Fenomena Pesantren Soko Tunggal

Diskursus Deradikalisasi Agama .... Hasyim Muhammad, dkk. Walisongo Walisongo Walisongo Walisongo , Volume 23, Nomor 1, Mei 2015 205 pemikiran dan ideologi serta manhaj Ikhwanul Muslimin di Mesir. Hizbut Tahrir Indonesia merepresentasikan jaringan Hizbut Tahrir Internasional yang berbasis di Yordania. Dakwah Salafi merepresentasikan jaringan Dakwah Salafi yang berada di Saudi Arabia, Kuwait dan Yaman. 17 Ketiga gerakan tersebut, menurut Imdadun Rahmat, merupakan aktor penting gerakan revivalisme Islam di Indonesia. Ketiganya memiliki ciri-ciri revivalis sebagaimana disebutkan di atas. 18 Selain faktor-faktor kaitan dengan jaringan internasional dunia Islam, situasi tersebut juga bertemu dengan kondisi-kondisi umum sosial ke- masyarakatan Indonesia yang berada dalam situasi transisi demokratis, faktor dinamika perekonomian, serta faktor-faktor lainnya. Dengan kata lain, Faktor- faktor yang mempengaruhi kemunculan radikalitas keagamaan bisa muncul dari internal dan eksternal serta dialektika keduanya. 19

C. Fenomena Pesantren Soko Tunggal

Soko Tunggal merupakan salah satu pesantren di Kota Semarang. Pesantren ini pada berdiri pada tahun 1997 dengan nama pesantren An- Nuriyyah, namun masyarakat lebih mengenal pesantren ini dengan nama Pe- santren Soko Tunggal. Nama Soko Tunggal berasal dari bangunan masjid yang menjadi cikal bakal pesantren ini dengan soko tunggal satu tiang. Masjid Soko Tunggal itu kini jauh lebih baik. Ditunjang dengan sarana prasarana memadai serta ada pengembangan bentuk dan model pendidikannya. Masjid Soko Tunggal yang amat sangat sederhana sekarang berdiri di atas lahan satu hektar di Jalan Sendang Guwo Raya No. 36-43 di Kota Semarang, yang kemudian dikenal sebagai Pondok Pesantren Soko Tunggal. Pondok Pesantren Soko Tunggal sampai sekarang ini tidak menerapkan konsep klasikal dalam mendidik santri-santrinya. Artinya, tidak ada kurikulum baku dan terstruktur atau pengajian dengan bahasan-bahasan khusus. Ke- giatan belajar mengajar tidak menggunakan kitab-kitab kuning tertentu yang disesuaikan mata pelajaran sebagaimana pesantren yang menggunakan sistem klasikal. Andai pun pengajaran yang menggunakan referensi itu hanya kitab- kitab kecil seperti Fatḥ al-Qarīb, Tafsīr Jalālain, Ajurūmiyyah dan Imriṭi Naḥwu ______________ 17 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Islam Timur Tengah ke Indonesia, h. 157. 18 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Islam Timur Tengah ke Indonesia, h. 158. 19 Mudjahirin Thohir, Multi-Kulturalisme, Agama, Budaya dan Sastra, h. 31. Hasyim Muhammad, dkk. Diskursus Deradikalisasi Agama .... Walisongo Walisongo Walisongo Walisongo , Volume 23, Nomor 1, Mei 2015 206 dan Ṣaraf, Fatḥ al-Mu’īn dan Sulam Tawfīq. Karena santri-santri yang menimba ilmu di Pondok Pesantren Soko Tunggal rata-rata sudah matang dari sisi keilmuan agama, selain itu juga telah banyak tahu dan bahkan ada yang sarjana dari perguruan tinggi Islam. Oleh Gus Nuril dikatakan bahwa santri-santri yang matang ini sesungguh- nya yang jadi kiai di Pondok Pesantren Soko Tunggal. Misalnya, Kiai Masnun Rosyid al-Hafizh dan Kiai Abdullah Adib. Adapun pengajian yang sifatnya rutin yaitu pada malam Rabu, malam Kamis dan malam Jum’at. Rutinan ngaji hanya berisi ritual riyāḍah dan shalat kemudian bahasan tasawuf. Sedangkan tiap-tiap bulan khataman al-Qur’an. Kegiatan harian sebagaimana biasa anak-anak me- ngaji. Ada pula yang tiap hari menghafal al-Qur’an. Ditambah dengan pem- bekalan keterampilan otomotif dan peternakan. Pada akhir tahun diselenggara- kan kegiatan-kegitan selayaknya pesantren umumnya yaitu Akhirussanah. Secara umum proses pengajaran di Pondok Pesantren An-Nuriyah bersifat kondisional. Tidak harus duduk di masjid atau tempat khusus lain di pesantren. Pada suatu kesempatan baik siang atau malam ketika orang datang silaturahmi di sana ada proses interaksi atau tanya jawab, maka pada saat itulah proses pengajaran berlangsung. Orang-orang yang datang dari kalangan biasa, per- usahaan, instansi dan lain sebagainya juga disebut sebagai santri. Tidak ada materi khusus yang diajarkan. Pelajaran diberikan Gus Nuril sesuai kebutuhan santri baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Untuk yang teakhir itu Gus Nuril tidak menyebutnya kafir atau non-Islam. Mereka sama beragama Islam hanya belum sempurna. Tugas Gus Nuril menyempunakannya sehingga bisa ber-Islam. Baru saja ada anaknya sampurna non-Muslim mengajak debat perihal tasawuf. Sekarang malah dia ingin menyempurnakan agamanya dengan umroh. Pola belajar mengajar di Pondok Pesantren Soko Tunggal yang demikian ini oleh Gus Nuril dinamai sebagai ‘pola sendiri’. Dalam sejarah Islam dikenal pernah ada seorang tokoh masyhur bernama Ibnu Abbas yang membuat pesantren dengan ‘pola sendiri’. Ibnu Abbas dalam mendidik santri-santrinya tidak menggunakan sistem klasikal. Sebagaimana yang dilakukan Gus Nuril sekarang hanya memberikan materi yang dibutuhkan para santri. Apalagi para santri sudah sarjana dan pernah mengenyam pendidikan yang tersistem. Maka, pelajaran yang pokok di Pondok Pesantren Soko Tunggal yaitu pengenalan agama untuk aplikasi dan pembekalan moral semata. Mengajarkan supaya ruh Diskursus Deradikalisasi Agama .... Hasyim Muhammad, dkk. Walisongo Walisongo Walisongo Walisongo , Volume 23, Nomor 1, Mei 2015 207 Islam bisa dipakai untuk bekal hidup sehari-hari. Tidak ada ijazah yang dikeluarkan bagi lulusan pesantren An-Nuriyah. Adapun yang dimaksud lulus itu misalnya sudah hafal al-Qur’an, menikah, ke luar atau berumah tangga sendiri. Pesantren yang menerapkan ‘pola sendiri’ ini juga tidak punya catatan resmi berapa banyak santrinya. Jumlah santri biasanya diukur dari jumlah pembagian sarung di Bulan Ramadhan. Perlu diketahui bahwa tiap-tiap jelang Lebaran Idul Fitri Pondok Pesantren Soko Tunggal membagikan sarung gratis sebanyak 1.500 untuk santrinya. Sarung sejumlah itu pun tidak mencukupi keperluan semua santri An-Nuriyah. Para santri dari daerah-daerah rela ber- datangan ke Soko Tunggal hanya sekadar mengambil sarung. Padahal, jika dinilai nominal, ongkos pulang pergi untuk ambil sarung jauh lebih mahal daripada harga sarung itu sendiri. Tetapi, kalau tidak mengambil sarung dari gurunya serasa kurang afḍal. Itulah cara pesantren ‘Bhinneka Tunggal Ika Multiagama’ ini menghitung jumlah santrinya.

D. Diskursus Radikalisme di Pesantren