Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi

DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU
KALEDUPA TAMAN NASIONAL WAKATOBI

AGUSRINAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Degradasi Ekosistem
Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juli 2015
Agusrinal
NRP P052120051

RINGKASAN
AGUSRINAL. Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman
Nasional Wakatobi. Dibimbing oleh NYOTO SANTOSO dan LILIK BUDI
PRASETYO.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis sumber daya alam yang
menjadi target konservasi di Taman Nasional Wakatobi. Mangrove merupakan
sumber daya yang menyediakan berbagai jenis produk dan pelayanan lindungan
lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut,
mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus
gelombang, rekreasi, dan pembersih air dari polutan. Mengingat ekosistem
mangrove mempunyai fungsi yang penting, maka kerusakan pada ekosistem ini
harus dikelola secara benar agar fungsinya dapat dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu metode yang biasa digunakan untuk kajian degradasi ekosistem
mangrove adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis deforestasi dan tingkat

degradasi mangrove, komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove, korelasi
antara ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) dengan tingkat kerusakan
mangrove dan merumuskan faktor penyebab serta upaya pengendalian degradasi
ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juli 2014 di Pulau Kaledupa,
Taman Nasional Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data
lapangan dilakukan melalui pengambilan titik koordinat dan citra satelit, analisis
vegetasi, pengukuran morfometrik kepiting bakau dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan sejak ditetapkan sebagai taman nasional pada
1996, telah terjadi deforestasi mangrove sebesar 214.04 ha sampai tahun 2014.
Deforestasi mangrove terbesar terjadi di Desa Lewuto, sedangkan deforestasi
mangrove terkecil terjadi di Desa Tanomeha. Dengan metode SIG, luasan
mangrove rusak di Pulau Kaledupa mengalami peningkatan dari 39.12 ha pada
1996 menjadi 41.33 ha pada 2014. Luasan mangrove yang tidak rusak mengalami
penurunan dari 938.91 ha pada 1996 menjadi 722.66 ha pada 2014. Berdasarkan
metode teristris, ekosistem mangrove dalam kondisi rusak. Komunitas mangrove
di Pulau Kaledupa disusun oleh 8 jenis. Jenis mangrove dengan INP tertinggi
pada empat desa sampling bervariasi, yaitu Rhizophora apiculata Bl. (Tanomeha),
Rhizophora mucronata Lamk. (Balasuna), Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob.
(Lewuto) dan Sonneratia alba Smith (Horuo-Tampara). Tingkat kerusakan

mangrove memiliki korelasi yang negatif dengan ukuran tubuh kepiting bakau
(Scylla serrata). Faktor-faktor penyebab degradasi meliputi faktor ekonomi,
pendidikan dan keterampilan serta lemahnya pengawasan dari pihak yang
berwenang. Strategi pengendalian degradasi ekosistem mangrove di Pulau
Kaledupa adalah dengan memanfaatkan status ekosistem mangrove sebagai
daerah konservasi untuk menjaga kelestarian mangrove sehingga berpotensi
untuk dijadikan daerah ekowisata dan memberdayakan masyarakat untuk
menyediakan bibit mangrove melalui pembentukan kebun bibit.
Kata kunci: deforestasi , degradasi, ekosistem mangrove, kepiting bakau, strategi
pengendalian

SUMMARY
AGUSRINAL. Mangrove Ecosystem Degradation in Kaledupa Island, Wakatobi
National Park. Supervised by NYOTO SANTOSO and LILIK BUDI
PRASETYO.
Mangrove ecosystem is one type of natural resource conservation target in
Wakatobi National Park. Mangrove provides various types of products and
environmental protection services such as protection against abrasion, sea water
intrusion control, reducing the strong winds, reducing high and flow velocity
waveform, recreation and cleaning water from pollutants. Because of he

mangrove ecosystem have important functions, degradation in these ecosystem
must be properly managed in order functions can be used optimally. One method
that is commonly used to study the degradation of mangrove ecosystems is
Geographic Information System.
Aims of this study were to analyze the level of deforestation and
degradation of mangrove, the mangrove species composition and diversity, the
correlation between body size mangrove crab (Scylla serrata) with the
degradation level of mangrove and to formulate the causes as well as efforts to
control the degradation of mangrove ecosystems in Kaledupa Island, Wakatobi
National Park.
The research was conducted in July 2014 at Kaledupa Island, National
Park Wakatobi, Southeast Sulawesi Province. Field data collection is done by
taking coordinate points and satellite imagery, vegetation analysis, measurements
of mangrove crab morphometric and interview.
The results of study showed since declared a national park in 1996, there
has been a mangrove deforestation by 214.04 ha untill 2014. The largest
mangrove deforestation occurred in Lewuto Village, while smallest deforestation
in Tanomeha Village. SIG method showed that was damaged mangrove area in
Kaledupa increased from 39.12 ha in 1996 to 41.33 ha in 2014. As for the
undamaged mangrove area decline of 938.91 ha in 1996 to 722.66 ha in 2014.

Based on the teristris method, mangrove ecosystem in Kaledupa are in a damaged
condition. Mangrove communities in Kaledupa composed by eight species.
Mangrove species with the highest IVI in four sampling villages varied, namely
Rhizophora apiculata Bl. (Tanomeha), Rhizophora mucronata Lamk. (Balasuna),
Ceriops tagal (Perr.) B. C. Rob. (Lewuto) and Sonneratia alba Smith (HoruoTampara). Mangrove damage level had a negative correlation with morphometric
of mud crab (Scylla serrata). Causal factors of degradation include economic
factors, education and skills, and weak of supervision of the authorities. Strategies
to control the mangrove ecosystems degradation in Kaledupa Island were to
utilize mangrove ecosystem status as a conservation area to preserve the
mangrove so the potential to be used as an attractive eco-tourism area and should
empower communities to provide mangrove seedlings through the establishment
of nurseries.
Keywords: control strategies, degradation, deforestation, mangrove ecosystems,
mud crab

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU KALEDUPA
TAMAN NASIONAL WAKATOBI

AGUSRINAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir Istomo, MSi

Judul Tesis : Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa Taman
Nasional Wakatobi
Nama
: Agusrinal
NRP
: P052120051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Juni 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhannahu   atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipilih dalam penelitian ini yaitu Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau
Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS dan
Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSi selaku pembimbing. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, saudara serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan motivasinya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan
untuk seluruh rekan-rekan yang telah memberi bantuan berupa saran dan
pemikiran. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah banyak membantu di Laboratorium Biologi Universitas Haluoleo,
Laboratorium Analisis Spasial Institut Pertanian Bogor dan Balai Taman
Nasional Wakatobi
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Agusrinal

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN


xii
xii
xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Degradasi Hutan
Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Sistem Informasi Geografi (SIG)
Degradasi Ekosistem Mangrove Menggunakan SIG

5
5
6
7
8
9

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Iklim
Jumlah Penduduk
Pendidikan
Pekerjaan Penduduk

11
11
12
13
14
14

4 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Instrumen Penelitian
Rancangan Penelitian
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

16
16
16
17
18

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deforestasi Hutan Mangrove di Pulau Kaledupa
Degradasi Ekosistem Mangrove di Pulau Kaledupa
Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove
Korelasi antara Ukuran Morfologi Kepiting Bakau dengan
Tingkat Kerusakan Mangrove
Faktor Penyebab dan Strategi Pengendalian Degradasi Mangrove

25
25
27
31
38
39

6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

45
45
45

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

46
51
62

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Luas Pulau Kaledupa berdasarkan kecamatan
Data curah hujan Kabupaten Wakatobi antara tahun 1993 - 2002
Jumlah penduduk Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan
Persentase tingkat pendidikan penduduk menurut kecamatan di
Kabupaten Wakatobi
Persentase jenis pekerjaan penduduk menurut kecamatan
Matriks penelitian
Sistem penilaian dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja
Sistem penilaian dengan cara teristris (survei lapangan)
Kriteria baku kerusakan mangrove berdasarkan Kepmen LH No.
201 tahun 2004
Matriks SWOT
Perubahan luasan tutupan mangrove (ha) di Pulau Kaledupa
Rincian luas mangrove yang rusak di Pulau Kaledupa
Skor tingkat degradasi mangrove berdasarkan metode teristris
Skor tingkat degradasi mangrove berdasarkan Kepmen LH
No. 201 tahun 2004
Komposisi jenis mangrove di Desa Tanomeha
Kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks
nilai penting vegetasi mangrove di Desa Tanomeha
Komposisi jenis mangrove di Desa Balasuna
Kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks
nilai penting vegetasi mangrove di Desa Balasuna
Komposisi jenis mangrove di Desa Lewuto
Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan indeks nilai penting
vegetasi mangrove di Desa Lewuto
Komposisi jenis mangrove di Desa Horuo-Tampara
Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan indeks nilai penting
vegetasi mangrove di Desa Horuo-Tampara
Korelasi antara morfometrik kepiting bakau dengan tingkat
kerusakan mangrove
Matriks perhitungan nilai SWOT
Matriks SWOT strategi pengendalian degradasi mangrove

11
13
13
14
15
17
21
22
23
24
25
28
30
30
31
32
32
33
34
34
35
35
38
41
43

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Diagram alir kerangka pemikiran
Siklus hidup kepiting bakau
Lokasi penelitian
Model transek dan plot-plot pengamatan vegetasi mangrove
Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi
mangrove setinggi dada (dbh) : a. Vegetasi tanpa percabangan
dan tanpa akar tunjang atau banir b. Vegetasi dengan berbagai
variasi percabangan dan akar tunjang atau banir

4
8
16
18

19

6 Perubahan tutupan dan sebaran mangrove di Pulau Kaledupa pada
tahun 1996 dan 2014
7 Peta tingkat kerusakan mangrove pada tahun 1996 dan 2014 di
Pulau Kaledupa
8 ) 


 
 (’), dan (b) indeks kemerataan jenis
(e) vegetasi mangrove pada berbagai strata pertumbuhan
9 Diagram SWOT pengendalian degradasi mangrove

26
29
36
42

DAFTAR LAMPIRAN
1 Citra satelit tahun 1996 dan 2014 yang diunduh dari situs USGS
(United States Geological Survey)
2 Hasil analisis vegetasi mangrove pada tiap desa sampling
3 Analisis SWOT strategi pengendalian degradasi mangrove di Pulau
Kaledupa
4 Data pengukuran morfometrik kepiting bakau (Scylla serrata) dalam
cm pada tiap desa pengamatan

51
52
59
60

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan konservasi perairan laut
(m
riaenrsen
otaicvare
), dengan luas 1 390 000 ha, ditetapkan sebagai Taman
Nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 393/Keppts-VI/1996. Pulau-pulau yang menyusun kawasan ini
berjumlah 48 buah pulau. Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, maka semua pulau pada kawasan Taman Nasional Wakatobi tergolong ke
dalam pulau kecil.
Potensi sumber daya laut Kepulauan Wakatobi cukup tinggi, terutama
sumber daya terumbu karang. Wilayah ini terletak pada Pusat Segitiga Karang
oTri
angle Center), memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan
Dunia (lra
tertinggi di dunia (750 jenis karang dari 850 jenis karang dunia), 900 jenis ikan
dunia dengan 46 diversitas teridentifikasi. Taman Nasional Wakatobi memiliki
terumbu karang seluas 90 000 hektar dan Atol Kaledupa sepanjang 48 km, yang
merupakan atol terpanjang di dunia. Persentasi tutupan karang hidup antara 36.51
– 52.86%, (Dhewani et al. 2006). Panorama bawah laut dengan keindahan
ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman biotanya, menjadikan kawasan ini
sebagai salah satu daerah kunjungan wisata, baik dalam maupun luar negeri,
terutama bagi para pencinta wisata menyelam.
Ekosistem Kepulauan Wakatobi juga rentan terhadap berbagai gangguan,
terutama akibat praktik pengelolaan sumber daya laut yang tidak ramah
lingkungan. Beberapa hal yang mengancam kegiatan pengelolaan sumber daya
laut di Kepulauan Wakatobi adalah perilaku masyarakat yang merusak terumbu
karang, penggunaan bom ikan, penambangan batu karang, penambangan pasir,
dan eksploitasi mangrove.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis sumber daya alam yang
menjadi target konservasi, dari berbagai potensi sumber daya alam yang ada di
kawasan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil penelusuran literatur,
bermacam-macam karakter ekologi mangrove pada berbagai negara dan daerah
pantai di Indonesia sekarang telah banyak dikaji oleh para ahli. Namun demikian
ternyata aspek ekologi mangrove pada pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum
banyak diungkap. Selama ini penelitian terkait Taman Nasional Wakatobi, seperti
COREMAP (2001), Dhewani et al. (2006), Hidayati et al. (2007), dan Mufti
(2009), lebih banyak mengamati ekologi terumbu karang (coral reef), sosial
ekonomi masyarakat dan nilai ekonomi sumber daya.
Ekosistem
mangrove
mempunyai
fungsi
spesifik
yang
keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan
dan lautan. Dalam hal ini, mangrove sendiri merupakan sumber daya yang dapat
dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan berbagai jenis produk
(produk langsung dan produk tidak langsung) dan pelayanan lindungan
lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut,
mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus
gelombang, rekreasi, dan pembersih air dari polutan. Semua sumber daya dan jasa
lingkungan tersebut disediakan secara gratis oleh ekosistem mangrove. Dengan

2

kata lain, ekosistem mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang
berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai
kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai
penyangga sistem kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semua fungsi mangrove
tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat
dipertahankan dan pemanfaatan sumber dayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip
kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumber daya renewable
dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam
ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa gangguan. Proses ekologi dalam
ekosistem mangrove akan terganggu jika salah satu komponennya hilang. Gunarto
(2004) menyatakan bahwa mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter serta agen
pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai
jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia juga ikan pemakan
plankton sehingga mangrove berfungsi sebagai biofilter alami.
Alasan pemilihan Pulau Kaledupa sebagai lokasi penelitian dibandingkan
pulau-pulau yang lain di Kabupaten Wakatobi adalah keberadaan mangrove
terluas dan terpadat berada di pulau ini. Ekosistem mangrove juga sebenarnya
terdapat di Pulau Wangi-Wangi tapi luasannya kecil. Karena besarnya luasan
ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa, maka terjadi pula eksploitasi oleh
masyarakat seperti konversi lahan menjadi permukiman dan kebun rakyat serta
penebangan batang mangrove untuk kayu bakar dan kontruksi bangunan.
Eksploitasi ini tidak diimbangi dengan daya resilience ekosistem mangrove
karena tidak didukung oleh kondisi substrat yang didominasi oleh substrat pasir.
Substrat jenis ini menyebabkan pertumbuhan mangrove di Pulau Kaledupa tidak
sebaik dan secepat pertumbuhan mangrove di pulau-pulau besar seperti di Pulau
Sulawesi. Rusaknya ekosistem mangrove akibat eksploitasi tentu saja akan
berpengaruh terhadap kehidupan biota yang berhabitat di dalamnya. Salah satu
biota yang sensistif terhadap kerusakan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla
serrata).
Kepiting bakau sangat menggantungkan semua aktivitasnya pada
ekosistem mangrove. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan spesies yang
khas berada di kawasan bakau. Pada tingkat juvenil, kepiting bakau jarang terlihat
di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenil
kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur laut yang
menjorok kedaratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di
sela-sela akar pohon bakau. Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya
beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama
untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali
membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam
(nokturnal). Dalam mencari makan kepiting bakau lebih suka merangkak.
Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udangudangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous)
danpemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal
hanya memakan plankton (Soim 1999). Kerusakan mangrove akan menyebabkan
kepiting bakau tidak bisa mencari makan dengan bebas. Selain itu, kepiting
dikenal sebagai hewan yang memiliki mobilitas yang tinggi.
Mengingat ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang penting seperti
disebutkan di atas, maka kerusakan (degradasi) pada ekosistem ini harus ditangani

3

secara tuntas dan dikelola secara benar agar fungsinya dapat dimanfaatkan secara
optimal bagi sistem penyangga kehidupan dan keberlanjutan tipe-tipe ekosistem
lainnya yang sustainabilitasnya berkaitan dengan eksistensi ekosistem mangrove.
Salah satu metode yang biasa digunakan untuk kajian degradasi ekosistem
mangrove adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi. Sistem
Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu
sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi
spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu
sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang
bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja
(Barus & Wiradisastra 2000).
Perumusan Masalah
Keberadaan mangrove di Taman Nasional Wakatobi sedikit banyak
terancam akibat aktivitas manusia seperti konversi menjadi lahan pemukiman dan
pengambilan batang mangrove untuk kayu bakar. Hal ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Jika hal ini dibiarkan maka
degradasi ekosistem mangrove akan mengancam eksistensi ekosistem mangrove
beserta seluruh biota di dalamnya. Dari hal-hal tersebut, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana deforestasi dan tingkat degradasi mangrove di Pulau Kaledupa?
2. Bagaimana komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove di Pulau
Kaledupa?
3. Bagaimana korelasi antara ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata)
dengan tingkat kerusakan mangrove.
4. Apa faktor penyebab dan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk
mengendalikan degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa?
Kerangka Pemikiran
Keberadaan ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa semakin hari makin
terdegradasi akibat adanya aktivitas masyarakat yang memanfaatkan ekosistem
mangrove tanpa memperhatikan aspek kelestariannya. Kegiatan yang banyak
dilakukan masyarakat dalam memberi kontribusi terhadap degradasi mangrove
adalah berupa pembukaan lahan mangrove untuk dijadikan pemukiman,
pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar, untuk bahan konstruksi rumah, dan
penggunaan lainnya seperti pembuatan sero (kontruksi penangkap ikan) serta
untuk kepentingan budidaya rumput laut. Kurangnya data tentang perubahan luas
mangrove secara periodik sedikit menyulitkan Balai Taman Nasional Wakatobi
untuk merumuskan kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.
Penggunaan teknologi SIG diharapkan dapat menganalisis tingkat degradasi
mangrove di Pulau Kaledupa. Selain itu, analisis korelasi morfometrik kepiting
dengan kerusakan mangrove diharapkan dapat membantu untuk mndeskripsikan
kondisi mangrove yang ada. Dengan data-data tersebut, pemerintah daerah
Kabupaten Wakatobi melalui Balai Taman Nasional Wakatobi dapat merumuskan
srategi pengelolaan mangrove berkelanjutan.

4

Ekosistem Mangrove

Manfaat Ekologi

Manfaat Fisik

Tingkat Kebutuhan
Masyarakat yang
Tinggi

Berbagai Jenis Eksploitasi
Mangrove oleh Masyarakat

Degradasi Mangrove

Manfaat Sosial Ekonomi

Kurangnya Informasi
Tentang Laju
Perubahan Luasan

- SIG
- Analisis vegetasi

Strategi Pengendalian
Degradasi

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis deforestasi dan tingkat degradasi mangrove di Pulau Kaledupa.
2. Menganalisis komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove di Pulau
Kaledupa.
3. Menganalisis korelasi antara ukuran tubuh kepiting bakau (Scylla serrata)
dengan tingkat kerusakan mangrove.
4. Merumuskan faktor penyebab dan upaya pengendalian degradasi ekosistem
mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi tentang komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove
di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.
2. Sebagai informasi tentang deforestasi dan tingkat degradasi mangrove di Pulau
Kaledupa Taman Nasional Wakatobi.
3. Sebagai dasar bagi pemerintah daerah terkait kebijakan pengelolaan ekosistem
mangrove di Taman Nasional Wakatobi.
4. Sumber literatur bagi penelitian selanjutnya yang relevan.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove
Definisi Mangrove
Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain
Macnae (1968); Chapman (1976); Lear & Turner (1977); Steenis (1978); Odum
(1982); Soerianegara (1982); Tomlinson (1986); Nybakken (1988). Mangrove
digunakan untuk menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah
mengembangkan adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal).
Mangrove merupakan hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran
terhadap kadar garam tinggi, tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari
hempasan ombak besar, muara-muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis
dan sub tropis.
Steenis (1978) berpendapat bahwa, mangrove adalah vegetasi hutan yang
tumbuh di antara garis pasang surut. Sumber daya mangrove adalah: (1). Satu atau
lebih tumbuhan khas mangrove (exclusive mangrove) yang hanya tumbuh di
habitat mangrove, (2). Satu atau lebih tumbuhan yang berasosiasi dengan
tumbuhan khas mangrove, tetapi tumbuhan tersebut hidupnya tidak terbatas di
mangrove, (3). Biota (hewan) darat dan laut yang berasosiasi dengan habitat
mangrove, dan (4). Berbagai proses esensial yang berperan penting dalarn
memelihara kelestarian fungsi hutan mangrove. Nybakken (1988) menyatakan
hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan
suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam
perairan asin. Kusmana (2002) mendefinisikan bahwa mangrove adalah suatu
komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk
komunitas di daerah pasang surut.
Bioekologi Mangrove
Ekosistem mangrove telah banyak dikaji oleh para ilmuwan (misalnya:
Field et al. 1995; Dahdouh-Guebas et al. 2001). Vegetasi mangrove telah
mengembangkan pola adaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup pada
daerah pasang surut (intertidal). Pola adaptasi yang dikembangkan oleh vegetasi
mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem
akar udara. Fungsi utamanya adalah untuk pertukaran gas, memperkokoh
tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Terdapat
perbedaan struktur akar napas antar jenis yang berbeda. Misalnya akar udara pada
Avicennia spp., akar pancang pada Sonneratia spp., akar lutut pada Bruguiera
spp., akar papan pada Xylocarpus spp., dan akar tunjang pada Rhizophora spp.
(Tomlinson 1986).
Adaptasi terhadap kadar garam yang berlebih dalam tubuh vegetasi
mangrove, merupakan hal penting bagi beberapa jenis agar tetap eksis pada
lingkungan salin. Jenis Avicennia spp., Aegiceras spp. dan Aegialitis spp.,
menghilangkan kelebihan kadar garam melalui kelenjar pengeluaran (excretion
glands) (FAO 2007). Untuk meningkatkan perkembangbiakan secara alami,
beberapa jenis mangrove telah mengembangkan sistem reproduksi yang sangat

6

efisien. Pada familia Rhizophoracea, misalnya Rhizophora spp., Bruguiera spp.
dan Ceriops spp. mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter biji (propagul)
bersifat vivipary, yaitu biji telah berkecambah dan berkembang ketika buah masih
menempel pada pohon induk, atau dapat dipadankan sebagai tumbuhan yang
melahirkan. Pada marga lain, misalnya Aegiceras, Avicennia, dan Nypa bersifat
cryptovivipary (Barik et al. 1996).
Fungsi Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove memiliki sejumlah fungsi penting, baik dalam skala
lokal maupun nasional. Banyak nelayan, petani dan penduduk pedesaan hidupnya
bergantung pada ekosistem mangrove, untuk memenuhi berbagai keperluan, baik
berupa produk kayu (misalnya kayu bangunan, kayu bakar, dan arang kayu),
maupun hasil non-kayu (seperti bahan makanan, atap rumah, pakan ternak,
alkohol, gula, obat-obatan dan madu). Mangrove dapat juga dimanfaatkan sebagai
sumber penghasil tanin (FAO 1994). Nilai ekonomi hutan mangrove di Teluk
Kotania Provinsi Maluku, pada tahun 1999 mencapai Rp. 64.8 milyar atau Rp.
60.9 juta/ha (Supriyadi & Wouthuyzen 2005).
Fungsi penting lain dari ekosistem mangrove adalah kedudukan ekosistem
mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan darat.
Hutan mangrove menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar, terutama
bentuk serasah. Serasah mangrove merupakan sumber bahan organik penting
dalam rantai makanan di dalam hutan mangrove. Serasah tersebut akan
mengalami dekomposisi akibat aktivitas mikroorganisme. Hasil dekomposisi ini
akan menjadi sumber nutrisi fitoplankton dalam kedudukannya sebagai produsen
primer, dan kemudian zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber
energi utama, dalam kedudukannya sebagai konsumen primer. Zooplankton akan
dimakan oleh crustaceae dan ikan-ikan kecil, selanjutnya jenis-jenis ini
merupakan sumber energi bagi tingkat yang lebih tinggi dalam rantai makanan.
Bahan organik yang dihasilkan oleh hutan mangrove, akan memberikan
sumbangan pada rantai makanan di perairan pantai dekat hutan mangrove,
sehingga perairan pantai disekitar hutan mangrove mempunyai produktivitas yang
tinggi (Lear & Turner 1977). Berbagai jenis ikan baik yang komersial maupun
non-komersial juga bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove (FAO
2007).
Degradasi Hutan
Menurut Lamb (1994), degradasi hutan memiliki arti yang berbeda
tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang
bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang
terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu
point/titik di mana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan
datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya
mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan di mana fungsi
ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi.
Sedangkan menurut Oldeman (1992) mengatakan bahwa degradasi adalah
suatu proses di mana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa
mendatang dalam memberikan hasil (product). Penebangan hutan yang semena-

7

mena merupakan degradasi lahan. Selain itu tidak terkendali dan tidak
terencananya penebangan hutan secara baik merupakan bahaya ekologis yang
paling besar. Kerusakan lahan atau tanah akan berpengaruh terhadap habitat
semua makhluk hidup yang ada di dalamnya dan kerusakan habitat sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang disangganya. Menurut
Angelsen (2010), degradasi adalah perubahan di dalam hutan yang merugikan
susunan atau fungsi tegakan hutan atau kawasan hutan sehingga menurunkan
kemampuannya untuk menyediakan berbagai barang atau jasa. Dalam hal
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD),
degradasi paling mudah diukur dalam hal berkurangnya cadangan karbon di hutan
yang dipertahankan sebagai hutan.
Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Kepiting bakau (Scylla serrata) juga dikenal dengan sebutan kepiting
lumpur termasuk ke dalam kelas Crustaceae, ordo Decapoda, famili Portunidae
dan genus Scylla (Warner 1977). Kepiting bakau/kepiting lumpur (mud crab) ini
dapat hidup pada berbaga ekosistem. Sebagian besar siklus hidupnya berada di
perairan pantai meliputi muara atau estuarin, perairan bakau dan sebagian kecil di
laut untuk memijah. Jenis ini biasanya lebih menyukai tempat yang agak
berlumpur dan berlubang-lubang di daerah hutan mangrove. Disebutkan juga
bahwa beberapa jenis kepiting yang dapat dimakan ditemukan hidup melimpah di
perairan estuarin dan kadang-kadang terlihat hidup bersama dengan Portunidae
lainnya dalam satu kawasan. Selanjutnya Moosa (1985) menyatakan bahwa
distribusi kepiting menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral dengan
kisaran kedalaman 0 – 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam. Kepiting
bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan
laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan
berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri.
Kepiting melakukan perkawinan di perairan bakau, setelah selesai maka secara
perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan
selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah
melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak
atau sekitar perairan pantai yangberlumpur dan memiliki organisme makanan
berlimpah (Kasry 1991).
Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari
perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakuan pemijahan, khususnya
terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva
tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan
pantai, sebanyak lima kali (Zoea V), kemudian berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali
masih memiliki bagian ekor yang panjang (Toro 1992). Pada tingkat megalopa ini
dia mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai, dan
biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan
bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 3).

8

Gambar 2 Siklus hidup kepiting bakau (Kasry 1991)
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan jenis yang khas berada di
kawasan bakau. Pada tingkat juvenil, kepiting bakau jarang terlihat di daerah
bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenil kepiting
bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur laut yang menjorok
kedaratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela
akar pohon bakau. Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa
saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk
mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali
membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam
(nocturnal). Dalam mencari makan, kepiting bakau lebih suka merangkak.
Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa alga, bangkai hewan dan udangudangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous) dan
pemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya
memakan plankton (Soim 1999).
Sistem Informasi Geografi (SIG)
Menurut Supriadi (2007), SIG adalah suatu sistem informasi yang dapat
memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang
dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Di samping itu, SIG juga
dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang
akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. SIG
memiliki kelebihan terutama dengan sistem Penginderaan Jauh, karena bisa
menjangkau area yang luas dan perekaman dilakukan berulang-ulang, memiliki
tingkat ketelitian yang tinggi dan biaya yang relatif murah dengan segala

9

keunggulannya, serta memberikan kemungkinan untuk meningkatkan keakurasian
dan efisiensi dalam penyediaan data dan informasi dengan dukungan frekuensi
yang cukup tinggi. Hal ini merupakan sebuah terobosan dalam aspek inventori
dan monitoring.
Menurut Prahasta (2001), ada beberapa alasan mengapa perlu
menggunakan SIG, di antaranya adalah: 1) SIG menggunakan data spasial
maupun atribut secara terintegrasi, 2) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu
interaktif yang menarik dalam usaha meningkatkan pemahaman mengenai konsep
lokasi, ruang, kependudukan, dan unsur-unsur geografi yang ada dipermukaan
bumi, 3) SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data, 4) SIG
memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan bumi
kedalam beberapa layer atau coverage data spasial, 5) SIG memiliki kemampuan
yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atributnya, 6)
semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif, 7) SIG dengan mudah
menghasilkan peta-peta tematik, 8) semua operasi SIG dapat di-costumize dengan
menggunakan perintah-perintah dalam bahasa script, 9) perangkat lunak SIG
menyediakan fasilitas untuk berkomunikasi dengan perangkat lunak lain, 10) SIG
sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang spasial dan
geoinformatika.
Barus & Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat
yang handal untuk menangani data spasial, di mana dalam SIG data dipelihara
dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta
cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan
mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.Sarana utama
untuk penanganan data spasial adalah SIG. SIG didesain untuk menerima data
spasial dalam jumlah besar dari berbagai sumber dan mengintergrasikannya
menjadi sebuah informasi, salah satu jenis data ini adalah data pengindraan jauh.
Penginderaan jauh mempunyai kemampuan menghasilkan data spasial yang
susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam
jumlah besar.
Degradasi Ekosistem Mangrove Menggunakan SIG
Sejalan dengan pembangunan yang sedang dan sudah dilakukan di seluruh
wilayah pantai Indonesia maka kerusakan mangrove dari hari ke hari semakin
terasa akibatnya. Penurunan kualitas lingkungan atau ekosistem makin terasa dan
juga berdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap segi-segi
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan
data atau informasi yang dapat melihat secara tepat sejauh mana tingkat
penurunan kualitas tersebut dan bagaimana penanganan selanjutnya. Salah satu
cara yang dapat digunakan adalah teknologi yang berbasiskan komputer yang
dikenal sebagai Sistem Informasi Geografis. Teknologi ini dapat melakukan
pekerjaan pengumpulan, penyimpanan, pengolahan dan penyajian data atau
informasi yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari lapangan.
Data yang diperoleh dapat dikatakan acceptable dengan validitas tinggi sehingga
sebelum diakuisasi dapat dilakukan analisis ekologi dan teknologi penginderaan
jauh terlebih dahulu (Sukojo 2003).

10

Hutan mangrove dan ekosistem di sekitarnya telah sering mengalami
perusakan dan degradasi seiring dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan
akan peningkatan ekonomi yang didapat dari hutan mangrove. Keserakahan dan
ketidaktahuan akan fungsi hutan mangrove oleh manusia, telah menyebabkan
kerusakan hutan mangrove hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia
(Budhiman et al. 2001).
Fenomena konversi hutan mangrove dijadikan sebagai kawasan
pertambakan dan pemukiman banyak dijumpai di kawasan pesisir Kecamatan
Modung. Sayangnya, eksploitasi sumberdaya pesisir yang dilakukan selama ini,
telah mengidentifikasikan fenomena kerusakan yang tidak hanya mengancam
kemampuan ekosistem pesisir dalam menyediakan sumberdaya alam, tapi juga
telah mereduksi kemampuannya dalam mencegah bencana alam di wilayah
pesisir. Untuk mengembalikan dan melestarikan fungsi-fungsi ekosistem pesisir,
maka perlu adaya upaya mengkuantifikasi nilai- nilai dari sumberdaya utama
pesisir yang ada melalui studi penentuan lahan kritis hutan mangrove di pesisir
Kecamatan Modung memanfaatkan SIG (Graha et al. 2009).

11

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Secara geografis kawasan Taman Nasional Wakatobi terletak
di sebelah timur Pulau Buton, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Muna, Sebelah timur
berbatasan dengan Laut Banda. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Buton, dan Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores. Pembentukan pulaupulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik
maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya
tektonik yang berlangsung sejak zaman dulu hingga sekarang (Daly et al. 1991).
Ketiga lempeng ini mengakibatkan tekanan dan tarikan, baik dari arah barat-timur
maupun utara-selatan. Lempeng dasar dari kepulauan Wakatobi merupakan
pecahan lempeng dasar yang berasal dari Papua Nugini. Dasar dari lempeng ini
tidak berasal dari vulkanik dan selama ini tidak pernah tercatat adanya aktivitas
vulkanik di daerah Wakatobi (Halminton 1979).
Luas wilayah Kabupaten Wakatobi adalah sekitar 19 200 km², terdiri dari
daratan seluas ± 823 km² atau hanya sebesar 3.00 persen dan luas perairan (laut) ±
18 377 km2 atau sebesar 97.00 persen dari luas Kabupaten Wakatobi. Atas dasar
kondisi tersebut, maka potensi sektor perikanan dan kelautan serta sektor
pariwisata berbasis wisata laut/bahari menjadi sektor andalan daerah Kabupaten
Wakatobi. Kabupaten Wakatobi terdiri dari 8 kecamatan, yaitu Kecamatan
Wangi-Wangi, Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia,
Tomia Timur, Binongko dan Kecamatan Togo Binongko.
Pulau Kaledupa sebagai lokasi penelitian terdiri atas Kecamatan Kaledupa
dan Kaledupa Selatan dengan rincian luas sebagaimana yang terdapat pada Tabel
1.
Tabel 1 Luas Pulau Kaledupa berdasarkan kecamatan
No.
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Desa/Kelurahan
Kecamatan Kaledupa
Horuo
Sombano
Lau-Lua
Samabahari
Ambeua
Lagiwae
Ollo
Buranga
Balasuna
Mantigola Makmur
Balasuna Selatan
Ollo Selatan
Waduri

Luas (Km2)

Persentase (%)

7.00
7.00
2.50
1.50
2.13
0.98
4.00
2.14
3.75
1.50
2.25
2.00
0.86

15.38
15.38
5.49
3.30
4.68
2.15
8.79
4.70
8.24
3.30
4.95
4.40
1.89

12

No.
Desa/Kelurahan
A
Kecamatan Kaledupa
14 Lewuto
15 Ambeua Raya
16 Kalimas
Total
B
Kecamatan Kaledupa Selatan
1 Tampara
2 Kasuari
3 Pajam
4 Sandi
5 Langge
6 Tanomeha
7 Lentea
8 Darawa
9 Peropa
10 Tanjung
Total
A+B

Luas (Km2)

Persentase (%)

3.00
2.37
2.52
45.50

6.59
5.21
5.54
100.00

6.00
5.06
7.00
6.50
5.00
3.69
11.00
5.50
6.44
2.31
58.50
104.00

10.26
8.65
11.97
11.11
8.55
6.31
18.80
9.40
11.01
3.95
100.00
200.00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi 2014

Secara geografis kondisi bentang alam daratan pulau-pulau di kawasan
Taman Nasional Wakatobi relatif kering, bergelombang dan berbukit-bukit. Jenis
tanahnya bervariasi dari batuan kapur, pasir putih, dan tanah lempung. Tanah di
daerah ini kurang begitu subur untuk usaha bercocok tanam. Peta geologi Lembar
Kepulauan Tukang Besi Sulawesi Tenggara skala 1 : 25 000 tahun 1994
menunjukkan bahwa secara umum formasi geologi Wakatobi dikelompokkan ke
dalam formasi geologi Qpl dengan jenis bahan induk yaitu batu gamping coral.
Beberapa vegetasi yang bisa ditanam atau bisa tumbuh antara lain jambu mete,
kelapa, ubi kayu, dan jagung. Tanaman keras yang umum tumbuh di wilayah ini
adalah pohon asam (Tamarindus indicus) (Jamili 2010).
Iklim
Menurut data curah hujan selama 10 tahun (1993-2002), curah hujan
terendah terjadi pada bulan September, rata- rata hanya mencapai 4.7 mm/th dan
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, dengan rata-rata mencapai 149.2
mm/th. Sumber mata air di Kabupaten Wakatobi pada umumnya berasal dari air
tanah dan gua-gua karst. Data curah hujan antara tahun 1993 hingga tahun 2002 di
Wakatobi disajikan pada Tabel 3. Keadaan angin di Wakatobi sangat dipengaruhi
oleh angin muson yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat
(Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim Pancaroba
terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November.

13

Tabel 2 Data curah hujan Kabupaten Wakatobi antara tahun 1993 - 2002
Tahun

Bulan

Jumlah
(cm)

Rerata
(cm)

93

94

95

96

97

98

99

00

01

02

Jan.

121

131

343

150

37

8

182

269

X

102

1 343

149.22

Feb.

185

145

188

62

42

67

76

250

X

303

1 318

146.44

Mar.

141

185

78

18

7

175

115

170

148

127

1 164

116.40

Apr.

399

119

77

29

34

416

363

188

-

211

1 836

204.00

Mei

103

29

78

37

10

180

123

167

60

X

787

87.44

Juni

280

-

55

65

20

336

-

235

132

X

1 123

160.43

Juli

38

-

15

14

3

241

7

X

31

X

349

49.86

Agt.

40

-

0

6

-

9

12

3

X

X

70

11.67

Sep.

-

-

-

6

-

-

4

4

X

X

14

4.67

Okt.

-

-

-

21

-

20

29

113

X

X

183

45.75

Nov.

10

95

55

38

6

106

X

169

X

X

479

68.43

Des.
159
38
223 108 54
X
X
238
X
X
820
136.67
Sumber: Data stasiun klimatologi kelas 1 Panakukang Maros diacu dalam stasiun maritim Kendari
(2006)

Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan
berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2013 tercatat sebanyak 16 969 jiwa
dengan rincian 7 924 jiwa penduduk laki-laki dan 9 045 jiwa penduduk
perempuan. Secara lengkap, data jumlah penduduk ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah penduduk Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan
No.
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Desa/Kelurahan
Kaledupa
Horuo
Sombano
Lau-Lua
Samabahari
Ambeua
Lagiwae
Ollo
Buranga
Balasuna
Mantigola Makmur
Balasuna Selatan
Ollo Selatan
Waduri
Lewuto
Ambeua Raya
Kalimas

Jumlah Penduduk (Jiwa)
Laki-Laki
440
330
284
636
314
202
264
236
318
354
183
318
231
233
311
233

Perempuan
437
325
282
648
396
238
292
273
368
366
237
365
251
229
321
273

Total
(Jiwa)

Kepadatan
(Jiwa/Km2)

877
655
566
1284
710
440
556
509
686
720
420
683
482
462
632
506

125.14
93.57
226.4
855.33
332.86
448.98
139
237.85
182.93
480
186.67
341.5
560.46
154
266.67
200.79

14

No.
B
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Desa/Kelurahan
Total
Kaledupa Selatan
Tampara
Kasuari
Pajam
Sandi
Langge
Tanomeha
Lentea
Darawa
Peropa
Tanjung
Total
A+B

4 887

5 301

Total
(Jiwa)
10 188

376
186
299
469
420
317
238
247
223
262
3 037
7 924

455
245
367
583
516
361
278
318
277
344
3 744
9 045

831
431
666
1052
936
678
516
565
500
606
6 781
16 969

Kepadatan
(Jiwa/Km2)
223.91
138.5
85.18
95.14
161.85
187.2
183.74
46.91
102.73
77.64
262.34
115.91
163.16

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi 2014

Pendidikan
Menurut BPS Kabupaten Wakatobi (2014), sebagian besar penduduk
masih berpenidikan rendah. Sebesar 79.13% penduduk Kabupaten Wakatobi
masih berpendidikan SD ke bawah (Tabel 4). Persentase ini hampir sama di
semua kecamatan yang ada, sehingga secara umum kondisi pendidikan di seluruh
kecamatan (termasuk Kecamatan Kaledupa) relatif sama. Hal ini diduga berkaitan
dengan sarana dan prasarana pendidikan, serta akses terhadap pendidikan yang
masih rendah.
Tabel 4 Persentase tingkat pendidikan penduduk menurut kecamatan di
Kabupaten Wakatobi
Tingkat
Pendidikan
Tidak/belum
sekolah
SD
SLTP
SLTA
Diploma
S1
Jumlah

Persentase per Kecamatan (%)
Wangi-Wangi Kaledupa Tomia Binongko
50.09
51.50
50.00
48.14
29.97
12.02
6.91
0.53
0.48
100

25.54
12.05
9.78
0.58
0.55
100

25.66
12.96
9.93
0.71
0.75
100

34.71
12.65
3.97
0.28
0.25
100

Wakatobi
50.02
29.11
12.30
7.53
0.54
0.51
100

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi 2014

Pekerjaan Penduduk
Kabupaten Wakatobi merupakan wilayah kepulauan, di mana potensi yang
paling menonjol dan telah ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi
menjadi sektor unggulan utama adalah sektor perikanan dan kelautan. Namun
sampai saat ini belum direspon secara baik oleh sebagian besar penduduk. Kondisi

15

ini tergambar dari besarnya proporsi angkatan kerja yang bekerja sebagai petani
tanaman pangan yang masih dominan.
Tabel 5 Persentase jenis pekerjaan penduduk menurut kecamatan
Pekerjaaan

Petani tanaman
pangan
Petani perkebunan
Peternak
Petani lainnya
Nelayan
Pengrajin
Pedagang
Pekerja jasa
Sopir/ojek
Lainnya
Jumlah

Persentase Jenis Pekerjaan per Kecamatan
Wakatobi
(%)
WangiKaledupa Tomia Binongko
Wangi
55.5
26.2
55.8
38.9
48.1
2.7
0.1
1.2
14.0
0.6
11.1
4.7
3.3
6.8
100

8.7
1.2
47.0
3.5
4.0
6.7
0.7
2.0
100

Sumber: Badan Pusat Statitistik Kabupaten Wakatobi 2014

0.4
0.1
0.2
8.1
0.9
19.5
10.0
2.2
2.8
100

0.3
0.3
0.7
2.2
5.7
10.1
8.8
17.9
15.1
100

3.1
0.1
1.0
17.7
1.8
11.2
6.6
4.2
6.2
100

16

4 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelaksanan penelitian ini pada bulan Juli 2014.

Lewuto

Horuo-Tampara

Balasuna

Tanomeha

Gambar 3 Lokasi penelitian

Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini meliputi laptop dengan
aplikasi ArcGIS 9.1, Erdas Imagine 9.1, foto citra landsat tahun 1996 dan 2014,
peta administrasi Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, masyarakat,
mangrove, kepiting, buku identifikasi mangrove, kalifer, tali rafia, meteran roll,
meteran kain, thermometer, pH meter, salinometer dan alat tulis menulis.

17

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei lapangan. Jenis penelitian ini
meliputi penelitian eksploratif dan deskriptif. Matriks hubungan antara tujuan
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data serta
keluaran dari penelitian ini disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Matriks penelitian
Tujuan
Jenis dan
Teknik
Sumber
Pengumpulan
Data
Data
Menganalisis
Data primer
Metode transek
komposisi dan
dari hasil
dan
plot
keanekaragaman pengumpulan kuadrat
jenis mangrove data langsung
di Pulau
di lapangan
Kaledupa

Teknik
Analisis
Data
Analisis
vegetasi

Menganalisis
 Data citra  Pengumpula
luas tutupan dan
landsat
n citra
tingkat
landsat
 Data
degradasi
tajhun 1996
koordinat
mangrove di
dan 2014
Pulau Kaledupa
 Pengambilan
Taman Nasional
data
Wakatobi
koordinat
 Observasi

Analisis
SIG

Menganalisis
korelasi antara
ukuran tubuh
kepiting bakau
(Scylla serrata)
dengan tingkat
kerusakan
mangrove

Data primer  Koleksi data
dari
hasil
NDVI tiap
pengumpulan
stasiun
data langsung  Pengukuran
di lapangan
morfometrik
kepiting

Analisis
korelasi

Merumuskan
upaya
pengendalian
degradasi
ekosistem
mangrove

Data primer
 Wawancara
dari hasil
 Observasi
pengumpulan
data di
lapangan

Analisis
SWOT

Keluaran

Komposisi
dan
keanekaraga
man jenis
mangrove
di Pulau
Kaledupa
Peta luas
tutupan dan
tingkat
degradasi
mangrove
pada tahun
1996 dan
2014

Data
korelasi
antara
tingkat
ukuran
tubuh
kepiting
bakau
(Scylla
serrata)
dengan
tingkat
kerusakan
mangrove
Strategi
pengendalia
n degradasi
ekosistem
mangrove

18

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove
Titik pengamatan ditempatkan pada 4 titik ekosistem mangrove di Pulau
Kaledupa, yaitu di Desa Tanomeha (I), Desa Balasuna (II), Desa Lewuto (III) dan
Desa Tampara-Horuo (IV). Pada setiap desa dibuat masing-masing dua transek
pengamatan. Panjang transek bervariasi antar desa, yaitu berkisar antara 202 m –
526 m. Pada setiap garis transek dibuat plot pengamatan berukuran 10 x 10 m.
Plot-plot pengamatan diletakkan secara kontinu pada sisi kiri dan sisi kanan
sepanjang garis transek. Jumlah total plot pengamatan pada empat titik
pengamatan adalah 165 plot.

Keterangan : T : Tree/pohon dbh > 20 cm, P : Pole/tihang dbh