Mapping of Hazard Areas and Risk Analysis of Landslide Disaster with Geographic Information Systems (GIS) (Case Study in Ciremai Foothills Region, Majalengka District).

(1)

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)

ABDUL HAMID RAHMAT

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)

ABDUL HAMID RAHMAT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(3)

dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka). Di bawah bimbingan Lilik Budi Prasetyo dan Omo Rusdiana.

Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan umumnya sering terjadi di wilayah pegunungan, musim hujan serta berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan bencana tanah longsor serta menganalisis resiko bencana tanah longsor di kawasan kaki gunung Ciremai Kabupaten Majalengka.

Untuk menganalisis kerawanan longsor digunakan model pendugaan yang mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan formula : Skor Total =0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT. Tingkat resiko longsor dianalisis dengan mengacu pada penelitian Alhasanah (2006) melalui overlay skor peta properti dengan peta tingkat kerawanan longsor.

Pada lokasi penelitian, kelas kerawanan longsor rendah didominasi pemukiman dengan topografi datar, jenis batuan dominan Qa (Aluvial) dan tanah Latosol serta curah hujan 2500-3000 mm/tahun. Kerawanan longsor sedang didominasi oleh batuan Qyu, tanah Latosol dengan curah hujan 2500-3000 mm/tahun dan sebagian besar berada pada topografi datar. Pada kerawanan longsor tinggi, penutupan lahan berupa hutan mendominasi dengan topografi terjal (15-30 %), didominasi batuan Qvu dan tanah Andosol dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun. Kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar pada areal hutan dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun dengan kemiringan dominan lebih dari 45 %, serta didominasi satuan batuan Qyu dan jenis tanah Andosol.

Berdasarkan hasil analisis peta kerawanan, kelas kerawanan longsor rendah memiliki luas 2160,45 Ha, kerawanan longsor sedang 15319,71 Ha, kerawanan longsor tinggi 21992,49 Ha serta kerawanan longsor sangat tinggi 6191,91 Ha. Kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar berada di Argapura dengan luas 2811,78 Ha (45,41%). Wilayah dengan tingkat resiko rendah memiliki luas 13212,36 Ha (28,93%), tingkat resiko sedang 31507,38 Ha (69,00%), tingkat resiko tinggi 806,94 Ha (1,77%) dan tingkat resiko sangat tinggi 137,88 Ha (0,30%). Maja merupakan wilayah yang memiliki areal tingkat resiko sangat tinggi yang paling luas yaitu 32,67 Ha (23,69%).


(4)

Analysis of Landslide Disaster with Geographic Information Systems (GIS) (Case Study in Ciremai Foothills Region, Majalengka District). Under Supervision of Lilik Budi Prasetyo and Omo Rusdiana.

Landslide disaster is one of the natural disasters that often occur in Indonesia and is generally common in mountainous regions, the rainy season and is closely related to natural conditions such as soil type, rock type, rainfall, land slope and land cover. The aim of this study is to mapping hazard landslide areas and to analyze the risk of landslides in the Ciremai foothills region Majalengka district.

Puslittanak (2004) is using to be a model of analyzing landslide susceptibility prediction in study area, the formula is Total Score = 0,3 FRain Falls +0,2 FGeology +0,2 FLand Slope +0,2 FLand Cover +0,1 FSoil Types. Risk analysis was analyzed by quantitative models based on research of Alhasanah (2006) through the overlaying property map score (infrastructure map, road map and land cover) with landslide vulnerability map.

In study area, low landslide susceptibility class dominated by flat topography, the dominant rock type is Qa (Aluvium), soil type is Latosol and rainfall intensity 2500-3000 mm/year. Medium landslide susceptibility occur in flat to a relatively steep slope with the type soil dominated by Andosol and level of rainfall intensity is 2500-3000 mm/year. At high landslide susceptibility, dominated land cover is forest with steep topography (15-30%), rock type is dominated by Qvu and the soil type is Andosol with rainfall 3000-3500 mm / year. Very high vulnerability to landslides mostly located in forest areas with very steep slope (>45%), high rainfall intensity 3000-3500 mm/year and dominated by Qyu rock type and Andosol soil type.

Based on the analysis of vulnerability map, in area study obtained low vulnerability covered area 2160,45 hectares, medium vulnerability with covered 15319,71 hectares, 21992,49 hectares of high landslide vulnerability and very high vulnerability covered 6191, 91 hectares. Very high vulnerability mostly located in Argapura with 2811,78 hectares (45,41%). Based on the analysis of risk maps, the area of research has a low risk area with a wide level of 13212,36 hectares (28,93%), medium risk level covered 31507,38 hectares (69,00%), high risk level covered 806,94 hectares ( 1,77%) and very high risk level covered 137,88 hectares (0,30%). Areal distribution of very high risk level areas are the largest in the Maja with covered area 32,67 hectares (23,69%).


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

”Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)”

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

Abdul Hamid Rahmat E34102014


(6)

(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka) Nama : Abdul Hamid Rahmat

NIM : E34102014

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc

NIP. 196203161988031002 NIP. 196301191989031003

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 196111261986011001


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis, skripsi yang berjudul ”Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai prasyarat kelulusan.

Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat bermanfaat di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang dapat berguna bagi kita semua. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc. dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

Penulis sadar betul skripsi yang disusun ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap banyak atas masuknya saran dan kritik yang bersifat membangun. Terlepas dari segala kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang berkepentingan.

Bogor, September 2010


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Nopember 1983 di Maja. Anak ke-4 dari pasangan Aton Nadjib (Alm.) dan Siti Sarah.

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Langensari pada tahun 1996. Kemudian penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Maja dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan formal selanjutnya diselesaikan penulis di SMU Negeri 1 Maja pada tahun 2002. Selepas SMU, penulis melanjutkan studinya pada tahun 2002 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama masa studi di IPB, penulis tinggal di Asrama Sylvalestari dan terlibat dalam kepengurusan Sylvalestari dan beberapa kegiatan seperti Sylvalestari Futsal 2003, Festival Film Indonesia Baru @ Bogor 2005 serta beberapa kegiatan lain. Selama kuliah penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Timur, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Agustus – September 2005 dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) pada tahun 2006 di Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun Skripsi dengan judul “Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam proses penyelesaian studi untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.

2. Ibu, Bapak (Alm.), Kakak-kakakku serta semua saudaraku, yang selalu memberikan dukungan dan doa

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc. selaku dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

4. Bapak Ir. Sucahyo Sadiyo, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ibu Dra. Sri Rahayu, M.Si. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan.

5. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan ucapan terima kasih.

6. Keluarga Besar Sylvalestari atas motivasi dan dorongannya dalam berbagai bentuk dan metode.

7. Bapak dan ibu Staff Departemen KSH dan Fakultas Kehutanan IPB yang dengan ketulusannya memberikan motivasi.

8. Rekan-rekan KSH 39 atas kebersamaannya.


(10)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang... 1

I.2. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Tanah Longsor ... 3

2.2. Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor ... 8

2.3. Penginderaan Jauh... 9

2.4. Sistem Informasi Geografis ... 10

III. METODE PENELITIAN ... 14

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan... 14

3.3. Metode Penelitian ... 15

3.3.1. Pengumpulan Data ... 15

3.3.2. Penyiapan Data... 15

3.3.3. Analisis Data Kerawanan Bencana Tanah Longsor ... 17

3.3.4. Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Kondisi Biofisik ... 24

4.1.1. Lokasi... 24

4.1.2. Iklim dan Curah Hujan ... 24

4.1.3. Jenis Batuan ... 28

4.1.4. Jenis Tanah ... 31

4.1.5. Kemiringan Lahan ... 33


(11)

4.2. Analisis Kerawanan Tanah Longsor... 39

4.2.1. Model Pendugaan Kerawanan Tanah Longsor ... 39

4.2.2. Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor ... 40

4.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Tanah Longsor ... 44

4.3. Analisis Resiko Tanah Longsor ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1. Kesimpulan ... 54

5.2. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(12)

Halaman

1. Daftar jenis data dasar ...15

2. Klasifikasi Curah Hujan (mm/tahun) ...18

3. Klasifikasi Jenis Batuan ...19

4. Skor Parameter Kemiringan Lahan ...20

5. Kelas Penutupan Lahan ...20

6. Klasifikasi Kondisi Tanah ...21

7. Skor parameter pembentuk Peta Properti ...23

8. Intensitas dan Distribusi Curah Hujan ...26

9. Luas dan Distribusi Jenis Batuan ...30

10. Luas dan Distribusi Jenis Tanah ...31

11. Luas dan Distribusi Kemiringan Lahan ...34

12. Luas dan Distribusi Penutupan Lahan ...36

13. Interval Skor Kelas Tingkat Kerawanan Tanah Longsor ...40

14. Luas dan Distribusi Tingkat Kerawanan Longsor ...40

15. Tabulasi Tingkat Kerawanan dengan Parameter dalam Hektar ...44

16. Interval Skor Kelas Properti ...48

17. Distribusi Kelas Properti per Kecamatan ...50

18. Interval Skor Kelas Resiko ...51


(13)

Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 14

2. Bagan Alir Pembuatan Peta Digital ... 16

3. Peta Lokasi Penelitian ... 25

4. Peta Curah Hujan ... 27

5. Peta Jenis Batuan ... 29

6. Peta Jenis Tanah ... 32

7. Peta Kemiringan Lahan ... 35

8. Peta Penutupan Lahan ... 38

9. Peta Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor ... 41

10. Peta Properti ... 49


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Report Hasil Akurasi ... 59 Lampiran 2. Gambar Penutupan Lahan ... 61


(15)

I.1. Latar Belakang

Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan umumnya sering terjadi di wilayah pegunungan serta pada musim hujan. Bencana ini berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak, penggundulan hutan, pembangunan pemukiman pada wilayah dengan topografi yang curam.

Menurut Naryanto (2009), Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang mempunyai tingkat resiko bencana tanah longsor paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Daerah yang terletak di tengah dan selatan Jawa Barat memiliki tingkat kerawanan bencana tanah longsor tinggi, yaitu meliputi Kabupaten Garut, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Bandung, Bogor, Sukabumi, Sumedang dan Cianjur.

Surono (2009) menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Geologi, pada tahun 2008 di Jawa Barat terjadi 76 kali longsor dengan jumlah korban meninggal dunia 27 orang dan 13 orang luka-luka. Banyaknya jumlah kejadian dan korban itu membuat Jawa Barat menempati posisi pertama dalam jumlah kasus dan korban longsor, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara Jawa Barat berada di posisi kedua setelah Jawa Tengah dalam kerugian akibat longsor dengan jumlah rumah rusak 448 unit dan hancur 61 unit.

Kawasan kaki gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Majalengka merupakan kawasan sentra produksi pertanian hortikulura serta memiliki beberapa tempat tujuan wisata yang cukup penting di kawasan Ciayumajakuning. Penutupan lahan di wilayah tersebut terdiri dari hutan (hutan alam dan hutan tanaman), lahan pertanian (ladang, sawah, kebun), pemukiman, semak belukar. Topografi wilayah tersebut sebagian besar berbukit-bukit dengan kemiringan 20-45% serta curah hujan yang tinggi antara 2000-4500 mm/tahun.

Perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan pembangunan di suatu wilayah harus didasarkan pada berbagai faktor diantaranya potensi bencana tanah


(16)

longsor yang akan terjadi di wilayah tersebut. Identifikasi dan pemetaan kawasan rawan bencana tanah longsor bisa menjadi salah satu bahan panduan dalam pemanfaatan sumber daya alam.

I.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan bencana tanah longsor serta menganalisis resiko bencana tanah longsor di kawasan kaki gunung Ciremai Kabupaten Majalengka.


(17)

2.1. Tanah Longsor

2.1.1. Definisi Tanah Longsor

Tanah longsor adalah gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infra-struktur (Barus 1999).

Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim 2002). Kamus wikipedia menambahkan bahwa tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi di mana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai masa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi. Ditinjau dari kenampakannya jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain :

a. Jenis jatuhan

Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng yang terjal.

b. Longsoran

Longsoran yaitu masa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan mematikan karena


(18)

tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya.

c. Jenis aliran

Jenis aliran yaitu masa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air dan jenis materialnya. Umumnya gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa tempat bahkan sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. d. Gerakan tanah gabungan

Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup tinggi.

Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim 2002). 2.1.2. Penyebab Tanah Longsor

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu :

a. Faktor alam

Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi, erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke arah lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.


(19)

b. Faktor manusia

Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban masa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.

Karnawati (2003) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab

terjadinya bencana alam tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin dan semakin cepat ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka semakin besar juga volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor menimbulkan suara gemuruh.

Menurut Arsyad (1989), longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :

 Adanya lereng yang cukup curam sehingga masa tanah dapat bergerak atau meluncur ke bawah.

 Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan lunak, yang akan menjadi bidang luncur.

 Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.

Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale).


(20)

Secara umum ada dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia yaitu tipe hujan deras (misalnya dengan intensitas 50 mm sampai 70 mm per hari) dan tipe hujan normal tapi lama. Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, seperti misalnya tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada bulan-bulan awal musim hujan. Sedangkan tipe hujan normal tapi lama akan lebih efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tersusun oleh tanah yang lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung dan biasanya terjadi pada pertengahan musim hujan.

Hermawan dan Darmawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik /mekanik tanah tidak baik sehingga pada saat musim hujan telah terjadi peresapan air yang berlebihan mengakibatkan tingkat kejenuhan kejenuhan air tinggi sehingga dapat menimbulkan peningkatan tekanan air. Dan disertai penurunan kekuatan dan tahanan geser tanah sehingga terjadi longsoran.

Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981), faktor-faktor penyebab terjadinya gerakan tanah khususnya tanah longsor antara lain sebagai berikut:

a. Topografi atau lereng

b. Keadaan tanah atau batuan, termasuk struktur dan pelapisan c. Keairan, termasuk curah hujan

d. Gempa bumi

e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.

Faktor-faktor penyebab tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama lain dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-faktor ini satu sama lainnya.

Faktor-faktor penyebab tanah longsor menurut Sadisun (2005) adalah kondisi morfologi (sudut lereng, relief), kondisi geologi (jenis batuan/tanah, karakteristik keteknikan batuan/tanah, proses pelapukan, bidang-bidang diskotinuitas seperti perlapisan dan kekar, permeabilitas batuan/tanah, kegempaan dan vulkanisme), kondisi klimatologi seperti curah hujan, kondisi lingkungan/tata


(21)

guna lahan (hidrologi dan vegetasi) dan aktivitas manusia ( penggemburan tanah untuk pertanian dan perladangan dan irigasi).

2.1.3.Jenis-jenis Tanah Longsor

Nandi (2007) mengklasifikasikan tanah longsor menjadi 6 jenis yaitu : 1. Longsoran Translasi

Jenis longsoran ini berupa gerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk merata atau menggelombang landai.

2. Longsoran Rotasi

Jenis ini merupakan bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata.

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batuan terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai,

5. Rayapan Tanah

Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenal. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bias menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air serta jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api.

Menurut Eckel (1958) dalam Febriana (2004) tanah longsor dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu :

-Lawina bahan rombakan (debris avalanche)


(22)

-Peluncuran bahan rombakan (debris slide)

-Peluncuran batuan (rock slide)

-Aliran bahan rombakan (debris flow)

-Robohan batuan (rock fall)

-Aliran tanah lambat (slow earth flow)

-Robohan tanah (soil fall)

-Aliran Lumpur (mud flow)

-Pengocoran pasir (sand run)

-Nendat/batuan dasar (bed rock slump)

-Nendat (slump)

-Rayapan (creep)

-Erosi ke hulu (headward erosion)

2.2. Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor

Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta resiko (risk ) yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut.

Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) pembuatan peta bahaya dan resiko atas suatu bencana dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. UNDRO (1991) menyatakan bahwa resiko merupakan gabungan dari unsur-unsur resiko itu sendiri dan bahaya serta kerentanan.

Hubungan antara resiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut :

Rt= (E)(Rs) = (E)(HxV)

Rt : Resiko H : Bahaya

V : Kerentanan E : Unsur-unsur dari Resiko

Resiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis resiko perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi resiko


(23)

tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan disebut dengan rencana mitigasi.

2.3. Penginderaan Jauh

Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of

Photogrammetry 1983) dalam Howard (1996), dalam pengertian yang lebih luas Penginderaan Jauh adalah pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat objek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan objek atau fenomena yang dikaji.

Lo (1995) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lain.

Untuk mendeteksi energi elektromagnetik di alam diperlukan berbagai macam alat penginderaan jauh yang berbeda, tipe alat penginderaan jauh yang menghasilkan citra mengenai lingkungan dalam bentuk yang sesuai dengan interpretasi visual, yaitu : kamera fotografik, detektor elektro optikal, kamera televisi vidicom, penyiam inframerah termal, penyial multi spektral, pencitra gelombang mikro pasif, dan pencitra gelombang mikro aktif (Lo 1995).

Citra satelit Landsat merupakan salah satu hasil rekaman penginderaan jauh hasil rekaman suatu wilayah menggunakan satelit Landsat yang mengorbit pada ketinggian tertentu yang biasa digunakan untuk kepentingan pemantauan penutupan lahan permukaan bumi, pemetaan tanah, pemetaan struktur batuan, pemetaan suhu permukaan laut, pemetaan dan pemantauan daerah bencana dll. Citra satelit Landsat TM 5 merupakan salah satu jenis citra yang banyak digunakan untuk pemantauan sumberdaya alam, dengan resolusi spasial 30x30 meter dan luas liputan satuan citra 175x185 km pada permukaan bumi. Berdasarkan karakteristiknya, citra satelit Landsat TM 5 cukup layak untuk digunakan sebagai dasar pembuatan peta penutupan lahan untuk pemetaan kawasan bencana tanah longsor.


(24)

2.4. Sistem Informasi Geografi 2.4.1. Definisi SIG

Sistem Informasi Geografi (SIG) menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2001) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasikan informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bersifat geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pengambilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. Selain itu juga, Barus (1999) mengatakan bahwa SIG sebagai sarana untuk menyimpan, menggali, dan memanipulasi data serta menghasilkan produk. SIG banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran.

Menurut Purwadhi (1999) dalam Purwonegoro (2005) Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mentranformasikan, menampilkan, memanipulasi, dan memadukan informasi dari berbagai sektor sehingga dapat dihasilkan informasi berharga yang diperoleh dari mengkolerasikan dan menganalisis data spasial dari fenomena geografis suatu wilayah.

Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format, dan tingkat ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam pemetaan bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpang-tindihkan longsoran dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif melalui pendekatan geomorfologi, deterministik, penyebaran, multivariate dll (Barus 1999).

Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan


(25)

keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.

Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada 3 kategori data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu : alfanumerik, piktorial atau grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).

Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem terdiri dari beberapa komponen, yaitu : a. Perangkat keras

SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC

desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer,

printer, plotter, dan scanner. b. Perangkat lunak

SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dengan basis data memegang peranaan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.

c. Data dan Informasi Geografi

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-Import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara


(26)

mendigitasi data spasial-nya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.

d. Manajemen

Suatu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dan diatur dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan.

Johnston (1985) dalam Geertman dan Eck (1995) menyatakan bahwa model adalah sesuatu yang diidealkan dan dibentuk untuk menggambarkan suatu bagian realita.

Menurut Geertman dan Eck (1995), dalam SIG suatu model dapat dibangun dengan dua cara, yaitu: (1) model dibangun dalam SIG dengan menggunakan fungsi standar SIG, dan (2) model dibangun dengan menggunakan bahasa pemrograman di luar paket SIG.

2.4.2. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor dan Banjir

Sistem Informasi Geografi saat ini telah banyak berkembang dan digunakan untuk berbagai hal dalam berbagai disiplin ilmu.Hal tersebut dikarenakan penggunakannya yang cukup mudah untuk dipelajari dan prosesnya cukup cepat. SIG dapat diterapkan dalam bidang perencanaan (pemukiman, transmigrasi, rencana tata ruang wilayah, perencanaan kota, relokasi industri, dan pasar), bidang kependudukan dan demografi, bidang lingkungan dan pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evaluasi pengendapan lumpur atau sedimen baik disekitar danau, sungai/pantai, permodelan pencemaran udara, limbah berbahaya), bidang sumberdaya alam (inventarisasi manajemen dan kesesuian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tata guna lahan dan analisis daerah bencana alam) dan lain-lain (Prahasta 2001).

Aplikasi SIG dan penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Adapun diantaranya adalah berkaitan dengan lahan kritis baik itu longsor maupun banjir, yaitu Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Studi Kasus Kawasan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut). Di daerah sekitar Gunung Mandalawangi tipe penutupan lahan yang terluas adalah tegalan


(27)

(3.860,29 Ha/47,99%) dari tujuh tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah penelitian. Enam diantaranya adalah hutan, kebun campuran, sawah, pemukiman, semak belukar dan tanah kosong. Parameter yang digunakan dalam penentuan kawasan rawan bencana tanah longsor terdiri dari 5 parameter yaitu: penggunaan lahan, jenis tanah, geologi (bahan induk), curah hujan dan kemiringan lereng. Berdasarkan parameter tersebut diperoleh peta kerawanan tanah longsor yang dibagi menjadi 4 kelas yaitu kelas kerawanan tanah longsor sangat rendah (408,96 Ha/5,08%), kelas kerawanan tanah longsor rendah (2.340,63 Ha/29,10%), kelas kerawanan tanah longsor menengah (4.901,95 Ha/60,93%), dan kelas kerawanan tanah longsor tinggi (393,02 Ha/4,89%). Model penggunaan yang digunakan dalam menentukan kerawanan tanah longsor adalah bersumber dari DVMG tahun 2004 (Febriana 2004).

Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi (Studi kasus DTA Cipopokol sub DAS Cisadane Hulu, Kab Bogor). Penggunaan aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dapat dikombinasikan ke dalam Model Hidrologi ANSWERS untuk mempermudah dalam memperoleh data masukan. Berdasarkan hasil keluaran ANSWERS penyebaran luas nilai erosi dan sedimentasi terbesar adalah untuk sedimen 0 – 0.5 ton/Ha dengan luas 19,84 Ha dan erosi 1-5 ton/Ha dengan luas 72,80 Ha. Kelas penutupan lahan berupa perkebunan dan lahan kering memiliki luas terbesar untuk kehilangan tanah/erosi. Sedangkan penutupan lahan berupa semak belukar seluruhnya mengalami pengendapan (Arini 2005).


(28)

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2008 - Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di kawasan gunung Ciremai wilayah administrasi Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Secara administrasi wilayah tersebut meliputi 9 kecamatan yaitu : Argapura, Banjaran, Cikijing, Cingambul, Maja, Rajagaluh, Sindangwangi, Sukahaji dan Talaga dengan gambaran lokasi seperti pada Gambar 1.


(29)

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat TM 5 path/row 121/065 tahun 2005, Peta Kontur, Peta Jenis Tanah Kabupaten Majalengka, Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya, Peta Rupa Bumi Indonesia. Program yang digunakan adalah Arc View 3.3, Erdas Imagine 9.1, dan MS Office serta satu set Komputer, Scanner, Printer, GPS, kamera dan alat tulis.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1.Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam proses penelitian terdiri dari beberapa jenis data dasar berupa peta seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar jenis data dasar

Selain itu juga diperlukan data atribut yang menyatakan posisi suatu lokasi atau kondisi di permukaan bumi dalam bentuk koordinat atau data Ground Check Points (GCP). Data tersebut didapatkan dengan melakukan survei langsung di lapangan, serta merupakan salah satu acuan interpretasi citra satelit Landsat TM 5 dengan klasifikasi terbimbing untuk membuat peta penutupan lahan.

3.3.2. Penyiapan Data a. Pengolahan Data Spasial

Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data peta analog dan data digital. Data analog berupa Peta RBI, Peta Jenis

No Jenis Data Sumber Data Keterangan

1. Peta RBI Lembar 1309-112, 1309-121, 1309-123, 1309-114, 1308-443

Bakosurtanal Skala 1:25.000

2. Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya

DVMBG Skala

1:100.000 3. Peta Tanah Tinjau Kabupaten

Majalengka

Puslittanak Skala

1:100.000

4. Peta Curah Hujan Kabupaten Majalengka BMG Skala

1:100.000

5. Citra Satelit Landsat 5 TM tahun 2005 PPLH Path/Row

121/065 6. Peta Kontur Digital Kabupaten

Majalengka

Bakosurtanal Skala


(30)

Tanah, Peta Curah Hujan dan Peta Geologi. Sedangkan yang berupa data digital adalah citra Landsat TM dan Peta Kontur. Dalam pengolahan tahap awal setiap data harus dijadikan peta digital. Data digital format vektor berupa Peta RBI, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta Kontur serta Peta Curah Hujan, sedangkan data format raster berupa citra satelit Landsat (path/row: 121/065). Tahapan dalam pengolahan data spasial tersebut meliputi:

- Pembuatan Peta Digital

Data analog berupa Peta RBI, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi serta Peta Curah Hujan diolah dan masing-masing dijadikan peta digital format vektor .Peta digital format vektor merupakan salah satu jenis data masukan yang disimpan dalam bentuk garis, titik dan poligon. Proses pengolahan data analog dijadikan peta digital dapat dilihat pada Gambar 2.

Proses pemasukan data-data dilakukan melalui seperangkat komputer dengan software Arc View 3.3. Data keluaran ini kemudian digunakan sebagai data acuan penentuan wilayah penelitian serta untuk koreksi geometrik pada pengolahan citra.

Gambar 2 Bagan Alir Pembuatan Peta Digital.

- Pembuatan DEM (Digital Elevation Model)

DEM merupakan gambaran 3 dimensi permukaan bumi atau citra yang memetakan ketinggian suatu wilayah pada permukaan bumi. DEM dihasilkan dari Peta Kontur digital melalui proses surfacing pada Arc View, konversi TIN ke grid

dan dilanjutkan dengan operasi pemodelan pada Model Maker Arc View. Output dari proses ini adalah Peta Ketinggian serta Peta Kemiringan Lahan.

Scanning Peta

Koreksi koordinat

Digitasi on Screen

Atributing

-Peta Geologi Digital -Peta Curah Hujan Digital -Peta Jenis Tanah Digital -Peta RBI Digital

- Pet a Geologi - Peta Curah Hujan

-Peta Jenis Tanah - Peta RBI


(31)

b. Pengolahan Citra

Data raster adalah salah satu jenis data masukan untuk pengolahan data yang dinyatakan dalam baris dan kolom dengan satuan pixel. Data raster ini berupa citra satelit Landsat TM 5 (path/row: 121/065). Citra kemudian diolah dengan menggunakan ERDAS Imagine 9.1 untuk menentukan tipe penutupan lahan daerah dengan tahapan sebagai berikut:

- Koreksi Geometri

Koreksi geometri atau rektifikasi (rectification) merupakan proses memproyeksi peta ke dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan adalah proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zona 48 South dan sistem koordinat geografik Lintang Bujur. Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan dengan mengambil titik-titik ikat/kontrol di lapangan atau menggunakan peta/citra acuan yang telah terkoreksi.

- Pemotongan citra

Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi obyek penelitian, Peta Rupa Bumi hasil digitasi (peta digital) dapat dijadikan acuan pemotongan citra untuk mendapatkan peta daerah penelitian hasil pemotongan.

- Klasifikasi citra

Sebelum melakukan pengklasifikasian persiapan yang harus dilakukan adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit. Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan dilapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Proses tersebut dilakukan dengan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification), sehingga diperoleh peta penutupan lahan (landcover).

- Akurasi

Pengukuran tingkat akurasi (Accuracy Assessment) citra hasil klasifikasi dilakukan dengan menggunakan Erdas Imagine dan data GCP (Ground Check


(32)

Point) dari GPS. Pengukuran akurasi dilakukan untuk melihat keterwakilan kondisi di lapangan dengan hasil klasifikasi.

3.3.3 Analisis Data Kerawanan Bencana Tanah Longsor

Analisis peta kerawanan tanah longsor dilakukan setelah peta-peta tematik parameter yaitu Peta Curah Hujan, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta Kemiringan Lahan dan Peta Penutupan Lahan wilayah tersebut tersedia dan siap dalam bentuk peta digital. Setiap jenis peta tersebut dilakukan klasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay)..

Berdasarkan model pendugaan Puslittanak 2004, parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan dan formasi geologi (batuan induk). Overlay tersebut dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.3 . Pada proses overlay setiap parameter memiliki klasifikasi skor yang dikalikan dengan bobot masing-masing parameter, kemudian hasil perkalian skor dan bobot tersebut dijumlahkan berdasarkan kesesuaian lokasi geografisnya.

Dalam penentuan skor curah hujan Puslittanak membagi menjadi 5 (lima) kelas, semakin besar curah hujan yang turun maka semakin tinggi skor curah hujan tersebut seperti tercantum pada Tabel 2. Curah hujan yang turun akan mempengaruhi kondisi air tanah, tanah yang kandungan air tanahnya meningkat maka akan meningkat massanya dan semakin rendah tingkat kepadatan dan kekompakannya.

Tabel 2 Klasifikasi Curah Hujan (mm/tahun)

Parameter Bobot Skor

Curah Hujan (mm/tahun) 30 %

a. Sangat Basah (>3000) 5

b. Basah (2501-3000) 4

c. Sedang (2001-2500) 3

d. Kering (1501-2000) 2

e. Sangat kering (< 1500) 1

Sumber: Puslittanak Bogor (2004)

Hermawan dan Darmawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik/mekanik tanah yang tidak baik, sehingga pada saat musim hujan telah terjadi air tinggi sehingga dapat


(33)

menimbulkan peningkatan tekanan air tanah (pore water pressure), penurunan kekuatan dan tahanan geser tanah akan menyebabkan longsoran.

Jenis batuan diklasifikasikan berdasarkan asal bentuknya yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen serta batuan aluvial. Batuan vulkanik merupakan batuan gunung api yang tidak teruraikan dan terdiri dari tufa, breksi dan lava. Jenis ini memiliki sifat lulus air dan biasanya merupakan akuifer atau daerah imbuhan air yang baik. Batuan vulkanik di lokasi penelitian merupakan batuan gunung api muda yang mudah tererosi dan rawan longsor jika jenuh air. Dalam kejadian tanah longsor batuan vulkanik biasanya merupakan bidang gelincir karena sifatnya yang kompak apabila tanah di atasnya jenuh air. Skoring dan pembobotan pada tiap jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi Jenis Batuan

Parameter Bobot Skor

Jenis Batuan 20 %

a. Batuan Vulkanik 3

b. Batuan Sedimen 2

c. Batuan Aluvial (Berbahan Resent) 1

Sumber: Puslittanak Bogor (2004)

Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air, sehingga bisa menjadi bidang gelincir untuk terjadinya longsor.

Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Umumnya batuan ini memiliki permeabilitas kecil bahkan kedap air kecuali jika batuan banyak mempunyai rekahan atau telah mengalami pelarutan, maka dapat bersifat lulus air sehingga menjadi akuifer (batuan penyimpan air tanah) atau dapat berfungsi sebagai imbuhan air.

Batuan aluvial merupakan batuan berbahan resent atau hasil endapan proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Jenis batuan ini merupakan akuifer serta bisa berfungsi sebagai imbuhan tanah air dangkal. Dalam bencana tanah longsor faktor kemiringan lahan sangat berpengaruh, semakin tinggi dan semakin tegak lereng maka kemungkinan terjadinya longsoran


(34)

semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga makin tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh gravitasi bumi. Skor dan bobot parameter kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Skor Parameter Kemiringan Lahan

Parameter Bobot Skor

Kemiringan Lahan (%) 20 %

a. > 45 5

b. 30-45 4

c. 15-30 3

d. 8-15 2

e. < 8 1

Sumber: Puslittanak Bogor (2004)

Kondisi penutupan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air serta kekuatan ikatan partikel tanah. Tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa menjaga stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakan partikel tanah. Tabel 5 Kelas Penutupan Lahan

Parameter Bobot Skor

Tutupan Lahan 20 %

a. Tegalan, sawah 5

b. Semak- belukar 4

c. Hutan dan perkebunan 3

d. Kota/pemukiman, bandara, lapangan golf 2

e. Tambak, waduk, perairan 1

Sumber: Puslittanak Bogor (2004)

Untuk penentuan skor jenis tanah dilakukan berdasarkan tingkat permeabilitas jenis tanah tersebut, semakin lambat permeabilitasnya maka semakin tinggi skor yang diberikan. Hal tersebut berhubungan dengan tingkat kemampuan tanah menahan dan melepaskan air yang masuk, tanah dengan permeabilitas sangat lambat sangat kuat menahan air yang masuk dan sangat sulit untuk melepaskannya, hal itu akan meyebabkan tanah menahan beban yang lebih besar dan apabila curah hujan semakin tinggi serta tanah tersebut berada pada wilayah yang memiliki topografi yang terjal sampai sangat curam maka longsor kemungkinan besar terjadi. Secara umum tingkat permeabilitas tanah berbanding


(35)

terbalik dengan kepekaan terhadap erosi, semakin lambat permeabilitasnya maka semakin peka terhadap erosi.

Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga kekompakan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Pemukiman dan lahan kosong memiliki andil yang lebih kecil karena limpasan air lebih banyak terjadi di banding genangan dan resapan karena sifat permukaan yang kedap air baik kondisi tanah permukaan maupun karena penutup tanah berupa beton atau sejenisnya.

Tabel 6 Klasifikasi Kondisi Tanah

Parameter Bobot Skor

Permeabilitas Tanah 10 %

a. Sangat lambat 5

b. Lambat 4

c. Sedang 3

d. Cepat 2

e. Sangat cepat 1

Sumber: Puslittanak Bogor (2004)

Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslittanak (2004). Skor dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah sebanding dengan tingkat bahaya yang tanah longsor yang akan ditimbulkan. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi pula potensi tanah longsor yang akan terjadi.

Model yang digunakan untuk menganalisis kerawanan kongsor adalah model pendugaan yang mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan formula :

SKOR TOTAL = 0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT

Keterangan: FCH = Faktor Curah Hujan

FBD = Faktor Jenis Batuan

FKL = Faktor Kemiringan Lereng

FPL = Faktor Penutupan Lahan

FJT = Faktor Jenis Tanah


(36)

Besarnya bobot parameter ditentukan berdasarkan pada penelitian Savitri (2007) dengan menggunakan rumus :

Wj =

n – rj+1

∑ (n-rj+1)

Keterangan: W j = nilai yang dinormalkan (bobot nilai)

n = jumlah kriteria ( k=1,2,3…n)

rj = posisi urutan kriteria

Klasifikasi hasil akhir overlay dilakukan dengan membuat 4 kelas kerawanan longsor yaitu : -rendah, -sedang, -tinggi dan -sangat tinggi berdasarkan jumlah skor akhir, semakin besar jumlah skor maka semakin tinggi tingkat kerawanan, dengan penentuan selang skor :

Selang Skor = Skor Tertinggi - Skor Terendah Jumlah Kelas Klasifikasi 3.3.4. Analisis Resiko Tanah Longsor

Resiko bencana tanah longsor sangat berkaitan erat dengan aktifitas manusia di wilayah tersebut, semakin tinggi aktifitas manusia di suatu wilayah maka akan semakin tinggi pula resiko yang akan terjadi. Analisis resiko atas terjadinya bencana tanah longsor secara spasial bisa di dapatkan dengan cara menganalisis peta resiko bencana tanah longsor. Menurut Alhasanah (2006) peta resiko bencana tanah longsor merupakan hasil overlay antara peta properti dengan peta kerawanan. Secara matematis, nilai resiko longsor dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

R = H + P Dimana: R = Resiko

H = Hazard (bahaya)

P = Properti

Peta properti merupakan peta yang menggambarkan model pendekatan nilai manfaat ekonomi dari suatu bentang alam/lahan baik dengan atau tanpa aktifitas manusia pada wilayah tersebut. Peta properti dihasilkan melalui penggabungan peta penutupan lahan, peta infrastuktur dan peta jaringan jalan.

Skor akhir yang dihasilkan atas tumpang susun setiap parameter pembentuk peta properti yang terdapat pada Tabel 7 diklasifikasikan menjadi


(37)

empat kelas properti yaitu properti rendah, properti sedang, properti tinggi dan properti sangat tinggi.

Tabel 7 Skor parameter pembentuk Peta Properti

Sumber: Alhasanah (2006)

Penentuan kelas properti dilakukan berdasarkan interval kelas yang didapatkan dengan persamaan :

i klasifikas kelas Jumlah dah Skor teren -nggi Skor terti Kelas Interval

Untuk membuat peta resiko, peta properti yang dihasilkan dengan metode di atas ditumpangsusunkan dengan peta kerawanan tanah longsor yaitu dengan menjumlahkan bobot nilai pada tiap kelas pada peta properti dengan bobot nilai tiap kelas kerawanan pada peta kerawanan tanah longsor sehingga menghasilkan bobot nilai baru untuk menentukan kelas resiko. Skor akhir hasil tumpang susun peta properti dengan peta kerawanan diklasifikasi menjadi empat kelas tingkat resiko tanah longsor yaitu kelas resiko rendah, kelas resiko sedang, kelas resiko tinggi dan kelas resiko sangat tinggi.

No Parameter/Jenis Buffering (meter)

Skor Kriteria Penilaian

Fisik Manusia Manfaat Total

A. Infrastruktur

1. Pasar 100 3 3 3 9

2. Bangunan 50 3 2 2 7

3. Sekolah 50 3 3 3 9

4. Puskesmas 50 3 3 3 9

5. Kantor Desa 20 2 2 2 6

6. Masjid 20 2 2 2 6

7. Kantor Pos 20 2 2 2 6

8. Kantor Camat 20 2 2 2 6

9. Pos Polisi 20 2 2 2 6

10 Pelayanan Telepon 20 2 2 2 6

B. Jaringan Jalan

1. Jalan Utama 100 3 - 3 6

2. Jalan Lokal 80 3 - 2 5

3. Jalan Lain 50 2 - 2 4

4. Jalan Setapak 20 1 - 1 2

C. Penutupan Lahan

1. Hutan - 1 1 1 3

2. Kebun - 2 1 3 6

3. Sawah - 3 1 3 7

4. Pemukiman - 3 3 3 9

5. Semak Belukar - 1 1 1 3

6. Ladang - 1 1 1 3


(38)

4.1. Kondisi Biofisik 4.1.1. Lokasi

Secara geografis lokasi penelitian berada pada 108o12’45” – 108o24’41” Bujur Timur (BT) dan 6o04’09”– 6o44’16” Lintang Selatan (LS). Daerah penelitian memiliki luas 45.665,6 Ha yang meliputi 9 kecamatan yaitu Maja, Sukahaji, Rajagaluh, Cikijing, Talaga, Argapura, Sindangwangi, Banjaran dan Cingambul seperti tertera pada Gambar 3 dengan batas wilayah sebagai berikut :

-sebelah Utara : Kecamatan Cigasong, Leuwimunding, Palasah, dan Jatiwangi -sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis

-sebelah Barat : Kecamatan Majalengka, Bantarujeg dan Kabupaten Sumedang -sebelah Timur : Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon.

Daerah penelitian merupakan kawasan gunung Ciremai sebelah Barat yang secara administrasi merupakan wilayah Kabupaten Majalengka dan meliputi wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai serta Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Majalengka. Wilayah tersebut menjadi penghubung antara Kabupaten Bandung dan Cirebon dengan Kabupaten Kuningan.

4.1.2. Iklim dan Curah Hujan

Lokasi penelitian termasuk dalam wilayah yang memiliki iklim tropis tipe C dengan suhu udara antara 21,4-30 ºC. Rata-rata hari hujan sebanyak 11 hari/bulan. Angin pada umumnya bertiup dari arah Selatan dan Tenggara, kecuali pada bulan April sampai dengan Juli bertiup dari arah Barat Laut dengan kecepatan antara 3-6 knot (1 Knot = 1.285 m/jam).

Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dipengaruhi oleh faktor gunung Ciremai. Angin musim yang membawa awan hujan di sekitar gunung Ciremai akan menjatuhkan hujan dengan intensitas serta ketinggian curah mengikuti bentang alamnya. Hal itu akan menyebabkan tingginya curah hujan di wilayah yang semakin dekat dengan gunung Ciremai.


(39)

Ga

mbar

3

P

eta

L

oka

si

P

ene

li

ti


(40)

Berdasarkan data BMG, curah hujan di lokasi penelitian termasuk tinggi yaitu antara 2500-4500 mm/tahun. Sebagai salah satu parameter untuk menentukan wilayah rawan longsor, faktor-faktor curah hujan seperti besarnya curah hujan, intensitas hujan dan distribusi curah hujan akan menentukan seberapa besar peluang terjadinya longsoran dan di mana longsor itu akan terjadi. Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 4.

Tabel 8 Luas dan Distribusi Curah Hujan

Kecamatan Luas Curah Hujan (mm/tahun) dalam Hektar

2500-3000 3000-3500 3500-4000 4000-4500

Sukahaji 702,45 2683,35 3199,32 162,90

Argapura 0,00 4141,08 3462,39 749,16

Maja 0,00 3951,27 3078,00 0,00

Talaga 3910,23 165,24 0,00 0,00 Banjaran 2691,00 1202,31 0,00 0,00 Cingambul 3777,93 0,00 0,00 0,00 Cikijing 3931,56 0,00 0,00 0,00 Sindangwangi 1391,22 1251,81 865,44 655,83 Rajagaluh 313,02 1212,12 1353,78 814,23 Total (Ha) 16717,41 14607,18 11958,93 2382,12 Sumber : Peta Curah Hujan Jawa Barat

Berdasarkan klasifikasi kelas curah hujan Puslittanak, lokasi penelitian memiliki empat kelas curah hujan yaitu 2500-3000 mm/th, 3000-3500 mm/th, 3500-4000 mm/th dan 4000-4500 mm/th.

Curah hujan dengan intensitas 2500-3000 mm/th merupakan intensitas curah hujan yang memiliki luasan terbesar yaitu meliputi luasan 16.717,41 Ha dengan presentase 36,61 % dari luas lokasi penelitian. Kecamatan Cikijing merupakan wilayah yang seluruh wilayahnya memiliki intensitas curah hujan 2500-3000 mm/th serta merupakan wilayah yang memiliki liputan curah hujan dengan intensitas ini yang paling luas yaitu 3931,56 Ha dengan presentase 23,52 % dari luas liputan wilayah dengan intensitas curah hujan 2500-3000 mm/th. Kecamatan Maja dan Talaga adalah wilayah yang tidak memiliki liputan curah hujan dengan intensitas 2500-3000 mm/th.


(41)

Ga

mbar

4

P

eta

C

ur

ah

Huja

n


(42)

Curah hujan dengan intensitas 3000-3500 mm/th meliputi 31,99 % dari luas lokasi penelitian dengan luas 14.607,18 Ha. 28,35 % dari liputan curah hujan ini berada di Kecamatan Argapura dengan luas 4141,08 Ha atau meliputi 49,58 % dari luas wilayah Kecamatan Argapura. Curah hujan ini tidak terdapat di Kecamatan Cikijing dan Cingambul.

Wilayah seluas 11.958,93 Ha atau 26,19 % dari luas lokasi penelitiaan memiliki intensitas curah hujan 3500-4000 mm/th. 28,96 % dari luasan tersebut berada di Kecamatan Argapura dengan luas 3462,39 Ha serta sisanya di Kecamatan Sukahaji, Maja, Sindangwangi dan Rajagaluh serta tidak terdapat di Kecamatan Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.

Curah hujan dengan intensitas paling tinggi (4000-4500 mm/th) memiliki luasan 2382,12 Ha (5,22 %). Sebagian besar berada di Kecamatan Rajagaluh dengan luas 814,23 Ha atau 34,18 % dari total liputan wilayah curah hujan ini. Sisanya terdapat di Kecamatan Sindangwangi, Sukahaji dan Argapura serta tidak terdapat di Kecamatan Maja, Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.

4.1.3. Jenis Batuan

Secara geologi lokasi penelitian merupakan wilayah dengan struktur batuan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi gunung Ciremai. Sifat-sifat teknis batuan berbeda-beda tergantung pada asal-usulnya. Secara umum sifat-sifat teknis batuan dipengaruhi oleh : struktur dan tekstur, kandungan mineral, kekar/bentuk gabungan lapisan bidang dasar, kondisi cuaca, dan sedimentasi/rekatan.

Berdasarkan pengklasifikasian Puslittanak batuan pembentuk yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 3 jenis batuan yaitu batuan Vulkanik, batuan Sedimen dan batuan Aluvial. Batuan Vulkanik terdiri atas satuan batuan Qvb, Qyl, Qvl, Qyu, Qvu, Qyi, Qvk, dan ha. Batuan Sedimen terdiri atas satuan batuan Tmhl, Tomcu, Tmhu, Tpc, Tomcl, Tpk, Tmph, Tpkw dan Tpa. Satuan batuan Aluvial yang terdapat di lokasi penelitian adalah Qa. Distribusi spasial setiap jenis satuan batuan dapat terlihat pada Gambar 5.


(43)

Ga

mbar

5

P

eta

Je

nis

B


(44)

Tabel 9 Luas dan Distribusi Jenis Batuan

Kecamatan Luas Jenis Batuan dalam Hektar

Vulkanik Sedimen Aluvial

Sukahaji 5975,10 772,92 0,00

Argapura 7346,70 1005,93 0,00

Maja 3256,56 3772,71 0,00

Talaga 2673,36 993,96 408,15

Banjaran 3890,52 2,79 0,00

Cingambul 366,66 2280,06 1131,21

Cikijing 3001,86 52,92 876,78

Sindangwangi 3881,79 282,51 0,00

Rajagaluh 3543,75 149,40 0,00

Total (Ha) 33936,30 9313,20 2416,14 Sumber : Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya

Berdasarkan hasil tabulasi antara jenis batuan dengan wilayah administrasi kecamatan seperti tertera pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jenis batuan Vulkanik merupakan jenis batuan yang paling dominan di lokasi penelitian yaitu 74,32 % (33.936,30 Ha) dari luas total lokasi penelitian merupakan jenis batuan Vulkanik. Jenis satuan batuan yang paling luas adalah Qyu seluas 12.128,94 Ha dan yang paling sempit adalah satuan batuan Ha seluas 26,28 Ha. Kecamatan Argapura merupakan wilayah yang memiliki jenis batuan Vulkanik paling luas yaitu 7346,70 Ha atau 21,65 % dari luasan batuan Vulkanik, sedangkan Kecamatan Cingambul memiliki liputan batuan Vulkanik yang paling sempit yaitu 366,66 Ha dan sisanya tersebar merata di setiap kecamatan.

Jenis Batuan Sedimen memiliki luas 9313,20 Ha yaitu 20,39 % dari luas total lokasi penelitian. Tomcl merupakan satuan batuan sedimen yang memiliki luasan paling luas yaitu 3103,04 Ha, sedangkan yang paling sempit adalah satuan batuan Tpa seluas 90,45 Ha. Kecamatan Maja merupakan wilayah yang memiliki batuan Sedimen paling luas yaitu 3772,71 Ha atau 40,51 % dari luas total jenis batuan Sedimen. Jenis batuan yang ketiga adalah jenis Aluvial, jenis ini Hanya memiliki satu satuan batuan yaitu Qa. Batuan Aluvial memiliki luas 2416,14 Ha atau 5,29 % dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Cingambul merupakan wilayah dengan luasan batuan Aluvial paling luas yaitu 1131,21 Ha (46,82 %), Cikijing dengan luas 876,78 Ha serta Talaga dengan luas 408,15 Ha dan jenis batuan ini tidak terdapat di Kecamatan Sukahaji, Argapura, Maja, Banjaran, Sindangwangi serta Rajagaluh.


(45)

4.1.4. Jenis Tanah

Jenis Tanah di lokasi penelitian berdasarkan Peta Tanah Tinjau terdiri dari tanah Podsolik, Grumosol, Latosol, Regosol, Mediteran, Aluvial, Andosol dan Glei. Mengacu pada klasifikasi Puslittanak berdasarkan kepekaan terhadap erosi, maka jenis tanah di lokasi penelitian terbagi menjadi kelas Sangat Peka Erosi/Permeabilitas sangat Lambat (Regosol), Peka Erosi/Permeabilitas Lambat (Podsolik, Grumosol dan Andosol), Agak Peka Erosi/Permeabilitas Cepat (Latosol), Kurang Peka Erosi/Permeabilitas Sedang (Mediteran) dan Tidak Peka Erosi/Permeabilitas Sangat Cepat (Aluvial dan Glei). Distribusi spasial jenis tanah di lokasi penelitian terlihat pada Gambar 6.

Tabel 10 Luas dan Distribusi Jenis Tanah

Kecamatan

Luas Jenis Tanah dalam Hektar

Podsolik Grumosol Latosol Regosol Mediteran Aluvial Andosol Glei

Sukahaji 0,00 0,00 0,00 1840,77 2227,77 0,00 1546,92 1132,56

0

Argapura 0,00 0,00 318,60 1325,34 0,00 0,00 6708,69 0,00

Maja 3212,82 369,63 2071,44 1067,85 0,00 0,00 307,53 0,00

Talaga 653,22 164,43 2252,70 0,00 0,00 482,85 522,27 0,00

Banjaran 0,00 29,70 1981,53 0,00 0,00 0,00 1882,08 0,00

Cingambul 1032,84 0,00 2338,02 0,00 0,00 407,07 0,00 0,00

Cikijing 0,00 0,00 2683,71 0,00 0,00 627,03 620,82 0,00

Sindangwangi 0,00 0,00 3403,17 53,46 0,00 0,00 707,67 0,00

Rajagaluh 0,00 0,00 502,92 1243,17 5,31 0,00 1941,750 0,00

Total (Ha) 4898,88 563,76 15552,09 5530,59 2233,08 1516,95 14237,73 1132,56 0

Sumber : Peta Tanah Tinjau Kab. Majalengka

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jenis tanah Regosol yang merupakan tanah sangat peka erosi memiliki areal penyebaran seluas 5530,59 Ha atau 12,11% dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Sukahaji merupakan yang memiliki areal penyebaran tanah ini yang paling luas yaitu 1840,77 Ha yaitu 33,28 % dari luas areal jenis tanah ini serta jenis tanah ini tidak terdapat di Kecamatan Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.

Jenis tanah Latosol yang memiliki sifat agak peka erosi merupakan jenis tanah dengan areal penyebaran paling luas yaitu dengan luas 15.552,09 Ha (34,06 %). Areal penyebaran jenis tanah ini yang paling luas terdapat di Kecamatan Sindangwangi yaitu 3403,17 Ha atau 21,88 % dari luas total penyebaran jenis


(46)

Ga

mbar

6

P

eta

J

enis

T

ana

h


(47)

Jenis tanah peka erosi yaitu Podsolik memiliki areal penyebaran seluas 4898,88 Ha (10,728 %). Penyebaran paling luas berada di Kecamatan Maja yaitu 3212,82 Ha (65,58 %) dan sisanya tersebar di Kecamatan Cingambul 1032,84 Ha dan Talaga seluas 653,22 Ha. Jenis Grumosol tersebar seluas 563,76 Ha atau 1,24 % dari luas total lokasi penelitian, serta 65,57 % (369,63 Ha) areal penyebarannya berada di Kecamatan Maja, kemudian di Kecamatan Talaga 164,43 Ha dan Banjaran dengan luas 29,70 Ha.

Jenis tanah Mediteran memiliki luas 2233,08 Ha atau 4,89 % dari luas lokasi penelitian. Areal penyebaran sebagian besar terdapat di Kecamatan Sukahaji dengan luas 2227,77 Ha yaitu 99,76 % dari luas total areal tanah ini dan sisanya terdapat di Kecamatan Rajagaluh dengan luas 5,31 Ha. Jenis tanah ini memiliki sifat kurang peka terhadap erosi.

Jenis tanah yang tidak peka terhadap erosi yang memiliki areal penyebaran paling luas adalah Aluvial yaitu 1516,95 Ha atau 3,32 % dari luas total lokasi penelitian kemudian jenis tanah Glei yang hanya terdapat di Kecamatan Sukahaji dengan luas 1132,56 Ha (2,48 %). Tanah Aluvial memiliki areal penyebaran di Kecamatan Cikijing yaitu seluas 627,03 Ha, Talaga dengan luas 482,85 Ha dan Kecamatan Cingambul dengan luas 407,07 Ha.

4.1.5. Kemiringan Lahan

Kemiringan Lahan di lokasi penelitian bervariasi mulai dari datar sampai sangat curam. Berdasarkan hasil klasifikasi DEM (Digital Elevation Model) lokasi penelitian didapatkan klasifikasi kemiringan lahan Datar (kemiringan <8 %), Landai (8-15 %), Terjal (15-30 %), Curam (30-45 %) dan Sangat Curam (>45 %) seperti terlihat pada Gambar 7. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa tipe wilayah yang memiliki topografi Datar dengan kemiringan kurang dari 8% memiliki areal penyebaran paling luas yaitu 13.596,84 Ha atau 29,775 % dari luas total lokasi penelitian. Tipe topografi ini paling banyak terdapat di Kecamatan Sukahaji dengan luas 3692,79 Ha sebanding dengan 19,30 % dari luas total area penyebaran tipe topografi ini, sedangkan Argapura merupakan kecamatan yang paling sedikit memiliki wilayah dengan topografi datar yaitu hanya 761,31 Ha. Sedangkan sisanya menyebar hampir merata di setiap kecamatan.


(48)

Tabel 11 Luas dan Distribusi Kemiringan Lahan

Kecamatan

Luas Kemiringan Lahan dalam Hektar

< 8% 8 – 15% 15 – 30% 30 – 45% >45% Sukahaji 3692,79 1274,85 1404,54 291,24 84,60

Argapura 761,31 1321,65 2403,81 1693,17 2172,69

Maja 1366,20 1348,11 2316,87 1275,03 723,06

Talaga 1409,85 1118,16 1168,29 278,91 100,26

Banjaran 881,82 783,99 1159,65 619,02 448,83

Cingambul 1402,92 489,42 956,43 512,55 416,61

Cikijing 1828,44 638,91 931,14 343,62 189,45

Sindangwangi 1001,07 702,90 1085,40 623,70 751,23

Rajagaluh 1252,44 587,97 1026,36 453,33 373,05

Total (Ha) 13596,84 8265,96 12452,49 6090,57 5259,78

Sumber : Peta Kontur Wilayah Majalengka

Wilayah dengan kemiringan 8-15% (kategori Landai) memiliki areal penyebaran dengan luas 8265,96 Ha (18,10 %). Wilayah dengan tipe topografi ini paling banyak terdapat di Kecamatan Maja dengan luas 1348,11 Ha atau 16,31% dari luas total area penyebarannya. Sedangkan Kecamatan Cingambul merupakan yang paling sedikit memiliki tipe wilayah dengan topografi landai yaitu hanya 489,42 Ha.

Wilayah terjal dengan kemiringan 15-30% tersebar seluas 12.452,49 Ha (27,69 %). Kecamatan Argapura merupakan yang paling banyak memiliki wilayah dengan topografi terjal, 19,30% dari luas total areal penyebaran tipe topografi lahan ini berada di Kecamatan Argapura dengan luas 2403,81 Ha. Sisanya menyebar di setiap kecamtan dan yang paling sempit berada di Kecamatan Cikijing yaitu 931,14 Ha.

Wilayah dengan kemiringan 30-45% (Curam) memiliki luas areal penyebaran 6090,57 Ha atau 13,38% dari luas total lokasi penelitian. Areal penyebaran paling luas terdapat di Kecamatan Argapura dengan luas 1693,17 Ha ( 27,78 % luas total areal penyebaran). Sedangkan yang paling sempit berada di Kecamatan Talaga yaitu 278,91 Ha.


(49)

Ga

mbar

7

P

eta

Ke

mi

ringan

L

aha


(50)

Kemiringan lahan lebih dari 45% memiliki luas areal penyebaran 5259,78 Ha (11,16%). Sebagian besar berada di wilayah gunung Ciremai yaitu Kecamatan Argapura dengan luas 2172,69 Ha (41,31 %). Kecamatan Sukahaji merupakan wilayah yang sedikit lahan dengan kemiringan sangat curam (>45 %) yaitu hanya 84,60 Ha.

4.1.6. Penutupan Lahan

Penutupan lahan di suatu wilayah berkaitan erat dengan kondisi ekonomi dan tipe masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil interpretasi Citra Satelit Landsat TM 5 Path/Row 121/065 tahun 2005 diperoleh delapan tipe penutupan lahan serta dua komponen tidak ada data karena terhalang awan dan bayangan awan dengan gambar dapat dilihat pada Lampiran 2. Tipe penutupan lahan memiliki kontribusi yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan kondisi penutupan lahan tersebut seperti bentuknya berupa bangunan atau tanaman, jenis tanaman, sifat tanaman, serta luasan penutupan serta lokasi penutupan lahan itu berada adalah hal-hal yang berpengaruh dalam penentuan kerawanan wilayah. Distribusi spasial tipe penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 8.

Tabel 12 Luas dan Distribusi Penutupan Lahan

Kecamatan

Luas Tipe Penutupan Lahan dalam Hektar Hutan Kebun Ladang Semak

belukar

Sawah Pemukiman Lahan kosong

Tubuh Air

Tidak ada Data Sukahaji 1461,06 1363,95 325,17 535,23 2077,90 777,15 164,43 43,11 0,00 Argapura 4432,86 1238,22 303,84 1124,19 718,56 260,28 271,71 1,98 0,99 Maja 1809,18 2066,67 527,94 691,92 1199,61 508,41 216,36 9,18 0,00 Talaga 1138,32 968,58 211,50 592,83 612,00 397,17 111,15 43,92 0,00 Banjaran 1651,14 809,01 126,00 636,39 416,70 117,81 124,47 11,79 0,00 Cingambul 933,03 1016,82 365,40 453,51 557,01 331,29 35,10 85,68 0,09 Cikijing 1001,07 1013,22 338,76 338,85 694,44 457,92 55,17 32,13 0,00 Sindangwangi 1216,53 502,92 140,85 402,39 1097,91 223,38 571,14 7,74 1,44 Rajagaluh 1545,57 465,12 74,07 340,65 767,97 339,03 156,51 4,23 1,98 Total (Ha) 15188,76 9444,51 2413,53 5115,96 8142,12 3412,44 1706,00 239,76 2,52 Sumber : Klasifikasi Citra Landsat TM 5 Wilayah Majalengka

Tipe penutupan lahan berupa hutan merupakan tipe penutupan paling luas yaitu 15.188,76 Ha atau 33,26 % dari luas total lokasi penelitian. Hutan paling banyak berada di Kecamatan Argapura dengan luas 4432,86 Ha. Vegetasi yang membentuk tipe penutupan lahan hutan berupa hutan alam dengan jenis tanaman


(51)

yang heterogen seperti Rasamala, Pasang, Jamuju, Saninten, Walen, Nangsi. Sedangkan vegetasi pembentuk hutan tanaman didominasi Pinus. Sebagian besar hutan alam yang terdapat di lokasi penelitian berada di sekitar gunung Ciremai. Sedangkan hutan tanaman tersebar hampir merata di wilayah lain.

Kebun yang terdapat di lokasi penelitian merupakan kebun campuran milik penduduk dan memiliki vegetasi berupa tanaman budidaya campuran seperti mangga, pisang, rambutan dan lain-lain. Luas perkebunan mencapai 9444,51 Ha. Areal perkebunan paling luas terdapat di Kecamatan Maja dengan luas 2066,67 Ha atau 21,88 % dari luas total areal penyebaran kebun di lokasi penelitian.

Ladang merupakan areal budidaya yang terdapat di wilayah yang akses terhadap pengairan cukup sulit, biasanya ditanami jenis palawija seperti jagung, cabe, kacang tanah serta jenis sayuran seperti kol, kentang, wortel dan lain-lain. Berdasarkan hasil interpretasi luas areal ladang adalah 2413,53 Ha (5,29 %). Wilayah dengan areal ladang paling luas adalah Kecamatan Maja dengan luas 527,94 Ha.

Semak belukar memiliki luas areal penyebaran 5115,96 Ha (11,20 %) dan yang paling luas terdapat di Kecamatan Argapura yaitu 1124,19 Ha. Semak belukar didominasi oleh jenis rumput-rumputan dan gulma seperti rumput gajah, alang-alang, jenis tanaman perdu, rumput teki dan lain-lain. Semak belukar yang terdapat di areal penelitian biasanya berupa lahan tidur, lahan yang berada pada kemiringan yang curam atau terjal serta areal yang sulit akses irigasi.

Sawah yang terdapat di lokasi penelitian memiliki luas total areal penyebaran 8142,12 Ha atau 17,83 % dari luas total lokasi penelitian. Penutupan lahan berupa sawah yang paling luas terdapat di Kecamatan Sukahaji dengan luas 2077,92 Ha. Sedangkan yang paling sempit terdapat di Kecamatan Banjaran dengan luas 416,70 Ha.

Lahan kosong yang terdapat di lokasi penelitian biasanya berupa lapangan, lahan galian, dan lain-lain. Luas total lahan kosong adalah 1706,04 Ha atau 3,74 % dari luas total area penelitian. Areal penyebaran lahan kosong yang paling luas terdapat di Kecamatan Sindangwangi yaitu 571,14 Ha dan yang paling sempit terdapat di Kecamatan Cingambul dengan luas 35,10 Ha.


(52)

Ga

mbar

8

P

eta

P

enutupan

L

aha


(53)

Jenis penutupan lahan tersebut merupakan hasil klasifikasi terbimbing dan telah dilakukan uji akurasi (Accuracy Assessment) dengan tingkat akurasi 75,36 % dan nilai Kappa Statistik 0,7159 (Lampiran 1). Kappa Statistik merupakan perbandingan antara jumlah sample GCP yang sesuai hasil klasifikasi dengan jumlah total GCP yang diambil untuk tiap tipe penutupan lahan.

4.2. Analisis Kerawanan Tanah Longsor

4.2.1. Model Pendugaan Kawasan Rawan Tanah Longsor

Pendugaan kawasan bencana Rawan Tanah Longsor dilakukan dengan menggunakan model pendugaan yang bersumber pada penelitian Puslittanak tahun 2004. Berdasarkan model tersebut parameter yang digunakan untuk menduga kawasan rawan longsor meliputi parameter Jenis Tanah, Penutupan Lahan, Jenis Batuan, Curah Hujan, serta Kemiringan Lahan. Semua parameter tersebut diklasifikasikan berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian ditumpangsusunkan (overlay).

Berdasarkan hasil analisis 5 parameter kerawanan longsor dengan menggunakan model Pendugaan Kerawanan Longsor Puslittanak tahun 2004, diperoleh 4 kriteria kerawanan longsor yaitu Rendah, Sedang, Tinggi dan Sangat Tinggi. Tingkat Kerawanan Tanah Longsor yang tersebar di lokasi penelitian terbentuk setelah penggabungan (overlay) faktor-faktor penyebabnya. Pada model Pendugaan Kerawanan Tanah Longsor yang bersumber dari Puslittanak tahun 2004 faktor curah hujan mendapat bobot 30 %, faktor jenis batuan, kemiringan lahan dan tipe penutupan lahan dengan bobot 20 %, sedangkan faktor jenis tanah memiliki bobot 10 %. Berdasarkan penjelasan tersebut, model yang digunakan untuk menganalisa kerawanan tanah longsor di lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

SKOR TOTAL = 0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT

Keterangan: FCH = Faktor Curah Hujan

FBD = Faktor Jenis Batuan

FKL = Faktor Kemiringan Lereng

FPL = Faktor Penutupan Lahan

FJT = Faktor Jenis Tanah


(54)

Berdasarkan hasil analisis skor total hasil tumpang susun (overlay) parameter yang ada di lokasi penelitian diperoleh klasifikasi kelas kerawanan dengan interval skor masing-masing kelas seperti tercantum pada Tabel 13.

Tabel 13 Interval Skor Kelas Tingkat Kerawanan Tanah Longsor

Kelas Kerawanan Interval Skor

Rendah 2,000-2,775

Sedang 2,776-3,550

Tinggi 3,551-4,325

Sangat Tinggi 4,326-5,100

Penentuan kelas didasarkan pada rumus penentuan kelas berdasarkan rataan skor total hasil tumpang susun semua parameter. Semakin tinggi total skor maka semakin tinggi tingkat kerawanan di wilayah tersebut.

4.2.2. Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor

Hasil analisis kerawanan tanah longsor dibagi ke dalam 4 kelas kerawanan longsor yaitu wilayah dengan tingkat kerawanan longsor rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi dengan gambaran distribusi spasial dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil tumpang susun antara peta tingkat kerawanan longsor dengan wilayah administrasi kecamatan dapat dilihat bahwa pada sebagian besar kecamatan terdapat semua tipe tingkat kerawanan kecuali Kecamatan Argapura yang tidak memiliki wilayah dengan tingkat kerawanan rendah seperti terlihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Luas dan Distribusi Tingkat Kerawanan Longsor

Kecamatan Luas Tingkat Kerawanan Longsor dalam Hektar

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Sukahaji 74,70 2828,34 3424,77 419,04

Argapura 0,00 663,84 4876,29 2811,78

Maja 0,27 1511,73 4448,79 1070,01

Talaga 375,03 2592,18 1051,65 54,63

Banjaran 64,80 1744,11 1585,71 498,78

Cingambul 810,90 1761,30 1148,85 58,95

Cikijing 704,25 2103,30 1042,29 80,91

Sindangwangi 129,33 1231,02 2182,05 621,90

Rajagaluh 1,17 883,89 2232,09 575,91


(55)

41


(1)

Sadisun. 2005. Usaha Pemahaman terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran

sebagai

Langkah

Awal

dalam

Mitigasi

Bencana

Longsoran

http//:www.sadisun.enggeol.org/pdf/2005-Workshop-Longsoran-IAS.pdf.

Diakses 25 Juni 2008.

Savitri, Evi. 2007. Analisis Pemanfaatan Ruang dalam Kaitan dengan Resiko

Tanah Longsor di Kabupaten Tanah Datar. [Tesis]. Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Scholten, H.J. dan J.C.H. Stillwell. 1990. Geographical Information System for

Urban and Regional Planning. Kluwer academic Publishers. Boston.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. ANDI Yogyakarta.

Surono. 2009.Jabar Terbanyak Korban Longsor.

http://www .ahmadheryawan

.com/lintas

jabar/lingkungan-hidup/1603-jabar-terbanyak-korban-longsor.html. Diakses 23 Maret 2009.

Sutikno. 1999. Penanggulangan Bencana Tanah Longsor. Buletin Geologi Tata

Lingkungan. Vol. 11 No. 3. Desember: 159

165.

Tim Sebelas. 2003. Keputusan Alam Semakin Nyata: Evaluasi Musibah Tanah

Longsor dan Banjir Bandang di Gunung Mandalawangi, Kabupaten

Garut, Jawa Barat. Tidak Diterbitkan.

(UNDRO) Office of The United Nations Disaster Relief Co-Ordinator.1991.

Mitigating Natural Disasters Phenomena, Effect, and Options : A

Manual for Policy Makers and Planners. United Nations. New York.

Wilopo, W. dan H. Agus. 2004. Bencana Alam Longsor di Indonesia ; Kasus

Longsoran Yang Terjadi di Kabupaten Purworejo dan Gunung Kidul.

Yogyakarta.


(2)

(3)

59

Lampiran 1 Report Hasil Akurasi Klasifikasi Citra Landsat

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ---

Image File : d:/dat/cliptnh/coba/asssuuuu.img User Name : HAMID DOW

Date : Sat Dec 19 02:27:31 2009

ERROR MATRIX

Reference Data ---

Classified Data no data hutan kebun sawah --- --- --- --- --- no data 1 0 0 0 hutan 0 4 3 0 kebun 0 3 6 0 sawah 0 0 0 10 ladang 0 0 0 0 semak belukar 0 0 0 0 pemukiman 0 0 0 0 lahan kosong 0 0 0 0 tubuh air 0 0 0 2 awan 0 0 0 0 bayangan awan 0 0 0 0

Column Total 1 7 9 12

Reference Data ---

Classified Data ladang semak belu pemukiman lahan koso --- --- --- --- --- no data 0 0 0 0 hutan 0 0 0 0 kebun 0 0 0 0 sawah 0 0 0 1 ladang 9 1 0 0 semak belukar 2 10 0 0 pemukiman 0 0 6 2 lahan kosong 0 1 2 3 tubuh air 0 0 0 0 awan 0 0 0 0 bayangan awan 0 0 0 0

Column Total 11 12 8 6

Reference Data ---

Classified Data tubuh air awan bayangan a Row Total --- --- --- --- --- no data 0 0 0 1 hutan 0 0 0 7 kebun 0 0 0 9 sawah 0 0 0 11 ladang 0 0 0 10 semak belukar 0 0 0 12 pemukiman 0 0 0 8 lahan kosong 0 0 0 6 tubuh air 3 0 0 5

awan 0 0 0 0 bayangan awan 0 0 0 0

Column Total 3 0 0 69 --- End of Error Matrix ---


(4)

ACCURACY TOTALS ---

Class Reference ClassifiedNumber ProducersUsers Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy --- --- --- --- --- ---

no data 1 1 1 --- ---

hutan 7 7 4 57,14% 57,14% kebun 9 9 6 66,67% 66,67% sawah 12 11 10 83,33% 90,91% ladang 11 10 9 81,82% 90,00% semak belukar 12 12 10 83,33% 83,33% pemukiman 8 8 6 75,00% 75,00% lahan kosong 6 6 3 50,00% 50,00% tubuh air 3 5 3 100,00% 60,00% awan 0 0 0 --- ---

bayangan awan 0 0 0 --- ---

Totals 69 69 52

Overall Classification Accuracy = 75,36%

--- End of Accuracy Totals ---

KAPPA (K^) STATISTICS ---

Overall Kappa Statistics = 0,7159

Conditional Kappa for each Category ---

Class Name Kappa --- --- no data 1 hutan 0,523 kebun 0,6167 sawah 0,89 ladang 0,881 semak belukar 0,7982 pemukiman 0,7172 lahan kosong 0,4524 tubuh air 0,5818 awan 0 bayangan awan 0


(5)

61

Lampiran 2 Gambar Penutupan Lahan

Semak Belukar

Semak Belukar

Sawah

Sawah

Ladang


(6)

Hutan Alam

Hutan Tanaman

Lahan Kosong

Kebun Campuran