Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)

(1)

(Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)

DORI RACHMAWANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)

DORI RACHMAWANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains Pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Sungguh, tidak ada suatu keyakinan kecuali

Di dalamnya terkandung keraguan ”

(Ibrahim Al-Nazhzham)


(4)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur) adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Dori Rachmawani C251040301


(5)

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

: : :

Dori Rachmawani C251040301

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua

Ir. Gatot Yulianto, M.Si Anggota

Diketahui,

Ketua Departemen

Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc

Dekan Sekolah Pacasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(6)

Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur). Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan GATOT YULIANTO.

Potensi sumberdaya pesisir Kota Tarakan, hingga saat ini belum mengalami pengelolaan yang optimal. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu potensi yang dimiliki, dan saat ini mengalami degradasi yang sangat tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan akan memberikan manfaat terhadap masyarakat (welfare society) dan manfaat terhadap negara (welfare state). Tujuan penelitian yaitu 1) Mengetahui potensi dan permasalahan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove, 2) Merumuskan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Penelitian ini bersifat studi kasus (case study) dengan mengambil data primer dan data sekunder. Analisis yang dilakukan adalah analisis potensi biofisik, analisis NET (nilai ekonomi total) dan analisis MCDM (multy criteria decision making). Hasil penelitian diperoleh bahwa nilai kerapatan relatif jenis (RDi) api-api (Avicennia sp) sebesar 51,37% dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 48,63%, nilai frekuensi relatif jenis (RFi) api-api (Avicennia sp) sebesar 50% dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 50%, nilai penutupan relatif jenis (RCi) api-api (Avicennia sp) sebesar 49,86% dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 50,14%, berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa peranan api-api (Avicennia sp) lebih dominan dalam ekosistem dibanding dengan jenis prepat (Sonneratia sp) dengan indeks nilai penting (INP) untuk api-api (Avicennia sp) sebesar 151,23 dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 148,77. Nilai ekonomi total (NET) diperoleh Rp.1.112.305.240. Hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh bahwa penyebab utama terjadinya degradasi hutan mangrove yakni sedimentasi di muara sungai dan genangan air tawar yang tinggi. Untuk itu diperlukan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove kedepan. Berdasarkan hasil analisis MCDM diperoleh bahwa program rehabilitasi kawasan hutan mangrove merupakan alternatif utama dengan nilai keputusan 0,525, dan alternatif kedua yakni program pengelolaan DAS dengan nilai keputusan 0,418. Kata kunci: Pengelolaan Berkelanjutan, Ekosistem Mangrove, Desa Binalatung


(7)

the Tarakan City of East Kalimantan (Case Study Binalatung Village, Tarakan Timur Sub District). Under Supervisor of FREDINAN YULIANDA and GATOT YULIANTO.

Potency of coastal resources in the Tarakan City, until right now utalization unoptimalize. The mangrove ecosystem is potency there, and curently has degradation happened highly. The condition will be effect of sustainable development to the future. Resources management by optimal and sustainable will give benefit to community (welfare society) and well being to state (welfare state). The research aims were: 1) to know of potency and utilization problem of mangrove acosystem, 2) to alternative formulate of mangrove ecosystem management. The research is case study by use primer and secunder data. The method analysis used were biofisic potency analysis, total economic value (TEV), and multy criteria decision making analysis. The results of research were value of species relative density (RDi) Avicennia sp is 51.37% and Sonneratia sp is 48.63%, value of species relative frekuency (RFi) Avicennia sp is 50% Sonneratia sp is 50%, value of species relative covered (RCi) Avicennia sp is 49.86% Sonneratia sp is 50.14%, based on the resulsts so that found is contirbution of Avicennia sp is dominant more on mangrove ecosystem with important value index (INP) of Avicennia sp is 151,23 and Sonneratia sp is 148,77. The Total Economic Value (TEV) is Rp.1.112.305.240. The results observation and analyze found that is primery factor of degradation of mangrove ecosystem were sedimention and freshwater fully. The alternative of mangrove ecosystem management to the future based on of results from MCDM analysis were rehabilition programe and DAS management programe.


(8)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya


(9)

ALLHAMDULILLAH...,Segala puji dan syukur dihaturkan kepada Sumber daripada Kebenaran, Penggiat Semangat, Maha Penolong, Terbaik Sandaran, Maha Pemberi Hidayah, Maha Penyayang, ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala karena berkat-NYA penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan hasil penelitian ini. Penelitian yang berisi tentang informasi pengelolaan ekosistem mangrove di daerah pesisir pulau Kota Tarakan kajian studi kasus Desa Binalatung. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan tertinggi yang tak ternilai kepada :

1. Yth Bapak Dr. Fredinan Yulianda dan Bapak Gatot Yulianto, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas keikhlasan waktu, kesabaran, bimbingan, nasehat, arahan serta dorongan selama perencanaan, pelaksanaan hingga penulisan hasil penelitian

2. Yth Bapak Dr. Unggul Aktani selaku penguji, atas waktu, kritik dan saran 3. Yth Bapak Prof. Ismudi Muchsin, Dr. Ernan Rustiadi dan Dr. Jhon I

Pariwono yang telah memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan studi

4. Yth Bapak Prof. Rohmin Dahuri, selaku Ketua Program Studi Pengelolan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staff Dosen dan staff Tata Usaha 5. Ayahnda H. Saukani Daik, MM dan Ibunda Hj. Nur Asyikin, M.Si, kakanda

Rachmawati, S.Sos dan Muhammad Yusuf Halim, M.Si atas dukungan dan doa yang tak terhingga

6. Yth Bapak Drs Suriansyah. A, MAP, Pimpro MCRMP Kota Tarakan

7. Yth Bapak Muhammad Firdaus, M.Si selaku PD II FPIK Universitas Borneo Kota Tarakan serta Bapak Amrullah Taqwa, S.Pi (Novi & QQ) atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian

8. Yth Keluarga besar bapak Ahmad dan ibu (RT 12) Desa Binalatung

9. Rekan-Rekan Mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisi dan Lautan khususnya angkatan XI atas kerjasama dan kebersamaannya


(10)

11. Mba Handayani Boa, M.Si (EPN), Mba Nurul Ovia Oktawati (ESK), Mr Amin (PSL), Alm Bapak Nizamuddin, M.Si (SPL), Dimas Wiharyanto, M.Si (SPL), Mr Heppi Iromo, M.Si (BIOREP), Rizal Bahtiar (ESK) dan Mba Nana Perpus PKSPL atas dukungan, semangat dan bantuan selama penulis berada di IPB...Hanya ALLAH SWT yang dapat membalasNYA. Amin

Semoga semua yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari ALLAH SWT, Amin.

Bogor, Agustus 2007


(11)

Penulis adalah anak bungsu dari pasangan ayahnda H. Saukani Daik, dan Ibunda Hj. Nur Asyikin, dilahirkan pada taggal 17 Desember 1981 di Tanjung Selor Kalimantan Timur.

Pada tahun 1999 penulis lulus dari SMUN 1 Tanjung Selor, tahun 1999 penulis diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan Magister dan diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh studi di Institut Pertanian Bogor, penulis juga melaksanakan kegiatan Magang pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta.


(12)

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR TABEL... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengelolaan Bekelanjutan ... 6

Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ... 8

Pulau-pulau Kecil... 9

Ekosistem Hutan Mangrove... 11

Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove... 14

Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove... 20

Adaptasi mangrove Terhadap Habitatnya... 23

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove... 25

KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN... 27

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 30

Sifat dan tipe Penelitian ... 30

Alat yang Digunakan ... 31

Jenis dan Sumber Data ... 32

Pengumpulan Data ... 32


(13)

Potensi Fisik Wilayah ... 45

Potensi Sumberdaya Pesisir ... 49

Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi Sosial ... 50

Kegiatan Penangkapan ... 52

Kegiatan Pengolahan Hasil ... 55

Aksesibilitas, Sarana dan Prasarana... 55

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Ekosistem Bakau... 58

Degradasi Hutan Bakau Sedimentasi Muara Sungai... 60

Arus menyusur Pantai ... 61

Pasang surut ... 64

Kualitas Perairan ... 69

Aktivitas Masyarakat di Darat (Upland)... 71

Genangan Air Tawar Curah Hujan ... 79

Limpahan Air Buangan Masyarakat ... 80

Kadar Garam Rendah (Salinitas) ... 81

Potensi Hutan dan Nilai Manfaat Ekonomi Potensi Biofisik ... 83

Nilai Total Ekonomi... 86

Penentuan Prioritas Pengelolaan ... 94

Strategi Program Pengelolaan ... 99

Arahan Pengendalian Sedimen ... 101

KESIMPULAN... 112

DAFTAR PUSTAKA... 114


(14)

1. Grafik Penurunan Luasan Ekosistem Hutan Mangrove ... 4

2. Tiga Pilar Pengelolaan Berbasis Ekososiosistem ... 7

3. Hubungan Timbal Balik Antara Ekosistem Alam dan Sistem Sosial di Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan. 8 4. Zonasi Penyebaran Jenis Mangrove ... 18

5. Bentuk Spesifikasi Akar pada Mangrove ... 24

6. Hubungan Ketergantungan dalam Ekosistem Mangrove ... 26

7. Kerangka Pendekatan Masalah... 29

8. Peta Lokasi Penelitian ... 31

9. Desain Metode Transek Kuadrat ... 33

10. Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV)... 37

11. Diagram Analisis SWOT... 43

12. Fisiografi Pulau Kota Tarakan... 46

13. Formasi Batuan Pulau Kota Tarakan... 47

14. Ilustrasi Alat Tangkap Tugu (Trap Net) ... 53

15. Aksesibilitas Berupa Sarana Transfortasi... 56

16. Wadah Penampungan Air dan Bangunan MCK... 56

17. Bangunan Sekolah Dasar... 57

18. Ekosistem Mangrove Pesisir Utara Desa Binalatung ... 59

19. Kondisi Ekosistem Mangrove ... 60

20. Lokasi Aktivitas Masyarakat Penambang ... 62

21. Kecepatan Rata-rata Arus Permukaan... 63

22. Tipe Pasang Surut Harian Ganda Kota Tarakan... 65

23. Kondisi Pasang Surut Kota Tarakan tahun 2005... 67

24. Kontribusi Sektor Galian terhadap PDRB Kota Tarakan... 71

25. Aktivitas Penambangan Pasir dan Krikil... 73

26. Kondisi Curah Hujan Kota Tarakan tahun 2005 ... 79

27. Indeks Nilai Penting (INP) ekosistem mangrove ... 85

28. Lokasi Pembuatan Breakswaters Batu Ampar, Pontianak ... 93


(15)

32. Kontribusi Kriteria terhadap Prioritas Pengelolaan... 97 33. Propagul dari Jenis Api-api (Avicennia spp) dan Prepat (Sonneratia spp) . 103 34. Konstruksi Bangunan Persemaian Bibit Mangrove ... 106 35. Konstruksi Alat Penahan Ombak (APO)... 107 36. Sketsa Penanaman Mangrove dengan Pembanagunan APO... 108


(16)

Halaman

1. Penyebaran Jenis-jenis Mangrove Berdasarkan Kelas Genangan ... 14

2. Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove... 22

3. Alat-alat yang Digunakan Dalam Penelitian ... 31

4. Jenis Data Primer dan Data Sekunder ... 32

5. Definisi dan Contoh Komposisi Total Nilai Ekonomi (TEV)... 37

6. Skala Banding secara Berpasangan ... 42

7. Matrik SWOT ... 43

8. Luas dan Sebaran Ekosistem Mangrove... 48

9. Data Kependudukan Desa Binalatung... 50

10. Hasil Tangkapan Tugu (Togo) ... 54

11. Kondisi Hutan Mangrove dan Kriteria Baku KLH ... 59

12. Parameter Perairan Pesisir Kota Tarakan ... 69

13. Volume Aktivitas Penambang Pasir ... 72

14. Jumlah Pembudidaya dan Luas Lahan Budidaya ... 74

15. Lokasi Usaha Penambangan Pasir Darat ... 78

16. Kualitas Air Genangan di Sekitar Mangrove Desa Binalatung... 82

17. Jumlah Individu, Diameter Batang dan Tipe Substrat... 83

18. Nilai RDi, RFi, RCi, Indeks Nilai Penting ... 84

19. Identifikasi Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove ... 86

20. Total Nilai Manfaat Langsung... 88

21. Total Nilai Manfaat Tidak Langsung ... 90

22. Nilai Ekonomi Total ... 92

23. Nilai Pembobotan terhadap Sub Kriteria... 94

24. Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove dengan Rehabilitasi ... 98

25. Bobot, Rating dan Skor untuk Faktor Internal (IFAS) ... 99


(17)

Latar Belakang

Kawasan pulau Kota Tarakan merupakan salah satu pulau yang berada di Propinsi Kalimantan Timur bagian utara yang kaya akan potensi daerah. Selain secara geografis pulau yang memiliki posisi sangat strategis sebagai jalur transportasi skala regional maupun skala internasional pulau ini juga memiliki potensi sumberdaya alam yang secara optimal belum termanfaatkan, baik yang bersifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource) maupun sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource) serta jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut.

Pulau Kota Tarakan yang terletak diantara 117o34’ garis bujur barat sampai dengan 117o38’ garis bujur timur dan antara 3o19’ garis lintang utara sampai dengan 3o20’ garis lintang selatan, dengan luas 657 km2 (daratan seluas 250,80 km2 dan lautan seluas 406,53) memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir Kota Tarakan diantaranya adalah hutan mangrove (mangrove forests), karang tepi (fringging reefs) padang lamun (seagrass beds), dan pantai berpasir (sandy beach), yang mana ekosistem-ekosistem tersebut menyediakan sumberdaya alam produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata.

Sebagai suatu ekosistem pesisir utama pulau Kota Tarakan keberadaan ekosistem mangrove sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting baik manfaat langsung (direct) maupun manfaat tidak langsung (indirect). Manfaat tersebut diantaranya secara fisik, khususnya dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang dan intrusi air laut. Mangrove juga memainkan peranan penting dalam melindungi pesisir dari terpaan badai. Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Zonasi sepanjang pantai mangrove


(18)

tidak hanya penting untuk memperluas pantai dan membentuk pulau, tetapi juga melindungi pantai dari pengikisan secara dahsyat yang ditimbulkan oleh badai tropika yang hebat. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove. Peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan keberadaan pulau tersebut. Sebaliknya pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu oleh ombak dan arus musiman selain itu jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata (Naamin, 1991). Selain itu ekosistem ini juga memiliki nilai ekonomi yang bersifat long term (jangka panjang dengan tingkat diskonto rendah) sedangkan sumberdaya migas memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term (jangka pendek dengan tingkat diskonto tinggi). Walaupun kontribusi ekonomi nyata ekosistem mangrove kurang signifikan namun kontribusi nyata dan tidak langsung (salah satunya seperti pelindung pantai dan pendukung perairan pesisir) tinggi dan kontinyu (Bengen, 2006).

Obsesi pembangunan jangka panjang Kota Tarakan di era Otonomi Daerah ialah menjadikannya sebagai salah satu little singapore atau second singapore diantara little singapore yang ada di Indonesia. Obsesi ini di bangun karena diharapkan mampu menjadi daya ungkit pembangunan Indonesia menjadi “the big singapore” serta dapat divisualisasikan oleh masyarakat pulau Kota Tarakan berdasarkan kondisi geografisnya. Obsesi ini terlihat dari pesatnya peningkatan PAD dari tahun ketahun. Pada tahun 2001 nilai PAD sebesar Rp.7.866.451.361 dan jumlah tersebut meningkat pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp.12.142.940.000. Peningkatan PAD ini menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam membangun daerah. Mengingat tujuan pembangunan Kota Tarakan adalah menjadikannya sebagai salah satu ”little singapore” diantara little singapore lainnya yang ada di Indonesia. Sementara itu, disisi lain pertambahan penduduk Kota Tarakan yang cukup pesat dari tahun ke tahun memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja di bidang usaha (investasi). Menurut BKCSKB (2005) bahwa jumlah penduduk Kota Tarakan pada tahun 2000 tercatat sekitar 116.995 jiwa dan pada tahun 2005 jumlah tersebut bertambah menjadi 168.331 jiwa atau sekitar 43,88 %.


(19)

Pembangunan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat tentunya akan memberikan pengaruh nyata terhadap keberadaan ekosistem mangrove yang ada. Akibatnya ialah jika daya dukung lingkungan (carrying capacity) mangrove tidak lagi dapat menunjang aktivitas tersebut maka degradasi lingkungan akan semakin parah. Isu utama dalam upaya pelaksanaan pembangunan saat ini adalah mengenai masalah lingkungan. Pembangunan yang selama ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan aspek lingkungan terbukti berdampak buruk tidak saja pada aspek ekologi sumberdaya, tapi juga pada aspek sosial ekonomi masyarakat seperti bencana banjir, abrasi pantai, menurunkan hasil tangkapan berupa ikan dan udang di perairan lepas pantai, pencemaran laut, erosi garis pantai, intrusi kadar garam dan lain sebagainya. Menjaga sumber kekayaan alam yang merupakan nikmat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah kewajiban setiap manusia. Barang siapa yang hendak mensyukuri nikmat tersebut, haruslah menjagannya dari pencemaran, kehancuran serta bentuk-bentuk lain yang termasuk dalam kategori perusakan diatas muka bumi (Al Qardhawi, 2001).

Perumusan Masalah

Mangrove sebagai ekosistem utama pesisir pulau Kota Tarakan memiliki fungsi yang sedemikian kompleks sebagai penunjang kehidupan dan keberadaan daerah ini. Namun peranan yang multikompleks tersebut tidak dapat berfungsi secara optimal menopang lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan daerah menuju little singapore, akibatnya luasan hutan mangrove Kota Tarakan terus mengalami penurunan yang signifikan selama dua tahun terkhir. Laporan diperoleh dari hasil kegiatan MCRMP (2004) dan Dinas Kehutanan Kota Tarakan (2005). Secara grafis penurunan luasan eksositem hutan mangrove dapat dilihat pada gambar 1.

Degradasi ekosistem mangrove Kota Tarakan berdasarkan penyebabnya dapat diidentifikasi dari 2 (dua) faktor, yakni faktor internal seperti pemanfaatan secara tradisional melalui pengambilan hasil-hasil hutanya secara langsung melampaui batas dan konversi lahan untuk berbagai peruntukan. Selanjutnya penyebab dari faktor ekternalnya (di luar habitatnya) seperti penggundulan hutan


(20)

di daerah aliran sungai, pembangunan waduk penampung air di daerah hulu atau memindahkan aliran sungai. Departemen Kehutanan (2004) memberikan gambaran bahwa ancaman serius berasal dari manajemen DAS yang kurang baik dan meningkatnya bahan pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk kedalam daur hidrologi.

1250

766.6

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

2004 2005

L

u

asan

M

a

n

g

ro

ve

(h

a)

Gambar 1. Grafik Penurunan Luasan Ekosistem Hutan Mangrove

Isu kasus kematian massal (dieback) terhadap ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung diakibatkan oleh genangan air tawar dan akar penyebabnya berasal dari faktor ekternal (diluar habitatnya) yakni berupa aktivitas masyarakat upland yang kurang tertata dengan baik sehingga dampak yang ditimbulkan berupa sedimentasi muara sungai. Proses sedimentasi muara sungai secara langsung menghambat terjadi proses percampuran air tawar dan air laut yang dibutuhkan oleh ekosistem mangrove sehingga kematian massal pada ekosistem mangrove tidak dapat dihindari.

Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah yang dalam hal ini selaku pengambil kebijakan daerah melakukan langkah-langkah aktif untuk mengurangi resiko degradasi lingkungan mangrove dengan perencanaan sampai pelaksanaan aksi pengelolaan melalui kegitan MCRMP khusus Kota Tarakan tahun 2001. Langkah-langkah aktif yang telah diupayakan diantaranya ialah dengan melakukan rehabilitasi kawasan mangrove, pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pembangunan infrastruktur desa. Namun upaya ini dirasa kurang mampu menjawab permasalahan krusial yang terjadi khususnya di kawasan Desa Binalatung sehingga diperlukan langkah-langkah yang lebih konkrit yang


(21)

dibarengi dengan kajian ilmiah sehingga diharapkan mampu mengurangi permasalahan degradasi lingkungan khususya ekosistem mangrove yang terletak di pesisir utara Desa Binalatung.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah:

1. Mengetahui potensi dan isu permasalahan ekosistem mangrove peisisr utara Desa Binalatung

2. Merumuskan alternatif program pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung

Manfaat penelitian adalah:

1. Sebagai acuan program pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Kota Tarakan

2. Sebagai bahan dan informasi terbaru dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan bidang kajian pengelolaan ekosistem mangrove


(22)

Konsep Pengelolaan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987) dalam Dahuri et al., (2004). Selanjutnya Bengen (2004) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan visi dunia internasional sudah saatnya juga merupakan visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi meganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian, generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) yang sama atau kalau dapat lebih baik dari pada generasi yang hidup sekarang.

Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batasan yang luwes (fleksibel) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) dimensi ekologis, (2) dimensi sosial ekonomi budaya, (3) dimensi sosial politik, dan (4) hukum dan kelembagaan. (Dahuri et al., 2004).

Konsep pengelolaan lain yang berbasis Sosial-Ekosistem yang juga telah diperkenalkan oleh Meffe et al., (2002) dalam INRR (2005) menggambarkan bahwa pada dasarnya pendekatan ini mengintegrasikan antara pemahaman ekologi dan nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini tujuan pengelolaan berbasis ekosistem adalah memelihara, menjaga kelestarian dan integritas ekosistem sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia. Rejim kolaboratif untuk mencapai


(23)

tujuan tersebut adalah tiga pilar pengelolaan berbasis ekologi, sosial ekonomi dan institusi (Gambar 2). Dari gambar tersebut, terdapat 4 konteks kebijakan yang masing-masing merupakan irisan dari dua perspektif tersebut.

Gambar 2 Tiga Pilar Pengelolaan Berbasis Sosial-Ekosistem (Meffe et al., 2002) Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa daerah A adalah zona otoritas pengelolaan (zone of management authority) dimana institusi pengelola mendapatkan mandat dari masyarakat untuk melakukan regulasi terhadap pengambilan keputusan yang terkait dengan ekosistem. Daerah B disebut sebagai darah kewajiban masyarakat (zone of societal obligations) dimana kebijakan yang diambil institusi menitikberatkan pada kepentingan masyarakat. Sementara itu daerah C adalah daerah pengaruh (zone of influence) di mana dinamika keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial ekonomi terjadi dalam konteks proses dan bukan pada regulasi atau otoritas. Dengan kata lain proses saling mempengaruhi antar keduanya menjadi fokus utama dari perspektif daerah C. Terakhir daerah D sering pula disebut sebagai daerah interaksi bersama (zone of win-win-win partnership) di mana fokus utama pembangunan berbasis pada sistem sosial-ekologi berada. Dalam konteks ini, pandangan ketiga pilar pengelolaan berbasis sosial-ekosistem menjadi sama penting dan diwujudkan dalam kebijakan pembangunan yang komprehensip dan terpadu.


(24)

Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pembangunan secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Cicin-Sain dan Knect (1998) menyatakan bahwa pengelolaan terpadu adalah suatu proses dinamis dan kontinyu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan kawasan pesisir lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Secara tekhnis didefinisikan bahwa suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termasuk tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya.

Gambar 3 Gambar Hubungan Timbal Balik Antara Ekosistem Alam dan Sistem Sosial di Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan (Dahuri, 2006)

Sistem Alam (Ekosistem Pesisir & Lautan) Ekstraksi SDA Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan Jasling Aktivitas Pembangunan Sistem Sosial (Manusia) Limbah Overeksploitasi Sumberdaya Alam Degradasi Fisik Habitat Modifikasi Bentang Alam Pencemaran Tangkap Kepunahan Jenis

Erosi / Sedimentasi

Pemantauan & Evaluasi

Kebijakan dan program Pembangunan : 2 Ekonomi 2 Ekologi 2 Sosial Barang Jasa


(25)

Konteks keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi yakni dimensi sektoral, dimensi bidang ilmu dan dimensi keterkaitan ekologis (Dahuri et al., 2004).

1. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai tingkat pusat (vertical intergration)

2. Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu

3. Wilayah pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem yang satu sama lainnya saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan dan kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga di pengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia (up lands areas) maupun lautan lepas (oceans). Keterpaduan diperlukan karena memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkage) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir

Pulau-pulau Kecil

Batasan pulau kecil sebagaimana yang dituangkan dalam UNCLOS (1992, Bab VIII Pasal 121 ayat 1) ” Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada / muncul di atas permukaan air pasang tinggi”. Selanjutnya berdasarkan SK Mentri Kelautan dan Perikanan No.41 tahun 2000 yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess dalam Bengen at al., (2006) namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Alternatif batasan pulau kecil yang dikemukakan pada pertemuan CSC, 1984 menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2 .


(26)

Bila batasan pulau kecil didasarkan pula pada pemanfaatan sosial ekonomi dan demografi, maka pemanfaatan pulau kecil dengan ukuran kurang dari 2000 km2 hendaknya berbasis pada konservasi. Dengan berpijak pada basis konservasi maka hanya sekitar 50% dari luas area pulau kecil dimaksud yang seyogyanya dimanfaatkan bagi berbagai peruntukan sosial ekonomi dan demografi. Apabila mengacu pada batasan pulau kecil yang ditetapkan oleh DKP tahun 2001 dan pemanfaatan yang berbasis konservasi, maka pulau kecil dengan ukuran kurang dari 2000 km2 hendaknya berjumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 20.000 jiwa.

Secara topografi pulau daratan Kota Tarakan termasuk dalam kelompok pulau alluvium. Pulau alluvium umumnya terbentuk didataran pantai yang landai sebuah pulau atau di depan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan laju erosi oleh arus dan gelombang laut. Potensi penyebaran air tanah ditemukan pada ekuifer pasir di alur sungai atau di pasir sempadan pantai dan dipengaruhi oleh perubahan musim. Sedimen pulau alluvium sebagian terbentuk oleh endapan sedimen klasik kasar dan sebagian berpasir dan lempung serta ada juga yang bergambut dan biasa terdapat alur sungai kecil, dengan tumbuhan nipah dan mangrove terlihat mendominasi. (Bengen et al., 2006)

Beberapa karakteristik yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan kedalam aspek lingkungan hidup, sosial-ekonomi dan budaya. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain:

(1) Pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area) yang sempit, sehingga sumber air tanah yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh intrusi air laut, terkontaminasi akibat netrifikasi dan kekeringan

(2) Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka (ratio antara panjang garis pantai dengan luas area relatif besar sehingga lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh aksi gelombang yang berasal dari badai (3) Spesises organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat

endemik dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh organisme tertentu yang didatangkan dari luar pulau


(27)

(4) Pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam terrestrial yang sangat terbatas, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun dengan kehutanan dan pertanian

Selanjutnya karakteristik yang berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi dan budaya, menurut Hein (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain adalah:

(1) Pulau-pulau kecil memiliki infrastruktur yang sangat terbatas sehingga sulit mengundang kegiatan bisnis dari luar pulau (diseconomies of scale)

(2) Pulau-pulau kecil memiliki pasar domestik dan sumberdaya alam yang kecil, sehingga iklim usahanya kurang kompetitif. Hal ini akan mempersulit terjalinnya kerjasama melalui perdagangan internasional yang sangat kompetitif

(3) Kegiatan ekonomi di pulau-pulau kecil sangat terspesialisasi, yakni untuk ekspor dan tergantung pada impor. Secara historis hal ini mungkin di pengaruhi oleh kebiasaan pada zaman kolonial, dimana wilayah daratan pulau-pulau kecil hanya dikembangakan untuk penanaman rempah-rempah, kelapa atau coklat

(4) Pulau-pulau kecil biasanya sangat tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai tempat yang posisinya bernilai strategis

(5) Penduduk pulau-pulau kecil jumlahnya tidak banyak dan biasanya mereka saling mengenal satu sama lain serta terikat oleh hubungan persaudaraan. Hal ini akan menyulitkan pengambilan kebijakan, proses administrasi, dan manajemen program kegiatan

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Fungsi terpenting mangrove adalah sebagai penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam


(28)

mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya.

Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove adalah mangrove. Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988). Mangrove adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1993). Kita seringkali mendengar dan menyebut: “mangrove”. Istilah mangrove adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove sebagai mangrove atau secara singkat disebut mangrove. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon (seperti : Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Lumnitzera spp., Exoecaria spp., Xylocarpus spp., Aegiceras spp., Scyphyphora spp. dan Nypa spp.) yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2004).

Menurut Snedaker (1978) mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketingian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae, 1993).

Karakteristik habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air yang bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil).


(29)

Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al, (2005) terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lain mengembangkan sistem akar nafas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya.

Mangrove dapat berkembang sendiri yakni tempat dimana tidak terdapat gelombang, kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan suatu daerah.

Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928), Chapman (1994) dan de Hann (1931) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada daerah yang bersangkutan. (Tabel 1)


(30)

Tabel 1 Penyebaran Jenis-jenis Pohon Mangrove Berdasarkan Kelas Genangan Tipe Pasang/Kelas Penggenagan Watson (1928) Kelas Penggenangan (Salinitas dan Frekuensi) Frekuensi Pengenangan Chapman (1944) Jenis Pohon Dominan

1. Pasang tingi tertinggi

A. Payau sampai asin, salinitas 10-30 ppt,

selalu tergenang A1. 1-2 Kulur, min 20 hr/bln

530 - 700 kali Avicennia spp

Sonneratia spp

2. Pasang tinggi rata-rata

A2. 10-19 hr/bln

400 - 530 kali/th Rhizophora spp

Bruguiera spp 3. Pasang tinggi

normal

A3. 9 hr/bln

Xylocarpus spp

Heritiera spp 4. Pasang tinggi

musim

A4. Beberpa hr/bln 150 - 250 kali/th Lumnitzera spp

Bruguiera spp

Scyphypora spp 5. Pasang tinggi badai B. Air tawar sampai

payau

B1. Jarang tergenang pasang

4-100 kali/th jenis-jenis 'marginal' halophyta

Nypa frutican Oncosperma,

Carbera Sumber: Kusmana (2005)

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove

Menurut Dahuri et al., (2004) bahwa batasan lingkungan utama yang dapat memberikan pengaruh terhadap kelestarian mangrove (menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove), yaitu:

1. Suplai air tawar dan salinitas

Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dan ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar bergantung pada: (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadinya modifikasi masukan air tawar, tidak hanya mengubah kadar garam yang ada, tetapi dapat mengubah aliran nutrien dan sedimen.


(31)

2. Pasokan Nutrien

Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: (a) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar dan (b) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus.

3. Stabilitas Substrat

Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies mangrove tergambar dari kemampuan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritis meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh mangrove, (b) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic).

Kusmana et al., (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni, sebagai berikut:

1. Fisiografi Pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik strukur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar mangrove yang akan tumbuh

2. Iklim 2.1 Cahaya

Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan


(32)

mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa:

- Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rizophora mucronata dan Rhizophora apiculata

- Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza

- Intensitas cahaya 75% menigkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora mucronata, Rhizophra apiculata, dan Bruguiera gymnorrhiza

2.2 Curah hujan

Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun.

2.3 Suhu udara

Suhu penting dalam proses fisiologis seperti fotosíntesis dan respirasi. Kusmana (1993) mendapatkan bahwa mangrove yang terdapat di bagian Timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26,3oC pada bulan Desember sampai dengan 28,7oC. Hutching dan Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20oC, Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera racemosa petumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28oC, suhu optimum Bruguiera spp. 27oC, Xylocarpus spp. bekisar antara 21-26oC dan Xylocarpus granatum 28oC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20oC dan pebedaan suhu musiman tidak melebihi 5oC kecuali di Afrika Timur dimana perbedan suhu musiman mencapai 10oC.


(33)

2.4 Angin

Angin berpengaruh tehadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman

3. Pasang Surut

Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar tehadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering tergenang

4. Gelombang dan Arus

Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang

5. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan Avicennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt, Ceriops spp 72 ppt, Sonneratia spp 44 ppt, Rhizophora apiculata 65 ppt dan Rhizophora stylosa 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan salt-demanding, oleh karenanya mangrove dapa tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor


(34)

sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam.

Berdasarkan salinitas kita mengenal zonasi mangrove sebagai berikut (De Hann dalam Russell dan Yonge, 1968) dalam Bengen, (2004):

Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ppt:

- Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh

- Area yang terendam 10-19 kali per bulan, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marina), Sonneratia spp dan dominan Rhizophora spp

- Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, ditemukan Rhizophora spp, Bruguiera spp

- Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup Zona Air Tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppt : - Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi

Nipah

- Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan


(35)

6. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut beperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervareasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae (1978) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut di mangrove 17-34 mg/l, lebih rendah dibanding di luar mangrove yang besarnya 4,4 mg/l.

7. Tanah

Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi daerah hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut.

8. Nutrien

Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa orgaisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut).

9. Proteksi

Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindungi dari gelombang yang kuat dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove bependapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan


(36)

arus yang semuannya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh dari fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut.

Faktor Pembatasan Lingkungan Mangrove

Supriharyono (2000), mengemukakan bahwa faktor-faktor pembatas lingkungan mangrove diantaranya adalah berupa faktor fisika-kimia dan adanya aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.

1. Faktor Fisika-Kimia

Mangrove diketahui memiliki daya adaptasi fisiologi yang sangat tinggi. Mereka tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan tinggi, fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anaerob (tanpa udara). Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akar-akarnya. Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar mereka dari atmosfer. Walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia di lingkungannya.

2. Aktivitas Manusia 2.1 Pencemaran

Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan

2.2 Konversi Lahan Hutan Budidaya Perikanan

Konversi mangrove untuk bididaya perikanan, terutama untuk tambak ikan menyebabkan terdegradasinya mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas


(37)

Pertanian

Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas pada sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan oleh penduduk di kawasan pesisir

Jalan Raya, Industri serta Jalur dan Pembangkit Listrik

Area mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasa mangrove. Industri perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga telah mengkonversi hutan ini dalam areal yang cukup luas

Produksi Garam

Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mangrove yang dikonversi yang tingkat kerusakannya bersifat irreversible

Perkotaan

Urbanisasi menybabkan terjadinya konversi mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi pemukiman, mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain

Pertambangan

Pertambangan, terutama minyak bumi cukup banyak dilakukan di areal mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran dan pemukiman pekerja. Minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove

Penggalian Pasir

Penggalian pasir menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas


(38)

2.3 Penebangan (Pemanenan Hasil Hutan) yang Berlebihan

Penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar mangrove.

Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia Terhadap ekosistem Mangrove

Kegiatan Dampak Potensial

1. Tebang Habis.

2. Penggalian aliran air tawar,

misalnya pada pembangunan irigasi.

3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman dan lain-lain.

4. Pembuangan sampah cair

5. Pembuangan sampah padat

6. Pencemaran minyak

tumpahan

7. Penebangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar mangrove

2 Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove 2 Tidak berfungsinya daerah mencari makanan

dan pengasuhan

2 Peningkatan salinitas mangrove 2 Menurunnya tingkat ksuburan hutan

2 Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove

2 Terjadi pecemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove 2 Pendangkala perairan pantai

2 Erosi garis pantai dan intrusi garam

2 Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S.

2 Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove

2 Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.

2 Kematian pohon mangrove

2 Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan)

2 Pengendapan sediemen yang dapat mematikan pohon mangrove.


(39)

Adaptasi Mangrove Terhadap Habitatnya

Tumbuhan pada habitat mangrove telah mengembangkan beberapa penyesuaian sehingga dapat mempertahankan diri di dalam lingkungan yang berkadar garam tinggi dan tergenang air, seperti:

1. Adaptasi terhadap Konsentrasi Garam Tinggi

Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove di kelompokkan menjadi: (a) salt-excreting mangrove (Avicennia spp, Aegiceras spp, Aegialitis spp) dan (b) non-salt excreting mangrove (Rhizophora spp, Bruguiera spp, Sonneratia spp, dan lain-lain). Sehubungan dengan ini Hutching dan Saeger (1987) dalam Kusmana et al, (2005) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sbagai berikut:

1.1 Sekresi Garam (salt extrusion/salt secretion)

Tumbuhan mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengeksresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia spp, Sonneratia spp, Aegiceras spp, Aegialitis spp, Acanthus spp, Laguncularia spp dan Rhizophora spp (melalui unsur-unsur gabus pada daun)

1.2 Mencegah Masuknya Garam (salt exclusion)

Tumbuhan mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora spp, Ceriops spp, Sonneratia spp, Avicennia spp, Osbornia spp, Bruguiera spp, Excoecaria spp, Aegiceras spp, Aegalitis spp, dan Acrostichum spp.

1.3 Akumulasi Garam (salt accumulation)

Tumbuhan mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun menyimpan garam umumnya sekulen dan pengguguran daun sekulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria spp, Lumnitzera spp, Avicennia spp, Osbornia spp, Rhizophora spp, Sonneratia spp dan Xylocarpus spp.


(40)

2. Adaptasi terhadap Substrat Lumpur dan Kondisi Tergenang

Untuk menghadapi habitatnya berupa substrat lumpur dan selalu tergenang (reaksi anaerob), tumbuhan mangrove beradaptasi dengan membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove tersebut adalah sebagai berikut :

2.1 Akar Pasak (pneumatophore)

Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang ke luar arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avcennia spp, Xylocarpus spp dan Sonneratia spp.

2.2 Akar Lutut (knee root)

Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh kearah permukaan substrat. Kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut ini terdapat pada Bruguiera spp.

2.3 Akar Tunjang (stilt root)

Akar tunjan merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp. 2.4 Akar Papan (buttress root)

Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng mirip struktur silet. Akar ini tedapat pada Heritiera. 2.5 Akar Gantung (aerial root)

Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rizophora sp, Avicennia sp, dan Acanthus sp.

1 2

3 4

Gambar 5 Bentuk Spesifikasi Akar pada Bakau (Dori.R, 2006) (1. Akar Papan, 2. Akar Lutut, 3. Akar Tongkat, 4. Akar Cakar Ayam)


(41)

Fungsi dan Manfaat Ekologis

Sebagai mana tumbuhan lainnya, mangrove mengkonversi cahaya matahari dan unsur hara (nutrien) menjadi jarigan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Bengen (2004), komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan tumbuhan pada umumnya, bukan tumbuhan itu sendiri melainkan detritus yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya).

Nutrien mangrove di bagi atas nutrien anorganik dan detritus organik. Nutrien anorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien anorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikulat dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut).

Sebagian detritus didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi nutrien yang terlarut dapat secara langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton, algae maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagian lain dari detritus dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala makanan (CSC/NOAA, 2001 dalam Prihatini, 2003)


(42)

Gambar 6. (a) Hubungan Ketergantungan dalam Ekosistem Mangrove. (b) Asosiasi Ekosistem Mangrove. (DepHut, 2006)

Fungsi ekologis mangrove sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, diantaranya adalah:

- Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (run off)

- Sebagai penghasil sejumlah besar detritus

- Sebagai daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai

(a)


(43)

Aktivitas-aktivitas pengembangan wilayah dalam rangka menuju little singapore memberikan kontribusi yang cukup tinggi bagi peningkatan PDRB pulau Kota Tarakan namun di sisi lain tingginya nilai ekonomi dari dampak lingkungan yang timbul akibat adanya aktivitas-aktivitas tersebut juga tak dapat dihindari. Secara logis kedua fenomena tersebut saling memainkan peranan penting bagi kemajuan pembangunan dan eksistensi suatu pulau. Menurut Bengen (2006) bahwa fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan laut di pulau-pulau kecil adalah sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan.

Pengelolaan berkelanjutan berbasis ekosistem menjadi instrumen penting dalam menunjang aktivitas ekonomi pulau Kota Tarakan. Dimana pada dasarnya konsep ini menggambarkan bahwa pulau Kota Tarakan dengan wilayah laut yang luas, merupakan himpunan integral dari komponen hayati dan nir-hayati yang mutlak dibutuhkan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Bengen, 2006). Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsi saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang mana apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsi maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan fungsi kawasan pulau Kota Tarakan sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam ekosistem pulau tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan untuk menelaah isu degradasi ekosistem mangrove yakni dengan menduga penyebab kematian masal (dieback) pada mangrove disebabkan oleh kadar salinitas air genangan yang rendah disekitar ekosistem tersebut. Kadar salinitas yang rendah utamanya dipicu oleh sedimentasi muara sungai dan genangan air tawar. Dimana kedua hal tersebut secara langsung dapat menghambat terjadinya proses sirkulasi air laut dan tawar yang sangat dibutuhkan oleh ekosistem mangrove, sehingga pada akhirnya kematian massal (dieback) tak dapat dihindari.


(44)

Langkah kedua ialah menganalisis potensi ekosistem yang tersisa dengan menggunakan analisis biofisik ekosistem mangrove dan penilaian ekonomi total dari ekosistem tersebut. Dari kedua analisis tersebut diperoleh gambaran persentase penutupan dan kerapatan pohon mangrove (pohon/ha) serta nilai ekonomi total yang dimiliki oleh ekosistem mangrove yang tersisa guna menentukan arahan program pengelolaan selanjutnya yang akan dilaksanakan untuk mengurangi degradasi ekosistem.

Langkah ketiga ialah membuat rencana strategi dan program pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung berdasarkan atas isu kematian massal (dieback) yang terjadi dan analisis potensi ekosistem mangrove aktual dengan menggunakan analisis pengambilan keputusan berdasarkan pada banyak kriteria atau dapat disebutkan Multy Criteria Decision Making (MCDM). Dalam melakukan analisis MCDM semua komponen analisis di input untuk mendukung kerangka pengelolaan terhadap ekosistem mangrove, baik data yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif. Komponen yang di input meliputi: dimensi ekologi-ekosistem, dimensi sosial-ekonomi masyarakat dan dimensi kelembagan pemerintah berupa PERDA yang berkaitan dengan wilayah pesisir Kota Tarakan. Dari analisis MCDM diperoleh tingkat prioritas kepentingan terhadap strategi pengelolaan berkelanjutan ekosistem mangrove yang di rekomendasikan.

Dalam program pengelolaan berkelanjutan khususnya Desa Binalatung diharapkan pada tujuan akhir akan di capai pengelolaan yang diarahkan pada perlindungan kawasan atau konservasi ekosistem mangrove. Konteks kawasan perlindungan yang direkomendasikan bukan berarti tidak ada pemanfaatan namun sebaliknya kawasan yang sifatnya sustainable use. Hal ini utamanya bagi masyarakat setempat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dari hasil perikanan yang disediakan oleh ekosistem mangrove. Secara terperinci kerangka pendekatan masalah untuk mengurangi degradasi ekosistem bakau Desa Binalatung dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.


(45)

Gambar 7 Kerangka Pendekatan Masalah

Degradasi Ekosistem Mangrove Sedimentasi

muara sungai

Strategi dan Program Pengelolaan Mangrove

Desa Binalatung Analisis

Strategi Pengelolaan

Analisis Potensi dan Nilai Manfaat

Multy Criteria Decision Making

(MCDM)

Sustainable Use Genangan Air

Tawar

Ekosistem Mangrove

Perlindungan dan Rehabilitasi Kawasan mangrove Pengelolaan Ekosistem Mangrove Desa Binalatung

yang Berkelanjutan

(Yes)

(No) Salinitas


(46)

(47)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2006 di Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa: (i) belum optimalnya program pengelolaan ekosistem mangrove yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Tarakan melalui kegiatan MCRMP; (ii) tingkat kerusakan sumberdaya ekosistem mangrove tergolong tinggi. Lokasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Sifat dan Tipe Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study). Penelitian ini adalah penelitian yang menjelaskan bahwa: studi kasus adalah arah mikro (menyorot satu atau beberapa kasus) dan studi kasus adalah strategi penelitian yang bersifat multi-metode. Lazimnya penelitian kasus akan memadukan metode pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. (Stake, 1994:236; Adelman dkk. dikutip Nisbet dan Watt, 1994: 4; Yin, 1996: 18 dalam Sitorus, 1998).

Kajian studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini merujuk pada tipe studi kasus instrumental yang menyatakan bahwa kajian atas suatu kasus khusus untuk memperoleh wawasan atas suatu isu atau wawasan untuk menyempurnakan teori. Dalam hal ini fungsi kasus adalah sebagai pendukung atau instrument untuk membantu peneliti dalam memahami suatu permasalah tertentu. (Stake, 1994; 237 dalam Sitorus, 1998).

Strategi studi kasus merupakan metode yang dianggap tepat untuk sebuah studi yang berkaitan dengan ”how” dan ”why”, serta tepat pula bagi para peneliti yang hanya memilki peluang sangat kecil atau tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 1997 dalam Lenggono, 2004).


(48)

Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Desa Binalatung) Alat yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan selama mengadakan survei lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian

No Alat Fungsi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

GPS Roll Meter Alat Tulis Tali Rafia

Hand Held Refractometer Hanna Instrument Handycam

Buku identifikasi mangrove Kuisioner

Mengetahui posisi atau titik pengamatan Membuat transek kuadrat

Sarana pengumpulan data Membuat transek kuadrat Mengetahui Salinitas Mengetahui suhu Dokumentasi

Mengetahui jenis mangrove

Untuk memperoleh informasi dari berbagai pihak yang terkait (masyarakat, stakeholders dan institusi pemerintah yang terkait)

Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri data potensi dan manfaat keberadaan hutan mangrove serta data sosial ekonomi masyarakat Desa


(49)

Binalatung, sementara data sekunder terdiri dari sumber-sumber yang menunjang penelitian seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, PERDA yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove, laporan-laporan yang berasal dari instansi terkait. Secara lengkap data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis Data Primer dan Data Sekunder

No Data Primer Data Sekunder

1.

2.

3.

Ekosistem Mangrove

a. Potensi (jenis mangrove, jumlah tegakan serta jenis substrat)

b. Nilai Manfaat Ekonomi (manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan)

Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Binalatung.

Sosial Ekonomi Masyarakat Penambang Pasir Juata.

Kondisi oseanografi daerah kajian Laporan kegiatan MCRMP Kondisi topografi dan fisiografi Kota Tarakan dalam Angka Perda Tata Ruang 2006

Perda No.4 th 2002 ttg larangan dan pengawasan hutan mangrove Kota Tarakan

Perda No.18 th 2002 ttg ijin usaha pertambangan bahan galian gol C

Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi: (1) data ekosistem mangrove, dan (2) data sosial ekonomi masyarakat setempat. Secara terperinci pengumpulan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Data ekosistem mangrove a. Potensi Tegakan

Metode penentuan atau peletakan transek kuadrat dilakukan secara acak (random sampling) dan ukuran transek kuadrat 30m x 30m. Kusmana (1997) pertimbangan utama dalam penentuan ukuran kuadrat adalah kehomogenan vegetasi dan morfologi jenis tumbuhan yang diukur. Dalam hutan yang homogen ketepatan untuk intensitas sampling tertentu cenderung lebih besar karena jumlah satuan contoh bersifat bebas satu sama lain akan banyak.


(50)

Gambar 9 Desain Metode Transek Kuadrat b. Pendekatan Nilai Manfaat

Nilai manfaat ekonomi suatu ekosistem mangrove didekati dengan beberapa metode penilaian dengan mengkuantifikasikannya ke dalam nilai uang (Rp), seperti:

- Nilai Pasar

Nilai atau harga pasar sebenarnya (actual price) dari barang dan jasa yang diperdagangkan dalam suatu sistem tukar-menukar yang lazim di daerah tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk komponen sumberdaya yang dapat langsung diperdagangakan, seperti potensi perikanan (kepiting), dan daun nipah serta digunakan untuk menilai manfaat langsung dari penggunaan suatu komponen sumberdaya.

- Harga tidak langsung

Pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan nilai manfaat tidak langsung suatu komponen sumberdaya (market failure) karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen sumberdya tersebut (market distortion) atau komponen sumberdaya tersebut belum memiliki pasar (non-existence of market). Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Metode yang digunakan adalah replacement cost atau biaya penganti. Biaya dari pembuatan beton tersebut sebagai biaya pengganti akibat dampak lingkungan, dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan.

30m x 30m 30m x 30m

30m x 30m 10m


(51)

- CVM (Contigent Valuation Method)

Contigent Valuation merupakan salah satu teknik valuasi yang bersifat partisipatif karena memungkinkan terjadinya diskusi publik. Meskipun demikian kelemahan utama dalam teknik ini adalah asumsi bahwa individu maupun kelompok individu merupakan target contigent valuation akan berfikir secara rasional dalam menentukan nilai ekonomi sebuah fungsi ekosistem, padahal dalam kenyataanya sifat ini tidak semua dimiliki oleh individu atau kelompok individu. (Adrianto, 2006)

- Nilai Ekonomi Total (NET)

Nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu nilai manfaat langsung (NML), nilai manfaat tidak langsung (NMTL), nilai manfaat pilihan (NMP), nilai manfaat keberadaan (NMK).

2. Data Sosial Ekonomi Masyarakat

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa sampel yang diambil adalah masyarakat yang lama tinggal di daerah setempat, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara terperinci mengenai kondisi wilayah kajian.

Data sosial ekonomi ini dikumpulkan melalui teknik wawancara secara mendalam (depth interview). Teknik ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh semua informasi yang diperlukan. Secara garis besar data sosial ekonomi meliputi: identitas responden, pekerjaan utama, persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove serta persepsi masyarakat terhadap degradasi lingkungan.

Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk: (i) mendeskripsikan pengelolaan aktual ekosistem mangrove, (ii) mendeskripsikan kondisi pesisir khususnya pasut, arus, dan iklim. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk: (i) mengetahui potensi biofisik ekosistem mangrove desa Binalatung; (ii) mengetahui nilai manfaat dari keberadaan suatu ekosistem


(52)

mangrove serta; (iii) memberikan alternatif program pengelolaan berdasarkan bobot penilaian.

Analisis Potensi Biofisik Ekosistem Mangrove

Analisis potensi ekosistem mangrove dimaksudkan untuk mengetahui persentase penutupan dan kerapatan pohon (pohon/ha). Analisis ini menggunakan data hasil pengukuran langsung di lapangan, berupa jumlah individu (IND), diameter batang (DB), tipe substrat dan luas petak contoh yang diambil. Selanjutnya dilakukan analisis potensi:

1. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam satuan unit area :

A n

D i

i = ... (1)

dimana ni adalah jumlah total tegakan dari jenis i dan A adalah luas total

area pengambilan contoh (luas total petak contoh/Plot)

2. Kerapatan Relative Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn):

RD n x100

n i i ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ Σ

= ... (2)

3. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot yang diamati :

p

p

F

i

i

=

Σ

... (3) dimana Fi adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh/plot

dimana ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.

4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis

)

(Fi dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ΣF) :

x100 F F RF i i ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ Σ

= ... (4)

5. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:

A BA


(1)

Lanjutan...

Nilai Manfaat Langsung

Upah tenaga

kerja

Frek. Pengumpulan

Nilai Manfaat

Manfaat Resp

(per hari)

Kali/bulan

Kali/tahun

per bulan

(Rp)

per tahun

(Rp)

Daun 1

50,000

2

24

100,000

1,200,000

Nipah 2

50,000

3

36

150,000

1,800,000

3

50,000

2

24

100,000

1,200,000

4

50,000

2

24

100,000

1,200,000

5

50,000

2

24

100,000

1,200,000

6

50,000

3

36

150,000

1,800,000

7

50,000

2

24

100,000

1,200,000

8

50,000

3

36

150,000

1,800,000

9

50,000

3

36

150,000

1,800,000

10

50,000

3

36

150,000

1,800,000

11

50,000

2

24

100,000

1,200,000

12

50,000

2

24

100,000

1,200,000

13

50,000

2

24

100,000

1,200,000

14

50,000

3

36

150,000

1,800,000

15

50,000

2

24

100,000

1,200,000

16

50,000

3

36

150,000

1,800,000

17

50,000

3

36

150,000

1,800,000

18

50,000

2

24

100,000

1,200,000

19

50,000

2

24

100,000

1,200,000

20

50,000

3

36

150,000

1,800,000

21

50,000

3

36

150,000

1,800,000

22

50,000

2

24

100,000

1,200,000

23

50,000

2

24

100,000

1,200,000

24

50,000

2

24

100,000

1,200,000

25

50,000

2

24

100,000

1,200,000

26

50,000

2

24

100,000

1,200,000

27

50,000

2

24

100,000

1,200,000

28

50,000

2

24

100,000

1,200,000

29

50,000

2

24

100,000

1,200,000

30

50,000

3

36

150,000

1,800,000

Jumlah 1,500,000

71

852

3,550,000

42,600,000


(2)

Lampiran 5

Manfaat Tidak Langsung (MTL)

1. Penahan Abrasi Pantai, pendekatan Breakswater

a. Panjang pantai amal-tanjung batu

6,500

m

b. Harga breakswater (tahun 2001) daya tahan 10 tahun

Rp 4,153,880

per m3

c. Inflasi bulan Mei 2006 (15.60 %)

0.156

d. Harga breaks water setelah dikonversi dengan inflasi

Rp 648,005

e. Harga breaks water (tahun 2006) daya tahan 10 tahun

Rp 4,801,885

f. Biaya pembuatan breaks water

Rp 1,212,254,320

g. Biaya pembuatan per tahun

Rp 3,121,225,432

h. Biaya pembuatan breaks water per ha

Rp 135,705,454

Nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi

Rp 1,212,254,320

Nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi per

th

Rp 3,121,225,432

2. Penyedia Pakan

a. Luasan hutan mangrove

23

hektar

b. harga pakan udang

1500

$/ton

c. Kurs rupiah terhadap dollar (mei 2006)

Rp 7.420

d. Harga pakan setelah dikonversi dalam rupiah

Rp 11.130.000 per ton

e. Harga pakan

Rp 11.130 per kg

f. kebutuhan pakan sekali produksi

150

kg

g. kebutuhan pakan setahun

300

kg/ha

h. Kebutuhan pakan untuk tambak per hektar

Rp 3.339.000

i. Persamaan Regresi (Naamin dan Martosubroto, 1979)

Y=16.286 + 0.0003536X

Y=16.286 + 0.0003536 (23)

16.294133

j. Nilai penyedia pakan per ha

Rp 54.406.109

Manfaat Pilihan (MP)

Nilai Manfaat Pilihan

Nilai Biodiversity

15

Luas Hutan Mangrove

23 hektar

Kurs Rupiah thdp Dollar (Mei 2006)

Rp 7.420


(3)

(4)

(5)

Lampiran 6

Tahun Ke No Uraian

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I Manfaat

A.Manfaat

Langsung

- Kepiting Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 Rp 2,621,901 - Nipah Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000 Rp 1,420,000

B.Manfaat Tidak

Langsung

- Penahan Abrasi Rp ,121,225,432 Rp 3,121,225,432 Rp 3,121,225,432 Rp3,121,225,432 Rp3,121,225,432 Rp3,121,225,432 Rp3,121,225,432 Rp3,121,225,432 Rp3,121,225,432 Rp3,121,225,432 - Peyedia Kayu Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000 Rp 14,980,000

- Penyedia

sumberdaya Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 Rp 54,406,109 - Penyedia bibit Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 Rp 70,000,000

C.Manfaat Pilihan

- Biodiversity Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900 Rp 2,599,900

D.Manfaat

Keberadaan

- WTP Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Rp 329,783 Jumlah Manfaat Rp3,267,583,125 Rp 3,267,583,125 Rp 3,267,583,125 Rp3,267,583,125 Rp3,267,583,125 Rp3,267,583,125 Rp3,267,583,125 Rp3,267,583,125 Rp3,267,583,125 Rp3,267,583,125

Tingkat Diskonto

(12.75%) 0.8869 0.7866 0.6977 0.6188 0.5488 0.4867 0.4317 0.3829 0.3396 0.3012

Nilai Sekarang Rp2,898,078,160 Rp 2,570,357,570 Rp 2,279,696,292 Rp2,021,903,585 Rp1,793,262,603 Rp1,590,476,810 Rp1,410,622,448 Rp1,251,106,384 Rp1,109,628,722 Rp 984,149,642

II Biaya

1. Nilai Ekonomi

a.Manfaat

Langsung

- Kepiting Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 Rp 102,460 - Nipah Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 Rp 256,150 b. Pemeliharaan Rp 802,383,755 Rp 671,283,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Rp 613,783,750 Jumlah Biaya Rp 802,742,365 Rp 671,642,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360 Rp 614,142,360

III

Tingkat Diskonto

(12.75 %) 0.8869 0.7866 0.6977 0.6188 0.5488 0.4867 0.4317 0.3829 0.3396 0.3012

IV Nilai Sekarang Rp 711,966,621 Rp 528,329,642 Rp 428,468,996 Rp 380,016,848 Rp 337,043,768 Rp 298,930,171 Rp 265,126,537 Rp 235,145,488 Rp 208,554,756 Rp 184,970,959

V

Manfaat Bersih

(PV) Rp2,186,111,539 Rp 2,042,027,927 Rp 1,851,227,296 Rp1,641,886,737 Rp1,456,218,836 Rp1,291,546,639 Rp1,145,495,911 Rp1,015,960,896 Rp 901,073,966 Rp 799,178,684

VI

Nilai Sekarang

Bersih Rp4,330,728,430

VII

Rasio Manfaat

Biaya 5.00


(6)

Lampiran 8

Matriks Pembobotan Responden terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Desa Binalatung

No

Kriteria / Sub Kriteria

1

2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jml Rata-rata S.

Kriteria Kriteria

1

Ekologi-Ekosistem

0,40

Faktor Oseanografi

9

9

9

9

5

6

7

8

9

9

80

8,00

0,092

Jenis substrat

7

7

9

5

7

7

6

6

5

9

68

6,80

0,078

Nilai dampak lingkungan penambangan pasir

5

5

5

4

5

9

7

6

6

8

60

6,00

0,069

Nilai ekonomi total

7

7

5

7

5

8

9

9

9

9

75

7,50

0,086

Kerusakan daerah DAS

7

6

5

6

7

7

7

6

6

9

66

6,60

0,076

2

Sosial-Ekonomi

0,38

Sedikitnya pemanfaatan secara langsung

4

4

5

6

6

6

8

6

6

7

58

5,80

0,067

Sifat gotong royong yang baik

4

4

5

6

7

6

5

4

5

5

51

5,10

0,059

Sumber pendapatan masyarakat

7

9

7

7

7

7

6

6

7

9

72

7,20

0,083

Mobilitas penduduk tinggi

4

4

3

3

3

4

5

5

6

6

43

4,30

0,049

Pelibatan Masyarakat

7

7

7

7

7

7

7

5

7

9

70

7,00

0,080

Kelembagaan penambang pasir

3

3

3

2

2

5

3

4

4

7

36

3,60

0,041

3

Kelembagaan

0,22

Perda No.08 th 2003 ttg pemanfaatan lahan pertambakan.

5

4

5

5

4

5

6

5

5

7

51

5,10

0,059

Perda No.18 th 2002 ttg ijin usaha pertambangan dan

galian gol C

7

5 5 5 5 6 7 5 6 7 58 5,80

0,067

Perda Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan

9

9

9

9

7

7

8

8

7

9

82

8,20

0,094

Jumlah

85

83 82 81 77 90 91 83 88 110 870

87

1.00

Penilain secara numerik (skala 1 hingga 9)

Skala :

1 : Tidak penting 3 : Sedikit Penting 5 : Penting 7 : Lebih Penting 9 : Sangat Penting