An Analysis of Potential Hazard and Risk for Flood and Landslide (Case Study in West Java Province)

(1)

R

RE

ES

SI

I

KO

K

O

(

(

R

R

I

I

S

S

K)

K

)

B

BE

EN

NC

CA

A

NA

N

A

B

BA

AN

NJ

JI

I

R

R

D

DA

AN

N

L

LO

ON

N

GS

G

SO

OR

R

(

(S

ST

TU

UD

DI

I

K

KA

A

SU

S

US

S

P

PR

R

OV

O

V

IN

I

NS

S

I

I

J

JA

AW

WA

A

B

BA

AR

RA

A

T)

T

)

W

W

A

A

L

L

U

U

Y

Y

O

O

Y

Y

O

O

G

G

O

O

U

U

T

T

O

O

M

M

O

O

S

S

E

E

K

K

O

O

L

L

A

A

H

H

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

S

S

A

A

R

R

J

J

A

A

N

N

A

A

I

I

N

N

S

S

T

T

I

I

T

T

U

U

T

T

P

P

E

E

R

R

T

T

A

A

N

N

I

I

A

A

N

N

B

B

O

O

G

G

O

O

R

R

B

B

O

O

G

G

O

O

R

R

2


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis Potensi Rawan (Hazard) dan Resiko (Risk) Bencana Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Waluyo Yogo Utomo


(3)

Bencana Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat). Dibawah bimbingan WIDIATMAKA dan KOMARSA GANDASASMITA.

Trend bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang merupakan jenis bencana yang dominan di Indonesia. Bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70 % dari total bencana di Indonesia. Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki potensi tinggi untuk terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disamping disebabkan oleh topografi wilayahnya yang berbukit dan bergunung, juga tingginya kepadatan penduduk yang menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun metodologi dalam menentukan kriteria pembentuk bencana banjir dan tanah longsor, mengetahui sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor, serta mengetahui kesesuaian rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat.

Model potensi rawan (hazard) banjir dan tanah longsor dibangun melalui analisis spasial (overlay) dengan sistem skoring dan pembobotan dari 7 parameter yang digunakan, yaitu: penggunaan lahan, curah hujan, kemiringan lereng, elevasi, bentuk lahan, tanah dan geologi. Model risiko banjir dan tanah longsor dibangun dengan mengintegrasikan antara peta rawan (hazard) dengan hasil analisis kerentanan (vulnerability), yang terdiri dari parameter jalan/ aksesibilitas, infrastruktur dan penggunaan lahan; serta hasil analisis element of risk, yang terdiri dari parameter kepadatan penduduk (jiwa/km2), PDRB, penggunaan lahan, serta kesiapsiagaan atau tanggap darurat.

Hasil penelitian menunjukkan wilayah Jawa Barat yang memiliki potensi tinggi rawan banjir 460,204 ha (12,5%) dan sangat tinggi pada 507,274 ha (13,8%), dengan lokasi terdistribusi di Bekasi, Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Kota Bandung, Kota Banjar, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cirebon dan Kota Depok. Wilayah dengan potensi tinggi rawan longsor seluas 141,855 ha (3,9%) dan sangat tinggi seluas 14,895 ha (0,4%), dengan lokasi distribusi di Bandung dan Garut.

Hasil validasi lapangan dan kejadian rekapitulasi data banjir dan tanah longsor di lapangan dari data BNPB (2010-2012), menunjukkan akurasi peta hasil analisis potensi bahaya dan risiko banjir dan tanah longsor yang cukup tinggi. Frekuensi banjir di lapangan terjadi 88 kali lebih banyak sebagai kelas potensi daerah bahaya banjir sedang hingga sangat tinggi dengan total 115 kali kejadian banjir, atau 76,5% dari total banjir. Sementara frekuensi longsor di lapangan terjadi 86 kali dalam kelas sebagai potensi longsor bahaya sedang sampai sangat tinggi dengan total 113 kali kejadian tanah longsor, atau 76,1% dari total longsor.


(4)

(86,8 %) dan Hutan Lindung (80,2 %).

Kata kunci: rawan, resiko, banjir, tanah longsor, akurasi, kesesuaian, rencana pola ruang


(5)

WALUYO YOGO UTOMO. An Analysis of Potential Hazard and Risk for Flood and Landslide (Case Study in West Java Province). Supervised by WIDIATMAKA and KOMARSA GANDASASMITA.

Trend disaster in Indonesia has increased from year to year. Hydro-meteorological disasters such as floods, droughts, landslides, cyclones and tidal waves are the dominant type of disaster in Indonesia. Hydrometeorological disasters occurred on average almost 70% of total disaster in Indonesia. West Java Province is one of the areas that have a high potential for the occurrence of landslides. This is due to the topography of the hilly and mountainous regions, as well high population density which puts pressure on the ecosystem.

The purpose of this study is to establish the methodology in determining the criteria forming floods and landslides, determine the distribution of the occurrence of potentially vulnerable hazard areas and risk of floods and landslides, as well as determine the suitability of spatial pattern in the spatial plan of West Java Province Year 2010-2030 against potential floods and landslides hazard in the province of West Java.

Floods and landslides potential hazard models were constructed through spatial analysis (overlay) with scoring and weighting system of the 7 parameters used, namely: land use, rainfall, slope, elevation, landform, soil type and geology. The model risk of floods and landslides were constructed by integrating the hazard map with the analysis of vulnerability, which consists of the parameters road/ accessibility, infrastructure and land use, as well as the analysis of the element of risk, which consists of a number of density parameters population (people/km2), GDP, land use, and emergency preparedness or response. The results showed that the area of West Java which has the potential flood-prone high is 460.204 ha (12,5%) and very high is 507.274 ha (13,8%), with distribution locations in Bekasi, Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bandung City, Banjar City, Bekasi City, Bogor City, Cirebon City and Depok City.

The area with the potential of landslide-prone high is 141.855 ha (3,9%) and very high is 14.895 ha (0,4%), with distribution locations in Bandung dan Garut. The results of field validation and data recapitulation incidence of floods and landslides in the field with BNPB data (2010-2012), show that the accuracy of a map resulting from the analysis of potential hazard and risk of flooding and landslides are quite high. The frequency of floods in the field occurs 88 times as much as the class of potential flood hazard areas of moderate to very high with a total of 115 times the incidence of flooding, or by 76.5% of the total flood. While the frequency of landslides in the field occurs 86 times in the classes as potential landslide hazard moderate to very high with a total of 113 times the incidence of landslides, or 76.1% of the total landslide.


(6)

(7)

© Hak cipta IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

(

(S

ST

TU

UD

DI

I

K

KA

A

SU

S

US

S

P

PR

R

OV

O

V

IN

I

NS

S

I

I

J

JA

AW

WA

A

B

BA

AR

RA

A

T)

T

)

W

W

A

A

L

L

U

U

Y

Y

O

O

Y

Y

O

O

G

G

O

O

U

U

T

T

O

O

M

M

O

O

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

S

S

E

E

K

K

O

O

L

L

A

A

H

H

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

S

S

A

A

R

R

J

J

A

A

N

N

A

A

I

I

N

N

S

S

T

T

I

I

T

T

U

U

T

T

P

P

E

E

R

R

T

T

A

A

N

N

I

I

A

A

N

N

B

B

O

O

G

G

O

O

R

R

B

B

O

O

G

G

O

O

R

R

2

2

0

0

1

1

3

3


(9)

(10)

Nama : Waluyo Yogo Utomo NRP : P052094084

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widiatmaka, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(11)

Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kemudahan-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Analisis Potensi Rawan (Hazard) dan Resiko (Risk) Bencana Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat)” ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Desember Tahun 2012 di wilayah Provinsi Jawa Barat, yang memiliki karakteristik fisik lahan yang berpotensi untuk terjadinya bancana banjir dan longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun metodologi dalam menentukan kriteria pembentuk bencana banjir dan tanah longsor, mengetahui sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor, serta mengetahui kesesuaian rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat.

Banyak pihak yang telah berkontribusi dan/atau membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam dan ucapan terima kasih kepada para pihak tersebut, yang sebagian dapat kami sebutkan, yaitu:

1. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku komisi pembimbing tesis. Tanpa bimbingan, arahan dan masukan dari Beliau berdua maka penulisan tesis ini mungkin tidak dapat terwujud.

2. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini.

3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc Agr, selaku penguji dari program studi PSL yang telah memberikan arahan dan perbaikan pada ujian tesis.

4. Seluruh staf pengajar PS PSL IPB yang sedari awal memberikan curahan ilmu dan pengetahuan kepada penulis sebagai bekal untuk menjadi manusia yang lebih baik.

5. Teman-teman PS PSL IPB Kelas Khusus angkatan 2010/2011: Ajat Rohmat Jatnika, Gladi Hardiyanto, Nurul Hidayati, Isma Naberisa, Iman Suyudono, Istiana Windu Kartika, Suratman, Muning Ekowati dan Ari Prabawa. Semoga persahabatan dan persaudaraan ini akan terus berlanjut dimanapun kita berkarya.

6. Seluruh staf akademik dan administrasi PS PSL (Mbak Ririn, Mbak Suli, Mbak Herlin dan Mas Subur) yang telah banyak membantu dalam kelancaran pelaksanaan studi dan penyelesaian tesis.

7. Keluarga besar di Pekalongan (Bapak Nachir dan Ibu Nuryati) serta Semarang (Bapak Purwandi dan Ibu Kristini Wulan) yang selalu mendorong, memberikan nasehat dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studi dan tesis ini.


(12)

bersama penulis yang terambil dalam rangka penyelesaian studi ini.

Akhirnya Penulis menyadari bahwa masih banyak ketidaksempurnaan dalam tesis ini, sehingga sangat diharapkan masukan, kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga Allah SWT menjadikan karya ini sebagai tambahan ibadah bagi penulis dan tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2013


(13)

Penulis dilahirkan di Desa Bojong Minggir, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 11 Juli 1980 sebagai anak ketiga dari pasangan Nachir dan Nuryati. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Wiroditan I, Pekalongan dan lulus tahun 1993. Setelah itu melanjutkan ke SMP Negeri I Bojong, Pekalongan dan lulus tahun 1996. Kemudian meneruskan ke SMU Negeri I Kajen, Pekalongan dan lulus tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis diterima di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis telah menikah dengan Lintang Pindha Maharani, S.Si pada tanggal 26 Desember 2008 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang putri, Nayaka Wening Ratnakanya (4 tahun) dan Erina Galuh Anindyanari (1 tahun).

Sejak bulan Januari 2005 penulis bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup sebagai Staf Teknis Bidang Sungai, Unit. Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat. Sebelumya dari tahun 2004 – Januari 2005 penulis bekerja di perusahaan konsultan swasta dengan spesifikasi pekerjaan bidang sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. Penulis juga pernah bekerja sebagai asisten dosen sejak awal lulus kuliah S-1 sampai dengan Januari 2005, pada Laboratorium Kartografi dan Penginderaan Jauh, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(14)

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 4

Perumusan Masalah 7

Tujuan Penelitian 7

Kegunaan/Manfaat Penelitian 8

Kebaruan (Novelty 8

TINJAUAN PUSTAKA 9

Banjir 9

Curah Hujan 10

Debit Air Sungai 10

Penggunaan Lahan 10

Daerah Aliran Sungai (DAS) 11

Tanah Longsor 12

Peta Bahaya dan Resiko Banjir 14

Peta Bahaya dan Resiko Longsor Serta Upaya Mitigasinya 16

Sistem Informasi Geografi (SIG) 18

Penerapan SIG untuk Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Berpotensi Rawan (Hazard) dan Resiko (Risk) Banjir dan Longsor

18

METODE PENELITIAN 19

Waktu dan Lokasi Penelitian 19

Bahan dan Alat Penelitian 19

Rancangan Penelitian 20

Tahapan Penelitian 23

Metode Pengolahan Data 24

Metode Pembobotan dan Skoring 24

Analisis Tingkat Rawan (Hazard) Banjir dan Longsor 24 Analisis Tingkat Resiko (Risk) Banjir dan Longsor

Mitigasi Bencana Banjir dan Tanah Longsor

24 30

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 32

Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 32

Kependudukan 34

Pola Curah Hujan dan Tipe Iklim Pola Curah Hujan

Tipe Iklim

37 37 37

Ketinggian (Elevasi) 39

Kemiringan Lereng 41

Bentuk Lahan (Landform) 43

Penggunaan Lahan (Landuse) 46

Jenis Tanah (Great Soil Group) 51


(15)

Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter Bentang Lahan

57 Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter

Curah Hujan (mm/tahun) 58

Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter Elevasi 60 4 Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter Geologi 61 Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter Tanah 62 Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter Lereng 63 Kriteria Pembentuk Banjir dan Longsor Berdasarkan Parameter

Penggunaan Lahan (Landuse)

64 Potensi Resiko (Risk) Bencana Provinsi Jawa 66 Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari Parameter Lereng 69 Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari Parameter Elevasi 71 Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari Parameter Curah

Hujan (mm/tahun) 73

Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari Parameter

Penggunaan Lahan 76

Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari Parameter Bentuk Lahan (Landform)

78 Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari ParameterJenis

Tanah

(Great Soil Group)

80

Potensi Resiko (Risk) Banjir dan Longsor Ditinjau dari ParameterGeologi 82

Uji Kesesuaian Model di Lapangan 102

Analisis Pola Pemanfaatan Ruang 104

Rencana Pola Ruang Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat

Tahun 2010-2030

104 Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya Berdasarkan RTRW Provinsi

Jawa Barat

Tahun 2010-2030

105 Kesesuaian Rencana Pola Ruang Ditinjau dari Potensi Rawan (Hazard)

Banjir dan

Longsor serta Arahan Pemanfaatannya

106

KESIMPULAN DAN SARAN 115

DAFTAR PUSTAKA 116


(16)

1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor ... 19

2. Matrik Rancangan Penelitian Analisis Potensi Rawan (Hazard) dan Resiko (Risk) Bencana Banjir dan Longsor ... 21

3. Perhitungan nilai resiko kerentanan (vulnerability) terhadap banjir dan longsor berdasarkan parameter penggunaan lahan ... 25

4. Perhitungan nilai resiko kerentanan (vulnerability) terhadap banjir dan longsor berdasarkan parameter aksesibilitas atau jalan ... 26

5. Perhitungan nilai resiko kerentanan (vulnerability) terhadap banjir dan longsor berdasarkan parameter infrastruktur ... 28

6. Perhitungan resiko element of risk terhadap banjir dan longsor berdasarkan parameter penggunaan lahan ... 28

7. Perhitungan resiko element of risk terhadap banjir dan longsor berdasarkan parameter kepadatan jumlah penduduk (jiwa/km2 8. Perhitungan resiko element of risk terhadap banjir dan longsor berdasarkan ) ... 29

parameter Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 29

9 Perhitungan resiko element of risk terhadap banjir dan longsor berdasarkan parameter kesiapsiagaan atau tanggap darurat ... 30

10 Distribusi jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan tahun 2011 ... 34

11 Rata-rata curah hujan Provinsi Jawa Barat tahun 1998-2010 ... 39

12 Proporsi luas kemiringan lereng di wilayah Provinsi Jawa Barat ... 41

13 Proporsi luas perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2012 Provinsi Jawa Barat ... 46

14 Bobot masing-masing parameter pembentuk banjir dan longsor ... 56

15 Bobot dan skor parameter bentang lahan (landform) ... 57

16 Bobot dan skor parameter curah hujan ... 59

17 Bobot dan skor parameter elevasi ... 60

18 Bobot dan skor parameter geologi ... 61

19 Bobot dan skor parameter jenis tanah ... 63

20 Bobot dan skor parameter kemiringan lereng ... 64

21 Bobot dan skor parameter penggunaan lahan ... 65

22 Nilai total hasil penjumlahan 7 (tujuh) parameter pembentuk banjir ... 67


(17)

26 Proporsi luas potensi rawan longsor ditinjau dari parameter elevasi ... 72

27 Proporsi luas potensi rawan banjir ditinjau dari parameter curah hujan (mm/tahun) ... 74

28 Proporsi luas potensi rawan longsor ditinjau dari parameter curah hujan (mm/tahun) ... 86

29 Proporsi luas potensi rawan banjir ditinjau dari parameter penggunaan lahan ... 76

30 Proporsi luas potensi rawan longsor ditinjau dari parameter penggunaan lahan ... 76

31 Proporsi luas potensi rawan banjir ditinjau dari parameter bentuk lahan (landform) ... 78

32 Proporsi luas potensi rawan longsor ditinjau dari parameter bentuk lahan (landform) ... 79

33 Proporsi luas potensi rawan banjir ditinjau dari parameter jenis tanah ... 80

34 Proporsi luas potensi rawan longsor ditinjau dari parameter jenis tanah ... 81

35 Proporsi luas potensi rawan banjir ditinjau dari parameter geologi ... 83

36 Proporsi luas potensi rawan longsor ditinjau dari parameter geologi ... 83

37 Luas potensi resiko (risk) banjir dan longsor Provinsi Jawa Barat ... 85

38 Proporsi luas potensi resiko banjir ditinjau dari parameter lereng ... 86

39 Proporsi luas potensi resiko longsor ditinjau dari parameter lereng ... 89

40 Proporsi luas potensi resiko banjir ditinjau dari parameter elevasi ... 90

41 Proporsi luas potensi resiko longsor ditinjau dari parameter lereng ... 91

42 Proporsi luas potensi resiko banjir ditinjau dari parameter curah hujan ... 93

43 Proporsi luas potensi resiko longsor ditinjau dari parameter curah hujan ... 93

44 Proporsi luas potensi resiko banjir ditinjau dari parameter penggunaan lahan ... 95

45 Proporsi luas potensi resiko longsor ditinjau dari parameter penggunaan lahan ... 96

46 Proporsi luas potensi resiko banjir ditinjau dari parameter bentuk lahan ... 97

47 Proporsi luas potensi resiko longsor ditinjau dari parameter bentuk lahan .. 98


(18)

53 Perhitungan persentase tingkat kesesuaian rencana pola ruang terhadap

hasil analisis potensi rawan (hazard) banjir dan longsor 106

54 Kesesuaian rencana pola ruang ditinjau dari potensi rawan (hazard) banjir dan arahan pemanfaatan ruangnya 108

55 Tingkat kesesuaian rencana pola ruang terhadap hasil analisis potensi rawan (hazard) banjir 109

56 Kesesuaian rencana pola ruang ditinjau dari potensi rawan (hazard) longsor dan arahan pemanfaatan ruangnya 111

57 Tingkat kesesuaian rencana pola ruang terhadap hasil analisis potensi rawan (hazard) longsor 112

D

D

A

A

F

F

T

T

A

A

R

R

G

G

A

A

M

M

B

B

A

A

R

R

1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 6

2 Proses Terjadinya Gerakan Tanah atau Batuan dan Komponen Komponen Penyebabnya ... 13

3 Diagram mekanisme terjadinya banjir ... 25

4 Hubungan sebab-akibat bencana ... 17

5 Manajemen resiko bencana tanah longsor ... 17

6 Peta lokasi penelitian ... 22

7 Matrik tahapan dalam analisis resiko (risk) banjir dan longsor ... 25

8 Diagram alir tahapan penelitian ... 31

9 Peta wilayah administratif kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat ... 33

10 Grafik pertumbuhan jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan tahun 2011 ... 35

11 Grafik kepadatan jumlah penduduk (density) Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan tahun 2011 ... 35

12 Peta kepadatan jumlah penduduk (density) Provinsi Jawa Barat ... 36

13 Pembagian 3 (tiga) zona region pola iklim di Indonesia ... 38

14 Grafik rata-rata curah hujan tahun 1998-2010 Provinsi Jawa Barat ... 38

15 Peta tebal hujan (isohyet) Provinsi Jawa Barat ... 40


(19)

Jawa Barat ... 43

19 Peta kemiringan lereng di wilayah Provinsi Jawa Barat ... 44

20 Peta bentuk lahan (landform) Provinsi Jawa Barat ... 45

21 Grafik proporsi luas bentuk lahan (landform) Provinsi Jawa Barat ... 46

22 Peta penggunaan lahan Provinsi Jawa Barat tahun 2000 ... 48

23 Peta penggunaan lahan Provinsi Jawa Barat tahun 2005 ... 49

24 Peta penggunaan lahan Provinsi Jawa Barat tahun 2012 ... 50

25 Grafik proporsi luas jenis tanah di wilayah Provinsi Jawa Barat ... 51

26 Peta jenis tanah (great soil group) di wilayah Provinsi Jawa Barat ... 52

27 Grafik proporsi luas batuan geologi Provinsi Jawa Barat ... 54

28 Peta Geologi Provinsi Jawa Barat ... 55

29 Bobot parameter pembentuk banjir berdasarkan hasil AHP ... 56

30 Bobot parameter pembentuk longsor berdasarkan hasil AHP ... 57

31 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan bentang lahan ... 58

32 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan bentang lahan ... 58

33 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan curah hujan ... 59

34 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan curah hujan ... 59

35 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan elevasi ... 60

36 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan elevasi ... 61

37 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan geologi batuan ... 61

38 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan geologi batuan ... 62

39 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan jenis tanah ... 62

40 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan jenis tanah ... 63

41 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan lereng ... 64

42 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan lereng ... 64

43 Skor parameter pembentuk banjir berdasarkan penggunaan lahan ... 65

44 Skor parameter pembentuk longsor berdasarkan penggunaan lahan ... 65

45 Peta potensi rawan (hazard) banjir Provinsi Jawa Barat ... 67


(20)

Jawa Barat ... 69

49 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter lereng .. 71

50 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter lereng ... 71

51 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter elevasi . 73 52 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter elevasi ... 73

53 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter curah hujan ... 75

54 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter curah hujan ... 75

55 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter penggunaan lahan ... 77

56 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter penggunaan lahan ... 78

57 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter bentuk lahan (landform) ... 79

58 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter bentuk lahan (landform) ... 80

59 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter jenis tanah ... 81

60 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter jenis tanah ... 82

61 Grafik luas potensi rawan (hazard) banjir ditinjau dari parameter geologi ... 84

62 Grafik luas potensi rawan (hazard) longsor ditinjau dari parameter geologi ... 84

63 Grafik sebaran potensi resiko (risk) banjir per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ... 85

64 Grafik sebaran potensi resiko (risk) longsor per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ... 85

65 Peta potensi resiko (risk) banjir Provinsi Jawa Barat ... 87

66 Peta potensi resiko (risk) longsor Provinsi Jawa Barat ... 88

67 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter lereng ... 89


(21)

71 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter curah

hujan ... 94 72 Grafik luas potensi resiko (risk) longsor ditinjau dari parameter curah

hujan ... 94 73 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter

penggunaan lahan ... 96 74 Grafik luas potensi resiko (risk) longsor ditinjau dari parameter

penggunaan lahan ... 97 75 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter

bentuk lahan ... 98 76 Grafik luas potensi resiko (risk) longsor ditinjau dari parameter

bentuk lahan ... 99 77 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter

jenis tanah ... 100 78 Grafik luas potensi resiko (risk) longsor ditinjau dari parameter

jenis tanah ... 100 79 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter geologi 102 80 Grafik luas potensi resiko (risk) banjir ditinjau dari parameter geologi ... 102 81 Grafik frekuensi kejadian dan prosentase bencana banjir dan longsor di

lapangan (existing) terhadap peta potensi rawan (hazard) banjir dan

longsor ... 103 82 Sebaran frekuensi kejadian banjir di lapangan (existing) per kabupaten/

kota ... 104 83 Sebaran frekuensi kejadian longsor di lapangan (existing) per kabupaten/

kota ... 104 84 Peta Rencana Pola Ruang Tahun 2010-2030 Provinsi Jawa Barat 107 85 Kesesuaian rencana pola ruang ditinjau dari potensi rawan (hazard)

banjir ... 114 86 Kesesuaian rencana pola ruang ditinjau dari potensi rawan (hazard)

Longsor 114

D


(22)

3

banjir dan longsor serta arahan pemanfaatan ruangnya per kabupaten/


(23)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang merupakan jenis bencana yang dominan di Indonesia. Bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70 % dari total bencana di Indonesia. Perubahan iklim global, perubahan penggunaan lahan dan meningkatnya jumlah penduduk makin memperbesar ancaman risiko bencana di Indonesia. Bencana tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar.

Pada tahun 2009, terjadi 644 kejadian bencana di Indonesia. Jumlah orang meninggal mencapai 1.711, menderita dan hilang sekitar 1.398.923 orang. Rumah rusak berat 14.639 unit, rusak sedang 2.830 unit dan rusak ringan 25.030. Dari 644 kejadian bencana tersebut, sekitar 81,5% atau 517 kejadian bencana adalah bencana hidrometerologi. Sedangkan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus masing-masing terjadi 13 kali (2%), 1 kali (0,2%) dan 3 kali (0,5%), dengan jumlah kerugian yang ditimbulkannya sangat besar (BNPB 2011).

Dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah kejadian dan korban serta kerugian yang ditimbulkan bencana lebih kecil pada tahun 2009. Pada tahun 2010, jumlah kejadian bencana mencapai 1.675 kejadian. Jumlah korban meninggal mencapai 2.620 orang, menderita dan mengungsi sekitar 5,5 juta orang dan menimbulkan kerusakan rumah mencapai lebih dari 500 ribu unit. Pada tahun 2010 bencana gempa bumi di Jawa Barat dan Sumatera Barat adalah bencana terbesar pada tahun tersebut (BNPB 2011).

Salah satu faktor penyebab meningkatnya kejadian bencana lingkungan di Indonesia antara lain adalah semakin meningkatnya alih fungsi lahan, khususnya dari hutan menjadi non hutan. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor.

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan, dimana hingga saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003). Sedangkan pada tahun 2012, luas hutan di Indonesia hanya tinggal 90,7 juta hektar (KLH 2012). Penurunan luasan dan tingginya kerusakan hutan yang terjadi tersebut menyebabkan bencana banjir dan longsor.


(24)

Laju pembangunan yang pesat dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan, khususnya pada lahan dikawasan budidaya. Kebutuhan tersebut semakin meningkat, baik untuk kegiatan pembangunan di sektor pemukiman, industri, jasa perdagangan, pertanian, pariwisata dll. Namun kebutuhan yang tinggi ini menyebabkan tergesernya lahan-lahan non budidaya atau kawasan lindung (hutan) yang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan dipertahankan. Ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan baik pada kawasan budidaya dan kawasan lindung terhadap kondisi fisik di lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan peruntukan lahan yang berakibat menurunnya daya dukung lahan, sehingga sering berdampak negatif seperti erosi, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar sekitar sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Selain itu, banjir adalah interaksi antara manusia dengan alam dan sistem alam itu sendiri. Bencana banjir merupakan aspek interaksi antara manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi 1999).

Banjir merupakan salah satu contoh bencana yang disebabkan oleh faktor hidro-meteorologis, dimana berdasarkan hasil kajian dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, lebih dari 70 % bencana di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor hidro-meteorologis. Selain oleh faktor hidro-meteorologis, bencana banjir juga disebabkan oleh faktor manusia sebagai salah satu parameter yang dinamis, serta karakteristik fisik DAS yang merupakan salah satu parameter statis. Ibarat katalis, manusia dengan segala kebutuhan dan kemampuannya, berkontribusi terhadap percepatan perubahan tata guna lahan, terutama dari alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan. Hal tersebut sangat mempengaruhi fungsi daur hidro-orologis dalam suatu DAS, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap percepatan terjadinya bencana banjir dan longsor.

Dengan perubahan kondisi lahan dari waktu ke waktu, ancaman banjir juga semakin besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) Daya tampung sungai makin lama menjadi kecil akibat pendangkalan, (2) Fluktuasi debit air antara musim penghujan dan musim kemarau makin tinggi, (3) Terjadi konversi lahan pertanian dan daerah “buffer” alami ke lahan non pertanian dengan mengabaikan konservasi sehingga mengakibatkan rusaknya catchment area, dan (4) Eksploitasi air tanah yang berlebihan yang menyebabkan lapisan aquifer yang semakin dalam sehingga penetrasi air laut lebih jauh ke darat yang berakibat mengganggu keseimbangan hidrologi (Suratman dan Partowijoto 2002).

Tanah longsor adalah hasil dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut lereng. Selanjutnya gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Alhasanah 2006). Somantri (2007) menyebutkan penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi,


(25)

curah hujan dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng dan penambangan.

Tanah longsor dikategorikan sebagai salah satu penyebab bencana alam, disamping gempa bumi, banjir, angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam (Barus 1999).

Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan struktur topografi yang berbentuk pegunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan-kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Somantri 2007).

Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Disamping itu juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002) menyebutkan bahwa kawasan rawan longsor Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/ kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta. Dilihat dari aspek demografi, sepuluh kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan padat penduduk dan permukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh karena itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya yang mengarah kepada tindakan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan.

Mencegah bahaya banjir dan longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Alhasanah (2006) menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai mitigasi, yang didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di tempatnya.

Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana banjir dan longsor (Somantri 2007).


(26)

Barus (1999) menyebutkan bahwa mitigasi dalam manajemen bencana banjir dan longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain dimulai dari penyusunan basis data daerah yang berpotensi terhadap banjir dan longsor hingga pembuatan peta zonasi rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor. Teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat.

Penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak bencana banjir dan longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat bencana banjir dan tanah longsor dilakukan dengan cara membuat suatu model penyusunan SIG, yaitu dengan menggabungkan beberapa sebagai variabel untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan resiko bencana banjir dan tanah longsor (Barus 1999).

Kerangka Pemikiran

Definisi dari bencana (disaster) menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana pada dasarnya merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasi tanpa bantuan dari pihak luar.

Beberapa istilah terkait dengan kebencanaan menurut BNPB (2011) antara lain sebagai berikut: (1). Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor; (2). Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa kegagalan teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit; (3). Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok dan antar komunitas masyarakat serta teror; (4). Bahaya/ Kerawanan (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan Iingkungan; (5). Resiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan


(27)

gangguan kegiatan masyarakat; (6). Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya atau kerawanan (hazards); (7). Peta Bahaya/Kerawanan (hazard map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat bahaya satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu; (8). Peta Risiko Bencana (risk map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat risiko satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu. Peta ini bersifat dinamis, sehingga harus direvisi tiap waktu tertentu dan merupakan hasil perpaduan antara peta bahaya (hazard map) dan peta kerentanan (vulnerability map); serta (9). Peta Kerentanan (vulnerability map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat kerentanan satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu.

Bencana dapat terjadi karena saling bertemunya dua faktor, yaitu bahaya atau kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau kerawanan (hazard) mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan (Mathew

et al. 2007).

Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah rendah sekitar sungai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Akibat dari peristiwa banjir tersebut menyebabkan terjadi bentuk lahan bentukan banjir. Bentuk lahan ini biasanya terdapat pada dataran rendah, dimana akibat dari peristiwa banjir yang berulang-ulang tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah sasaran banjir, disamping faktor kemiringan lereng, ketinggian, penggunaan lahan, geologi dan struktur batuan, tekstur dan jenis tanah serta besarnya tebal hujan (Kadri 2007).

Bencana tanah longsor adalah istilah yang umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang banyak (Somantri 2007).

Berkurangnya daerah tangkapan air adalah salah satu bukti penurunan kualitas lingkungan, dan hal ini berpotensi sebagai salah satu penyebab banjir dan longsor yang dapat mengakibatkan bencana. Banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai tempat aktivitas manusia dapat merupakan peristiwa alam atau sebagai akibat degradasi lingkungan yang akan terus berlangsung dan merusak jika tidak segera ditangani (Nugroho 2010).

Penanganan masalah banjir dan longsor tidak bisa dilakukan secara parsial, karena seluruh sistem yang ada di suatu wilayah dapat memiliki pengaruh terhadap banjir dan longsor, dan kondisi itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia. Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan


(28)

melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap bencana banjir dan tanah longsor. Peta zonasi bahaya banjir dan tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan tingkat resiko dengan mempertimbangkan penghindaran, pencegahan atau mitigasi dari bahaya banjir dan tanah longsor sekarang dan yang akan datang.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada diagram yang ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

Integrasi Basis Data dengan GIS/Penginderaan Jauh

Implementasi Hukum dan Peraturan yang Berlaku

Kurangnya Informasi Data Spasial yang Lengkap dan Akurat

Penegakan Hukum yang Lemah dan Tidak Tegas

Kurang Terintegrasinya RTRW dengan Program Pembangunan

Kesadaran Hukum yang Rendah

Aktivitas Manusia (Berubahnya Keseimbangan Ekosistem) Alih Fungsi Lahan

dan Perubahan Penggunaan Lahan

Pembangunan Tidak Ramah Lingkungan (Kaidah Konservasi

Tanah dan Air) Bencana Lingkungan (Banjir

dan Tanah Longsor)

Kerugian Ekonomi Kerusakan Lingkungan

Korban Jiwa

Solusi dan Langkah Tindak (Upaya Mitigasi) Kondisi / Peristiwa

Alam Valuasi Bencana

Banjir dan Tanah

Analisis dan Penilaian Rawan serta Resiko (Banjir

dan Longsor)

= Komponen Solusi = Tidak diteliti pada penelitian

Evaluasi Tata Ruang terhadap Potensi Rawan

dan Resiko (Banjir dan Longsor)


(29)

Perumusan Masalah

Provinsi Jawa Barat merupakan satu dari enam provinsi di Pulau Jawa yang mempunyai potensi kerentanan bencana banjir dan longsor yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah atau provinsi lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat mempunyai kondisi geo-fisik lahan yang berbukit dengan persentase kemiringan lereng >25 % sebesar 15 % dari luas total Provinsi Jawa Barat. Sedangkan daerah yang memiliki kemiringan lereng landai atau <2 % adalah sebesar 25 % dari luas total Provinsi Jawa Barat (KLH 2012).

Tingkat pertumbuhan daerah ditandai dengan semakin berkembangnya kawasan permukiman penduduk. Lahan yang semakin terbatas akan memaksa perluasan kawasan permukiman ke arah daerah yang berlereng, yang berpotensi untuk terjadinya tanah longsor, serta ke daerah-daerah yang seharusnya merupakan area retensi air yang berpotensi untuk terjadinya bencana banjir. Sebagai upaya pengendalian banjir dan tanah longsor, pemerintah daerah telah melakukan berbagai cara, yaitu secara struktural seperti pelurusan dan pengerukan saluran, rehabilitasi lahan kritis di daerah hulu (catchment area), juga secara non struktural antara lain dengan penataan ruang yang bersumber dari pengumpulan data dan informasi, baik data fisik geografis maupun sosial ekonomi. Kondisi masyarakat yang secara sosial, ekonomi maupun budaya belum menyadari bahaya banjir juga dapat menjadi keterbatasan dalam upaya ini, disamping tidak adanya tindakan tegas dari aparat dalam menegakkan aturan atau penegakan hukum.

Salah satu permasalahan dalam mitigasi bencana alam antara lain adalah kurangnya informasi kepada pembuat keputusan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, khususnya untuk perencanaan tata ruang. Keterlambatan dalam memahami faktor-faktor penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsor umumnya disebabkan kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan komprehensif dari aspek fisik, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, penyediaan peta yang akurat dan valid merupakan salah satu hal yang perlu dilaksanakan untuk dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan dan kebijakan di pemerintahan yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan yang akan diambil.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana kriteria dan parameter pembentuk bencana banjir dan longsor ? 2. Bagaimana sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan

resiko (risk) bencana banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat ?

3. Bagaimana kesesuaian rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan

longsor ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :


(30)

b) Mengetahui sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat.

c) Mengetahui kesesuaian rencana pola ruang pada RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan longsor.

Kegunaan/Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut :

a) Peta potensi rawan (hazard) dan resiko (risk) banjir dan longsor di wilayah Provinsi Jawa Barat diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana banjir dan longsor yang dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, masyarakat setempat maupun instansi terkait lainnya.

b) Sebagai sumber informasi dan bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya bencana banjir dan longsor, misalnya kegiatan konversi lahan hutan menjadi non hutan yang dilakukan oleh masyarakat, bahaya tinggal di sekitar bantaran sungai yang rawan terhadap bencana banjir, serta bahaya tinggal di kawasan perbukitan dengan lereng yang curam yang berpotensi untuk terjadinya bencana longsor.

Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah analisis kerentanan bencana banjir dan longsor dengan mengintegrasikan parameter-parameter utama, dalam hal ini ada 7 (tujuh) parameter, yaitu penggunaan lahan (land cover), bentuk lahan (landform), ketinggian (elevasi), kemiringan lereng (slope), curah hujan atau tebal hujan (isohyet), geologi atau formasi batuan, serta jenis tanah (great soil group). Penelitian ini juga melihat keterkaitan dan hubungan antara parameter yang berpengaruh terhadap bencana banjir dengan longsor, serta menyusun arahan pemanfaatan ruang berdasarkan potensi rawan (hazard) bencana banjir dan longsor. Keterkaitan antar parameter yang diteliti dalam penelitian ini dan arahan pemanfaatan ruangnya berdasarkan potensi rawan (hazard) bencana banjir dan longsor belum pernah dilakukan sebelumnya.


(31)

II TINJAUAN PUSTAKA

Banjir

Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi dan perkolasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap, sebagian mencapai tanah dengan melalui batang sebagai aliran batang (streamfall) dan sebagian lagi mencapai tanah secara langsung yang disebut sebagai air tembus (throughfall). Sebagian air hujan yang mencapai permukaan tanah terinfiltrasi dan terperkolasi ke dalam tanah.

Intensitas curah hujan netto (setelah diintersepsi oleh vegetasi) yang melebihi laju infiltrasi mengakibatkan air hujan akan disimpan sebagai cadangan permukaan di dalam tanah. Apabila kapasitas cadangan permukaan terlampaui maka akan terjadi limpasan permukaan (surface runoff) yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai sebagai debit sungai. Limpasan permukaan yang melebihi kapasitas sungai maka kelebihan tersebut dikenal dengan istilah banjir. Banjir memiliki dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan oleh debit sungai yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan yang tinggi, dan arti kedua adalah banjir merupakan genangan pada daerah rendah yang datar yang biasanya tidak tergenang (Kabir et al. 2011).

Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu elemen meteorologi, karakteristik fisik DAS dan manusia. Elemen meteorologi yang berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas, distribusi, frekuensi dan lamanya hujan berlangsung. Karakteristik fisik DAS yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan, ketinggian dan kadar air tanah. Manusia berperan pada percepatan perubahan karakteristik fisik DAS yaitu dengan semakin meningkatnya permintaan penggunaan lahan untuk permukiman dan prasarana wilayah akan mengurangi penggunaan lahan lainnya seperti hutan dan semak belukar. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap perubahan karakteristik aliran sungai berkaitan dengan berubahnya areal konservasi yang dapat menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Hal tersebut juga dapat memperbesar peluang terjadinya aliran permukaan dan erosi (Asdak 1995).

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana banjir

Menurut Suwardi (1999), beberapa pengaruh langsung yang berkaitan dengan meningkatnya luapan air diklasifikasikan menjadi :

1) Faktor hujan, yaitu hujan yang turun pada wilayah atas dan wilayah bawah; 2) Faktor sedimentasi, yaitu beberapa proses sedimentasi dan inundasi,

meluapnya air pada titik-titik pengendapan hingga air berpencar meluas menuruni lereng sekitar;

3) Adanya perkembangan sosial, perluasan kawasan kedap air dengan tidak adanya tindakan pencegahan pada luasan wilayah tertentu. Adanya crossing

pada lintasan jalan dengan adanya bangunan jembatan, pengendapan dan penyumbatan saluran drainase; serta


(32)

4) Terjadinya pasang naik air laut, masuknya air laut yang menghambat keluarnya air pada titik muara keluaran.

Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah :

1) Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama pada lokasi dengan topografi datar dan kemiringan rendah, seperti pada kota-kota pantai. Hal ini menyebabkan kota-kota-kota-kota pantai memiliki potensi/peluang terjadinya banjir yang besar disamping dari ketersediaan saluran drainase yang kurang memadai, baik saluran utama maupun saluran yang lebih kecil. 2) Areal terbangun yang luas, biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat

pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin mengecil.

3) Kondisi saluran drainase yang tidak memadai akibat pendangkalan, pemeliharaan kurang, dan kesadaran penduduk untuk membuang sampah pada tempatnya masih belum memasyarakat (Suwardi 1999).

Curah Hujan

Savitri (2007) menjelaskan bahwa curah hujan adalah unsur iklim yang sangat dominan mempengaruhi aliran permukaan dan erosi di daerah tropis. Sifat hujan yang penting mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah energi kinetik hujan yang merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat-agregat tanah. Curah hujan merupakan salah satu komponen pengendali dalam sistem hidrologi. Secara kuantitatif ada dua karakteristik curah hujan yang penting, yaitu jeluk (depth) dan distribusinya (distribution) menurut ruang (space) dan waktu (time). Pengukuran jeluk hujan di lapangan umumnya dilakukan dengan memasang penakar hujan dalam jumlah yang memadai pada posisi yang mewakili (representatif).

Sifat hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah jumlah, intensitas dan lamanya hujan. Dari hal-hal tersebut yang paling erat hubungannya dengan energi kinetik hujan adalah intensitas. Kekuatan dan daya rusak hujan terhadap tanah ditentukan oleh besar atau kecilnya curah hujan. Bila jumlah dan intensitas hujan tinggi maka aliran permukaan dan erosi yang akan terjadi lebih besar dan demikian juga sebaliknya (Savitri 2007).

Debit Aliran Sungai

Asdak (1995) menjelaskan bahwa debit aliran sungai adalah jumlah air yang mengalir pada suatu titik atau tempat per satuan waktu. Debit aliran dibangun oleh empat komponen, yaitu limpasan langsung (direct run-off), aliran dalam atau aliran tertunda (inteflow/delayed run-off), aliran bawah tanah atau aliran dasar (ground water/baseflow) dan aliran hujan yang jatuh langsung ke sungai (channel precipitation). Hujan yang turun pada suatu DAS terdistribusi menjadi keempat komponen tersebut sebelum menjadi aliran sungai. Aliran permukaan merupakan penyumbang terbesar terhadap peningkatan volume aliran sungai.


(33)

1) Meteorologis hujan (besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan dan distribusi musiman), suhu udara, kelembaban relatif dan angin.

2) Ciri-ciri DAS yaitu luas dan bentuk DAS, keadaan topografi, kepadatan drainase, geologi (sifat-sifat tanah), evaluasi rata-rata dan keadaan umum DAS (banyaknya vegetasi, perkampungan, daerah pertanian dan sebagainya).

Penggunaan Lahan

Menurut Arsyad (1989) lahan didefinisikan oleh FAO sebagai lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaannya, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang. Lahan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman dan penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan dan sejarah).

Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Sitorus 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada objek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan.

Saefulhakim et al. (1997) menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis sehingga dapat berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya.

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Arsyad (2000) menyebutkan Daerah Aliran Sungai atau disingkat DAS sebagai suatu daerah yang mengalirkan air ke sebuah sungai, pengaliran ini


(34)

berupa air tanah (ground water) atau air permukaan (surface water) atau pengaliran yang disebabkan oleh gaya gravitasi. DAS didefinisikan sebagai suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi (punggung bukit) yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah ke sungai utama yang bermuara di laut.

Berdasarkan pendapat dari berbagai pakar, dapat disimpulkan bahwa DAS merupakan suatu wilayah bentang alam dengan batas topografis, suatu wilayah kesatuan hidrologi serta merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem. Dengan demikian, DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen dan unsur hara dalam sistem sungai, keluar melalui satu outlet tunggal. DAS juga berarti suatu daerah dimana setiap air yang jatuh ke daerah tersebut akan dialirkan menuju ke satu outlet.

Secara makro, DAS terdiri dari unsur : biotik (flora dan fauna), abiotik (tanah, air dan iklim), dan manusia. Ketiganya saling berinteraksi dan saling ketergantungan membentuk suatu sistem hidrologi (Asdak 1995).

Tanah Longsor

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002), tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng. Sedangkan menurut Soemantri (2007), proses terjadinya tanah longsor diawali oleh air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

Tanah longsor terjadi karena oleh adanya gerakan tanah sebagai akibat dari bergeraknya massa tanah atau batuan yang bergerak di sepanjang lereng atau di luar lereng karena faktor gravitasi. Kekuatan-kekuatan gravitasi yang dipaksakan pada tanah-tanah miring melebihi kekuatan memecah ke samping yang mempertahankan tanah-tanah tersebut pada posisinya. Kandungan air yang tinggi menjadikan tanah menjadi lebih berat, yang meningkatkan beban dan mengurangi kekuatan memecah ke sampingnya. Dengan kondisi-kondisi ini curah hujan yang lebat atau banjir lebih memungkinkan terjadinya tanah longsor.

Menurut Soemantri (2007), longsor lahan disebabkan oleh 3 faktor penyebab utama, yaitu :

1. Faktor dakhil (inherent factor), penyebab longsor lahan meliputi kedalaman pelapukan batuan, struktur geologi (tektonik dan jenis batuannya), tebal solum tanah, tekstur tanah dan permeabilitas tanah;

2. Faktor luar dari suatu medan, penyebab longsor lahan adalah kemiringan lereng, banyaknya dinding terjal, kerapatan torehan dan penggunaan lahan; serta

3. Faktor pemicu terjadinya longsor lahan, antara lain tebal curah hujan dan gempa bumi.


(35)

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002), daerah rentan longsor di wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi Sumedang, Garut, Cianjur, Tasikmalaya, Bogor, Sukabumi dan Bandung. Terjadinya longsor lahan dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut :

1. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama; 2. Menculnya retakan-retakan pada tanah di lereng atas, yang ditandai dengan

miringnya pohon dari permukaan tanah;

3. Lereng-lereng pegunungan yang telah lapuk (weathering process), dimana bahan lapukan tersebut termasuk tanah yang berwarna merah;

4. Ada perubahan bobot massa baik oleh pergantian musim atau karena lahan miring tersebut dijadikan areal persawahan;

5. Ada perbedaan kelunakan permukaan lahan dan dasar lahan;

6. Adanya gravitasi bumi yang tergantung pada besarnya lereng adalah kritis jika lereng lebih dari 100 %; serta

7. Perubahan hambat geser, misalnya tanah kering hambatan gesernya lebih besar dibandingkan dengan tanah basah.

Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno (1994) dalam Alhasanah (2006), membedakan gerakan massa tanah atau batuan menjadi tiga tipe, yaitu :

1. Tipe gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan, gletser dan solifluction);

2. Tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran tanah, debris avalance, longsoran (landslide), nendatan (slump), longsoran hancuran, batu longsor dan batu jatuh (rock fall); serta

3. Terban, yaitu turunnya material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal.

Faktor Penyebab Tanah Longsor

Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang terlihat dalam skema Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Proses terjadinya gerakan tanah atau batuan dan komponen-komponen penyebabnya (sumber : Karnawati, 2004)

Faktor-Faktor Pengontrol •Geomorfologi •Tanah •Geologi •Geohidrologi •Tata Guna Lahan

Rentan (Siap Bergerak)

Pemicu Gerakan Tanah •Infiltrasi air ke

dalam lereng •Getaran

•Aktivitas manusia/ perubahan penggunaan lahan Terjadi Gerakan Tanah S T A B I L Penyebab Gerakan Tanah KRITIS


(36)

Dari Gambar 2 terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan, dimana merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan atau siap bergerak, menjadi mulai bergerak sehingga menyebabkan terjadinya pergerakan massa tanah atau longsoran tanah (landslide).

Menurut Goenadi et al. (2005), faktor pemicu terjadinya longsor dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor yang bersifat tetap (statis) dan faktor yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang bersifat dinamis. Faktor yang termasuk kedalam kategori pemicu dinamis adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang bersifat dinamis, terdapat juga faktor kegempaan.

Selanjutnya faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis dibagi lagi kedalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci faktor-faktor tersebut di atas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor No. Faktor Penyebab Parameter

1 Faktor Pemicu Dinamis 1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan

3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 2 Faktor Pemicu Statis 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi

5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 7. Tekstur Tanah Sumber: Goenadi et al. (2005)

2.7 Peta Bahaya dan Resiko Banjir

Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap atau menggenangi daerah di luar saluran, lembah sungai, ataupun penampungan air tersebut (Savitri 2007). Mekanisme terjadinya banjir disajikan dalam Gambar 3.

Banjir dapat membahayakan suatu wilayah yang karena dipengaruhi faktor-faktor alamiah seperti curah hujan, topografi dan geomorfologi (proses fluvial)


(37)

menyebabkan terjadinya genangan yang berpotensi menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi manusia (Kuswartojo 2002).

Menurut Isnugroho (2002), di Indonesia terdapat 5 faktor penting penyebab terjadinya banjir, yaitu :

1. Curah hujan, di daerah tropis curah hujan cukup tinggi pada musim hujan, maka hujan yang terus menerus akan sampai pada kondisi tanah menjadi jenuh air dan hujan yang jatuh langsung menjadi aliran permukaan;

2. Karakteristik DAS yang meliputi luas, bentuk dan kemiringan lereng;

3. Kemampuan alur sungai mengalirkan air, yang dipengaruhi oleh pendangkalan dan penyempitan alur sungai;

4. Perubahan penggunaan lahan di DAS, yang mempengaruhi kemampuan DAS dalam meresapkan air; serta

5. Pengelolaan sungai, yang dipengaruhi oleh preferensi pengelola dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi dan politik.

Gambar 3 Diagram mekanisme terjadinya banjir

Keterangan : Qa = debit pengaliran sungai; Qc = kapasitas pengaliran alur sungai

= fenomena alam

= kondisi non alamiah yang berpengaruh pada fenomena alam Sumber : Savitri, 2007

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011), bencana banjir dan tanah longsor mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dari aspek jumlah penduduk yang meninggal, hilang dan luka-luka; prasarana umum berupa prasarana transportasi, fasilitas sosial, fasilitas pemerintahan, prasarana pertanian, perikanan dan pengairan; serta harta benda perorangan berupa rumah tinggal yang tergenang, rusak dan hanyut, asset/modal, ternak, dan lain-lain, sehingga dapat mengganggu dan bahkan melumpuhkan kegiatan social ekonomi penduduk. Daerah-daerah yang paling beresiko terhadap terjangan banjir adalah daerah dekat sungai yang terdiri atas bangunan dari bahan tanah atau bata, bangunan dengan

Pengendalian Banjir Perubahan Koefisien

Aliran

Perlakuan Terhadap Lingkungan HUJAN

Aliran Permukaan

Perubahan Fisik Alur Sungai

Qa < Qc Banjir


(38)

pondasi tidak kedap air, perpipaan, saluran listrik, mesin, barang elektronik, tanaman pertanian maupun ternak dalam kandang.

Semakin tingginya resiko banjir dapat berasal dari pilihan masyarakat pula. Penduduk dapat memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang memiliki bahaya banjir dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah atau peluang lainnya yang dijanjikan lokasi tersebut, walaupun mereka tahu resiko banjir yang akan diterima (Paripurno 2004).

Alhasanah (2006) menyebutkan bahwa resiko adalah gabungan dari unsur-unsur resiko, bahaya dan kerentanan, dengan formula matematis : Rt = E x H x V, dimana Rt : Resiko (risk), E : Unsur-unsur yang beresiko (risk elements), H : Bahaya (hazard), dan V : Kerentanan (vulnerability).

Resiko (Rt) diartikan sebagai kondisi buruk yang harus diterima karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur yang beresiko, bahaya dan kerentanan, seperti jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancurnya aktivitas ekonomi. Adapun unsur-unsur beresiko (E) terdiri dari populasi, bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas umum, infrastruktur dan lain-lain, yang memiliki resiko pada suatu area. Bahaya (H) merupakan kecenderungan terjadinya kondisi bahaya akibat suatu fenomena, sedangkan Kerentanan (V) merupakan ukuran kerugian yang mungkin dialami suatu objek bila tertimpa bahaya, sebagai contohnya bantaran sungai yang padat permukiman akan rentan jika diterjang banjir.

Pembuatan peta bahaya (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dapat dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan metode pengharkatan, yaitu pemberian skor atau nilai (scoring) dan pembobotan (weight) pada setiap parameter yang digunakan, sesuai dengan dasar logika (logical framework) yang ditetapkan dan disepakati bersama. Dengan menggunakan metode tersebut, penentuan tingkat kerentanan banjir di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya banjir (Barus 1999).

Melalui pendekatan mitigasi atau pengurangan resiko bencana, masyarakat dipandang sebagai subjek, bukan objek dari penanganan bencana dalam proses pembangunan. Hal ini layak untuk diterapkan di era otonomi daerah sehingga pemerintah daerah dan masyarakatnya secara mandiri dapat berusaha mengatasi permasalahan bencana di daerahnya masing-masing.

Peta Bahaya dan Resiko Longsor serta Upaya Mitigasinya

Mikrozoning (risk mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian resiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survey di lapangan), analisis dan penyajian dalam bentuk peta resiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning dimaksudkan untuk memberi informasi resiko bencana di suatu wilayah, agar pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman (Naryanto 2001).


(1)

19

Pola Ruang Kabupaten/Kota (Berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat 2010-2030)

Luas Potensi Rawan Banjir (Ha) Hasil Analisis

Total

Luas Potensi Rawan Longsor (Ha) Hasil Analisis

Arahan Pemanfaatan (Berdasarkan Potensi Rawan Tinggi dan Sangat Tinggi Bencana Banjir dan Longsor) Tidak Rawan Agak Rawan Rawan Sedang Rawan Tinggi Rawan Sangat Tinggi Tidak Rawan Agak Rawan Rawan Sedang Rawan Tinggi Rawan Sangat Tinggi

LNH-Resapan Air 4.555 24.502 3.081 234 44 32.416 3.085 19.705 9.585 41 0 LNH-Resapan Air (sesuai) LNH-Perlindungan

Geologi

1.305 10.433 2.401 10 0 14.149 1.375 11.529 1.245 0 0 LNH-Perlindungan Geologi (sesuai) LNH-Rawan Letusan Gn.

Api

188 1.235 94 0 0 1.517 0 1.253 264 0 0 LNH-Rawan Letusan Gn. Api (sesuai) LNH-Rawan Gerakan

Tanah

9.596 77.651 9.687 87 0 97.021 4.149 82.794 10.062 16 0 LNH-Rawan Gerakan Tanah (sesuai) LNH-Rawan Tsunami 0 327 2.869 2.603 2.879 8.679 3.329 5.225 125 0 0 LNH-Rawan Tsunami (sesuai) KB-Hutan Produksi

Terbatas

10.365 21.458 6.259 26 2 38.110 9.982 19.973 8.155 0 0 KB-Hutan Produksi Terbatas (sesuai) KB-Hutan Produksi 6.836 11.253 2.539 0 0 20.628 5.059 9.542 5.999 28 0 KB-Hutan Produksi (sesuai)

KB-Hutan Cadangan 0 47 766 41 0 854 587 266 0 0 0 KB-Hutan Cadangan (sesuai)

KB-Enclave 646 1.724 26 0 0 2.396 16 1.116 1.095 170 0 KB-Enclave (sesuai)

Perkotaan 153 2.466 1.659 0 0 4.279 33 4.140 106 0 0 Perkotaan (sesuai)

Sawah 307 3.007 6.943 194 0 10.451 452 9.980 19 0 0 Sawah (sesuai)

Perdesaan 5.991 81.329 35.674 2.692 389 126.075 17.989 98.009 9.968 110 0 Perdesaan (sesuai bersyarat : penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta teknik mitigasi bencana banjir)

KB-Tubuh Air 54 878 459 193 45 1.629 450 1.118 60 0 0 KB-Tubuh Air

Sumedang: 52.529 66.639 26.441 7.303 2.839 155.750 12.181 103.755 38.246 1.568 0 Sumedang:

Hutan Konservasi 9.752 475 0 0 0 10.228 0 140 9.205 882 0 Hutan Konservasi (sesuai) Hutan Lindung 7.417 1.681 39 132 0 9.269 1 3.424 5.264 580 0 Hutan Lindung (sesuai) LNH-Sesuai Utk Htn.

Lindung

597 430 2 0 0 1.029 14 660 355 0 0 LNH-Sesuai Utk Htn. Lindung

(sesuai) LNH-Resapan Air 8.540 8.563 620 732 74 18.528 2.235 9.355 6.938 0 0 LNH-Resapan Air (sesuai) LNH-Rawan Gerakan

Tanah

12.463 17.884 3.447 275 49 34.118 1.485 25.134 7.498 0 0 LNH-Rawan Gerakan Tanah (sesuai) KB-Hutan Produksi 3.125 3.221 2.932 39 0 9.317 279 5.705 3.228 106 0 KB-Hutan Produksi Terbatas


(2)

20

Pola Ruang Kabupaten/Kota (Berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat 2010-2030)

Luas Potensi Rawan Banjir (Ha) Hasil Analisis

Total

Luas Potensi Rawan Longsor (Ha) Hasil Analisis

Arahan Pemanfaatan (Berdasarkan Potensi Rawan Tinggi dan Sangat Tinggi Bencana Banjir dan Longsor) Tidak

Rawan

Agak Rawan

Rawan Sedang

Rawan Tinggi

Rawan Sangat Tinggi

Tidak Rawan

Agak Rawan

Rawan Sedang

Rawan Tinggi

Rawan Sangat Tinggi

Terbatas (sesuai)

KB-Hutan Produksi 1.236 4.659 9.068 2.036 70 17.070 235 15.133 1.701 0 0 KB-Hutan Produksi (sesuai bersyarat : penerapan teknik konservasi tanah dan air; atau diganti dengan Hutan Konservasi atau LNH-Resapan Air)

KB-Hutan Cadangan 0 197 122 0 0 319 13 306 0 0 0 KB-Hutan Cadangan (sesuai)

KB-Enclave 351 638 106 72 21 1.188 53 985 150 0 0 KB-Enclave (sesuai)

Perkotaan 511 2.106 1.020 1.378 993 6.007 3.052 2.731 223 0 0 Perkotaan (sesuai bersyarat : penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta teknik mitigasi bencana banjir)

Sawah 27 735 179 150 846 1.937 668 972 298 0 0 Sawah (sesuai bersyarat :

penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta teknik mitigasi bencana banjir) Perdesaan 8.488 25.832 8.545 2.342 648 45.855 4.070 38.431 3.354 0 0 Perdesaan (sesuai bersyarat : penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta teknik mitigasi bencana banjir)

KB-Tubuh Air 22 217 361 146 140 886 76 777 32 0 0 KB-Tubuh Air (sesuai)

Tasikmalaya: 73.156 134.907 47.880 7.871 1.227 265.041 33.292 165.942 64.482 1.322 3 Tasikmalaya:

Hutan Konservasi 6 0 1 0 2 9 0 2 6 1 0 Hutan Konservasi (sesuai)

Hutan Lindung 14.564 261 0 0 0 14.826 213 2.117 11.278 1.214 3 Hutan Lindung (sesuai) LNH-Sesuai Utk Htn.

Lindung

5.462 2.336 79 0 0 7.878 6 3.277 4.595 0 0 LNH-Sesuai Utk Htn. Lindung (sesuai) LNH-Resapan Air 7.106 3.532 2.129 585 0 13.352 4.038 4.698 4.615 2 0 LNH-Resapan Air (sesuai) LNH-Perlindungan

Geologi

2.500 13.203 9.125 429 2 25.258 31 24.875 352 0 0 LNH-Perlindungan Geologi (sesuai) LNH-Rawan Letusan Gn.

Api

1.497 4.338 1.026 11 13 6.885 4.229 2.137 519 0 0 LNH-Rawan Letusan Gn. Api (sesuai)


(3)

21

Pola Ruang Kabupaten/Kota (Berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat 2010-2030)

Luas Potensi Rawan Banjir (Ha) Hasil Analisis

Total

Luas Potensi Rawan Longsor (Ha) Hasil Analisis

Arahan Pemanfaatan (Berdasarkan Potensi Rawan Tinggi dan Sangat Tinggi Bencana Banjir dan Longsor) Tidak

Rawan

Agak Rawan

Rawan Sedang

Rawan Tinggi

Rawan Sangat Tinggi

Tidak Rawan

Agak Rawan

Rawan Sedang

Rawan Tinggi

Rawan Sangat Tinggi

LNH-Rawan Gerakan Tanah

26.004 62.323 7.612 443 0 96.383 9.834 67.398 19.151 0 0 LNH-Rawan Gerakan Tanah (sesuai) LNH-Rawan Tsunami 0 50 1.882 2.202 820 4.954 33 4.784 138 0 0 LNH-Rawan Tsunami (sesuai) KB-Hutan Produksi

Terbatas

10.740 12.262 2.406 131 230 25.768 0 12.379 13.286 103 0 KB-Hutan Produksi Terbatas (sesuai) KB-Hutan Produksi 192 1.201 1.426 204 0 3.023 0 1.562 1.460 0 0 KB-Hutan Produksi (sesuai)

KB-Enclave 401 357 47 0 805 0 274 532 0 0 KB-Enclave (sesuai)

Perkotaan 0 73 5 0 77 77 0 0 0 0 Perkotaan (sesuai)

Sawah 0 2.805 2.330 188 0 5.323 4.350 844 130 0 0 Sawah (sesuai)

Perdesaan 4.628 31.317 19.225 3.558 95 58.823 10.303 40.334 8.185 0 0 Perdesaan (sesuai bersyarat : penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta teknik mitigasi bencana banjir)

KB-Tubuh Air 55 847 589 120 65 1.676 178 1.261 236 2 0 KB-Tubuh Air (sesuai)

Total 653.871 1.393.211 666.389 460.204 507.274 3.680.951 1.164.444 1.564.541 795.215 141.855 14.895 Total Sumber: Hasil Analisis, 2013


(4)

RINGKASAN

WALUYO YOGO UTOMO. Analisis Potensi Rawan (Hazard) dan Resiko (Risk) Bencana Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat). Dibawah bimbingan WIDIATMAKA dan KOMARSA GANDASASMITA.

Trend bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang merupakan jenis bencana yang dominan di Indonesia. Bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70 % dari total bencana di Indonesia. Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki potensi tinggi untuk terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disamping disebabkan oleh topografi wilayahnya yang berbukit dan bergunung, juga tingginya kepadatan penduduk yang menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun metodologi dalam menentukan kriteria pembentuk bencana banjir dan tanah longsor, mengetahui sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor, serta mengetahui kesesuaian rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat.

Model potensi rawan (hazard) banjir dan tanah longsor dibangun melalui analisis spasial (overlay) dengan sistem skoring dan pembobotan dari 7 parameter yang digunakan, yaitu: penggunaan lahan, curah hujan, kemiringan lereng, elevasi, bentuk lahan, tanah dan geologi. Model risiko banjir dan tanah longsor dibangun dengan mengintegrasikan antara peta rawan (hazard) dengan hasil analisis kerentanan (vulnerability), yang terdiri dari parameter jalan/ aksesibilitas, infrastruktur dan penggunaan lahan; serta hasil analisis element of risk, yang terdiri dari parameter kepadatan penduduk (jiwa/km2), PDRB, penggunaan lahan, serta kesiapsiagaan atau tanggap darurat.

Hasil penelitian menunjukkan wilayah Jawa Barat yang memiliki potensi tinggi rawan banjir 460,204 ha (12,5%) dan sangat tinggi pada 507,274 ha (13,8%), dengan lokasi terdistribusi di Bekasi, Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Kota Bandung, Kota Banjar, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cirebon dan Kota Depok. Wilayah dengan potensi tinggi rawan longsor seluas 141,855 ha (3,9%) dan sangat tinggi seluas 14,895 ha (0,4%), dengan lokasi distribusi di Bandung dan Garut.

Hasil validasi lapangan dan kejadian rekapitulasi data banjir dan tanah longsor di lapangan dari data BNPB (2010-2012), menunjukkan akurasi peta hasil analisis potensi bahaya dan risiko banjir dan tanah longsor yang cukup tinggi. Frekuensi banjir di lapangan terjadi 88 kali lebih banyak sebagai kelas potensi daerah bahaya banjir sedang hingga sangat tinggi dengan total 115 kali kejadian banjir, atau 76,5% dari total banjir. Sementara frekuensi longsor di lapangan terjadi 86 kali dalam kelas sebagai potensi longsor bahaya sedang sampai sangat tinggi dengan total 113 kali kejadian tanah longsor, atau 76,1% dari total longsor. Terdapat 5 rencana pola ruang yang memiliki tingkat kesesuaian tinggi terhadap hasil analisis potensi rawan banjir, yaitu LNH-Rawan Tsunami (97,6 %),


(5)

KB-Hutan Cadangan (77,7 %), Perkotaan (90,3 %), Sawah (96,5 %), dan KB-Tubuh Air (76,7 %). Sedangkan tingkat kesesuaian tinggi terhadap hasil analisis potensi rawan longsor hanya terdapat pada 2 rencana pola ruang, yaitu Hutan Konservasi (86,8 %) dan Hutan Lindung (80,2 %).

Kata kunci: rawan, resiko, banjir, tanah longsor, akurasi, kesesuaian, rencana


(6)

SUMMARY

WALUYO YOGO UTOMO. An Analysis of Potential Hazard and Risk for Flood and Landslide (Case Study in West Java Province). Supervised by WIDIATMAKA and KOMARSA GANDASASMITA.

Trend disaster in Indonesia has increased from year to year. Hydro-meteorological disasters such as floods, droughts, landslides, cyclones and tidal waves are the dominant type of disaster in Indonesia. Hydrometeorological disasters occurred on average almost 70% of total disaster in Indonesia. West Java Province is one of the areas that have a high potential for the occurrence of landslides. This is due to the topography of the hilly and mountainous regions, as well high population density which puts pressure on the ecosystem.

The purpose of this study is to establish the methodology in determining the criteria forming floods and landslides, determine the distribution of the occurrence of potentially vulnerable hazard areas and risk of floods and landslides, as well as determine the suitability of spatial pattern in the spatial plan of West Java Province Year 2010-2030 against potential floods and landslides hazard in the province of West Java.

Floods and landslides potential hazard models were constructed through spatial analysis (overlay) with scoring and weighting system of the 7 parameters used, namely: land use, rainfall, slope, elevation, landform, soil type and geology. The model risk of floods and landslides were constructed by integrating the hazard map with the analysis of vulnerability, which consists of the parameters road/ accessibility, infrastructure and land use, as well as the analysis of the element of risk, which consists of a number of density parameters population (people/km2), GDP, land use, and emergency preparedness or response. The results showed that the area of West Java which has the potential flood-prone high is 460.204 ha (12,5%) and very high is 507.274 ha (13,8%), with distribution locations in Bekasi, Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bandung City, Banjar City, Bekasi City, Bogor City, Cirebon City and Depok City.

The area with the potential of landslide-prone high is 141.855 ha (3,9%) and very high is 14.895 ha (0,4%), with distribution locations in Bandung dan Garut. The results of field validation and data recapitulation incidence of floods and landslides in the field with BNPB data (2010-2012), show that the accuracy of a map resulting from the analysis of potential hazard and risk of flooding and landslides are quite high. The frequency of floods in the field occurs 88 times as much as the class of potential flood hazard areas of moderate to very high with a total of 115 times the incidence of flooding, or by 76.5% of the total flood. While the frequency of landslides in the field occurs 86 times in the classes as potential landslide hazard moderate to very high with a total of 113 times the incidence of landslides, or 76.1% of the total landslide.

There are only 5 spatial pattern with the high suitability of the potential flood-prone high: LNH-Tsunami Hazard (97,6 %), KB-Forest (77,7 %), Municipality (90,3 %), Paddy Field (96,5 %), and KB-Water Body (76,7 %). And