Metode Istidlāl Inference

H ASAN B AKTI N ASUTION : Mashsha’iyah: Mazhab Awal Filsafat Islam J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 77 تﺎﻣﻮﻘ او تﺎﻬﻳﺪ او تﺎﻤﻠﺴ ا ﺎﻬﻴﻓ ﻞﻤﻌﺘﺴ ﻟا ﺔﻤﻈﻨ ا ﺔﻘ ﺮﻄﻟا ﻮﻫ نﺎﻫﻟا قﺪﺻ ﻦﻣ ﻖﻘﺤﺘﻠ وا ﺔﻗدﺎﺻو م+ﺣا -إ لﻮﺻﻮﻠ تﺎﻔﻠﺘﺨ ا 2ﻧاﻮﻘﻟاو ﺔ ﺮﻈ4او م+ﺣﻻا . 7 ﻞﻤﻌﺘﺴ8 ﺎﻣ9و ةﺪﻳﺪﺟ ﺎﻳﺎﻀﻗ ﻦﻋ ﻒﺸﻜا 7 ﺎﻣا ﻞﻤﻌﺘﺴ8 نﺎﻫﻟاو +ﺣﻻا قﺪﺻ ﻦﻣ ﺪﻴAﺄCا م. Burhan ialah sebuah metode sistematis yang dipergunakan sebagai undang-undang yang berbeda-beda baik yang diperoleh secara mudah atau melalui proses pemikiran, atau menggunakan beberapa metode perumusan kebenaran yang ada untuk memperoleh suatu hukum dan kebenaran, atau menguatkan suatu kebenaran yang dimulai dari penerimaan pengetahuan yang sudah ada. Karena itu, metode burhan digunakan untuk menemukan sebuah masalah baru kebenaran dan atau untuk menguatkan kebenaran.

C. Metode

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa burhani sebagai cirinya Mashsha’iyah merupakan metode berpikir yang bertujuan untuk: 1 menemukan kebenaran istidlāl dan 2 menguji suatu kebenaran.

1. Metode Istidlāl Inference

Metode istidlāl berupaya memperoleh suatu pengetahuan yang belum diketahui berdasarkan pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sesuai dengan devinisi istidlāl, yaitu: لﻮﻬﺠ ا -إ ﺔﻠﻴﺳو لﻮﻬﺠ ا ماﺪﺨﺘﺳﺈﺑ لﻮﻬH ﺮIأ -إ مﻮﻠﻌﻣ ﺮIأ ﻦﻣ ﻦﻫKا ﻻﺎﻘﺘﻧإ 11 Memindahkan pemikiran dari masalah yang sudah diketahui kepada yang belum diketahui dengan menggunakan yang sudah diketahui sebagai sarananya. Di dalam penerapannya istidlāl memiliki dua bentuk. Pertama, penyimpul- an langsung istidlāl al-mubashir, yaitu melalui pemahaman terhadap sebuah pernyataan dapat diketahui pengetahuan baru. Misalnya pernyataan: ____________ 11 Muhammad Nur Ibrahim, Ilmu Manthiq Jakarta: al-Husna, 1985, h. 23. H ASAN B AKTI N ASUTION : Mashsha’iyah: Mazhab Awal Filsafat Islam J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 78 “Semua manusia akan mati”. Dari pernyataan ini secara langsung dapat disimpulkan: “Tidak ada manusia yang tidak mati”. 12 Dengan demikian, dari pernyataan “semua manusia akan mati” secara langsung dapat diketahui pengetahuan baru, yaitu “tidak satupun manusia yang tidak mati”. Kedua, penyimpulan tidak langsung istidlāl ghayr al-mubashir, yaitu untuk mengetahui suatu keputusan dibutuhkan adanya proses premis minor dan mayor, seperti: Alam berubah-ubah ا Setiap yang berubah-ubah baru ثد ﺡ آو Alam baru. ثد ﺡ ا Penerimaan kebenaran alam baru tidak langsung diperoleh dari pernyataan pertama, yaitu “alam berubah-ubah” premis minor, melainkan membutuhkan pernyataan kedua, yaitu “setiap yang berubah-ubah baru” premis minor. Pengetahuan baru, yaitu alam baharu, diterima adanya menurut tata berpikir logika kendati tidak secara langsung. Karena itu, hasil pemikiran ini disebut logis melalui penyimpulan tidak langsung. Metode penetapan keputusan ini diaplikasi dalam, setiap kali, pengambilan keputusan sehingga dapat diketahui pengetahuan-pengetahuan baru. Namun untuk memperoleh kesimpulan yang shahih valid dalam penetapan premis harus melalui beberapa ketentuan. Jika tidak akan terjadi kebohongan fallacy dalam berpikir. Dengan kata lain, penempatan premis benar, namun terdapat kandungan premis yang salah, maka berujung pada kesimpulan yang salah, seperti: Babi makanan premis minor Setiap makanan boleh dimakan premis mayor Babi boleh dimakan konklusi, natijah. Kesalahan di sini terletak pada premis mayor, karena tidak setiap makanan boleh dimakan. Oleh karena itu setiap premis harus mengandung kebenaran pada maknanya sehingga kesimpulannya tidak bias. Oleh karena itu terdapat ____________ 12 Bandingkan: Hasbullah Bakry, Sistimatik Filsafat Jakarta: Wijaya, 1980, h. 37. H ASAN B AKTI N ASUTION : Mashsha’iyah: Mazhab Awal Filsafat Islam J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 1, Juni 2016 79 sembilan syarat suatu sillogisme dianggap benar, yaitu: 13 a Suatu sillogisme hanya mempunyai tiga term premis, ḥad, yaitu ḥad ṣughra, ḥad kubra, dan ḥad awsāṭ; b Suatu sillogisme hanya terdiri dari tiga kalimat keputusan premis, qaḍiyah, yaitu minor ṣughra, mayor kubra, dan konklusi natijah; c Term yang menjadi medium ḥad awsāṭ pada premis mayor dan minor salah satunya harus bersifat kulli distributed; d Term yang kulli pada konklusi harus kulli pada premis terdahulu; e Salah satu premis harus yang afirmatif mujabah; f Bila salah satu premis bersifat negatif maka konklusinya juga harus negatif; g. Kedua premis tidak boleh sama-sama juz’iy parsial atau sama-sama negatif salibah; h Bila salah satu premis juz’iy parsial maka konklusi juga harus juz’iy parsial, dan i Tidak ada konklusi jika premis mayor bersifat juz’iy dan pemis minor bersifat negatif.

2. Metode Pengujian Kebenaran