RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY BILLS (South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

(1)

RESPON KOREA SELATAN TERHADAP

JAPAN’S NEW SECURITY BILLS

(South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

DINI OKTAVIA

20130510103

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

HALAMAN JUDUL

RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY BILLS

(South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Studi pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : Dini Oktavia 20130510103

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 23 Desember 2016


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Respon Korea Selatan Terhadap Japan’s New Security Bills”

dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata-1 (S1) dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan sekaligus sebagai penerapan konsep dan teori yang telah penulis peroleh selama di bangku kuliah. Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini mengalami beberapa kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.Oleh karena itu dengan keikhlasan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A selaku Rektor Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Ali Muhammad, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik.

3. Ibu Dr. Nur Azizah, M.Si selaku Ketua Program Studi Hubungan

Internasional.

4. Bapak Prof. Tulus Warsito, M.Si selaku Pembimbing Utama yang telah

membimbing dan memberikan saran yang sangat membantu dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Husni Amriyanto, M.Si selaku Dosen Penguji I yang telah


(5)

v

6. Ibu Grace Lestariana W., S.Ip, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah

menguji dari Ujian Proposal hingga Ujian Pendadaran serta memberikan banyak sekali masukan yang sangat membantu dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Surwandono, M.Si selaku Dosen Penguji pada Ujian

Proposal yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini, serta yang telah dengan sangat sabar mendengarkan setiap opini yang penulis sampaikan dari ketika proses belajar di bangku kuliah hingga penulisan skripsi.

8. Bapak Idham Badruzaman, M.A selaku Asisten Dosen yang telah

memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan penuh motivasi selama semester empat di bangku kuliah.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang bermanfaat.

10.Bapak Jumari, Pak Waluyo, Pak Ayub dan staff Prodi HI yang siap dan

sabar melayani pertanyaan mahasiswa.

Terima kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda. Amiin.

Yogyakarta, 23 Desember 2016


(6)

vi

MOTTO

I promise myself, I Won’t Use My Knowledges

Inhumanly

And I’m Going to Live My Dreams, thus I’d become

someone who I’m not ashamed to be...


(7)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

This undergraduate thesis is dedicated to my beloved

and perfect parents,


(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

KATA PENGANTAR ...iv

MOTTO ...vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRACT ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Kerangka Dasar Pemikiran ... 8

Konsep Kepentingan Nasional ... 9

Teori Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri ... 11

D. Hipotesa ... 17

E. Tujuan Penelitian ... 17

F. Jangkauan Penelitian ... 17

G. Metode Penelitian ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II DINAMIKA MILITER JEPANG DAN JAPAN’S NEW SECURITY BILLS ... 21

A. Sejarah Militer Jepang ... 21

B. Perubahan Struktur Militer Jepang ... 24

C. Japan’s New Security Bills ... 29

BAB III POLITIK LUAR NEGERI KOREA SELATAN TERHADAP JEPANG DAN IMPLIKASI PEMBERLAKUAN JAPAN’S NEW SECURITY BILLS PADA HUBUNGAN BILATERAL JEPANG-KOREA SELATAN ... 47

A. Gambaran Umum Politik Luar Negeri Korea Selatan Terhadap Jepang ... 47

B. Hubungan Bilateral Jepang - Korea Selatan dan Bayangan Masa Lalu ... 50

C. Japan’s New Security Bills dan Implikasi Terhadap Hubungan Bilateral Jepang dan Korea Selatan ... 56


(9)

ix

BAB IV RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY

BILLS ... 60

A. Bentuk Respon Korea Selatan Terhadap Pemberlakuan Japan’s New Security Bills ... 61

B. Alasan Korea Selatan Merespon Negatif Pemberlakuan Japan’s New Security Bills ... 67

a. Kondisi Politik Domestik Korea Selatan Pada Masa Pemerintahan Presiden Park Geun-hye ... 68

b. Kondisi Ekonomi dan Militer Korea Selatan ... 75

c. Sengketa Pulau Dokdo/Takeshima Antara Jepang dan Korea Selatan... 82

BAB V KESIMPULAN ... 90


(10)

(11)

Respon Korea Selatan Terhadap Japan’s New Security Bills (South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

Dini Oktavia 20130510103

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Email : oktavia.dini2710@gmail.com

ABSTRACT

Japan’s New Security Bills became a controversial policy during the reign of Prime Minister Shinzo Abe. Abe administration claims that Japan's new security bills have positive goals both for inside and outside the country. Nevertheless, the South Korean government responded negatively the implementation of Japan's new security bills. This study will explain why the South Korean government responded negatively towards Japan's new security bills, using the concept of national interest and theory of foreign policy decision-making in order to obtain better understanding about the specific reason that prompted the policy. The preliminary results of the research show that the South Korean government responded negatively toward Japan's new security bills because they overshadowed deep trauma of the past Japanese imperialism, in addition to the South Korean government regards the implementation of Japan's new security bills will have implications on bilateral relations, that the condition is quite susceptible. South Korean domestic political conditions, economic conditions and military capabilities to territorial disputes between Japan and South Korea became the most significant reason why South Korea responded negatively Japan's New Security Bills.


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korea Selatan merupakan sebuah negara di Asia Timur yang secara geografis meliputi bagian selatan Semenanjung Korea, dengan ibu kota Seoul. Batas wilayah sebelah utara adalah Korea utara yang pernah menjadi satu negara hingga tahun 1948. Sebelah barat adalah Laut Kuning, kemudian berbatasan dengan Laut Jepang yang biasa disebut sebagai Laut Timur oleh orang-orang Korea. Korea Selatan adalah negara yang pernah menjadi objek imperialisme Jepang. Sejarah pendudukan Korea olah Jepang dimulai pada tahun 1905 setelah Perang antara Rusia dan Jepang. Pada tahun 1910, Tokyo secara resmi menganeksasi seluruh Semenanjung. Korea merdeka setelah Jepang menyerah kepada Amerika Serikat pada tahun 1945. Setelah Perang Dunia II, pemerintahan yang berdasarkan demokrasi-(Republik Korea, ROK) didirikan di bagian selatan Semenanjung Korea sementara pemerintah komunis diterapkan di utara (Republik Demokratik Rakyat Korea, DPRK). Selama Perang Korea (1950-1953), tentara AS dan pasukan PBB berjuang bersama tentara ROK untuk membela Korea

Selatan dari invasi DPRK yang didukung oleh Cina dan Uni Soviet.1

Korea merupakan negara yang terus-menerus diperebutkan oleh Cina, Jepang dan Rusia, karena memiliki letak yang strategis. Perebutan wilayah itu berhenti setelah Jepang berhasil menguasai Korea (1910-1945). Ketika itu pula

1 EAST & SOUTHEAST ASIA- Korea, South “Introduction and Geography” The World FactBook dalam


(13)

2

Kerajaan Choson dan kedaulatan bangsa Korea berakhir. Selama 35 tahun Korea menjadi jajahan Jepang. Pengakuan dunia internasional atas intervensinya ke Korea diperoleh Jepang melalui kemenangannya dalam perang melawan Cina (1894-1895) dan Rusia (1904-1905). Lebih jauh, Jepang memantapkan posisi pendudukannya di Korea di mata dunia internasional dengan membentuk aliansi Inggris-Jepang pada tahun 1902 dan menandatangani nota kesepakatan dengan

Amerika dalam perjanjian Taft-Katsura pada tahun 1905.2

Korea mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kepada Amerika Serikat. Pasca kemerdekaan hubungan Korea dan Jepang berlanjut pada hubungan diplomatik setelah pemisahan Korea, Jepang dan Republik Korea (ROK) menjalin hubungan diplomatik pada Desember 1965, dibawah Perjanjian tentang Hubungan-Hubungan Dasar antara Jepang dan Republik Korea, dengan Jepang mengakui Korea Selatan sebagai satu-satunya

pemerintahan sah di semenanjung Korea.3

Hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang mencapai titik baru ketika pada tahun 1998 Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung dan Perdana Menteri

Jepang Keizo Obuchi menandatangani The Joint Declaration on a New

Japan-South Korea Partnership Towards the Twenty-First Century. Deklarasi bersama ini dibangun atas inisiatif untuk mengatasi kesenjangan persepsi sejarah dan

memperluas hubungan ekonomi dan politik.4 Hubungan bilateral Korea Selatan

2 Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati, (2003), Sejarah Korea Sejak Awal Abad Hingga

Masa Kontemporer, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 136

3The World FactBook Op.Cit.

4James L. Schoff, Duyeon Kim, November 2015, CARNEGIE Endowment For International Peace, “Getting Japan-South Korea Relation Back On Track” dalam

http://carnegieendowment.org/2015/11/09/getting-japan-south-korea-relations-back-on-track-pub-61918 Diakses pada 24 Oktober 2016


(14)

3

dan Jepang terus dijaga keharmonisannya dengan melakukan berbagai kerjasama bilateral, baik dalam bidang ekonomi, politik hingga kebudayaan.

Sebagai dua negara terkuat di Asia dan paling maju demokrasinya, Korea Selatan dan Jepang dapat memainkan peran utama dalam membentuk kembali politik di kawasan itu. Persamaan umum ke dua negara yang sama-sama menerapkan nilai-nilai liberal, supremasi hukum, kebebasan pers, dan sejenisnya dapat membentuk pusat gravitasi baru di Asia. Dengan kepercayaan yang cukup dan dengan pengalaman yang terus tumbuh, Korea Selatan dan Jepang dapat bekerja sama dengan sekutu mereka yakni Amerika Serikat untuk menegakkan tatanan aturan yang berbasis di Asia, yang telah memberikan keamanan dan stabilitas selama beberapa dekade. Korea Selatan dan Jepang juga dapat membantu mendorong penerapan demokrasi di negara lainnya di Asia, seperti negara liberalisasi baru Myanmar, dan mendorong negara yang telah berpaling

dari demokrasi, seperti Thailand, untuk kembali ke prinsip-prinsip liberal.5

Selain itu Korea Selatan dan Jepang sangat bergantung pada sistem perdagangan global yang handal dan terbuka untuk memberikan stabilitas keuangan dan sumber daya. Ke dua negara telah memperoleh manfaat besar dari lembaga regional dan internasional, dari perdagangan bilateral yang diperluas ($ 224.000.000 pada tahun 1965 menjadi $ 84 miliar 2014), dan dari perlindungan inovasi dan hak kekayaan intelektual teknologi, antara keuntungan lain dari tatanan aturan berbasis liberal. Ke dua negara juga berbagi kepentingan nasional dalam melindungi sumber daya dan lingkungan dari efek buruk globalisasi dan

5Michael Austin, Desember 2015, “A new era in South KoreanJapanese relations begins

American Enterprise Institute dalam https://www.aei.org/publication/a-new-era-in-south-korean-japanese-relations-begins/. Diakses pada 24 Oktober 2016


(15)

4

modernisasi untuk mengarahkan ke arah pertumbuhan yang lebih berkelanjutan di masa depan. Kepentingan global yang memiliki tantangan besar dan juga resiko tinggi dan menyoroti nilai kerjasama bilateral serta kepemimpinan, isu-isu tersebut dapat membantu menangkal kecenderungan masing-masing negara untuk

meremehkan nilai strategis ke dua negara.6

Selanjutnya berkaitan dengan isu Japan’s new security bills, pada tanggal

16 Juli 2015, majelis rendah Jepang menyetujui undang-undang keamanan yang didukung oleh Perdana Menteri Shinzo Abe, langkah menuju kodifikasi yang menjadi salah satu perubahan terbesar dalam postur keamanan Jepang sejak akhir Perang Dunia II. Terutama, undang-undang keamanan ini akan mengizinkan

Pasukan Bela Diri Jepang untuk terlibat dalam collective self-defense. Bisa

ditebak, undang-undang (yang masih harus disetujui oleh majelis tinggi Jepang) telah memicu reaksi keras dari tetangga regional Cina, yang sudah sangat waspada

terhadap tanda-tanda bahwa Jepang berusaha untuk melakukan remilitarisasi.7

Hingga akhirnya Pada September 2015, Komite Parlemen Jepang telah

mengesahkan undang-undang yang kontroversial mengenai Japan’s new security

bills tersebut. Pengesahan undang-undang ini memperbolehkan Jepang untuk memperluas peran militernya. Undang-undang ini disahkan meskipun terjadi

beberapa bentrokan dalam parlemen.8

6CARNEGIE Endowment For International PeaceOp.Cit

7Justin McCurry, September 2015,“Japanese soldiers could fight abroad again after security bill passed,” TheGuardian News dalam http://www.theguardian.com/world/2015/sep/18/japanese-soldiers-could-fight-abroad-again-after-security-bill-passed#. Diakses pada 05 April 2016

8Kim Min-ji, report September 19 2015, “PRIME TIME NEWS 22:00 Japan passes controversial security bills as protests rage on,” ARIRANG TV NEWS dalam


(16)

5

Pemerintahan Shinzo Abe mengklaim pemberlakuan Japan’s New Security

Bills inimemiliki tujuan positif baik untuk di dalam maupun luar negeri. Tujuan dalam negeri yaitu untuk menjaga keamanan dan integritas Jepang, sementara tujuan luar negeri adalah untuk berkontribusi pada stabilitas keamanan dan perdamaian dunia. Kontribusi pada stabilitas keamanan dan perdamaian dunia merupakan pilar penting dari kebijakan luar negeri Jepang, dan Abe menghormati permintaan masyarakat internasional yang menginginkan Jepang untuk bisa lebih berkontribusi bagi keamanan dunia dengan mempromosikan kontribusi proaktif

Jepang untuk perdamaian internasional melalui pemberlakuan Japan’s New

Security Bills. Dengan pemberlakuan Japan’s New Security Bills ini militer Jepang dapat berkontribusi salah satunya pada aktivitas peace keeping dan

penyediaan dukungan logistik saat melakukan collective-defense untuk mengatasi

situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional, berdasarkan

resolusi PBB atau konsensus internasional lainnya.9

Amerika Serikat dan ahli keamanan barat sendiri menyambut dengan baik kebijakan baru Undang-undang keamanan Jepang yang memperbolehkan militer Jepang untuk lebih aktif berpartisipasi untuk keamanan regional, dan tentu saja dapat membantu mengawasi Cina dan militernya di Laut Cina Selatan dan mendorong Jepang untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam aliansi keamanan mereka. Ahli kajian strategi Asia, Keith Henry menganalogikan Jepang sebagai "anak berusia 42 tahun yang masih tinggal di ruang bawah tanah Amerika Serikat," dan mengatakan bahwa dengan mengadopsi undang-undang keamanan

9 Akiyama, Masahiro, August 08 2015, “The Objectives of Japan’s New Security Legislation,” The Tokyo Foundation dalam http://www.tokyofoundation.org/en/articles/2015/objectives-of-new-security-legislation Diakses pada 21 November 2016


(17)

6

yang baru membuat Jepang akhirnya “tumbuh”dan bergerak di luar konsep perdamaian dan demokrasi yang tidak lagi dipraktikan karena hasil yang diberikan perubahan cepat pada lanskap geopolitik saat ini. "Namun, anak-anak berusia 42 tahun cenderung tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik di "dunia nyata. " Jepang akan mengalami kesulitan memenuhi tanggung jawab baru yang dibawa oleh postur keamanan proaktif baru.

Disisi lain reinterpretasi undang-undang keamanan Jepang menimbulkan berbagai reaksi dari wilayah regional yaitu Korea Selatan dan Cina. Cina dengan terang-terangan menyebut gagasan reinterpretasi undang-undang keamanan

Jepang sebagai sebuah skenario mimpi buruk dan noda gelap untuk Jepang.10

Sebagaimana yang disampaikan oleh juru bicara Kementrian Luar Negeri Cina Hua Chunying,

“Due to historical reasons, Japan’s moves in the military and security field

are closely watched by its Asian neighbors and the international community. The

approval of the new security bills by Japan’s House of Representatives is an

unprecedented move since the Second World War, and may lead to significant

changes in Japan’s military and security policies. It is fully justified to ask if

Japan is going to give up its exclusively defense-oriented policy or change the path of peaceful development that has been long pursued after the Second World War. We notice that there is also strong objection to the new security bills within Japan. This year marks the 70th anniversary of the victory of the Chinese

People’s War of Resistance Against Japanese Aggression and the World Anti-Fascist War. At such a moment when people around the world memorize history and hope for peace, we solemnly urge the Japanese side to draw hard lessons from history, stick to the path of peaceful development, respect the major security

10 Shannon Tiezzi, July 17 2015, Cina: Japan Security Legislation a 'Nightmare Scenario',” The Diplomat Magazine dalam http://thediplomat.com/2015/07/Cina-japan-security-legislation-a-nightmare-scenario/. Diakses Pada 5 April 2016


(18)

7

concerns of its Asian neighbors, and refrain from jeopardizing Cina’s sovereignty

and security interests or crippling regional peace and stability.”11

Sejalan dengan Cina, Korea Selatan juga memiliki respon yang negatif

terhadap pemberlakuan Japan’s new security bills. Pemerintah Korea Selatan

merespon dengan cepat pemberlakuan Japan’s new security bills pada 19

September 2015, menekankan bahwa pemerintah Korea Selatan tidak akan mentolelir berbagai macam tindakan militer oleh Jepang di Semenanjung Korea tanpa persetujuan pemerintah Korea Selatan.

Respon diberikan oleh Perdana Menteri Korea Selatan Hwang Kyo-ahn yang mengatakan pasukan pertahanan diri Jepang hanya bisa maju atau memasuki semenanjung Korea setelah berkonsultasi dengan pemerintah Korea.

“Japan′s selfdefense forces will be able to enter the Korean Peninsula in

consultation with the Korean government.”

Perdana Menteri Korea Selatan Hwang Kyo-ahn saat sesi interpelasi pada hari Rabu 14 Oktober 2015 mengatakan militer Jepang bisa maju ke semenanjung Korea setelah berkonsultasi dengan pemerintah dalam kasus situasi tak terelakkan dan dalam batas-batas yang diperlukan.Hwang juga menekankan, bagaimanapun, sikap prinsip Korea Selatan adalah bahwa militer Jepang tidak diizinkan untuk memasuki semenanjung tanpa persetujuan pemerintah, serta tidak ada militer

11Cina Foreign Ministry Spokesperson Hua Chunying, July 2015, “Remarks on Japan's House of Representatives Approving New Security Bills,”Ministry of Foreign Affairs of The People’s

Republic of Cina dalam

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/xwfw_665399/s2510_665401/2535_665405/t1281847.shtml. Diakses pada 5 April 2016


(19)

8

asing manapun bisa datang ke wilayah Korea tanpa izin pemerintah Korea

Selatan.12

Dengan latar belakang hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang pasca pembentukan hubungan diplomatik tahun 1965 serta deklarasi tahun 1998 yang

terus diperbaiki dan dijaga keharmornisannya, serta tujuan pemberlakuan Japan’s

New Security Bills yang memiliki dampak positif untuk keamanan dunia,

memunculkan pertanyaan mengapa Korea Selatan merespon negatif

pemberlakuan Japan’s New Security Bills.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang

terbentuk adalah “Mengapa Korea Selatan Merespon Negatif Japan’s New

Security Bills?”

C. Kerangka Dasar Pemikiran

Untuk menganalisa permasalahan, penelitian ini membutuhkan sebuah konsep dan teori. Mohtar Mas’oed menyatakan bahwa konsep merupakan abstraksi yang mewakili suatu obyek, sifat suatu obyek, atau suatu fenomena tertentu. Mohtar Mas’oed menyimpulkan bahwa suatu konsep sebenarnya adalah sebuah kata yang melambangkan suatu gagasan serta dalam ilmu sosial konsep menunjuk pada sifat-sifat dari obyek yang dipelajarinya misalnya, orang, kelompok, negara, atau organisasi internasional yang relevan bagi studi

12Coonie Kim, report October 14 2015, “Japan′s selfdefense forces will be permitted to enter Korean peninsula under consultation”ARIRANG TV NEWS dalam


(20)

9

tertentu.13Selanjutnya, teori menurut Mohtar Mas’oed bukanlah sebuah dugaan.

Teori adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab pertanyaan “mengapa.” Artinya berteori adalah upaya memberi makna pada fenomena yang terjadi. Selain itu sebagai sarana eksplanasi, teori adalah yang paling efektif untuk digunakan, teori juga membantu dalam mengorganisasikan dan menata fakta yang diteliti. Untuk menganalisa permasalahan berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, penulis akan menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.

Konsep Kepentingan Nasional

Menjadi sebuah konsep yang penting dalam hubungan internasional, konsep kepentingan nasional memiliki banyak keterkaitan penting dengan

kebijakan luar negeri. Menurut Reynolds,14

“Foreign policy consist of a range of actions taken by varying sections of

the government of a state. The actions are taken with reference to other bodies acting on the international stage, of which the most important are other states, but which include, as we have seen, international, supranational, and transnational

groups, and occasionally also individuals.”

Selanjutnya Reynolds menyatakan bahwa kepentingan nasional adalah basis dari pembentukan kebijakan luar negeri. Berbagai kebijakan luar negeri ini diambil dengan memiliki tujuan. Lebih jauh Reynolds mengelaborasi bahwa tingkah laku negara dalam lingkungan internasional seharusnya merupakan

13Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, 1990, Yogyakarta : LP3ES, hal.93-94

14 Rumki Basu, International Politics : Concepts, Theories and Issues, 2012, India : SAGE Publications, hal. 57


(21)

10

tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan tujuan-tujuan tersebut

biasanya merupakan cerminan dari konsep kepentingan nasional.15

Dalam buku Mohtar Mas’oed yang berjudul Ilmu Hubungan

Internasional ; Disiplin dan Metodologi, disebutkan bahwa konsep kepentingan nasional adalah konsep dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Buku ini juga menjelaskan pemikiran Hans J. Morgenthau mengenai pandangannya terhadap konsep kepentingan nasional. Menurut salah satu tokoh realist ini kepentingan nasional harus menjadi dasar dalam strategi diplomasi untuk mencapai suatu tujuan negara, bukan pada alasan-alasan moral, legal dan

ideologi yang dianggapnya utopis dan bahkan berbahaya. 16

Selanjutnya, Konsep kepentingan nasional oleh Jack C. Plano dan Roy Olton diberi batasan sebagai berikut:

“Tujuan mendasar serta faktor paling menentukan yang memandu para pembuat

keputusan (Decision Making) dalam merumuskan politik luar negeri. Kepentingan

nasional merupakan konsepsi yang sangat umum dan merupakan unsur yang menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi Negara untuk mencakup kelangsungan hidup bangsa dan Negara, kemerdekaan, kemandirian, keutuhan wilayah, keamanan militer dan kesejahteraan ekonomi”.17

Adapun elemen-elemen dari kepentingan nasional menurut Jack C. Plano

dan Roy Olton mencakup pertahanan diri (self preservation), Kemandirian

(Independence), integritas teritorial (territorial integrity), kemanan militer, dan

kemakmuran ekonomi (economic wellbeing).

15Ibid, Hal. 57

16 Mohtar Mas’oed, Op. Cit. Hal. 139-141

17Jack C. Plano dan Roy Olton, (1969). International Relations Dictionary USA: Rinehart and


(22)

11

Dalam kasus Korea Selatan yang merespon negatif pemberlakuan Japan’s

New Security Bills, dapat dipastikan keputusan tersebut dipengaruhi oleh adanya kepentingan nasional Korea Selatan. Kepentingan nasional yang ingin dilindungi pemerintah Korea Selatan adalah kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer, hingga kesejahteraan ekonomi. Dengan kondisi politik domestik Korea Selatan yang kurang stabil pada masa pemerintahan Presiden Park Geun-Hye karena banyaknya skandal politik yang terjadi, mejadikan Korea Selatan khawatir instabilitas tersebut berdampak pada stabilitas negara Korea Selatan secara umum. Serta Korea Selatan masih memiliki trauma mendalam terhadap imperialisme Jepang, pemerintah Korea Selatan berusaha untuk selalu melindungi kemerdekaan yang telah diraih serta keutuhan wilayah, keamanan militer, hingga kesejahteraan ekonominya. Kepentingan nasional tersebut secara otomatis mempengaruhi proses

pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dalam isu Japan’s New Security

Bills.

Teori Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri

Dalam bukunya yang berjudul Introductions to International Politics,

William D. Coplin mengatakan bahwa suatu negara pasti akan memutuskan kebijakan luar negerinya berdasarkan dengan apa yang menjadi kepentingan nasional negara tersebut. Terdapat beberapa aspek yang perlu dipahami terlebih

dahulu sebelum suatu negara mengambil keputusan terhadap suatu isu.18 Dalam

bukunya William D. Coplin menggunakan analisa pendekatan rasionalitas.

18 William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis [Introduction to

international politics: a theoretical overview], 1992, Mersedes Marbun, Trans., 2nd Edition, Bandung: Sinar Baru


(23)

12

Pendekatan rasionalitas menekankan bahwa suatu negara adalah aktor untuk mencapai suatu kepentingan atau tujuan nasional. Untuk mencapai tujuan nasional itu negara harus mengkalkulasikan secara rasional setiap aspek dalam kancah politik global. Pada pendekatan ini, politik luar negeri yang dilakukan oleh sebuah negara merupakan respon terhadap apa yang dilakukan oleh negara lain. Pendekatan ini mencoba untuk menganalisa setiap respon apa saja yang akan

dilakukan suatu negara sebagai bentuk dari perhitungan yang rasional.19 Menurut

Coplin setiap kebijakan luar negeri yang diberikan dapat dilihat sebagai hasil dari tiga kategori pertimbangan yang mempengaruhi kebijakan luar negri negara (negara pengambil keputusan). Yang pertama adalah politik dalam negeri dalam kebijakan negara- negara pengambil keputusan. Yang kedua adalah kemampuan ekonomi dan militer negara. Yang ketiga adalah konteks internasional, posisi tertentu di mana suatu negara menemukan jati dirinya khususnya mengenai hubungannya dengan negara lain dalam suatu sistem.

Tiga kategori pertimbangan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara20 :

1. Situasi politik domestik, bahwa politik dalam negeri hanyalah seperangkat

determinan yang bekerja dalam politik luar negeri negara-negara. Walaupun keterbukaan suatu sistem politik atau tingkat stabilitas dalam negeri yang dialami oleh sistem itu bisa membentuk aspek-aspek politik luar negeri tertentu.

19Ibid. 20Ibid.


(24)

13

2. Situasi ekonomi dan militer, bahwa suatu negara harus memiliki

kemampuan dan kesediaan untuk menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk menopang politik luar negerinya. Termasuk faktor geografis yang selalu mendasari pertimbangan pertahanan dan keamanan.

3. Konteks Internasional, bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas

dampak konteks internasional terhadap politik luar negeri suatu negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politis. Lingkungan internasional setiap negara terdiri atas lokasi yang ditempatinya dalam kaitannya dengan negara-negara lain dalam suatu sistem, dan juga hubungan-hubungan ekonomi dan politik antara suatu negara dengan negara-negara lainnya.

Berikut penggambaran tiga kategori pertimbangan yang mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.

Bagan 1. Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri Menurut William D. Coplin21

21Ibid.

Domestic Politic

Decision Maker

Economic and Military Capability

Foreign Policy Action

International Context ( A Product of action by all other states, past, present and future possible or


(25)

14

Bagan diatas menggambarkan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara dapat dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri, khususnya politik dalam negeri. Kondisi politik domestik bisa hanya dipahami sebagai sistem pemerintahan yang diadopsi oleh negara bersangkutan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan kebijakan luar negeri adalah kemampuan ekonomi dan militer. Panjang perdebatan tentang mana yang lebih penting antara kemampuan ekonomi dan militer negara membuat kedua faktor berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Akhirnya, Coplin menyebutkan konteks internasional sebagai faktor ketiga yang harus dipertimbangkan oleh pelaku dan

pengambil keputusan kebijakan luar negeri.22

Dalam permasalahan Korea Selatan yang merespon negatif Japan’s New

Security Bills, hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi politik domestik Korea Selatan yang mengalami instabilitas dalam hal demokrasi. Demokrasi menjadi tantangan terbesar Korea Selatan pada tahun 2015, sejak pemerintahan Park Geun-Hye yang dimulai pada Februari 2013 tingkat demokrasi politik memerlukan perhatian khusus dan dapat dikatakan bahwa demokrasi liberal Korea Selatan berada dibawah ancaman. Serangkaian skandal politik telah menimbulkan keraguan atas mandat demokratis Partai Saenuri dan kepresidenan Park Geun-Hye, seperti dugaan intervensi Badan Intelijen Nasional dalam pemilihan presiden 2012 dalam mendukung Park Geun-Hye. Sudah bukan rahasia di Korea Selatan bahwa pemerintah konservatif telah menggunakan masalah keamanan untuk tujuan politik dalam negeri. Ditambah beberapa prasangka tentang administrasi Park Geun-Hye menyalahgunakan agenda keamanan untuk menyamarkan kinerja


(26)

15

politik yang buruk. Dari awal masa jabatannya, banyak calon untuk posisi kunci pemerintah - termasuk perdana menteri - belum melewati proses dengar pendapat parlemen atau harus berhenti dari jabatan karena tersandung skandal seks maupun politik. Selain itu daftar tugas diplomatik termasuk hubungan yang lamban atau memburuk dengan Kim Jong-un (Korea Utara), hubungan memburuk dengan

Shinzo Abe (Jepang) dan menghadapi dilema dinamika Cina-AS.23

Selanjutnya melihat ke faktor kondisi ekonomi dan militer, Korea Selatan merupakan negara dengan Ekonomi terbesar peringkat ke-13 di Dunia dengan PDB yang relatif tinggi per kapita. Memiliki ekonomi yang kuat, diversifikasi dan memiliki industri dan basis manufaktur yang sangat kompetitif secara internasional. Tetapi, pada akhir 2014 Korea Selatan menghadapi perlambatan ekonomi, populasi yang menua, memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi, meningkatnya pengangguran kaum muda, banyaknya utang rumah tangga dan

kemerosotan pasar real-estate.24

Serta dari segi militer berdasarkan analisa Global Firepower (GFP) kekuatan militer Korea Selatan masih lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan militer Jepang, sehingga Korea Selatan mengkhawatirkan segala bentuk collective-defense militer Jepang yang berpotensi dilakukan di wilayah semenanjung Korea. Dari konteks internasional, Korea Selatan pernah menjadi objek imperialisme Jepang dari tahun 1910 hingga tahun 1945 yang mengakibatkan trauma mendalam bagi Korea Selatan. Imperialisme Jepang di

23 Kim Keesok, January 14 2015, “Democracy is the biggest challenge for South Korea in 2015,” East Asia Forum dalam http://www.eastasiaforum.org/2015/01/14/democracy-is-the-biggest-challenge-for-south-korea-in-2015/ Diakses pada 20 Novemnber 2016

24Alexandra Dumitru, March 18 2016, “Korea Still Going Strong,”RaboResearch Global Economics dalam https://economics.rabobank.com/publications/2016/march/south-korea-still-going-strong/ Diakses pada 20 November 2016


(27)

16

Korea Selatan berbuntut pada klaim wilayah yang dilakukan kedua negara. Saat ini Korea selatan dan Jepang masih memiliki isu perebutanklaim atas pulau yang disebut Takeshima di Jepang dan Dokdo di Korea Selatan. Pertengkaran mungkin tampak kecil, terutama yang melibatkan kontrol perairan nelayan, tetapi hal tersebut berpengaruh besar terhadap hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang.

Untuk lebih memudahkan dalam memahami pengaplikasian konsep diatas, penulis membuat bagan ilustrasi aplikasi proses pengambilan keputusan luar

negeri Korea Selatan terhadap isu Japan’s New Security Bills, sebagai berikut.

Bagan II. Ilustrasi Aplikasi Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri Korea Selatan Terhadap Isu Japan’s New Security Bills

Korea Selatan memengalami instabilitas politik dalam hal demokrasi dan banyaknya skandal

politik.

Ekonomi : Korea Selatan adalah negara dengan ekonomi terbesar peringkat

ke 13 dunia. (Tetapi akhir 2014 Korea

Selatan mengalami perlambatan ekonomi.) Sementara Jepang berada di

peringkat 3 ekonomi terbesar di dunia. Militer : Kekuatan militer Korea Selatan masih lebih

rendah dibandingkan kekuatan militer Jepang. Pemerintahan Presiden

Park Geun Hye.

Korea Selatan merespon negatif

pemberlakuan

Japan’s New Security Bills.

Jepang menjajah Korea Selatan di masa lalu. Imperialisme Jepang

berbuntut pada permasalahan klaim wilayah. Korea Selatan

dan Jepang memperebutkan klaim wilayah atas pulau yang disebut Takeshima oleh

Jepang atau pulau Dokdo oleh Korea


(28)

17

D. Hipotesa

Dengan mengaitkan pokok permasalahan yakni pertanyaan mengenai

mengapa Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security

Bills dengan dasar pemikiran diatas. Korea Selatan merespon negatif

pemberlakuan Japan’s New Security Bills Karena Korea Selatan mengalami

instabilitas politik domestik terutama dalam hal demokrasi. Ketidakstabilan

politik ini menimbulkan kekhawatiran terhadap pemberlakuan Japan’s New

Security Bills akan mempengaruhi National Security Korea Selatan. Serta akan mengakibatkan Jepang melakukan intervensi dan bersikap agresif pada setiap konflik di wilayah regional Asia Timur, termasuk didalmnya berpengaruh terhadap perebutan klaim pulau Takeshima/Dokdo oleh Jepang.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan atau faktor-faktor

dominan yang mendorong Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s

New Security Bills. Disamping itu dengan penelitian ini penulis mengharapkan agar masyarakat internasional khususnya di wilayah Asia untuk lebih memperhatikan isu keamanan di Asia, sehingga nantinya masyarakat internasional khususnya di wilayah Asia akan lebih termotivasi untuk lebih berkontribusi pada perdamaian dan keamanan dunia.

F. Jangkauan Penelitian

Jangkauan dari penelitian ini dibatasi pada isu Japan’s New Security Bills,

dan Korea Selatan sebagai representatif negara di wilayah Asia Timur yang merespon terhadap isu tersebut. Penelitian ini akan berfokus pada alasan Korea


(29)

18

dipengaruhi kondisi politik domestik, kemampuan ekonomi dan militer Korea Selatan hingga konteks internasional yang mempengaruhi perilaku Korea Selatan dalam memutuskan kebijakan luar negerinya yang akan dijelaskan melalui

dinamika militer Jepang dan isu Japan’s New Security Bills, kondisi politik Korea

Selatan yang dilengkapi hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang yang dipengaruhi sejarah masa lalu yaitu imperialisme Jepang di Semenanjung Korea, hingga respon Korea Selatan terhadap isu tersebut. Adapaun batasan waktu yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu dimulai dari sejak munculnya isu Japan’s

New Security Bills pada tahun 2014, kemudian kemunculan berbagai respon dari Korea Selatan hingga awal tahun 2016.

G. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode ekplanatif yang bertujuan untuk

menjelaskan alasan Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New

Security Bills. Metode ini merupakan pencarian fakta dengan tujuan membuat gambaran yang sistematis, aktual dan akurat dalam meneliti fenomena yang terjadi.

b. Sumber Data

Penulis mengambil sumber penelitian dari data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari buku, jurnal, artikel, berita, dan website resmi.

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah telaah


(30)

19

literatur baik berupa buku, jurnal, dokumen, artikel, dan makalah. Selain itu

penulis mengumpulkan data dari berbagai website resmi, dan berita yang

berkaitan dengan isu yang diteliti.

d. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data, data-data sekunder yang penulis dapat digabungkan secara sistematis dan logis sesuai kebutuhan isu yang diteliti. Teknik analisa data yang penulis gunakan bersifat kualitatif, di mana data yang penulis dapatkan bukan berbentuk angka, melainkan melalui faktor-faktor yang relevan dengan topik penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari, Bab I yang berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka dasar pemikiran, hipotesa, tujuan penelitian, jangkauan penelitian, metode penilitian, dan sistematika penulisan. Kemudian Bab II, berisi penjelasan mengenai dinamika militer Jepang termasuk

mengenai perubahaan struktur militer Jepang. Kemudian kebijakan Japan’s New

Security Bills, dimulai dari proses pengajuan hingga pengesahan di parlemen,

faktor pendorong diberlakukannya Japan’s New Security Bills hingga respon

nasional mengenai pemberlakuan Undang-undang ini.

Dilanjutkan dengan Bab III akanmenjelaskan secara umum politik luar negeri Korea Selatan terhadap Jepang dan hubungan bilateral antara Jepang dan

Korea Selatan yang masih dibayangi sejarah masa lalu serta implikasiJapan’s


(31)

20

Bab IV berisi penjelasan mengenai bentuk respon yang diberikan pemerintah Korea Selatan dan hal-hal yang menjadi alasan Korea Selatan

merespon negatif Japan’s New Security Bills seperti kondisi politik domestik

Korea Selatan yang mengalami instabilitas politik dalam hal demokrasi akibat banyaknya skandal politik dalam pemerintahan Presiden Park Geun-Hye. Kemampuan eknomi dan militer Korea Selatan yang masih dibawah Jepang. Serta

masih terdapat national insecurity akibat trauma mendalam terhadap sejarah masa

lalu imperialisme Jepang di semenanjung Korea, juga pengaruh Japan’s New

Security Bills pada persengketaan Pulau Dokdo/Takeshima.

Dan terakhir yaitu Bab V yang berisi pemaparan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya sebagai bentuk penegasan atas penelitian ini.


(32)

21

BAB II

DINAMIKA MILITER JEPANG DAN JAPAN’S NEW

SECURITY BILLS

Militerisme Jepang atau Nihon gunkoku shugi memiliki arti yang merujuk

pada ideologi dalam kekaisaran di Jepang, bahwa militerisme harus mendominasi kehidupan sosial dan politik negara. Serta berarti kekuatan militer setara dengan kekuatan sebuah negara. Berdasarkan ideologi tersebut, dapat dikatakan bahwa Jepang memiliki keterkaitan yang kuat dengan militerisme. Dalam bab ini penulis akan membahas sejarah militer Jepang, berikut dengan perubahan struktur militer

Jepang hingga kebijakan Japan’s New Security Bills yang merupakan sebuah

kebijakan kontroversial yang dibuat pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe.

A. Sejarah Militer Jepang

Jepang adalah salah satu negara di dunia yang mengalami perubahan drastis pada sistem pertahanan dan keamanan negaranya. Sejak masa sebelum Perang Dunia II, Jepang merupakan negara ekspansionis yang sering bersikap agresif dalam melakukan berbagai interaksi dengan negara-negara lain di dunia. Jepang sangat berupaya untuk mewujudkan mimpinya sebagai negara pemimpin Asia.1

1Vicki Puspita Wijaya, 2006, “Pengembangan Kekuatan Militer Jepang Ditengah Peningkatan

Kekuatan Militer Negara-Negara Asia Pasifik” Skripsi S1, Universitas Muhammadiyah


(33)

22

Ketika Jepang memasuki masa Restorasi Meiji, restorasi tersebut berdampak salah satunya pada militerisme Jepang. Pada masa pemerintahan Meiji, militer memiliki pengaruh yang kuat pada masyarakat Jepang. Hampir semua pemimpin di masyarakat Jepang selama periode Meiji (baik dalam militer, politik, atau bisnis) adalah mantan samurai atau keturunan samurai, dan mereka saling berbagi seperangkat nilai-nilai dan pandangan. Awal pemerintahan Meiji memandang Jepang sebagai sebuah negara yang terancam oleh imperialisme Barat, dan salah satu motivasi utama dalam melaksanakan kebijakan Fukoku Kyohei dalam pemerintahan Meiji adalah untuk memperkuat pondasi ekonomi dan industri Jepang, sehingga militer yang kuat dapat dibangun untuk membela Jepang dalam melawan kekuatan luar. Selain memperhatikan kekuatan-kekuatan dari luar yang berpotensi mengancam Jepang, pemerintahan Meiji juga memperhatikan isu-isu domestik yang mengancam keamanan Jepang. Isu-isu domestik seperti ancaman dari berbagai pemberontak internal, misalnya Pemberontakan Saga, Pemberontakan Satsuma, dan berbagai pemberontakan lain seperti pemberontakan petani pedesaan membuat Jepang membutuhkan kekuatan

militer yang kuat.2

Dalam masa pemerintahan Meiji pun muncul wajib militer universal, diperkenalkan oleh Yamagata Aritomo pada tahun 1873, bersamaan dengan proklamasi reskrip Imperial terhadap Angkatan Darat dan Laut pada tahun 1882 yang memungkinkan militer untuk mengindoktrinasi ribuan orang dari berbagai latar belakang sosial dengan nilai-nilai militer-patriotik dan konsep kesetiaan yang tanpa ada pertanyaan maupun keraguan kepada Kaisar sebagai dasar negara

2Bern Martin, (1995), “Japan and Germany in the Modern World,” Berghahn Books, New York,


(34)

23

Jepang (Kokutai). Yamagata seperti kebanyakan orang Jepang sangat dipengaruhi

oleh keberhasilan mencolok Prussia (Kerajaan Jerman dimasa lalu) pada masa itu dalam mengubah dirinya dari sebuah negara pertanian untuk menjadi negara dengan kekuatan industri dan militer terkemuka dan modern. Ia menerima ide-ide politik Prusia, yang mendukung ekspansi militer luar negeri dan pemerintah otoriter di suatu negara. Model Prussia juga mendevaluasi gagasan kontrol sipil atas militer independen, yang berarti bahwa di Jepang, seperti di Jerman, militer bisa berkembang menjadi negara di dalam negara, sehingga mereka

mempraktikan pengaruh yang lebih besar pada politik secara umum.3

Merupakan hal umum untuk menggambarkan masyarakat Jepang pada masa sebelum Perang Dunia II sebagai masyarakat yang militeristik. Sebuah kisah sejarah konvensional berjalan sebagai berikut; untuk bersaing dengan kekuatan Barat, pemerintah baru didirikan melalui Restorasi Meiji membangun tentara modern, memperkenalkan wajib militer universal, dan menuntut ketaatan secara total rakyatnya kepada negara. Militerisme di Jepang mencapai puncaknya pada era Total perang, dari akhir 1930-an, tetapi berakhir ketika pendudukan Amerika Serikat yang diikuti kekalahan dalam perang. Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II setelah dua buah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Nagasaki dan Hirosima, sebuah tragedi yang memaksa Jepang untuk menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Kemudian, Jepang

mulai pindah pada jalur demokrasi.4

3Ibid, hal. 31

4 Stewart Lone, (2010), “The Journal of Asian Studies : Provincial Life and the Military in


(35)

24

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II berdampak signifikan baik secara materi maupun psikologis. Dari segi materi, jelas bahwa kekalahan dalam Perang Dunia II telah membawa kerugian besar. Jepang harus membayar dan mengganti rugi berbagai kerusakan yang diakibatkan oleh perang, serta Jepang harus memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat perang, sehingga kebangkrutan mengancam ekonomi Jepang. Sementara dari sisi psikologis, kekalahan Jepang pada Perang Dunia II mengakibatkan trauma yang mendalam pada kengerian perang itu sendiri. Hal itu juga telah membawa negara Jepang kepada suatu kesadaran sekaligus pengakuan terhadap sebuah kegagalan sikap dan pandangan masa lalu yang terlalu berorientasi pada pembangunan dan pemanfaatan kekuatan militer semata. Jepang mengalami kehancuran total dalam Perang Dunia II, kehancuran tersebut menjadi bibit dari sikap anti-militer sebagian besar masyarakat Jepang.

Amerika Serikat sebagai pemenang perang memandang Jepang sebagai negara fasisme militer yang agresif dan ekspansionis, sehingga Jepang dipandang sebagai sebuah ancaman bagi tatanan keamanan internasional, serta menjadi ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat di masa depan. Dengan alasan tersebut Amerika Serikat berusaha menempatkan Jepang pada suatu kondisi dimana Jepang tidak mampu lagi untuk membangun kembali kekuatan militernya. Kemudian Amerika Serikat menerapkan sebuah kebijakan kepada Jepang yaitu dengan melakukan penyusunan klausul anti-militer sebagaimana tercantum dalam


(36)

25

konstitusi tahun 1947 yang salah satu peraturannya Jepang dibatasi dalam hal

kepemilikan dan pengembangan kekuatan militer.5

B. Perubahan Struktur Militer Jepang

Dua minggu setelah perang pasifik berakhir, Jepang diduduki oleh pasukan

sekutu dibawah Supreme Commander for The Allied Powers (SCAP) yang di

kepalai Douglas MacArthur. Lebih dari 430.000 tentara ditempatkan di Jepang pada akhir tahun 1945. Semuanya di bawah kendali SCAP, semua publikasi dikenakan penyensoran ketat, dan percakapan telepon dari tokoh-tokoh kunci yang dianggap membahayakan pendudukan Amerika Serikat bahkan disadap. SCAP membangun pondasi pasca perang Jepang, dipandu oleh dua tujuan kebijakan pokok yaitu demiliterisasi dan demokratisasi. Kegiatan utama SCAP ini diselesaikan sekitar perlucutan senjata mesin perang Jepang, pembersihan politik,

pembubaran zaibatsu, reformasi agricultur, dan yang paling penting, penyusunan

dan pengumuman dari konstitusi baru, yang berlaku efektif pada tanggal 3 Mei

1947.6

Dengan mengacu pada kebijakan pertahanan, salah satu klausul yang paling signifikan dalam konstitusi baru tersebut, yaitu pasal sembilan yang berbunyi:

“Aspiring Sincerely to an international peace based on justice and order, the

Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well

5Vicki Puspita Wijaya,Loc.Cit.

6Inoguchi Takashi dan Purnendra Jain, (2000), Japanese Foreign Policy Today, PALGRAVETM, New York, hal. 137


(37)

26

as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the

state will not be recognized.”7

Pasal diatas berarti bahwa Jepang selamanya bercita-cita tulus untuk perdamaian internasional berdasarkan keadilan dan ketertiban, rakyat Jepang selamanya meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan pengancaman atau penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perselisihan internasional. Untuk mencapai tujuan paragraf di atas, angkatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan dikelola. Serta hak negara untuk menyatakan perang tidak akan diakui.

Pasal sembilan pada saat itu di interpretasi oleh pemerintah Jepang sebagai

aturan bahwa Jepang tidak memiliki hak untuk melakukan collective self-defense.

Ketentuan dalam konstitusi Jepang ini nantinya yang mendasari kontroversi

kebijakan Japan’s New Security Bills. Konstitusi Pasifis yang memiliki dua

paragraf ini ditafsirkan oleh pemerintah Jepang bahwa Jepang tidak dapat secara legal memiliki berbagai jenis kemampuan militer. Selain itu, partisipasi dalam perang baik secara defensif ataupun agresif tidak diperbolehkan. Pemerintah konservatif telah menafsirkan pasal yang berarti bahwa perang agresif dan perlengkapan persenjataan untuk tujuan perang tidak diperbolehkan, namun Jepang tetap memiliki hak untuk melaksanakan pelatihan kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan keberadaan negaranya. Sesuatu yang dianggap


(38)

27

sebagai "Potensi Perang" adalah setiap kemampuan militer yang melebihi ukuran

minimum yang diperlukan untuk pertahanan diri.8

Dengan pemerintah konservatif membentuk sebagian besar dari pemerintahan pasca perang, interpretasi mereka mendominasi diskusi keamanan Jepang. Meskipun perdebatan awal atas penciptaan dan peran Cadangan Perdamaian Nasional selama Perang Korea, pada tahun 1954 Jepang mendirikan Self-Defense Force (SDF) untuk tujuan pertahanan diri. Untuk itu, pemerintah

menetapkan tiga kondisi di mana Self-Defense Force ini dapat berlaku, yaitu; 1)

ketika Jepang sedang menghadapi keadaan darurat dan agresi yang ilegal; 2) tidak ada cara lain untuk melawan ancaman tersebut; dan 3) ketika penggunaan kekuatan untuk membela diri terbatas pada tingkat minimum yang diperlukan.

Pemerintah Jepang menganggap bahwa Individual Self-Defense tidak

dianggap bermasalah, tetapi menganggap bermasalah Collective Self-Defense.

Jepang mengakui bahwa, sebagai anggota PBB, ia memiliki hak untuk melakukan Collective Self-Defense, namun pemerintah Jepang secara berturut-turut telah mentafsirkan Pasal sembilan sebagai halangan pelaksanaan hak untuk melakukan Collective Self-Defense. Dengan demikian, ini berarti Jepang tidak pernah dalam posisi untuk membela sekutunya yaitu Amerika Serikat dari serangan, dan

sebaliknya Amerika Serikat menjanjikan pertahanan Jepang.9

Semasa Perang Dingin, mulai timbul keinginan dari pasukan pendudukan Amerika Serikat agar Jepang dapat mengambil peran militer yang lebih aktif

8Sayuri Umeda, 2015, “Japan: Interpretations of Article 9 of the Constitution” Library Of

Congress dalam https://www.loc.gov/law/help/japan-constitution/interpretations-article9.php#National. Diakses pada 23 November 2016


(39)

28

dalam perjuangan melawan komunisme. Menyusul pecahnya Perang Korea pada tahun 1950, Divisi Infanteri ke-24 Amerika Serikat ditarik keluar Jepang dan dikirimkan bertempur di garis depan Korea, sehingga menyebabkan Jepang tidak memiliki perlindungan bersenjata.

MacArthur kemudian memerintahkan pembentukan Polisi Cadangan

Nasional (Keisatsu Yobitai, National Police Reserve) berkekuatan 75.000 orang

untuk menjaga ketertiban umum di Jepang dan menangkal setiap peluang serangan dari luar. Pembentukannya dilakukan di bawah pimpinan Kolonel Frank Kowalski dari Angkatan Darat Amerika Serikat (belakangan ia menjadi anggota Kongres AS) dengan menggunakan surplus peralatan Angkatan Darat. Untuk menghindari kemungkinan pelanggaran konstitusional, barang-barang militer diberi nama sipil: tank, misalnya, diberi nama "kendaraan khusus".Shigesaburo Suzuki, seorang pemimpin Partai Sosialis Jepang (JSP), mengajukan tuntutan di Mahkamah Agung Jepang untuk menyatakan pembentukan Polisi Cadangan Nasional sebagai tindakan yang inkonstitusional, namun kasusnya ditolak oleh majelis besar karena dianggap kurang relevan.

Mayoritas warga negara Jepang menyetujui semangat pemberlakuan Pasal sembilan dan menganggapnya penting secara pribadi. Namun sejak tahun 1990-an telah terjadi pergeseran dari sikap, yang lebih bertoleransi atas kemungkinan revisi atas pasal tersebut, sehingga memungkinkan adanya penyesuaian antara peran Pasukan Bela Diri Jepang dengan pasal sembilan. Selain itu, beberapa warga negara juga menganggap bahwa Jepang seharusnya melibatkan Pasukan Bela Diri dalam upaya pertahanan kolektif, misalnya sebagaimana yang pernah dibentuk di bawah Dewan Keamanan PBB dalam Perang Teluk. Perdana


(40)

29

Menteri Shinzo Abe menandai ulang tahun ke-60 Konstitusi Jepang pada tahun 2007 dengan seruannya untuk melakuan peninjauan kembali secara berani terhadap dokumen tersebut, sehingga dapat mengizinkan negara untuk mengambil peran yang lebih besar dalam keamanan global serta membangkitkan kembali

kebanggaan nasional.10

C. Japan’s New Security Bills

Dinamika militer Jepang terus bergerak, dari keadaan masyarakat Jepang yang militeristik pada masa sebelum Perang Dunia II, hingga Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II dan memaksa Jepang untuk akhirnya memberlakukan konstitusi tahun 1947 pasal sembilan yang dibentuk Amerika Serikat. Belakangan di tahun 2015, Jepang kembali mengangkat isu militerisme dengan pemerintahan Shinzo Abe yang mereinterpretasi pasal sembilan dalam konstitusi tahun 1947.

Menanggapi peningkatan kekuatan militer Cina, pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe meningkatkan dan menyusun ulang anggaran pertahanan. Selanjutnya, dalam rangka untuk memperkuat aliansi dengan Amerika Serikat, pemerintah menyetujui pembentukan Dewan Keamanan Nasional dengan gaya Amerika Serikat, meluluskan undang-undang keamanan yang baru yang bertujuan untuk mencabut larangan yang dikenakan Jepang pada melaksanakan hak collective self-defense. Di bawah bendera "pasifisme proaktif", kabinet Abe merebut momentum yang disebabkan oleh dinamika kekuatan regional yang

10The Assosiated Press, May 2007, “Abe calls for a 'bold review' of Japanese Constitution,”

International Herald Tribune dalam

http://web.archive.org/web/20080502210654/http://www.iht.com/articles/2007/05/03/news/j apan.php. Diakses pada 23 November 2016


(41)

30

berubah untuk lebih dekat ke arah "melepaskan diri dari rezim pasca perang". Sebuah usulan revisi konstitusi Jepang, yang tidak berubah sejak tahun 1947, melambangkan tujuan Partai Liberal Demokrat yang berkuasa untuk membawa peran yang lebih otonom untuk Jepang baik dalam aliansi keamanan dengan

Amerika Serikat maupun sebagai sebagai aktor internasional.11

Pemerintahan Shinzo Abe, dalam keputusan Kabinet yang dibuat pada hari

yang juga bertepatan dengan 60 tahun berdirinya Angkatan Self Defense Forces

merubah interpretasi lama pemerintah terhadap Konstitusi 1947 sehingga Jepang

dapat menggunakan hak Collective Self-Defense. Collective Self-Defense sendiri

merupakan hak kolektif membela diri yang diabadikan dalam Pasal 51 UUD 1945 Piagam PBB. Hal ini mengacu pada hak semua negara PBB untuk menggunakan kekuatan militer untuk membela negara anggota lainnya dari serangan. Ini telah memberikan dasar untuk semua operasi militer PBB resmi, dari Perang Korea dan

seterusnya.12

Keputusan Kabinet, menunggu perubahan yang berkaitan dengan hukum

yang relevan, membuka jalan bagi Self Defense Forces untuk menggunakan

kekuatan di luar negeri untuk membela sekutu Jepang bahkan jika Jepang sendiri tidak dalam posisi diserang. Dengan kata lain, hal itu memungkinkan Jepang untuk mengambil bagian dalam konflik di luar negeri, dan berpotensi

menempatkan anggota Self Defense Forces dalam bahaya.

11Bruce Klingner, “Japanese Defense Reform Supports Allied Security Objectives” Alliances

dalam http://www.heritage.org/research/reports/2016/01/japanese-defense-reform-supports-allied-security-objectives. Diakses pada 4 Desember 2016

12Sasakawa Peace Foundation, Oktober 2015, “Collective Self-Defense” Sasakawa USA dalam


(42)

31

Reinterpretasi pemerintahan Abe terhadap konstitusi tersebut juga tidak

mengesampingkan partisipasi Jepang dalam operasi collective self-defense yang

dipimpin PBB, yang terutama ditujukan untuk negara-negara yang melanggar perdamaian internasional. Hal tersebut menunjukkan adanya konsep menghukum, konsep yang berbeda dari pertahanan diri. Ini bertentangan dengan apa yang Perdana Menteri Shinzo Abe nyatakan pada konferensi pers menyusul keputusan Kabinet Selasa: "Jepang tidak akan mengambil bagian dalam pertempuran seperti telah terjadi dalam Perang Teluk atau Perang Irak." Meninggalkan posisi

tradisional “defense-only defense” menjadi langkah pemerintah menandai

perpindahan yang jelas dari postur pertahanan dasar pasca perang Jepang.13

Pada tanggal 16 Juli 2015, majelis rendah Jepang menyetujui undang-undang keamanan yang didukung oleh Perdana Menteri Shinzo Abe, langkah menuju kodifikasi yang menjadi salah satu perubahan terbesar dalam postur keamanan Jepang sejak akhir Perang Dunia II. Terutama, undang-undang keamanan ini akan mengizinkan Pasukan Bela Diri Jepang untuk terlibat dalam collective self-defense.14 Pada September 2015, Komite Parlemen Jepang telah

mengesahkan undang-undang yang kontroversial mengenai Japan’s new security

bills tersebut. Pengesahan undang-undang ini memperbolehkan Jepang untuk memperluas peran militernya. Undang-undang ini disahkan meskipun terjadi

13Editorials, July 2014, “Abe guts Article 9” The Japan Times dalam

http://www.japantimes.co.jp/opinion/2014/07/02/editorials/abe-guts-article-9/#.WDS9yTw2u00. Diakses pada 19 November 2016

14Justin McCurry, September 2015, “Japanese soldiers could fight abroad again after security

bill passed,” TheGuardian dalam http://www.theguardian.com/world/2015/sep/18/japanese-soldiers-could-fight-abroad-again-after-security-bill-passed#. Diakses pada 05 April 2016


(43)

32

beberapa bentrokan dalam parlemen.15Japan’s new security bills adalah bagian

dari tujuan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memungkinkan tentara Jepang untuk berperang di luar negeri untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia kedua. Pendukung pengesahan Undang-undang mengatakan Jepang harus mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman potensial dari Cina dan Korea Utara, serta menjadikan Jepang seimbang baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan militernya. Hukum baru secara efektif mengurangi pembatasan konstitusional terhadap pasukan negara Jepang untuk memungkinkan mereka berpartisipasi untuk

melakukan Collective Self-Defense, atau memberikan bantuan kepada sekutu

terutama Amerika Serikat, bahkan ketika Jepang bukan pihak yang langsung

terlibat dalam konflik maupun bukan pihak yang terancam.16

Langkah reinterpretasi Undang-undang ini adalah pergeseran terbesar dalam postur pertahanan negara Jepang sejak kekalahan perang pada Agustus 1945. Pada saat itu, lima partai oposisi, yang dipimpin oleh partai Demokrat Jepang, mengajukan serangkaian mosi tidak percaya yang ditujukan kepada perdana menteri Shinzo Abe, dan tokoh-tokoh partai Liberal Demokrat senior lainnya

dalam upaya untuk menunda pemungutan suara. LDP (Liberal Democratic Party)

dan sekutunya hanya menunggu waktu sebelum menggunakan suara mayoritas mereka di majelis tinggi untuk meluluskan undang-undang meskipun ribuan orang

berdemonstrasi di luar gedung parlemen.17

15Kim Min-ji, report September 19 2015, “PRIME TIME NEWS 22:00 Japan passes controversial

security bills as protests rage on,” ARIRANG TV NEWS dalam https://www.youtube.com/watch?v=qkrROONM6hc. Diakses pada 3 April 2016

16 Justin McCurry, Loc.,Cit.


(44)

33

Perdana Menteri Shinzo Abe percaya, Jepang harus lebih siap untuk menanggapi lingkungan keamanan baru dan tidak pasti yang mencakup perilaku agresif Cina baik dalam permasalahan laut Cina Selatan maupun di dekat pulau Senkaku/Diaoyu, nuklir Korea Utara dan terorisme internasional terutama semenjak dua warga negara Jepang diculik dan dibunuh oleh teroris Negara Islam (ISIS), masyarakat dengan cepat menyalahkan Abe untuk apa yang mereka lihat sebagai sebuah campur tangan yang tidak perlu dalam urusan keamanan internasional. Abe telah berjanji memberikan bantuan non-militer sebanyak $200 juta ke negara-negara yang memerangi ISIS, dan isyarat simbolis nya bertemu

dengan konsekuensi konkret. Meskipun Japan Self Defense Forces akan jauh

terlibat dalam misi lebih berbahaya di bawah Japan’s New Security Bills, dengan

itu pihak oposisi memperingatkan bahwa Jepang dengan undang-undang keamanan yang baru bisa saja diseret kedalam konflik yang merusak di luar negeri

atas perintah dari sekutu utamanya, Amerika Serikat.18

Secara umum Japan’s New Security Bills akan memberikan fleksibilitas

yang lebih besar, responsif, dan interoperabilitas untuk pelatihan, latihan, dan perencanaan pada spektrum yang lebih luas dari isu-isu keamanan dengan

mengurangi pembatasan pada operasi Self Defense Forces, termasuk kemampuan

untuk praktik collective self-defense. Undang-undang ini akan memberdayakan

Jepang untuk melindungi daerah sekitarnya dan lebih proaktif memberikan kontribusi untuk menjaga stabilitas regional.

18 Tom Le, Oktober 2015,“Japan’s Security Bills: Overpromising and Under-Delivering,” The Diplomat Magazine dalam http://thediplomat.com/2015/10/japans-security-bills-overpromising-and-under-delivering/. Diakses pada 5 April 2016


(45)

34

Undang-undang pertahanan baru akan memungkin tindakan-tindakan sebagai berikut :

1. Menghilangkan kendala geografis dengan menggantikan ambang situasional

(situasi yang "serius mempengaruhi perdamaian dan stabilitas Jepang") daripada membatasi dukungan kepada "Situasi di Daerah Sekitar Jepang."

2. Kewenangan dukungan untuk tentara non-Amerika Serikat. Ini memungkinkan

Jepang untuk memberikan dukungan logistik yang lebih besar untuk negara-negara sahabat untuk bersama mengatasi situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional meskipun tidak kegiatan tempur sedang dilakukan.

3. Memperluas jangkauan dukungan logistik yang diijinkan, seperti pengisian

bahan bakar pesawat tempur dan mengangkut amunisi untuk Amerika Serikat dan pasukan militer asing lainnya dalam operasi multinasional.

4. Memungkinkan interaksi sekutu dalam skenario abu-zona antara konflik

bersenjata dan damai tindakan penegakan hukum, di mana respon cepat dan kuat diperlukan untuk mengamankan perdamaian dan keamanan Jepang bahkan ketika serangan bersenjata terhadap Jepang tidak terlibat. Sebuah contoh penting akan serbuan non-militer Cina ke wilayah perairan Jepang dan wilayah udara.

5. Memungkinkan penyebaran SDF dengan lebih tepat waktu untuk operasi

multilateral. Sebelumnya, parlemen diminta untuk memberlakukan hukum sementara yang baru untuk setiap pengiriman pasukan SDF ke luar negeri untuk mendukung operasi penjagaan perdamaian internasional dan untuk menyatakan memerangi yang tidak diharapkan, dekat pasukan Jepang.


(46)

35

meskipun masing-masing penyebaran masih akan memerlukan persetujuan parlemen terlebih dahulu.

6. Menciptakan aturan yang tidak membatasi keterlibatan. Dulu pasukan SDF

dihalangi dari menggunakan senjata mereka ketika menyelamatkan warga Jepang yang telah disandera di luar negeri. Tetapi aturan baru mengenai keterlibatan pasukan SDF menjadi lebih baik dan sesuai dengan U.N. standar saat ini, yang juga digunakan oleh negara-negara lain.

7. Memungkinkan SDF untuk melindungi aset militer negara-negara sahabat.

SDF sekarang dapat mempertahankan aset militer, termasuk kapal perang dari Amerika Serikat dan "negara asing dalam hubungan dekat dengan Jepang" jika tiga kondisi baru terpenuhi: serangan mengancam hak konstitusional masyarakat Jepang atas kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan; tidak ada cara lain yang tersedia untuk mengusir serangan; dan penggunaan

kekuatan terbatas sesuai minimum yang ditetapkan.19

Pada awal masa jabatan kedua sebagai Perdana Menteri, Shinzo Abe menugaskan sebuah kelompok untuk mempelajari implikasi dari interpretasi pasal sembilan di kontinjensi tertentu. Komisi tersebut mengeluarkan laporan pada tanggal 15 Mei, 2014. Laporan tersebut merekomendasikan, reinterpretasi

konstitusi 1947 pasal sembilan yang akan memungkinkan praktik collective

self-defense tanpa hambatan. Pada tanggal 1 Juli 2014, menyusul tawar-menawar

antara Partai Demokrat Liberal (LDP) dan mitra koalisinya, New Komeito, pihak

Partai Buddha yang memegang prinsip pandangan pasifis (perdamaian), kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe menyetujui reinterpretasi pasal sembilan. Meskipun


(1)

meningkat. Ketika rasa tidak percaya begitu tinggi hal tersebut akan berimplikasi pada hubungan bilateral kedua negara, terutama dalam kerjasama ekonomi. Hubungan bilateral yang dilandasi rasa tidak percaya akan membawa pengaruh buruk pada setiap bentuk kerjasama yang dilakukan. Terdapat dampak ekonomi yang memburuk dari tidak stabilnya hubungan antara Jepang dan Korea Selatan. Normalisasi hubungan bertepatan dengan melemahnya yen dan penguatan won, kemudian perlambatan perekonomian Korea Selatan. Nilai dolar dari perdagangan antara kedua negara telah jatuh dari tahun ke tahun dalam tiga tahun berturut-turut sejak 2012, selain itu terdapat penurunan jumlah wisatawan Jepang yang berkunjung ke Korea Selatan. Situasi tersebut sangat menimbulkan kekhawatiran dan mendorong Keidanren untuk mengeluarkan pernyataan yang menyerukan Jepang dan pemerintah Korea Selatan untuk mengatur pertemuan sesegera mungkin yang terlaksana pada November 2015.

Pemerintah Korea Selatan secara tegas merespon negatif pemberlakuan

Japan’s New Security Bills oleh pemerintah Jepang, selain mempertimbangkan implikasi terhadap hubungan bilateral antara Jepang dan Korea Selatan, terdapat alasan lain yang secara signifikan mempengaruhi pemerintah Korea Selatan

dalam merespon pemberlakuan Japan’s New Security Bills oleh pemerintah Jepang.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kepentingan nasional Korea Selatan masih dipengaruhi isu emosional disamping isu yang riil secara fisik seperti melindungi wilayah ataupun menjaga stabilitas ekonomi hingga keamanan. Pada kenyataannya masyarakat Korea Selatan masih larut dalam bayangan sejarah masa lalu imperialisme Jepang dari tahun 1910 hingga tahun 1945 yang meninggalkan trauma mendalam. Maka akan sangat wajar ketika kepentingan nasional Korea Selatan selain untuk selalu melindungi keutuhan wilayah, keamanan militer, hingga kesejahteraan ekonominya, juga harus melindungi kemerdekaan yang telah diraih karena bagaimana pun juga Korea Selatan tidak ingin merasakan kembali kekejaman imperialisme Jepang. Meskipun Japan’s New Security Bills salah satunya memiliki tujuan untuk melindungi keamanan regional, bagi masyarakat Korea Selatan Undang-undang tersebut seperti hal yang dapat memicu sebuah peperangan. Sangat wajar saat pemerintah Korea Selatan mengambil keputusan luar negerinya untuk merespon negatif pemberlakuan Undang-undang tersebut jika mempertimbangkan kepentingan nasional Korea Selatan.

Kondisi politik domestik Korea Selatan pada masa pemerintahan Presiden


(2)

Park Geun-hye menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills. Park Geun-hye merupakan Presiden ke-11 sekaligus Presiden pertama wanita Korea Selatan dan melayani masa jabatan presiden ke-18. Masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye menjadi masa pemerintahan yang dapat dikatakan berperan “banyak” menjadikan kondisi politik domestik Korea Selatan tidak stabil. Instabilitas politik domestik Korea Selatan pada masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye disebabkan oleh banyaknya skandal politik yang terjadi di lingkungan pemerintah sehingga mempengaruhi rasa percaya masyarakat Korea Selatan terhadap pemerintahan Presiden Park Geun-hye. Pemerintahannya yang dimulai sejak Februari 2013 ini dinilai sebagai pemerintahan yang konservatif, hal tersebut tercermin dari sikap politiknya yang salah satunya dianggap berorientasi pada penundaan perkembangan demokrasi. Tetapi para pendukungnya mengelak penilaian tersebut dan menyebut pemerintahan Presiden Par Geun-hye berkontribusi besar pada peningkatan ekonomi Korea Selatan.

Dengan kondisi politik domestik Korea Selatan yang tidak stabil sangat mungkin apabila pemerintah Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s

New Security Bills. Pemerintah Korea Selatan harus mengambil tindakan tersebut untuk menjaga kestabilan politik domestik dengan menghindari penyebab eksternal yang berpotensi menganggu kestabilan politik juga keamanan nasional, disamping kenyataan bahwa masyarakat Korea Selatan masih memiliki trauma yang mendalam terhadap imperialisme yang dilakukan Jepang di Semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga tahun 1945.14

Beralih pada kondisi ekonomi dan kemampuan militer, secara umum peringkat kemampuan ekonomi dan militer Korea Selatan masih rendah apabila dibandingkan dengan Jepang. Faktor kondisi ekonomi dan militer Korea Selatan menjadi alasan lain mengapa Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills

oleh pemerintah Jepang. Korea selatan menempati urutan ke 13 ekonomi dunia, sementara Jepang berada di urutan ke tiga ekonomi dunia. Begitu pun dengan kemampuan militer, tahun 2015 Korea Selatan berada di urutan 11 sementara Jepang berada di urutan ke tujuh.

Pada tahun 2014 Korea Selatan mengalami perlambatan ekonomi, dan masalah ekonomi terus berlanjut hingga tahun 2015. terdapat pandangan bahwa situasi ekonomi Korea Selatan mirip dengan yang dialami Jepang sesaat sebelum masuk ke lesunya ekonomi Jepang yang


(3)

cukup berkepanjangan pada tahun 1990-an. Jepang tidak bisa mengabaikan kemerosotan ekonomi Korea Selatan karena Korea Selatan merupakan tujuan terbesar ketiga dari ekspor Jepang. Untuk itu kerjasama ekonomi baik dalam tindakan riil maupun berupa shared value ataupun

experience sangatlah diperlukan Korea Selatan dan Jepang. Disamping jika memperhatikan aspek emosional Korea Selatan masih berada dalam bayangan masa lalu imperialisme Jepang, dengan adanya pemberlakuan Japan’s New Security Bills,

akan mempengaruhi tingginya rasa tidak percaya diantara kedua negara. Rasa tidak percaya akan menghambat berbagai bentuk kerjasama bilateral termasuk kerjasama ekonomi kedua negara. Sehingga pantas jika Korea Selatan khawatir isu tersebut dapat mempengaruhi kerjasama bilateral ekonomi Korea Selatan dan Jepang.

Beralih pada kemampuan militer Korea Selatan, Korea Selatan berada di urutan ke-11 dari 126 negara. Menurut

Global Fire Power rating index, kekuatan militer Korea Selatan termasuk dalam predikat “being perfect”. Korea Selatan menempati urutan ke-11 di dunia dalam hal kekuatan militer, menurut situs Global Firepower yang menyediakan penilaian tahunan peringkat kapasitas perang negara dengan memperhitungkan jumlah dan keragaman senjata, faktor geografis,

logistik, sumber daya alam, industri dan tenaga kerja. Sementara kepemimpinan politik atau militer saat ini tidak dianggap. Korea Selatan turun dari peringkat ketujuh pada tahun 2015 dan peringkat kesembilan pada tahun 2014. Sementara Jepang setelah memberlakukan undang-undang yang baru atau Japan’s New Security Bills naik dua peringkat ke urutan tujuh, setelah di tahun 2015 Jepang menempati urutan kesembilan dan ke-10 pada tahun 2014. Dengan fakta bahwa kekuatan militer Jepang berada di peringkat atas, sangat wajar apabila Korea Selatan mengkhawatirkan pemberlakuan

Japan’s New Security Bills dapat

mengganggu keamanan nasional Korea Selatan dan stabilitas keamanan wilayah regional Asia Timur. Karena dengan

Japan’s New Security Bills, Jepang berpotensi melakukan praktik militernya di wilayah Semenanjung Korea dengan dalih membantu menyelesaikan konflik dan menjaga keamanan regional meskipun tidak ada izin dari pemerintah Korea Selatan.

Alasan lain yang menjadi penyebab pemerintah Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills

adalah kekhawatiran pemerintah Korea Selatan terhadap potensi Undang-undang tersebut yang akan mempengaruhi

perebutan klaim atas Pulau

Dokdo/Takeshima oleh Jepang yang merupakan alasan berdasarkan konteks


(4)

internasional dalam bentuk hostility.

Japan’s New Security Bills selain

memungkinkan Jepang untuk melakukan

Collective Self-defense, secara otomatis akan membuat Jepang meningkatkan kekuatan militernya. Telah terbukti bahwa di tahun 2016 setelah Jepang memberlakukan Japan’s New Security Bills

peringkat kekuatan militer Jepang naik menjadi urutan ketujuh dari 126 negara, berbeda dengan Korea yang turun menjadi urutan ke-11.

Persengketaan Pulau

Dokdo/Takeshima ini menjadi

persengketaan yang signifikan mempengaruhi hubungan diplomatik Jepang dengan Korea Selatan. Dengan kondisi masyarakat Korea Selatan yang terus mengingat imperialisme Jepang di masa lalu sehingga trauma mendalam terus tertanam menjadi keputusan yang tepat bagi pemerintah Korea Selatan untuk merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills. Pemerintah Korea Selatan diharuskan untuk selalu berusaha menjaga kepentingan nasionalnya yaitu kemerdekaan yang telah diaraih dengan menjaga wilayah teritorialnya dari berbagai macam potensi eksternal yang mengancam keamanan nasionalnya termasuk pemberlakuan

Japan’s New Security Bills oleh pemerintah Jepang.

Kesimpulan

Japan’s New Security Bills

merupakan reinterpretasi pada pasal sembilan konstitusi Jepang yang mendapat respon negatif dari pemerintah Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan secara terus menerus meminta transparansi militer Jepang apabila Jepang melakukan

collective self-defense di wilayah

Semenanjung Korea. Serta tidak akan mentolerir berbagai praktik milter Jepang di wilayah Semenanjung Korea apabila Jepang melakukannya tanpa seizin pemerintah Korea Selatan.

Pemerintah Korea Selatan mengkhawatirkan berbagai implikasi yang berpotensi terjadi terhadap hubungan bilateral kedua negara. Dengan kondisi hubungan bilateral Jepang dan Korea Selatan yang masih berada dalam bayangan masa lalu, pemerintah Korea Selatan mengkhawatirkan Undang-undang keamanan Jepang yang baru akan berpengaruh pada kerjasama bilateral kedua negara khususnya kerjasama ekonomi karena disebabkan oleh tingginya rasa tidak percaya antara kedua negara yang secara otomatis akan menghambat berbagai kerjasama yang dilakukan. Ingatan masa imperialisme Jepang pada tahun 1910 hingga tahun 1945 di Semenanjung Korea masih meninggalkan trauma mendalam untuk masyarakat Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan menganggap


(5)

bahwa pemberlakuan Japan’s New Security Bills merupakan potensi perang.

Selain mempertimbangkan implikasi terhadap hubungan bilateral antara Jepang dan Korea Selatan dan tentu saja dengan memperhatikan emosi masyarakat Korea Selatan, terdapat alasan lain yang secara signifikan mempengaruhi keputusan pemerintah Korea Selatan untuk merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills. Mempertimbangkan kepentingan nasional Korea Selatan yakni untuk melindungi kemerdekaan yang telah diraih pasca imperialisme Jepang, juga menjaga keutuhan wilayah, keamanan nasional hingga kesejahteraan masyarakat Korea Selatan, pemerintah Korea Selatan mengambil keputusan kebijakan luar negeri dengan merespon negatif pemberlakuan

Japan’s New Security Bills. Pengambilan keputusan kebijakan luar negeri pemerintah Korea Selatan selain dipengaruhi kepentingan nasional negara juga dipengaruhi empat faktor yang dipertimbangkan ketika pemerintah mengambil keputusan kebijakan luar negeri. Diantaranya fakor kondisi politik domestik, aktor pengambil keputusan, kondisi kemampuan ekonomi dan militer, dan konteks internasional. Alasan-alasan tersebut menjadi faktor pendorong Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan

Japan’s New Security Bills. Korea Selatan

bagaimanapun diharuskan untuk menjaga stabilitas keamanan nasional maupun regional Asia Timur, dalam hal ini merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills menjadi keputusan terbaik bagi Korea Selatan sebagai peringatan terhadap Jepang untuk selalu melaksanakan praktik militernya dengan bijaksana.

[Notes]

[1] The World FactBook. (2016). EAST &

SOUTHEAST ASIA- Korea, South "Introduction and Geography". CIA. Diakses dari

https://www.cia.gov/library/publications/resources/th e-world-factbook/geos/ks.html .

[2] James L. Scoff., & Duyeon Kim. (2015). “Getting Japan-South Korea Relation Back On Track.” CARNEGIE Endowment For International Peace.

Diaksesdarihttp://carnegieendowment.org/2015/11/0 9/getting-japan-south-korea-relations-back-on-track-pub-61918 .

[3] Austin, Michael. (2015). A New Era in South

Korean-Japanese Relations Begins, American

Interprise Institute. Diakses dari

https://www.aei.org/publication/a-new-era-in-south-korean-japanese-relations-begins/ .

[4] McCury, Justin. (2015). “Japanese Soldiers

Could Fight Abroad Again After Security Bill

Passed” New York : The Guardian News. Diakses

dari


(6)

nese-soldiers-could-fight-abroad-again-after-security-bill-passed#

[5] Min-Ji, Kim. (2015). Japan Passes

Controversial Security Bills as Protests Rage on. Seoul: ARIRANG TV NEWS. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=qkrROONM6hc

[6] Masahiro, Akiyama. (2015), “The Objectives of

Japan’s New Security Legislation, The Tokyo Foundation. Diakses dari

http://www.tokyofoundation.org/en/articles/2015/obj ectives-of-new-security-legislation

[7] Tiezzi, Shannon. (2015). China: Japan Security

Legislation a "Nightmare Scenario". The Diplomat Magazine. Diakses dari

http://thediplomat.com/2015/07/Cina-japan-security-legislation-a-nightmare-scenario/

[8] Coonie, Kim. (2015). Japan's Self-defense

Forces Will be Permitted to Enter Korean Peninsula

Under Consultation. Seoul: ARIRANG TV NEWS.

Diakses dari https://www.youtube.com/watch?

v=800npdCwZMY

[9]Mas'oed, Mohtar. (1990). Ilmu Hubungan

Internasional : Disiplin dan Metodologi. Yogyakarta: LP3ES.

[10] Basu, Rumki. (2012). International Politics :

Concepts, Theories and Issues. New Delhi: SAGE Publications.

[11] Coplin, W. D. (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung: Sinar Baru.

[12] Keesok, Kim. (2015). “Democracy is the

biggest challenge for South Korea in 2015.” East Asia Forum. Diakses dari

http://www.eastasiaforum.org/2015/01/14/democrac y-is-the-biggest-challenge-for-south-korea-in-2015/ [13] Rowland, Ashley., & Yoo Kyong-chang. (2014).

South Korea tempers response to Japan's expanded

military role” Stars And Stripes. Diakses dari

http://www.stripes.com/news/south-korea-tempers- response-to-japan-s-expanded-military-role-1.292268 .

[14] Politicoscope. (2016). “ SOUTH KOREA

POLITCS: Park Geun-hye Biography And Profile,

Politicoscope. Diakses dari

http://politicoscope.com/2016/11/07/south-korea-politcs-park-geun-hye-biography-and-profile/ .

[15] BBC Asia. (2012). “Profil : Dokdo/Takeshima

islands” BBC News diakses dari