TA : Simbol-Simbol Budaya dalam Desain Keris Naga Kamardikan karya Mpu Pathor Rahman.
SKRIPSI
Oleh:
Nama : RISKA AJENG ANGGRAINI
NIM : 10.42010.0039
Program Studi : Desain Komunikasi Visual
SEKOLAH TINGGI
MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA
(2)
SIMBOL – SIMBOL BUDAYA DALAM DESAIN KERIS NAGA
KAMARDIKAN KAYA MPU PATHOR RAHMAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Desain
Oleh :
Nama : RISKA AJENG ANGGRAINI
NIM : 10.42010.0039
Program Studi : Desain Komunikasi Visual
SEKOLAH TINGGI
MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA
(3)
KAMARDIKAN KARYA MPU PATHOR RAHMAN Riska Ajeng Anggraini1
(Achmad Yanu Alif Fianto, S.T., M.B.A. Pembimbing I, Abdullah Khoir Riqqoh,S.Sn. Pembimbing II)
1
Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual, STIKOM
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak memiliki keragaman budaya yang mencakup Antropologi, Sosiologi dan Seni. Semua ragam budaya tersebut diwariskan nenek moyang secara turun temurun kepada generasi penerus bangsa. Salah satu karya seni budaya yang masih ada dan bertahan hingga saat ini adalah karya seni kriya berupa keris, dimana karya seni tersebut mempunyai syarat makna dan filosofi dari bentuk sampai kegunaannya. Dengan perkembangan zaman, keris ini berubah menjadi sebuah karya seni yang mempunyai banyak makna secara pengungkapan falsafah, penjabaran simbol dan harapan, dengan kata lain sebilah keris merupakan manifestasi dari doa dan harapan dari sipencipta maupun sipemakainya. Keris seperti ini sering disebut keris “Kamardikan”. Di masa inilah sang empu mulai bebas membuat bentuk keris, yang sudah tidak mengikuti pakem yang sudah baku.
Dengan menggunakan semotika Roland Barthes, maka keris naga kamardikan merupakan cerminan dari sikap pemimpin yang berwibawa, lembut dan bijaksana. Semua lambang kepemimpinan tersebut tersirat dalam bentuk mata naga yang tajam dan bulat sebagai transformasi dari bentuk mata elang, adanya sumping yang merupakan transformasi bentuk dari telinga manusia yang mencerminkan sikap pemimpin atau penguasa yang harus tajam pendengarannya. Secara menyeluruh, keris naga kamardikan ini memberikan kesan wibawa dan lembut bagi sang pemilik serta menciptakan sebuah image yang tinggi bagi sang pemilik dikarenakan ornamen sering kali menciptakan berbedaan kasta, ornamen pada keris naga ini menggunakan motif bunga melati yang mencerminkan sifat kepribadian yang lembut.
Kata Kunci : Keris, Semiotik Roland Barthes, Keris Kamardikan, Mpu Pathor Rahman
(4)
viii
KATA PENGANTAR……… vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL………. x
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Batasan Masalah... 7
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Sebagai Identitas ... 10
2.2 Makna dan Bentuk Keris dalam Budaya Nusantara ... 16
2.3 Keris Kamardikan sebagai Wujud Estetik Transformasi Budaya ... 21
2.4 Makna Warna sebagai Gambaran Budaya ... 26
2.5 Teori Semiotika ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian ... 37
3.2 Metode Semiotika ... 41
3.3 Unit Analisis ... 42
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42
(5)
ix
4.2.1 Simbol Naga Sebagai Mitologi ... 46
4.2.2 Ornamen Sebagai Bentuk Visual ... 64
4.2.3 Warna Sebagai Simbol ... 68
BAB V PEMBAHASAN 5.1 Simbol Naga Pada Bilah Keris ... 71
5.2 Ornamen Sebagai Bnetuk Estetis Budaya ... 76
5.3 Warna Merupakan Simbol Ekpresi ... 78
5.4 Hasil Penelitian ... 77
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 82
6.2 Saran …………. ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
(6)
x
Tabel 2 Denotatif, Konotatif dan Mitos ... 73
(7)
xi
Gambar 2.2 Keris Kamardikan Bethoven ... 25
Gambar 2.3 Bagan Model Dua Tahap Signifikasi Barthes ... 34
Gambar 3.1 Bagian dari Bentuk Keris dan Ornamen ... 38
Gambar 3.2 Site of Image it self, mengarah pada visual meaning ... 39
Gambar 4.1 Bentuk Keris Naga Kamardikan secara Keseluruhan ... 45
Gambar 4.2 Jenis Naga Eropa dan Asia ... 46
Gambar 4.3 Bentuk dari Representasi Kepala Naga ... 48
Gambar 4.4 Penggunaan Naga ... 54
Gambar 4.5 Penempatan Simbol Naga Pada Keris ... 56
Gambar 4.6 Pengaplikasian Simbol Agama Dalam Mahkota ... 59
Gambar 4.7 Perubahan Bentuk Mahkota Ketopong Dalam Keris ... 60
Gambar 4.8 Perubahan Bentuk Telinga Menjadi Sumping ... 61
Gambar 4.9 Perubahan Bnetuk Mata Elang Pada Keris ... 61
Gambar 4.10 Bentuk Moncong Pada Keris ... 62
Gambar 4.11 Bentuk Ekor Mengudhup ... 64
Gambar 4.12 Meander Pada Pinggir Lemari dan Pinggir Awan Pada Yoni ... 67
Gambar 4.13 Warna Pada Keris Naga ... 69
Gambar 5.1 Bilah Keris Naga Kamardikan ... 71
Gambar 5.2 Perubahan Bentuk Mahkota Ketopong Dalam Keris ... 72
(8)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak memiliki keragaman budaya yang mencakup Antropologi, Sosiologi dan Seni. Semua kekayaan itu diwariskan nenek moyang secara turun temurun kepada generasi penerus bangsa. Khazanah kebudayaan yang ada di negeri ini sebagian telah terekam dalam naskah-naskah yang berupa buku-buku maupun kitab kuno dan tak jarang pula terekam sebagai tradisi lisan atau dari mulut ke mulut. Salah satu bentuk dari hasil budaya adalah keris, keris tidak hanya bentuk dari hasil budaya nusantara, namun keris merupakan bentuk senjata tikam. Selain itu keris memiliki bentuk yang sangat banyak, begitu banyaknya bentuk terkadang perwujutan keris disesuaikan dengan pemiliknya dengan mewakilkan pada simbol-simbol tertentu yang mewakili makna tertentu dari wujud keris itu sendiri.
Karya seni budaya yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perpaduan budaya pada masa Budha-Hindhu, yang telah ada sejak masa awal masehi yang telah dibawa para saudagar dari India terdahulu, Judith Schlehe, (2006 : 4), yang menyatakan bahwa “Seluruh kebudayaan dimana-mana merupakan hasil dari pencampuran (hibridisasi) dan kompleksitas permainan diantara fenomena global dan lokal ”. Artinya budaya terbentuk dari asimilasi dari beberapa budaya yang membentuk budaya baru.
(9)
Salah satu hasil karya seni budaya yang masih ada dan bertahan hingga saat ini adalah keris, dimana karya ini merupakan bentuk dari seni kriya, dikarenakan keris memiliki syarat akan makna dan filosofi dari bentuk sampai pada kegunaannya. Keris sampai saat ini masih dikenal sampai seluruh penjuru dunia sejak ditetapkannya sebagai warisan budaya non-bendawi manusia pada tahun 2005 oleh UNESCO. (Yuwono, 2011: 5).
Keris mulai muncul sejak masa Budha, terbukti pada lukisan gambar relief Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris.
Keris merupakan senjata tradisional yang banyak memiliki makna simbol dan manfaat bagi pemakainya, di kota Yogyakarta keris masih dianggap barang yang mempunyai nilai seni tinggi dari segi bentuk dan estetika pamor. Pamor merupakan bentuk yang muncul dari sebilah keris dari hasil pencampuran beberapa bahan metal yang di tempa menjadi bilah keris, bentuk visual abstrak muncul dari hasil tempa, sehingga pamor tidak bisa di tentukan dalam visualnya, sehingga pamor menjadi sangat bermakna, pamor dalam keris bagi sebagian orang jawa mempunyai tuah dan sebagai Piyandel yaitu sebuah keyakinan, seperti dalam bukunya Untoro (1978: 57-59) Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi do’a, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang termasuk dalam “sangkan paran dumadi – sangkan paraning pambudi –
(10)
manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris.
Keris banyak memilki kegunaan dilihat dari nilai estetika pamornya, pada masa Budha keris hanya memiliki satu warna hitam (keleng), hingga perkembangan teknik tempa dalam seni perkerisan sampai pada masa Hindhu banyak mengalami perkembangan sehingga memunculkan fenomena-fenomena bentuk pamor dan bentuk fisik hingga pada masa sekarang. Bentuk keris sangatlah beragam dan kesemuanya memiliki nilai-nilai simbolis dan makna tersendiri. Antara lain adalah bentuk keris Tinatah Lung Kamarogan, yang mana dalam bilah keris itu di ukir berbagai macam-macam binatang dalam mitologi jawa, selain itu juga terdapat beberapa aksen atau penghias emas atau kamarogan.
Keris merupakan karya seni bernilai estetika tinggi, karena pembuatan karya seni keris ini menggunakan teknik tempa yang cukup rumit. Kerumitan ini berada pada bentuk pamor yang indah, tidak dapat dibaca secara nalar manusia terdahulu. Sehingga ada yang beranggapan bahwa pembuatan keris ada campur tangan dari dewa, makhluk gaib dan lain sebagainya, oleh karena itu keris masi di anggap sesuatu yang memiliki nilai mistis sehingga keris sering kali dikramatkan.
Wujud dari perkembangan masyarakat, dapat diamati dari pola pemikiran masyarakatnya, secara garis besar perkembangan masyarakat digolongkan dalam 4 tingkatan yaitu masyarakat terasing dan primitive, masyarakat tradisional, masyarakat peralihan dan masyarakat modern. Pada abad ke-21 orang Jawa mengalami kemajuan menjadi masyarakat modern. Sikap cara berfikir mulai mengarah ke modernisasi, sehingga dengan perkembangan zaman, senjata ini
(11)
berubah menjadi sebuah karya seni yang mempunyai banyak makna secara pengungkapan falsafah, penjabaran simbol dan harapan, dengan kata lain sebilah keris merupakan manifestasi dari doa dan harapan dari sipencipta maupun sipemakainya. Pembuatan keris dengan banyaknya aturan atau pakem
menyebabkan keris menjadi sesuatu benda yang sulit untuk dibuat oleh sembarang orang serta menjadi sesuatu yang masi dianggap mistis sehingga masi sedikit yang membahas keris dari sisi desainnya, namun dengan kemajuan zaman muncul bentuk keris dengan “Kamardikan”. Bentuk keris ini dibuat dengan tidak mengikuti pakem yang sudah baku, sehingga sang empu bebas untuk berekspresi dalam bentuk kerisnya, sampai dengan aksen atau hiasan (kamarogan) yang terdapat pada bilah keris.
Kamarogan atau hiasan pada keris kamardikan merupakan wadah ekspresi diri untuk menampilkan ide secara visual, berupa simbol- simbol yang memiliki makna sebagai representasi atau wujud dari makna yang ingin di sampaikan oleh sipembuat keris(empu). Simbol dalam sebuah karya seni merupakan komponen utama dalam kebudayaan. Ekspresi merupakan sebuah simbol yang memiliki banyak makna antara lain berupa gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, serta pengalaman tertentu yang dapat dipahami bersama. Menurut Rohidi (2000: 30) dalam Yuwono (2011: 190) kesenian sama halnya dengan kebudayaan dapat diartikan sebagai sistem simbol. Sedangkan menurut Roland Barthes mengungkapkan;
“The simbolic consciousness an imagination of depth; it experiences the world as the relation of a superficial and a manysided, massive, powerful
adgrund, and the image is reinforced by very intense dynamics” (Barthes,1988: 5).
(12)
Artinya Simbol menyiratkan suatu imajinasi yang dalam, simbol memberi makna suatu pengalaman kehidupan yang berhubungan suatu bentuk format yang sederhana dengan suatu bentuk sisi-sisi yang benar, kuat dan menggambarkan suatu dinamika yang sangat dalam. Dari penjelasan tersebut karya-karya seni (khusunya keris naga kamardikan), diartikan sebuah proses penciptaan sebagai pengejawantahan dari daya interpertasi manusia terhadap kualitas yang dikehendaki dapat berupa kekuatan maupun derajat tertentu.(Yuwono,2011: 191).
Nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian klasik orang jawa terdiri dari dua aspek yaitu aspek estetis dan aspek ajaran budaya atau falsafah. Hal ini dipertegas dengan pendapat Bagoes P. Wiryomartono mengenai aspek estetis, Dharsono dan Hj. Sunarmi juga menegaskan bahwa “berkarya bagi orang Jawa erat kaitannya dengan pengertian kasampuraning urip (kehidupan yang sempurna) yaitu memayu hayuning bawono, artinya tidak ada maksud berkarya yang tidak menghaturkan untuk keindahan dunia”. Sedangkan, untuk aspek falsafah, karya seni bagi masyarakat Jawa memiliki nilai dan citra simbolik yang menjadi sistem budaya pendukungnya. (Yuwono, 2011: 191).
Dalam sebuah keris terdapat banyak simbol-simbol yang mengandung unsur-unsur filosofi kehidupan manusia. Simbol-simbol pada keris juga memiliki makna tersendiri, sehingga untuk memaknai simbol-simbol tersebut perlu adanya pendekatan semiotika selain itu simbol- simbol yang terdapat pada ukiran bilah keris mempunyai makna yang terbentuk dari bentuk serta arti dari bentuk itu sendiri. Dimana dalam mengkaji tanda dalam keris, pendekatan semiotika sangat berperan penting. Sobur (2006: 15) semiotika adalah ilmu atau metode analisis
(13)
untuk mengkaji tanda.tanda- tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini. Sedangkan menurut Barthes dalam bukunya Sobur (2006: 15) semiotika merupakan cara untuk memaknai hal-hal (thing), artinya memaknai yaitu bahwa suatu benda atau objek membawa informasi, serta bagaimana objek itu hendak dikomunikasikan.
Para peneliti tentang keris di Indonesia mayoritas tidak pernah menyebut-nyebut tentang nilai estetika keris yang dikaji melalui pendekatan semiotika. Para peneliti tersebut yang karyanya mempunyai bobot ilmiah antara lain, A.A. Djamadil (1977), Djomul (1985), Dwijosaputro (1997), Harsrinuksmo (2004), Koesmi (1979), Lumintu (1985), Martosedono, Amir (1987), Moebirman (1970), Pusposukadgo.M.L Fauzan (1984), Untoro, S.Suryo (1978), Wahyu Hidayat,( 2011). Hal tersebut juga merupakan bukti bahwa nilai estetika keris belum banyak dibahas oleh peneliti, sebab mereka lebih banyak membicarakan proses pembuatan, jenis bentuk dan nilai-nilai makna simbolis pamor-pamor yang bukan mengkaji nilai keris melalui pendekatan semiotika. Untuk mencari estetika dalam sebilah keris, penggunaan teori semiotika Roland Barthes yang lebih menekankan pada pembentukan mitos yang terbentuk dari sebuah estetis keris kamardikan, dengan melalui makna denotasi dan konotasinya. Pembacaan kode Barthes didasarkan pembentukan makna melaui lima kode makna.
Hal inilah yang membuat penulis ingin mengetahui makna nilai estetika sebuah keris yang dikaji melalui pendekatan semiotika. Dan juga bertujuan untuk memperkenalkan serta memberikan informasi yang tepat pada generasi muda agar
(14)
lebih peduli dan mengerti tentang keris sebagai bagian dari budaya nusantara. Oleh karena itu penulis perlu mengkajinya dalam skripsi dengan judul :
“Simbol – Simbol Budaya Dalam Desain Keris Naga Kamardikan Karya Mpu Pathor Rahman ”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat ditentukan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana mendiskripsikan konotasi, denotasi sehingga membentuk mitos dalam estetika keris naga kamardikan karya Mpu Pathor Rahman?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka batasan permasalahan sampai pada estetika keris naga melalui pendekatan semiotika Roland Barthes.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis
a. Untuk mengeksplorasi nilai estetika keris Naga.
(15)
2. Manfaat Teoritis
a. Dapat dijadikan referensi mengenai kajian nilai estetika keris bagi mahasiswa STIKOM khususnya prodi DKV.
b. Mampu dijadikan pembelajaran dan penambah wawasan dalam mengkaji nilai estetika sebuah keris dalam pendekatan semiotika.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka paradigma atau menambah wawasan pada generasi muda, khususnya dibidang pendidikan (mahasiswa DKV STIKOM) bahwasanya keris merupakan hasil karya seni yang mempunyai nilai estetika, simbolis bagi kehidupan dan bukan barang yang mistis, selain itu juga diharapkan mampu menambah khasanah dan perkembangan seni dan kebudayaan bangsa.
Hasil peneitian ini juga diaharapkan dapat mampu memperkaya khasanah referensi seni perkerisan di Indonesia. Penelitian-penelitian yang membahas masalah keris mayoritas hanya mengacu pada pembahasan teknik proses pembuatan, jenis – jenis pamor, nilai – nilai magis, serta perawatan keris, sedangkan mengkaji nilai estetika keris belum banyak dibicarkan dalam buku – buku keris yang ada di Indonesia, khususnya yang ditinjau dari aspek semiotika.
Penelitian terhadap nilai estetika ini merupakan salah satu usaha pelestarian sekaligus merupakan upaya untuk mengembangkan dan mengangkat keris pada umumnya, yang selama ini banyak masyarakat Indonesia melupakan, bahkan tidak mengetahui, sehingga nantinya keris dapat dan mampu dikenal oleh
(16)
masyarakat secara luas melalui forum-forum nasional maupun internasional sebagaimana pamor-pamor keris lainnya.
(17)
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam penelitian yang berjudul Simbol – Simbol Budaya Dalam Desain Keris Naga Kamardikan Karya Mpu Pathor Rahman. Pada Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes.
2.1 Budaya sebagai identitas
Budaya bagi suatu bangsa merupakan sebuah harta yang tidak ternilai harganya, tanpa adanya budaya suatu bangsa akan dipandang rendah oleh bangsa lain. Kebudayaan pada kenyataannya adalah sebuah konsep yang amat luas sehingga lahir respon terhadap sebuah konsep kebudayaan. Istilah kebudayaan dihubungkan dengan kata-kata “adab” atau “peradaban”. Dimana suatu budaya akan mengalami perubahan mengikuti zamannya.
Secara historis, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang berasal dari bentuk jamak yaitu buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam buku Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi, budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan budaya menurut Mulyana dan Rahmat (2006: 25), budaya adalah suatu pola hidup yang menyeluruh. Dimana budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Sehingga budaya merupakan hasil dari perpaduan kehidupan, adat istiadat dan norma yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
(18)
Menurut Taylor (1897), kebudayaan mempunyai arti luas yang meliputi perasaan dari suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari para anggota atau bagian masyarakat (http://flpmaliki.blogspot.com). Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada tersebut saling membagi pengalaman yang sama, saling membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, serta saling berbagi konsep-konsep yang sama.
Dalam teori identitas Stuart Hall (1994), identitas merupakan sesuatu yang bersifat imajiner atau diimajinasikan tentang keutuhan. Sebuah identitas muncul akibat perasaan bimbang yang kemudian diisi oleh kekuatan dari luar dari setiap individu. Identitas sendiri adalah sebuah perwujudan dari imajinasi yang dipandang oleh pihak-pihak tertentu yang saling terhubung didalamnya. Stuart Hall dalam karyanya Cultural Identity and Diaspora (1990: 393) menjelaskan bahwasanya identitas budaya sedikitnya dapat dilihat dari dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai wujud (identity as being) dan identitas budaya sebagai proses menjadi (identity as becaming). Dalam cara pandang pertama, identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki bersama atau merupakan bentuk dasar seseorang serta berada dalam diri banyak orang yang memiliki kesamaan sejarah dan leluhur. Sehingga sudut pandang ini lebih melihat
(19)
bahwasanya ciri fisik atau lahiriyah lebih mengidentifikasi mereka sebagai suatu kelompok.
Menurut Prabowo (2008: 9), identitas budaya merupakan cerminan dari adanya kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk sekelompok orang menjadi satu, walaupun dari luar mereka tampak berbeda. Proses klasifikasi identitas budaya dari teori Stuart Hall tergambar jelas dalam kehidupan masyarakat berkulit hitam di Amerika dan Eropa. Dibuktikan oleh Aimee Cesaire dan Leopold Senghor dalam puisinya yang berjudul Anthologie de la nouvelle posie negre er malgache, maka identitas budaya masyarakat kulit hitam dapat dihubungkan dengan tiga hal, yakni presence africaine, presence europeene, dan presence americain.
Menurut Rice (1990: 202) yang dikutip oleh Prabowo (2008: 10), “the sum total of group member’s feeling about those symbols, values, and common histories that identify them as a dislinct group”. Artinya identitas budaya adalah jumlah keseluruhan dari perasaan seseorang atau anggota kelompok terhadap simbol-simbol, nilai-nilai dan sejarah umum yang membuat mereka dikenal sebagai kelompok yang berbeda.
Definisi lain dari identitas budaya juga diungkapkan oleh Phinney dalam Dacey dan Kenny (1997: 191) yang dikutip oleh Prabowo (2008: 11), “Cultural
identity is that of a person’s self concept that comes from the knowledge and feelings about belonging to a pasticular cultural group”. Yang artinya identitas merupakan sebuah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari
(20)
pengetahuan dan perasaan seseorang yang menjadi bagian dari sebuah kelompok budaya tertentu.
Sedangkan menurut Dusek (1996: 162) seperti yang dikutip Prabowo (2008: 11), menyatakan bahwa “the degree to which one feels he or she belongs to a
particular ethnic group and how that influence one’s feeling’s, perception and behavior”. Disini Dusek menjelaskan bahwa identitas budaya lebih menekankan kepada seberapa besar seseorang merasa sebagai bagian dari sebuah kelompok budaya tertentu dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi perasaan, persepsi dan perilakunya. Sehingga dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa identitas budaya adalah timbulnya sebuah perasaan dari individu yang merasa sebagai bagian dari kelompok budaya tertentu.
Namun, jika ditinjau dari definisi yang diuraikan oleh Stuart Hall maka identitas budaya memiliki dua faktor yang menentukan dan saling berpengaruh dalam pembentukan dari identitas budaya itu sendiri, yaitu faktor eksternal yang berdasarkan fisik dari seseorang dan faktor internal yang berdasarkan hal-hal yang membuat seseorang mendekat satu sama lainnya dan secara tidak langsung membentuk identitas.
Menurut Person dalam C.Greertz (1973: 122), salah satu wujud kebudayaan adalah seni. Dimana perwujudan seni selalu berhubungan dengan penggunaan simbol, sebagaimana dalam bahasa yang menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama diantara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni merupakan suatu kesatuan karya yang dapat menjadi ekspresi individual, social, maupun budaya, yang dimana isi dari wujud seni sebagai substansi ekspresi yang
(21)
menekankan pada berbagai tema, interpretasi atau pengalaman hidup penciptanya dalam bentuk tanda secara verbal maupun visual.
Simbol sendiri dapat berupa gambar maupun teks dan nilai-nilai sejarah selalu memiliki makna yang berbeda serta saling berhubungan. Menurut C. Greertz (1973) dalam Saifuddin (2005: 289), mengemukakan bahwa definisi kebudayaan sebagai : (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, dimana makna dan simbol tersebut individu mendeinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, dimana melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap lingkungan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi.
Secara umum, kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang berisi perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif atau bersama-sama digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan atau menjelaskan serta memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai acuan dan pedoman dalam bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
(22)
Kebudayaan bangsa merupakan sebuah kebudayaan yang timbul sebagai identitas bangsa. Kebudayaan bangsa sendiri terdiri dari kebudayaan lama dan asli sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah. Kebudayaan menjadi salah satu unsur pembentuk identitas nasional karena kebudayaan yang terjaga dan berkembang didalam lingkungan setiap suku bangsa berisi nilai-nilai dasar yang digunakan sebagai pedoman berfikir, bersikap dan bertindak sesuai lingkungan yang dihadapi saat itu. Aspek kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi 3 unsur, yakni akal budi, peradaban dan pengetahuan (http://takiyaazkah.blogspot.com).
Kebudayaan Nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah ‘puncak-puncak dari kebudayaan daerah’ yang artinya seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia disatukan dalam sebuah kebudayaan Nasional. (ISBD karangan dr.munandar sulaiman dalam http://flpmaliki.blogspot.com).
Budaya sebagai tonggak peradaban membentuk identitas sebuah bangsa. Identitas budaya ini menjadi landasan untuk mengokohkan karakter bangsa. Hal itu dikatakan Fadli Zon SS MSc, budayawan dan pemerhati seni yang tampil sebagai pembicara istimewa dalam Seminar Nasional “Jelajah Kreativitas Seni dan Budaya” yang diselenggarakan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang bekerjasama dengan Rumah Budaya, Kamis (1/11) di ball room Rumah Budaya, Aie Angek, Sumatera Barat (http://www.padangmedia.com). Sehingga bagi Kaum Nasionalis menjaga dan melestarikan budaya adalah sesuatu hal yang wajib, dikarenakan budaya merupakan wujud kekayaan bangsa yang tidak ternilai secara materil, hal ini
(23)
diperkuat oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya yaitu, ‘Nation and Carakter Building’. Dalam tulisannya Ibrahim datuk Tan Malaka melalui bukunya Madilog beliau menuliskan betapa pentingnya penggalian jati diri bangsa ’self determination’. Bentuk konkret dari karakter sebuah bangsa adalah sebuah budaya, semakin kaya suatu bangsa akan budaya semakin kuat karakter dan pondasi bangsa tersebut. Sehingga budaya dapat dijadikan sebagai identitas suatu bangsa yang memiliki banyak makna dan filosofi yang terkandung didalamnya.
2.2 Makna dan Bentuk Keris dalam Budaya Nusantara
Menurut Haryoguritno dalam Yuwono (2011: 11), kata kris berarti menghunus. Keris sebagai benda artefak menurut Kusni dalam Yuwono (2011: 11) berasal dari kata ke = kekeran dan ris = aris. Kekeran sendiri berarti pagar, penghalang atau pengendalian. Aris berate tenang, lambat dan halus. Nama keris sendiri berasal dari proses jarwadosok yang kemudian menjadi bahasa Jawa ngoko.
Menurut Zoetmulder dan Robson dalam buku “Kamus Jawa Kuno
-Indonesia jilid 1” dikutip dari buku Keris Naga oleh Yuwono (2011: 11), bahwa kata aris atau haris berarti kelakuan atau tindakan yang tenang, sabar, lemah lembut dan halus. Sedangkan menurut G.P.H Hadiwidjojo (1950) dalam Yuwono (2011: 11), bahwa keris berasal dari bahasa Jawa Kuno yang tumbuh dari kata
kres dalam bahasa Sansekerta. Hal ini di perkuat dengan dijumpainya keris dalam prasasti-prasasti kuno sebagai data arkeologis. Tepatnya dalam lempengan prasasti prunggu asal Karang Tengah tahun 748 Saka (842 Masehi), menyebutkan
(24)
sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji tersebut berupa
kres, wangkiul, tewek punukan, wesi penghantam (Hasrinuksmo, 2008: 24 dalam Yuwono, 2011: 11).
Dalam prasasti Tukmas tahun 748 Saka (842 Masehi) dan prasasti Humanding tahun 797 Saka (875 Masehi), berisi.
“[...] mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinmas 1 patuk 1 kres 1 lukai 1 twak punukan 1 landuk 1 lingis […]”.
Terjemahan
[…] emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang kayu, sebilah beliung, sebilah keris, sebilah parang, sebilah parang dengan kapak dibelakang bilahnya, sebuah cangkul dan sebilah linggis […] (Timbul Haryono, 2001 dalam Yuwono, 2011:12).
Ditemukan juga bahwa terdapat prasasti yang menceritakan tentang juru pande, prasasti tersebut adalah prasasti Sukawana A1 tahun 804 Saka 882 Masehi, prasasti Pura Kehen C tahun 1126 Saka 1204 Masehi, Prasasti Tambelingan 1 dan 2 tahun 1306 Saka dan 1320 Saka (1384 dan 1398 Masehi) (Neka dan Yuwono, 2010:38). Selain prasasti istilah keris juga terdapat pada karya sastra antara lain Kakawin Sumanasantaka dan Sutasoma, Kidung Harsa Wijaya, Kakawin Ranggalawe, Serat Pararaton, Babad Tanah Jawi, Kitab Mahabarata dan Ramayan, Babad Demak, Kitab Centini, Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian (Sunda), Kitab Slokantara Bangkung (Bugis, Sulawesi Selatan), Lontara Galigo (Bugis, Sulawesi Selatan), Babad Dalem (Bali). (Yuwono, 2011: 13)
Keris digunakan untuk mempertahankan diri (misalnya sewaktu bersilat) dan sebagai alat kebesaran raja. Senjata ini juga merupakan lambang kedaulatan dan lambang kejantanan seorang laki-laki. Keris berasal dari Kepulauan Jawa dan
(25)
keris purba telah digunakan antara abad ke-9 dan abad ke-14. Senjata keris ini terbagi atas tiga bagian, yaitu hulu, bilah dan warangka. Keris sering dikaitkan dengan kuasa mistik oleh masyarakat pada zaman dahulu. Antara lain, terdapat kepercayaan bahwasanya keris mempunyai kekuatan dahsyat bagi sang pemilik tersendiri. Namun, anggapan tersebut tidak benar dikarenakan keris merupakan benda mati yang tidak memiliki kekuatan apapun.
Keris merupakan senjata tikam pendek yang berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya, bentuknya memiliki keunikan tersendiri sehingga mudah dibedakan dengan senjata tajam yang lain. Kekhasan dari keris adalah bentuknya yang tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, bilahnya berkelok-kelok dan banyak memiliki pamor atau hiasan (damascene), yang terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada bilah. Keris telah digunakan selama lebih dari 600 tahun oleh bangsa Indonesia. Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk, serta seni yang mengandung pralambang.
Di Indonesia, keris merupakan salah satu budaya yang masih bertahan, bahkan keris telah diakui menjadi warisan budaya dunia milik Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2005 (Yuwono, 2011: 5). Budaya keris tak lepas dari dua aspek pemahaman yaitu bendawi dan non-bendawi; Eksoteri dan esoteri. Sampai saat ini keris masih digunakan dalam berbagai ritual kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya di daerah yang berpenduduk Suku Jawa, keris biasa digunakan sebagai pelengkap busana pernikahan untuk pengantin pria. Hal ini terjadi karena keris dianggap sebagai lambang pusaka dan simbol kejantanan pria. Selain itu, keris juga dianggap memilki fungsi spiritual, ini terbukti dalam
(26)
upacara peringatan satu sura di keraton Yogyakarta, ada ritual mengkirabkan senjata tajam seperti tombak pusaka, pisau besar (bendho), termasuk juga keris. Dalam upacara ini senjata unggulan keraton diarak mengelilingi keraton sambil memusatkan pikiran dan perasaan untuk memuji dan memohon kepada pencipta semesta alam, agar diberikan kesejahteraan,kebahagiaan dan perlindungan.
Keris juga disebut sebagai benda pusaka yang diakui keagungannya oleh bangsa rumpun Melayu terutama bangsa Indonesia. Keris berkembang dari waktu ke waktu, bertahan dan dipercaya oleh masyarakat. Hal ini bukan sebuah mitos. Para empu pembuat keris di zaman dahulu sangat memperhatikan detail pembuatan keris dari bentuk, model, ukiran hingga ke hal-hal kecil seperti hiasan atau ornament. Setiap detail pada keris memilki makna masing-masing sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh sang mpu pembuat keris. Seorang mpu menciptakan keris dengan ketekunan, kesungguhan dan cipta rasa yang tinggi sehingga tak heran jika keris memiliki estetika tinggi hingga mendapat pengakuan dari UNESCO. Keris sebenarnya diciptakan untuk menumbuhkan wibawa dan rasa percaya diri bukan untuk membunuh atau sengaja untuk melukai orang lain.
Bagi orang Jawa hidup penuh dengan pralambang yang harus dicari maknanya. Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual. Untuk ‘sipat kandel,’ kata orang Jawa. Karenanya oleh sebagian orang keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib. Keris merupakan sebuah lambang yang menuntun manusia hidup di jalan yang benar, sempurna atau kasampurnaning urip. Pemahaman keris bagi masyarakat awam adalah memposisikan keris sebagai benda pusaka yang memilki kekuatan magis dan
(27)
mampu meningkatkan harkat derajat manusia. Padahal, keris hanyalah benda mati yang membawa pesan moral yang amat mulia, bersatunya senjata dengan warangka keris bermakna hubungan akrab untuk menciptakan hidup yang harmonis dimana terjadi persatuan antar raja dan abdinya, rakyat dan pemimpinnya, insan kamil dan Tuhannya.
Keris merupakan karya agung yang harus dilestarikan. Karena jika dilihat dari kacamata desain, sebuah keris memiliki berbagai keunikan yang sangat spesifik. Terbukti dengan penamaan setiap lekuk yang begitu detail disetiap bagiannya. Jika ditinjau dari segi makna yang terkandung pada sebilah keris, tercermin kearifan lokal terutama masyarakat jawa yang menjadikan keris sebagai simbol kekuatan sekaligus mewakili karakter yang memilikinya. Desain keris mempunyai kekuatan tersendiri dalam membentuk kearifan lokal yang selanjutnya bisa menjadi indikator kebudayaan di suatu tempat. Sehingga keris tiap daerah memiliki karakter atau cirri khas yang berbeda-beda.
Keris merupakan salah satu budaya nusantara banyak mengandung makna dan bernilai estetika tinggi, dikarenakan pembuatan karya seni keris ini menggunakan teknik tempa yang cukup rumit. Kerumitan ini berada pada bentuk pamor yang indah, tidak dapat dibaca secara nalar manusia terdahulu. Selain itu bentuk keris sangat beragam dan kesemuanya memiliki nilai-nilai simbolis dan makna tersendiri. Antara lain adalah bentuk keris Tinatah Lung Kamoragan, dimana bilah keris tersebut diukir berbagai macam-macam binatang dalam mitologi jawa serta terdpaat aksen atau penghias emas.
(28)
Berdasarkan penelitian terdahulu, menurut Hidayat (2011: 71-72), Keris sebagai bentuk budaya nusantara yang mengandung nilai-nilai seni tinggi yang dapat dikaitkan dengan ajaran yang luhur, serta menempati posisi yang penting dalam pemantapan dan pelestarian budaya nasional, yang sangat berguna bagi keberhasilan pembangunan nasional, khususnya pembangunan dibidang pelestarian karya seni budaya.
2.3 Keris Kamardikan sebagai Wujud Estetik Transformasi Budaya Berlandaskan pandangan Daszko dan Sheinbergh (2005), Jorgensen (2003) maupun Lubis (1988) dalam Rita Mulyartini, transformasi dapat dimaknai sebagai perubahan mindset yang terjadi karena keinginan untuk tetap survive. Sedangkangkan menurut Dazko dan Sheinberg (2005) mengatakan bahwa wujud transformasi merupakan kreasi dan perubahan dalam keseluruhan bentuk, fungsi atau struktur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, ada dua bentuk transformasi yakni transformasi yang teramati secara fisik, dan transformasi yang terjadi di dalam diri individu sebagai penggerak dari proses transformasi.
Transformasi dimulai dari dalam diri individu, yang mau belajar dari pengalaman hidup dan pengetahuan yang telah dimiliki. Disini yang dimaksudkan adalah sang mpu, para mpu saat ini lebih berpikir bagaimana budaya seni tempa ini agar tidak hilang tergeser dengan zaman yang serba modern ini. Sehingga dalam mencapai tujuan sang mpu memutuskan untuk melakukan perubahan yang mendasar. Perubahan-perubahan itu kini dapat diamati secara fisik, berupa sejumlah kreasi-kreasi dari sang mpu.
(29)
Menurut Jorgensen (2003) dalam Rita Mulyartini, menjelaskan sembilan wujud transformasi yakni: modifikasi, akomodasi, integrasi, assimilasi, inversi, sintesis, transfigurasi, konversi dan renewal. Berdasarkan dua konsep transformasi dari Dazko &Sheinberg (2005) serta Jorgensen (2003) ini, maka wujud transformasi dalam konteks “perubahan” secara fungsi, bentuk atau struktur tidak memiliki batasan yang tegas dan pasti. Artinya bisa saja terjadi perubahan struktur sekaligus bentuk seperti yang dikatakan oleh Jorgensen sebagai modifikasi yakni suatu proses reorganisasi beberapa elemen dari suatu kondisi atau fungsi sesuatu, tanpa mengubah esensinya, atau akomodasi yakni kompromi atau penyesuaian dengan yang lain, seperti seekor bunglon yang menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Modifikasi dan akomodasi juga bisa bersifat dialektis, misalnya suatu modifikasi terjadi karena mengakomodasi situasi eksternal yang berubah. Sehingga transformasi dapat disimpulkan sebagai suatu perubahan mindset atau pemikiran dalam diri individu yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam bentuk, fungsi atau struktur, tetapi tidak menghilangkan ciri adanya sebelumnya.
Transformasi budaya dalam pandangan Lubis (2008) seperti yang dikutip oleh Rita Mulyartini, transformasi budaya memiliki makna melihat secara kritis keberadaan diri saat ini, mencoba untuk mengevaluasi mengapa hal itu terjadi, artinya melihat kembali apa-apa yang telah dilakukan di masa lampau. Berdasarkan evaluasi diri, kemudian perlu dirumuskan upaya untuk melakukan perubahan, dan penyesuaian dalam menghadapi tantangan di masa depan.
(30)
Transformasi nilai dapat terjadi jika nilai-nilai yang terdahulu dapat kita pahami secara menyeluruh, dengan demikian nilai-nilai yang telah terkandung didalamnya tetap menjadi dasar dalam nilai-nilai yang baru sehingga nilai sejarah tetap tersimpan. Percampuran atau antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru inilah yang akan menciptakan terjadinya perubahan-perubahan yang membawa perkembangan. Seperti halnya dengan keris kamardikan yang lahir akibat adanya transformasi budaya, memadukan nilai-nilai terdahulu dengan nilai-nilai baru tanpa menghilangkan nilai sejarah dan estetik dari keris tersebut dengan tujuan untuk pelestarian budaya.
Gambar 2.1 Jenis Kamardikan yang Berkonsep Bebas Sumber: Dokumen Peneliti, 2014
Keris Kamardikan adalah sebutan untuk keris buatan baru yang bukan kuno. Kata Kamardikan berasal dari bahasa Kawi asal katanya Mahardika yang artinya merdeka, dengan maksud kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Keris pada umumnya selalu lekat dengan atribut jaman pembuatannya yang sering disebut ’tangguh’ atau perkiraan jaman. Bentuk keris selalu berkaitan dengan gaya keris
(31)
yang khas dari setiap kerajaan-kerajaan di Nusantara. "Keris Kamardikan” memiliki dua makna yaitu : (Gambar 2.1)
1. Untuk menyebut keris-keris yang dibuat pada zaman setelah Indonesia merdeka,
2. Sebagai keris-keris yang diciptakan menuruti konsep baru yang bebas oleh para senimannya. (dikutip dari Katalog Pameran ”Keris
Kamardikan Award 2008”).
Keris kamardikan hadir akibat adanya transformasi budaya ini tetap mampu berkembang di zaman modern seperti saat ini dengan konsep yang bebas. Hal ini merupakan strategi bagi sang Mpu untuk tetap menjaga keris sebagai karya seni yang memiliki estetika tinggi. Keris kamardikan merupakan jenis tangguh atau masa pembuatannya adalah setelah masa kemerdekaan. Dimana masa ini masyarakat khususnya masyarakat Jawa mengalami kemajuan menjadi masyarakat modern, sikap dan cara berfikir mulai mengarah ke modernisasi, sehingga keris menjadi karya seni rupa yang banyak memiliki makna falsafah, penjabaran simbol dan harapan dari sang empu. Keris dimasa ini tidak lagi mengikuti pakem yang telah baku, namun sang empu mulai bebas dalam membuat sebilah keris.
Dalam keris kamardikan ini selain bentuknya yang mungkin mulai bergeser dari keris tua, juga akan unggul pula terhadap kualitas bahan, teknik dan konsepnya. Tentu ini akan membuat keris kamardikan lebih bernilai. Dalam masa keris kamardikan ini juga terdapat Ilmu tangguh, dimana ilmu ini adalah sebuah pengetahuan (kawruh) untuk memperkirakan jaman pembuatan keris, dengan cara
(32)
meneliti ciri khas atau gaya pada rancang bangun keris, jenis besi keris dan pamornya. Tangguh merupakan seni yang digandrungi oleh komunitas pecinta keris, karena disini terletak suatu karya seni dalam nilai kemampuan, semacam uji kemampuan dari sesama penggemar keris. Tangguh juga menjadi sebuah nilai pada harga sebilah keris. Dengan kata lain mengikuti trend dari masa ke masa (perkembangan zaman). Tangguh dalam kamus bahasa Jawa (S. Prawiroatmodjo) diartikan sebagai ’boleh dipercaya’, ’tenggang’, ’waktu yang baik’, ’sangka’, ’persangkaan’, ’gaya’, ’lembaga’, ’macam’ (keris). (catatan ini diambil dari beberapa notasi diantaranya dari Forum Diskusi Keris Yahoo Grup).
Dengan adanya transformasi budaya ini membuat sang Mpu lebih kreatif dalam mengolah dan membuat kerisnya. Seperti halnya keris yang dahulunya hanya menggunakan bentuk simbol hewan mitologi (naga, kijang dan lain-lain) sekarang merambah pada bentuk manusia, seperti gambar dibawah ini.
(33)
Jika diamati keris kamardikan tersebut secara fisik mengalami transformasi budaya, dengan menggunakan dhapur seorang tokoh namun tetap terlihat estetikanya dan bahkan jauh lebih tinggi estetika yang terkandung didalamnya. Padahal sebelum terjadi transformasi budaya dhapur keris tidak dapat diubah-ubah, harus sesuai dengan aturan pembuatan keris yang sebenarnya. Transformasi ini dilakukan sang mpu dengan sengaja dikarenakan berkembangan zaman yang mengubah midset sang mpu untuk mencoba keluar dari pakem yang baku dengan tujuan agar keris tidak hilang tergerus oleh zaman. Akibatnya keris menjadi lebih terkenal secara meluas dan diakui sebagai mahakarya seni asli Indonesia oleh UNESCO.
2.4 Makna Warna sebagai Gambaran Budaya
Warna secara artistic digunakan sebagai alat ekspresi manusia dalam berkarya. Warna telah digunakan masyarakat terdahulu tepatnya zaman primitif untuk melukis pada dinding-dinding gua. Pada zaman primitif warna sudah banyak digunakan, warna zaman dahulu terbuat dari bahan biji-bijian, tanah liat atau darah binatang.
Perkembangan penggunaaan warna mulai dari lukisan prasejarah sampai dengan seni kontemporer masih dianggap sangat penting, karena warna berhubungan dengan sejarah kebudayaan manusia mulai dari kesederhanaan bahan dan penggunaan sampai dengan kompleksitas pengetahuan dan penggunaan warna modern. Saat ini masyarakat dalam melakukan pemilihan warna tidak sekedar memenuhi selera pribadi, tetapi memilih warna sesuai dengan
(34)
kegunaannya. Sehingga masyarakat saat initelah mengetahui fungsi warna dengan baik dan tepat.
Warna merupakan sebuah objek yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Contohnya saja dalam bidang psikologi, warna dianggap berpengaruh terhadap otak manusia dalam hal cara otak menerima dan menginterpretasikan warna, warna juga berpengaruh terhadap emosi sesorang karena warna menggambarkan suasana hati manusia. Hal ini diperkuat oleh Marian L. David dalam bukunya Visual Design in Dress (1987: 119), penggolongan warna menjadi dua yaitu warna eksternal dan internal. Warna eksternal merupakan warna yang bersifat fisika dan faali, sedangkan warna internal adalah anggapan warna sebagai persepsi manusia, cara manusia melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan cara mengekspresikannya.
Pada zaman Byzantine, Majapahit, Mataram, Louis XIV penentuan warna untuk bangunan interior sangat berbeda, dikarenakan warna dalam bangunan interior masyarakat terdahulu merupakan ungkapan kehidupan suasana dari sang penghuni dan masyarakat terdahulu menganggap warna sebagai ungkapan ekspresi individu yang terpenting sehingga fungsi warna tidak diterapkan. Padahal setiap warna memiliki karakteristis dan fungsi tersendiri. Dan bahkan warna memiliki makna atau arti simbolis yang terkadang berbau mistik. Contohnya, ungkapan keseharian kita yang seringkali melibatkan warna, misalnya hari minggu yang ‘kelabu’. Kelabu dalam pengertian tersebut bukanlah warna yang sesungguhnya namun warna abu-abu yang dilambangkan dengan makna kesedihan atau kedukaan yang dirasakan. Contoh lainnya juga terjadi akibat
(35)
perbedaan budaya, misalnya blue Monday. Dalam bangsa barat warna biru (blue) sama dengan warna abu-abu yang ada di Indonesia, di bangsa barat blue juga dapat diartikan sedih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap warna memiliki makna tersendiri dan makna tersebut tergantung dari budaya serta daerah yang ditempati saat ini. (Darmaprawira, 2002: 38).
Warna pada karya seni terdahulu bersifat simbolis dan sering kali warna memiliki suatu makna yang luas serta melambangkan sesuatu yang diartikan sebagai kejahatan atau bencana. Lambang menurut kamus Wojowasito yang dikutip dalam buku Warna oleh Dharmaprawira (2002: 41) menyatakan bahwa, tanda atau yang menyatakan suatu hal atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya keadilan dilambangkan dengan gambar neraca, kesucian dilambangkan dengan warna putih dan sebagainya. Setiap warna selalu mempengaruhi makna sebuah karya seni karena setiap setiap karya seni memiliki masa pembuatan yang berbeda. Pada masa prasejarah segala sesuatunya yang ada disekitar selalu dilambangkan, misalnya matahari sebagai lambang kebaikan yang menguasai bumi dan langit, matahari di Mesir di ibaratkan sebagai Osiris.
Bagi masyarakat mesir warna kuning dan emas adalah simbol matahari, merah lambang pria, hijau lambang keabadian, ungu warna dari tanah, biru lambang akhirat dan keabadian. Sedangkan warna biru seringkali digunakan pendeta sebagai simbol kesucian dalam keadilan hokum. Osiris bapak dari Tritunggal Mesir Kuno dilambangkan dengan warna hijau, Horus dilambangkan warna putih, Set dewa kejahatan dilambangkan warna hitam, Shu dewa
(36)
dengan warna biru. Dan warna-warna tersebut telah menjadi pedoman bahkan budaya bagi masyarakat mesir. (Dharmaprawira, 2002: 42)
Warna yang dijadikan lambang tidak hanya terjadi pada karya seni, namun warna sebagai lambang juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang lambang-lambang tersebut dijadikan sebagai budaya yang terus berkembang. Warna merah dalam budaya warga Cina memiliki makna kebahagiaan, dan warna gold dalam warga Cina memiliki makna keberuntungan. Sehingga tak jarang jika dalam perayaan, masyarakat Cina menggunakan warna merah dan gold. Dan warna tersebut menjadi ciri khas dari masyarakat Cina hingga saat ini.
Warna dalam masyarakat Jawa juga memiliki makna berbeda-beda sesuai daerah masing-masing. Dalam masyarakat Jawa, warna dibagi dua kelompok, yakni kelompok warna sekitar Jogjakarta dan Solo dan kelompok warna pesisir sekitar pekalongan. Dalam kelompok warna sekitar Jogjakarta dan Solo lebih terpusat di keraton kedua kesultanan tersebut. Tradisi-tradisi Jawa mulai dari upacara-upacara yang bersifat adat sampai bentuk-bentuk kesenian berpusat di keraton. Bentuk-bentuk dari kesenian tersebut antara lain, seni tari, wayang, seni batik dan karawitan (gamelan). Segala peraturan, etika, estetika dan kebudayaan-kebudayaan semuanya berpusat pada keraton, bahkan mulai dari sikap priyai yang mencerminkan kebangsawanan serta moral sangat dipatuhi oleh masyarkat dan lingkungannya. Begitu juga dengan peraturan penggunaan warna yang menjadi peraturan tidak tertulis namun tetap harus diikuti oleh seluruh masyarakat beserta lingkungannya. Menurut Dr. G.B. Rouffaer dan Dr. H.H. Juynboll yang dikutip oleh Darmaprawira (2002: 158), sebenarnya masyarakat Jawa telah cukup kaya
(37)
pengetahuan warnanya dan dapat dikatakan asli (batikkunst, h.296). Dan warna yang beliau dapat selama belajar warna di Indonesia yaitu, abang atau bang (merah), biru, dadu (merah jambu), deragen (coklat), ijo (hijau), ireng (hitam), kuning, putih, wilis (hijau kebiruan), jingga, wulung (ungu, indigo).
Dr. G.B. Rouffaer dan Dr. H.H. Juynboll yang dikutip oleh Darmaprawira (2002: 158), menyatakan kekaguman atas pengetahuan masyarakat Jawa terhadap warna dan mereka mengakui kelebihan tersebut dibandingkan pengetahuan masyarakat Eropa tentang warna pada waktu itu. Nama-nama warna yang mereka dapat seperti yang telah disebutkan diatas, sebagian merupakan lambang yang diakui oleh masyarakat Jawa, warna tersebut tersusun dalam table dibawah ini.
Tabel 1 Warna Dalam Lambang Masyarakat Jawa
Sumber tabel: Darmaprawira, 2002: 159 dalam buku Warna
Warna kuning dalam kebudayaan masyarakat Jawa merupakan lambang dari keraton atau sultan, yang disimbolkan pada warna payung kebesaran yaitu warna kuning mas. Biasanya jika raja atau sultan tidak berada di kraton, bendera kuning atau payung kuning tersebut dipancangkan dihalaman istana.
Warna Unsur Arah mata angin
Hitam Putih Hitam Putih Merah Kuning Besi Perak Besi Perak Perunggu Emas Utara Timur Utara Timur Selatan Barat
(38)
Warna-warna yang sering muncul dalam karya seni masyarakat Jawa antara lain, pada batik tradisional: warna hitam, coklat, putih atau biru tua, pada pertunjukan wayang kulit: warna merah dan putih simbol dari arena pertunjukan. Sedangkan pada keris menggunakan warna dasar hitam dan warna kuning. Dimana hitam merupakan unsur dari besi dan warna kuning merupakan unsur dari emas.
2.5 Teori Semiotika
Semiotik atau semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.(Sobur, 2004: 95). Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Zoest, 1993: 1).
Konsep semiotik sebagai ilmu tanda semakin berkembang, tidak hanya berlaku dalam sastra, tetapi juga dalam ilmu seni, antropologi dan filsafat. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hidayat (2013), bahwasanya sebagai bentuk semiotik keris terdiri atas unsur-unsur, seperti pamor, deder, warangka, pendok, mendak, dapur dan sebagainya. Dimana dalam unsur-unsur tersebut mengandung simbol-simbol yang memiliki makna sendiri. Sehingga untuk mengkaji makna yang terkandung dalam keris naga sangat tepat jika menggunakan konsep semiotik sebagai pendekatan analisis.
(39)
Roland Barthes dalam Fiske (2007: 60-61), semiotika adalah ilmu yang memeprlajri tanda dan hubungan structural antara penanda atau signifier
(ungkapan, kata, tulisan dan gambar) sebagai tema pertama dan petanda atau
signified (konsep atau makna) sebagai tema kedua, serta tanda/sign yang merupakan totalitas dari kedua tema yang pertama. Dalam teorinya Barthes tetap menggunakan teori Saussure sebagai dasarnya. Barthes (2007) dalam karyanya (1957) menggunakan pengembangan teori tanda de Saussure yaitu signifier and signified sebagai upaya menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi (Hoed 2011: 5).
Konotasi merupakan pengembangan dari petanda (makna atau isi tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Sehingga konotasi dalam masyarakat dapat menjadi mitos. Seperti yang dilakukan Barthes, beliau mencoba menjabarkan kejadian keseharian kita dalam kebudayaan yang ‘wajar’, padahal semua itu merupakan konotasi yang berubah menjadi sebuah mitos akibat adanya pengaruh dari masyarakat yang terlalu bersikap lebih. Salah satu contoh nyatanya adalah ‘olahraga’ gulat di prancis. Menurut Barthes dalam Hoed (2011: 5), gulat bukanlah olahraga, tetapi tontonan. Gulat merupakan salah satu olahraga yang direkayasa. Tetapi, penonton atau audiens tidak mempersoalkan hal tersebut, yang terpenting adalah bagaimana perilaku dan tampilan pegulat (signifier) dan penonton diberi makna (signified) sesuai dengan keinginan penonton atau audiens yaitu yang menjadi favorit harus menjadi pemenang. Kejadian itu disebut konotasi, yaitu perluasan petanda (signified) oleh pemakai tanda (sign) dalam kebudayaan.
(40)
Menurut Roland Barthes (2007: 16), bahasa adalah sebuah sistem tanda yang menggambarkan asumsi-asumsi atau pemikiran dari suatu masyarkat tertentu dari waktu tertentu. Bahasa kemudian dijadikan sebuah tanda yang menggambarkan situai atau mengenalkan suatu produk tertentu dengan model tertentu sebagai daya tarik, serta dibangun dan diciptakan berdasarkan konsep asumsi yang berkembang di masyarakat dalam kurun waktu tertentu pula. Yang artinya, sebuah tanda atau sign merupakan alat bantu manusia dalam mengenali lingkungannya, tanda-tanda mengirimkan pesan verbal dan non verbal sehingga bersifat komunikatif, sehingga memunculkan proses pemaknaan antara penerima tanda dengan pengirim tanda, tetapi tanda tidak bersifat abadi, tanda dapat berubah-ubah sesuai dengan masa dan perkembangan zaman.
Menurut Barthes (2007), denotasi adalah sebuah bahasa yang menghadirkan konvensi atau kode-kode social yang bersifat eksplisit, yaitu kode-kode yang disetiap tandanya tersimpan makna tersembunyi. Sedangkan menurut Berger (2000), denotasi sebagai term refers to the literal meaning of term or object. It is basically descriptive. Artinya, denotasi merupakan istilah yang paling dasar dari suatu objek. Seperti kata ‘kursi’, kursi jika tidak dihubungkan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan status social, maka secara fungsional ‘kursi’ berfungsi sebagai tempat duduk. Sedangkan ‘kursi’ yang dihubungkan dengan status social, seperti ‘kekuasaan’ maka kata kursi bagian dari konotasi.
(41)
Menurut Berger, konotasi sebagai term deals with the cultural meanings that become attached to a term. Konotasi selalu diidentikkan dengan ideology yang disebut mitos, dan berfungsi sebagai pengungkap dan pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai dominan tersebut merupakan sebuah ideologi yang tersembunyi. Sedangkan menurut Barthes, makna yang tersembunyi merupakan kawasan dari ideology atau mitos. Maka tanda berdasarkan teori Barthes adalah pandangan yang bersifat structural, bahwasanya semua tanda denotatif pada akhrinya mengandung makna-makna ideologi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebuah tanda memiliki makna konotasi dan makna tersebut dapat berubah menjadi denotasi yang kemudian beralih menjadi sebuah mitos.
Tahap Pertama Tahap Kedua
Realitas Tanda Budaya
Gambar 2.3 Bagan Model Dua Tahap Signifikasi Barthes. Sumber: Barthes dalam Fiske
Denotasi
Penanda
Petanda
Konotasi
(42)
Dalam bagan diatas, Barthes dalam Fiske menjelaskan bahwa tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari sebuah tanda.
Konotasi adalah sebuah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Sehingga menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi pada dasarnya mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak inter subjektif. Pemilihan kata-kata terkadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata ‘kursi terdakwa’ berubah makna menjadi
‘tersangka’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa denotasi merupakan makna yang
sebenarnya dari sebuah objek sedangkan konotasi merupakan makna tidak sebenarnya dari sebuah objek.
Penggabungan konotasi dan metabahasa memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah system atau petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik. Kode sebagai sistem makna yang ketiga (makna luar) yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda (Barthes, 1974: 18-20) yang terdiri dari lima jenis kode, diantaranya :
Hermeneutik
Dalam kode hermeneutik, terdapat banyak istilah yang berupa sebuah teka-teki dibedakan menjadi, diduga, diformulasikan, dipertahankan dan akhirnya disingkapi. Kode ini disebut sebagai suara kebenaran (the voice of truth).
(43)
Proairetik
Merupakan tidakan naratif dasar yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai situasi yang mungkin dindikasikan. Kode seperti ini disebut sebagai suara empirik.
Budaya
Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya masyarakat mengindikasikan kepada tipe pengetahuan (fisika, fisiologi, psikologi, sejarah serta arsitektur). Serta mencoba untuk mengkonstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini disebut sebagai suara ilmu.
Semik
Merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).
Simbolik
tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang yang dipergunakan.
(44)
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, kita menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang diambil dari pendapat orang-orang serta perilakunya yang menghasilkan data deskriptif baik berupa kata-kata tertulis maupun lisan. (Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong, M. A. (2007)). Menurut Krisyantono (2006) dalam Diah (2011), penelitian ini memiliki suatu tujuan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan cara melakukan pengumpulan data secara mendasar tetapi tidak menekankan pada pengambilan data secara teknik sampling (banyaknya populasi). Sedangkan menurut William (1995) dalam Moleong, M.A (2007), menyatakan bahwa penelitian kualitatif ini merupakan teknik pengumpulan data pada objek data yang alamiah, menggunakan metode yang alamiah serta peneliti pun tertarik dengan hal-hal yang bernuansa alamiah. Dengan demikian metode yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Berdasarkan pendekatan kualitatif, maka penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kualitatif. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi melainkan bertujuan membuat deskripsi yang secara sistematis, faktual dan akurat. (Krisyantono,2006: 69). Cara dan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa bagian:
(45)
Simbol naga pada Keris naga kamardikan karya Mpu Pathor Rahman sebagai objek penelitian yang didokumentasikan dan diamati.
Gambar 3.1 Bagian Dari Bentuk Keris (kiri), Ornamen (kanan) Sumber: Dokumen Peneliti
Bagian yang akan diamati dan dianalisis adalah bentuk keris, ornamen dan warna dengan metode Semiotika Roland Barthes. (Gambar 3.1)
Keris naga kamardikan ini akan diamati dan di analisis menggunakan semiotika Roland Barthes, dimana dalam penerapannya menggunakan denotasi dan konotasi dari simbol naga pada keris naga kamardikan. Denotasi merupakan gambaran fisik dalam sebuah elemen visual, dimana denotasi dalam bentuk visual didasarkan dari keterbukaan signifier dan signified. Makna atau sifat asli dapat di lihat dari konotasinya, melalui elemen-elemen yang terdapat dalam visual keris naga kamardikan, serta mitos atau ideology yang menyertai setiap elemen visual. Dari kumpulan konotasi dari objek penelitian akan membentuk konotasi yang digeneralisasikan.
(46)
Metode menganalisanya menggunakan metodologi visual, metode ini dipilih setelah menelaah dalam penelitian visual, penelitian visual di bagi menjadi tiga sudut pandang area yang dapat diambil oleh peneliti, seperti yang ditulis oleh Gillian Rose. Ketiga posisi tersebut adalah the site of the production of an image, the site of image it self dan site where it is seen by various audiences.
Gambar 3.2.Site of Image it self, mengarah pada visual meaning. Dalam penelitian ini, penelitian akan mengambil posisi site of self, dimana peneliti bertindak sendiri untuk melakukan interpretasi, pemaknaan dan pemahaman terhadap obyek penelitian yang diamati. Dengan kemampuan analisis peneliti membaca dan mengurai makna per
(47)
bagian yang terbentuk dan di lekatkan kepada obyek gambar visual yang ada, seperti yang diungkapkan oleh Rose (2001) bahwa penulis budaya visual tidak hanya perhatian dengan bagaimana gambar itu tampak, tetapi bagaimana gambar itu dilihat. Hal terpenting dalam gambar-gambar tersebut bukanlah gambar-gambar itu sendiri, melainkan bagaimana gambar itu dilihat oleh audiens tertentu dan dengan cara tertentu pula. Penelitian visual, merupakan penelitian menggunakan tool discourse untuk menganalisa objek yang diteliti. Menurut Ida (2011: 60), penelitian discourse tidak menyediakan jawban konkret atau jawaban yang tampak terhadap persoalan-persoalan pada penelitian ilmiah, namun penelitian discourse memberikan perangkat untuk dapat mengetahui asumsi-asumsi epistemology (dasar filosofinya, keahlamiahan) dan
ontology (dasar filosofis keberadaannya, kehidupan) yang ada di belakang penelitian ilmiah, rumusan masalah dan metode penelitian yang di gunakan. Dalam pendekatannya memiliki 2 pendekatan analisa yaitu secara makro (dimana kekuatan, dominasi dan ketidaksetaraan antara kelompok sosial), sedangkan secara mikro (penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal dan komunikasi). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan analisis discourse merupakan alat diskripsi dan interpresentasi dimana pada perkembangannya discourse tidak hanya membahas tentang kajian percakapan maupn retorika namun telah berkembang dan merabah pada pemahaman-pemahaman pada teks tertulis.
(48)
Menurut Ida (2011: 65), menyatakan bahwa perangkat analisis
discourse atau the tools of discourse analysis yang digunakan dalam penelitian akan berbeda, tergantung pada disiplin ilmu yang ditekuni oleh peneliti. Sedangkan teknik-teknik gambar visual, ikon atau image, indek atau simbol merupakan perangkat analisis discourse-nya.
3.2 Metode Semiotika
Mengkaji pemaknaan visual merupakan kajian yang tidak hanya membahas kontekstual saja, melainkan mendefinisikan sebuah pemaknaan yang terlihat maupun tidak terlihat. Dengan semiotika ini mampu menggali hal-hal yang bersifat subtansial dari penggunaan bahasa maupun visual tentang seperangkat nilai atau bahkan ideology yang tersembunyi. Metode semiotika ini bersifat kualitatif-interpretatif, yaitu sebuah metode yang memfokuskan pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang 2003: 261)
Nilai-nilai social yang terdapat dalam masyarakat ini mendorong peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes untuk membaca dan menganalisa Keris Naga Kamardikan karya Mpu Pathor Rahman yang berada di kabupaten Sumenep, Madura.
Penelitian dengan teori semiotika Roland Barthes, terdapat denotatif sebagai sistem tanda pada tataran pertama, konotatif sebagai sistem tanda tataran kedua dan mitos atau ideologi yang berfungsi untuk mengungkapkan serta memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode atau masa-masa
(49)
tertentu. Dalam mitos atau ideologi sendiri terbagi menjadi 3 dimensi, yaitu penanda (signifier), petanda dan tanda. (Barthes, 2007: 300)
Dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk menggambarkan dan memaknai simbol naga pada keris naga kamardikan, pada tiap gambar visual yang berupa simbol naga secara semiotika terutama yang berkaitan dengan mitos atau ideologi. Keris naga kamardikan sebagai objek yang diteliti memiliki beberapa tanda atau simbol-simbol yang dibentuk maupun dilekatkan serta digunakan dengan tujuan tertentu dalam gambar visualnya.
3.3 Unit Analisis
Unit analisis penelitian ini mengambil dari bagian-bagian dari beberapa aspek visual gambar naga, yakni bentuk mahkota, bentuk mata, bentuk moncong, ekor naga, bentuk ornamen dan warna dari bilah keris. Karya-karya yang berupa simbol naga menjadi pilihan peneliti dikarenakan objek utama penelitian ini adalah simbol naga dari keris naga kamardikan, sehingga dapat dianalisis menurut sistem pengkodean berdasarkan kajian konotasi, denotasi dan mitos semiotika Roland Barthes.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kebutuhan analisa dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut telah dilakukan penulis sejak menentukan permasalahan yang sedang dikaji, pengumpulan data yang dilakukan adalah :
(50)
a. Data primer diperoleh berupa gambar visual yang dianggap oleh peneliti terdapat unsur tanda-tanda berupa simbol, indeks dan ikon.
b. Data sekunder diperoleh melalui pustaka (library research), dengan cara mempelajari dan mengkaji literatur yang berhubungan dengan permasalahan, untuk mendukung dan memperkuat asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas yakni berkenaan dengan semiotika terutama denotatif, konotatif serta mitos.
3.5 Teknik Analisis Data
Data berupa gambar simbol naga pada keris naga Kamardikan dengan teori-teori yang menggunakan image base research, yakni :
a. Data yang terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan kerangka teoritis metodologi visual, aspek visual meanings melalui still image,
dengan mengedepankan cara menjabarkan atau menjelaskan visualnya menggunakan site of self, dimana peneliti akan menganalisis dari visual berdasarkan bentuk serta warna yang dianggap penting sehingga mampu menciptakan serta merepresentasikan sesuatu. Sedangkan dari sisi wilayah dimana keris naga kamardikan itu dibuat juga menjadi bagian yang dianalisis.
b. Peneliti akan menganalisis data dengan menggunakan pendekatan analisis tanda Roland Barthes. Dalam teori tanda ini memiliki dua tahap yaitu tahap denotasi yang mengarah pada makna lugas, tahap konotasi yang mengarah dalam dua arah pertandaan tingkat dari petanda yang dijalankan
(51)
dalam metabahasa, diharapkan dengan menggunakan unit analisis menghasilkan pemaknaan dari segi mitos atau ideologi.
(52)
45
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
4.1 Data Penelitian
Gambar 4.1 Bentuk Keris Naga Kamardikan Secara Keseluruhan. Sumber: Dokumen Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel keris naga kamardikan karya mpu Pathor Rahman. Dalam hal ini lebih ditekankan pada bentuk atau simbol naga yang berada pada keris naga kamardikan. Bentuk naga diambil sebagai objek kajian karena dirasa banyak terdapat tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mempresentasikan sebuah pesan dari sang mpu.
(53)
Bentuk naga berada pada bagian bawah keris, apabila kita memegang ataupun melihat keris akan terlihat jelas bentuk naga pada sisi bagian kanan bawah dimana bentuk ekornya akan mengisi seluruh bagian bilah keris. Dalam penelitian ini di bagi dalam tiga bagian sample, dikarenakan bentuk naga yang panjang mengikuti bentuk bilah keris. Tiga bagian tersebut yakni, bagian bentuk naga sampai bentuk ekor, warna dan ornamen, dengan di ambil semua data sebagai bahasan, diharapkan mendapatkan makna secara keseluruhan dari keris naga kamardikan tersebut.
4.2 Analisa Data
4.2.1 Simbol Naga sebagai Mitologi
Gambar 4.2 Jenis Naga Eropa (kiri), Jenis Naga Asia (kanan) Sumber: http://wtmlbro.blogspot.com (kiri), http://ei-ezra.blogspot.com (kanan)
Naga merupakan makhluk mitologi paling terkenal di seluruh dunia. Istilah
Naga menurut I.W. Mabbet dalam Munoz, adalah sebagai berikut “Naga adalah
sebuah kata dari bahasa India pra-Arya, kesamaan katanya dalam bahasa Sanskrit
(54)
memuja ular, air dan bumi yang menjadi kepercayaan di India dan Asia
Tenggara”(Munos,2006: 55 dalam Yuwono,2011: 22).
Menurut Stanlay Hendrawijaya melalui artikelnya di majalah pamor (2009) yaitu
“Terdapat dua jenis naga yang diketahui di dunia, yaitu naga eropa dan naga
oriental (yang berasal dari Cina atau Asia). Naga dalam bahasa Inggris disebut Dragon, bahasa Yunani adalah drakon artinya ular raksasa, kata ular
raksasa ini merupakan kata kerja derkomai yang artinya ‘pandangan yang tajam’. Naga tersebut banyak menggambarkan tentang kekuatan magis
sehingga secara umum binatang tersebut dimasukkan dalam golongan binatang mithologi. Menurut pandangan masyarakat naga tersebut digambarkan sebagai sosok monster dengan punggung yang berduri dan memiliki sayap seperti kelelawar. Naga dengan ciri tersebut banyak disebut sebagai naga yang berada di Eropa, sedangkan naga Asia atau Oriental hanya digambarkan sebagai sosok ular besar” (2009: 13-17). (Gambar 4.2).
Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal Naga adalah Dragon. Namun Naga sebenarnya adalah mahluk mitologis yang berbeda dengan Dragon. Naga muncul pada kebudayaan Hindu dan Budha, kemungkinan berasal dari daerah India dan sekitarnya. Naga adalah mahluk setengah ular, setengah manusia, terkadang digambarkan atau divisualkan sebagai ular raksasa. Yang laki-laki disebut Naga, sedangkan versi perempuannya disebut Nagini. Naga sering dianggap sebagai entitas yang bersifat jahat, namun tidak jarang juga dianggap sebagai penjaga sungai atau danau. (http://for-urinfo.blogspot.com). Bentuk visual
(55)
naga ini merupakan bentuk adopsi dari binatang-binatang yang ada, seperti kepala naga yang mengambil bentuk kepala singa (Gambar 4.3), bentuk mata naga diambil dari bentuk mata elang yang tajam, siripnya diambil dari bentuk sirip ikan arwana, kakinya diambil dari bentuk kaki singa.(Hari Genduk, wawancara, 2009 dalam Yuwono, 2011: 24).
Gambar 4.3 Bentuk Dari Representasi Kepala Naga
Sumber: http://www.4shared.com (kiri), http://anisacomputer.wordpress.com (kanan)
Menurut pakar keris, Toni Junus Kartiko 2009, bahwa naga merupakan bentuk makhluk suci yang menyerupai ular tetapi setiap daerah atau Negara atau bahkan benua memiliki ciri-ciri yang berbeda sehingga ular atau naga tersebut memiliki karakter dan identitas budaya sendiri-sendiri. Di Korea naga disebut dengan ‘Yong’ sebagai sebutan untuk naga langit sedangkan naga laut disebut
‘Imoogi’. Di Vietnam disebut ‘Rong’ atau ‘Long’, di Thailand disebut ‘Makara’,
di Jepang disebut ‘Ryu’, Filiphina disebut ‘Bakunawa’ dan di Kamboja disebut
‘Neak’ (2009: 13-17).
(56)
‘Naga’ merupakan bahasa Sansekerta berarti ‘ular jantan’, sedangkan ular
betina disebut nagagini. Dalam bahasa Kawi disebut ‘ular’(Wojowasito,
1977: 174 dalam Yuwono, 2011: 23).
Menurut Prawiraatmodjo dalam buku kamus ‘Bau Sastra-Jawa Indonesia’
menerangkan bahwa
‘Dalam bahasa Jawa, naga artinya ular besar atau ular dalam ukuran besar.
Naga ini dianggap keramat dan dipercaya memiliki kekuatan magis. Naga sering dikisahkan sebagai binatang penjaga kiblat pada perubahan tahun, bulan, hari dan digunakan sebagai petungan’(1981: 335). (Yuwono, 2011: 23).
Bagi masyarakat Cina, naga merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan bangsa China. Hal ini dapat dilihat dari budaya China yang hampir semuanya berhubungan dengan hewan berlegenda ini. Bagi bangsa Cina, naga adalah salah satu dari empat makhluk spiritual yang mendapat penghormatan tertinggi. Tiga makhluk lainnya adalah Phoenix, Qilin (Kirin) dan Kura-kura. Namun diantara semuanya, naga adalah yang paling perkasa dan dijadikan sebagai lambang kaisar-kaisar Cina. Di dalam mitologi Cina, naga memiliki kaitan yang sangat erat dengan angka "9". Misalnya, Naga Cina sesungguhnya memiliki 9 karakteristik yang merupakan kombinasi dari makhluk-makhluk lainnya, yakni memiliki kepala seperti unta, sisik seperti ikan, tanduk seperti rusa, matanya seperti siluman, telinganya seperti lembu, lehernya seperti ular, perutnya seperti tiram, telapak kakinya menyerupai harimau dan cakarnya seperti rajawali. Naga ini memiliki 117 sisik. 81 diantaranya memiliki karakter Yang (Positif) dan 36
(57)
lainnya memiliki karakter Yin (Negatif). Naga Cina memiliki tiga atau empat cakar di masing-masing kaki. Namun kerajaan Cina menggunakan lambang naga dengan lima cakar untuk menunjukkan sang Kaisar bukan naga biasa. Lambang ini kemudian menjadi lambang ekslusif yang hanya boleh digunakan oleh sang kaisar.
Dalam literatur Cina, ditemukan lebih dari 100 nama naga yang berbeda-beda. Namun, naga Cina secara umum digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu
Tien Lung atau Naga Langit yang bertugas menjaga istana para dewa, Shen Lung
atau Naga Spiritual yang berkuasa atas angin dan hujan, Ti Lung atau Naga Bumi yang berkuasa atas air di permukaan bumi, Fucang Lung atau Naga dunia bawah bumi yang bertugas menjaga harta karun yang ada di dalamnya. Keberadaan naga dalam masyarakat Cina ini diperkuat dengan adanya buku Amanded Recording of the Tang Dinasty, yang mencatat peristiwa penemuan seekor naga mati berwarna hitam di teritori Tongcheng, terjadi saat pemerintahan kaisar Xiantong. Buku ini mendeskripsikan mengenai naga secara detail, mulai dari panjang naga sekitar 30 meter dimana setengahnya adalah ekornya, Ujung ekor naga tersebut pipih, sisiknya seperti ikan dan di kepalanya tumbuh dua tanduk, Sungut di samping mulut yang memiliki panjang 6 meter, Kakinya yang tumbuh di perutnya memiliki lapisan berwarna merah. Deskripsi ini sangat mirip dengan gambaran naga Cina klasik. (http://xfile-enigma.blogspot.com). Naga versi Cina ini dianggap sebagai simbol kekuatan alam, khususnya angin topan. Umumnya makhluk ini dianggap memiliki sifat yang baik selama ia selalu dihormati. Sehingga sebagai bentuk penghormatan naga pada kebudayaan Cina digunakan
(58)
sebagai lambang Kekaisaran dan digunakan sebagai lambang – lambang pada ritual ataupun perayaan besar masyarakat Cina.
Naga dianggap sebagai penjelmaan roh dari orang suci yang dianggap belum masuk surga. Biasanya roh orang suci menjelma dalam bentuk naga kecil dan menyusup ke dalam bumi untuk menjalani tidur dalam waktu lama. Setelah tubuhnya membesar, ia bangun dan terbang menuju surga. Naga dalam masyarakat Cina sering dijadikan simbol shio yang memiliki arti kebenaran, perlindungan dan keperkasaan. Biasanya, shio naga terdapat pada tahun 2012,2000, 1988, 1876, 1964, 1952, 1940. Shio dengan lambang atau simbol naga ini dipercaya memiliki kemampuan mulut yang baik, namun juga sering membuatnya celaka. Dari data-data yang ditemukan oleh masyarakat Cina, menyebabkan masyarakat Cina percaya bahwasanya naga menjadi hewan yang tidak hanya ada dalam imajinasi saja, namun dalam kehidupan nyata tetap ada. Sehingga bagi masyarakat Cina, naga merupakan simbol kekaisaran sebagai penghormatan terhadap naga, dan juga naga dianggap sebagai dewa.
Naga selalu dihubungkan dengan air dan disebut pengatur air, karena semua jenis makhluk hidup, seperti ikan, buaya, babi, kuda, sapi, dan segala hewan memerlukan air untuk hidup. Di dalam kepercayaan masyarakat Cina, dewa air adalah dewa para petani dan Cina merupakan negara pertanian yang besar, sehingga naga selalu digambarkan dengan air atau awan. Hal ini merupakan penghormatan bagi masyarakat Cina terhadap naga, yang di percaya sebagai pengatur air.
(59)
Naga juga dianggap makhluk langit, memiliki dua alasan, yang pertama adalah segala yang berhubungan dengan air seperti ikan dan buaya kemudian dihubungkan dengan darat seperti babi, kuda, sapi, dan rusa serta langit seperti petir, pelangi, dan burung – burung yang digabungkan menjadi satu. Dan yang kedua adalah karena kerterbatasan manusia maka memerlukan sesuatu yang melebihi daya pemikiran sendiri seperti agama sehingga manusia dapat melepaskan penderitaan dan memohon atas segala keinginannya melalui bentuk naga inilah masayarakat percaya bahwa naga akan menyampaikan permohonan dan penderitaan kepada sang pencipta. Sehingga membuat naga sering digunakan untuk acara – acara kekaisaran dan makhluk mistis. (http://journal.fsrd.itb.ac.id).
Naga dalam masyarakat Jawa diartikan sebagai makhluk imajinatif atau makhluk mitologis. Naga hadir dikarenakan imajinasi manusia dalam ruang
samadi (ruang laku tapa) yang berwujud ular besar tetapi tidak ada dalam kehidupan nyata, semua itu berada dalam alam bawah sadar sehingga terlihat fana. Menurut wikipedia.org, naga adalah mahluk mitologi Jawa yang berbentuk ular besar sebagai perwujudan dari salah satu makhluk penguasa gaib. Dalam cerita pewayangan dikenal ular naga yang menjadi dewa bernama Sanghyang Naga Antaboga atau Anantaboga yang konon sebagai dewa penjaga di dalam perut bumi. Naga digambarkan sebagai sesosok mahluk sakti berbentuk ular raksasa yang tidak memiliki kaki namun, terkadang diwujudkan mempunyai kaki. Naga dalam masyarakat Jawa disimbolkan dengan memakai badhog atau mahkota di atas kepalanya. Terkadang Naga digambarkan juga memakai perhiasan anting dan kalung emas. Naga juga sering kali digunakan sebagai hiasan yang kemudian
(1)
79
Dalam masyarakat Jawa emas merupakan warna superior yang digunakan oleh para penguasa sebagai bentuk kekuasaan dan melambangkan kekuasaan para penguasa untuk menjaga kesetiaan para bawahannya dan rakyatnya. Emas juga dikaitkan dengan konsep ‘Kosmos’, yaitu adanya kesamaan emas dengan matahari. Dalam masyarakat Cina kuning melambangkan kekaisaran, hal ini sama dengan di Indonesia yakni warna kuning sebagai warna payung kebesaran Sultan Yogyakarta. Sehingga kuning atau emas dimaknai sebagai warna dengan kesan agung, luhur. Warna kuning pada bilah keris dapat diartikan sebagai simbol keagungan dan kekuasaan.
5.4 Hasil Penelitian
Dari data – data yang diperoleh maka dapat disimpulkan melalui tabel berikut ini.
Tabel 2 Denotatif, Konotatif dan Mitos
UNIT ANALISIS DENOTATIF KONOTATIF MITOS
Naga
Jenis hewan reptil yang melata, berbadan panjang, melata dan bersisik.
Makhluk mitologi, penjaga laut, penjaga pintu, shio.
Penjaga kewibawaan, keberuntungan
Mahkota
Tutup kepala yang berlapis emas.
Kedudukan, tahta, penguasa,
kemenangan, King
Kepemimpinan
(2)
80
menonjol, tatapan lurus kedepan
berfungsi sebagai indra penglihatan
optimis, semangat, belok, menghargai persahabatan
Sumping
Hiasan yang berlapis emas dan berada di telinga
Pengganti telinga, keseimbangan,
mendeteksi atau mengenal suara
Pendengaran yang tajam
Moncong terbuka Alat untuk berkomunikasi Banyak bicara
Pandai
berkomunikasi
Ekor menguncup
Bagian tubuh yang berada paling belakang
Puasa, bertapa, pusat atau titik.
Senjata perlindungan Ornamen bunga
melati
Hiasan tradisonal yang digunakan pada bangunan, perabot
Kharismatik, status sosial, identitas, kesucian,
Keagungan, kewibawaan
Warna Bilah Keris (kuning dan hitam)
warna primer, warna hitam: warna dasar keris, warna kuning: warna yang menutupi sebagian bilah keris
Ekspresi manusia, warna hitam: kunci, mistik, berduka, kekuatan, keagungan, depresi, tertindas, mempengaruhi.
Warna kuning: kekuasaan, kesetiaan, kekaisaran, keagung
Kepribadian
KESIMPULAN
(3)
81
yang diciptakan untuk alat memburu dan alat pelindung diri dari musuh.
Kejantanan, pusaka, mistis, piyandel,
(4)
82
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari penjelasan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa keris naga Kamardikan ini secara keseluruhan atau denotasi merupakan keris yang menggunakan lambang naga, secara konotasinya keris naga kamardikan ini mencerminkan sikap dari pemimpin yang harus waspada yang dilambangkan dengan bentuk mata naga yang bulat dan tajam, memiliki ketajaman pendengaran yang dilambangkan dengan sumping yang secara denotatif merupakan bentuk dari telinga, pandai berkomunikasi yang dilambangkan dengan moncong naga yang terbuka. Secara denotatif moncong naga sama dengan mulut yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Bentuk ornamen yang digunakan adalah motif bunga melati, dimana melati lambang dari kelembutan serta kewanitaan sehingga dapat disimpulkan bahwa keris naga ini mencerminkan sikap kepribadian pemimpin yang lembut dan bijaksana.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pembahasan atau penggalian lebih dalam lagi tentang makna yang ada pada keris naga.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Barthes, Roland. 1988. Mythologies.
David, M. L. 1987. Visual Design in Dress.
Darmaprawira, S. (2002). Warna:Teori dan Kreatifitas Penggunaannya, edisi ke-2. Bandung: ITB.
Fiske. 2004. Cultural and Communication Studies: Komunikasi-budaya. Yogyakarta: Jalasutra
Greertz, C. 1973. Interpretation of cultures. New York
Hidayat, Wahyu. 2011. Estetika keris kamarogan. Makalah Seminar Festival keris nasional. Surabaya
Ida, Rachma. 2011. Fiksi Populer: Teori Dan Metode Kajian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy, J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D., & Rahmat, J. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pilliang. 2003. Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Prabowo, A. A. 2008. Konstruksi Identitas. Konstruksi Identitas.
Sari, S. M., & Pramono, R. S. 2010. Kajian Ikonografis Ornament Pada Interior Klenteng sanggar Agung Surabaya , 76. Surabaya: Universitas Petra
Schlehe, J. 2006. Budaya Barat dalam Kacamata Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Rosdakarya
Yuwono, Basuki Teguh. 2011. Keris Naga (Latar Belakang Penciptaan, Fungsi, Sejarah, Teknologi, Estetis, Karakteristik dan Makna Simbolis). Jakarta:
(6)
Badan Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Van, Zoest. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Majalah :
Hendrawijaya, Stanlay. 2009. Majalah Pamor. Sumber Internet :
www.anisacomputer.wordpres.com. 2012. Diakses tanggal 3 February 2014 id.wikipedia.org. 2013. Diakses tanggal 2 February 2014
xfile-enigma.blogspot.com. 2010. Diakses 3 February 2014 for-urinfo.blogspot.com. 2012. Diakses 3 February 2014
http://kumpulanbunga.blogspot.com. 2013. Diakses 5 Maret 2014 http://newtonguee.blogspot.com. 2014. Diakses 4 Maret 2014 http://wisata.kompasiana.com. 2013. Diakses 3 Maret 2014