Bahan Take Home Dr. Erdi M.Si

PELECEHAN JABATAN WALIKOTA SECARA BERULANGULANG: TANGGAPAN ATAS BERITA “ISTRI AWANG
ISHAK BESADU KE WAKIL RAKYAT”1
Dr. Erdi, M.Si
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
FISIP UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK

PENGANTAR
Ketika membaca berita di atas, orang kemudian mengingat-ingat kembali kejadian
ganjil sewaktu pelantikan Walikota Singkawang terpilih untuk Periode 2012 – 2017 pada
17 Desember 2012 lalu, dimana Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (TP-PKK) diserahkan kepada istri wakil walikota, sementara istri walikota,
jangankan dilantik, batang hidungnya pun tidak tampak di hari yang sangat bersejarah bagi
pasangan suami-istri itu. Tiada buruk yang tak berbau!
Kejadian itu saya anggap sesuatu yang tidak lazim karena secara ex oposio, istri
Walikota terpilih yang menang dalam pilkada adalah otomatis menjadi Ketua TP-PKK
Kabupaten atau Kota. Namun, karena perhatian dan suka cita public sewaktu itu tertuju
hanya pada acara pelantikan walikota dan wakil walikota, maka perhatian pada pelantikan
istri wakil walikota menjadi Ketua TP-PKK luput dari perhatian publik sehingga pelantikan
yang tidak biasa itu tetap berjalan lancar dan “terkendali”.
Setelah kejadian pada Jum’at kemaren (berita Equator Rakyat Kalbar 29/06/2013)

akhirnya public terperangah “yo … ngape tang gayye …. ape be yang terjadi sebenarnye…”.
Setelah ada titik terang, public di Kota Singkawang pun terperangah dan berkomentar lagi
“….. patut lah, pak wali dah lamak bebinni agek, same ammoy juak, cumme bukan amoy
yang dolok, sementara binni lamak nye dilayahnye ke Pontianak sinnun ….”. Saya yang
sudah lama meninggalkan Kota Singkawang karena tugas tetap menjadi dosen di UNTAN
pun ikut tekejot gak dengar berite aneh ini.
Semula saya tidak tertarik membahas kejadian Ibu Hajjah Yutina (YTN) ini karena
hanya berisi ungkapan hati dari seorang istri yang diabaikan oleh suaminya (Haji Awang
Ishak/HAI) lantaran kehadiran orang ketiga (yang menurut berita itu telah berlanjut hingga
ke pernikahan siri). Tetapi, ketika menghubungkan tokoh di balik berita dengan jabatan
1

Tulisan ini merupakan tulisan asli dari penulis yang pernah dimuat pada harian Equator Rakyat Kalbar
pada hari Senin, 1 Juli 2013 dibawah judul: Pelecehan Jabatan Walikota Secara Berulang-ulang: “istri
Awang Ishak Besadu Ke Wakil Rakyat”. Sejatinya, tulisan ini merupakan tanggapan atas pemberitaan
pada harian yang sama terbitan sehari sebelumnya. Berhubung tulisan ini tidak dipublis dalam website
oleh Equator Rakyat Kalbar, maka penulis upload ke dalam jejaring untuk tujuan pembelajaran kepada
public.

1|Page


public yang disandang pelaku, barulah ia menjadi isu publik. Saya, sebagai murni akademisi
pun akhirnya diminta angkat bicara, tidak boleh angkat tangan!
Ketertarikan saya itu juga tidak lepas dari permintaan beberapa tokoh masyarakat
Kota Singkawang yang telah mengenal saya agar ikut menelaah kasus Ibu YTN ini dari
perspektif keilmuan Administrasi Publik. Saya tidak kuasa menolak permintaan itu karena
tokoh yang menghubungi saya ini menganggap saya sebagai seorang cendekia Pantai
Utara. Meski telah meninggalkan kota ini sejak tahun 1987, kepergian saya tidak dapat
menghapus memori mereka bahwa saya tetaplah bagian dari anak Pantai Utara yang
mungkin kelak akan kembali ke daerah asal, paling tidak untuk dikubur di tanah
kelahirannya ini.
Analisis ini saya bangun dari proposisi pemberitaan “ISTRI AWANG ISHAK BESADU
KE WAKIL RAKYAT” adalah benar adanya. Saya tidak melakukan cross check lanjutan, baik
kepada HAI maupun kepada YTN. Pemberitaan di harian ini saya anggap telah memenuhi
unsur kebenaran karena --saya yakin-- wartawan telah melakukan cross check dengan
kedua sumber berita ini sebelumnya. Kebenaran kedua adalah cerita panjang yang
disampaikan beberapa tokoh masyarakat dari Kota Singkawang tadi, yang ternyata lebih
lengkap dari berita yang termuat di koran ini. Atas dua dasar sumber kebenaran itu, saya
mempercayai kebenaran pemberitaan ini!
Analisis ini akan membahas bentuk-bentuk ketidak-wajaran yang telah dilakukan

HAI kepada istri sahnya, YTN, dari perspektif moral politik dan etika administrasi public,
yang kemudian tercakup dalam unsur kepantasan atau kepatutan dan etika (lihat Forester,
2005 dan Cooper, 2000).
Dalam literatur barat, unsur kepatutan ini meliputi tiga macam bentuk, yakni
appropriateness (kelayakan, kepatutan, kepantasan); decorum (sopan santun, kepantasan,
adat pantas dalam pergaulan) dan suitability (kesesuaian, kecocokan dan keserasian).
Dalam kasus Ibu YTN vs HAI ini, tampaknya lebih cocok dengan sebutan pertama, yakni
appropriateness. Oleh karena itu, analisis saya ini tidak akan masuk pada aspek pribadi HAI
dan YTN tetapi lebih pada HAI sebagai seorang pejabat public, yakni Walikota Singkawang
dan YTN secara ex oposio sebagai Ketua TP-PKK Kota Singkawang.
Jika demikian adanya, maka paling tidak terdapat 2 (dua) jenis ketidak-wajaran yang
telah dilakukan oleh HAI sebagai pejabat public terhadap YTN. Pertama dari jenis
kepatutan, yang meliputi (1) Melecehkan jabatan Walikota (2) Menabrak ex oposio
berdasarkan asas hukum yurisprudensi; (3) Melakukan perkawinan siri dan memberikan
fasilitas Negara kepada istri siri. Sementara dari aspek etika administrasi public (public
administrative ethic), terpotret dua bentuk ketidak-wajaran etika, yakni (4) Mendudukkan
orang yang bukan semestinya karena orang yang semestinya masih sehat dan mampu
(terkait kepengurusan TP-PKK); dan (4) Pemalsuan dokumen dengan melakukan
pencatutan nama istri sah yang terdepak. Kelima macam ketidak-wajaran itu akan penulis
uraikan secara ringkas di bagian berikutnya.

2|Page

SUMBER RUJUKAN
Sebelum membahas kelima macam bentuk ketidak-wajaran di atas, penulis
memulainya dengan seharian melakukan browsing internet untuk menemukan second
opinion atas kasus yang mungkin pernah ada seperti yang dilakukan HAI pada YTN ini,
tetapi tidak ada satupun rujukan yang dapat saya dapatkan untuk menjadi pegangan
analisis. Mesin pencari google hanya menampilkan kasus Bupati Aceng pada Maret 2013
yang lalu.
Oleh karena itu, untuk membahas aspek kepantasan, saya merujuk pada buku Greg
Forester: John Locke’s Politics of Moral Consensus, 2005; sementara untuk membahas etika
administrasi public yang terkait dengan moral dan etika, saya merujuk pada bukunya Prof.
Terry L. Cooper: Handbook of Administrative Ethics, 2000. Dan, untuk membahas etika dan
moral catut-mencatut, saya pakai rujukan logika “Plagiarism, the Internet and Student
Learning: Improving Academic Integrity oleh Wendy Sutherland-Smith, 2008.
Karena tidak menemukan rujukan dari Google, saya yakin kasus YTN vs HAI adalah
kasus kedua setelah Aceng dan hanya terjadi di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan
Barat, sebagai satu-satunya kasus. Bila kasus itu tidak selesai dalam waktu singkat, selain
akan berkepanjangan, juga tidak selesai hanya di tingkat daerah. Terlebih bilamana DPRD
Kota Singkawang tidak sigap atau lebih memilih “membiarkan” kasus ini berkepanjangan,

maka kasus YTN vs HAI akan ikut berkepanjangan juga. Akibat pembiaran ini, dikhawatirkan
akan mempengaruhi kualitas pelayanan public. Arah ke sana sudah pun terdengar adanya,
meskipun baru pada pembicaraan di warung kopi. Dampak lainnya adalah HAI akan tidak
nyaman menjalankan tugas kewalikotaan, terlebih saat bertemu masyarakat yang sudah
menampakkan gerah dan geram pada Sang Walikota.
Namun, bila YTN yang masih istri sah HAI ini dapat menerima segala bentuk
perlakuan yang telah dilakukan HAI selama 6 (enam) bulan terakhir; dan YTN ingin tetap
dipersatukan kembali kepada HAI, kemungkinan masalah akan selesai, termasuk urusan
catut-mencatut. Tetapi, tentu YTN lah yang semestinya didudukkan sebagai istri walikota
dan harus diperlakukan sebagaimana keprotokoleran yang berlaku, terlepas dari kualitas
hubungan antara YTN dan HAI di dalam istana sana, juga tidak perlu dipertanyakan lagi
bagaimana kiprah YTN dalam mengantarkan HAI menjadi orang nomor satu di Kota
Singkawang untuk kali kedua ini. Pendek cerita, pepatah Melayu mengatakan “tiada buruk
yang tiada elok”, sementara Barak Husien Obama berujar “blessing in the sky” akan
didapatkan hikmahnya bagi semua.

Kalau lah HAI dan YTN adalah masyarakat biasa, kasus mereka ini tidak perlu hingga
masuk ke DPR. Tetapi karena HAI adalah pejabat public, maka tidak ada alasan bagi DPR
untuk tidak ikut menyelesaikan persoalan ini. Kemudian, keberpanjangannya kasus ini
tentu akan mempengaruhi kualitas pikiran dan tindakan HAI sebagai walikota sehingga

3|Page

akan banyak tindakan atau pernyataan HAI yang dikhawatirkan keluar dari rel dan tidak
sepantasnya dituturkan sebagai akibat beban pikiran dari kemelutnya dengan YTN. Sebut
saja, --sebagai contoh-- adalah statement HAI yang dimuat di koran ini, terkait mata
pelajaran agama, juga sempat “heboh” adanya. Saya tidak ingin masuk ke kasus ini!
Konsekwensi lanjutan bilamana kasus HAI vs YTN ini berkepanjangan adalah
timbulnya keresahan masyarakat karena orang nomor satu tidak dapat menjadi panutan
masyarakat. Sementara masyarakat masih menempatkan jabatan walikota sebagai jabatan
public yang tinggi dan bergengsi, namun tidak diikuti oleh orang yang menduduki jabatan
itu dengan melakukan pelecehan dan merendahkan jabatan yang didukunya. Bila demikian,
kedua belah pihak akan saling berkontradiksi dan akan ada kles diantara para pihak itu
pada aras akar rumput. Saya tidak ingin itu terjadi di tanah kelahiran saya ini!

DIMENSI PELECEHAN JABATAN WALIKOTA SECARA
BERULANG-ULANG
Ketika tahu kalau rumah jabatan wakil walikota yang ditinggali oleh walikota sedang
tergembok dan harus dibuka paksa, saya langsung menghubungkannya dengan
inappropriate action for lying political foundation. Istilah itu adalah upaya mengelabui
public dengan mengatur sendiri sedemikian rupa urusan public agar public tidak dapat

melakukan protres atas tindakan tidak wajar (inappropriate action) dari seorang pejabat
public (Forester, 2005). Bertukar kediaman, sepertinya baik, tetapi bukan itu masalahnya,
dasar pengaturannya tidak ada, sehingga yang tampaknya baik ternyata belum tentu
benar.
Tempat tinggal pejabat public (dalam hal ini adalah Walikota Singkawang) dirancang
sedemikian rupa untuk melayani masyarakat dengan baik dan juga sebagai rumah
kehormatan daerah. Rumah itu bukanlan rumah milik HAI yang dapat diperlakukan sesuka
hati. Ada aturan yang mengatur rumah tinggal walikota dan wakil walikota. Siapapun
walikotanya, aturan protokoler tidak berubah dan diberlakukan di rumah Negara itu, tidak
ada pengecualian, termasuk kepada HAI.
Pertukaran rumah dinas, dimana wakil menempati rumah dinas walikota dan
walikota menempati rumah dinas wakil walikota juga mengandung unsur ketidak-pantasan.
Aspek kepatutan atau kepantasan dimaksud terhubung dengan peran dan fungsi walikota
dan wakil walikota di satu sisi dan tugas dan tanggung jawab antara keduanya pada di sisi
lain. Oleh karena itu, pertukaran rumah dinas antara walikota dan wakilnya adalah tidak
pantas dilakukan oleh Walikota HAI karena dapat dipersepsikan sebagai inappropriate
action.
Dalam system ketata-negaraan di negeri ini, peran wakil adalah membantu
walikota, bukan menggantikan posisi walikota. Demikian juga tanggung jawab, walikota
tidak dapat diambil-alih atau dipindahkan kepada wakil, sementara walikotanya masih aktif

4|Page

dan mampu melakukan tugas sebagai walikota. Peran - Fungsi; Tugas - Tanggung Jawab
antara walikota dan wakil sudah diatur dalam undang-undang dan semua tugas dibagi
habis agar keduanya dapat bekerja dengan baik dalam memberikan pelayanan kepada
rakyat. Prosedur pelayanan pun sudah diatur dalam keprotokoleran daerah, sehingga tidak
dapat dipertukarkan diantara keduanya dengan sesuka hati, tidak juga dapat disepelekan
dan apalagi dirubah seenaknya sebagaimana dilakukan HAI dalam berita itu.
Dalam kondisi normal, bertukar rumah saja sudah tidak patut, apalagi meninggalkan
rumah dinas dan memindahkannya ke tempat lain yang tidak diatur oleh Negara/daerah.
Jadi, dimensi pelecehan jabatan walikota secara berulang-ulang dimaksud adalah (1)
bertukar rumah dinas, (2) meninggalkan rumah dinas yang telah ditukar tinggal, (3)
memindahkan rumah dinas walikota ke rumah pribadi dimana di situ berdiam istri siri yang
menerima fasilitas Negara dan (4) mendepak istri sah; adalah hal-hal yang tidak patut
dilakukan oleh seorang walikota, apapun alasannya!
Oleh karena itu, bilamana HAI tetap ingin menjadi Walikota Singkawang yang
bertanggung jawab, bermoral dan beretika public, agar nyaman dalam melaksanakan
amanat masyarakat Kota Singkawang, selain minta maaf kepada public dalam berbagai
kesempatan dan media, HAI juga perlu kembali ke rumah dinas dengan istri sah: YTN.
Dengan kembali ke rumah dinas, maka HAI juga perlu mengembalikan jabatan

Ketua TP-PKK kepada istri sahnya itu: YTN. Memberikan jabatan itu kepada istri wakil
walikota adalah tindakan yang juga tidak patut, selain menabrak ex oposio berdasarkan
asas hukum yurisprudensi juga tidak pas menurut ketata-negaraan.
Akan berbeda auranya bilamana YTN berhalangan tetap yang dibuktikan hitam di
atas putih, bercerai dengan HAI sebelum jabatan itu diraih yang dibuktikan dengan
keputusan pengadilan agama atau secara pribadi YTN mengundurkan diri karena merasa
tidak mampu yang dibuat di atas kertas bermaterai cukup dan lain sebagainya. Sepanjang
hal-hal itu tidak ada, maka tindakan menyerahkan jabatan Ketua TP-PKK kepada istri wakil
walikota adalah juga bentuk tindakan yang tidak patut dan memberikan pelajaran tidak
baik kepada public bahwa seakan pejabat “boleh” bertindak tidak adil, melakukan tindak
kekerasan dan menzalimi orang lain tanpa dasar yang kuat.
Konsep kekerasan menurut Prof Syarif Ibrahim Alqadrie (2000), Guru Besar Sosiologi
Universitas Tanjungpura, yang telah berkeliling dunia membawa konsep local wisdom dari
perut bumi khatulistiwa ke banyak negara Asia, Eropah dan Amerika dan masyarakat di
Negara-negara yang telah dikunjunginya (dalam kapasitas sebagai invitation atau quest
lecturer) juga menerima local wisdom ala Prof Syarif itu, memetakan kekerasan tidak saja
dilakukan oleh seseorang dalam bentuk fisik yang tampak seperti memukul, menyiksa fisik
dan lain-lain, tetapi juga dalam bentuk yang tidak tampak seperti tidak memperdulikan,
menyepelekan, menghalangi orang lain dalam mencapai potensi maksimal dan lain-lain.
Saya menilai --masih dengan meminjam kacamata Prof Syarif tentang kekerasan-menyimpulkan sikap yang diperlihatkan HAI pada YTN ini juga mengandung sumber5|Page


sumber kekerasan dan sepertinya terlembagakan dalam institusi pemerintah daerah. Tentu
tindakan ini tidak boleh berlanjut karena akan menjadi preseden buruk ke depannya. Habis
manis, sepah dibuang!
Tindakan HAI pada YTN memang tidak tampak dan tidak ditampakkan di muka
umum, tetapi YTN dapat merasakannya secara psikis. Tindakan berupa suara tinggi saat
ngomong, perasaan diacuhkan, tidak dihargai dan lain-lain ternyata juga adalah bagian dari
kekerasan sebagaimana konsep Alqadrie di atas. Dari konsep kekerasan itu, maka tindakan
HAI kepada istrinya adalah bagian dari bentuk kekerasan sikap, perasaan dan nilai-nilai
yang kemudian ingin dilembagakan dalam posisinya sebagai Walikota Singkawang.
Tindakan kekerasan yang tidak tampak itu, sebagaimana konsep Alqadrie (2000)
adalah lebih bahaya dan dahsyat serta akan terlanggengkan karena tidak terdeteksi secara
fakta hukum. Oleh karena itu, Alqadrie memasukkan tindakan seperti ini ke dalam sumber
kekerasan (source of violence) dan kekerasan terstruktur (institutional violence). Akibat
tindakan kekerasan non fisik ini, YTN merasakan kepedihan yang mendalam dan akhirnya
menggiring dirinya besadu (mengadu) ke rumah rakyat.
Sungguh ironis negeri ini, seharusnya DPRD Kota Singkawang yang memanggil Ibu
YTN dan menanyakan duduk persoalan dirinya hingga didepak oleh HAI dari kursi yang
semestinya didudukinya itu. Saya rasa, kapabilitas YTN sebagai seorang Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan juga merupakan lulusan perguruan tinggi negeri ternama di Kalimantan

Barat merupakan sosok perempuan hebat dan mampu melakukan tugas dan fungsinya
dengan baik sebagai ketua TP-PKK, terlepas sekecil apapun kontribusi YTN saat HAI akan
maju sebagai balon waktu itu.
Persoalan HAI dengan A Kim adalah persoalan pribadi HAI yang dapat diaturnya
sendiri dengan tidak mengganggu peran dan fungsinya sebagai Walikota Singkawang dan
juga tidak “merampas” hak istri sah: YTN. Hal yang sepatutnya adalah A Kim tidak boleh
tampil, apalagi dengan sengaja ditampilkan ke public dalam berbagai kegiatan
pemerintahan oleh HAI, bagaimanapun cantik dan moleknya A Kim di mata HAI.
Negeri ini berjalan di atas aturan, perundangan dan hukum; juga ada aturan etika
dan moral public yang berfungsi sebagai isolator untuk menghindari berbagai kemungkinan
tindakan inkonsisten (Alqadrie dan Erdi, 2012). Dengan pernyataan ini, saya ingin katakan
bahwa pejabat public tidak boleh main-main dengan etika dan moral!
Menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menempatkan posisi A Kim
yang bukan istri sah menurut hukum perkawinan Negara adalah salah. Bilamana A Kim
yang selalu dibawa HAI ke public, sekali lagi HAI telah melakukan pelecehan jabatan
walikota secara berulang-ulang dan itu menjadi tidak pantas dilakukan HAI. Jadi, terkait
hubungannya dengan A Kim, jangankan mendampingi kegiatan Pak Wali, muncul saja
bersama Pak Wali di kegiatan pemerintahan sudah tidak patut. Bila itu yang dilakukan HAI
(membawa A Kim tampil ke public secara berulang-ulang), maka tindakan itu adalah
tindakan pelecehan Jabatan Walikota. Sekali lagi, DPR harus berbuat dan paling tidak
6|Page

menyampaikan surat teguran kepada Pak Wali bahwa apa yang telah dilakukan Pak Wali
dalam kasus A Kim vs YTN ini adalah sesuatu yang tidak pantas bagi tontonan publik. Kalau
keterlibatan DPRD Kota Singkawang dianggap terlalu tinggi dalam menangani kasus ini,
paling tidak Partai Pengusung HAI yang notabene adalah juga pimpinan partai dan anggota
dewan terhormat, perlu melakukan rembug dan membahas masalah ini agar kadernya
yang ini tidak melakukan tindakan ketidak-patutan secara berulang-ulang. Buruk muka,
cermin dipecah!

CATUT-MENCATUT SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN
Dalam dunia akademik, tindakan catut-mencatut tergolong ke dalam tindakan
plagiarism dan pelakunya diganjar hukuman berat yakni pencabutan gelar akademik yang
telah diraihnya (Smith, 2008). Tidak berhenti di situ, universitas yang memberikan
hukuman itu akan memberitahukan hukuman itu ke semua jejaring universitas bahwa yang
bersangkutan merupakan pelaku plagiarism dan oleh karenanya tidak boleh ada universitas
yang menerima orang tersebut sebagai mahasiswa. Lalu bagaimana dengan kasus HAI vs
YTN dalam hal catut-mencatut ini?
Bila kasus catut-mencatut sebagaimana dimaksud YTN dalam berita harian ini
adalah benar adanya “Nama saya dicantumkan pada waktu pendaftaran ke KPU. Kemudian
menjadikan laporan ke KPK, nama saya dicatut”, maka tidak hanya YTN yang merasa
disepelekan, tetapi juga KPU dan KPK dan bahkan juga Parpol Pengusung HAI. Namun, KPU
dan KPK akan sulit melacak ini bilamana YTN tidak memulainya dengan melakukan
pengaduan atas pencatutan namanya itu. Berdasarkan laporan YTN itu pula, KPU dan KPK
pun masuk menuntut HAI sebagai pelaku pencatutan. Mengenai delik aduan, saya tidak
faham karena memang bukan bagian saya untuk menjelaskannya.
Bilamana HAI ingin aman dari proses hukum, maka tidak ada jalan lain kecuali
“berdamai” atau “rukun dan harmonis kembali” dengan YTN. Konsekwensi dari
perdamaian ini adalah menempatkan YTN pada posisi yang semestinya dan memberikan
perlakukan sebagai istri pejabat negara. Bila jalan damai yang dipilih HAI, maka A Kim yang
notabene adalah istri siri harus ditinggalkan atau HAI kabur dari rumah A Kim untuk
kembali ke rumah jabatan walikota. Dan A Kim pun tidak boleh lagi tampil atau dibawabawa ke ruang publik. Namun, bilamana HAI tetap “ngotot” mempertahankan kesalahan
yang telah diperbuatnya, maka akan ada gelombang kemarahan YTN jilid dua, yakni
membawa kasus pencatutan itu ke ranah hukum positif. Bila itu yang dipilih YTN, tentu -saya prediksi-- KPK dan KPU juga akan mengikuti jejak YTN, yakni menuntut HAI atas
tindakan pemalsuan dokumen dan pelecehan institusi negara.
Sekarang, bola panas berada di tangan YTN dengan variable terikatnya sikap HAI.
Bila keduanya tidak mau lagi saling mengalah, maka bola panas itu akan dilempar YTN ke
ranah hukum sehingga kemungkinan terbesar, lambat atau cepat, Aceng jilid dua akan
7|Page

terjadi juga di Bumi Khatulistiwa, meskipun dalam kasus yang berbeda dengan Aceng jilid
satu di tanah Pasundan sana. Dengan demikian, tahun 2013 menjadi tahun kelam dunia
otonomi daerah di Indonesia. Ada bupati dan walikota yang dimakdzulkan secara hukum
akibat moral yang tidak genah dan tidak patut!
Dan, saya rasa, Parpol pengusung HAI juga harus ikut bertanggung jawab. Dalam
kasus seperti ini, semestinya, Parpol pengusung HAI tidak berdiam karena diam bukan
selamanya emas. Membiarkan kadernya melakukan tindakan yang tidak patut begini bukan
emas namanya, tetapi bersebahat adanya! Bukankah hubungan kader dan parpor adalah
dua sisi dalam satu mata uang? Jika demikian, maka parpol pengusung HAI harus ikut
bertanggung jawab pula.
Keberhasilan HAI menjadi pemenang pada Pilkada 2012 yang lalu juga adalah
adanya andil dari parpol dan massa pengusung. Kejadian tidak lazim ini telah berlangsung
selama 6 (enam) bulan dan tidak ada geliat dari parpol untuk menegur kadernya yang telah
bertindak tidak patut ini. Oleh karena itu, saya menilai sikap parpol yang diam seperti ini
merupakan sikap kompromistis yang berlebihan dan juga tidak sepatutnya dilakukan
karena tidak memberi pembelajaran politik yang baik kepada rakyat.
Sebagai penutup, maka saya ingin menyampaikan pesan Nick Forester dalam
Maximum Performance: A Practical Guide to Leading and Managing People at Work (2005)
bahwa kualitas proses akan berpengaruh pada kinerja. Masih menurut teori ini, jika proses
dimaksud tuntas dan berkualitas, maka kinerja akan tinggi, demikian sebaliknya, jika proses
dimaksud bermasalah, maka kinerja pun menjadi kusut. Tampaknya teori ini sedang
diujikan di Kota Singkawang. Apapun hasil akhirnya, jangan sampai pelayanan dan hak
public menjadi terabaikan.

8|Page