Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan Superovulasi dan Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari ke-6 setelah Perkawinan.
GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA BUNTING YANG
DIBERIKAN SUPEROVULASI DAN PENYUNTIKAN HUMAN
CHORIONIC GONADOTROPIN (hCG) PADA HARI KE-6
SETELAH PERKAWINAN
MITA TUMIATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Darah
Merah Domba Bunting yang Diberikan Superovulasi dan Penyuntikan Human
Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari ke-6 setelah Perkawinan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Mita Tumiati
NIM B04080202
ABSTRAK
MITA TUMIATI. Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan
Superovulasi dan Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari
ke-6 setelah Perkawinan. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan WASMEN
MANALU.
Superovulasi merupakan salah satu teknologi reproduksi yang digunakan
untuk meningkatkan produktivitas domba. Domba yang disuperovulasi memiliki
kondisi yang berbeda dari domba yang tidak disuperovulasi. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat gambaran darah merah domba bunting yang diberikan
superovulasi dan penyuntikan human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke6 setelah perkawinan. Sebanyak dua belas ekor domba yang sudah dewasa
kelamin, dengan bobot badan sekitar 18-25 kg yang dibagi ke dalam 4 kelompok
perlakuan. Kelompok perlakuan pertama tidak disuperovulasi (kontrol), kelompok
kedua disuperovulasi dengan penyuntikan PMSG dan hCG (SO1), yang ketiga
disuntik dengan hCG sebelum kawin (SO2), dan keempat disuntik dengan PMSG
dan hCG sebelum kawin diikuti dengan penyuntikan hCG 6 hari pascakawin
(S012). Sinkronisasi estrus dilakukan dengan menyuntikkan 5-15 mg PGF2α pada
masing-masing domba betina. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah
jumlah total sel darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa kelompok perlakuan SO12
memiliki nilai rata-rata sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit lebih tinggi
daripada kontrol. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
superovulasi dan ditambahkan penyuntikan hCG pada hari ke-6 setelah
perkawinan (S012) menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh induk domba
yang digambarkan dari peningkatan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin,
dan nilai hematokrit (SO12).
Kata kunci : superovulasi, eritrosit, hematokrit, hemoglobin, domba
ABSTRACT
MITA TUMIATI. Erythrocyte Parameters of Pregnant Ewes that had a
Superovulated and Injected Human Chorionic Gonadotrophin on Day-6 after
Mating. Supervised by ANDRIYANTO and WASMEN MANALU.
Superovulation is one of the reproduction technology used to increase the
productivity of ewes. Physiological conditions of superovulated ewes are different
from those of nonsuperovulated ewes. This research was conducted to observe the
red blood cell (RBC) profiles of pregnant ewes superovulated and injected with
hCG on the 6th day after mating. Twelf matures ewes weighing from 18-25 kg
were dividied into 4 groups. The first group was not superovulated (control), the
second group was superovulated before mating (SO1), the third group was
injected with hCG 6 days after mating (SO2), and the fourth group was injected
with PMSG and hCG before mating followed by injection of hCG 6 days post
mating (S012). Estrus synchronization was done by injecting 5-15 mg of PGF2α
with 11 days interval. The parameters measured were the total number of red
blood cell, hematocrit value, and the hemoglobin concentration. The results
obtained showed that the SO12 treatment group had higher red blood cells,
hemoglobin, and hematocrit as compared to control. Based on these results it can
be concluded that superovulation and added injected hCG on day-6 after mating
(S012) increased red blood cell count, hemoglobin level, and hematocrit values to
support maternal metabolism due to the increased fetal number and growth.
Key words: superovulation, erythrocyte, hematocrit, hemoglobin, sheep
GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA BUNTING YANG
DIBERIKAN SUPEROVULASI DAN PENYUNTIKAN HUMAN
CHORIONIC GONADOTROPIN (hCG) PADA HARI KE-6
SETELAH PERKAWINAN
MITA TUMIATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan
Superovulasi dan Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin
(hCG) pada Hari ke-6 setelah Perkawinan.
: Mita Tumiati
: B04080202
Disetujui oleh
drh Andriyanto, MSi
Pembimbing I
Prof Dr Ir Wasmen Manalu
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Oktober 2011 ini
ialah Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan Superovulasi dan
Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari ke-6 setelah
Perkawinan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Andriyanto, MSi dan
Bapak Prof Dr Ir Wasmen Manalu selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf Laboratorium
Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF) FKH IPB yang
telah membantu selama pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semua pihak
yang berkepentingan.
Bogor, Juli 2013
Mita Tumiati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Domba
2
Superovulasi
2
Darah
3
Sel Darah Merah
4
Hemoglobin
4
Hematokrit
5
METODE
6
Waktu dan Tempat Penelitian
6
Alat
6
Bahan
Tahap Persiapan
6
6
Hewan Percobaan
6
Aklimatisasi Domba
6
Kandang, Pakan, dan Minum
6
Tahap Pelaksanaan
7
Rancangan Percobaan
7
Superovulasi
7
Pengambilan Sampel
7
Pemeriksaan Sampel
8
Variabel yang Diamati
8
Analisi Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Sel Darah Merah
9
Hemoglobin
10
Hematokrit
11
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
LAMPIRAN
16
RIWAYAT HIDUP............................................................................................ ...24
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Rancangan kelompok perlakuan
Rata-rata dan standar deviasi jumlah sel darah merah (106/mm3)
Rata-rata dan standar deviasi hemoglobin (gram %)
Rata-rata dan standar deviasi nilai hematokrit (%)
7
9
10
12
DAFTAR GAMBAR
1
2
Domba lokal atau Ovis aries (Anonim 2013)
Bentuk sel darah merah (Mahmood dan Mansor 2012)
2
4
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah
Hasil analisis penghitungan nilai hemoglobin
Hasil analisis penghitungan kadar hematokrit
16
18
21
PENDAHULUAN
Daging merupakan sumber protein hewani yang dibutuhkan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan gizi. Permintaan daging akan terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Daging ternak yang cukup diminati masyarakat salah satunya adalah daging
domba. Daging domba memiliki jumlah permintaan yang cukup tinggi namun
masih mengalami keterbatasan pada tingkat produksinya. Hal ini disebabkan
karena tingkat populasi ternak yang tidak menentu setiap tahun. Menurut
Direktorat Jenderal Peternakan (2013), populasi ternak domba di Indonesia tahun
2012 mencapai 11790.61 ribu ekor, produksi dagingnya sebesar 46.79 ribu ton,
sampai 2013 mencapai 13420.44 ribu ekor (angka sementara) dan produksi
dagingnya sebesar 44.4 ribu ton. Pertumbuhan populasi ternak tahun 2013
terhadap 2012 sebesar 12.14% dan produksi dagingnya sebesar 5.49%. Angka
tersebut masih dikhawatirkan apabila tidak mengalami peningkatan yang
sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk di Indonesia setiap tahunnya.
Ternak domba merupakan salah satu sumber protein hewani yang tidak
kalah saingnya dengan ternak ruminansia lain. Domba, baik jenis lokal maupun
bukan lokal merupakan sumber plasma nutfah yang memiliki potensi untuk
dikembangkan. Domba memiliki kemampuan melahirkan anak kembar tiga atau
lebih. (Sumaryadi 1997; Sutama et al. 1999; Andriyanto dan Manalu 2011). Anak
yang dilahirkan kembar memiliki peluang mortalitas tinggi dan bobot badan kecil.
Hal ini disebabkan karena tingginya persaingan dalam memperoleh nutrisi dari
tubuh induk (Subandrio et al. 1998).
Salah satu metode yang dilakukan untuk meningkatkan angka kelahiran dan
menekan angka kematian adalah dengan teknik superovulasi. Superovulasi
merupakan metode dengan penyuntikan hormon pregnant mare serum
gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG) yang berpotensi
dalam menstimulasi fungsi ovarium untuk meransang pertumbuhan folikel dan
meningkatkan jumlah korpus luteum. Metode superovulasi ini meransang sekresi
hormon kebuntingan (estradiol dan progesteron) yang berperan penting dalam
proses reproduksi (Adriani et al. 2009).
Penelitian ini dirancang untuk meningkatkan kualitas kebuntingan pada
induk domba melalui metode superovulasi yang pengaruhnya dapat dilihat pada
gambaran butir darah merah, hemoglobin, dan hematokrit.
Secara teoritis penelitian ini memberi pengetahuan dalam pengembangan
ternak ruminansia. Secara ekonomi, metode ini dapat meningkatkan penghasilan
para peternak ruminansia sehingga waktu ke depannya dapat dikembangkan untuk
meningkatkan populasi ternak.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Domba
Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah didomestikasi
sebagai ternak. Sejarah domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon
(Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis
amon) berasal dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis vignei) yang berasal dari Asia.
Domba memiliki nama ilmiah ovis aries. Domba diklasifikasikan ke dalam
kingdom animalia, filum chordata, kelas mamalia, ordo artiodactyla, dan masuk
ke dalam famili bovidae, genus ovis, serta spesiesnya aries. Di Indonesia,
khususnya di Jawa, ada 2 bangsa domba yang terkenal, yakni domba ekor gemuk
yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan domba ekor
tipis yang banyak terdapat di Jawa Barat. Gambar domba dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1 Domba lokal atau Ovis aries (sumber: Anonim 2013)
Domba memiliki rambut tebal dan dipelihara untuk dimanfaatkan rambut
(wol), daging, dan susunya (Hafes 2000). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo
(1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan sebagai sumber sel
darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum dalam
jumlah yang besar. Domba dapat pula digunakan dalam percobaan dasar, seperti
percobaan fisiologi, farmakologi, percobaan bedah eksperimental, dan penelitian
anestesi.
Superovulasi
Superovulasi merupakan salah satu metode pengembangan ternak dengan
memanfaatkan preparat hormon gonadotropin. Hormon ini akan meransang
pertumbuhan folikel yang lebih banyak dan meningkatkan jumlah korpus luteum.
Keberhasilan teknik superovulasi bergantung pada beberapa faktor, seperti kondisi
hewan betina yang digunakan, preparat hormon yang dipakai, prosedur
pelaksanaan, serta dosis pemberian hormon. Kondisi hewan betina yang dipilih
haruslah sehat secara fisik dan sudah dewasa kelamin sehingga setelah
disuperovulasi dengan preparat hormon dapat memberi respons yang diharapkan.
Hormon gonadotropin yang sering digunakan pada teknik superovulasi adalah
folicle stimulating hormone (FSH) dan pregnant mare serum gonadotropin
3
(PMSG). Kedua hormon ini sama-sama memiliki respons yang sangat baik,
namun memiliki waktu paruh yang berbeda. Superovulasi dengan FSH dapat
meransang jumlah folikel yang berkembang hingga fase folikel de graaf. Hormon
FSH memiliki waktu paruh (half life) yang pendek, yaitu sekitar 2 jam - 5 jam
sehingga perlu pemberian dosis berulang untuk merangsang aktivitas folikel
secara efisien (Kaiin dan Tappa 2006).
PMSG merupakan hormon gonadotropin eksogen yang memiliki potensi
biologik tinggi dalam merangsang fungsi ovarium untuk menghasilkan folikel dan
corpus luteum (CL). Pemberian PMSG untuk superovulasi akan memberikan
respons yang bervariasi pada ternak. Superovulasi dengan PMSG dapat diberikan
pada akhir fase luteal siklus berahi (hari ke-12 atau ke-13). Selain itu, hormon ini
dapat juga diberikan setelah pemberian progesteron yang digunakan untuk
sinkronisasi estrus. Dalam molekul PMSG terdapat kandungan asam salisilat yang
tinggi menyebabkan waktu paruh (half life) hormon PMSG lebih panjang
sehingga dapat menimbulkan beberapa efek negatif, seperti gangguan
keseimbangan hormonal, gangguan fertilisasi, dan gangguan transportasi embrio
dari tuba fallopii menuju uterus (Siregar et al. 2012). Efek negatif hormon PMSG
dapat diatasi dengan pemberian antibodi monoklonal (MoAb) antiPMSG yang
bekerja menghilangkan residu PMSG yang masih berfungsi sehingga angka
ovulasi dan hasil panen embrio dapat ditingkatkan (Supriatna et al. 1998).
Hormon lain yang dapat digunakan untuk memicu terjadinya ovulasi folikel
hasil superovulasi adalah dengan penyuntikan human chronionic gonadotropin
(hCG). Hormon ini berpotensi untuk perkembangan dan pemasakan folikel
sampai terjadinya ovulasi. Pemberian PMSG yang dikombinasi dengan hCG dapat
menghasilkan corpus luteum (CL) yang lebih banyak dibandingkan dengan
pemberian PMSG atau FSH saja (Supriatna et al. 1998). Pengaruh pemberian
hormon-hormon gonadotropin terhadap induk yang disuperovulasi dapat dilihat
dari pemeriksaan gambaran darah merah dan darah putihnya. Berbagai parameter
penghitungan darah lengkap dapat memberikan informasi mengenai status
kesehatan induk (Maheshwari et al. 2001).
Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang diklasifikasikan sebagai jaringan
konektif. Jaringan ini berupa cairan yang mengalir ke seluruh tubuh melalui
pembuluh pada sistem kardiovaskuler. Cairan darah berwarna merah muda yang
menandakan bahwa kadar oksigen dalam darah tinggi, tetapi akan berwarna merah
tua bila kadar karbon dioksida yang tinggi. Pada saat dewasa, darah dibentuk di
dalam sumsum tulang sedangkan pada saat fetus, sel-sel darah juga dibentuk
dalam hati dan limpa (Guyton dan Hall 2007). Total volume darah pada
ruminansia berkisar antara 6% - 7% dari bobot badan. Total volume darah pada
hewan muda yang sedang tumbuh dapat melebihi 10% dari total bobot badan.
Secara umum, darah memiliki peran sebagai transportasi (sari makanan, oksigen,
karbon dioksida dan air), termoregulasi (pengatur suhu tubuh), imunologi
(mengandung antibodi tubuh), dan homeostasis (mengandung keseimbangan zat,
pH regulator). Komponen darah di antaranya adalah sel darah merah (eritrosit), sel
darah putih (leukosit), dan keping-keping darah (trombosit).
4
Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit merupakan bagian utama dari darah. Sel darah
merah berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter rata-rata 7,8 mikromete dan
ketebalan 2.5 mikrometer dari bagian yang paling tebal, serta 1 mikrometer di
bagian tengahnya (Guyton dan Hall 2007). Sel darah merah berwarna merah yang
disebabkan oleh hemoglobin. Warna merah itu sangat dipengaruhi oleh
hemoglobin saat mengikat oksigen dan disebut sebagai oksihemoglobin (HbO2).
Gambar sel darah merah disajikan pada gambar 2.
Gambar 2 Sel darah merah (Mahmood dan Mansor 2012)
Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang yang kemudian dilepaskan
ke dalam sistem sirkulasi dan beredar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.
Jumlah sel darah merah dalam pembuluh darah relatif konstan yang artinya
pembentukan sel darah merah yang baru memiliki kecepatan yang sama dengan
kecepatan rusaknya sel darah merah yang lama. Sel darah merah dapat bertahan
dalam jangka waktu 120 hari sampai dengan 125 hari dalam sistem sirkulasi dan
kemudian mengalami kerusakan. Peran penting sel darah merah adalah sebagai
pembawa hemoglobin yang mengandung oksigen dan dibawa dari paru-paru ke
semua jaringan tubuh (Guyton dan Hall 2007). Pemeriksaan sel darah merah
dalam sampel darah dapat memberikan beberapa informasi tentang kondisi
abnormal dalam tubuh (Mahmood dan Mansor 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan kualitas sel darah merah
diantaranya adalah Hb, PCV, umur, sex, gizi, iklim, kehamilan, laktasi, dan
ketinggian lokasi. Jumlah sel-sel darah merah yang berkurang dapat disebabkan
oleh kasus perdarahan akibat infeksi parasit dan penyakit anemia. Penyakit
anemia terjadi karena kekurangan asupan gizi terutama zat besi dan vitamin dalam
makanan. Peningkatan sel darah merah disebabkan oleh keadaan hipoksia jaringan
dan gangguan dalam transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh
(Suwandi 2002).
Hemoglobin
Molekul protein dalam sel darah merah yang memiliki bobot molekul
64.450 dan berfungsi sebagai media transpor oksigen dari paru-paru ke semua
jaringan tubuh disebut hemoglobin. Hemoglobin adalah konjugasi protein yang
membentuk heme dan globin. Heme merupakan suatu derivat porfirin yang
mengandung besi. Polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin
dari molekul hemoglobin. Sintesis heme berlangsung di dalam mitokondria dan
terjadi secara bertahap yang diawali dengan pembentukan kerangka porfirin dan
5
disusun oleh inkorporasi besi ke dalam keempat heme. Sintesis rantai globin
terjadi di dalam ribosom sitoplasma (Ganong 1995).
Jumlah hemoglobin dalam darah berhubungan dengan kebutuhan oksigen
(O2) tubuh. Pada saat darah merah melalui kapiler paru-paru, hemoglobin akan
mengikat oksigen (O2) membentuk oksi-hemoglobin. Sebaliknya, pada saat
melewati kapiler sistemik, hemoglobin akan melepaskan oksigen (O2) ke dalam
jaringan dan menjadi hemoglobin kembali. Intensitas warna merah hemoglobin
dipengarihi oleh banyaknya kandungan oksigen. Tingkat hemoglobin dalam darah
akan mempengaruhi kesehatan karena ketika tingkat hemoglobin terlalu rendah
maka akan memicu kelelahan dan sesak napas akibat kekurangan oksigen yang
masuk ke jaringan tubuh ( Mahmood dan Mansor 2012).
Kadar hemoglobin dalam darah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor di
antaranya adalah umur, jenis kelamin, kehamilan, menstruasi, asupan makanan,
kebiasaan minum teh atau kopi (dapat menurunkan penyerapan besi), dan
penyakit-penyakit infeksi. Anemia adalah suatu keadaan yang kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah kurang dari normal. Keadaan tersebut disebabkan oleh salah
satu dari faktor-faktor di atas. Kekurangan kadar hemoglobin dalam darah dapat
menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah, dan cepat lupa. Akibatnya, daya
tahan tubuh menurun dan mengakibatkan mudah terkena infeksi (Khaidir 2007).
Peningkatan kadar hemoglobin dalam sel darah merah dapat menyebabkan
kemampuan membawa oksigen dalam jaringan lebih baik dan ekskresi CO2 lebih
efisien sehingga kondisi dan fungsi sel akan berjalan dengan normal (Cunningham
2002).
Hematokrit
Hematokrit atau packet cell volume (PCV) adalah angka yang menunjukkan
perbandingan volume eritrosit dengan volume plasma darah yang dinyatakan
dalam persen volume (Shadly dan Pringgodigjo 1977). Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan. Kadar hematokrit akan
meningkat dengan meningkatnya jumlah sel darah merah dan pada kasus
hemokonsentrasi yang terjadi karena kebocoran plasma yang mengakibatkan
berkurangnya cairan plasma. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh keadaan diare
dan dehidrasi (Pusparini 2004). Sebaliknya, berkurangnya pembentukan sel darah
merah akibat gizi yang tidak baik, pada keadaan bunting, kelebihan cairan,
anemia, dan pada kasus-kasus berat yang disertai perdarahan pada umumnya
dapat menyebabkan penurunan nilai hematokrit (Suwandi 2002).
Pemeriksaan hematokrit dapat membantu diagnosa berbagai penyakit
diantaranya demam berdarah dengue (DBD), anemia, dan polisitemia.
Pemerikasaan ini digunakan untuk menentukan viskositas atau kekentalan darah
dan memperkirakan total kehilangan darah serta tingkat dehidrasi (Seymour dan
Schwarth 2000).
6
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya 12 domba betina,
sediaan hormon prostaglandin F2α (PGF2α), pregnant mare serum gonadotropin
(PMSG) dan human chorionic gondadotropin (hCG), pengencer NaCl 0.9%, alkohol
70%, antikoagulan ethilen diamine tetra-asetate (EDTA), vitamin B kompleks, dan
anthelmintik (Albendazole).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuid 3 mL, seperangkat
alat ultrasonography (USG), tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip,
marker, kertas label, kertas saring atau tisu, kapas, tabung kapiler, alat penghitung,
adam micro-hematocrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang,
selang penanda berwarna, mikroskop cahaya, oven, dan kotak pendingin.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yang dimulai pada bulan Mei
sampai dengan Oktober 2011. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Tani Farm
yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, sementara itu analisis sampel darah dilakukan di
Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF),
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Tahap persiapan
Hewan percobaan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 domba betina
lokal yang telah dewasa kelamin. Domba- domba memiliki kisaran bobot badan
antara 18 kg - 25 kg yang diperoleh dari peternakan Mitra Tani Farm.
Aklimatisasi domba
Domba penelitian diaklimatisasikan selama dua minggu sebelum diberikan
perlakuan. Pada tahap ini, domba penelitian diberikan obat cacing (albendazol),
vitamin B kompleks, dan antibiotik. Pemberian obat cacing dan antibiotik
bertujuan supaya domba penelitian terbebas dari infeksi cacing dan bakteri.
Vitamin B kompleks diberikan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Proses
aklimatisasi ini penting dilakukan supaya domba-domba tersebut dapat
menyesuikan diri dengan lingkungan kandang dan sekitarnya sehingga kondisi
kesehatan tetap terjaga.
Kandang, pakan, dan minum
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini ialah kandang kelompok
dengan konstruksi kandang panggung. Dalam setiap kelompok kandang diisi
delapan ekor domba betina. Pakan domba perlakuan yang diberikan terdiri atas
7
hijauan yang diberikan pada pagi dan sore hari serta ampas tahu yang diberikan
pada siang hari. Air minum tersedia secara ad libitum.
Tahap Pelaksanaan
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan
acak lengkap (RAL).
Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan
Kelompok Perlakuan
I
II
III
IV
Keterangan
Domba yang tidak diberi perlakuan (kontrol)
Domba diberi penyuntikan PMSG + hCG (SO1) sebelum
perkawinan
Domba diberi penyuntikan hCG (SO2) 6 hari setelah
kawin
Domba diberi penyuntikan PMSG + hCG sebelum
perkawinan dan penyuntikan hCG pada hari ke-6 setelah
perkawinan (SO12)
Superovulasi
Sebelum perlakuan superovulasi, dilakukan ultrasonography (USG) terlebih
dahulu terhadap hewan perlakuan untuk memastikan hewan tidak bunting.
Kemudian dilakukan sinkronisasi estrus dengan menyuntikkan hormon PGF2α
(Lutalyse TM) secara intramuskuler sebanyak dua kali pada semua kelompok
perlakuan. Dosis PGF2α yang diberikan 0.5 mg kg-1 bobot badan. Penyuntikan
PGF2α kedua dilakukan dengan selang waktu 11 hari dari penyuntikan pertama.
Selain itu, kelompok domba superovulasi (SO1) dan kelompok domba yang
double superovulasi (SO12) dilakukan penyuntikan secara intramuskuler
menggunakan hormon PMSG dan hCG yang disuntikkan sesaat setelah
penyuntikan PGF2α yang kedua.
Dua sampai tiga hari setelah penyuntikan PGF2α yang kedua, semua domba
percobaan berada dalam kondisi estrus. Setelah itu, semua domba percobaan
dicampur dengan domba pejantan yang telah dipilih. Pencampuran domba jantan
dengan domba betina dilakukan selama dua hari. Pencampuran dengan pejantan
dilakukan dengan membagi 12 domba betina menjadi 4 kelompok dengan masingmasing kelompok terdiri atas 3 betina dan 1 jantan. Tiga puluh hari setelah
pencampuran dengan pejantan, dilakukan pemeriksaan kebuntingan menggunakan
USG.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan setiap minggu selama lima bulan.
Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid
sebanyak kurang lebih 5 mL kemudian langsung dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang telah dilapisi antikoagulan EDTA. Sampel darah tersebut kemudian
dibawa ke Laboratorium Fisiologi untuk dilakukan analisis darah.
8
Pemeriksaan sampel
Parameter yang diamati dalam pemeriksaan sampel terdiri atas jumlah sel
darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin. Penghitungan
jumlah sel darah merah dilakukan secara manual dengan metode hemositometer.
Metode ini diawali dengan menghisap darah dengan menggunakan pipet eritrosit
sampai skala 0.5. Kemudian, pipet darah yang menempel pada bagian luar pipet
dibersihkan menggunakan tissu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam
cairan pengencer hayem yang sebelumnya telah disediakan di dalam cawan
porselin, kemudian larutan hayem tersebut dihisap sampai batas tera 101.
Kemudian aspirator dilepas dan pipet diangkat sambil ujungnya ditutup dengan
jempol serta pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar
dan dihomogenkan dengan membuat gerakan memutar angka 8. Setelah homogen,
cairan tetesan pertama dan kedua dari dalam pipet dibuang, setelah itu, ujung
pipet disentuhkan pada bagian pinggir kamar hitung yang telah ditutup dengan
kaca penutup, setelah cairan dari pipet menyebar pada bagian dasar kamar hitung,
kamar hitung diletakkan di bawah mikroskop kemudian difokuskan dan dilakukan
perhitungan darah pada lima kotak kamar hitung mulai dari kotak bagian kiri atas,
kanan atas, kanan bawah, kiri bawah, dan kotak tengah.
Penghitungan nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan Adam
Mikrohematokrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro
dengan panjang 7 cm dan diameter 1 mm. Sampel darah diambil dengan
menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi
ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain
dikosongkan kira-kira 1 cm. Kemudian, bagian ujung tabung disumbat dan tabung
mikro yang berisi sampel darah tersebut disentrifuse selama 4 menit - 5 menit
dengan kecepatan 10.000 rpm. Hasil sentrifuse dibaca menggunakan Adam
mikrohematocrit Reader.
Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Sahli.
Metode ini dilakukan dengan cara menambahkan HCL ke dalam tabung kemudian
ditambahkan dengan sampel darah dan ditambahkan secara perlahan sejumlah
aquades hingga warna yang terbentuk sama dengan kontrol. Kadar hemoglobin
diperoleh dengan membaca skala yang tertera pada tabung Sahli.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati pada penelitian ini terdiri atas jumlah sel darah merah,
kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit (PCV).
Analisis Data
Data yang didapat dianalisis menggunakan metode ANOVA yang dilanjutkan
dengan metode DUNCAN.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sel Darah Merah
Data tentang gambaran sel darah merah pada induk domba kontrol, yang
diberi perlakuan superovulasi (SO1), yang diberi hCG pada hari ke-6 setelah
perkawinan (SO2), dan diberi perlakuan superovulasi serta hCG setelah
perkawinan (SO12) memperlihatkan hasil yang bervariasi. Jumlah rata-rata sel
darah merah pada ketiga perlakuan dengan perlakuan kontrol sebagai pembanding
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan jumlah sel darah merah (106 mm-3) pada induk domba
Bulan
Kontrol*
SO1*
SO2*
SO12*
kebuntingan
1
2
3
4
5
11.87±4.9a
9.28±0.87a
2.10±0.47a
6.58±6.66a
7.12±6.31a
8.29±4.47a
9.43±2.93a
2.66±0.65a
10.16±1.17a
11.43±1.95a
11.20±1.24a
14.04±4.29a
2.30±0.21a
4.85±4.20a
7.79±6.77a
15.54±6.85a
17.28±9.13a
2.66±0.46a
6.99±2.75a
11.32±1.96a
Kontrol: Tidak diberi perlakuan apa-apa, SO1: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin, SO2 :
hCG hari ke-6 setelah kawin, SO12: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin serta hCG hari
ke-6 setelah kawin; *Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas kerja hormon tambahan yang
diberikan untuk meningkatkan kualitas kebuntingan pada induk domba. Hormon
PMSG dan hCG yang digunakan dalam superovulasi memiliki kerja yang mirip
dengan hormon FSH dan LH, yaitu merangsang pembentukan folikel ovarium
yang selanjutnya dapat meproduksi hormon estrogen (Mege et al. 2007).
Penyuntikan hormon PMSG dan hCG diharapkan dapat memaksimalkan fungsi
organ reproduksi pada masa kebuntingan.
Pada penelitian ini diperoleh jumlah rata-rata sel darah merah secara
keseluruhan pada kelompok perlakuan SO1 (8.39±2.23), SO2 (8.04±3.34), dan
SO12 (10.76±4.23) selama lima bulan kebuntingan menunjukkan hasil yang
cenderung lebih tinggi dari perlakuan kontrol (7.39±3.84). Apabila dilihat dari
ketiga kelompok perlakuan superovulasi, kelompok perlakuan SO12 memiliki ratarata keseluruhan jumlah sel darah merah lebih tinggi dari kelompok SO1 dan SO2.
Hasil ini memberi gambaran adanya peningkatan laju metabolisme tubuh pada
kelompok tersebut. Penggunaan hormon PMSG pada superovulasi memicu
pembentukan folikel, korpus luteum, dan plasenta yang merupakan kelenjar
penghasil hormon-hormon kebuntingan (Mege et al. 2007). Selain menghasilkan
kelenjar-kelenjar di atas, penyuntikan hormon PMSG sebelum prkawinan juga
mampu meningkatkan hormon tiroid (T3 dan T4), glukosa, dan trigliserida darah
yang merupakan faktor pendukung meningkatnya laju metabolisme tubuh (Mege
et al. 2007). Hormon hCG yang digunakan pada superovulasi memiliki fungsi
yang mirip dengan luteinizing hormone (LH), yaitu dapat meningkatkan kualitas
10
ovulasi (Situmorang 2005). Pada penelitian ini ditemukan bahwa dengan
pemberian hormon PMSG dan penambahan hCG memberikan respons positif
pada organ reproduksi seperti yang ditunjukan oleh kelompok perlakuan SO12.
Hal ini disebabkan karena hCG bersifat luteotropik, bekerja mengoptimalkan
fungsi korpus luteum, mencegah regresi luteal, dan meningkatkan konsentrasi
hormon progesteron (Siregar et al. 2010). Peningkatan angka kebuntingan akan
berbanding lurus dengan kebutuhan metabolisme tubuh induk. Peningkatan
jumlah sel darah merah pada kelompok domba perlakuan SO12 merupakan
respons homeostasis dalam menyeimbangkan peningkatan laju metabolisme tubuh
(Andriyanto et al. 2013).
Pada bulan ke-3, semua kelompok perlakuan mengalami penurunan jumlah
sel darah merah secara drastis. Hal ini diduga karena terjadinya tingkat stres
akibat cekaman metabolik yang semakin tinggi (Maheshwari et al. 2001). Pada
bulan ke-4 dan ke-5 terjadi peningkatan kembali karena respons induk mulai stabil
dalam mempersiapkan kebutuhan metabolik seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan, bobot, dan ukuran fetus selama trimester terakhir kebuntingan.
Selain pada fetus, ukuran tubuh induk juga ikut meningkat. Kedua hal ini
mengakibatkan peningkatan pada metabolisme tubuh sehingga merangsang
sumsum tulang untuk menghasilkan sel-sel darah merah dalam jumlah banyak.
Jumlah sel darah merah yang tinggi menjelang proses kelahiran diperlukan untuk
mengantisipasi kondisi tubuh induk setelah melahirkan (Guyton dan Hall 2007).
Hemoglobin
Pada keadaan bunting, kadar hemoglobin yang tinggi sangat dibutuhkan
tubuh untuk mengangkut oksigen dan nutrisi yang terkandung dalam sel darah
merah. Peningkatan kadar hemoglobin pada hewan yang sedang bunting sangat
bergantung pada kebutuhan metabolisme tubuh. Menurut Kozat et al (2006) kadar
hemoglobin domba bunting sekitar 12.3±0.58 gram%. Pada penelitian ini, hasil
perhitungan rata-rata kadar hemoglobin darah selama lima bulan periode
kebuntingan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan kadar hemoglobin (g dL-1) pada induk domba
Bulan
kebuntingan
1
2
3
4
5
Kontrol*
SO1*
SO2*
8.88±1.71a
12.74±1.48a
10.99±0.55a
7.63±6.61a
8.97±7.10a
8.29±0.41a
9.52±1.68a
10.19±0.65a
9.70±0.87a
9.34±0.69a
9.65±0.95a
10.40±0.68a
9.13±0.39b
7.75±6.72a
6.31±5.47a
SO12*
10.32±2.70a
12.91±2.32a
11.73±1.48a
10.94±0.77a
8.91±0.51a
Kontrol: Tidak diberi perlakuan apa-apa, SO1: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin, SO2 :
hCG hari ke-6 setelah kawin, SO12: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin serta hCG hari
ke-6 setelah kawin; *Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
11
Hasil pada Tabel 3 menunjukkan kadar rata-rata hemoglobin darah pada
setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebagai pembanding. kadar
hemoglobin secara keseluruhan pada kelompok perlakuan SO1 (9.41±0.86) dan
SO2 (8.65±2.84) lebih rendah dari kontrol (9.84±3.49) walaupun tidak berbeda
signifikan. Akan tetapi, pada kelompok perlakuan SO12 (10.96±1.56)
menunjukkan hasil hemoglobin yang sedikit lebih tinggi dari perlakuan kontrol
(9.84±3.49). Hasil tersebut menggambarkan kebutuhan metabolisme yang
berbeda-beda pada setiap kelompok perlakuan. Tinggi rendahnya kadar
hemoglobin dipengaruhi oleh besar kecilnya beban metabolisme yang ditanggung.
Kadar hemoglobin yang cenderung lebih tinggi pada kelompok perlakuan SO12
menandakan bahwa laju metabolisme pada kelompok tersebut lebih besar akibat
meningkatnya angka kebuntingan yang dikandung. Kadar hemoglobin yang tinggi
pada masa kebuntingan berfungsi melancarkan masuknya oksigen ke dalam
jaringan dan keluarnya CO2 dari jaringan ke paru-paru sehingga sel-sel jaringan
dapat berfungsi dengan baik (Cunningham 2002). Kadar hemoglobin pada
kebuntingan kembar lebih tinggi dibandingkan pada kebuntingan tunggal.
(Andriyanto et al. 2011).
Kelompok domba perlakuan SO2 bulan ke-3 secara statistik menunjukkan
perbedaan nyata (P
DIBERIKAN SUPEROVULASI DAN PENYUNTIKAN HUMAN
CHORIONIC GONADOTROPIN (hCG) PADA HARI KE-6
SETELAH PERKAWINAN
MITA TUMIATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Darah
Merah Domba Bunting yang Diberikan Superovulasi dan Penyuntikan Human
Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari ke-6 setelah Perkawinan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Mita Tumiati
NIM B04080202
ABSTRAK
MITA TUMIATI. Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan
Superovulasi dan Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari
ke-6 setelah Perkawinan. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan WASMEN
MANALU.
Superovulasi merupakan salah satu teknologi reproduksi yang digunakan
untuk meningkatkan produktivitas domba. Domba yang disuperovulasi memiliki
kondisi yang berbeda dari domba yang tidak disuperovulasi. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat gambaran darah merah domba bunting yang diberikan
superovulasi dan penyuntikan human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke6 setelah perkawinan. Sebanyak dua belas ekor domba yang sudah dewasa
kelamin, dengan bobot badan sekitar 18-25 kg yang dibagi ke dalam 4 kelompok
perlakuan. Kelompok perlakuan pertama tidak disuperovulasi (kontrol), kelompok
kedua disuperovulasi dengan penyuntikan PMSG dan hCG (SO1), yang ketiga
disuntik dengan hCG sebelum kawin (SO2), dan keempat disuntik dengan PMSG
dan hCG sebelum kawin diikuti dengan penyuntikan hCG 6 hari pascakawin
(S012). Sinkronisasi estrus dilakukan dengan menyuntikkan 5-15 mg PGF2α pada
masing-masing domba betina. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah
jumlah total sel darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa kelompok perlakuan SO12
memiliki nilai rata-rata sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit lebih tinggi
daripada kontrol. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
superovulasi dan ditambahkan penyuntikan hCG pada hari ke-6 setelah
perkawinan (S012) menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh induk domba
yang digambarkan dari peningkatan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin,
dan nilai hematokrit (SO12).
Kata kunci : superovulasi, eritrosit, hematokrit, hemoglobin, domba
ABSTRACT
MITA TUMIATI. Erythrocyte Parameters of Pregnant Ewes that had a
Superovulated and Injected Human Chorionic Gonadotrophin on Day-6 after
Mating. Supervised by ANDRIYANTO and WASMEN MANALU.
Superovulation is one of the reproduction technology used to increase the
productivity of ewes. Physiological conditions of superovulated ewes are different
from those of nonsuperovulated ewes. This research was conducted to observe the
red blood cell (RBC) profiles of pregnant ewes superovulated and injected with
hCG on the 6th day after mating. Twelf matures ewes weighing from 18-25 kg
were dividied into 4 groups. The first group was not superovulated (control), the
second group was superovulated before mating (SO1), the third group was
injected with hCG 6 days after mating (SO2), and the fourth group was injected
with PMSG and hCG before mating followed by injection of hCG 6 days post
mating (S012). Estrus synchronization was done by injecting 5-15 mg of PGF2α
with 11 days interval. The parameters measured were the total number of red
blood cell, hematocrit value, and the hemoglobin concentration. The results
obtained showed that the SO12 treatment group had higher red blood cells,
hemoglobin, and hematocrit as compared to control. Based on these results it can
be concluded that superovulation and added injected hCG on day-6 after mating
(S012) increased red blood cell count, hemoglobin level, and hematocrit values to
support maternal metabolism due to the increased fetal number and growth.
Key words: superovulation, erythrocyte, hematocrit, hemoglobin, sheep
GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA BUNTING YANG
DIBERIKAN SUPEROVULASI DAN PENYUNTIKAN HUMAN
CHORIONIC GONADOTROPIN (hCG) PADA HARI KE-6
SETELAH PERKAWINAN
MITA TUMIATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan
Superovulasi dan Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin
(hCG) pada Hari ke-6 setelah Perkawinan.
: Mita Tumiati
: B04080202
Disetujui oleh
drh Andriyanto, MSi
Pembimbing I
Prof Dr Ir Wasmen Manalu
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Oktober 2011 ini
ialah Gambaran Darah Merah Domba Bunting yang Diberikan Superovulasi dan
Penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) pada Hari ke-6 setelah
Perkawinan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Andriyanto, MSi dan
Bapak Prof Dr Ir Wasmen Manalu selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf Laboratorium
Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF) FKH IPB yang
telah membantu selama pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semua pihak
yang berkepentingan.
Bogor, Juli 2013
Mita Tumiati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Domba
2
Superovulasi
2
Darah
3
Sel Darah Merah
4
Hemoglobin
4
Hematokrit
5
METODE
6
Waktu dan Tempat Penelitian
6
Alat
6
Bahan
Tahap Persiapan
6
6
Hewan Percobaan
6
Aklimatisasi Domba
6
Kandang, Pakan, dan Minum
6
Tahap Pelaksanaan
7
Rancangan Percobaan
7
Superovulasi
7
Pengambilan Sampel
7
Pemeriksaan Sampel
8
Variabel yang Diamati
8
Analisi Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Sel Darah Merah
9
Hemoglobin
10
Hematokrit
11
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
LAMPIRAN
16
RIWAYAT HIDUP............................................................................................ ...24
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Rancangan kelompok perlakuan
Rata-rata dan standar deviasi jumlah sel darah merah (106/mm3)
Rata-rata dan standar deviasi hemoglobin (gram %)
Rata-rata dan standar deviasi nilai hematokrit (%)
7
9
10
12
DAFTAR GAMBAR
1
2
Domba lokal atau Ovis aries (Anonim 2013)
Bentuk sel darah merah (Mahmood dan Mansor 2012)
2
4
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah
Hasil analisis penghitungan nilai hemoglobin
Hasil analisis penghitungan kadar hematokrit
16
18
21
PENDAHULUAN
Daging merupakan sumber protein hewani yang dibutuhkan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan gizi. Permintaan daging akan terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Daging ternak yang cukup diminati masyarakat salah satunya adalah daging
domba. Daging domba memiliki jumlah permintaan yang cukup tinggi namun
masih mengalami keterbatasan pada tingkat produksinya. Hal ini disebabkan
karena tingkat populasi ternak yang tidak menentu setiap tahun. Menurut
Direktorat Jenderal Peternakan (2013), populasi ternak domba di Indonesia tahun
2012 mencapai 11790.61 ribu ekor, produksi dagingnya sebesar 46.79 ribu ton,
sampai 2013 mencapai 13420.44 ribu ekor (angka sementara) dan produksi
dagingnya sebesar 44.4 ribu ton. Pertumbuhan populasi ternak tahun 2013
terhadap 2012 sebesar 12.14% dan produksi dagingnya sebesar 5.49%. Angka
tersebut masih dikhawatirkan apabila tidak mengalami peningkatan yang
sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk di Indonesia setiap tahunnya.
Ternak domba merupakan salah satu sumber protein hewani yang tidak
kalah saingnya dengan ternak ruminansia lain. Domba, baik jenis lokal maupun
bukan lokal merupakan sumber plasma nutfah yang memiliki potensi untuk
dikembangkan. Domba memiliki kemampuan melahirkan anak kembar tiga atau
lebih. (Sumaryadi 1997; Sutama et al. 1999; Andriyanto dan Manalu 2011). Anak
yang dilahirkan kembar memiliki peluang mortalitas tinggi dan bobot badan kecil.
Hal ini disebabkan karena tingginya persaingan dalam memperoleh nutrisi dari
tubuh induk (Subandrio et al. 1998).
Salah satu metode yang dilakukan untuk meningkatkan angka kelahiran dan
menekan angka kematian adalah dengan teknik superovulasi. Superovulasi
merupakan metode dengan penyuntikan hormon pregnant mare serum
gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG) yang berpotensi
dalam menstimulasi fungsi ovarium untuk meransang pertumbuhan folikel dan
meningkatkan jumlah korpus luteum. Metode superovulasi ini meransang sekresi
hormon kebuntingan (estradiol dan progesteron) yang berperan penting dalam
proses reproduksi (Adriani et al. 2009).
Penelitian ini dirancang untuk meningkatkan kualitas kebuntingan pada
induk domba melalui metode superovulasi yang pengaruhnya dapat dilihat pada
gambaran butir darah merah, hemoglobin, dan hematokrit.
Secara teoritis penelitian ini memberi pengetahuan dalam pengembangan
ternak ruminansia. Secara ekonomi, metode ini dapat meningkatkan penghasilan
para peternak ruminansia sehingga waktu ke depannya dapat dikembangkan untuk
meningkatkan populasi ternak.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Domba
Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah didomestikasi
sebagai ternak. Sejarah domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon
(Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis
amon) berasal dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis vignei) yang berasal dari Asia.
Domba memiliki nama ilmiah ovis aries. Domba diklasifikasikan ke dalam
kingdom animalia, filum chordata, kelas mamalia, ordo artiodactyla, dan masuk
ke dalam famili bovidae, genus ovis, serta spesiesnya aries. Di Indonesia,
khususnya di Jawa, ada 2 bangsa domba yang terkenal, yakni domba ekor gemuk
yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan domba ekor
tipis yang banyak terdapat di Jawa Barat. Gambar domba dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1 Domba lokal atau Ovis aries (sumber: Anonim 2013)
Domba memiliki rambut tebal dan dipelihara untuk dimanfaatkan rambut
(wol), daging, dan susunya (Hafes 2000). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo
(1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan sebagai sumber sel
darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum dalam
jumlah yang besar. Domba dapat pula digunakan dalam percobaan dasar, seperti
percobaan fisiologi, farmakologi, percobaan bedah eksperimental, dan penelitian
anestesi.
Superovulasi
Superovulasi merupakan salah satu metode pengembangan ternak dengan
memanfaatkan preparat hormon gonadotropin. Hormon ini akan meransang
pertumbuhan folikel yang lebih banyak dan meningkatkan jumlah korpus luteum.
Keberhasilan teknik superovulasi bergantung pada beberapa faktor, seperti kondisi
hewan betina yang digunakan, preparat hormon yang dipakai, prosedur
pelaksanaan, serta dosis pemberian hormon. Kondisi hewan betina yang dipilih
haruslah sehat secara fisik dan sudah dewasa kelamin sehingga setelah
disuperovulasi dengan preparat hormon dapat memberi respons yang diharapkan.
Hormon gonadotropin yang sering digunakan pada teknik superovulasi adalah
folicle stimulating hormone (FSH) dan pregnant mare serum gonadotropin
3
(PMSG). Kedua hormon ini sama-sama memiliki respons yang sangat baik,
namun memiliki waktu paruh yang berbeda. Superovulasi dengan FSH dapat
meransang jumlah folikel yang berkembang hingga fase folikel de graaf. Hormon
FSH memiliki waktu paruh (half life) yang pendek, yaitu sekitar 2 jam - 5 jam
sehingga perlu pemberian dosis berulang untuk merangsang aktivitas folikel
secara efisien (Kaiin dan Tappa 2006).
PMSG merupakan hormon gonadotropin eksogen yang memiliki potensi
biologik tinggi dalam merangsang fungsi ovarium untuk menghasilkan folikel dan
corpus luteum (CL). Pemberian PMSG untuk superovulasi akan memberikan
respons yang bervariasi pada ternak. Superovulasi dengan PMSG dapat diberikan
pada akhir fase luteal siklus berahi (hari ke-12 atau ke-13). Selain itu, hormon ini
dapat juga diberikan setelah pemberian progesteron yang digunakan untuk
sinkronisasi estrus. Dalam molekul PMSG terdapat kandungan asam salisilat yang
tinggi menyebabkan waktu paruh (half life) hormon PMSG lebih panjang
sehingga dapat menimbulkan beberapa efek negatif, seperti gangguan
keseimbangan hormonal, gangguan fertilisasi, dan gangguan transportasi embrio
dari tuba fallopii menuju uterus (Siregar et al. 2012). Efek negatif hormon PMSG
dapat diatasi dengan pemberian antibodi monoklonal (MoAb) antiPMSG yang
bekerja menghilangkan residu PMSG yang masih berfungsi sehingga angka
ovulasi dan hasil panen embrio dapat ditingkatkan (Supriatna et al. 1998).
Hormon lain yang dapat digunakan untuk memicu terjadinya ovulasi folikel
hasil superovulasi adalah dengan penyuntikan human chronionic gonadotropin
(hCG). Hormon ini berpotensi untuk perkembangan dan pemasakan folikel
sampai terjadinya ovulasi. Pemberian PMSG yang dikombinasi dengan hCG dapat
menghasilkan corpus luteum (CL) yang lebih banyak dibandingkan dengan
pemberian PMSG atau FSH saja (Supriatna et al. 1998). Pengaruh pemberian
hormon-hormon gonadotropin terhadap induk yang disuperovulasi dapat dilihat
dari pemeriksaan gambaran darah merah dan darah putihnya. Berbagai parameter
penghitungan darah lengkap dapat memberikan informasi mengenai status
kesehatan induk (Maheshwari et al. 2001).
Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang diklasifikasikan sebagai jaringan
konektif. Jaringan ini berupa cairan yang mengalir ke seluruh tubuh melalui
pembuluh pada sistem kardiovaskuler. Cairan darah berwarna merah muda yang
menandakan bahwa kadar oksigen dalam darah tinggi, tetapi akan berwarna merah
tua bila kadar karbon dioksida yang tinggi. Pada saat dewasa, darah dibentuk di
dalam sumsum tulang sedangkan pada saat fetus, sel-sel darah juga dibentuk
dalam hati dan limpa (Guyton dan Hall 2007). Total volume darah pada
ruminansia berkisar antara 6% - 7% dari bobot badan. Total volume darah pada
hewan muda yang sedang tumbuh dapat melebihi 10% dari total bobot badan.
Secara umum, darah memiliki peran sebagai transportasi (sari makanan, oksigen,
karbon dioksida dan air), termoregulasi (pengatur suhu tubuh), imunologi
(mengandung antibodi tubuh), dan homeostasis (mengandung keseimbangan zat,
pH regulator). Komponen darah di antaranya adalah sel darah merah (eritrosit), sel
darah putih (leukosit), dan keping-keping darah (trombosit).
4
Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit merupakan bagian utama dari darah. Sel darah
merah berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter rata-rata 7,8 mikromete dan
ketebalan 2.5 mikrometer dari bagian yang paling tebal, serta 1 mikrometer di
bagian tengahnya (Guyton dan Hall 2007). Sel darah merah berwarna merah yang
disebabkan oleh hemoglobin. Warna merah itu sangat dipengaruhi oleh
hemoglobin saat mengikat oksigen dan disebut sebagai oksihemoglobin (HbO2).
Gambar sel darah merah disajikan pada gambar 2.
Gambar 2 Sel darah merah (Mahmood dan Mansor 2012)
Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang yang kemudian dilepaskan
ke dalam sistem sirkulasi dan beredar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.
Jumlah sel darah merah dalam pembuluh darah relatif konstan yang artinya
pembentukan sel darah merah yang baru memiliki kecepatan yang sama dengan
kecepatan rusaknya sel darah merah yang lama. Sel darah merah dapat bertahan
dalam jangka waktu 120 hari sampai dengan 125 hari dalam sistem sirkulasi dan
kemudian mengalami kerusakan. Peran penting sel darah merah adalah sebagai
pembawa hemoglobin yang mengandung oksigen dan dibawa dari paru-paru ke
semua jaringan tubuh (Guyton dan Hall 2007). Pemeriksaan sel darah merah
dalam sampel darah dapat memberikan beberapa informasi tentang kondisi
abnormal dalam tubuh (Mahmood dan Mansor 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan kualitas sel darah merah
diantaranya adalah Hb, PCV, umur, sex, gizi, iklim, kehamilan, laktasi, dan
ketinggian lokasi. Jumlah sel-sel darah merah yang berkurang dapat disebabkan
oleh kasus perdarahan akibat infeksi parasit dan penyakit anemia. Penyakit
anemia terjadi karena kekurangan asupan gizi terutama zat besi dan vitamin dalam
makanan. Peningkatan sel darah merah disebabkan oleh keadaan hipoksia jaringan
dan gangguan dalam transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh
(Suwandi 2002).
Hemoglobin
Molekul protein dalam sel darah merah yang memiliki bobot molekul
64.450 dan berfungsi sebagai media transpor oksigen dari paru-paru ke semua
jaringan tubuh disebut hemoglobin. Hemoglobin adalah konjugasi protein yang
membentuk heme dan globin. Heme merupakan suatu derivat porfirin yang
mengandung besi. Polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin
dari molekul hemoglobin. Sintesis heme berlangsung di dalam mitokondria dan
terjadi secara bertahap yang diawali dengan pembentukan kerangka porfirin dan
5
disusun oleh inkorporasi besi ke dalam keempat heme. Sintesis rantai globin
terjadi di dalam ribosom sitoplasma (Ganong 1995).
Jumlah hemoglobin dalam darah berhubungan dengan kebutuhan oksigen
(O2) tubuh. Pada saat darah merah melalui kapiler paru-paru, hemoglobin akan
mengikat oksigen (O2) membentuk oksi-hemoglobin. Sebaliknya, pada saat
melewati kapiler sistemik, hemoglobin akan melepaskan oksigen (O2) ke dalam
jaringan dan menjadi hemoglobin kembali. Intensitas warna merah hemoglobin
dipengarihi oleh banyaknya kandungan oksigen. Tingkat hemoglobin dalam darah
akan mempengaruhi kesehatan karena ketika tingkat hemoglobin terlalu rendah
maka akan memicu kelelahan dan sesak napas akibat kekurangan oksigen yang
masuk ke jaringan tubuh ( Mahmood dan Mansor 2012).
Kadar hemoglobin dalam darah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor di
antaranya adalah umur, jenis kelamin, kehamilan, menstruasi, asupan makanan,
kebiasaan minum teh atau kopi (dapat menurunkan penyerapan besi), dan
penyakit-penyakit infeksi. Anemia adalah suatu keadaan yang kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah kurang dari normal. Keadaan tersebut disebabkan oleh salah
satu dari faktor-faktor di atas. Kekurangan kadar hemoglobin dalam darah dapat
menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah, dan cepat lupa. Akibatnya, daya
tahan tubuh menurun dan mengakibatkan mudah terkena infeksi (Khaidir 2007).
Peningkatan kadar hemoglobin dalam sel darah merah dapat menyebabkan
kemampuan membawa oksigen dalam jaringan lebih baik dan ekskresi CO2 lebih
efisien sehingga kondisi dan fungsi sel akan berjalan dengan normal (Cunningham
2002).
Hematokrit
Hematokrit atau packet cell volume (PCV) adalah angka yang menunjukkan
perbandingan volume eritrosit dengan volume plasma darah yang dinyatakan
dalam persen volume (Shadly dan Pringgodigjo 1977). Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan. Kadar hematokrit akan
meningkat dengan meningkatnya jumlah sel darah merah dan pada kasus
hemokonsentrasi yang terjadi karena kebocoran plasma yang mengakibatkan
berkurangnya cairan plasma. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh keadaan diare
dan dehidrasi (Pusparini 2004). Sebaliknya, berkurangnya pembentukan sel darah
merah akibat gizi yang tidak baik, pada keadaan bunting, kelebihan cairan,
anemia, dan pada kasus-kasus berat yang disertai perdarahan pada umumnya
dapat menyebabkan penurunan nilai hematokrit (Suwandi 2002).
Pemeriksaan hematokrit dapat membantu diagnosa berbagai penyakit
diantaranya demam berdarah dengue (DBD), anemia, dan polisitemia.
Pemerikasaan ini digunakan untuk menentukan viskositas atau kekentalan darah
dan memperkirakan total kehilangan darah serta tingkat dehidrasi (Seymour dan
Schwarth 2000).
6
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya 12 domba betina,
sediaan hormon prostaglandin F2α (PGF2α), pregnant mare serum gonadotropin
(PMSG) dan human chorionic gondadotropin (hCG), pengencer NaCl 0.9%, alkohol
70%, antikoagulan ethilen diamine tetra-asetate (EDTA), vitamin B kompleks, dan
anthelmintik (Albendazole).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuid 3 mL, seperangkat
alat ultrasonography (USG), tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip,
marker, kertas label, kertas saring atau tisu, kapas, tabung kapiler, alat penghitung,
adam micro-hematocrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang,
selang penanda berwarna, mikroskop cahaya, oven, dan kotak pendingin.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yang dimulai pada bulan Mei
sampai dengan Oktober 2011. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Tani Farm
yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, sementara itu analisis sampel darah dilakukan di
Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF),
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Tahap persiapan
Hewan percobaan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 domba betina
lokal yang telah dewasa kelamin. Domba- domba memiliki kisaran bobot badan
antara 18 kg - 25 kg yang diperoleh dari peternakan Mitra Tani Farm.
Aklimatisasi domba
Domba penelitian diaklimatisasikan selama dua minggu sebelum diberikan
perlakuan. Pada tahap ini, domba penelitian diberikan obat cacing (albendazol),
vitamin B kompleks, dan antibiotik. Pemberian obat cacing dan antibiotik
bertujuan supaya domba penelitian terbebas dari infeksi cacing dan bakteri.
Vitamin B kompleks diberikan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Proses
aklimatisasi ini penting dilakukan supaya domba-domba tersebut dapat
menyesuikan diri dengan lingkungan kandang dan sekitarnya sehingga kondisi
kesehatan tetap terjaga.
Kandang, pakan, dan minum
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini ialah kandang kelompok
dengan konstruksi kandang panggung. Dalam setiap kelompok kandang diisi
delapan ekor domba betina. Pakan domba perlakuan yang diberikan terdiri atas
7
hijauan yang diberikan pada pagi dan sore hari serta ampas tahu yang diberikan
pada siang hari. Air minum tersedia secara ad libitum.
Tahap Pelaksanaan
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan
acak lengkap (RAL).
Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan
Kelompok Perlakuan
I
II
III
IV
Keterangan
Domba yang tidak diberi perlakuan (kontrol)
Domba diberi penyuntikan PMSG + hCG (SO1) sebelum
perkawinan
Domba diberi penyuntikan hCG (SO2) 6 hari setelah
kawin
Domba diberi penyuntikan PMSG + hCG sebelum
perkawinan dan penyuntikan hCG pada hari ke-6 setelah
perkawinan (SO12)
Superovulasi
Sebelum perlakuan superovulasi, dilakukan ultrasonography (USG) terlebih
dahulu terhadap hewan perlakuan untuk memastikan hewan tidak bunting.
Kemudian dilakukan sinkronisasi estrus dengan menyuntikkan hormon PGF2α
(Lutalyse TM) secara intramuskuler sebanyak dua kali pada semua kelompok
perlakuan. Dosis PGF2α yang diberikan 0.5 mg kg-1 bobot badan. Penyuntikan
PGF2α kedua dilakukan dengan selang waktu 11 hari dari penyuntikan pertama.
Selain itu, kelompok domba superovulasi (SO1) dan kelompok domba yang
double superovulasi (SO12) dilakukan penyuntikan secara intramuskuler
menggunakan hormon PMSG dan hCG yang disuntikkan sesaat setelah
penyuntikan PGF2α yang kedua.
Dua sampai tiga hari setelah penyuntikan PGF2α yang kedua, semua domba
percobaan berada dalam kondisi estrus. Setelah itu, semua domba percobaan
dicampur dengan domba pejantan yang telah dipilih. Pencampuran domba jantan
dengan domba betina dilakukan selama dua hari. Pencampuran dengan pejantan
dilakukan dengan membagi 12 domba betina menjadi 4 kelompok dengan masingmasing kelompok terdiri atas 3 betina dan 1 jantan. Tiga puluh hari setelah
pencampuran dengan pejantan, dilakukan pemeriksaan kebuntingan menggunakan
USG.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan setiap minggu selama lima bulan.
Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid
sebanyak kurang lebih 5 mL kemudian langsung dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang telah dilapisi antikoagulan EDTA. Sampel darah tersebut kemudian
dibawa ke Laboratorium Fisiologi untuk dilakukan analisis darah.
8
Pemeriksaan sampel
Parameter yang diamati dalam pemeriksaan sampel terdiri atas jumlah sel
darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin. Penghitungan
jumlah sel darah merah dilakukan secara manual dengan metode hemositometer.
Metode ini diawali dengan menghisap darah dengan menggunakan pipet eritrosit
sampai skala 0.5. Kemudian, pipet darah yang menempel pada bagian luar pipet
dibersihkan menggunakan tissu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam
cairan pengencer hayem yang sebelumnya telah disediakan di dalam cawan
porselin, kemudian larutan hayem tersebut dihisap sampai batas tera 101.
Kemudian aspirator dilepas dan pipet diangkat sambil ujungnya ditutup dengan
jempol serta pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar
dan dihomogenkan dengan membuat gerakan memutar angka 8. Setelah homogen,
cairan tetesan pertama dan kedua dari dalam pipet dibuang, setelah itu, ujung
pipet disentuhkan pada bagian pinggir kamar hitung yang telah ditutup dengan
kaca penutup, setelah cairan dari pipet menyebar pada bagian dasar kamar hitung,
kamar hitung diletakkan di bawah mikroskop kemudian difokuskan dan dilakukan
perhitungan darah pada lima kotak kamar hitung mulai dari kotak bagian kiri atas,
kanan atas, kanan bawah, kiri bawah, dan kotak tengah.
Penghitungan nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan Adam
Mikrohematokrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro
dengan panjang 7 cm dan diameter 1 mm. Sampel darah diambil dengan
menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi
ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain
dikosongkan kira-kira 1 cm. Kemudian, bagian ujung tabung disumbat dan tabung
mikro yang berisi sampel darah tersebut disentrifuse selama 4 menit - 5 menit
dengan kecepatan 10.000 rpm. Hasil sentrifuse dibaca menggunakan Adam
mikrohematocrit Reader.
Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Sahli.
Metode ini dilakukan dengan cara menambahkan HCL ke dalam tabung kemudian
ditambahkan dengan sampel darah dan ditambahkan secara perlahan sejumlah
aquades hingga warna yang terbentuk sama dengan kontrol. Kadar hemoglobin
diperoleh dengan membaca skala yang tertera pada tabung Sahli.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati pada penelitian ini terdiri atas jumlah sel darah merah,
kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit (PCV).
Analisis Data
Data yang didapat dianalisis menggunakan metode ANOVA yang dilanjutkan
dengan metode DUNCAN.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sel Darah Merah
Data tentang gambaran sel darah merah pada induk domba kontrol, yang
diberi perlakuan superovulasi (SO1), yang diberi hCG pada hari ke-6 setelah
perkawinan (SO2), dan diberi perlakuan superovulasi serta hCG setelah
perkawinan (SO12) memperlihatkan hasil yang bervariasi. Jumlah rata-rata sel
darah merah pada ketiga perlakuan dengan perlakuan kontrol sebagai pembanding
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan jumlah sel darah merah (106 mm-3) pada induk domba
Bulan
Kontrol*
SO1*
SO2*
SO12*
kebuntingan
1
2
3
4
5
11.87±4.9a
9.28±0.87a
2.10±0.47a
6.58±6.66a
7.12±6.31a
8.29±4.47a
9.43±2.93a
2.66±0.65a
10.16±1.17a
11.43±1.95a
11.20±1.24a
14.04±4.29a
2.30±0.21a
4.85±4.20a
7.79±6.77a
15.54±6.85a
17.28±9.13a
2.66±0.46a
6.99±2.75a
11.32±1.96a
Kontrol: Tidak diberi perlakuan apa-apa, SO1: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin, SO2 :
hCG hari ke-6 setelah kawin, SO12: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin serta hCG hari
ke-6 setelah kawin; *Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas kerja hormon tambahan yang
diberikan untuk meningkatkan kualitas kebuntingan pada induk domba. Hormon
PMSG dan hCG yang digunakan dalam superovulasi memiliki kerja yang mirip
dengan hormon FSH dan LH, yaitu merangsang pembentukan folikel ovarium
yang selanjutnya dapat meproduksi hormon estrogen (Mege et al. 2007).
Penyuntikan hormon PMSG dan hCG diharapkan dapat memaksimalkan fungsi
organ reproduksi pada masa kebuntingan.
Pada penelitian ini diperoleh jumlah rata-rata sel darah merah secara
keseluruhan pada kelompok perlakuan SO1 (8.39±2.23), SO2 (8.04±3.34), dan
SO12 (10.76±4.23) selama lima bulan kebuntingan menunjukkan hasil yang
cenderung lebih tinggi dari perlakuan kontrol (7.39±3.84). Apabila dilihat dari
ketiga kelompok perlakuan superovulasi, kelompok perlakuan SO12 memiliki ratarata keseluruhan jumlah sel darah merah lebih tinggi dari kelompok SO1 dan SO2.
Hasil ini memberi gambaran adanya peningkatan laju metabolisme tubuh pada
kelompok tersebut. Penggunaan hormon PMSG pada superovulasi memicu
pembentukan folikel, korpus luteum, dan plasenta yang merupakan kelenjar
penghasil hormon-hormon kebuntingan (Mege et al. 2007). Selain menghasilkan
kelenjar-kelenjar di atas, penyuntikan hormon PMSG sebelum prkawinan juga
mampu meningkatkan hormon tiroid (T3 dan T4), glukosa, dan trigliserida darah
yang merupakan faktor pendukung meningkatnya laju metabolisme tubuh (Mege
et al. 2007). Hormon hCG yang digunakan pada superovulasi memiliki fungsi
yang mirip dengan luteinizing hormone (LH), yaitu dapat meningkatkan kualitas
10
ovulasi (Situmorang 2005). Pada penelitian ini ditemukan bahwa dengan
pemberian hormon PMSG dan penambahan hCG memberikan respons positif
pada organ reproduksi seperti yang ditunjukan oleh kelompok perlakuan SO12.
Hal ini disebabkan karena hCG bersifat luteotropik, bekerja mengoptimalkan
fungsi korpus luteum, mencegah regresi luteal, dan meningkatkan konsentrasi
hormon progesteron (Siregar et al. 2010). Peningkatan angka kebuntingan akan
berbanding lurus dengan kebutuhan metabolisme tubuh induk. Peningkatan
jumlah sel darah merah pada kelompok domba perlakuan SO12 merupakan
respons homeostasis dalam menyeimbangkan peningkatan laju metabolisme tubuh
(Andriyanto et al. 2013).
Pada bulan ke-3, semua kelompok perlakuan mengalami penurunan jumlah
sel darah merah secara drastis. Hal ini diduga karena terjadinya tingkat stres
akibat cekaman metabolik yang semakin tinggi (Maheshwari et al. 2001). Pada
bulan ke-4 dan ke-5 terjadi peningkatan kembali karena respons induk mulai stabil
dalam mempersiapkan kebutuhan metabolik seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan, bobot, dan ukuran fetus selama trimester terakhir kebuntingan.
Selain pada fetus, ukuran tubuh induk juga ikut meningkat. Kedua hal ini
mengakibatkan peningkatan pada metabolisme tubuh sehingga merangsang
sumsum tulang untuk menghasilkan sel-sel darah merah dalam jumlah banyak.
Jumlah sel darah merah yang tinggi menjelang proses kelahiran diperlukan untuk
mengantisipasi kondisi tubuh induk setelah melahirkan (Guyton dan Hall 2007).
Hemoglobin
Pada keadaan bunting, kadar hemoglobin yang tinggi sangat dibutuhkan
tubuh untuk mengangkut oksigen dan nutrisi yang terkandung dalam sel darah
merah. Peningkatan kadar hemoglobin pada hewan yang sedang bunting sangat
bergantung pada kebutuhan metabolisme tubuh. Menurut Kozat et al (2006) kadar
hemoglobin domba bunting sekitar 12.3±0.58 gram%. Pada penelitian ini, hasil
perhitungan rata-rata kadar hemoglobin darah selama lima bulan periode
kebuntingan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan kadar hemoglobin (g dL-1) pada induk domba
Bulan
kebuntingan
1
2
3
4
5
Kontrol*
SO1*
SO2*
8.88±1.71a
12.74±1.48a
10.99±0.55a
7.63±6.61a
8.97±7.10a
8.29±0.41a
9.52±1.68a
10.19±0.65a
9.70±0.87a
9.34±0.69a
9.65±0.95a
10.40±0.68a
9.13±0.39b
7.75±6.72a
6.31±5.47a
SO12*
10.32±2.70a
12.91±2.32a
11.73±1.48a
10.94±0.77a
8.91±0.51a
Kontrol: Tidak diberi perlakuan apa-apa, SO1: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin, SO2 :
hCG hari ke-6 setelah kawin, SO12: penyuntikan PMSG dan hCG sebelum kawin serta hCG hari
ke-6 setelah kawin; *Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
11
Hasil pada Tabel 3 menunjukkan kadar rata-rata hemoglobin darah pada
setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebagai pembanding. kadar
hemoglobin secara keseluruhan pada kelompok perlakuan SO1 (9.41±0.86) dan
SO2 (8.65±2.84) lebih rendah dari kontrol (9.84±3.49) walaupun tidak berbeda
signifikan. Akan tetapi, pada kelompok perlakuan SO12 (10.96±1.56)
menunjukkan hasil hemoglobin yang sedikit lebih tinggi dari perlakuan kontrol
(9.84±3.49). Hasil tersebut menggambarkan kebutuhan metabolisme yang
berbeda-beda pada setiap kelompok perlakuan. Tinggi rendahnya kadar
hemoglobin dipengaruhi oleh besar kecilnya beban metabolisme yang ditanggung.
Kadar hemoglobin yang cenderung lebih tinggi pada kelompok perlakuan SO12
menandakan bahwa laju metabolisme pada kelompok tersebut lebih besar akibat
meningkatnya angka kebuntingan yang dikandung. Kadar hemoglobin yang tinggi
pada masa kebuntingan berfungsi melancarkan masuknya oksigen ke dalam
jaringan dan keluarnya CO2 dari jaringan ke paru-paru sehingga sel-sel jaringan
dapat berfungsi dengan baik (Cunningham 2002). Kadar hemoglobin pada
kebuntingan kembar lebih tinggi dibandingkan pada kebuntingan tunggal.
(Andriyanto et al. 2011).
Kelompok domba perlakuan SO2 bulan ke-3 secara statistik menunjukkan
perbedaan nyata (P