Kajian sinyal reproduksi alam dalam proses reproduksi dan perkembangan sel telur karang keras (Scleractinia) polip besar di Pulau Badi, Makassar

KAJIAN SINYAL REPRODUKSI ALAM DALAM PROSES
REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG
KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR

RANALSE PATIUNG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Sinyal Reproduksi
Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras
(Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2011

Ranalse Patiung
NRP. C551070101

ABSTRACT
RANALSE PATIUNG. Study of Natural Signal Reproduction in Reproduction Proceses
and Oosite Developement at Big Polyp Hard Coral (Scleractinia) in Badi Island,
Makassar. Under direction of NEVIATY P. ZAMANI, and ETTY RIANI.
Recent observation shows coral reef disturbance at dangerous level. It needs
seriously conservation by used rehabilitation method. There are many ways of
rehabilitation methods but they have many disadvantages. One of rehabilitation methods
is transplantation. The disadvantege that method is coral broodstock which take from
nature makes coral reef ecosystems destroy if taken in large scale. The other
disadvantage is coral transplant can’t a setback after a few offspring. To cover the
shortage of rehabilitation needs arrest method to cultivate the larvae. First that method
needs natural signal reproduction information, but that informations at tropics area are
so less. To resolve that problem the research was conducted. The result of research
shows that comparison between environmental factor and coral physiological are lack of
correlation. Environmental factors that correlate positively are moon phase and nutrients

(PO 4 ) eventhouh a small correlation (below 0,5). The correlation at Euphylia Ancora
from PO 4 and moon phase are 0,059 and 0,203, while the correlation at Euphylia
glabrescens from PO 4 and moon phase are 0,218 and 0,112. This correlation indicates
that a lack of environmental factor influences on oosite development and reproduction
of corals in the tropic area. This condition is caused by the absence of extreme
environmental factor variation at tropic area.
Key words : Signal Reproduction, Reproduction Proceses, Oosite Development, Big
Polip Coral, Badi Island

RINGKASAN
RANALSE PATIUNG. Keterkaitan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi
dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi,
Makassar. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, dan ETTY RIANI.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kaya. Kekayaan
tersebut dapat terlihat dengan beragamnya organisme yang dapat ditemukan pada
ekosistem tersebut. Kekayaan tersebut juga banyak yang dimanfaatkan oleh manusia.
Pemanfaatan oleh manusia sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan, hal ini
dapat dilihat dengan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang saat ini sudah sangat serius sehingga memerlukan
solusi yang tepat untuk menanganinya. Ada berbagai solusi untuk menangani masalah

tersebut salah satunya yakni rehabilitasi terumbu karang. Dewasa ini metode yang
digunakan rehabilitasi terumbu karang masih berupa penyediaan substrat, tetapi masih
memerlukan indukan karang dari alam.
Cara ini memiliki kekurangan yakni karang yang ditransplan akan sulit tumbuh
setelah beberapa keturunan. Kekurangan yang lain yakni karang indukan yang diambil
dari alam dapat merusak ekosistem terumbu karang jika diambil dalam skala yang besar
dan berkelanjutan.
Kekurangan tersebut dapat tertutupi dengan metode rehabilitasi secara seksual
yang mengarah ke matode penangkapan larva untuk di budidayakan. Informasi
mengenai pemicu dan waktu reproduksi karang pada daerah tropis sangat kurang
sehingga penelitian ini diadakan.
Penelitian ini dilakukan selama beberapa Bulan Mei 2009 sampai Januari 2010
untuk melihat karakter perkembangan gonad karang target. Hewan uji atau karang target
diambil dua spesies karang yang mewakili karang keras polip besar pada Pulau Badi
yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens.
Kedua jenis karang tersebut diamati secara histologi setiap fase bulan untuk
melihat perkembangan gonad karang target. Parameter lingkungan juga diukur baik
secara insitu maupun exsitu seperti pasang surut, kecepatan arus, suhu, salinitas, pH,
nitrat (NO 3 ) dan fosphat (PO 4 ). Parameter fisiologis dan lingkungan tersebut
dikombinasikan agar dapat melihat karakter perkembangan gonad serta pengaruh dari

lingkungannya.
Hasil penelitian yang didapatkan untuk variabel lingkungan terdapat variasi akan
tetapi sangat kecil. Jenis pasang surut di Selat Makassar termasuk dalam jenis campuran
condong keharian ganda. Hal ini dikarenakan Selat Makassar yang berada disekitar
khatulistiwa, dimana kecenderungan pasang surut pada daerah tersebut yakni tipe
campuran.
Bentukan arus Selat Makassar cenderung mengarah ke utara pulau. Hal ini
dikarenakan letak Selat Makassar yang dilalui ARLINDO (arus lintas Indonesia) yang
mengalir dari utara (Samudera Pasifik) menuju ke selatan (Samudera Hindia). Arus ini
mengalir periodik melalui Selat Makassar tiap tahunnya.
Suhu dan salinitas mengalami peningkatan pada akhir tahun pengamatan. Hal ini
dikarenakan adanya aliran massa air hangat yang ikut terbawa sehingga menghangatkan

perairan. Ketika suhu menghangat memicu peningkatan salinitas pada daerah tersebut.
Hal ini dikarenakan suhu dan salinitas berbanding lurus, jika suhu meningkat maka
salinitas juga akan meningkat.
Kondisi pH Pulau Badi berada pada kisaran yang tergolong cukup, akan tetapi
dapat memicu pertumbuhan alga. Hal ini disebabkan karena kisarannya yang berada
dibawah normal. Nitrat (NO 3 ) dan fosphat (PO 4 ) masih dalam variasi yang normal
untuk lingkungan ekosistem terumbu karang.

Hasil pengamatan histologi menunjukkan gonand karang tersebut termasuk
bertipe reproduksi gonokorik broadcast spawning (dioseus) dengan tipe telur sinkroni.
Hal ini dapat terlihat bahwa kedua karang tersebut mengeluarkan telur pada bulan gelap
di Bulan Desember. Jika diamati lebih teliti terlihat jenis Euphylia glabrescens
perkembangan gonadnya lebih cepat dibanding dengan Euphylia ancora.
Pelepasan telur yang terjadi saat bulan gelap disebabkan oleh adanya insting
reproduksi. Kedua karang tersebut bereproduksi pada bulan gelap karena saat bulan
gelap cahaya akan berkurang sehingga pergerakan predator telur karang juga berkurang.
Jika pergerakan predator berkurang maka secara tidak langsung telur karang yang
dikeluarkan akan termakan oleh predator. Telur yang tidak termakan oleh predator ini
akan tumbuh menjadi individu karang yang baru.
Perbandingan parameter lingkungan dengan fisiologis karang menunjukkan
kurangnya korelasi yang terjadi. Beberapa parameter yang terukur hanya terdapat
sedikit korelasi yang berada jauh di bawah korelasi kuat yakni lebih besar dari 0,5.
faktor lingkungan yang berkorelasi positif walalupun kecil (dibawah 0,5) yakni fase
bulan dan nutrien (PO 4 ).
Pada jenis Euphylia ancora korelasi fase bulannya 0,059 dan korelasi PO 4 yaitu
0,203, sedangkan pada Euphylia glabrescens korelasi fase bulannya 0,218 dan korelasi
PO 4 yaitu 0,112. Korelasi ini menunjukkan kurangnya pengaruh lingkungan terhadap
perkembangan dan reproduksi karang pada daerah tropis. Kurangnya korelasi tersebut

disebabkan oleh karena tidak adanya variasi yang sangat ekstrim yang ditimbulkan oleh
parameter lingkungan terukur pada daerah tropis.
Kata kunci : Sinyal Reproduksi, Proses Reproduksi, Perkembangan Oosit, Karang
Polip Besar, Pulau Badi

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN SINYAL REPRODUKSI ALAM DALAM PROSES
REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG
KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR

RANALSE PATIUNG


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis

:

Nama

:


Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses
Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras
(Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar
Ranalse Patiung

NRP

:

C551070101

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS
Anggota

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
Ketua


Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc

Tanggal Ujian : 26 Januari 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Tak hentinya penulis menghaturkan ucapan syukur yang sebesar-besarnya pada
hadirat Bapa di Sorga dan Putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus, dimana atas semua
anugerah dan perkenan-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terjadi sebagai mana
kehendak-Nya. Tema yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah Keterkaitan
Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang

Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar. Terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, hanya perkenan-Mu lah maka semua ini dapat terjadi.
2. Ayahhanda Drs. Rannu Palamba MM, dan Ibunda tersayang Albertin Sampe, berkat
doa dan bimbingannya serta sebagai motivator yang selama ini selalu mendukungku,
serta adikku (Obet, Roni, Ria, dan Recky) yang selalu memberi keceriaan dalam tiap
langkahku.
3. Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku tim
komisi pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan, dan perbaikan dari
awal penelitian sampai selesai ujian sehingga penyusunan tesis ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Syafyudin Yusuf ST, M.Si sebagai teman sekaligus pembimbing lapangan
selama penelitian berlangsung.
5. Keluarga besar Nenek Kunna (alm) dan Nenek Ranal (alm) diamapun berada atas
doa dan dukungannya selama ini.
6. Keluarga besar Yesi Novianti Puntu yang rela berkorban sangat membantu selama
penelitian ini berlangsung.
7. Rahmadani S. Pi selaku teman dan tim seperjuangan dalam penelitian di Pulau Badi.
8. Pak Dani sekeluarga yang selalu memfasilitasi keperluan selama di Bogor.
9. Pak Muhaji dan Ibu Noro serta seluruh penduduk Pulau Badi yang selalu

memfasilitasi saat penelitian ini berlangsung.
10. Rekan-rekan angkatan 2007 IKL maupun TEK selaku teman seperjuangan dalam
menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.

11. Teman-teman MSDC UNHAS M. Irwan, Aidil, Arham, Opay, dan teman teman lain
yang belum sempat disebutkan yang selalu memberi bantuan dan fasilitasnya selama
penelitian.
12. Seluruh teman-teman yang namanya belum sempat disebutkan, terima kasih atas
seluruh dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangan. Oleh
karena itu saran dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis
ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan utamanya dibidang coralogi.
Bogor,

Januari 2011

Ranalse Patiung

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, pada tanggal 7 Novermber 1984, penulis
merupakan anak pertama dari Drs. Rannu Palamba MM dan Albertin Sampe.
Tahun 1996 lulus Sekolah Dasar Kristen 5 Rantepao, tahun 1999 lulus Sekolah
Menengah Pertama 2 Rantepao, dan pada tahun 2002 penulis dinyatakan lulus dari
Sekolah Menengah Umum 1 Rantepao, Tana toraja. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Hasanuddin, Makassar pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan, Program Studi Ilmu
Kelautan, dan berhasil lulus pada tahun 2007.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan magister (S2) di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Kelautan. Penulis
berhasil menyelesaikan pendidikan magister (S2) pada tahun 2011 dengan judul tesis ”
Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur
Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar”.

i

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………………

ii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...

iii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………

v

PENDAHULUAN
Latar Belakang………………………………………………………….. 1
Tujuan dan Kegunaan…………………………………………………… 2
Hipotesis Penelitian……………………………………………………… 2
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Karang Target...........................................................................
Jenis Reproduksi Pada Karang...................................................................
Larva Karang..............................................................................................
Penempelan Larva Karang (Recruitment)..................................................
Sinyal Alam yang Berpengaruh Terhadap Reproduksi..............................

3
5
7
8
9

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat......................................................................................
Bahan dan Alat............................................................................................
Skema Alur Penelitian………………………………………………….....
Prosedur Kerja.............................................................................................

15
16
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................................................
Karakteristik Parameter Fisiska dan Kimia Perairan Pulau Badi………....
Perkembangan Gonad Karang Target……………………………………..
Keterkaitan antara Faktor Lingkungan dengan Perkembangan
Gonad Karang……………………………………………………………..

22
24
34
41

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan…………………………………………………………………... 44
Saran………………………………………………………………………. 44
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 45

ii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Waktu spawning pada beberapa jenis karang di daerah sub tropis..................

2

Perkembangan telur karang target pada tiap fase bulan……………………… 32

6

iii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Karang target, Euphilia ancora (kiri), Euphilia glabrescens (kanan).............

4

2

Jenis reproduksi pada karang...........................................................................

5

3

Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens).........

6

4

Irisan histologi gonad Goniastrea aspera........................................................

7

5

Penempelan larva Oulastrea crispata pada blok recriuiment………………..

8

6

Perbandingan pemijahan karang terhadap suhu dalam kurun waktu
satu tahun.........................................................................................................

11

7

Fase bulan......................................................................................................... 13

8

Peta Pulau Badi................................................................................................

15

9

Skema alur penelitian.......................................................................................

16

10 Pulau Badi……………………………………………………………………

22

11 Kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Badi……………………………… 23
12 Pola pasang surut Selat Makassar Mei 2009 sampai Januari 2010…………… 24
13 Grafik kecepatan arus Pulau Badi..................................................................... 25
14 Perbandingan suhu perairan pada bulan purnama dengan bulan mati
Pulau Badi…………………………………………………………………….. 26
15 Grafik suhu bulanan periran Pulau Badi……………………………………… 27
16 Perbandingan salinitas perairan pada bulan purnama dengan bulan mati
Pulau Badi…………………………………………………………………….. 28
17 Grafik salinitas bulanan periran Pulau Badi………………………………….. 29
18 Perbandingan pH perairan pada bulan purnama dengan bulan mati
Pulau Badi……………………………………………………………………. 30
19 Grafik pH bulanan periran Pulau Badi……………………………………….

31

20 Perbandingan nitrat (NO 3 ) dengan fosphat (PO 4 ) Pulau Badi………………

33

21 Hewan uji Euphylia ancora…………………………………………………... 34
22 Potongan melintang gonad Euphylia ancora ………………………………… 35
23 Hewan uji Euphylia glabrescens……………………………………………… 36
24 Potongan melintang gonad Euphylia glabrescens…………………………….. 37

iv

25 Bentuk morfologi gonad telur Euphylia glabrescens (Desember 2009)……… 38
26 Grafik perkembangan sel telur Euphylia ancora dan Euphylia glabrescens..... 39
27 Diagram keterkaitan faktor lingkungan dengan ukuran telur Euphylia ancora. 41
28 Diagram keterkaitan faktor lingkungan dengan ukuran telur
Euphylia glabrescens………………………………………………………….. 42

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Pengukuran sel telur karang dan parameter fisika kimia oseanografi
Pulau Badi…………………………………………………………………….. 49

2

Matriks korelasi Euphylia ancora……………………………………………. 49

3

Matriks korelasi Euphylia glabrescens……………………………………….. 50

4

Kecepatan arus Pulau Badi……………………………………………………. 50

5

Mean Sea Lavel (duduk muka air rata-rata) Makassar………………………... 51

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
produktifitas yang tinggi. Produktifitas terumbu karang 1500 sampai 5000
gC/m2/tahun (Atkinson. 1987) bahkan pada daerah Hawai dapat mencapai 11000
gC/m2/tahun (Litter. 1973). Tingginya produktifitas di sekitar daerah terumbu
karang berakibat tingginya keanekaragaman jenis biota baik sesil maupun motil.
Keanekaragaman biota yang tinggi ini banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat
utamanya masyarakat pesisir dengan berbagai keperluan.
Pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat pesisir kebanyakan yang
merusak. Saat ini pengambilan karang baik untuk ornamen atau hiasan akuarium,
pembuatan kapur, maupun untuk pondasi rumah sudah sangat marak. Data terakir
dari CITIES 2010 keseluruhan karang (Hexacorallia maupun Octocorallia) sudah
termasuk appendix 2 atau sudah dilindungi (Anonim. 2010). Kerusakan ekosistem
terumbu karang juga disebabkan pengambilan ikan yang salah misalnya
pengeboman, dan pembiusan. Karang yang dibom akan hancur kemudian mati
sedangkan yang dibius akan akan mengalami bleacing (pemutihan) lalu mati.
Kondisi tersebut tidak sebanding dengan pemulihan ekosistem terumbu karang
yang cenderung sangat lambat.
Kondisi inilah yang menyebabkan ekosistem terumbu karang mengalami
degradasi yang sangat cepat. Saat ini ekosistem terumbu karang yang masih bagus
sudah berkurang dengan drastis tiap tahunnya. LIPI mencatat bahwa persentase
karang rusak 2009 mencapai 31,45%, lebih besar dari karang yang masih sangat
baik dengan persentase hanya 5,56%. Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak.
Berbagai tehnik rehabilitasi terumbu karang telah dikembangkan seperti
biorock, ekorock, dan rockpile. Semua tehnik ini merupakan tehnik untuk
penyiapan substrat, sehingga diperlukan karang donor. Karang donor ini diambil
melalui cara aseksual yakni dari fragmentasi karang yang ada di alam.
Pengambilan karang donor secara aseksual dari alam menimbulkan
dampak yang besar. Dampak yang ditimbulkan yakni dapat meyebabkan karang

2

donor menjadi stress dan dapat mengganggu karang disekitarnya. Tehnik
rehabilitasi secara aseksual ini juga memiliki kekurangan yang lain. Kekurangan
tersebut yakni pada umur 4 tahun karang yang ditransplan tidak mengalami
pemulihan bahkan mengalami degradasi (Omori. 2004). Oleh karena itu
diperlukan alternatif untuk penyiapan karang donor. Alternatifnya yakni
penyiapan secara seksual dengan menangkap larva karang saat bereproduksi.
Larva yang didapatkan kemudian dibiakkan dan dilepaskan ke alam sebagai upaya
pelestarian karang donor.
Reproduksi karang akan terjadi jika ada rangsangan lingkungan yang
berasal dari alam yang dikenal dengan sinyal reproduksi, sehingga untuk
mengetahui waktu reproduksi karang maka terlebih dahulu perlu diketahui sinyal
reproduksinya. Sinyal reprodusi ini yang dijadikan acuan waktu pengambilan
larva karang di alam. Jika sinyal reproduksi ini telah diketahui maka pengambilan
larva karang akan menjadi lebih mudah. Mengingat belum ada data tentang sinyal
reproduksi di daerah tropis maka perlu dilakukan penelitian dengan judul
”Kajianan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan
Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar”.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu
1. Mengidentifikasi karakteristik fisiologis sel telur karang melalui analisis
histologi.
2. Mengidentifikasi sinyal reproduksi alam yang berpengaruh terhadap
perkembangan sel telur dan reproduksi seksual karang target.
Kegunaan penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik fisiologis sel
telur karang dan mengidentifikasi sinyal reproduksi alam yang sangat berpengaruh
dalam proses reproduksi karang keras polip besar secara seksual.

Hipotesis Penelitian
Pembentukan gamet pada daerah tropis untuk jenis Euphylia ancora lebih
cepat dibanding jenis Euphylia glabrescens dengan parameter sinyal reproduksi
yang sama.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Karang Target
Secara taksonomi phylum Coelenterata atau Cnidaria memiliki ciri khas
yakni sengat yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya. Sel sengat ini
dikenal dengan nama Nematocyt. Anggota dari phylum ini dibagi menjadi 4 klas
yaitu:
1. Klass Hydrozoa (Physalia physalis)
2. Klass Schyphozoa (Aurelia aurita)
3. Klass Cubozoa (Chironex fleckeri),dan
4. Klass Anthozoa (Euphylia sp).
Keempat klass yang ada tersebut karang termasuk dalam klass yang
keempat yakni Anthozoa (Suwignyo et al. 2005). Pada umumnya karang dibagi
menjadi dua sub kelas yaitu:
1. Karang keras (Sclerectinia), dan
2. Karang lunak (Alcyonaceae).
Kedua jenis karang tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang
membedakannya. Perbedaan yang paling mencolok antara kedua jenis tersebut
yakni dari struktur rangka penyusunnya. Pada karang keras rangka penyusunnya
yakni rangka kapur CaCO 3 , sedangkan pada karang lunak rangka penyusunnya
yakni silikat (Veron. 2000). Selain rangka jumlah tentakel polipnya juga berbeda.
Pada karang keras dikenal juga dengan nama Hexacoralia atau memiliki 6
tentakel atau kelipatannya, sedangkan pada karang lunak juga dikenal dengan
nama Octocoralia atau memiliki 8 tentakel atau kelipatannya (Sorokin. 1993).
Karang keras miliki jenis yang lebih bervariasi dibanding dengan karang
lunak. Selain jenisnya yang bervariasi karang keras memiliki bentuk yang indah,
dan terkadang dijadikan sebagai hiasan akuarium. Salah satu jenis karang keras
adalah dari genus Euphylia.
Genus Euphylia dibagi menjadi 5 jenis, 4 diantaranya terdapat di Indonesia
yakni Euphylia ancora, Euphylia glabrescens, Euphylia cristata, dan Euphylia
davisa. Ciri khas dari genus ini yaitu bentuk percabangan koloni paceloid. Septa
tanpa gigi dengan permukaan halus. Kolumella tidak ada, kosta tidak berkembang

4

dengan baik tetapi masih dapat terlihat. Bentuk polip besar dan tentakel
memanjang. Jenis karang ini banyak ditemukan di perairan Indonesia yang relatif
tenang dan kurang aksi gelombang (Suharsono. 2008). Pada penelitian ini diambil
dua jenis yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens. Secara taksonomi
kedua karang dapat dijelaskan sebagai berikut (Veron. 2000):
Kingdom

:

Animalia

Phylum

:

Coelenterata

Klass

:

Anthozoa

Ordo

:

Scleractinian

Familia

:

Caryophyllidae

Genus

:

Euphylia

Spesies

:

Euphylia ancora
Euphylia glabrescens

Gambar 1. Karang target, Euphilia ancora (kiri), Euphilia glabrescens (kanan)
(Anonim. 2008).
Kedua karang ini (Gambar 1) memiliki ciri khusus yang membedakannya,
ciri tersebut dapat dilihat dari bentuk tentakel yang menjulur keluar. Euphylia
ancora merupakan salah satu jenis karang keras yang memiliki bentuk tentakel
seperti kuku, sehingga sering disebut sebagai karang kuku. Bentuk koloni
flabeloid atau meandroid-paceloid yang secara keseluruhan membentuk kubah.
Dinding koralit tipis dengan septa terlihat jelas tipis tanpa kolumella.
Euphylia glabrescens memiliki ciri tentakel yang menyerupai korek kayu
dengan kepala berwarna putih. Bentuk koloni flabeloid atau meandroid-paceloid
yang secara keseluruhan membentuk kubah. Dinding koralit tipis dengan septa
terlihat tipis tanpa kolumella (Suharsono. 2008).

5

Jenis Reproduksi Pada Karang
Pada Coelenterata terdapat dua jenis reproduksi yakni reproduksi seksual
dan aseksual. Secara seksual perkembangbiakan karang dibagi menjadi beberapa
model perkembang biakan yakni:
1. Hermaprodit spawning
2. Biseksual spawning
3. Hermaprodit viviparous, dan
4. Biseksual hermaprodit.
Keempat model perkembangan seksual pada karang yang mendominasi
komunitas terumbu karang yakni hermaprodit spawning, dimana telur karang
tersebut dibuahi oleh sperma dari karang yang sama. Mekanisme tersebut
dilakukan sebagai cara untuk mempertahankan jenis karang tersebut di
lingkungannnya (Sorokin. 1993).

Gambar 2. Jenis reproduksi pada karang (Anonim. 2008).
Spesies karang yang brooder (menghasilkan planula) dapat pula
mengeluarkan telur yang belum terbuahi selama beberapa minggu, sehingga
membutuhkan waktu untuk pembentukan dan perkembangan sel telur secara
besamaan sebelum fertilisasi. Spesies yang spawning juga membutuhkan waktu
pembentukan sel telur secara bersamaan (Veron. 2000).
Pada ekosistem terumbu karang pertemuan antara gamet jantan dan betina
dari karang lain dapat saja terjadi. Hal ini dikarenakan faktor fisik yakni arus yang
membawa gamet tersebut sehingga bertemu dengan gamet dari karang lain.

6

Setelah terjadi pembuahan maka larva akan berenang kurang lebih 2 hari setelah
menemukan tempat yang cocok maka larva tersebut akan menempel lalu tumbuh
menjadi organisme karang yang baru (Jackson. 1986 dalam Barnes dan Hughes.
1999).

Gambar 3. Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens)
(Anonim. 2008).
Tiap karang memiliki waktu spawning yang berbeda tergantung dari jenis
telurnya. Pada Acropora yang telurnya sinkronus waktu memijahnya lebih sering
dibanding dengan jenis karang yang lain. Hal tersebut tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Waktu spawning pada beberapa jenis karang di daerah sub tropis (Wilson
dan Harrison. 2003).

7

Larva Karang
Kebanyakan

spesies

karang

yang

mengalami

oogenesis,

proses

spermatogenesisnya berlangsung antara 2-4 bulan. Kematangan gonad jantan dan
betina terjadi secara simultan dan spawningnya secara sinkron. Pelepasan gamet
pada beberapa karang lebih dari enam malam, satu atau dua kali dalam setahun.
Sedangkan spesies yang brooder (menghasilkan planula) bisa mencapai 3 sampai
7 bulan (Shlesinger dan Loya. 1985).

Gambar 4. Irisan histologi gonad Goniastrea aspera (Sakai. 1997)
Ukuran tiap larva berbeda antara satu jenis dengan jenis karang yang lain.
Untuk jenis karang yang spawning ukuran perkembangan dari larvanya cenderung
lebih kecil dibanding dari jenis yang brooder. Hal ini tampak dari jenis Acropora
tenuis yang spawning diameter planulanya yakni 500 ± 70 μm, sedangkan pada
yang jenis brooder seperti Stylophora pistillata diameter planulanya 1500 ± 200
μm. Perbedaan juga dapat dilihat saat larva S. pistillata sudah mewarisi
zooxhantella, sedangkan pada A. tenuis tidak ditemukan zooxhantella (Nishikawa
et al. 2003).
Embriogenesis and perkembangan larva karang telah diteliti sebanyak 19
spesies dari karang keras (hermatypic scleractinians) yang melepaskan gamet
selama musim panas (musim spawning karang). Telur-telur yang mengalami
fertilisasi setelah 2 jam setelah spawning pada semua spesies kemudian
membentuk larva (blastula) setelah 7-10 jam. Pada spesies Platygyra sinensis
pembentukan lapisan endodermal melalui proses invaginasi. Pada semua spesies

8

karang larva menjadi rantan atau lemah setelah pada saat berumur 36 jam setelah
spawning. Larva kembali terlihat sehat dan bergerak pada umur 48 jam (Babcock
et al. 1986).
Penempelan Larva Karang (Recruitment)
Pengaruh faktor lingkungan pada fase penempelan larva sangat besar.
Larva ini sangat sensitif dengan perubahan lingkungan yang ekstrim. Secara
khusus pada fase ini larva sangat sensitif dengan cahaya dan gravitasi. Ketahanan
hidup pada fase ini sangat kecil sehingga secara insting mencari tempat yang
terlindung (Railkin. 2004).
Larva karang akan mengalami beberapa fase yakni fase medusa dan fase
polip. Fase medusa merupakan fase dimana larva karang akan berenang dalam
kolom air untuk mencari tempat menempel. Fase polip merupakan lanjutan dari
fase medusa dimana larva karang akan menempel pada suatu substrat untuk
tumbuh (Suwignyo et al. 2005). Larva karang mengalami pengendapan dalam
aquarium pada umur 4-7 hari setelah fertilisasi (Babcock et al. 1986).

Gambar 5. Penempelan larva Oulastrea crispata pada blok recruitment (Lam.
2000).
Perkembangan larva setelah menempel dimulai dari polip yang menempel
tersebut kemudian bermultiplikasi menjadi polip yang banyak. Polip ini terus
berkembang membentuk koloni karang yang besar (Sorokin. 1993).

9

Sinyal Alam yang Berpengaruh Terhadap Reproduksi
Faktor lingkungan sangat berpengaruh untuk mengontrol kematangan
gonad adalah temperatur perairan, panjang hari saat siang dan laju perubahan
temperatur. Karang yang dijadikan kontrol untuk waktu spawning

biasanya

didasarkan pada siklus pasang surut. Pelepasan gamet karang biasanya didasarkan
pada saat matahari tenggelam, disamping itu pengaruh siklus biologi, kimiawi
atau fisik perairan (Veron. 2000). Pengaruh lingkungan juga sangat berdampak
pada pengeluaran gamet pada beberapa jenis karang di Karibia (Kolinski dan Cox.
2003).
Suhu, cahaya, serta curah hujan pada Montastraea annularis sangat
berpengaruh terhadap ukuran gonadnya. Korelasi yang sangat nyata ditunjukkan
dengan lebih baiknya ukuran gonad pada temperatur yang tinggi (Mendes dan
Woodly. 2002).
Pasang Surut
Jenis pasang surut yang yang terjadi di Indonesia dibagi menjadi 4 bagian
yaitu :
1.

Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide)
Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata.

2.

Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide)
Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang
tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga
Laut Andaman.

3.

Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing
Diurnal)
Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali
surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat
berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan
dan Pantai Utara Jawa Barat.

10

4.

Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi
Diurnal)
Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam
sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan
memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa
dan Indonesia Bagian Timur (Wyrtki. 1961).
Castro dan Hubber (2007) yang menyatakan bahwa pasang surut sangat

mempengaruhi organisme laut dekat dengan pantai dan juga berpengaruh pada
organisme laut lepas pantai. Oleh sebab itu pengaruh pasang surut sangat besar
bagi aspek fisiologis organisme laut.
Pasang surut merupakan faktor penentu pertumbuhan karang. Karang
dapat tumbuh pada daerah subtidal (Veron. 2000). Oleh sebab itu bentukan pasang
surut sangat berpengaruh terhadap tempat pertumbuhan karang. Tipe diurnal dan
semi diurnal merupakan fenomena pasang surut yang sangat berpengaruh pada
daerah Great Barrier Reef (Wolanski. 1994). Pada beberapa genera seperti
(Acropora, Porites, Faviidae, Mussidae dan Pocilloporidae) di Great Barrier
Reef mengalami pemutihan sebanyak 40-75%. Bahkan karang jenis Faviidae yang
tumbuh dibawah daerah pasang surut dengan kedalaman 9 meter masih
mengalami kematian sebanyak 20-30%. Hal ini disebabkan karena pasang surut
yang terlalu ekstrim pada daerah tersebut (Anthony dan Kerswell. 2007).
Perkembangan gonad akibat pengaruh pasang surut juga memegang peran
yang sangat penting. Pada daerah temperate atau lintang tinggi pemijahan terjadi
pada bulan Desember sampai bulan April. Reproduksi ini juga terus menerus
terjadi dalam jangka waktu musim tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor alam
dimana pada saat tersebut terjadi pasang tertinggi dengan arus yang lemah dan
suhu air yang hangat (Wilson dan Harrison. 2003).
Arus Perairan
Arus merupakan suatu vektor yang terdiri dari dua komponen yakni arah
dan kecepatan (Neumann dan Pierson. 1966). Kedua komponen arus ini sangat
berpengaruh terhadap reproduksi karang.

11

Komponen arah kebanyakan berkontribusi pada penempelan dan distribusi
larva organisme laut seperti karang (Railkin. 2004). Pada komponen kecepatan
sangat berpengaruh terhadap pemicu reproduksi organisme laut contohnya karang.
Hal ini dibuktikan dari penyemprotan air yang menyerupai arus laut menyebabkan
karang target mengeluarkan gametnya (Sebens. 1984).
Arus juga dapat mempengaruhi sensitifitas dan fisiologis dari karang.
Karang yang tumbuh pada daerah berarus lemah maka cenderung lebih sensitif
dan cepat pertumbuhannya dibanding pada karang yang tumbuh pada derah yang
berarus kuat (Genin dan Karpl. 1994).
Suhu Perairan
Peran suhu baik dalam pamatangan maupun pelepasan gamet sangat besar.
Hal diungkapkan oleh Tung dan Chang (1999) yang menyatakan bahwa adanya
perbedaan masa reproduksi dan pematangan telur pada Taiwan utara dengan
Taiwan selatan yakni pemanasan suhu air. Pernyataan yang sama diungkapkan
hasil survey dari Kolinski dan Cox (2003) bahwa 71% gamet dilepaskan pada
musim panas, 21% pada musim gugur, 13% pada musim dingin, dan 38% pada
musim semi. Hal ini sangat terkait dengan suhu lingkungan yang ada.

Gambar 6. Perbandingan pemijahan karang terhadap suhu dalam kurun waktu satu
tahun (Wilson dan Harrison. 2003)

12

Hasil penelitian yang sama diungkapkan oleh Mendes dan Woodley
(2002) bahwa suhu yang maksimum dapat menyebabkan pelepasan gamet karang
kedalam perairan. Selain suhu masih terdapat faktor lain yang berpengaruh
terhadap pelepasan gamet karang.
Hasil penelitian yang berbeda didapatkan yakni karang jenis tertentu juga
dapat melepaskan gametnya dalam kondisi suhu yang rendah (Lam. 2000). Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan ada beberapa jenis karang seperti pada Pasifik
utara yang mampu mentolerir suhu yang rendah dibawah 30 0C (Castro dan
Hubber. 2007).
Suhu juga sangat berpengaruh terhadap penempelan larva karang. Pada
jenis karang Favia fragum dapat bertahan pada kondisi suhu yang tinggi. Hal
berbeda didapatkan pada larvanya, justru tingkat penempelannya berkurang 13%
akibat suhu perairan yang tinggi. Penurunan juga terjadi pada tingkat ketahanan
hidup, dimana terjadi penurunan sekitar 27%. Hasil tersebut dapat ditunjukkan
bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva karang (Randall dan
Szmant. 2009).
Salinitas Perairan
Salinitas didefenisikan sebagai total jumlah dalam gram dari ion inorganik
terlarut diwakili dalam satu kilogram air laut (Hester dan Harrison. 2000).
Salinitas merupakan faktor penentu sekaligus pembatas karang pada daerah
lintang tinggi untuk bereproduksi. Karang dapat bereproduksi pada salinitas
berkisar 30 sampai 35 0/ 00 (Lam. 2000). Kondisi tersebut berada pada kondisi
salinitas rata-rata yakni 34, 7 0/ 00 (Neumann dan Pierson. 2002).
Jika salinitas mengalami penurunan dari salinitas rata-rata maka dapat
mempengaruhi fertilisasi. Salinitas 30 0/ 00 dapat menurunkan fertilisasi karang
sebanyak lebih dari 50% (Humphrey. 2008).
pH Perairan
Kisaran pH normal yang dimiliki oleh laut yakni 7,5 sampai 8,2 (Millero.
2006). Kondisi pH diluar kisaran tersebut maka pH lautnya sudah tidak normal.

13

Kondisi pH periran jika tidak normal maka dapat menyebabkan beberapa anomali.
Pada ekosistem terumbu karang pH yang tidak normal ini dapat mengganggu
pertumbuhan karang. Hal ini disebabkan karena pH dapat memicu pertumbuhan
alga, sehingga karang sulit berkompetisi dengan alga (Brownlee. 2009).
pH juga sangat berpengaruh terhadap reproduksi karang. Pada perairan pH
sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan ketahanan sperma dalam perairan.
Peningkatan pH menyebabkan kerusakan flagella karang yang menyebabkan
sperma sulit untuk bergerak. Pergerakan ini jika terus terganggu maka akan
menyebabkan sperma cepat mati (Morita et al. 2006).
Fase Bulan
Faktor alam yang sangat berperan dalam reproduksi karang yakni fase
bulan (Varmeij et al. 2003). Pada berbagai penelitian di daerah lintang tinggi
menunjukkan bahwa karang banyak melakukan pemijahan saat bulan purnama
(Babcock et al. 1985).
Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Wilson dan Harrison (2003)
bahwa karang pada lintang tinggi yang memiliki tipe reproduksi spawning
bereproduksi pada 8 sampai 12 hari setelah bulan purnama. Hal ini berbeda
didapatkan pada daerah lintang rendah dimana karang melakukan pemijahan saat
bulan gelap (Harrison dan Wallace. 1990).

Gambar 7. Fase bulan (Anonim. 2008).

14

Nitrat (NO 3 ) dan fosphat (PO 4 )
Jenis nutrien yang dibutuhkan oleh karang diantaranya nitrat dan fospat
(Wolanski. 1994). Lingkungan tempat karang bertumbuh yang tergolong dalam
tempat yang miskin nutrien (Veron. 2000).
Kondisi menyebabkan karang tidak sepenuhnya bergantung pada
ketersediaan ion nutrien dalam perairan (Sorokin. 1993). Pengaruh nutrien yang
tidak terlalu banyak inilah yang juga berpengaruh terhadap fertilisasi karang.
Pengaruhnya juga tidak terlalu signifikan (Humphrey. 2008).

15

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2009 sampai Bulan Januari
2010 yang meliputi pengamatan lapangan berupa pengukuran parameter
lingkungan dan histologi jaringan gamet karang.
Lokasi penelitian berada pulau di gugusan Kepulauan Spermonde yaitu
Pulau Badi, Sulawesi Selatan (Gambar 8). Untuk analisis histologi jaringan telur
karang dilakukan di Laboratorium Histologi Ikan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
119°17'15"
4°57'45"

4°57'45"

119°17'00"
N
W

E
S

80

0

80

160 m

4°58'00"

Peta Indeks : Pulau Sulawesi

Keterangan :
b Titik Stasiun
Garis Pantai
Lamun
Mix Pasir dan Lamun
Mix Rubber dan Pasir
Pasir
Terumbu Karang

4°58'30"

4°58'30"

P. Badi

Sumber Peta :
1. Citra Landsat ETM7 2008
2. Survei Lapangan 2009
119°17'00"

Gambar 8. Peta lokasi penelitian (Pulau Badi)

4°58'15"

4°58'15"

#
Y

4°58'00"

b

119°17'15"

16

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu haematoxylin mayer – eosin, formalin 10%,
HCL, dan alkohol bertingkat yakni 70%, 80%, dan 100% .
Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu scuba diving, kamera
speed boat, meteran, sabak, pelampung, pH meter, buku identifikasi karang,
thermometer, alat tulis menulis, handrefraktometer, currentmeter, mikroskop
okuler, objek glass, deg glass, pahat, palu, cool box, kantong sampel, gunting
bedah, dan botol sampel.
Skema Alur Penelitian

Kerangka Pemikiran

Identifikasi
Morfologi
Karang Target

Sinyal Reproduksi
Seksual dari Alam
Karang Target

Observasi Lapangan

Pengamatan
Fase Bulan

Observasi Laboratorium

Pengamatan
Oseanografi

Perbandingan
Gambar 9. Skema alur penelitian

Keadaan Fisiologi
Karang Target
Saat Pengamatan

Pengamatan
Histologi

17

Prosedur Kerja
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa bagian dan dilaksanakan dalam
dua tahapan besar yakni:
1. Tahap pengamatan lapangan, dan
2. Tahap analisis laboratorium
Kedua tahapan tersebut saling terkait agar mendapatkan hasil yang
didapatkan lebih maksimal.
1. Pengamatan Lapangan
Prosedur ini dibagi menjadi beberapa tahapan yang dilakukan secara
bertahap dan saling terkait antara tiap bagian.
Penentuan Lokasi Penelitian
Tahapan ini lokasi yang akan diambil sebagai tempat untuk mengambil
data harus sesuai dengan beberapa kriteria dan parameter lingkungan yang telah
ditentukan yakni:
a. Lokasi yang sewaktu-waktu mudah dijangkau
b. Kondisi karang yang masih baik
c. Berada pada daerah yang terlindung dari aksi gelombang
d. Topografi perairan yang landai (reef flat)
Kelima kriteria tersebut harus terpenuhi agar penentuan karang target
dilapangan akan menjadi lebih mudah. Penentuan lokasi ini dilakukan dengan
survey pada siang hari ketika air sedang surut. Penandaan dilakukan dengan
menggunakan pelampung yang diikatkan ke salah satu karang mati pada lokasi
tersebut.
Penentuan Stasiun Pengamatan
Penentuan stasiun pengamatan didasarkan pada keberadaan karang target.
Jenis karang yang akan dimati harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jenis karang yang berpolip besar misalnya dari jenis Euphilia ancora, dan
Euphilia glabrescens.
b. Bentuk pertumbuhan yang dipilih yakni bentuk Massive.

18

Pengamatan Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur pada penelitian ini mencakup beberapa
hal yakni nitrat, fospat, fase bulan, pasang surut, suhu perairan, arus, salinitas, dan
pH perairan. Pengukuran in situ dilakukan pada beberapa parameter lingkungan
yang cepat berubah.
Pengukuran parameter oseanografi seperti arus, suhu perairan, dan pH
perairan dilakukan secara in situ tiap jam selama dua hari. Data yang didapatkan
dari alam dijadikan sebagai pembanding dengan data sekunder oseanografi yang
lain dari musim yang berbeda.
Pengamatan

arus

menggunakan

currentmeter

dengan

pengukuran

dilakukan tiap jam selama pengamatan. Untuk suhu perairan menggunakan
thermometer yang dicelup kedalam perairan dekat dengan objek yang diamati.
Pengukuran pH menggunakan pH tester.
Fase bulan dan pasang surut dipergunakan data sekunder yang ada. Pada
data fase bulan dengan melihat keadaan bulan serta perbandingannya dengan data
fase bulan yang ada. Fase bulan yang dipergunakan yakni 2 hari sebelum dan 2
hari sesudah bulan purnama dan bulan mati.
Data pasang surut yang dipergunakan yakni data pasang surut selat
Makassar, dengan perbandingan data pasang surut pada saat tersebut. Pengamatan
pasang surut didasarkan pada data sekunder dalam kurun waktu 6 bulan. Data ini
diperoleh dari BAKOSURTANAL Makassar.
Nitrat dan fospat pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel air laut
pada lokasi penelitian. Sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk diukur.

2. Pengamatan Laboratorium
Pengamatan TKG (tingkat kematangan gonad) dilakukan secara histologi
maupun secara in situ. Pengamatan secara in situ dengan cara mengukur ukuran
koloni untuk membandingkan umur karang yang telah siap bereproduksi. Analisis
gonad pada karang digunakan metode standard dari Szmant-Froelich et al. (1980)
dalam Lam (2000).

19

Metode Pengambilan Sampel
Sampel karang yang diambil berukuran ± 10 cm dari koloninya. Sampel
kemudian dimasukkan kedalam botol plastik yang telah berisi formalin 5%
(formalin 37% dilarutkan dengan air laut) sebagai pengawet sampel sebelum
memasuki analisis berikutnya.
Metode Dekalsifikasi Karang
Sebelum melakukan pengerjaan secara histologi, sampel terlebih dahulu
dipisahkan dari skeletonnya. Pemisahan tersebut dilakukan dengan menggunakan
Asam Chlorida (HCL) dengan konsentrasi 12% (HCL dicampur dengan
aquadest) (Harii et al. 2001).
Sampel yang telah diawetkan didalam formalin 5% sebelum diluruhkan
terlebih dahulu dicuci dengan air tawar mengalir hingga formalin lapas dari
permukaan karang ditandai dengan bau yang hilang dari sampel tersebut.
Sampel kemudian dimasukkan kedalam HCl 12% dan dibiarkan selama ±
24 jam hingga seluruh kapur dari karang melunak. Jika karang belum melunak
maka HCL yang ada akan diganti kemudian diamati setiap 24 jam sekali. Proses
ini terus dilakukan sampai karang melunak.
Jaringan karang yang lunak kemudian diangkat dari larutan dan dicuci
dengan air mengalir hingga bersih. Jaringan karang tersebut dimasukkan ke dalam
botol yang berisi alkohol 70% selama 2 x 24 jam. Kemudian diteruskan ke
analisis histologi.
Metode Histologi Karang
Proses histologi karang didasarkan pada metode histologi jaringan oleh
Luna. 1968. Karang pada tahap ini telah didekalsifikasi sehingga rangka kapurnya
melunak dan mempermudah dalam proses pemotongan.
Karang yang telah didekalsifikasi kemudian memasuki tahapan fiksasi. Potongan
karang hasil dekalsifikasi yang telah direndam dalam larutan fiksasi kemudian
dikeluarkan lalu dipotong horizontal dari arah dorsal ke ventral hingga ke rangka
karang. Potongan jaringan tersebut dimasukkan kedalam larutan alkohol 70%

20

selama 15 - 30 menit untuk proses washing. Proses washing ini dilakukan
sebanyak 2 kali.
Proses dehidrasi kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi tahap I dengan
menggunakan alkohol 70% selama 15 - 30 menit. Proses ini juga dilakukan
sebanyak 2 kali.
Proses dehidrasi tahap I dilanjutkan ke proses dehidrasi Tahap II dengan
menggunakan larutan alkohol 80% untuk merendam potongan jaringan selama 15
- 30 menit. Proses dehidrasi Tahap II dilakukan 2 kali.
Proses dehidrasi tahap II dilanjutkan ke proses dehidrasi tahap III dengan
menggunakan larutan alkohol 90% selama 15 - 30 menit, proses ini dilakukan
sebanyak 2 kali .
Tahap berikutnya yakni dehidrasi tahap IV atau dehidrasi terakhir dilakukan
dengan menggunkan larutan alkohol 96 % selama 15 - 30 menit, proses ini
dilakukan 2 kali.
Proses dehidrasi dilanjutkan ke proses clearing dengan menggunakan larutan
Xylene atau Xylol. Proses clearing dilakukan 2 kali selama 15-30 menit.
Proses clearing dilanjutkan ke proses impregnasi (infiltrasi paraffin ke dalam
jaringan) yang dilakukan 3 kali ulangan dengan selang setiap bagiannya 1 jam
dalam histoembedder.
Proses impregnasi dilanjutkan ke proses penanaman potongan jaringan dalam
paraffin.
Jaringan yang telah ditanam dalam blok paraffin, kemudian bloknya didinginkan
selama 2 x 24 jam sehinggan blok parafinnya benar-benar kering.
Blok paraffin yang sudah kering disiapkan untuk tahap cutting (pemotongan blok
berisi jaringan). Hasil cutting jaringan dilekatkan di mikroskop slide dan
dibiarkan selama 24 jam sebelum dilanjutkan ke proses pewarnaan sel dengan
menggunakan Haematoxylin mayer – eosin.
Proses pewarnaan selesai dilanjutkan dengan proses redehidrasi dengan
menggunakan alkohol bertingkat (70 %, 80%, 90% dan 96%), masing-masing
tahap dilakukan selama 5 menit.

21

Proses redehidrasi selesai dilanjutkan dengan pengeringan selama minimal 24
jam dalam suhu ruangan agar sampel jaringan kering sempurna dan dapat dilapis
dengan glass obyek.
Sampel

jaringan

yang

telah

dilapis

dengan

glass

obyek

kemudian

dikeringanginkan dalam suhu ruang selama minimal 24 jam agar perekat dapat
kering sempurna.
Proses pelapisan selesai, sampel jaringan dapat diamati dibawah mikroskop dan
kemudian difoto untuk mengambil gambarnya.

Analisis Data
Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara
deskriptif. Untuk melihat perbandingan antara faktor alam dengan ukuran telur
maka akan dipergunakan Analisis Komponen Utama (PCA).

HASIL DAN PEMBAHASAN

22

Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian reproduksi karang ini bertempat di Pulau Badi, yang merupakan
salah satu bagian dari Kepulauan Spermonde. Letak Pulau Badi yakni 4° 58' 9'' LS
dan 119° 17' 11'' BT, dengan luas daratan 7.41 ha, dan luas terumbu karang 36.07
ha (Gambar 10). Secara administratif Pulau Badi termasuk dalam desa Mattiro
Deceng, kecamatan Liukang Tupabiring, kabupaten Pangkep, propinsi Sulawesi
Selatan. Pulau Badi dihuni oleh 407 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 1.803
jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai nelayan (80%),
sekitar 20% berprofesi sebagai pedagang hasil laut dan pengusaha sarana
transportasi.

Gambar 10. Pulau Badi (Yusuf. 2008).
Pulau Badi memiliki potensi ekosistem terumbu karang yang cukup besar
untuk dikembangkan (Gambar 10). Hasil suvey yang dilakukan menunjukkan
bahwa persentasi penutupan karang Pulau Badi mencapai 30 – 65 %

yang

tergolong dalam kondisi sedang. Terumbu karang Pulau Badi didominasi oleh
karang keras (Scleractinia) genera Acropora dan Porites baik pada daerah tubir
maupun daerah slope. Pada kedalaman 3 m maupun di kedalaman 10 m.
Persentase penutupan karang hidup di kedua kedalaman tersebut masing-masing
32 % dan 27 %. Penutupan komponen terumbu karang yang lain yang relatif

23

tinggi di kedua kedalaman tersebut adalah rubble (pecahan karang), yang nilainya
masing-masing 22 % dan 52 % (Yusuf. 2008).
Genera karang batu yang ditemukan pada kedalaman 3 m di Pulau Badi
antara lain: Galaxea, Montipora, Seriatopora, Acropora, Pavona, Porites,
Hydnopora, Stylophora, Favites, Echynophora, Pocillopora. Selain karang keras
jenis karang lunak (Alcyoniceae) juga banyak ditemukan. Jenis karang lunak yang
banyak ditemukan