
netral. Kandungan C-Organik tergolong rendah (0.58 - 0.79%). Tipe pasang surut
yang terjadi adalah tipe harian ganda yakni terjadi dua kali pasang dalam sehari.
Terdapat senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen dan akar
mangrove antara lain: stirena 2,4,6-trimetil, xilena, stirena, fenantrena, dan
naftalena yang merupakan senyawa yang mempunyai potensi karsinogenik.
Konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada akar mangrove lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen.
Konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen lapisan bawah (tekstur

sedimen yang lebih halus) lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen lapisan atas
(tekstur sedimen yang lebih kasar).
Alternatif penggunaan teknik remediasi (fitoremediasi) menjadi pilihan
utama dalam pengendalian dan pemulihan kandungan senyawa hidrokarbon
aromatik tersebut (stirena 2,4,6-trimetil, xilena, stirena,fenantrena, dan naftalena).
Nilai ekonomi fitoremediasi mangrove Binalatung adalah sebesar Rp
20,592,856,881 per tahun.
Kata kunci: Degradasi, Alternatif Remediasi, Ekosistem Mangrove, Binalatung

SUMMARY
DORI RACHMAWANI. Degradation and Remediation Alternative of Mangrove
Ecosystem in Binalatung Kota Tarakan. Under Supervised by FREDINAN
YULIANDA, CECEP KUSMANA, MENNOFATRIA BOER, and ETY
PARWATI.
Mangrove ecosystem in Tarakan reached 1,224.80 ha, distributed in several
areas, including in Binalatung. Mangrove ecosystems in Binalatung are currently
experiencing pressure (degradation) due to pollution, both from domestic waste and
waste of industrial and mining activities, such as; coal and petroleum. Various
attempts were made to keep the preservation of mangrove ecosystems in Tarakan
and especially Binalatung region, such as; mangrove ecosystem rehabilitation

program (MCRMP) has planted 75,000 mangrove seedlings. However, yet provide
maximum results in degradation control efforts and improved conservation of
mangrove ecosystems.
The research was conducted in March 2013, in Binalatung, East Tarakan
District, Tarakan City, North Borneo. The purpose of research is 1) to identify
aromatic hydrocarbon as BTEX and PAH in sediment and root mangrove, and 2)
formulating alternative rehabilitation of mangrove ecosystem approach to value the
benefits of mangroves as phytoremediation. Research methods include; 1) analysis
of importance value index (INP), 2) analysis of environmental parameters (texture
sediments, soil pH, tides and the content of C-Organic), 3) the analysis of the
content of aromatic hydrocarbons in sediment and mangrove roots, and 4) analysis
of the value of the benefits of phytoremediation mangrove.
The characteristics of mangrove ecosystem in Binalatung dominated by
Avicennia sp (INP=157.79%) and Sonneratia sp (INP=142.21%). Type of sediment
is dominated by silty loam (SIL) and silty clay loam Clay (SiCl). The pH values
ranged from 6,4 to 7,4 which indicates a neutral pH. Organic C content is low (0.58
to 0.79%). Type tides that occur are semidiurnal tide, which occurs twice pairs a
day.
There are aromatic hydrocarbon compounds in sediment and mangrove roots,
among others: stirena 2,4,6-trimetil, xylene, styrene,phenantrene, dan naphtalene

which are compounds that have the potential carcinogenic. The concentration of
aromatic hydrocarbon compounds on mangrove roots higher than the sediment. The
concentration of aromatic hydrocarbon compounds in the lower layers of sediment
(sediment finer texture) higher than the top layer of sediment (sediment rougher
texture).
The remediation technique alternative (phytoremediation) is primary choice
in the control and recovery of aromatic hydrocarbon compounds (stirena 2,4,6trimetil, xilena, stirena,fenantrena, dan naftalena). The economic value of
phytoremediation of mangrove in Binalatung is Rp 20,592,856,881 per year.
Keywords:

Degradation,
Binalatung

Remediaton

Alternative,

Mangrove

Ecosystem,


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Agus Indarjo, MPhill
Dr Etty Riani, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Agus Indarjo, MPhill
Dr Ir Etty Riani, MS

Judul Disertasi : Degradasi dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove di
Binalatung Kota Tarakan
Nama
: Dori Rachmawani

NIM
: C262110021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Anggota

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Anggota

Dr Dra Ety Parwati, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Achmad Fahrudin, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Juni 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala sebagai sumber segala ilmu pengetahuan atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah kematian masal individu
mangrove, dengan judul Degradasi dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove

di Binalatung Kota Tarakan.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada :
1. Bapak Dr Fredinan Yulianda sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof
Dr Ir Cecep Kusmana MS, Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA, dan ibu
Dr Ety Parwati, MSi sebagai anggota komisi pembimbing atas curahan waktu
serta arahan;
2. Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin MS dan ibu Dr Ir Etty Riani MS sebagai penguji
pada ujian Pra-Kualifikasi Doktor atas saran yang diberikan;
3. Bapak Dr Ir Agus Indarjo MPhill (Sekretaris Dirjen DIKTI) sebagai penguji
tamu pada ujian tertutup dan ibu Dr Ir Etty Riani MS sebagai penguji dari IPB;
4. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) yang telah memberikan
bantuan beasiswa selama penulis menyelesaikan studi di IPB;
5. Bapak Dr Ir Tri Prartono MSc (Departemen ITK-FPIK IPB), dan Bapak H
Jaswanto Labfor Mabes Polri Jakarta atas saran dan bantuan;
6. Staf pengajar pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa program
doktor;
7. Bapak Ketua dan Sekretaris serta staf administrasi Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan;

8. Bapak Dr Bambang Widigdo (Rektor) beserta jajaran pimpinan Universitas
Borneo Tarakan;
9. Ayahnda H Saukani Daik, MM ibunda Hj Nur Asyikin Talib, MSi dan kakanda
Rahmawati, SSos serta anak-anak tersayang A. Reztu Alam, A. Rezti
Maharani, A. Mutia Ramadhani;
10. Ibu Dr Dayang Dyah Fidhiani, ibu Dr Hasni Yuliati Azis, bapak Dr Andi Irwan
Nur dan bapak Dr. David Hermawan;
11. Teman-teman SPL angkatan 2011 Pak Muarif, Pak Taryono, Pak Martianus
Baroleh, Mas Mujio, dan Yar Johan Hayat;
12. Teman-teman FPIK UBT Ratno Achyani M.Si, Kiki Teguh Gempur Prosutejo
S.Pi, Helman S.Pi, dan Farid Wajdi;
13. Teman-teman mega kos yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini berguna bagi pengelolaan ekosistem mangrove dan
pengelolaan sumberdaya pesisir pada umumnya.

Bogor, Juni 2016
Dori Rachmawani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan

1
1
3
5
5
5

2 KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN LINGKUNGAN EKOSISTEM
MANGROVE DI BINALATUNG
Pendahuluan
Metodologi
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Sampling Kuadrat
Parameter Lingkungan
Metode Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Indeks Nilai Penting (INP)
Tekstur Sedimen
pH Tanah
Kandungan C-Organik
Pasang Surut (Pasut)
Simpulan

7
7
9
9
9
10
10
11
13
13
15
17
18
19
21

3 KANDUNGAN AROMATIK HIDROKARBON PADA SEDIMEN DAN
AKAR MANGROVE DI BINALATUNG
Pendahuluan
Metodologi
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Teknik Pengambilan dan Perlakuan Sampel
Metode Analisis Hidrokarbon Aromatik
Hasil dan Pembahasan
Konsentrasi Senyawa dalam Sedimen dan Akar Pohon
Simpulan

22
22
24
24
24
25
26
27
29
33

4 NILAI MANFAAT EKONOMI DARI FUNGSI FITOREMEDIASI PADA
MANGROVE DI BINALATUNG
34
Pendahuluan
34

Metodologi
Lokasi dan Waktu
Teknik Pengambilan Contoh
Jenis dan Sumber Data
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Fitoremediasi Mangrove
Biaya Fitoremediasi
Manfaat Fitoremediasi
Simpulan

35
35
35
36
36
39
39
41
43
45

5 PEMBAHASAN UMUM
Degradasi Mangrove Binalatung
Alternatif Remediasi

46
46
47

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

49
49
49

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

58

RIWAYAT HIDUP

63

DAFTAR TABEL
Jumlah individu dan diameter batang pohon
Komposisi (fraksi massa) dari BTEX dalam Bensin
Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff, 1979)
Kandungan senyawa dalam sedimen dan akar mangrove
Senyawa PAH yang mempunyai potensi karsinogenik
Parameter fisika-kimia pada sampel sedimen
Rata-rata konsentrasi dari TPH dan standar deviasi
Komponen biaya pembibitan dan penanaman (ha)
Manfaat fitoremediasi
Nila manfaat total fitoremediasi

13
22
23
28
29
33
41
42
44
44

DAFTAR GAMBAR
Perubahan tutupan ekosistem mangrove di Kota Tarakan
3
Vegetasi mangrove di Binalatung
6
Kerangka pikir
6
Lokasi penelitian (stasiun pengambilan contoh)
10
Metode Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove
11
Segitiga tekstur tanah (USDA, 2009)
12
INP pohon mangrove di Binalatung
15
Tipe substrat mangrove di Binalatung
16
Kandungan pH substrat mangrove di Binalatung
17
Kandungan c-organik substrat mangrove di Binalatung
18
Tipe pasut harian ganda (semi diurnaltide)
19
Pola pasut bulanan di Kota Tarakan
20
Sampel akar mangrove
25
Bagan alir ekstraksi hidrokarbon aromatik pada sedimen
26
Hasil anlisis GC-MS dari sampel sedimen mangrove
27
Hasil analisis GC-MS dari sampel akar mangrove
27
Histogram konsentrasi senyawa dalam sedimen dan akar (mg/g)
30
Mekanisme sederhana dari penyerapan kontaminan (pencemar) yang
dilakukan oleh vetegasi / tumbuhan (Sumber gambar : Chen, 2010 and
Simonich, 1996)
31

DAFTAR LAMPIRAN
Hasil analisis GC-MS pada akar dan sedimen mangrove
Ekosistem mangrove di Binalatung tahun 2006
Nilai fitoremediasi mangrove

58
59
60

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kota Tarakan merupakan pulau kecil yang terletak di bagian utara pulau
Kalimantan dan sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi di Indonesia
sejak tahun 1905 hingga sekarang. Potensi cadangan minyak bumi di Kota Tarakan
mencapai 451177 juta barel dengan rata-rata produksi 2100 bopd (DESDM 2010).
Minyak bumi (crude oil) selain sebagai sumber energi bagi kebutuhan umat
manusia juga dapat menimbulkan dampak yang diakibatkan dari aktivitas ekplorasi
dan produksi.
Minyak bumi tersusun atas senyawa-senyawa kompleks diantaranya adalah
hidrokarbon. Hidrokarbon merupakan senyawa organik yang tersusun atas atom
hydrogen (H) dan atom carbon (C). Komposisi senyawa hidrokarbon dalam minyak
mencapai 50-98% (Mangkoedihardjo, 2005). Hidrokarbon dibagi menjadi dua
kelas yaitu hidrokarbon alifatik yang merupakan hidrokarbon rantai lurus tanpa
cincin benzena dan hidrokarbon aromatik, yang berisi cincin benzena. Hidrokarbon
aromatik dari kelas monosiklik seperti BTEX (benzena, toluena, etilbenzena,
xilena) dan kelas polisiklik aromatik seperti naftalena, antrasena, fenantrena.
BTEX secara alami terkandung dalam minyak bumi dan kelompok ini
termasuk bahan kimia berbahaya serta bersifat karsinogenik (Prantera et al. 2002)
terutama dalam bahan bakar dan bensin yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Hal senada disampaikan oleh Notodarmojo, (2005) bahwa minyak dan turunannya
merupakan salah satu contoh dari hidrokarbon yang banyak digunakan oleh
manusia, dan sangat potensial mencemari lingkungan. Indawan et al. (2012)
menemukan kandungan BTEX dan logam berat dalam sedimen pada tingkat
pencemaran berat dapat mempengaruhi komposisi ekosistem mangrove. PAH
adalah senyawa organik yang terdiri dari beberapa cincin aromatik termasuk pada
kelompok pencemar yang sangat sulit terurai (Eisler, 1987). Pencemaran minyak
dari aktivitas eksplorasi gas atau minyak, produksi petroleum mengakibatkan
kerusakan mangrove yang fatal (Mastaller, 1996). Meskipun sumber pencemar
dapat dihasilkan dari proses alam dan antropogenik, masukan berupa PAH dari
aktivitas manusia seperti tumpahan minyak mentah, produksi lepas pantai,
transportasi dan pembakaran yang sangat signifikan telah menjadi ancaman serius
bagi habitat pesisir seperti mangrove (Corredor et al. 1990). Oleh karena itu USEPA
(US Environmental Protection Agency) telah merekomendasikan clean-up lahan
tercemar polutan hidrokarbon aromatik.
Ada dua bentuk kerusakan yang umum terjadi pada mangrove akibat
pencemaran minyak, yaitu: (a). Apabila tumpahan minyak dalam kuantitas yang
besar, umumnya pohon-pohon mangrove mengalami defoliasi dalam kurun waktu
satu hingga dua bulan yang selanjutnya diikuti dengan kematian, dan (b). Apabila
deposit minyak dalam sedimen relatif rendah umumnya terjadi pengaruh sub-letal
terhadap mangrove, seperti defoliasi sebagian dan terbukanya kanopi, penurunan
laju pertumbuhan dan perubahan dalam komposisi jenis. Selain itu, kontaminasi
minyak dapat merusak fauna yang hidup di sedimen dan akar mangrove. Residu
minyak tinggal relatif lama (lebih dari 10 tahun) dalam sedimen mangrove

2
(Mastaller 1996). Hal ini menyebabkan sedimen mangrove yang terkontaminasi
oleh minyak membutuhkan waktu yang relatif lama untuk ditanami kembali. Di
China pemantauan polutan organik sanggat gencar dilakukan sehingga memberi
informasi terhadap pengelola pesisir terhadap kemungkinan berdampak bagi
detritus yang bergerak dalam rantai makanan sehingga berpotensi dapat
menyebabkan bioakumulasi dari kontaminan dalam organisme yang pada akhirnya
dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai makanan. Selain itu, polutan organik pada
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman halophytik
yang pada gilirannya mungkin akan membatasi buffer dari peristiwa badai dan
stabilisasi sedimen pesisir (Mrozek et al. 1983; Tam et al. 2005.)
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan
sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana et al. 2003) Lebih lanjut
disebutkan bahwa ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki kemampuan
mengakumulasi logam berat dan membantu mengurangi tingkat konsentrasi bahan
pencemar di perairan, dimana sistem perakaran mangrove turut berperan sebagai
bioakumulator logam berat. Ekosistem mangrove secara tidak langsung juga sangat
berperan dalam mengurangi konsentrasi logam berat dalam perairan. Tumbuhan
mangrove mempunyai kapasitas sebagai pendukung kehidupan mikro organisme
pengurai limbah. Keberadaan vegetasi mangrove pada perairan yang tercemar dapat
memperluas area tempat mikro organisme pengurai limbah tersebut melekat untuk
tumbuh dan berkembang. Sedangkan akar mangrove akan mengeluarkan oksigen
sehingga akan terbentuk zona rizosfer yang kaya oksigen. Dengan semakin
banyaknya vegetasi mangrove yang hidup pada perairan yang tercemar, akan
semakin banyak mikro organisme pengurai yang hidup, berkembang dan melekat
pada jaringan vegetasi mangrove tersebut. Banyaknya mikro organisme pengurai
limbah yang hidup dalam perairan mangrove akan meningkatkan kinerja
pembersihan bahan pencemar secara menyeluruh, dikarenakan organisme mikro
tersebut mencerna bahan pencemar dalam rangka memperoleh energi. Mekanisme
inilah yang menyebabkan konsentrasi bahan pencemar dalam perairan mangrove
akan berkurang (Kusumastuti, 2009).
Ekosistem mangrove di Kota Tarakan, seperti halnya ekosistem mangrove di
wilayah lain, juga mengalami tekanan akibat pencemaran, baik yang bersumber dari
limbah domestik maupun limbah yang bersumber dari kegiatan industri dan
pertambangan (batu bara dan minyak bumi) (Gambar 1). Luas ekosistem mangrove
Kota Tarakan 1.224,80 ha (Tahun 2003) yang tersebar pada beberapa wilayah,
diantaranya kawasan Binalatung (Rachmawani et al. 2010). Lebih jauh disebutkan
bahwa ekosistem mangrove yang ada di kawasan Binalatung telah mengalami
degradasi. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian ekosistem
mangrove di Kota Tarakan dan kawasan Binalatung khusunya. Program rehabilitasi
ekosistem mangrove di Kota Tarakan digagas pertama kali pada tahun 2005 oleh
MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) berupa penanaman
75000 bibit mangrove. Namun demikian, belum memberikan hasil yang maksimal
dalam upaya pengendalian degradasi dan peningkatan pelestarian ekosistem
mangrove. Untuk itu, pentingnya dilakukan kajian dan penelitian dengan berbagai

3
pendekatan, agar diperoleh berbagai alternatif pengendalian degradasi dan
peningkatan pelestarian ekosistem mangrove.
Pengendalian degradasi dan peningkatan pelestarian ekosistem mangrove di
Binalatung dilakukan dengan teknologi remediasi. Teknologi remedisi terhadap
sedimen yang terkontaminasi bahan pencemar merupakan alternatif bagi pemulihan
ekosistem mangrove. Teknologi ini banyak diterapkan pada lahan yang
terkontaminasi bahan pencemar diantaranya yakni dengan menggunakan tanaman
atau tumbuhan untuk menyerap dan menyimpan bahkan menghancurkan bahan
kontaminan dari lingkungan. Pada pelaksanaanya teknik remediasi harus dipandu
oleh pertimbangan kesesuain dan ketepatan teknologi, dan target pembersihan
lahan berbasis resiko sesuai dengan potensi klaim penilaian kerusakan. Faktanya,
persepsi terhadap arti penting pengelolaan sedimen terkontaminasi harus meningkat
bukan hanya karena penurunan nilai ekologi, tetapi juga karena kontaminasi
sedimen memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan ekonomi yang parah.

Gambar 1 Perubahan tutupan ekosistem mangrove di Kota Tarakan
Perumusan Masalah
Kematian massal individu mangrove pesisir utara Kota Tarakan tepatnya di
kawasan Binalatung (Gambar 2), diindikasikan oleh faktor sedimentasi
(Rachmawani et al. 2010) dan polutan organik. Kondisi tersebut ditandai dengan
tutupan mangrove hanya sekitar 50% dengan jumlah kerapatan 500 pohon/ha atau
tergolong kategori kondisi ekosistem rusak parah (Rachmawani et al. 2010). Faktor
sedimentasi merupakan proses pengendapan material sedimen yang terangkut oleh
gerakan air ataupun angin ke tempat lain. Proses pendakalan perairan pantai atau
lazim dikenal sedimentasi dan tergerusnya garis pantai merupakan proses alami
yang dapat terjadi di semua pantai. Jika terjadi proses abrasi di suatu kawasan pantai,
maka sesuai dengan hukum keseimbangan akan ada kawasan pantai ditempat lain
yang akan bertambah. Selanjutnya pengendapan tersebut akan mengganggu sistem
respirasi tumbuhan mangrove, karena akar napas (pneumatofora) pada mangrove
menjadi terhalang oleh sedimen. Apabila proses pencucian tidak terjadi, maka
suplai oksigen bagi tumbuhan akan terhambat akibat tertutupnya akar nafas

4
(pneumatofora) pada mangrove dan berdampak pada perkembangan dan
pertumbuhan mangrove tersebut dan akhirnya menyebabkan kematian. Kondisi ini
terjadi, karena tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup pada substrat
anaerob (tanpa oksigen), sehingga kebutuhan akan oksigen sangat bergantung pada
oksigen terlarut dalam air dan oksigen dari udara. Sampai saat ini belum ada
penelitian yang menyatakan secara umum tingkat sedimen yang dapat mematikan
ekosistem mangrove. Hasil penelitian Lugo et al. (1975), menyatakan bahwa
sedimentasi yang berlebihan di kawasan Puerto Rico yang terbawa oleh banjir dapat
menyebabkan gangguan perakaran dan pertukaran udara dalam tanah, sehingga
mengakibatkan kematian pada ekosistem mangrove. Kasus lainnya di Guyana
Prancis kematian spesies Avicennia germinans akibat pengendapan sedimen massif
yang berasal dari muara sungai (Formard, 1998).
Selain pengaruh sedimentasi yang tinggi, masuknya bahan-bahan pencemar
yang terangkut bersama sedimen, turut memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap degradasi ekosistem mangrove. Studi pencemaran bahan organik dalam
sedimen mangrove di China, terutama difokuskan pada lokasi yang berdekatan
dengan kawasan urbanisasi/padat penduduk dan sentra-sentra industri seperti
Hongkong, Shenzhen, dan Guangzhou dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang sinifikan bahan pencemar domestik terhadap degradasi ekosistem
mangrove. Pemantauan temporal terhadap hasil pengolahan bahan bakar minyak di
mangrove Sheung Pak Nai (Hongkong) mengungkapkan terjadi penurunan
konsentrasi TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) dari 80 µg/g menjadi 30-40 µg/g
setelah satu tahun, penurunan TPH tersebut dikaitkan dengan pelapukan minyak
(Tam et al. 2005). Penelitian yang sama juga ditemukan bahwa konsentrasi TPH
setinggi 1000 µg/g di zona perakaran sedimen mangrove, konsentrasi ini juga
ditemukan berbeda pada setiap lokasi pengamatan meskipun sumber pencemar
berasal dari satu titik. Zheng et al. (2000) meneliti di lokasi rawa Mai Po dan
menemukan total konsentrasi PAH dalam sedimen yang diambil dari beberapa
lokasi mangrove berkisar antara 666-1042 µg/g berat kering. Total konsentrasi
PAH yang tinggi dalam sedimen relatif berada pada level yang tinggi termasuk
benzo(a)pyrene dan dibenzol(1,2,5,6) anthracene dimana jenis-jenis ini bersifat
karsinogen (Kennish, 1996; Xu et al. 1999). Tattar et al. (1994) menyatakan
konsentrasi yang tinggi dari polutan organik dapat menimbulkan penyakit,
kematian, dan perubahan dalam komposisi jenis mangrove.
Tingginya sedimentasi dan adanya bahan polutan organik dalam sedimen dan
akar, menjadi indikasi utama terjadi degradasi ekosistem mangrove di Binalatung.
Sedimentasi dan polutan organik tersebut dapat bersumber secara alami seperti
terjadinya erosi (longsor) dan suksesi. Selain itu juga dapat bersumber dari aktivitas
pembangunan (aktivitas manusia) seperti kegiatan konversi lahan (alih fungsi
lahan), kegiatan eksplorasi minyak bumi dan kegiatan pemanfaatan langsung.
Tekanan yang tinggi terhadap ekosistem mangrove akan mengurangi kemampuan
ekosistem ini untuk mendukung lingkungannya. Tekanan tersebut akan mengurangi
fungsi-fungsi mangrove, baik sebagai habitat tempat tinggal dari berbagai
organisme, tempat mencari makan (feeding ground), tempat pemijahan (spawning
ground) maupun sebagai daerah asuhan dan pembesaran (nursery ground). Selain
itu juga mengurangi fungsi sebagai biofilter/bioakumulator bagi berbagai polutan
yang masuk di wilayah pesisir.

5
Pentingnya peranan dan fungsi ekosistem mangrove sehingga berbagai upaya,
mulai dari kajian hingga program rehabilitasi senantiasa dilakukan untuk terus
mengembangkan alternatif pengendalian degradasi dan peningkatan kelestarian
ekosistem mengarove. Berdasarkan hal tersebut diatas maka upaya rehabilitasi
terhadap ekosistem mangrove di Binalatung menjadi tujuan utama penelitian ini
(Gambar 3). Untuk memulai tahap dalam upaya rehabilitasi diperlukan kecermatan
dan ketepatan untuk menemukan faktor-faktor utama atau agen yang menjadi
penyebab degradasi (kematian massal) ekosistem mangrove di Binalatung.
1. Bagaimana kondisi degradasi ekosistem mangrove di Binalatung, apakah
kematian massal individu mangrove yang terjadi disebabkan oleh adanya
polutan organik (aromatik hidrokarbon) dalam sedimen dan akar ?
2. Bagaimana alternatif pengelolaan terhadap degradasi (kematian massal)
individu mangrove di Binalatung dengan pendekatan nilai manfaat mangrove
sebagai remediasi?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi faktor penyebab kematian massal individu mangrove di
Binalatung yang bersumber dari bahan pencemar yang terkandung dalam
sedimen dan akar berupa hidrokarbon aromatik;
2. Merumuskan alternatif rehabilitasi ekosistem mangrove di Binalatung dengan
pendekatan nilai manfaat rehabilitasi ekosistem mangrove di Binalatung
dengan pendekatan nilai manfaat mangrove sebagai fitoremediasi;

Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan bermanfaat:
1. Sebagai salah satu acuan pengeloalaan ekosistem mangrove di Kota Tarakan
pada umumnya dan Binalatung khususnya;
2. Sebagai bahan dan informasi terbaru dalam pengembangan ilmu pengetahuan
bidang kajian pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan utamanya ekosistem
mangrove;
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengelolaan ekosistem
mangrove dimasa yang akan datang;
Kebaruan
Kebaruan dalam penelitian ini, meliputi :
Pengungkapan fakta faktor penyebab kematian individu mangrove di
Binalatung yang berimplikasi terhadap solusi penanggulangan dalam hal ini berupa
fitoremediasi.

6

Gambar 2 Vegetasi mangrove di Binalatung

Bencana
Alam
Alami
Karakteristik
Biofisik

Suksesi

Perubahan
Tutupan
Mangrove

Kondisi
Eksisting
Eksplorasi
Migas

Aktivitas
Manusia

Kematian Massal
(dieback)

Telaah Penyebab
Utama

Alih Fungsi
Lahan
Pemanfaatan
Langsung

Hipotesa AH
Sedimen & Akar

Nilai Manfaat Fito
remediasi

Alternatif
Rehabilitasi

Gambar 3 Kerangka pikir

Teknik Fito
remediasi

7

2 KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN LINGKUNGAN
EKOSISTEM MANGROVE DI BINALATUNG
Pendahuluan
Mangrove sebagai ekosistem utama pesisir pulau aluvial seperti Kota Tarakan
memiliki fungsi yang sedemikian kompleks sebagai penunjang kehidupan dan
keberadaan daerah ini. Sebagai suatu ekosistem utama pulau keberadaan ekosistem
mangrove sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting baik
manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung bagi lingkungan. Manfaat fisik
diantaranya dapat menambah luasan pulau, menahan pantai dari gelombang, angin
dan badai. Kathiresan, (2003) ekosistem mangrove merupakan sumberdaya yang
mampu memainkan peranan sangat penting sebagai perangkap sedimen dengan
cara mereduksi aliran pasut dan menstimulasi sedimentasi dari partikel tanah pada
saat pasang rendah dengan konsentrasi partikel yang tersuspensi pada kolom air
pada saat pasang rendah (low tide) berkisar 0.09 sampai 0.012 g/l sementara pada
saat pasang tinggi berkisar 0.13 sampai 0.15 g/l (high tide), efisiensi dari perbedaan
jenis mangrove menunjukkan bahwa jenis api-api (Avicennia sp.) lebih efisien
dibanding jenis bakau (Rhizophora sp.) Selain itu tempat bagi sebagian besar jenis
gastrophoda mencari makan diantaranya seperti dari jenis Telescopium dan kapah
(Meretrix sp.). Shanmugam et al. (2010) gastropoda di ekosistem mangrove
memainkan peranan penting begitu pula sebaliknya. Hal ini digambarkan bahwa
mangrove menyediakan kondisi ideal bagi gastropoda sebagai tempat makan
(feeding ground). Gastropoda bersifat predator sehingga menempati peran sentral
dalam menjaga fungsi dan produktivitas mangrove melalui “cleaning” pada sistem
akar mangrove dari fauna encrusting seperti tritip.
Zonasi sepanjang pantai mangrove tidak hanya penting untuk memperluas
pantai dan membentuk pulau, tetapi juga melindungi pantai dari pengikisan secara
dahsyat yang ditimbulkan oleh badai tropika yang hebat. Pada pulau-pulau di
daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove. Peranan mangrove sangat
besar untuk mempertahankan keberadaan pulau tersebut. Sebaliknya pada pulau
yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu oleh ombak dan arus
musiman selain itu jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan
berkurang secara nyata (Naamin, 1991). Selain itu ekosistem ini juga memiliki nilai
ekonomi yang bersifat long term (jangka panjang dengan tingkat diskonto rendah)
sedangkan sumberdaya migas memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term
(jangka pendek dengan tingkat diskonto tinggi). Walaupun kontribusi ekonomi
nyata ekosistem mangrove kurang signifikan namun kontribusi nyata dan tidak
langsung (salah satunya seperti pelindung pantai dan pendukung perairan pesisir)
tinggi dan kontinyu (Bengen, 2006).
Mangrove umumnya dapat berkembang baik di daerah pantai berlumpur
dengan air yang tenang dan terlindung dari pengaruh ombak yang besar serta
eksistensinya bergantung pada adanya aliran air tawar dan air laut (Samingan,
1971). Lebih lanjut disebutkan bahwa komposisi dan pertumbuhan mangrove
dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, kimia, dan biologi) yang sangat
kompleks, antara lain (a) tanah atau sedimen, (b) salinitas, (c) pH, dan (d) pengaruh
oseanografi seperti pasang surut, gelombang dan arus.

8
Tanah atau sedimen di kawasan mangrove memiliki ciri-ciri yang selalu
basah, mengandung garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan
organik (Soeroyo, 1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi
sedimen yang bersal dari sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi
sepanjang sungai atau kanal (Aksornkoae, 1993). Sebagian tanah berasal dari hasil
akumulasi dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang
terakumulasi di daerah mangrove memiliki kekhususan yang berbeda, tergantung
pada sifat dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah berlumpur,
sedangkan sedimen yang berasal dari pantai berupa pasir. Degradasi dari bahanbahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu juga merupakan bagian dari
tanah mangrove. Kusmana, (1996) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya
kaya akan bahan organik dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi, kesuburannya
bergantung pada bahan alluvial yang terendap. Menurut Soeroyo, (1993),
pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor
fisik, berupa transport nutrien oleh arus pasang, aliran laut, gelombang dan aliran
sungai; (2) faktor fisik-kimia, berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh
penggumpalan dan pengendapan; dan (3) faktor biotik, berupa produksi dan
perombakan senyawa-senyawa organik.
Salinitas mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu dalam
pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas dipengaruhi
oleh sejumlah faktor, seperti genangan pasang, topografi, curah hujan, masukan air
tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi. Salinitas merupakan faktor
lingkungan yang sangat menentukan perkembangan mangrove, terutama bagi laju
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksorkoae, 1993).
Toleransi setiap jenis tumbuhan mangrove terhadap salinitas berbeda-beda. Batas
ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan 36 ppm (MacNae, 1968).
Adapun Aksornkoae (1993) mencatat bahwa api-api memiliki toleransi yang tinggi
terhadap garam dan gedang (Bruguiera gymnorhiza) ditemukan pada daerah
dengan salinitas 10-20 ppm. Di Australia, jenis api-api dapat tumbuh dengan tingkat
salinitas maksimum 85 ppm, sedangkan gedang dapat tumbuh dengan salinitas
tidak lebih dari 37 ppm (Wells 1982)
Nilai pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa. Nilai pH hutan
mangrove berkisar antara 8.0-9.0 (Welch at al. 1980). Nilai pH perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktifitas fotosintesis, aktifitas biologi,
temperatur, kandungan oksigen, dan adanya kation serta anion dalam perairan
(Aksornkoae, 1993). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai
untuk menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di daerah mangrove, sehingga
tanah mangrove yang bernilai pH tinggi secara nisbi mempunyai karbon organik
yang kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno, 1996). Air
laut sebagai media yang memiliki kemampuan sebagai larutan penyangga dapat
mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim.
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi
tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove.
Pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove disebabkan oleh (1) lama pasang,
yakni pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air
dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun
pada saat air laut surut, (2) durasi pasang, struktur dan kesuburan mangrove di suatu
kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan

9
berbeda. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut
durasi pasang atau frekuensi penggenangan, seperti penggenangan sepanjang waktu
maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta
Xylocarpus kadang-kadang ada, dan (3) rentang pasang (tinggi pasang), dimana
akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi
yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya pneumatophora prepat dan apiapi menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar umumnya
hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies
misalnya buah atau semai bakau terbawa gelombang dan arus sampai menemukan
substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh (Ellison, 1994),
sedangkan pengaruh tidak langsung dari gelombang dan arus adalah berupa
sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai dan
daerah pesisir. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan
substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Selain itu, gelombang
dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutriennutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil
dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run-off daratan dan terjebak di hutan
mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut (Hogart
1999).
Karakteristik biofisik dan lingkungan tempat tumbuhnya mangrove penting
untuk diketahui mengingat keberlangsungan hidup suatu ekosistem mangrove akan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dengan kata lain semakin baik habitat
lingkungan mangrove maka akan semakin baik pertumbuhannya.
Metodologi
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013 di kawasan
mangrove Binalatung, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi; data vegetasi
mangrove (pohon, semai, dan anakan), dan data parameter lingkungan (tekstur, pH,
pasang surut dan kandungan C-Organik).

10

Gambar 4 Lokasi penelitian (stasiun pengambilan contoh)
Teknik Sampling Kuadrat
Teknik sampling kuadrat merupakan suatu teknik survei vegetasi yang
umumnya digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Pertimbangan utama
dalam teknik ini adalah kehomogenan vegetasi dan keadaan morfologi jenis
tumbuhan yang diukur (Kusmana 1997). Selanjutnya untuk memudahkan
perisalahan vegetasi dan pengukuran parameternya, petak contoh dibagi-bagi
kedalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih kecil. Kusmana (1997) menyarankan
penggunaan kuadrat berukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon, 4 x 4 m untuk
lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (under growth) sampai tinggi 3 m, dan 1 x
1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba. Tetapi umumnya para peneliti khusus
dibidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam beberapa tingkat
pertumbuhan, yakni : semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi 1.5 m hingga pohon muda yang berdiameter 20 cm).
Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak
(Gambar 5).
Titik pengamatan vegetasi ditempatkan secara proposional pada lima transek
yang memotong tegak lurus kontur, jarak antar transek adalah 10 m. Metode analisis
terhadap tumbuhan mangrove dilakukan secara matematis, dan diskriptif.
Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang diambil meliputi; tekstur sedimen, pH tanah,
pasang surut dan kandungan C-Organik. Dalam melakukan pengambilan sampel

11
dibedakan pada dua kedalaman yakni; kedalaman 30 cm dan 60 cm. Diperkirakan
bahwa kedalaman akar dari pohon spesies api-api dan prepat pada lokasi penelitian
kurang dari 50 cm. Selanjutnya analisis dilakukan di Laboratorium Lingkungan
FPIK dan Laboratorium Tanah Faperta Universitas Borneo Tarakan.

Gambar 5 Metode Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove
Metode Analisis Data
Metode analisis data didasarkan pada tujuan, yakni analisis indeks nilai
penting (INP), analisis tekstur tanah, analisis pH, analisis kandungan C-Organik
dan analisis pasang surut. Lebih rinci sebagai berikut:
Indeks Nilai Penting (INP)
Keadaan struktur vegetasi mangrove dapat digambarkan melalui analisis
Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Kusmana (1997), untuk menghitung indeks
ini digunakan beberapa formula sebagai berikut:
Pada tingkat pohon:
��� =
+� +
Pada tingkat pancang dan semai:
��� =
+�
=





� =





=

=

=
=










=



%
%
%

Luas bidang dasar (m2) dan D adalah diameter pohon (m)

12
Analisis Tekstur Tanah
Analisis tekstur tanah dilakukan dengan metode hydrometer (Bouyoucus
1962 dalam Wilkinson dan Baker 1994). Metode hydrometer merupakan yang
dilakukan dengan menentukan prosentase pasir, debu dan liat. Hasil fraksi partikel
tanah/sedimen tersebut, selanjutnya diklasifikasi berdasarkan kelas tekstur
tanah/sedimen dengan menggunakan bantuan gambar segitiga tekstur (Gambar 5).
Segitiga tekstur tanah berdasarkan USDA (2009) dibagi dalam 12 kelas,
yakni: clay, silty clay, silty clay loam, sandy clay, sandy clay loam, clay loam, silt,
silt loam, loam, sand, loamy sand, dan sandy loam. Keduabelas kelas tekstur tanah
tersebut dibedakan berdasarkan jumlah persentase ketiga fraksi tanah hasil analisis
laboratorium menyatakan bahwa persentase pasir (sand), liat (clay) dan debu (loam).

Gambar 6 Segitiga tekstur tanah (USDA, 2009)
Analisis pH
Analisis pH dilakukan dengan analisis laboratorium dengan botol kocok dan
pH meter. Selanjutnya data pH tersebut dideskripsikan dalam bentuk grafik untuk
menunjukkan nilai pH pada masing-masing lokasi sampling. pH tanah menjadi
sangat penting, mengingat peranan pH tanah dalam penyerapan unsur-nsur hara
oleh tanaman/tumbuhan dan membantu bakteri dalam mengubah unsur-unsur hara
tersebut.
Analisis Kandungan C-Organik
Analisis kandungan C-Organik dilakukan dengan analisis laboratorium.
Sampel tanah/sedimen yang diperoleh di lokasi penelitian selanjutnya dianalisis
kandungan C-Organik (C-Total) yang diukur dalam satuan persentase (%).

13
Kandungan bahan organik (C-Organik) dihitung dengan rumus (metode Walkey
dan Black) :

Analisis Pasang Surut

% = ( − )

.

Analisis pasang surut dilakukan dengan analisis deskriptif, yakni data
diperoleh dari data sekunder (data Deshidros-AL), yang selanjutnya deskripsikan
dalam bentuk grafik pasang surut harian (30 hari) dan grafik pasang surut bulanan
(Tahun 2014). Gambaran dari kedua grafik tersebut akan diperoleh tipe pasang
surut yang terjadi di lokasi penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Indeks Nilai Penting (INP)
Kawasan Mangrove Binalatung terletak pada posisi 3o21’43.46” Lintang
Utara dan 117o39’17.11” Bujur Timur, sedang secara administratif termasuk dalam
wilayah Kelurahan Pantai Amal, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan.
Wilayah tersebut terletak di bagian utara Pantai Amal atau berada di timur laut Kota
Tarakan, dan di tengah-tengah terdapat sungai pasang surut yang bermuara di ujung
selatan wilayah tersebut. Selain itu juga terdapat ekosistem mangrove yang
memanjang mulai dari bagian barat hingga ke bagian utara seluas kurang lebih 20
ha. Umumnya jenis mangrove yang membentang disepanjang pantai adalah jenis
api-api dan prepat. Selanjutnya untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove
yang ada di Binalatung, dilakukan analisis vegetasi (jumlah individu, pohon,
diameter batang pohon dan tipe substrat) (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah individu dan diameter batang pohon
No
Transek
1
2
3
Rata-rata

Pohon (d>4cm)
Avicennia sp
Sonneratia sp
Ind
db (cm)
ind
db (cm)
4
8.51
3
8.12
2
7.54
2
7.50
3
6.62
2
6.37
3
3.5

Total
ind/transek
7
4
5
8

Sumber : data primer, 2014

Hasil identifikasi seperti pada Tabel 1 diperoleh bahwa jenis mangrove yang
dominan di lokasi penelitian adalah api-api dengan total ind/transek adalah 9 pohon,
dan jenis prepat dengan total ind/transek adalah 7 pohon sedang ukuran diameter
batang dari kedua jenis tersebut berkisar antara 6.37 – 8.51cm, dimana ukuran ini
menunjukkan ukuran pohon >4 cm (Kusmana, 1997). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah pohon per hektar sekitar 500 pohon. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa mangrove di Binalatung tergolong rusak berdasarkan Kepmen
LH No.201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove (KLH, 2004).
Meskipun demikian, mangrove yang ada di kawasan ini, masih tergolong mampu
melakukan regenarasi secara alami, sebagaimana yang direkomendasikan FAO

14
(1994) yakni minimal 12 pohon/hektar. Namun kondisi kerapatan mangrove
tersebut tergolong rawan untuk meredam tsunami. Hal tersebut didasarkan pada
kerapatan minimal mangrove agar dapat meredam 50 % gelombang tsunami dengan
ketinggian 3 m adalah 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm (Purbani,
2012). Hal ini menjadi sangat penting mengingat letak ekosistem mangrove
Binalatung yang berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi.
Pengukuran kerapatan relatif (RDi), frekuensi relatif (RFi), penutupan relatif
(RCi) juga dilakukan untuk mengetahui indeks nilai penting (INP) dari ekosistem
mangrove Binalatung. Hasil analisis kerapatan relatif diperoleh bahwa jenis api-api
memiliki tingkat kerapatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis prepat.
Kerapatan merupakan perbandingan jumlah individu suatu spesies dengan luas plot
contoh (Kusmana, 1997). Kerapatan mangrove banyak ditentukan oleh faktor
manusia dan lingkungan. Penggunaan batang mangrove sebagai tiang
pancang/patok dan sebagainya merupakan bentuk pengaruh manusia terhadap
kerapatan mangrove. Pengaruh lingkungan lebih disebabkan karena faktor
pertumbuhan dan kematian alamiah yang terjadi. Faktor lingkungan dapat
dipengaruhi oleh salinitas, substrat, suhu yang mendukung pertumbuhan, serta
bahan pencemar yang dapat menyebabkan kematian mangrove. Besarnya nilai
kerapatan relatif jenis dari api-api disebabkan karena jenis ini lebih mampu untuk
beradaptasi bila dibanding dengan jenis prepat ataupun yang lainnya. Kondisi ini,
memungkinkan disebabkan tipe substrat yakni silty loam, serta topografi pantai
yang terbuka (berhadapan langsung dengan laut bebas), dimana pengaruh
oseanografi sangat besar, seperti pasang surut, gelombang dan arus pantai.
Frekuensi relatif diperoleh nilai yang sama untuk kedua jenis mangrove yakni
50%. Frekuensi relatif merupakan perbandingan antara frekuensi suatu jenis
dengan frekuensi untuk seluruh spesies (Kusmana, 1997). Hasil menunjukkan
bahwa penyebaran dan keberadaan tiap jenis mangrove tersebut dapat ditemukan
pada setiap transek stasiun pengamatan. Penyebaran dan keberadaan sutau jenis
mangrove sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan
mangrove tersebut untuk tumbuh optimal. De Haan dalam Russel dan Young
(1968) menyebutkan bahwa penyebaran dan keberadaan mangrove dipengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan, salah satunya adalah salinitas.
Penutupan relatif merupakan gambaran dominansi dari suatu spesies
mangrove terhadap suatu kawasan/area. Hasil analisis menunjukkan bahwa
penutupan relatif jenis api-api lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis prepat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis api-api lebih dominan dibandingkan jenis
prepat. Dominannya jenis api-api disebabkan oleh kemampuan adaptasi terhadap
lingkungan.
Indeks nilai penting (INP) merupakan gambaran pengaruh dan peranan dari
jenis tertentu dalam struktur vegetasi mangrove di suatu wilayah/area pada Gambar
7 menunjukkan nilai jenis api-api lebih tinggi (157.79%) bila dibandingkan dengan
jenis prepat (142.21%). Nilai tersebut menunjukkan bahwa jenis api-api memiliki
peran yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis prepat. Tingginya nilai INP
suatu jenis mangrove ditentukan oleh faktor lingkungan, antara lain salinitas, suhu,
substrat dan kandungan nutrien. Kondisi lingkungan yang baik, akan menunjang
pertumbuhan mangrove dengan baik (Supriharyono, 2007).

15
300

Indeks Nilai Penting (INP)

280

260
240
220
200
180

157.79

160

142.21

140

Avicennia sp

120

Sonneratia sp

100

Avicennia sp

Sonneratia sp

Spesies Mangrove

Gambar 7 INP pohon mangrove di Binalatung
Tekstur Sedimen
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena
terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang
terkandung pada tanah. Ukuran partikel pasir (2-0.05 mm), debu (0.05-0.002 mm)
dan liat (