Diferensiasi Sel Darah Putih Domba Bunting Hasil Superovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus

(1)

GANJAR MAULANA NUGRAHA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

ABSTRACT

GANJAR MAULANA NUGRAHA. Differentiation of White Blood Cells in Pregnant Superovulated Ewes Administered Temulawak Extract Plus. Supervised

by ANDRIYANTO and WASMEN MANALU.

Superovulation is a technology that can be used to increase the productivity of sheep. The researchwas conducted to determine the effect of superovulation and administration of temulawak extract plus on differentiation of white blood cell in pregnant ewes. Sixteen ewes with body weight ranging from 20 to 25 kg were assigned into a randomized design with 2×2 factorial arrangement. The first factor was superovulation and the second factor was administration of temulawak extract plus. Estrous cycle was synchronized by injection of PGF5-15 mg/sheep. Superovulation was induced by injection of PMSG and hCG 75-125 IU/sheep. The ewes showing estrous sign were then mated naturally. Temulawak extract plus was administered at the second month of pregnancy with dose of 1 mg/kg bw. Parameters measured in this research were neutrophil, basophil, eosinophil, lymphocyte, and monocyte. The blood samples were drawn every month of pregnancy up to parturition. The result showed that superovulation increased neutrophil during the first four months of pregnancy. The superovulation and temulawak extract plus administration decreased eosinophil at the third and fourth month of pregnancy and decreased the limphocyte at the fourth month of pregnancy. It was concluded that superovulated ewes had higher stress indicator during pregnancy and temulawak extract plus did not affect the stress parameter. Keywords: white blood cell, superovulation, temulawak, pregnant, ewe


(3)

ABSTRAK

GANJAR MAULANA NUGRAHA. Diferensiasi Sel Darah Putih Domba Bunting Hasil Superovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan WASMEN MANALU.

Superovulasi merupakan suatu teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas domba. Penelitian dilakukan untuk melihat efek superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus pada diferensiasi sel darah putih domba bunting. Enam belas ekor domba betina yang telah dewasa kelamin dengan bobot badan antara 20-25 kg digunakan dengan rancangan acak lengkap dan pola faktorial 2×2 dengan 4 ulangan. Faktor pertama ialah superovulasi dan faktor kedua ialah pemberian ekstrak temulawak plus. Sinkronisasi estrus dilakukan dengan penyuntikan PGF2α 5-15 mg/ekor. Superovulasi diinduksi dengan menyuntikkan PMSG and hCG 75-125 IU/ekor secara intramuskuler. Domba-domba penelitian yang menunjukkan gejala estrus kemudian dikawinkan secara alami. Ekstrak temulawak plus diberikan pada bulan kedua kebuntingan secara per oral dengan dosis 1 mg/kg bobot badan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini ialah jumlah netrofil, basofil, eosinofil, limfosit, dan monosit. Sampel darah diambil setiap bulan kebuntingan hingga induk domba melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa soperovulasi menaikkan jumlah netrofil pada bulan pertama hingga keempat kebuntingan. Superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus menurunkan jumlah eosinofil pada bulan ketiga kebuntingan dan juga menurunkan limfosit pada bulan keempat kebuntingan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa domba yang disuperovulasi dan diberi ekstrak temulawak plus memiliki tingkat cekaman yang lebih tinggi selama kebuntingan.


(4)

DIFERENSIASI SEL DARAH PUTIH DOMBA BUNTING

HASIL SUPEROVULASI DAN DICEKOK EKSTRAK

TEMULAWAK PLUS

GANJAR MAULANA NUGRAHA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Diferensiasi Sel Darah Putih Domba Bunting Hasil Superovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus adalah benar-benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Ganjar Maulana Nugraha NIM B04070102


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Judul skripsi : Diferensiasi Sel Darah Putih Domba Bunting Hasil Superovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus Nama : Ganjar Maulana Nugraha

NRP : B04070102

Disetujui

Diketahui Wakil Dekan FKH-IPB

Dr. Nastiti Kusumorini 19621205 198703 2 001

Tanggal lulus:

Pembimbing 1

drh. Andriyanto, MSi. 19820104 200604 1 006

Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu 19571220 198312 1 001


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Diferensiasi Sel Darah Putih Domba Bunting Hasil Superovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan pada kita selaku umatnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Andriyanto, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dari mulai dilaksanakannya penelitian hingga skripsi ini selesai ditulis. Tidak lupa penulis juga menucapkan terima kasih kepada Pakde Sri, Pakde Tri, Pak Dikdik, dan Pak RK serta warga sekitar kandang tempat penelitian berlangsung.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian (Dardjat dan Ridi) yang telah bekerja keras untuk melakukan penelitian bersama. Diucapkan juga terima kasih kepada teman-teman Angkatan

44 “Gianuzzi” serta anak-anak Pondok Handajani (Rizki, Pepi, Dian, Yoda, Angga, Mas Wisnu, Pak Sem, dan Pak Orim) yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah berjuang dan berdoa untuk kesuksesan penulis. Adik satu-satunya, Fitri dan sanak saudara yang telah memberikan dukungan dan doanya. Tidak lupa juga kepada Dr. drh. Heru Setijanto, PAVet. (K), selaku dosen pembimbing akademik dan pengganti orang tua di Bogor.

Penulis memohon maaf jika terdapat kekurangan pada penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan memberikan informasi bagi yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 29 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Yayan Supian dan Ibu Siti Jenab.

Penulis masuk sekolah dasar di SDN Lebakhuni pada tahun 1995, saat kelas 2, penulis pindah sekolah mengikuti orang tua ke SDN Sukamerang 1 dan pindah lagi ke SDN Galihpakuwon 1 pada kenaikan ke kelas 5. Setelah lulus SD, pada tahun 2001, penulis melanjutkan ke SMPN 1 Limbangan dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Limbangan (sekarang SMAN 13 Garut) dan lulus pada tahun 2007.

Penulis melanjutkan ke pendidikan tinggi pada 2007. Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Superovulasi ... 4

2.2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb. ) ... 5

2.3. Leukosit (Sel Darah Putih) ... 6

2.3.1. Netrofil ... 7

2.3.2. Eosinofil ... 8

2.3.3. Basofil ... 8

2.3.4. Limfosit ... 9

2.3.5. Monosit ... 10

III. METODE ... 12

3.1. Waktu dan Tempat ... 12

3.2. Alat dan Bahan ... 12

3.3. Tahap Persiapan ... 12

3.3.1. Hewan Percobaan ... 12

3.3.2. Aklimatisasi Domba ... 12

3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum ... 13

3.4. Tahap Pelaksanaan ... 13

3.4.1. Rancangan Percobaan ... 13

3.4.2. Superovulasi ... 13

3.4.3. Pencekokan Ekstrak Temulawak Plus ... 14

3.4.4. Pengambilan dan Analisis Sampel ... 14

3.5. Parameter yang Diamati ... 15


(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

4.1. Netrofil ... 16

4.2. Basofil ... 17

4.3. Eosinofil ... 19

4.4. Limfosit ... 22

4.5. Monosit ... 24

4.6. Rasio Netrofil/Limfosit (N/L) ... 25

V. PENUTUP ... 28

5.1. Kesimpulan ... 28

5.2. Saran ... 28

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 29


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah sel darah putih sampel domba sebelum disuperovulasi untuk netrofil, basofil, eosinofil, limfosit, dan monosit

(×50/mm3)………..………… 16

Tabel 2. Rataan jumlah netrofil lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)………. 17 Tabel 3. Rataan jumlah basofil lima bulan kebuntingan pada kelompok

domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)…..………... 19 Tabel 4. Rataan jumlah eosinofil lima bulan kebuntingan pada kelompok

domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)………. 21 Tabel 5. Rataan jumlah limfosit lima bulan kebuntingan pada kelompok

domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3).……… 23 Tabel 6. Rataan jumlah monosit lima bulan kebuntingan pada kelompok

domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)….……….... 24 Tabel 7. Nilai rasio N/L pada lima bulan kebuntingan pada kelompok

domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)….…... 25


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Netrofil Segmen (Theml 2004)……….…... 7

Gambar 2. Netrofil Band (Kern 2002)………...………... 7

Gambar 3. Eosinofil (Kern 2002)……….………...…….. 8

Gambar 4. Basofil (Kern 2002)…...………...………... 9

Gambar 5. Limfosit (Theml 2004)………....……… 10

Gambar 6. Monosit (Kern 2002)………..………. 10

Gambar 7. Rataan jumlah netrofil pada 5 bulan kebuntingan dan domba tidak bunting, dengan kontrol (♦), pemberian ekstrak temulawak (▲), superovulasi (■),superovulasi + ekstrak temulawak (×), dan tidak bunting (●)……….. 18

Gambar 8. Rataan jumlah eosinofil pada 5 bulan kebuntingan dan domba tidak bunting, dengan kontrol (♦), pemberian ekstrak temulawak (▲), superovulasi (■),superovulasi + ekstrak temulawak (×), dan tidak bunting (●)……….. 21

Gambar 9. Nilai rasio N/L pada 5 bulan kebuntingan dan pada domba tidak bunting, dengan kontrol (♦), pemberian ekstrak temulawak (▲), superovulasi (■), superovulasi + ekstrak temulawak (×), dan tidak bunting (●)………. 26


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil analisis General Linear Model bulan ke-1………..… 33

Lampiran 2. Hasil analisis General Linear Model bulan ke-2……….. 35

Lampiran 3. Hasil analisis General Linear Model bulan ke-3……….. 37

Lampiran 4. Hasil analisis General Linear Model bulan ke-4……….. 39


(15)

Sekarang ini, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Tidak hanya di kawasan Asia, di regional Asia Tenggara saja Indonesia masih berada dalam urutan bawah dalam hal konsumsi protein hewani. Konsumsi daging Indonesia hanya 4,51 kg/kapita/tahun (Matanews 2009). Jumlah ini masih jauh lebih kecil dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 46,87 kg/kapita/tahun, Thailand sebanyak 18 kg/kapita/tahun, dan Filippina 13

kg/kapita/tahun (Matanews 2009). Bahkan, konsumsi protein hewani dari daging masyarakat Indonesia pada tahun 2009 adalah 2,22 g/kapita/hari (Badan Pusat Statistik 2011).

Protein hewani merupakan salah satu bagian penyusun dari setiap sel, jaringan, dan organ tubuh manusia. Protein hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap dibanding protein nabati (CDC 2011). Asam amino esensial tidak diproduksi tubuh, melainkan diperoleh dari makanan. Asam amino sebagai pembentuk protein berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan sel tubuh, termasuk sel-sel otak. Dengan demikian, secara tidak langsung pemenuhan protein hewani yang mencukupi akan turut mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Salah satu sumber protein hewani yang potensial dikembangkan ialah domba. Kandungan protein hewani yang tinggi terdapat pada dagingnya. Daging domba memiliki banyak keunggulan dari segi nutrisi dan vitamin. Daging domba memiliki kandungan omega 3 dan vitamin B12. Selain itu, ternak domba memiliki kelebihan lain, yaitu mudah berkembang biak, dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun, dan waktu reproduksinya yang pendek. Kelebihan lainnya ialah kandungan karkas domba yang dapat mencapai 40-50% dari total bobot tubuh.

Di Indonesia, kebutuhan daging domba masih sangat tinggi. Namun, penyediaan daging tersebut tidak mencukupi jumlahnya. Kebutuhan daging domba Indonesia sejumlah 651.717 ton pada tahun 2009 sedangkan produksinya baru mencapai 54.175 ton (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011a). Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, negara kita masih mengimpor daging domba ataupun domba hidup dari luar negeri. Jumlah impor


(16)

domba pada tahun 2009 adalah120.025 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011b). Mengingat kondisi yang telah dipaparkan tersebut, perlu segera dicari alternatif solusi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas domba.

Salah satu teknologi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas domba adalah superovulasi. Dengan superovulasi, domba akan memiliki jumlah anak yang lebih banyak dari normal dan memiliki bobot lahir yang lebih baik (Andriyanto dan Manalu 2010). Akan tetapi, jumlah anak yang lebih banyak ini diduga akan menyebabkan cekaman tersendiri pada domba hasil disuperovulasi (Andriyanto dan Manalu 2011). Akibatnya, anak domba yang dihasilkan oleh induk dengan litter size lebih dari tiga menjadi lebih kecil ukurannya dengan tingkat kematian pascakelahiran yang lebih tinggi. Hal ini harus ditanggulangi terutama pada domba dengan litter size lebih dari tiga agar teknologi superovulasi dapat dioptimalkan.

Temulawak secara turun temurun telah menjadi tanaman obat yang banyak digunakan masyarakat Indonesia. Temulawak berkhasiat meningkatkan nafsu makan dan memperlancar produksi cairan empedu yang pada akhirnya meningkatkan aktivitas pencernaan ransum (Arifin dan Kardiyono 1985). Manfaat lain temulawak, terutama diperoleh dari kurkuminoid, mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Wiryawan et al. 2005). Pemberian temulawak pada domba diharapkan akan meningkatkan kondisi pertahanan tubuh dan mencegah infeksi bakteri yang masuk pada domba yang disuperovulasi. Selain itu, diharapkan juga dapat mengurangi cekaman pada induk dengan litter size lebih dari tiga. Dengan demikian, domba hasil superovulasi, terutama yang memiliki litter size lebih dari tiga akan mengalami peningkatan kualitas bakalan yang dihasilkan.

Sel darah putih merupakan komponen sistem pertahanan tubuh, baik dalam pertahanan seluler maupun humoral suatu organisme terhadap zat-zat asing (Zukesti 2003). Diferensial sel darah putih dapat menggambarkan tingkat cekaman. Tingginya hormon kortisol saat terjadi cekaman dapat mempengaruhi jumlah sel darah putih, di antaranya meningkatnya jumlah netrofil serta menurunnya jumlah limfosit dan eosinofil (Zahorec 2001).


(17)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh superovulasi serta pemberian ekstrak temulawak pada diferensiasi sel darah putih domba. Selain itu, penelitian ini digunakan untuk mendapatkan formulasi yang efektif antara superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak untuk menghasilkan gambaran sel darah putih yang optimal pada domba. Penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan data dasar diferensial sel darah putih pada domba hasil superovulasi dan diberi ekstrak temulawak.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengoptimalkan teknologi reproduksi, yaitu superovulasi pada domba, dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus. Teknologi ini dapat digunakan dalam upaya peningkatan populasi dan performans ternak. Dengan demikian, upaya pemenuhan produksi daging domba dalam negeri dapat tercapai sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat.


(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Superovulasi

Superovulasi merupakan teknologi reproduksi yang memungkinkan terjadinya ovulasi yang lebih banyak dari normal dalam sekali siklus estrus. Superovulasi dapat dilakukan dengan pemberian hormon gonadotropin eksogen menjelang ovulasi. Sediaan gonadotropin eksogen yang dapat digunakan untuk menginduksi superovulasi di antaranya human chorionic gonadotrophin (hCG) dan pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG). Sediaan hCG diperoleh dari urin wanita yang sedang hamil dan mempunyai kerja utamanya seperti LH dan sedikit efek FSH. Sementara itu, PMSG diperoleh dari serum kuda yang bunting dan mempunyai kerja utamanya seperti FSH dan sedikit efek LH (Noakes et al. 2001). Hormon FSH berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan folikel dan LH berperan dalam proses ovulasi.

Superovulasi sebelum perkawinan dilaporkan dapat menghasilkan anak yang lebih banyak dari normal dalam sekali kelahiran (Andriyanto dan Manalu 2010). Banyaknya folikel yang terbentuk membuat teknologi superovulasi dapat meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Adriani et al. 2007). Superovulasi sebelum perkawinan juga dapat meningkatkan produksi susu kambing selama 5 bulan laktasi (Adriani et al. 2004) baik pada induk kambing beranak tunggal maupun pada induk kambing beranak kembar (Adriani et al. 2007). Pada babi, perlakuan superovulasi induk sebelum perkawinan dapat memperbaiki konsentrasi hormon metabolisme yang digambarkan melalui peningkatan sekresi endogen T3 dan T4 dan metabolit penting, yaitu trigliserida, protein, dan glukosa darah (Mege et al. 2011)

Jumlah anak yang lebih banyak dari normal menyebabkan tingkat kematiannya lebih tinggi sejak embrio sampai mencapai usia lepas sapih (Sutama 1990). Hal ini dikarenakan cadangan makanan dalam ovum tidak mencukupi lagi (Sumaryadi dan Manalu 1999). Zat-zat makanan tersebut dihasilkan oleh kelenjar uterus (Mc Donald 1980). Aktivitas kelenjar uterus sendiri berada di bawah kontrol hormon-hormon kebuntingan (Williams dan Provine 1966). Superovulasi sebelum perkawinan dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan


(19)

sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan fetus (prepartum) dan pertumbuhan postpartum (Adriani et al. 2004) terutama pada litter size kurang dari tiga.

2.2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli Indonesia, disebut juga Curcuma javanica (Rahardjo 2010). Temulawak telah dimanfaatkan industri obat sebagai jamu, herbal terstandar, dan obat fitofarmaka, di Indonesia maupun di mancanegara (Rahardjo 2010). Temulawak juga dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor (Anonimous 2010) dan dapat meningkatkan bobot badan dan bobot karkas ayam broiler (Adriani et al. 2009).

Klasifikasi temulawak ialah divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza roxb (Purseglove et al. 1981). Secara alami, temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari teriknya sinar matahari. Rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun, temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik, seperti tanah tegalan. Secara umum, tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis. Suhu udara yang baik untuk budi daya tanaman ini antara 19-30oC. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun.

Rimpang temulawak tersusun atas komponen utama berupa pati, abu, serat kasar, zat kuning atau kurkumin, serta minyak atsiri yang terdiri atas phelandren, kamfer, turmerol, borneol, sineal, dan xanthorrizol. Metabolit sekunder yang terkandung dalam temulawak ialah alkaloid, flavonoid, dan quinon (Candra 2008). Rimpang temulawak mengandung zat kurkumin antara 1,4-4% yang merupakan senyawa aktif tanaman Curcuma. Zat kurkumin terdiri atas dua bagian, yaitu desmitoksikurkumin dan kurkumin. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak mencapai 7,3-29,5% dan kandungan pati berkisar 37,2-61%. Temulawak mempunyai bau aromatik dan rasanya pahit. Daging rimpang temulawak mempunyai beberapa kandungan senyawa kimia, antara lain berupa fellandrean dan turmerol atau yang sering disebut minyak menguap (Nugroho et al. 2008). Rimpang temulawak juga mengandung enzim L-asparaginase yang


(20)

merupakan enzim pengkatalis reaksi penguraian asparagin menjadi asam L-aspartat dan amonia (Haninda 2007).

Kurkumin adalah zat yang melindungi eritrosit dan hemoglobin dari oksidasi oleh senyawa nitrit. Kurkumin dapat meningkatkan hepatoglobin dan sintesis protein haemopeksin dalam hati. Kolagoga adalah zat yang dapat meningkatkan fungsi empedu dan menurunkan lemak tubuh, sehingga kita mendapatkan daging rendah lemak dan daging dengan komposisi protein yang tinggi.

Minyak volatil atau disebut juga minyak atsiri, dibentuk pada retikulum endoplasma dalam sel-sel tumbuhan, dan dapat diperoleh dengan cara penyulingan. Minyak volatil tidak berpengaruh pada populasi mikroorganisme, tetapi berpengaruh positif pada enzim pencernaan. Sekarang, minyak atsiri semakin populer di bidang pertanian dan sektor peternakan karena minyak ini digunakan sebagai promotor pencernaan dan metabolisme, dan tidak menimbulkan resistensi pada hewan (Adriani et al. 2009).

Ekstrak temulawak plus merupakan sediaan ekstrak temulawak yang ditambahkan vitamin. Vitamin-vitamin yang ditambahkan ialah vitamin A, B1, B2, B6, B12, B5, dan vitamin D. Vitamin A berperan dalam memelihara kesehatan gigi, tulang, jaringan lunak, membran mukosa, dan kulit. Vitamin B1 membantu sel-sel tubuh mengubah karbohidrat menjadi energi. Vitamin B6 dan B12 membantu pembentukan sel darah merah dan pemeliharaan fungsi otak. Vitamin D membantu tubuh dalam mengabsorbsi kalsium (Evert 2011).

2.3. Leukosit (Sel Darah Putih)

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih (Zukesti 2003). Leukosit secara umum dibagi menjadi dua, yaitu leukosit granulosit dan leukosit agranulosit. Leukosit granulosit terdiri atas basofil, eosinofil, dan netrofil, sedangkan leukosit agranulosit terdiri atas limfosit dan monosit. Menurut Kristiana (2008), leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma).


(21)

2.3.1.Netrofil

Netrofil berkembang dalam sum-sum tulang kemudian dikeluarkan dalam sirkulasi. Sel-sel netrofil merupakan 60-70% dari leukosit yang beredar dalam darah. Terdapat dua jenis netrofil, yaitu netrofil segmen dan netrofil band (Kern 2002). Netrofil segmen atau yang telah dewasa mempunyai diameter antara 10-12 µm (Nabity dan Ramaiah 2010). Netrofil muda disebut juga band cell memiliki nukleus yang menggulung atau seperti batang tanpa segmentasi (Swenson 1984). Granul pada netrofil terdiri atas dua macam, yaitu granul azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase dan granul spesifik yang lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein kationik) yang dinamakan fagositin (Zukesti 2003).

Gambar 1 Netrofil Segmen (Theml 2004).

Netrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi mikroorganisme, trauma jaringan, atau gejala peradangan lain (Nabity dan Ramaiah 2010). Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam pencernaan dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D (Zukesti 2003).


(22)

2.3.2.Eosinofil

Eosinofil berasal dari sel-sel induk (stem cell) yang sama dengan netrofil dengan titik awal morfologi eosinofil dapat didefinisikan di sumsum tulang, yaitu pada tahap promielosit (Theml 2004). Eosinofil memiliki nukleus bergelambir dua, dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran antara 0,5-1,0 μm. Diameter eosinofil berkisar antara 10-15 μm dan jangka waktu hidup dalam sirkulasi darah selama 3-5 hari (Dellmann dan Brown 1989). Jumlah eosinofil hanya 1-4% leukosit darah (Zukesti 2003).

Gambar 3 Eosinofil (Kern 2002).

Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid dan mampu melakukan fagositosis, tetapi lebih lambat dan lebih selektif dibanding netrofil. Eosinofil berfungsi untuk melawan infeksi parasit dan fagositosis kompleks

antigen-antibodi (Kern 2002). Peningkatan eosinofil di atas 400/μl harus dilihat sebagai

indikasi parasitosis, alergi, dan kondisi lainnya (Theml 2004). Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses patologi (Zukesti 2003).

2.3.3.Basofil

Basofil berdiameter antara 10-12 μm dengan inti bergelambir dua atau tidak teratur (Zukesti 2003). Basofil (granulosit basofilik) dewasa secara paralel merupakan sel dari garis keturunan yang sama dengan netrofil dan eosinofil, dapat diidentifikasi pada tahap promielosit (Theml 2004). Sel basofil berukuran besar dengan butiran hitam keunguan (Theml 2004). Butir-butir tersebut mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor kemotaktik (Delmann dan Brown 1989). Basofil muncul dengan


(23)

segera pada reaksi hipersensitivitas dan berkaitan dengan imunoglobulin E (Kern 2002).

Gambar 4 Basofil(Kern 2002).

Basofil merupakan leukosit granulosit dengan jumlah yang paling sedikit pada mamalia domestik, yaitu sekitar 5% dari total leukosit dalam kondisi sehat. Dalam pembuluh darah perifer, basofil bersirkulasi secara singkat ( sekitar 6 jam) tetapi dapat hidup sampai 2 minggu dalam jaringan. Basofil masuk ke jaringan saat terjadi respons imun atau peradangan (Pohlman 2010). Untuk itu, basofil bermigrasi dari aliran darah ke dalam jaringan pada respons terhadap agen kemotaktik.

2.3.4.Limfosit

Limfosit merupakan sel dengan inti yang bulat atau oval dan sitoplasma berwarna biru pucat. Garis tengah limfosit berkisar antara 6-8 µm dan jumlahnya berkisar antara 20-30% dari total leukosit darah. Limfosit diproduksi di mana-mana, terutama di kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, dan pulau-pulau limfatik dari mukosa usus (Theml 2004). Dalam keadaan normal, limfosit memiliki inti relatif besar, berbentuk bulat dengan sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan mikroskop elektron. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik (Zukesti 2003). Menurut fungsinya, terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B merupakan efektor primer dalam sistem pertahanan humoral (berperantara antibodi), sedangkan limfosit T merupakan efektor utama dari sistem pertahanan yang diperantarai sel (Kern 2002). Limfosit B mempunyai respons pertahanan humoral dalam melawan virus, bakteri, dan allergen. Limfosit


(24)

T menyediakan pertahanan lokal untuk melawan antigen, yaitu benda asing organik dan anorganik pada hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T dibagi menjadi sel helper dan sel supresor.

Gambar 5 Limfosit (Theml 2004).

2.3.5.Monosit

Monosit merupakan sel leukosit yang besar dengan jumlah antara 3-8% dari jumlah leukosit normal (Zukesti 2003; Kern 2004), diameternya antara 9-10 µm tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20 µm atau lebih (Zukesti 2003). Inti sel monosit biasanya eksentris dengan adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda, berbentuk kacang, atau tidak beraturan. Kromatin inti kurang padat dan susunannya lebih fibriler. Keadaan ini merupakan sifat tetap monosit. Monosit diproduksi di sumsum tulang dan berkembang dari tahap awal dari seri granulositik (Theml 2004). Monosit ditemukan dalam darah, 8-14 jam kemudian monosit masuk ke jaringan dan menjadi makrofag (Kern 2002).

Gambar 6 Monosit (Kern 2002).

Monosit mempunyai dua fungsi utama. Fungsi pertama ialah fagositosis mikroorganisme (khususnya cendawan dan mikobakteri) dan debris. Fungsi kedua


(25)

ialah pemrosesan antigen yang merupakan inisiasi dari respons imun. Monosit secara terus menerus bermigrasi dari darah ke jaringan. Monosit melindungi jaringan dan dijumpai saat terjadinya proses peradangan. Monosit dibedakan ke dalam beberapa subtipe, baik yang menetap di jaringan dan bebas, dan makrofag inflamatori. Makrofag jaringan di antaranya sel kuffer, makrofag alveolar, sel mikroglia, dan osteoklast. Makrofag inflamatori terdiri atas sel epiteloid dan sel raksasa (Weiss dan Souza 2010).


(26)

III.

METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama 8 bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan Desember 2010. Penelitian dilaksanakan di peternakan domba Mitra Maju yang beralamat di Jalan Manunggal No. 1, Tegal Waru, Ciampea, Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah kandang percobaan, spuid, tabung reaksi, timbangan digital, gelas objek, kamar hitung Neubauer, dan mikroskop cahaya. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan ialah domba, albendazole, vitamin B kompleks, Prostaglandin (PGF), Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG), ekstrak temulawak plus (terdiri atas ekstrak Curcuma xanthorrhiza dan multivitamin), Etilen Diamin Tetraasetat (EDTA), giemsa, metil alkohol, larutan turk, dan antibiotik.

3.3. Tahap Persiapan 3.3.1. Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 16 ekor domba betina yang telah dewasa kelamin dengan kisaran bobot badan antara 20-25 kg. Domba-domba penelitian tersebut merupakan Domba-domba lokal yang berasal dari daerah Priangan Timur.

3.3.2. Aklimatisasi Domba

Sebelum diberikan perlakuan, domba penelitian dipelihara selama dua minggu. Pada tahap ini, domba penelitian diberikan obat cacing (albendazole), vitamin B kompleks, dan antibiotik. Pemberian albendazole dan antibiotik dimaksudkan agar domba penelitian terbebas dari infeksi cacing dan bakteri. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kesalahan akibat infeksi parasit dan bakteri.


(27)

Sementara itu, vitamin B kompleks diberikan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan mengoptimalkan kondisi tubuh domba.

3.3.3.Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang kelompok tipe panggung dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir paparan gas amoniak yang berasal dari feses. Sementara itu, pakan diberikan 3 kali sehari pada pagi, siang, dan sore. Pakan yang diberikan ialah rumput dan umbi singkong. Rumput diberikan pada pagi dan sore hari. Selanjutnya, umbi singkong diberikan pada siang hari. Air minum tersedia secara ad libitum.

3.4. Tahap Pelaksanaan 3.4.1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2×2 dan 4 ulangan. Faktor pertama ialah superovulasi sebelum perkawinan yang terdiri atas dua level, yaitu domba yang diinjeksi PMSG dan hCGdengan dosis 0 IU/ekor dan domba yang diinjeksi PMSG dan hCGdengan dosis 75-125 IU/ekor. Sementara itu, faktor kedua ialah dosis ekstrak temulawak plus yang terdiri atas dua level, yaitu domba yang diberi ekstrak temulawak plus 0 mg/kg bobot badan dan domba yang diberi ekstrak temulawak plus 1 mg/kg bobot badan.

3.4.2. Superovulasi

Tahap superovulasi diawali dengan pemeriksaan ultrasonography (USG) untuk memastikan tidak ada domba yang sedang bunting sebelum diberi PGF. Hal ini mengingat pemberian PGF pada domba yang sedang bunting akan menyebabkan abortus. Selanjutnya, sinkronisasi estrus dilakukan dengan memberikan PGF2α. Dosis yang diberikan berkisar antara 5-15 mg/ekor secara intramuskuler. Pemberian PGF2α dimaksudkan untuk melisiskan corpus luteum yang ada di ovarium domba sehingga semua domba mempunyai siklus estrus yang sama. Pemberian PGF2α dilakukan sebanyak dua kali dengan interval 11 hari. Penyuntikan PGF2α pada hari ke-11 disertai dengan pemberian PMSG dan


(28)

hCG secara intramuskuler dengan dosis 75-125 IU/ekor untuk menginduksi superovulasi.

Pada 24-36 jam setelah pemberian PMSG dan hCG, domba menunjukkan gejala estrus yang ditandai dengan memerahnya vulva, membengkaknya vulva, dan meningkatnya jumlah lendir pada vulva. Deteksi estrus juga dilakukan dengan mendekatkan domba jantan pada domba betina. Jika domba betina estrus, domba jantan memperlihatkan keinginan untuk mengawini domba betina tersebut. Kemudian, domba betina yang estrus dikawinkan secara alami dengan pejantan yang telah diseleksi. Pada hari ke-30 setelah dikawinkan, domba penelitian di-USG untuk mendeteksi kebuntingan dan menghitung jumlah fetus.

3.4.3. Pencekokan Ekstrak Temulawak Plus

Pencekokan ekstrak temulawak plus dilakukan per oral dengan dosis 1 mg/kg bobot badan. Pencekokan dilakukan setiap minggu yang dimulai pada bulan ke-2 selama periode kebuntingan.

3.4.4. Pengambilan dan Analisis Sampel

Sampel darah diambil sebelum perlakuan dan pada periode kebuntingan (bulan ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5). Sampel darah diambil dari vena jugularis dan ditampung pada tabung reaksi yang telah diberi antikoagulan (EDTA). Penghitungan jumlah sel darah putih dilakukan dengan metode hemositometer menggunakan pengencer turk. Sampel darah diambil sampai batas angka 1 pada pipet leukosit kemudian diencerkan dengan pengencer turk hingga batas angka 11. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan telunjuk. Campuran pada pipet dihomogenkan dengan membolak-balikkan pipet membentuk angka delapan. Campuran diteteskan pada kamar hitung Neubauer dan ditutup cover glass. Jumlah sel darah putih dihitung pada empat bujur sangkar di sudut kamar hitung di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran objektif 40 kali.

Diferensiasi sel darah putih dihitung dengan menggunakan metode ulas darah. Sampel darah diteteskan pada ujung gelas objek yang bersih. Sementara itu, gelas objek lain disiapkan dan dipegang pada kedua sisi panjangnya. Ujung


(29)

gelas objek pertama. Gelas objek kedua didorong sehingga darah menyebar sepanjang gelas objek pertama. Sediaan ulas darah dikeringkan dan difiksasi dengan metil alkohol selama lima menit. Sediaan yang telah difiksasi diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit. Setelah selesai, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di udara. Diferensiasi sel darah putih diamati di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran objektif 100 kali.

3.5. Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini ialah jumlah dan diferensial sel darah putih. Diferensial sel darah putih terdiri atas agranulosit yang terdiri atas limfosit dan monosit serta granulosit yang terdiri atas netrofil, eosinofil, dan basofil. Kemudian, dihitung nilai rasio N/L atau netrofil/limfosit dari jumlah yang diperoleh.

3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode General Linear Model (GLM) untuk melihat interaksi antara faktor superovulasi dengan pemberian ekstrak temulawak plus.


(30)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan superovulasi, domba diukur diferensial sel darah putihnya. Pengukuran dilakukan secara acak pada lima ekor domba yang akan digunakan. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui diferensiasi sel darah putih pada domba yang tidak bunting. Dari pengukuran diferensiasi sel darah putih tersebut, didapat nilai rasio N/L (netrofil/limfosit) pada domba tidak bunting sebesar 0,93±0,18. Selanjutnya, gambaran sel darah putih disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah sel darah putih sampel domba sebelum disuperovulasi untuk netrofil, basofil, eosinofil, limfosit, dan monosit (×50/mm3)

No Sel Darah Putih Jumlah (n=5)

1 Netrofil 37,40±3,36

2 Basofil 0,00±0,00

3 Eosinofil 1,20±1,64

4 Limfosit 40,80±5,63

5 Monosit 3,80±1,64

4.1. Netrofil

Domba yang disuperovulasi saja (SO) dan domba yang disuperovulasi dan diberi ekstrak temulawak plus (SO+TM) memiliki jumlah rata-rata netrofil yang lebih tinggi setiap bulannya dibandingkan dengan domba nonsuperovulasi yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) maupun kontrol (KO). Jumlah netrofil pada kedua kelompok tersebut mengalami kenaikan hingga bulan ke-3 dengan jumlah masing-masing (51,25±6,29)×50/mm3 dan (53,75±2,50)×50/mm3. Jumlah tersebut kemudian menurun pada bulan ke-4 dan ke-5 hingga mencapai (48,25±2,50)×50/mm3 dan (50,00±5,77)×50/mm3. Domba yang diberi ekstrak temulawak plus saja mempunyai jumlah netrofil yang meningkat setiap bulannya dari (32,25±6,08)×50/mm3 pada awal kebuntingan hingga (46,25±2,50)×50/mm3 pada akhir kebuntingan. Sementara itu, domba kontrol (yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak plus) mengalami fluktuasi netrofil setiap bulannya dengan jumlah yang lebih kecil dari kelompok SO maupun TM (Gambar 6). Fluktuasi jumlah leukosit bergantung pada kondisi hewan-hewan


(31)

tersebut pada saat dilakukan pemeriksaan (Maheshwari et al. 2001). Jumlah netrofil pada domba yang bunting lebih tinggi dibanding domba yang tidak bunting seiring meningkatnya usia kebuntingan. Domba yang tidak bunting memiliki jumlah netrofil sebanyak (37,40±3,36)×50/mm3. Al-Saad et al.(2010) mendapatkan jumlah netrofil yang lebih besar pada domba yang tidak bunting, yaitu sebanyak (69,95±8,70)×50/mm3 pada penelitian yang dilakukannya. Selanjutnya jumlah rataan netrofil disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan jumlah netrofil lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (× 50/mm3)

Bulan ke-

KO TM

SO TM SO*TM KO (n=4) SO (n=4) KO (n=4) SO (n=4)

1 35,50 ± 1,29 40,75 ±2,22 32,25 ± 6,08 40,00 ± 7,07 * - - 2 41,25 ± 0,50 47,50 ± 6,45 39,25 ± 2,22 50,00 ± 8,16 * - - 3 37,50 ± 9,57 51,25 ± 6,29 42,50 ± 5,00 53,75 ± 2,50 * - - 4 40,00 ± 7,07 50,00 ± 4,08 46,25 ± 6,29 50,00 ± 4,08 * - - 5 43,75 ± 4,79 48,25 ± 2,50 46,25 ± 2,50 50,00 ± 5,77 - - - Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; TM = Ekstrak temulawak plus; * = berpengaruh signifikan (P<0,05)

Superovulasi berpengaruh menaikkan jumlah netrofil pada bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-4 kebuntingan dibandingkan kontrol. Jumlah netrofil yang lebih tinggi dapat diakibatkan oleh tingginya sekresi hormon kebuntingan, yaitu estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut merupakan hormon steroid yang dapat meningkatkan jumlah netrofil (Tornquist dan Rigas 2010). Pada bulan ke-5, induk domba yang disuperovulasi tidak mengalami peningkatan jumlah netrofil. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Maheswari et al.(2001) yang menunjukkan peningkatan jumlah netrofil pada akhir kebuntingan secara signifikan dibanding pertengahan kebuntingan. Induk domba yang disuperovulasi sebelum perkawinan mengalami cekaman yang lebih tinggi. Cekaman ini diduga akibat tingginya litter size (Andriyanto dan Manalu 2011). Ternak yang mengalami cekaman akan membangun pertahanan diri dengan berbagai bentuk pertahanan (Isroli et al. 2002). Meningkatnya netrofil merupakan salah satu respons imun yang terjadi jika terjadi cekaman (Zahorec 2001; Tornquist dan Rigas 2010). Sejumlah besar netrofil terdapat di sepanjang permukaan endotel pembuluh darah dan dapat dengan cepat dimobilisasi saat


(32)

terjadi cekaman akut atau infeksi (Kern 2002). Fungsi utama netrofil ialah fagositosis terutama untuk infeksi bakteri (Kern 2002).

Gambar 7 Rataan jumlah netrofil pada 5 bulan kebuntingan dan domba tidak bunting, dengan kontrol (♦), pemberian ekstrak temulawak (▲), superovulasi (■),superovulasi + ekstrak

temulawak (×), dan tidak bunting (●).

Domba yang tidak disuperovulasi, yaitu kelompok KO dan TM memiliki jumlah netrofil tertinggi pada akhir kebuntingan. Jumlah ini sejalan dengan penelitian Maheswari et al.(2001) yang memiliki jumlah netrofil tertinggi pada akhir kebuntingan. Menjelang kelahiran, induk domba mengalami cekaman yang tinggi akibat dari sekresi kortisol yang dihasilkan oleh fetus yang mengalami cekaman. Kortisol yang tinggi dapat menginduksi tingginya jumlah netrofil yang dikeluarkan dari sumsum tulang ke aliran darah dan menurunnya diapedesis ke jaringan.

Domba yang hanya diberikan ekstrak temulawak plus pada awal kebuntingan mempunyai jumlah netrofil yang kecil, akan tetapi terus meningkat hingga bulan ke-5 kebuntingan. Pemberian ekstrak temulawak plus tidak berpengaruh signifikan dalam menaikkan jumlah netrofil dan tidak ada interaksi dengan superovulasi. Pemberian ekstrak temulawak plus juga tidak mengurangi cekaman metabolisme yang diduga sebagai akibat dari litter size yang besar pada domba yang disuperovulasi.

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5

Ju

m

lah

n

etr

o

fil

(

×

50)


(33)

4.2. Basofil

Jumlah rata-rata basofil pada tiap bulan hampir tidak ditemukan pada setiap kelompok perlakuan. Basofil hanya ditemukan sebanyak (0,25±0,50)×50/mm3 pada kelompok superovulasi (SO) pada kebuntingan bulan ke-1 dan ke-2 dan kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) pada bulan ke-1 kebuntingan saja. Pada domba yang tidak bunting juga tidak ditemukan basofil. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Maheshwari et al. (2001) dengan kambing sebagai hewan cobanya, yang hanya menemukan basofil pada awal kebuntingan. Basofil yang ditemukan sebanyak (1,00±0,00)×50/mm3, baik pada domba yang bunting tunggal maupun kembar. Secara umum, selama periode kebuntingan, superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus tidak mempengaruhi jumlah basofil. Basofil secara normal berjumlah kurang dari 1% dari jumlah sel darah putih (Kern 2002) atau kurang dari 10 sel dari 1000 sel darah putih.

Basofil bersama dengan sel mast dan eosinofil telah lama dianggap sebagai efektor penting dalam gangguan alergi (Costa et al. 1997). Tidak ditemukannya basofil dalam jumlah yang signifikan menandakan domba-domba penelitian tidak mengalami alergi maupun infeksi. Basofil yang ditemukan pada sebagian domba di bulan pertama kebuntingan diduga karena adanya proses adaptasi domba penelitian terhadap lingkungan yang baru. Selanjutnya, jumlah rataan basofil disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan jumlah basofil lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (× 50/mm3)

Bulan ke-

KO TM

SO TM SO*TM KO (n=4) SO (n=4) KO (n=4) SO (n=4)

1 0,00 ± 0,00 0,25 ± 0,50 0,25 ± 0,50 0,00 ± 0,00 - - - 2 0,00 ± 0,00 0,25 ± 0,50 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 - - - 3 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 - - - 4 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 - - - 5 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 - - - Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; TM = Ekstrak temulawak plus; * = berpengaruh signifikan (P<0,05)

Basofil sangat mirip dengan sel mast yang berada langsung di permukaan endotel kapiler tubuh. Sel mast membebaskan heparin ke dalam darah yang dapat


(34)

mencegah koagulasi. Basofilia pada mamalia domestik biasanya dikaitkan dengan gangguan hipersensitif berperantara IgE dan biasanya disertai dengan eosinofilia (Pohlman 2010). Potensi fagositik basofil rendah, salah satu fungsi protektifnya melibatkan pertahanan melawan cacing. Hal ini disebabkan pengaruh stimulasi sel T untuk memproduksi limfosit T helper tipe 2 (Th2). Saat tidak ada basofil, Th2 sitokin yang diproduksi oleh sel T sangat sedikit atau bahkan tidak ada (Pohlman 2010).

4.3. Eosinofil

Jumlah rata-rata eosinofil lebih tinggi pada domba kontrol (KO), yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak plus. Jumlahnya sebanyak (3,50±1,29)×50/mm3 pada bulan pertama kebuntingan dan mencapai puncaknya pada kebuntingan bulan ke-4 sebanyak (4,00±0,82)×50/mm3. Domba yang disuperovulasi saja (SO) memiliki jumlah eosinofil yang lebih kecil dari kontrol (KO). Jumlah terkecil pada bulan ke-2 kebuntingan sebanyak (0,75±0,50)×50/mm3 dan tertinggi pada bulan ke-3 dan ke-4 kebuntingan dengan masing-masing berjumlah (2,00±0,82) dan (2,00±1,15) dikali 50/mm3. Pemberian ekstrak temulawak plus menurunkan eosinofil pada bulan ke-3 dan ke-4. Jumlahnya terus meningkat dari awal hingga akhir kebuntingan. Pada bulan ke-4 terjadi interaksi antara superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus dalam menurunkan jumlah eosinofil. Interaksi tersebut menandakan adanya senyawa dalam ekstrak temulawak plus yang dapat menurunkan eosinofil baik secara langsung maupun tidak langsung. Domba yang tidak bunting memiliki jumlah eosinofil yang lebih rendah dari domba kontrol, yaitu sebesar (1,20±1,64)×50/mm3.

Domba yang disuperovulasi dan yang diberi ekstrak temulawak plus (SO+TM) mempunyai jumlah eosinofil yang relatif rendah dibandingkan dengan domba kontrol yang tidak diberi superovulasi maupun ekstrak temulawak plus (KO). Konsentrasi eosinofil yang tinggi dapat mengindikasikan adanya infeksi parasit (Maheshwari et al. 2001). Dengan rendahnya kadar eosinofil tersebut maka kedua perlakuan dapat mengurangi infeksi parasit. Ekstrak rimpang temulawak sendiri mempunyai efek antimikroba terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus (Mashita 2008). Sari air bebas minyak atsiri dan minyak


(35)

atsiri yang terkandung dalam temulawak mempunyai aktivitas antihelmentik terhadap cacing askaris baik pada tahap perkembangan telur menjadi telur berembrio, perkembangan telur berembrio menjadi larva, dan melumpuhkan cacing dewasa (Sukandar et al. 1997). Selanjutnya, jumlah rataan eosinofil disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan jumlah eosinofil lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)

Bulan ke-

KO TM

SO TM SO*TM KO (n=4) SO (n=4) KO (n=4) SO (n=4)

1 3,50 ±1,29 1,50 ± 0,58 0,75 ±0,50 0,25 ± 0,50 * - - 2 3,25 ± 2,22 0,75 ± 0,50 1,00 ± 0,82 0,50 ± 0,58 * - - 3 3,00 ± 0,82 1,50 ± 1,29 1,25 ± 0,96 1,00 ± 0,82 - * - 4 4,00 ± 0,82 2,00 ± 0,82 1,75 ± 0,50 1,75 ± 0,50 * * * 5 3,50 ± 1,00 2,00 ± 1,15 2,50 ± 1,29 2,75 ± 1,71 - - - Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; TM = Ekstrak temulawak plus; * = berpengaruh signifikan (P<0,05)

Penyebab paling umum dari eosinofilia adalah infeksi parasit, reaksi alergi, dan penyakit kulit atopik (Kern 2002; Theml 2004). Eosinofilia juga dapat dilihat pada infeksi lain, neoplasma, penyakit autoimun (kolagen vaskular), dan dalam berbagai kondisi lain. Peranan eosinofil dalam melawan cacing sangat spesifik. Eosinofil bekerja dengan sel T, kemudian menempel pada larva cacing dengan opsonisasi oleh IgG, IgE, atau komplemen. Eosinofil menyerang integumen cacing dan mengeluarkan secara terus menerus toksin dan enzim hidrolitik (Young dan Meadows 2010).

Gambar 8 Rataan jumlah eosinofil pada 5 bulan kebuntingan dan domba tidak bunting, dengan kontrol (♦), pemberian ekstrak temulawak (▲), superovulasi (■),superovulasi + ekstrak temulawak (×), dan tidak bunting (●).

0 1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

Ju m lah eo sin o fil ( × 50) Bulan ke-


(36)

Jumlah eosinofil cenderung lebih besar pada akhir kebuntingan dibandingkan dengan awal dan pertengahan kebuntingan pada kelompok domba perlakuan, yaitu superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus. Sementara itu, kelompok domba kontrol mempunyai jumlah eosinofil yang tinggi pada pertengahan kebuntingan dibanding awal dan akhir kebuntingan (Gambar 8). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ullrey et al. (1965) yang menunjukkan tingginya jumlah eosinofil pada pertengahan kebuntingan. Pada ruminansia, jumlah eosinofil meningkat karena adanya infeksi parasit dan dapat menurun jika terjadi cekaman atau pemberian kortikosteroid (Tornquist dan Rigas 2010).

4.4. Limfosit

Kadar limfosit dalam darah relatif lebih tinggi pada akhir kebuntingan (bulan ke-5) dengan jumlah yang hampir sama untuk setiap perlakuan. Tidak ada interaksi superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus pada jumlah limfosit. Pemberian ekstrak temulawak plus menurunkan limfosit pada bulan ke-4 kebuntingan saja. Pada bulan ini, jumlah limfosit lebih rendah pada domba yang diberikan ekstrak temulawak plus, baik yang di superovulasi (SO+TM) maupun tidak (TM), dibandingkan dengan yang tidak diberi ekstrak temulawak plus (KO dan SO). Perlakuan superovulasi tidak mempengaruhi jumlah limfosit. Jumlah limfosit tidak berbeda nyata dari setiap perlakuan dengan jumlah terendah (35,00±4,08)×50/mm3 dan tertinggi (50,00±9,13)×50/mm3. Sementara itu, domba yang tidak bunting memiliki jumlah limfosit sebanyak (40,80±5,63)×50/mm3. Jumlah limfosit domba tidak bunting lebih tinggi dari hasil penelitian Javed et al. (2010) yang mendapatkan limfosit dengan jumlah (35,18±0,43)×50/mm3.

Limfosit dapat menjadi parameter adanya cekaman. Dalam kondisi cekaman, kadar limfosit dalam darah akan menurun (Zahorec 2001; Tornquist dan Rigas 2010). Jumlah limfosit yang tinggi mengindikasikan terjadinya peradangan (Maheshwari et al. 2001). Jumlah limfosit berada dalam kisaran normal, yaitu pada kisaran 2.000–9.000/µl (Jain 1993). Dengan demikian, dapat dikatakan domba-domba tersebut tidak mengalami peradangan jika dilihat dari gambaran limfosit. Selanjutnya, jumlah rataan limfosit disajikan pada Tabel 5.


(37)

Tabel 5. Rataan jumlah limfosit lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)

Bulan ke-

KO TM

SO TM SO*TM KO (n=4) SO (n=4) KO (n=4) SO (n=4)

1 40,00 ± 10,46 38,00 ± 6,73 35,00 ± 4,08 43,75 ± 4,79 - - - 2 41,25 ± 13,15 43,75 ± 4,79 41,25 ± 8,54 45,00 ± 8,16 - - - 3 38,75 ± 8,54 36,25 ± 6,29 35,00 ± 4,08 40,00 ± 7,07 - - - 4 50,00 ± 4,08 46,25 ± 8,54 40,00 ± 4,08 38,75 ± 4,79 - * - 5 50,00 ±7,07 50,00 ± 9,13 46,25 ± 6,29 48,75 ± 4,79 - - - Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; TM = Ekstrak temulawak plus; * = berpengaruh signifikan (P<0,05)

Jumlah limfosit lebih tinggi pada akhir kebuntingan untuk setiap kelompok domba (Tabel 5). Hal ini berlawanan dengan hasil yang diperoleh Maheshwari et al. (2001) yang menunjukkan rendahnya jumlah limfosit pada akhir kebuntingan. Pada akhir kebuntingan, terutama menjelang kelahiran tingkat cekaman cukup tinggi. Hal ini diakibatkan sekresi kortisol dari korteks adrenal fetus yang mengalami cekaman. Tingginya kortikosteroid dan kortisol saat terjadi cekaman mengakibatkan jumlah limfosit menurun (Tornquist dan Rigas 2010). Sementara itu, limfositosis pada ruminansia dapat terjadi pada infeksi virus yang kronis, trypanosomiasis kronis, dan peradangan kronis yang lain yang menyebabkan pelepasan epinefrin (Tornquist dan Rigas 2010).

Pemberian ekstrak temulawak plus berpengaruh menurunkan jumlah limfosit pada bulan ke-4 kebuntingan (Tabel 5). Dalam ekstrak temulawak plus terdapat beberapa zat yang terkandung, di antaranya kurkumin, minyak atsiri, serta vitamin. Minyak atsiri dapat berkhasiat sebagai antimikroba, sehingga jumlah limfosit tidak mengalami peningkatan yang signifikan karena domba penelitian tidak mengalami peradangan. Vitamin yang terkandung di dalamnya juga berkhasiat dalam meningkatkan sistem imun (Fatmah 2006). Vitamin A berperan dalam pematangan sel-sel T dan merangsang fungsi sel T. Vitamin B6 dapat memperbaiki respons limfosit dalam sistem imun, vitamin B12 dapat meningkatkan jumlah sel darah putih, dan vitamin D yang dapat menghambat respons limfosit Th-1 (Fatmah 2006). Limfosit Th-1 dapat memperantarai terjadinya autoimmune hemolytic anemia (Day 2010).


(38)

4.5. Monosit

Jumlah rata-rata monosit pada tiap perlakuan tidak berbeda. Jumlah monosit berada pada kisaran 3,50 ± 1,29sampai 6,75 ± 1,50 × 50/mm3 dengan pola yang meningkat pada akhir masa kebuntingan. Jumlah monosit berfluktuasi pada pertengahan kebuntingan. Pada domba kontrol (KO), jumlah monosit cenderung menurun pada akhir kebuntingan dibandingkan bulan pertama kebuntingan. Semua perlakuan pada domba, baik superovulasi maupun pemberian ekstrak temulawak plus, tidak berpengaruh secara signifikan dalam menaikkan maupun menurunkan jumlah monosit (Tabel 6). Sementara itu, rataan jumlah monosit pada domba yang tidak bunting ialah 3,80±1,64 × 50/mm3. Secara umum domba yang bunting memiliki jumlah monosit yang lebih banyak dari domba yang tidak bunting. Selanjutnya jumlah rataan limfosit disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan jumlah monosit lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi (×50/mm3)

Bulan ke-

KO TM

SO TM SO*TM KO (n=4) SO (n=4) KO (n=4) SO (n=4)

1 5,75 ± 0,96 3,50 ± 1,29 4,25 ± 3,30 3,75 ± 2,22 - - - 2 4,50 ± 1,29 4,50 ± 2,38 5,00 ± 1,41 3,25 ± 1,50 - - - 3 6,00 ± 2,16 5,00 ± 2,16 5,50 ± 1,29 4,50 ± 1,29 - - - 4 5,75 ± 2,63 5,00 ± 2,94 5,25 ± 2,06 4,00 ± 2,31 - - - 5 5,50 ± 0,58 6,00 ± 2,16 6,75 ± 1,50 5,25 ± 2,75 - - - Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; TM = Ekstrak temulawak plus; * = berpengaruh signifikan (P<0,05)

Monosit biasanya hadir dalam akhir peradangan akut dan kronis, khususnya pada kasus Endocarditis lenta, listeriosis, brucellosis, tuberculosis (Theml 2004). Jumlah monosit pada domba berada pada kisaran normal. Hal ini menandakan domba penelitian tidak mengalami infeksi akut maupun kronis. Ruminansia memiliki jumlah monosit kurang dari 1000 sel/mm3 dalam darah (Weiss dan Souza 2010). Monosit merupakan sistem pertahanan pertama dalam tubuh bersama netrofil. Monosit dapat berubah menjadi makrofag jika masuk ke jaringan (Zukesti 2003). Fungsi utama makrofag adalah membatasi replikasi mikroorganisme intraseluler (Weiss dan Souza 2010). Sebagai contoh, sel


(39)

makrofag memiliki peranan penting dalam pertahanan melawan beberapa organisme termasuk Mycobacterium, Leishmania, Rhodococcus, Toxoplasma, Listeria, Brucella, Salmonella, Yersinia, Shegellia, Rickettsia, Legionella, dan Theileria.

4.6. Rasio Netrofil/Limfosit (N/L)

Rasio N/L atau netrofil/limfosit dapat menggambarkan tingkat cekaman. Nilai N/L dapat merefleksikan kenaikan kadar kortisol plasma yang merupakan salah satu hormon stres (Widowski et al. 1989). Domba yang tidak bunting, memiliki nilai rataan N/L sebesar 0,93±0,18. Sementara itu, domba yang disuperovulasi, baik yang dicekok ekstrak temulawak plus (SO+TM) maupun yang tidak (SO), memiliki nilai rataan N/L lebih besar dibanding kontrol (KO). Rataan nilai N/L pada kelompok kontrol ialah 0,91±0,08 dan pada domba yang dicekok ekstrak temulawak saja sebesar 1,05±0,13. Sementara itu, domba yang disuperovulasi saja memiliki nilai N/L sebesar 1,13±0,16 dan domba yang disuperovulasi dengan dicekok ekstrak temulawak plus sebesar 1,14±0,18. Terjadi fluktuasi nilai N/L pada kontrol (Gambar 9). Selanjutnya nilai rasio N/L disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rasio N/L pada lima bulan kebuntingan pada kelompok domba kontrol dan yang diberi ekstrak temulawak plus baik yang tidak maupun yang disuperovulasi

Bulan ke-

KO TM

SO TM SO*TM KO (n=4) SO (n=4) KO (n=4) SO (n=4)

1 0,89±0,23 1,07±0,25 0,92±0,16 0,91±0,25 - - - 2 1,00±0,44 1,09±0,06 0,95±0,26 1,11±0,31 - - - 3 0,97±0,34 1,41±0,38 1,21±0,19 1,34±0,20 - - - 4 0,80±0,16 1,08±0,31 1,16±0,12 1,29±0,23 - * - 5 0,88±0,09 0,98±0,22 1,00±0,14 1,03±0,21 - - - Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; TM = Ekstrak temulawak plus; *=berpengaruh signifikan

Domba yang disuperovulasi saja, diberi ekstrak temulawak plus saja, dan kombinasi keduanya menunjukkan kenaikan nilai N/L pada setiap bulannya dan mencapai puncak pada bulan ke-3 dengan rasio N/L masing-masing ialah 1,41±0,38; 1,21±0,19; dan 1,34±0,30. Setelah itu, jumlahnya menurun hingga akhir kebuntingan. Secara umum, domba yang bunting memiliki nilai rasio N/L yang lebih besar dari domba yang tidak bunting (0,93±0,18) kecuali pada kontrol


(40)

di awal dan akhir masa kebuntingan (Gambar 9). Domba dewasa memiliki rasio sekitar N/L 1,00 sedangkan domba yang baru lahir nilainya lebih besar dari 1,00 (Tornquist dan Rigas 2010).

Tingginya rasio N/L pada domba yang disuperovulasi semakin menguatkan dugaan bahwa superovulasi memberikan cekaman tersendiri terhadap domba yang bunting. Hal ini dikarenakan superovulasi sebelum perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi estradiol dan progesteron (Adriani et al. 2007). Tingginya estradiol menyebabkan meningkatnya kadar corticotrophin releashing hormone (Roy et al. 1999) sehingga kadar kortisol juga tinggi. Keadaan ini menggambarkan terjadinya cekaman. Domba superovulasi yang diberi ekstrak temulawak plus (SO+TM) mempunyai rataan litter size 2,50±0,58 dan yang tidak diberi ekstrak temulawak plus (SO) sebesar 2,25±0,50. Nilai tersebut 2 kali lipat dari litter size domba yang tidak disuperovulasi, baik yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) maupun yang tidak (KO) , dengan rataan litter size 1,25±0,50. Litter size yang lebih tinggi pada domba superovulasi memberikan beban metabolisme yang lebih tinggi pula. Keadaan ini diduga memberikan cekaman yang lebih tinggi terhadap domba superovulasi (Andriyanto dan Manalu 2011).

Gambar 9 Nilai rasio N/L pada 5 bulan kebuntingan dan pada domba tidak bunting, dengan kontrol (♦), pemberian ekstrak temulawak (▲), superovulasi (■), superovulasi + ekstrak temulawak (×), dan tidak bunting (●).

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60

1 2 3 4 5

R

asio

N/L


(41)

Pemberian ekstrak temulawak plus berperan menaikkan rasio N/L pada bulan ke-4 dibanding kontrol. Pemberian ekstrak temulawak plus tidak mengurangi tingkat cekaman akibat superovulasi. Domba yang diberi ekstrak temulawak plus (kelompok TM dan SO+TM) memiliki rataan nilai N/L yang lebih besar dibanding kontrol dan pada 2 bulan akhir kebuntingan nilainya lebih besar dari kelompok domba superovulasi saja (SO). Dengan kondisi seperti ini, pemberian ekstrak temulawak plus tidak efektif diberikan pada domba yang disuperovulasi. Induk yang diberi ekstrak temulawak plus memiliki bobot fetus yang lebih besar dibanding anak yang berasal dari induk yang tidak diberi ekstrak temulawak plus. Keadaan ini memberikan beban metabolisme yang lebih tinggi pada induk yang diberi ekstrak temulawak plus.


(42)

V.

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Superovulasi dapat menyebabkan cekaman pada domba yang bunting. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah netrofil dan rasio N/L yang merupakan indikator tingginya cekaman. Sementara itu, pemberian ekstrak temulawak plus tidak berpengaruh pada cekaman pada periode kebuntingan. Formulasi yang tepat untuk meningkatkan produktivitas domba ialah superovulasi tanpa pemberian ekstrak temulawak plus. Data dasar diferensiasi sel darah putih domba bunting yang disuperovulasi dan diberi ekstrak temulawak plus didapatkan dalam penelitian ini.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan tanaman herbal lain yang dapat memberikan lebih banyak pengaruh yang signifikan pada diferensiasi sel darah putih dan dapat mengurangi cekaman. Perlu juga dilakukan pengukuran kortisol darah untuk mengetahui tingkat cekaman.


(43)

VI.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani L, Sujana E, Mushawwir A, Maradona A. 2009. The effect of ration with antibiotics (Virginamycin) and temulawak (Curcuma xanthorriza roxb.) to broiler performances. Proceeding of The 1st International Seminar on Animal Industry. Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University, Bogor. Hlm 103-105

Adriani, Sutama I K, Sudono A, Sutardi T, Manalu W. 2004. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan etawah. Anim Prod 6(2): 86-94

Adriani, Sudono A, Sutardi T, Manalu W , Sutama I K. 2007. Pertumbuhan prenatal dalam kandungan kambing melalui superovulasi. HAYATI J Biosci 14(2):44-48

Andriyanto, Manalu W. 2010. Prospek penerapan teknologi perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingn pada domba skala peternakan rakyat. Prosiding Seminar Nasional Peranan Teknologi Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional. Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hlm. 125-127

Andriyanto, Manalu W. 2011.Potency of ethanol extract Curcuma xanthriza as a natural growth promotor in pregnant ewes with suprovulation. Globalization of Jamu Brand Indonesia. The 2nd Internationl Symposium on Temulawak. The 40th Meeting of National Working Group on Indonesian Medical Plant. IICC, Bogor. Hlm. 134-136

Anonimous. 2010. Lembaran Informasi: Temu Lawak. Jakarta: Yayasan Spiritia. Arifin Z, Kardiyono. 1985. Temulawak dalam pengobatan tradisional. Dalam:

Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga penelitian Universitas Padjajaran. Hlm. 210-219

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2011. Populasi ternak 2000-2008. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24& notab=12. [14 Mei 2011].

Candra A A. 2008. Efektivitas Pemberian Infus dan Bubuk Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) terhadap Penampilan dan Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria maxima [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. 2011. Protein. http://www.cdc.gov/nutrition/ everyone/basics/protein.html [14 September 2011].

Costa JJ, Weller PF, Galli SJ. 1997. The cells of the allergic response – mast cells, basophils, and eosinophils. J Am Med Assoc 278 (22): 1815–1822


(44)

Day MJ. 2010. Immune - mediated anemias in the dog. Di dalam: Weiss DJ, Wardrop K. J, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 216-225

Dellmann HD, Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner, Edisi ke-3. Jan Tambayong, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology 3rd ed.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan [DITJENNAK]. 2011a. Produksi daging nasional per provinsi – domba. http://www.ditjennak.go.id/ basisdataproses.asp?thn1=2008&thn2=2008&jd=Domba&button=Submit&r ep=5&ket=Produksi+Daging+Nasional+Per+Provinsi+. [10 Juli 2011] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan [DITJENNAK]. 2011b.

Pemasukan Domba Tahun 2005-2009 (Per Propinsi). http://www.ditjennak.go.id/bank/Tabel_3_17.pdf. [10 Juli 2011]

Evert A. 2011. Vitamins. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/ 002399.htm [20 september 2011]

Fatmah. 2006. Respons imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut. Makara Kesehatan 10(1): 47-53

Haninda DA. 2007. Isolasi dan karakterisasi enzim l-asparaginase dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) dalam sediaan utuh dan serbuk [Abstrak]. Di dalam: Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Kimia FMIPA UNDIP; Semarang, 12 Feb 2010. Semarang: Jurusan Kimia, FMIPA UNDIP.

Isroli, Sudarmoyo B, Widyastuti E, Yudiarti T, Sartono TA, Pratikno H. 2002. Pengaruh cekaman panas terhadap gambaran hematologi domba lokal. Laporan Penelitian. Semarang: Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Pennsylvania: Lea and Febiger.

Javed MT, Ahmad L, Irfan M, Ali I, Khan et al. 2010.Haematological and serum protein values in tuberculin reactor and non-reactor water buffaloes, cattle, sheep and goats. Pak Vet J 30(2): 100-104

Kern MD W. 2002. PDQ Hematology. USA: Pmph USA.

Kristiana H. 2008. Gambaran Darah Mencit (Mus musculus albinus) yang Diberi Salep ekstrak Etanol dan Fraksi Hexan Rimpang Kunyit (Curcuma longa linn.) Pada Proses Persembuhan Luka. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Maheshwari H, Isdoni B, Ekastuti DR, Kusumorini N. 2001. Gambaran darah kambing yang bunting tunggal dan kembar. Med Pet 24(3): 77-82


(45)

Mashita AR. 2008. Efek antimikroba ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus [tesis]. Malang: Departemen Pendidikan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Malang.

Matanews. 2009. Konsumsi protein hewani Indonesia terendah di Asean. http://matanews.com/2009/12/17/konsumsi-protein-hewani-indonesia

terendah-di-asean/. [14 Mei 2011].

Mc Donald L.E. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction, 3rd ed. Philadelphia: Lea and Febriger.

Mege RA, Manalu W, Kusumorini N, Nasution SH. 2011. Konsentrasi hormon tiroid dan metabolit darah induk babi disuperovulasi sebelum perkawinan. Anim Prod 11(2) 88-95

Nabity MB, Ramaiah SK. 2010. Neutrophil structure and biochemistry. Di dalam: Weiss DJ, Wardrop K. J, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 263-267

Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW, editor. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstericks 8th ed. Philadelphia: W.B Saunders

Nugroho B, Malau DP, Rokhmanto F, Laili N. 2008. Pengaruh suhu ekstraksi terhadap kandungan kurkuminoid dan air serbuk temulawak (Curcuma xanthorrhiza). LIPI: Diklat Metode Penelitian dan Pengolahan Data.

Pohlman LM. 2010. Basophils, mast cells, and their disorders. Di dalam: Weiss DJ, Wardrop K. J, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 290-297

Purseglove JW, Brown EG, dan Green CL. 1981. Spices. London: Longmans. Rahardjo M. 2010. Penerapan SOP budi daya untuk mendukung temulawak

sebagai bahan baku obat potensial. Prospektif 9(2): 78-93

Roy BN, Reid RL, Van Vugt DA. 1999. The effects of estrogen and progesterone on corticotropin-releasing hormone and arginine vasopressin messenger ribonucleic acid levels in the paraventricular nucleus and supraoptic nucleus of the rhesus monkey.Endoc Soc 140 (5): 2191-2198

Al-Saad KM, Al-Hadi HI, Abdul Majeed MO. 2010. Clinical, hematological, biochemical, and pathological studies on zinc deficiency (hyperzincemia) in sheep. Vet Res. 3(2): 14-20

Sukandar EY, Suganda AG, Ranti AS, Kristiana DW. 1997. Efek anthelmentika Zingiber zerumbet, Zingiber cassumunar, dan Curcuma xanthorrhiza terhadap cacing Ascaris suum. Majalah Farmasi Indonesia 8(1): 12-23 Sumaryadi MY , Manalu W. 1999. Correlation between lamb birth weight and the

concentration of hormones and metabolites in the maternal serum during pregnancy. J Agric Sci 133:227-234.


(46)

Sutama IK. 1990. Production and reproductive performance of javanese fat tail sheep. Production Aspects of Javanese Fat Tail Sheep in Indonesia.

Proceeding of the Workshop at the Indonesian Small Ruminant Network;

Surabaya, 10-11 Aug 1990. Surabaya: Indonesian Small Ruminant Network. Hlm: 69-78

Swenson MJ. 1984. Dukes Physiology of Domestic Animals 10th ed. Ithaca and London: Cornell University Press.

Theml H, Diem H, Haferlach T. 2004. Color atlas of hematology, PracticalMicroscopic and Clinical Diagnosis. Stuttgart: Thieme.

Tornquist SJ, Rigas J. 2010. Interpretation of ruminant leukocyte responses. Di dalam: Weiss DJ, Wardrop K.J, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 307-313

Ullrey DE, Miller ER, Long CH, Vincent BH. 1965. Sheep hematology from birth to maturity II. Leukocyte concentration and differential distribution. J Anim Sci 24: 141-144.

Weiss DJ, Souza CD. 2010. Monocytes and macrophages and their disorders. Di dalam: Weiss Douglas J, Wardrop K. J, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 298-306 Widowski TM, Curtis SE, Graves CN.1989. The neutrophil:lymphocyte ratio in

pig fed cortisol.Can J Anim Sci 69(2): 501-504

Williams HE, Provine HT. 1966. Effects of estradiol on glycogen synthetase in

the rat uterus. Endocrinology. 78(4): 786-790. http://endo. endojournals.org/content/78/4/786.short

Wiryawan KG, Suharti S, Bintang M. 2005. Kajian antibakteri temulawak, jahe dan bawang putih terhadap Salmonella typhimuriam serta pengaruh bawang putih terhadap performans dan respons imun ayam pedaging. Med. Pet. 28 (2): 52-62

Young KM, Meadows RL. 2010. Eosinophils and their disorders. Di dalam: Weiss Douglas J, Wardrop K.J, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 281-289

Zahorec R. 2001. Ratio of neutrophil to lymphocyte counts-rapid and simple parameter of systemic inflammation and stress in critically ill. Bratisl Lek Listy 102 (1): 5–14

Zukesti E. 2003. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Sumatera Utara: Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/histologi-zukesti2.pdf [11 Januari 2011]


(47)

VII.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis General Linear Model bulan ke-1

Between-Subjects Factors

N

Faktor1 0 8

1 8

Faktor2 2 8

3 8

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model Netrofil 191.250a 3 63.750 2.727 .091

Basofil .250b 3 .083 .667 .588

Eosinofil 24.500c 3 8.167 13.067 .000 Limfosit 161.687d 3 53.896 1.110 .383

Monosit 12.188e 3 4.062 .882 .478

NperL .093f 3 .031 .613 .620

Intercept Netrofil 22052.250 1 22052.250 943.412 .000

Basofil .250 1 .250 2.000 .183

Eosinofil 36.000 1 36.000 57.600 .000 Limfosit 24570.562 1 24570.562 505.958 .000 Monosit 297.562 1 297.562 64.629 .000

NperL 15.152 1 15.152 299.376 .000

Faktor1 Netrofil 169.000 1 169.000 7.230 .020

Basofil .000 1 .000 .000 1.000

Eosinofil 6.250 1 6.250 10.000 .008

Limfosit 45.562 1 45.562 .938 .352

Monosit 7.562 1 7.562 1.643 .224

NperL .033 1 .033 .658 .433

Faktor2 Netrofil 16.000 1 16.000 .684 .424

Basofil .000 1 .000 .000 1.000

Eosinofil 16.000 1 16.000 25.600 .000

Limfosit .562 1 .562 .012 .916

Monosit 1.562 1 1.562 .339 .571

NperL .033 1 .033 .658 .433


(48)

Basofil .250 1 .250 2.000 .183

Eosinofil 2.250 1 2.250 3.600 .082

Limfosit 115.562 1 115.562 2.380 .149

Monosit 3.062 1 3.062 .665 .431

NperL .026 1 .026 .522 .484

Error Netrofil 280.500 12 23.375

Basofil 1.500 12 .125

Eosinofil 7.500 12 .625

Limfosit 582.750 12 48.562

Monosit 55.250 12 4.604

NperL .607 12 .051

Total Netrofil 22524.000 16

Basofil 2.000 16

Eosinofil 68.000 16 Limfosit 25315.000 16 Monosit 365.000 16

NperL 15.852 16

Corrected Total Netrofil 471.750 15

Basofil 1.750 15

Eosinofil 32.000 15 Limfosit 744.437 15

Monosit 67.438 15

NperL .700 15

Grand Mean

Dependent

Variable Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Netrofil 37.125 1.209 34.491 39.759

Basofil .125 .088 -.068 .318

Eosinofil 1.500 .198 1.069 1.931 Limfosit 39.188 1.742 35.392 42.983

Monosit 4.312 .536 3.144 5.481

NperL .973 .056 .851 1.096


(49)

Lampiran 2 Hasil analisis General Linear Model bulan ke-2

Between-Subjects Factors

N

Faktor1 0 8

1 8

Faktor2 2 8

3 8

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model netrofil 309.500a 3 103.167 2.217 .139

basofil .187b 3 .062 1.000 .426

eosinofil 19.250c 3 6.417 4.162 .031

limfosit 42.188d 3 14.062 .168 .916

monosit 6.688e 3 2.229 .770 .533

NperL .052f 3 .017 .194 .899

Intercept netrofil 31684.000 1 31684.000 680.766 .000

basofil .062 1 .062 1.000 .337

eosinofil 30.250 1 30.250 19.622 .001 limfosit 29326.562 1 29326.562 349.733 .000 monosit 297.562 1 297.562 102.755 .000

NperL 18.598 1 18.598 206.875 .000

Faktor1 netrofil 289.000 1 289.000 6.209 .028

basofil .062 1 .062 1.000 .337

eosinofil 9.000 1 9.000 5.838 .033

limfosit 39.062 1 39.062 .466 .508

monosit 3.062 1 3.062 1.058 .324

NperL .025 1 .025 .276 .609

Faktor2 netrofil .250 1 .250 .005 .943

basofil .062 1 .062 1.000 .337

eosinofil 6.250 1 6.250 4.054 .067

limfosit 1.562 1 1.562 .019 .894

monosit .562 1 .562 .194 .667

NperL .001 1 .001 .012 .915

Faktor1 * Faktor2 netrofil 20.250 1 20.250 .435 .522

basofil .062 1 .062 1.000 .337

eosinofil 4.000 1 4.000 2.595 .133


(50)

monosit 3.062 1 3.062 1.058 .324

NperL .026 1 .026 .294 .598

Error netrofil 558.500 12 46.542

basofil .750 12 .062

eosinofil 18.500 12 1.542

limfosit 1006.250 12 83.854

monosit 34.750 12 2.896

NperL 1.079 12 .090

Total netrofil 32552.000 16

basofil 1.000 16

eosinofil 68.000 16 limfosit 30375.000 16 monosit 339.000 16

NperL 19.729 16

Corrected Total netrofil 868.000 15

basofil .937 15

eosinofil 37.750 15 limfosit 1048.438 15

monosit 41.438 15

NperL 1.131 15

Grand Mean

Dependent

Variable Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound netrofil 44.500 1.706 40.784 48.216

basofil .062 .062 -.074 .199

eosinofil 1.375 .310 .699 2.051

limfosit 42.812 2.289 37.825 47.800

monosit 4.312 .425 3.386 5.239

NperL 1.078 .075 .915 1.241


(51)

Lampiran 3 Hasilanalisis General Linear Model bulan ke-3

Between-Subjects Factors

N

Faktor1 0 8

1 8

Faktor2 2 8

3 8

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model netrofil 687.500a 3 229.167 5.641 .012

basofil .000b 3 .000 . .

eosinofil 9.687c 3 3.229 3.298 .058

limfosit 62.500d 3 20.833 .465 .712

monosit 5.000e 3 1.667 .526 .673

NperL .464f 3 .155 1.826 .196

Intercept netrofil 34225.000 1 34225.000 842.462 .000

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 45.562 1 45.562 46.532 .000 limfosit 22500.000 1 22500.000 502.326 .000 monosit 441.000 1 441.000 139.263 .000

NperL 25.604 1 25.604 302.390 .000

Faktor1 netrofil 625.000 1 625.000 15.385 .002

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 3.062 1 3.062 3.128 .102

limfosit 6.250 1 6.250 .140 .715

monosit 4.000 1 4.000 1.263 .283

NperL .354 1 .354 4.181 .063

Faktor2 netrofil 56.250 1 56.250 1.385 .262

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 5.062 1 5.062 5.170 .042

limfosit .000 1 .000 .000 1.000

monosit 1.000 1 1.000 .316 .584

NperL .017 1 .017 .200 .663

Faktor1 * Faktor2 netrofil 6.250 1 6.250 .154 .702

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 1.562 1 1.562 1.596 .230

limfosit 56.250 1 56.250 1.256 .284

monosit .000 1 .000 .000 1.000


(1)

Lampiran 3 Hasil

analisis General Linear Model bulan ke-3

Between-Subjects Factors

N

Faktor1 0 8

1 8

Faktor2 2 8

3 8

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model netrofil 687.500a 3 229.167 5.641 .012

basofil .000b 3 .000 . .

eosinofil 9.687c 3 3.229 3.298 .058

limfosit 62.500d 3 20.833 .465 .712

monosit 5.000e 3 1.667 .526 .673

NperL .464f 3 .155 1.826 .196

Intercept netrofil 34225.000 1 34225.000 842.462 .000

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 45.562 1 45.562 46.532 .000

limfosit 22500.000 1 22500.000 502.326 .000

monosit 441.000 1 441.000 139.263 .000

NperL 25.604 1 25.604 302.390 .000

Faktor1 netrofil 625.000 1 625.000 15.385 .002

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 3.062 1 3.062 3.128 .102

limfosit 6.250 1 6.250 .140 .715

monosit 4.000 1 4.000 1.263 .283

NperL .354 1 .354 4.181 .063

Faktor2 netrofil 56.250 1 56.250 1.385 .262

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 5.062 1 5.062 5.170 .042

limfosit .000 1 .000 .000 1.000

monosit 1.000 1 1.000 .316 .584

NperL .017 1 .017 .200 .663

Faktor1 * Faktor2 netrofil 6.250 1 6.250 .154 .702

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 1.562 1 1.562 1.596 .230

limfosit 56.250 1 56.250 1.256 .284

monosit .000 1 .000 .000 1.000


(2)

NperL 27.084 16

Corrected Total netrofil 1175.000 15

basofil .000 15

eosinofil 21.437 15

limfosit 600.000 15

monosit 43.000 15

NperL 1.480 15

Grand Mean

Dependent

Variable Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

netrofil 46.250 1.593 42.778 49.722

basofil .000 .000 .000 .000

eosinofil 1.688 .247 1.149 2.226

limfosit 37.500 1.673 33.854 41.146

monosit 5.250 .445 4.281 6.219

NperL 1.265 .073 1.107 1.423


(3)

Lampiran 4 Hasil analisis General Linear Model bulan ke-4

Between-Subjects Factors

N

Faktor1 0 8

1 8

Faktor2 2 8

3 8

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model netrofil 267.187a 3 89.062 2.898 .079

basofil .000b 3 .000 . .

eosinofil 14.250c 3 4.750 10.364 .001

limfosit 337.500d 3 112.500 3.484 .050

monosit 6.500e 3 2.167 .344 .794

NperL .541f 3 .180 3.751 .041

Intercept netrofil 34689.062 1 34689.062 1.129E3 .000

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 90.250 1 90.250 196.909 .000

limfosit 30625.000 1 30625.000 948.387 .000

monosit 400.000 1 400.000 63.576 .000

NperL 19.338 1 19.338 402.334 .000

Faktor1 netrofil 189.062 1 189.062 6.153 .029

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 4.000 1 4.000 8.727 .012

limfosit 25.000 1 25.000 .774 .396

monosit 4.000 1 4.000 .636 .441

NperL .219 1 .219 4.547 .054

Faktor2 netrofil 39.062 1 39.062 1.271 .282

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 6.250 1 6.250 13.636 .003

limfosit 306.250 1 306.250 9.484 .010

monosit 2.250 1 2.250 .358 .561

NperL .294 1 .294 6.123 .029

Faktor1 * Faktor2 netrofil 39.062 1 39.062 1.271 .282

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 4.000 1 4.000 8.727 .012

limfosit 6.250 1 6.250 .194 .668


(4)

monosit 482.000 16

NperL 20.456 16

Corrected Total netrofil 635.937 15

basofil .000 15

eosinofil 19.750 15

limfosit 725.000 15

monosit 82.000 15

NperL 1.118 15

Grand Mean

Dependent

Variable Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

netrofil 46.562 1.386 43.543 49.582

basofil .000 .000 .000 .000

eosinofil 2.375 .169 2.006 2.744

limfosit 43.750 1.421 40.655 46.845

monosit 5.000 .627 3.634 6.366

NperL 1.099 .055 .980 1.219


(5)

Lampiran 5 Hasil analisis General Linear Model bulan ke-5

Between-Subjects Factors

N

Faktor1 0 8

1 8

Faktor2 2 8

3 8

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model netrofil 92.188a 3 30.729 1.788 .203

basofil .000b 3 .000 . .

eosinofil 4.688c 3 1.563 .904 .468

limfosit 37.500d 3 12.500 .255 .856

monosit 5.250e 3 1.750 .472 .707

NperL .059f 3 .020 .652 .597

Intercept netrofil 35626.562 1 35626.562 2.073E3 .000

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 115.562 1 115.562 66.831 .000

limfosit 38025.000 1 38025.000 776.681 .000

monosit 552.250 1 552.250 148.921 .000

NperL 15.543 1 15.543 512.875 .000

Faktor1 netrofil 76.562 1 76.562 4.455 .056

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 1.562 1 1.562 .904 .361

limfosit 6.250 1 6.250 .128 .727

monosit 1.000 1 1.000 .270 .613

NperL .022 1 .022 .718 .413

Faktor2 netrofil 14.062 1 14.062 .818 .384

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil .062 1 .062 .036 .852

limfosit 25.000 1 25.000 .511 .489

monosit .250 1 .250 .067 .800

NperL .028 1 .028 .926 .355

Faktor1 * Faktor2 netrofil 1.562 1 1.562 .091 .768

basofil .000 1 .000 . .

eosinofil 3.062 1 3.062 1.771 .208

limfosit 6.250 1 6.250 .128 .727


(6)

monosit 602.000 16

NperL 15.966 16

Corrected Total netrofil 298.438 15

basofil .000 15

eosinofil 25.438 15

limfosit 625.000 15

monosit 49.750 15

NperL .423 15

Grand Mean

Dependent

Variable Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

netrofil 47.188 1.036 44.929 49.446

basofil .000 .000 .000 .000

eosinofil 2.688 .329 1.971 3.404

limfosit 48.750 1.749 44.939 52.561

monosit 5.875 .481 4.826 6.924

NperL .986 .044 .891 1.080